Anda di halaman 1dari 22

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penerapan

1. Gambaran subjek penerapan

Penerapan ini dilakukan pada pasien PPOK yang mengalami

ketidakefektifan bersihan jalan napas yaitu pada Tn. S. Subjek telah

menyetujui untuk dijadikan sebagai subjek penerapan yang sesuai dengan

kriteria yang penulis akan lakukan dan bersedia untuk diajarkan fisioterapi

dada dan nebulizer untuk meningkatkan saturasi oksigen. Gambaran

karakteristik subjek dan data-data subjek yang didapatkan saat pengkajian

sesuai dengan tahapan rencana penerapan yaitu penerapan fisioterapi dada

dan nebulizer. Adapaun gambaran subjek pada studi kasus dapat dilihat

pada tabel dibawah ini :

a. Pengkajian

Tabel 4.1 Pengkajian


Identitas klien Klien 1
Nama Tn. S
Umur 51 tahun
Jenis kelamin Laki-laki
Status perkawinan Menikah
No. MR 391024
Tanggal masuk RS 28 Juni 2020
Keluhan Pasien Klien datang ke IGD RSUD Jenderal Ahmad
Yani Kota Metro pada tanggal 28 Juni 2020
dengan nomor MR 391024 pukul 17.35 wib.
Klien diantar oleh keluarga dengan keluhan batuk
sejak ± 3 hari yang lalu, disertai sesak napas. Saat
pengkajian didapatkan data TD: 110/80 mmHg,

38
39

RR: 36x/menit, N: 103x/menit, suhu : 36,80C,


SPO : 94%, suara nafas ronchi secret (+) batuk
(+), RR: 36x/menit. Klien mengatakan sesak.
sesak dirasakan saat berbaring, klien mengatakan
sesak berkurang saat klien duduk. sesak dirasakan
seperti tertimpa benda berat. Saat dilakukan
pengkajian kooperatif dan mengikuti apa yang
dianjurkan oleh perawat. Subjek mengatakan
memiliki pola kebiasaan yang buruk yaitu sudah
merokok sejak berusia 17 tahun. Terapi obat yang
diberikan yaitu Nebulizer (combivent, pulmicort)
1: 1/ 8 jam, infus KA-EN 3 B 15 tpm/ 24 jam/ IV,
Terasma 2,5 mg/ 12 jam, Retaphyl SR 300 mg/ 24
jam, Pycin 750 mg/ 8 jam, dan methyl
prednisolone 4 mg/ 8 jam

Diagnosa keperawatan Ketidakefektifan bersihan jalan napas

Berdasarkan uraian diatas didapatkan data bahwa subjek

mengalami PPOK dengan masalah keperawatan yang muncul yaitu

ketidakefektifan bersihan jalan napas.

b. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan hasil pengkajian pada subjek didapatkan bahwa diagnosa

keperawatan yang muncul pada pasien PPOK yaitu ketidakefektifan

bersihan jalan napas. Adapun gambaran gejala mayor dan minor yang

dapat penulis paparkan sesuai dengan diagnosa keperawatan

ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah:

1. Gejala dan tanda mayor :

Subjektif : tidak tersedia.


40

Objektif :

a) Batuk tidak efektif

b) Tidak mampu batuk.

c) Sputum berlebih.

d) Mengi, wheezing dan / atau ronkhi kering.

e) Mekonium di jalan nafas pada neonatus.

2. Gejala dan Tanda Minor.

Subjektif :

a) Dispnea.

b) Ortopnea.

Objektif :

a) Gelisah.

b) Bunyi napas menurun.

c) Frekuensi napas berubah.

d) Pola napas berubah.

Ketidakefektifan bersihan jalan napas merupakan ketidak mampuan

membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan

jalan napas tetap paten (Aprisunadi, 2016).

Dampak dari pengeluaran dahak yang tidak lancar akibat

ketidakefektifan bersihan jalan napas adalah penderita mengalami

kesulitan napas, gangguan pertukaran gas, sianosis, kelelahan, apatis

serta merasa lemah dan obstruksi jalan napas (Karyanto & Laili, 2018).
41

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masalah

ketidakefektifan bersihan jalan napas adalah suatu kondisi dimana

individu mengalami masalah dalam obstruksi jalan nafas sehingga tidak

mampu mempertahankan jalan nafas tetap paten.

c. Tindakan keperawatan

Tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah keperawatan

ketidakefektifan bersihan jalan napas sesuai dengan NIC yaitu

manajemen jalan nafas: posisikan pasien untuk memaksimalkan

ventilasi, posisikan untuk meringankan sesak, instruksikan bagaimana

agar bisa melakukan batuk efektif, fisioterapi dada dan pemberian

nebulizer. Dari tidakan keperawatan tersebut penulis akan melakukan

aktivitas intervensi fisioterapi dada dan nebulizer untuk mengatasi

masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas.

Fisioterapi dada berkaitan erat dengan pemberian postural drainase yang

dikombinasikan dengan tehnik-tehnik tambahan lainnya yang dianggap

dapat meningkatkan bersihan jalan nafas. Teknik ini meliputi perkusi

manual, vibrasi. Postural drainase yang dikombinasikan dengan

ekspirasi kuat terbukti bermanfaat selama fisioterapi dada menunjukkan

perbaikan yang signifikan dalam kinerja otot pernafasan dan

pengurangan desaturasi O2 jika digunakan sebagai kombinasi (Anriany,

2015).
42

Pemberian terapi nebulizer merupakan pemberian obat secara langsung

ke dalam saluran nafas melalui penghisapan, dengan keuntungan berupa

obat bekerja langsung pada saluran nafas, onset kerjanya cepat, dosis

yang digunakan kecil, serta efek samping yang minimal karena

konsentrasi obat di dalam darah sedikit atau rendah (Nurmayanti, 2019).

Berdasarkan dari pengkajian pada Tn. S tanggal 30 Juni 2020 sebelum

melakukan tindakan fisioterapi dada dan nebulizer pada Tn. S penulis

memeriksa pada bagian paru lobus bawah kanan, lobus tengah kanan,

lobus atas kanan, lobus bawah kiri tidak terdapat bunyi tambahan/

ronchi dan dibagian paru lobus atas kiri terdapat suara tambahan/

ronchi. terdengar suara tambahan/ ronchi dibagian paru lobus atas kiri,

sesak napas dengan RR: 26x /menit, Nadi 128 x/menit dan SPO2 94%

Berdasarkan hasil penerapan fisioterapi dada dan nebulizer mampu

meningkatkan saturasi oksigen. Sebelum penerapan SPO 2 pasien 94%

dan sesudah penerapan nebulizer SPO2 subjek meningkat menjadi 96%.

Hal ini menunjukkan bahwa penerapan fisioterapi dada dan nebulizer

mampu meningkatkan saturasi oksigen pada pasien PPOK yang

mengalami masalah ketidakefektifan bersihan jalan napas.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penerapan

fisioterapi dada dan nebulizer mampu meningkatkan saturasi oksigen

pada pasien yang dibuktikan setelah dilakukan penerapan fisioterapi

dada dan nebulizer naik menjadi SPO2 96%.


43

2. Pemaparan fokus penerapan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sekolompok penyakit paru

menahun yang berlangsung lama dan disertai dengan peningkatan resistensi

terhadap aliran udara (Padila, 2012). PPOK merupakan salah satu penyakit

umum yang biasa terjadi pada masyarakat.

Dalam perawatan pasien dengan PPOK salah satu terapi yang diberikan

antara lain Fisioterapi dada. Peranan fisioterapi sangat penting dalam

mengatasi gejala akibat penyakit PPOK. Fisioterapi dada merupakan terapi

kombinasi memobilitas sekret pada pulmonari. Tujuan fisioterapi dada

yaitu untuk mengeluarkan sekresi, dan respirasi ventilasi, dan efektifitas

penggunaan otot pernafasan (Fitriananda, Dkk, 2017).

Pemberian fisioterapi bertujuan untuk meningkatkan saturasi oksigen.

Fisioterapi dada berkaitan erat dengan pemberian postural drainase yang

dikombinasikan dengan tehnik-tehnik tambahan lainnya yang dianggap

dapat meningkatkan bersihan jalan nafas. Teknik ini meliputi perkusi

manual, vibrasi. Postural drainase yang dikombinasikan dengan ekspirasi

kuat terbukti bermanfaat selama fisioterapi dada menunjukan perbaikan

yang signifikan dalam kinerja otot pernafasan dan pengurangan desaturasi

O2 jika digunakan sebagai kombinasi (Anriany, 2015).

Salah satu penangangan keperawatan yang lain yaitu pemberian terapi

nebulizer yaitu pemberian obat secara langsung ke dalam saluran nafas

melalui penghisapan, dengan keuntungan berupa obat bekerja langsung


44

pada saluran nafas, onset kerjanya cepat, dosis yang digunakan kecil, serta

efek samping yang minimal karena konsentrasi obat di dalam darah sedikit

atau rendah (Nurmayanti, 2019). Terapi nebulizer dengan menggunakan

oksigen sebagai penghasil uap, masih efektif terhadap perubahan suara

napas dari tachypne menjadi eupnea, dapat meningkatkan SpO2 dalam

darah dan penurunan RR, dan perubahan pola napas dari rhonchi/wheezing

menjadi vesikuler (Nurmayanti, 2019).

Keuntungan terapi nebulizer adalah medikasi dapat diberikan langsung

pada tempat/sasaran aksinya seperti paru-paru sehingga dosis yang

diberikan rendah. Dosis yang rendah dapat menurunkan absorpsi sistemik

dan efek samping sistemik. Pengiriman obat melalui nebulizer ke paru-paru

sangat cepat, sehingga aksinya lebih cepat, sehingga aksinya lebih cepat

dari pada rute lainnya seperti : subkutan/ oral (Lusianah, 2012).

Berdasarkan uraian diatas penulis melakukan pengkajian dan menentukan

diagnosa pada pasien pada tanggal 30 Juni 2020, kemudian penulis

melakukan tindakan untuk mengecek SPO2 selanjutnya penulis

mempersiapkan obat nebulizer yaitu pulmicord dan combivent, Penulis

melakukan pengecekan pada alat nebulizer apakah berfungsi dengan baik

atau tidak, kemudian penulis melakukan tindakan memberikan nebu kepada

pasien selama 10 menit atau sampai obatnya habis. Setelah diberikan

nebulizer kemudian penulis mengecek kembali SPO2. Tindakan

memberikan nebulizer pada pasien setelah selesai penulis melakukan


45

tindakan selanjutnya yaitu memberikan fisioterapi dada dan mengecek

kembali SPO2. Selain tindakan keperawatan yang penulis lakukan untuk

meningkatkan saturasi oksigen subjek juga mendapatkan obat-obatan

selama perawatan di rumah sakit adapun obat yang diberikan pada pasien

PPOK untuk mengatasi keluhan pasien antara lain yaitu: Pycin 750 mg/8

jam, Terasma 2.5 mg/12 jam, Metil Prenisolon 4 mg/8 jam, Retaphyl sr 300

mg/24 jam.

B. Pembahasan

1. Pengkajian

Sesuai hasil dari pengkajian yang dapat penulis lakukan pada Tn. S pada

tanggal 30 Juni 2020 didapatkan data yang menunjang terjadinya PPOK

pada Tn. S yaitu berupa usia subjek 51 tahun, subjek berjenis kelamin laki-

laki dan subjek mengeluh batuk sejak ± 3 hari yang lalu dan mempunyai

pola kebiasaan merokok sejak umur 17 tahun.

Dari keluhan yang dialami Tn.S batuk dan sesak nafas hasil pengkajian

fisik penulis menyimpulkan bahwa pasien mengalami masalah

ketidakefektifan bersihan jalan nafas.

Sesuai dengan masalah yang dialami oleh pasien penulis mengambil

intervensi manajemen jalan napas yaitu penerapan fisioterapi dada dan

nebulizer.
46

PPOK merupakan kelainan dengan kemajuan lambat yang membutuhkan

waktu bertahun-tahun untuk menunjukkan awitan (onset) gejala klinisnya

seperti kerusakan fungsi paru. PPOK sering menjadi simptomatik selama

tahun-tahun usia baya, tetapi insidennya meningkat sejalan dengan

peningkatan usia. Meskipun aspek-aspek fungsi paru tertentu seperti

kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi paksa (FEV) menurun sejalan

dengan peningkatan usia, PPOK dapat memperburuk perubahan fisiologi

yang berkaitan dengan penuaan dan mengakibatkan obstruksi jalan napas

misalnya pada bronkhitis serta kehilangan daya pengembangan (elastisitas)

paru misalnya pada emfisema (Muttaqin, 2012).

Ketidakefetifan bersihan jalan napas yaitu ketidakmampuan untuk

membersihkan sekresi atau obstruksi saluran pernapasan guna

mempertahankan jalan napas yang bersih, bertujuan untuk mengatasi

masalah ketidakefektifan jalan napas. Pemberian fisioterapi bertujuan untuk

meningkatkan saturasi oksigen, fisioterapi dada berkaitan erat dengan

pemberian postural drainase yang dikombinasikan dengan tehnik-tehnik

tambahan lainnya yang dianggap dapat meningkatkan bersihan jalan nafas,

teknik ini meliputi perkusi manual, vibrasi (Nurmayanti, 2019).

Hal tersebut sesuai dengan penelitian oleh Nurmayanti, Waluyo dan

Jumaiyah dengan judul Pengaruh fisioterapi dada, batuk efektif dan

nebulizer terhadap peningkatan saturasi oksigen pada pasien PPOK. Desain

penelitian ini quasi eksperimen dengan menggunakan metode observasi


47

dengan pendekatan desain One group pre – post test. Hasil statistik uji T

berpasangan (wilcoxon test) untuk nilai p= 0,001 (p). Hasil penelitian

menunjukkan ada pengaruh pemberian fisioterapi dada, batuk efektif dan

nebulizer terhadap peningkatan saturasi oksigen dalam darah sebelum dan

sesudah intervensi pada pasien PPOK.

Penelitian selanjutnya oleh Penelitian oleh Priadi, Nanang dan Angelin

dengan judul pengaruh fisioterapi dada terhadap ekspektorasi sputum dan

peningkatan saturasi oksigen penderita PPOK di RSP Dungus Madiun.

Hasil dan Analisis: Untuk ekspektorasi sputum, pada kelompok kontrol

didapatkan angka signifikansi 0.008 dengan rerata pre-test 0,2 cc dan post-

test 0,87 cc.

Berdasarkan penelitian diatas penulis melakukan penerapan fisioterapi dada

dan nebulizer untuk meningkatkan saturasi oksigen dalam darah pada

pasien PPOK dengan masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan

napas. Hal- hal yang mempengaruhi terjadinya PPOK pada subjek yaitu

sebagai berikut :

a. Usia

Hasil pengkajian yang dilakukan oleh penulis didapatkan data subjek

Tn. S berusia 51 tahun. Usia berkolerasi dengan proses penuaan.

Bertambahnya usia seseorang akan menyebabkan terjadinya penurunan

elastisitas paru yang akan berdampak pada hasil tes fungsi paru.

Meningkatnya umur seseorang menyebabkan kerentanan pada penyakit


48

akan semakin meningkat, khusunya saluran pernafasan (Mengkidi,

2006). Fungsi paru akan menurun sesuai dengan pertambahan usia.

Terjadinya proses penuaan menyebabkan elastisitas alveoli menjadi

berkurang, kelenjar bronchial semakin menebal, kapasitas paru menurun

dan meningkatkan ruang rugi (Guyton. et al, 2007).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian dilakukan oleh Fajar tahun

2013 mengenai karakteristik PPOK stabil di Rumah Sakit Tembakau

Deli Medan dari total 35 responden didapatkan 24 responden berumur

>60 tahun (68,6%).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Firdausi (2014) mengatakan

bahwa faktor risiko untuk terkena PPOK meningkat seiring dengan

bertambahnya usia. Sistem kardiorespirasi pada usia di atas 50 tahun

akan mengalami penurunan daya tahan. Penurunan ini terjadi karena

pada organ paru, jantung dan pembuluh darah mulai menurun fungsinya.

ungsi paru mengalami kemunduran dengan semakin bertambahnya usia

yang disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin

berkurang sehingga sulit bernapas. Akibat dari kerusakan pada jaringan

paru akan terjadi obstruksi bronkus kecil yang mengalami penutupan

atau obstruksi awal fase ekspirasi, udara mudah masuk kedalam alveolus

dan terjadilah penumpukan udara (Firdausi, 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Octaria tahun 2010 di RSUD

Dr.Moewardi Surakarta membuktikan bahwa faktor risiko PPOK salah


49

satunya usia mayoritas pasien PPOK berusia > 50 tahun (Muthmainah,

2015).

Berdasarkan dari beberapa penelitian diatas analisa penulis terbukti

bahwa usia Tn.S 51 tahun masuk dalam kategori rata-rata pasien yang

beresiko untuk menderita PPOK.

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan penerapan yang dilakukan oleh penulis didapatkan data

subjek yaitu Tn. S berjenis kelamin laki-laki. Pada laki-laki prevalensi

merokok lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan dan umumnya

pekerjaan laki-laki lebih berisiko terpapar zat atau partikel yang dapat

memicu PPOK (Mannino & Buist, 2007). Laki-laki mempunyai

prevalensi merokok lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Hal

ini yang dianggap sebagai pemicu tingginya kasus derajat berat PPOK

pada laki-laki karena merokok dapat menyebabkan perbesaran kelenjar

mukosa dan hiperplasia sel goblet di saluran pernafasan (Octaria, 2010).

Distribusi jenis kelamin penderita PPOK di Poli Paru RSUD Arifin

Achmad lebih banyak laki-laki yaitu berjumlah 38 (88,4%) orang. Hasil

penelitian ini sama dengan penelitian Almagro dkk.pada tahun 2010

mengenai komorbiditas dan hubungan perbedaan jenis kelamin pada

pasien PPOK yang dirawat di rumah sakit didapatkan hasil dari total 398

pasien terdapat 352 (89%) orang berjenis kelamin laki- laki dan 45

(11%) orang perempuan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rahmatika

di Rumah Sakit Aceh Tamiang pada tahun 2007-2008 didapatkan


50

berdasarkan tingkat keparahan PPOK berat banyak diderita oleh laki-

laki karena kesadaran berobat meningkat setelah penyakit menjadi parah

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suradi

(2012) di RS. Moewardi Surakarta yang menyatakan adanya hubungan

antara jenis kelamin dengan PPOK dengan nilai p value 0,008 (0,008 <

0,05 dan jenis kelamin laki-laki lebih tinggi sebesar 63,4% dibandingkan

pada perempuan yaitu 36,6%.

Berdasarkan penelitian diatas PPOK yang terjadi pada pasien penulis

sesuai dengan kriteria diatas bahwa kejadiannya lebih tinggi laki-laki

dari pada perempuan. Pada laki-laki prevalensi merokok lebih tinggi

dibandingkan dengan perempuan dan umumnya pekerjaan laki-laki lebih

berisiko terpapar zat atau partikel yang dapat memicu PPOK, yang

disebabkan karena merokok sejak umur 17 tahun.

c. Faktor kebiasaan

Berdasarkan penerapan yang dilakukan oleh penulis didapatkan bahwa

subjek merokok sejak berusia 17 tahun. Merokok merupakan faktor

utama yang dapat mempercepat penurunan fungsi paru. Walaupun hanya

sebagian kecil dari perokok akan bermanisfestasi klinis menjadi

penyakit paru obstruksi dan hanya sebagian kecil yang akan

menyebabkan kerusakan fungsi paru yang berat. Merokok dapat

menyebabkan perubahan struktur jalan nafas maupun parenkim paru.

Perubahan struktur jalan nafas besar berupa hipertrofi dan hiperplasia

kelenjar mukus. Sehingga dapat mempengaruhi nilai aliran puncak

ekspirasinya (Guyton et al., 2007).


51

Hasil penelitian Ismail tahun 2017 menunjukkan jumlah perokok lebih

banyak pada kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol.

penelitian ini sejalan dengan peneliti sebelumnya dimana hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok merupakan faktor

risiko kejadian PPOK di wilayah kerja puskesmas Lepo- lepo tahun

2017. Hal tersebut menunjukkan bahwa orang yang memiliki kebiasaan

merokok dalam memiliki risiko lebih besar untuk terkena PPOK

Wilayah Kerja Puskesmas Lepo- lepo tahun 2017.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Ika di Rumah Sakit Umum Saiful

Anwar pada tahun 2011 didapatkan perokok aktif sebanyak 33 orang

(84,6%) dan yang bukan perokok sebanyak 26 orang (57,8%).

Berdasarkan analisa penulis terbukti bahwa merokok adalah faktor

risiko terjadinya PPOK. Hasil pengkajian penulis pasien mempunyai

riwayat merokok sejak umur 17 tahun.

d. Pekerjaan

Berdasarkan hasil penerapan yang dilakukan penulis didapatkan data

subjek memiliki pekerjaan seorang petani. Pekerjaan juga mempunyai

resiko besar untuk menyebabkan PPOK, pekerja yang terpapar debu

mempunyai resiko lebih besar terkena PPOK (Ikawati,2011). Berbagai

macam partikel gas yang terdapat di udara sekitar tempat kerja dapat

menjadi penyebab terjadinya polusi udara, ukuran dan macam partikel


52

akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya

PPOK (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

Menurut hasil wawancara peneliti dengan pasien PPOK stabil di RSUD

Arifin Achmad didapatkan 1 orang pensiunan yang sebelumnya bekerja

di Angkatan Udara bagian bahan peledak sejak umur 20 tahun. Beliau

tidak ketergantungan terhadap rokok, tetapi memiliki penurunan fungsi

paru tingkat sedang. Data penyakit akibat kerja dari Dinas Kesehatan

Provinsi Jawa Tengah berdasarkan hasil survei pemeriksaan paru

didapatkan sebanyak 83,75% pekerja formal dan 95% pekerja informal

mengalami gangguan fungsi paru

Penelitian oleh Mahawati (2015). Hal ini bisa disebabkan karena faktor

pekerjaan petani yang berhubungan erat dengan alergi dan hiperaktivitas

bronkus, pekerja yang bekerja di lingkungan yang berdebu dan

berbahaya terhadap paparan pestisida sebagai bahan kimia berpengaruh

terhadap system saraf dan akan lebih berisiko menderita PPOK. Faktor

lain yang berpengaruh terhadap meningkatnya resiko PPOK pada petani

adalah kebiasaan merokok yang umumnya masih banyak dilakukan oleh

petani.

Berdasarkan penerapan yang dilakukan penulis terbukti bahwa

pekerjaan subjek yaitu petani dan merupakan faktor risiko penyakit

PPOK.

2. Diagnosa keperawatan
53

Berdasarkan hasil analisa data diatas, maka dirumuskan diagnosa

keperawatan pada Tn, S yaitu ketidakefektifan bersihan jalan napas.

Ketidakefektifan bersihan jalan napas yaitu kondisi dimana pasien tidak

mampu membersihkan sekret sehingga menimbulkan obstruksi saluran

pernapasan dengan tujuan mempertahankan saluran pernapasan.

Kemungkinan berhubungan dengan : menurunnya energi dan kelelahan,

infeksi trakeobronkial, trauma, bedah thoraks (Nurarif & Kusuma, 2015).

Berdasarkan penelitian Nugroho (2011) jalan nafas tidak efektif dan

terjadinya sesak nafas disebabkan oleh pengeluaran dahak yang tidak lancar

maka akan menimbulkan penumpukan mukus yang dapat membuat

perlengketan pada jalan nafas.

Berdasarkan analisa penulis menyimpulkan bahwa subjek mengalami

ketidakefektifan bersihan jalan napas dikarenakan pada saaat pengkajian

data subyektif yaitu pasien mengatakan batuk berdahak ± 3 hari yang lalu

dan klien mengatakan napasnya sesak. Data obyektif : suara napas klien

ronchi, pasien terlihat batuk, pasien sesak napas, respiration rate 36

x/menit.

3. Intervensi Keperawatan

Tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah keperawatan

ketidakefektifan bersihan jalan napas sesuai dengan NIC yaitu manajemen

jalan nafas: posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi, posisikan


54

untuk meringankan sesak, instruksikan bagaimana agar bisa melakukan

batuk efektif, fisioterapi dada dan pemberian nebulizer. Dari tindakan

keperawatan tersebut penulis akan melakukan aktivitas intervensi

fisioterapi dada dan nebulizer untuk mengatasi masalah keperawatan

ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Penulis melakukan penerapan

fisioterapi dada, kemudian buang sekret dengan memotivasi pasien untuk

melakukan batuk, instruksikan bagaimana agar bisa melakukan batuk

efektif, auskultasi suara nafas, posisikan untuk meringankan sesak nafas,

auskultasi suara nafas dan cek SPO2 sebelum dan setelah tindakan

fisioterapi dada dan nebulizer, instruksikan kepada pasien untuk menarik

nafas dalam sebelum dilakukan fisioterapi dada dan nebulizer, monitor

adanya nyeri, monitor status oksigenasi pasien, jumlah dan konsistensi

secret, ,monitor kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan bernafas, catat

pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan, penggunaan otot bantu

pernafasan dan retraksi otot, monitor suara nafas tambahan, monitor pola

nafas, auskultasi suara nafas, catat area dimana terjadi penurunan atau tidak

adanya ventilasi dan keberadaan suara nafas tambahan, kaji perlunya

penyedotan pada jalan nafas dengan auskultasi suara nafas ronki di paru,

monitor kemampuan batuk efektif pasien, berikan bantuan terapi nafas jika

yaitu penerapan dengan nebulizer.

Penulis menyusun rencana keperawatan yaitu melakukan penerapan

fisioterapi dada dan nebulizer untuk meningkatkan saturasi oksigen pada

pasien PPOK, setelah dilakukan tindakan tersebut, diharapkan oksigen pada


55

pasien PPOK meningkat, dengan kriteria hasil : pasien tidak sesak lagi, dan

mudah mengeluarkan sputum saat batuk. Intervensi yang penulis

rencanakan yaitu melakukan penerapan fisioterapi dada dan nebulizer

seusai untuk meningkatkan saturasi oksigen, karena untuk mengeluarkan

sekresi, dan reparisasi ventilasi, dan efektifitas pengunaan otot pernafasan.

Hal ini sesuai dengan penelitian Hal tersebut sesuai dengan penelitian oleh

Nurmayanti, Waluyo dan Jumaiyah dengan judul Pengaruh fisioterapi dada,

batuk efektif dan nebulizer terhadap peningkatan saturasi oksigen pada

pasien PPOK. Desain penelitian ini quasi eksperimen dengan menggunakan

metode observasi dengan pendekatan desain One group pre – post test.

Hasil statistik uji T berpasangan (wilcoxon test) untuk nilai p= 0,001 (p).

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh pemberian fisioterapi dada,

batuk efektif dan nebulizer terhadap peningkatan saturasi oksigen dalam

darah sebelum dan sesudah intervensi pada pasien PPOK.

4. Tindakan nebulizer

Implementasi hari pertama dilakukan pada tanggal 28 Juni 2020 untuk

implementasi yang pertama yaitu mengkaji tanda-tanda vital, mengkaji

frekuensi nafas didapatkan respon hasil. Implementasi selanjutnya

memberikan latihan nafas dalam, memberikan terapi nebulizer (combivent,

pulmicort 1 : 1/ 8 jam), mengkaji intake dan output. Berikutnya

implementasi yang dilakukan adalah mengakaji tanda-tanda vital,


56

melakukan batuk efektif, melakukan fisioterapi dada, mengajarkan

relaksasi nafas dalam, melakukan fisioterapi dada dan melakukan nebulizer.

Implementasi yaitu tindakan terapi nebulizer ialah pemberian zat aerosol

partikel udara dengan tekanan udara yang bertujuan memberikan obat

melalui nafas spontan (Wongkar, 2015).

Penelitian lain oleh Yuliana dan Agustina dengan judul Terapi nebulizer

mengurangi sesak nafas pada serangan asma bronkiale di ruang IGD RSUD

dr. Loekmono Hadi Kudus. Hasil penelitian menggunakan terapi nebulizer

dengan obat bronkodilator yang dirubah menjadi partikel aerosol karena

terdapat tekanan udara, efek puncak dari obat-obat bronkodilator sekitar 15-

20 menit puncak akhir 1-2 jam dan lama kerja obat-obat bronkodilator

adalah 6-8 jam. Pengelolaan yang dilakukan selama 3 hari memberikan

terapi nebulizer 3x/hari dengan bisolvon 20 tetes, combivent 2,5 mg dan

ventolin 2,5 mg dengan hasil RR yang semula 30x/menit menjadi

24x/menit sehingga pasien terlihat nyaman dan tidak terdengar suara

tambahan wheezing. Untuk mengatasi sesak nafas dilakukan pemberian

terapi nebulizer cukup efektif diberikan, tetapi terapi nebulizer dengan

obat-obat bronkodilator tersebut bekerja sementara dikarenakan cara

kerjanya yakni mengencerkan dahak pada saluran pernafasan sehingga hal

ini tidak mengakibatkan obstruksi dan sumbatan jalan nafas.

Berdasarkan hasil penerapan yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 30

Juni 2020 sebelum penerapan SPO2 pasien 94% dan sesudah penerapan
57

nebulizer SPO2 subjek meningkat menjadi 96%. Hal ini terbukti bahwa

penerapan tersebut mampu meningkatkan saturasi oksigen pada pasien

PPOK dengan masalah ketidakefektifan bersihan jalan napas yaitu setelah

dilakukan penerapan subjek sudah tidak merasakan sesak napas.

5. Tindakan fisioterapi dada

Fisioterapi dada merupakan tindakan keperawatan dengan melakukan

drainase postural, tepukan dan vibrasi pada pasien yang mengalami

gangguan sistem pernafasan (Nesya, 2013). Dalam perawatan pasien

dengan PPOK salah satu terapi yang diberikan antara lain Fisioterapi dada.

Peranan fisioterapi sangat penting dalam mengatasi gejala akibat penyakit

PPOK. Fisioterapi dada merupakan terapi kombinasi memobilitas sekret

pada pulmonari. Tujuan fisioterapi dada yaitu untuk mengeluarkan sekresi,

dan reparisasi ventilasi, dan efektifitas pengunaan otot pernafasan

(Fitriananda, Dkk, 2017).

Pemberian fisioterapi bertujuan untuk meningkatkan saturasi oksigen.

Fisioterapi dada berkaitan erat dengan pemberian postural drainase yang

dikombinasikan dengan tehnik-tehnik tambahan lainnya yang dianggap

dapat meningkatkan bersihan jalan nafas. Teknik ini meliputi perkusi

manual, vibrasi. Postural drainase yang dikombinasikan dengan ekspirasi

kuat terbukti bermanfaat selama fisioterapi dada menunjukan perbaikan

yang signifikan dalam kinerja otot pernafasan dan pengurangan desaturasi

O2 jika digunakan sebagai kombinasi (Anriany, 2015)


58

Penelitian oleh Nurmayanti, Waluyo dan Jumaiyah dengan judul Pengaruh

fisioterapi dada, batuk efektif dan nebulizer terhadap peningkatan saturasi

oksigen pada pasien PPOK. Desain penelitian ini quasi eksperimen dengan

menggunakan metode observasi dengan pendekatan desain One group pre

– post test. Hasil statistik uji T berpasangan (wilcoxon test) untuk nilai p=

0,001 (p). Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh pemberian

fisioterapi dada, batuk efektif dan nebulizer terhadap peningkatan saturasi

oksigen dalam darah sebelum dan sesudah intervensi pada pasien PPOK.

Berdasarkan dari hasil penerapan fisioterapi dada dan nebulizer pada Tn. S

pada tanggal 30 Juni 2020 sebelum intervensi pada Tn. S Sebelum

dilakukan penerapan diperiksa pada bagian paru lobus bawah kanan, lobus

tengah kanan, lobus atas kanan, lobus bawah kiri tidak terdapat bunyi

tambahan/ ronchi dan dibagian paru lobus atas kiri terdapat suara

tambahan/ ronchi. terdengar suara tambahan/ ronchi dibagian paru lobus

atas kiri, sesak napas dengan RR: 26x /menit, Nadi 128 x/menit dan disertai

batuk berdahak. Berdasarkan pengkajian penulis didapatkan masalah

keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada pasien PPOK

setelah intervensi menunjukkan tampak belum bisa mengeluarkan

sputum/secret dan sesak napas menurun dengan dengan SPO2 94%

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa setelah dilakukan

penerapan fisioterapi dada dan nebulizer saturasi oksigen subjek meningkat

yaitu SPO2 96%.


59

C. Keterbatasan Penulisan Karya Tulis Ilmiah

Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini memiliki keterbatasan dalam penulisan ini

yaitu sebagai berikut :

1. Waktu penulisan

Waktu penulisan hanya dilakukan 1 kali maka penulis merasa belum

cukup untuk melakukan penerapan terapi fisioterapi dada dan nebulizer

secara maksimal dan melihat perubahan hasil yang dirasakan oleh pasien

dengan PPOK.

2. Sampel penulisan

Sampel dalam penulisan ini sangat terbatas disebabkan karena hanya

berfokus pada pasien PPOK.

Anda mungkin juga menyukai