Anda di halaman 1dari 10

BAB 4

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas tentang Asuhan Keperawatan Ny. P

dengan Asma Bronkhial di Ruang Bougenvil II RSA Bandung. Pembahasan bab

ini terutama mambahas adanya kesenjangan dan kendala antara teori dengan

kasus. Asuhan keperawatan memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar

manusia melalui tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi,

implementasi, dan evaluasi.

4.1 Pengkajian

Keluhan utama saat pengkajian adalah pasien mengeluh sesak nafas, sulit

untuk bernafas, batuk berdahak, dan mudah lelah saat beraktivitas akibat sesak

yang dialami. Pasien memiliki riwayat penyakit asma sejak lahir dan pasien alergi

terhadap cuaca dingin dan debu. Pasien juga baru pindah dari Jakarta ke Bandung,

karena suami pasien pindah bekerja. Pada saat sesak kambuh, pasien

menggunakan inhaler yang dimilikinya, yaitu inhaler serotide. Sesaknya hanya

berkurang sedikit, lalu kambuh lagi.

Pada Ny. E memiliki riwayat asma dan alergi terhadap debu dan cuaca

dingin yang menunjukkan penyakit asma kambuh lagi. Saat dilakukan pengkajian

fisik ditemukan pasien sesak, sulit bernafas, batuk berdahak, sputum berwarna

lendir kental, mudah lelah, pasien menggunakan otot bantu nafas, tanda-tanda
vital pasien: R: 24x/menit, SpO2: 89%, P: 133x/menit, pada saat di auskultasi

pada paru-paru terdengar wheezing, tidak ada sianosis, capilary refill time < 2

detik, dan kekuatan otot 5 tetapi tampak lemas. Hasil laboratorium menunjukkan

basofil *2 (0-1), eosinofil *5 (2-4).

Menurut Tambaong (2010), tanda dan gejala asma bronkhial adalah

dispnea, batuk berdahak, mengi, sesak dada, hipoksia, ortopnea, takikardia, sulit

bernafas, sputum kental hijau atau kuning dan lengket, spasme bronkus,

peningkatan eosinofilia (bila ada alergi), retraksi interkostal, cemas, peningkatan

nadi paradoksik, dan turgor kulit buruk.

4.1.1 Kendala Tahap Pengkajian

Dalam melaksanakan pengkajian, penulis meghadapi beberapa kendala,

yaitu pasien mudah lelah sehingga tidak dapat terlalu lama dikaji dan sulit untuk

diajak berbicara dalam waktu yang lama. Pasien asma bronkhial harus banyak

istirahat. Menurut Muttaqin (2014), tujuan intervensi keperawatan pada pasien

asma bronkhial salah satunya adalah meningkatkan istirahat pasien dan

mengurangi kecemasan pasien.

4.2.2 Kesenjangan Tahap Pengkajian

Dari hasil pangkajian pada pasien Ny. P terdapat perbedaan antara teori

dan hasil yang ditemukan seperti tanda dan gejala menurut teori pasien dengan

asma bronkhial tidak ditemukan turgor kulit buruk dan sputum kental hijau atau
kuning. Perbedaan yang ditemukan selanjutnya, yaitu pasien tidak ditemukan

hipoksia dan ortopnea.

Terapi yang diperoleh klien selama di ruang perawatan adalah

Aminophilin 1 ampul di infus RL 500 cc dalam 20 tetes/menit, Salbutamol 3 x 2

cth digunakan untuk bronkhospasme reversible terkait dengan serangan asma akut

pada pasien yang membutuhkan bronkodilator tunggal, Methylprednisolon injeksi

125 mg (2x62,5 mg) digunakan untuk penyakit asma bronkhial dan mengatasi

radang akibat alergi atau inflamasi, Velutin 2,5 mg + Pulmicort 0,25 mg (2 x

sehari) digunakan untuk pencegahan serangan asma.

4.2 Diagnosa Keperawatan

Menurut Allen (2015, hlm.67), diagnosa keperawatan merupakan penyakit

yang menggambarkan perubahan status kesehatan klien. Perubahan-perubahan

menyebabkan masalah dan perubahan yang tidak menguntungkan pada

kemampuan klien untuk berfungsi. Diagnosa keperawatan menunjukkan

kelompok batasan karakteristik yang gagal memenuhi nilai normal yang

diharapkan. Perawat mengidentifikasi diagnosa keperawatan diagnosa

keperawatan NANDA yang mencerminkan perubahan pada status klien.

1) Masalah keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif

Diagnosa: Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d peningkatan mukus,

kekentalan sekresi dari bronkospasme. Batasan karakteristik menurut NANDA

NIC NOC 2015, sputum dalam jumlah yang berlebihan, sulit mengeluarkan dahak
atau batuk yang tidak efektif, terdapat suara nafas tambahan, perubahan frekuensi

pernafasan , dispnea atau sulit bernafas, gelisah. Alasan penulis memprioritaskan

masalah bersihan jalan nafas tidak efektif karena pasien tidak dapat mengeluarkan

dahak yang membuat pasien sulit untuk bernafas dan harus segera ditangani.

Data yang mendukung diagnosa ini adalah data subjektif dan objektif.

Data subjektif dimana pasien mengatakan merasakan sulit bernafas akibat

penumpukan sputum/ batuk berdahak yang sulit untuk dikeluarkan. Data objektif

didapatkan keadaan umum pasien lemah, respiration rate 24x/menit dengan

saturasi oksigen 89%, terdapat suara mengi, serta batuk produktif. Berdasarkan

tanda dan gejala yang dialami pada Ny. P, penulis mengambil diagnosa bersihan

jalan nafas tidak efektif.

2) Masalah keperawatan pola nafas tidak efekif

Dignosa: Pola nafas tidak efektif b/d penyempitan bronkus. Batasan

karakteristik menurut NANDA NIC NOC 2015, yaitu: dispnea, penggunaan otot

bantu nafas, perubahan frekuensi pernafasan, perubahan saturasi oksigen, sesak

nafas. Alasan penulis mengambil masalah sesak nafas, karena tubuh kita butuh

oksigen yang adekuat. Apabila tidak ditangani, akan mengakibatkan gagal nafas.

Data yang mendukung diagnosa ini adalah data subjektif dan objektif.

Data subjektif dimana pasien mengatakan sesak nafas dan sulit untuk bernafas.

Data objektif didapatkan keadaan umum pasien lemah, respiration rate 24x/menit

dengan saturasi oksigen 89%, terdapat suara mengi, serta pengguanaan otot bantu

nafas. Berdasarkan tanda dan gejala yang dialami pada Ny. P, penulis mengambil

diagnosa pola nafas tidak efektif.


3) Masalah keperawatan intoleransi aktivitas

Intoleransi aktivitas b/d sesak nafas. Batasan karakteristik menurut

NANDA NIC NOC 2015, yaitu: merasa letih, merasa lemah, sesak nafas setelah

beraktivitas, dan ketidakcukupan energi untuk menylesaikan aktivitas kebutuhan

yang dilakukan sehari-hari.

Perumusan masalah keperawatan yang diambil penulis untuk intoleransi

aktivitas dilihat dari data objektif pasien, yaitu mudah lelah, keadaan umum

lemah, perubahan nilai saturasi oksigen sesudah melakukan aktivitas, nadi

meningkat dan pasien megeluh sesak saat melakukan aktivitas berlebih.

4.3 Intervensi Keperawatan

Menurut Asmadi (2010, hlm.177), intervensi keperawatan merupakan

perencanaan pemberian asuhan keperawatan yang akan diberikan kepada pasien,

yang terdiri atas intervensi keperawatan yang independen dan intervensi

keperawatan kolaboratif . Intervensi keperawatan independen adalah intervensi

keperawatan yang dilakukan perawat terhadap klien secara mandiri tanpa peran

aktif dari tenaga kesehatan lain. Intervensi keperawatan kolaboratif adalah

intervensi keperawatan yang dilakukan oleh perawat terhadap klien dalam bentuk

kerjasama dengan tenaga kesehatan lain. Untuk intervensi yang diberikan pada

Ny. P adalah:

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d peningkatan mukus, kekentalan

sekresi dari bronkospasme. Pada kasus Ny. P, memiliki tujuan bersihan jalan

nafas efektif dengan kriteria hasil: sputum tidak ada, suara nafas bersih, mampu
memperbaiki bersihan jalan nafas dengan batuk efektif, dan tanda-tanda vital

normal. Intervensi yang diberikan pada kasus ini adalah pantau tanda-tanda vital,

auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, seperti: mengi, krekels, dan

ronkhi, berikan pasien banyak minum air hangat, ajarkan pasien teknik batuk

efektif dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat mukolitik, yaitu:

salbutamol 3 x 2 cth.

2. Pola nafas tidak efektif b/d penyempitan bronkus. Memiliki tujuan asuhan

keperawatan, yaitu: pola nafas kembali efektif dengan kriteria hasil tidak sesak,

pasien tidak gelisah, dan pasien tidak menggunakan otot bantu nafas. Intervensi

yang diberikan pada kasus ini adalah pantau keadaan umum dan tanda-tanda vital

pasien, berikan pasien posisi yang nyaman, yaitu posisi semi fowler, ajarkan

pasien teknik deep diafragma breathing, dan kolaborasi dengan dokter dalam

pemberian obat bronkodilator, yaitu:velutin 2,5 mg dan pulmicort 0,25 mg.

3. Intoleransi Aktivitas b/d sesak nafas. Memiliki tujuan asuhan keperawatan,

yaitu: intoleransi aktivitas dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien tidak mudah

lelah dan letih saat beraktivitaas. Intervensi yang diberikan pada kasus ini adalah

observasi tanda vital sebelum dan sesudah aktivitas, bantu pemenuhan activity

daily living, bantu dalam memilih aktivitas yang sesuai dengan kemampuan fisik

pasien, dan anjurkan pasien banyak istirahat.

4.3.1 Kendala Tahap Intervensi

Proses perencanaan melibatkan perawat ruangan serta petugas medis

lainnya dalam merencanakan asuhan keperawatan sesuai teori untuk penanganan


masalah yang dialmai pasien. Penulis tidak menemukan kesulitan dalam

melakukan perencanaan perawatan.

4.3.2 Kesenjangan Tahap Intervensi

Pada tahap perencanaaan yang dibuat adalah harus berdasarkan teori dan

sesuai prioritas masalah yang dialami pasien dengan tujuan yang diharapkan

tercapainya sepenuhnya dan sebagian, serta perencanaan keperawatan yang dibuat

harus sesuai dengan evidence base practice. Penulis merawat dan memberikan

intervensi pada pasien Ny. P selama 3 hari berturut-turut dengan diagnosa yang

sama dan intervensi yang sama.

4.4 Implementasi Keperawatan

Menurut Asmadi (2010, hlm.177), implementasi adalah tahap ketika

perawat mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi

keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk

implementasi yang diberikan pada Ny. P adalah:

1. Diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif, pasien mengeluh

sulit untuk mengeluarkan dahak sehingga penulis mengajarkan pasien untuk batuk

efektif seuai dengan evidence base practice. Agar tidak mengalami iritasi pada

tenggorokan akibat batuk yang dipaksa untuk mengeluarkan dahak. Mengajarkan

pasien teknik batuk efektif dapat memberikan hasil yang baik, yaitu: pasien dapat

mengeluarkan dahak dengan mudah menggunakan teknik batuk efektif.


2. Diagnosa keperawatan pola nafas tidak efektif, pasien mengeluh sesak

nafas sehingga penulis mengajarkan pasien teknik deep diapragma breathing

seuai dengan evidence base practice. Sesuai penelitian Frownfelter dan Dean

(2012), bahwa efektif untuk mengurangi sesak nafas dalam pemberian deep

diapragma breathing pada pasien asma bronkhial. Pemberian deep diapragma

breathing pada Ny. P memberikan hasil yan baik, yaitu: peningkatan saturasi

oksigen dan penurunan respiration rate. Pada diagnosa ini ditemukan pasien

mencapai kestabilan saturasi oksigen dengan rasa sesak yang berkurang.

3. Diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas penulis berfokus untuk

membantu pasien memenuhi kebutuhan sehari-hari pasien, seperti: membantu

memberikan makan, menyeka wajah, mengganti pakaian, menemani pasien ke

kamar mandi untuk eliminasi, serta memantau perubahan tanda-tanda vital

sebelum dan sesudah melakukan aktivitas.

4.4.1 Kendala Tahap Implementasi

Selama implementasi asuhan perawatan dalam 3 hari terdapat kendala,

yaitu pasien mencuci rambut karena merasa tidak nyaman dan mengakibatkan

pasien kedinginan sehingga pasien kembali sesak, lalu penulis mengeringkan

rambut pasien dengan hair dryer agar pasien tidak kedinginan.

4.4.2 Kesenjangan Tahap Implementasi

Dalam tahap implementasi, penulis tidak menemukan kesenjangan pada

saat merealisasikan rencana tindakan keperawatan. Prosedur yang dilakukan di


rumah sakit sesuai dengan asuhan keperawatan yang dituliskan pada tinjauan

teoritis.

4.5 Evaluasi Keperawatan

Menurut Asmadi (2010, hlm.178), evaluasi adalah tahap akhir dari proses

keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara

hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap

pereencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan melibatkan klien dan

tenaga kesehatan lainnya.

Evaluasi terhadap Ny.P dilakukan dengan menggunakan metode SOAP

(Subjective, Objective, Analysis and Planning) untuk mengetahui keefektifan dari

tindakan keperawatan yang telah dilakukan dengan memperhatikan pada tujuan

dan kriteria hasil yang diharapkan sesuai dengan rentang normal.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, didapatkan hasil pada tanggal 11

January 2020:

1. Diagnosa keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif b/d peningkatan

mukus, kekentalan sekresi dari bronkospasme menggunakan metode SOAP

diperoleh hasil subjektif, pasien mengatakan masih batuk berdahak dengan data

objektif keadaan umum lemah, pasien dapat mengeluarkan dahak dengan batuk

efektif, tidak ada dispnea, SpO2: 97%, RR: 21x/menit.

2. Diagnosa keperawatan pola nafas tidak efektif b/d penyempitan bronkus

menggunakan metode SOAP diperoleh hasil subjektif, pasien mengatakan sudah

tidak sesak dengan data objektif keadaan umum lemah, pasien tampak tidak sesak,
pasien tidak menggunakan otot bantu nafas, tidak ada dispnea, SpO2: 97%, RR:

21x/menit.

3. Diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas b/d sesak nafas menggunakan

metode SOAP diperoleh hasil subjektif, pasien mengatakan sedikit lelah kalau

beraktivitas dengan data objektif keadaan umum lemah, pasien masih tampak

mudah lelah, tidak ada dispnea, tanda-tanda vital sebelum melakukan aktivitas

SpO2: 96%, RR: 22x/menit, tanda-tanda vital sesudah melakukan aktivitas SpO 2:

96%, RR: 21x/menit dan kebutuhan dasar pasien dalam makan, minum,

kebersihan diri sudah terpenuhi.

4.5.1 Kendala Tahap Evaluasi

Dalam tahap evauasi, penulis tidak menemukan adanya hambatan dalam

hasil dari asuhan keperawatan kepada klien dengan menggunakan metode

penugasan kasus yang diapakai di ruangan Bougenvil II.

4.5.2 Kesenjangan Tahap Evaluasi

Dalam 3 hari perawatan pada hari ke -3, pasien didapati terjadi

peningkatan SpO2, penurunan respiration rate, tidak sesak, tidak menggunakan

otot bantu nafas, dapat mengeluarkan dahak lewat batuk efektif yang sudah di

ajarkan, bunyi nafas bersih/ vesikular, dan intoleransi aktivitas dapat teratasi

sebagian dengan didapati peningkatan toleransi pada aktivitas dasar yang ditandai

dengan perubahan tanda-tanda vital dalam batas normal.

Anda mungkin juga menyukai