Anda di halaman 1dari 25

Referat

RETINOPATI LEUKIMIA

Oleh:
Annisa Sarah Utami
Ari Alvaren
Azzuhra Annisa
Dinda Aisyah
Indah Mayeri AS
Lisdiana Putri
Ravi Sanjani
Tasia Rozakiah L

Pembimbing :
Dr. dr. Nofri Suriadi, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sum-
sum tulang yang ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih dengan manifestasi
adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi. Berdasarkan jenis selnya, leukemia dapat
dibagi menjadi 2 jenis yaitu myeloid dan limfoid. Dan berdasarkan waktu terjadinya
gejala leukemia dibagi menjadi akut dan kronis. Sekitar 50% leukemia berhubungan
dengan mata. Komplikasi dari leukimia yang dapat terjadi pada mata yaitu retinopati
leukemia.1
Retinopati leukemia merupakan manifestasi umum dari leukemia baik akut
maupun kronik. Pada retinopati leukemia dapat dijumpai multipel preretinal dan
intraretinal hemorrhages yang paling banyak ditemukan di posterior, serta juga dapat
dijumpai roth’s spots, bintik-bintik seperti kapas atau cotton wool spots, eksudat,
tortuositas vena retina, selubungan perivaskular dan neurovaskularisasi.1
Hubungan adanya keterlibatan leukemia dan mata dapat disebabkan oleh
infiltrasi orbit dan jaringan lain (iris, koroid, optik saraf), kelainan vaskular yang
mempengaruhi lensa (intraretinal hemorrhages, white central retinal hemorrhages,
bintik-bintik seperti kapas, subhyaloid hemorrhages, vitreus hemorrhages) atau tanda-
tanda gangguan saraf (papilloedema sekunder akibat peningkatan tekanan
intrakranial) dan penyakit sistem saraf pusat pusat (SSP).2
Pada kasus leukemia, pada saat pemeriksaan mata yang dilakukan tidak
memberikan evaluasi yang spesifik. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena pada
mata dapat dievaluasi kapan saja selama perjalanan penyakitnya, jika pasien
mengeluhkan terdapat gejala pada matanya, atau pada pasien dengan faktor risiko
tinggi seperti leukemia sistem saraf pusat, trombositopenia berat atau leukositosis.2,3
Sebelum era terapi antileukemik yang efektif, retinopati diyakini tidak ada
memiliki prognostik yang signifikan pada penyakit leukemia akut. Namun sekarang,
penting untuk dilakukan evaluasi pada mata ketika mendiagnosis leukemia akut padaa
orang dewasa maupun anak-anak. Tujuan referat ini dibuat untuk menambah
pengetahuan dan memahami tentang retinopati leukemia.4

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Retina
Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor
yang menerima rangsangan cahaya. Warna retina biasanya jingga, kadang pucat pada
anemia dan iskemia, merah pada hyperemia. Pembuluh darah di dalam retina
merupakan cabang arteri oftalmika, arteri retina sentral masuk ke retina melalui papil
saraf optic yang akan memberikan nutrisi pada retina dalam. Lapisan luar retina atau
sel kerucut dan batang menerima nutrisi dari koroid.5

Gambar 1. Anatomi Mata 6


Retina terdiri atas 10 lapisan. Lapisan paling dalam dari retina, retina
neurosensorik, beraposisi dengan vitreus, sedangkan lapisan paling luar yaitu epitel
pigmen retina, melekat kuat pada koroid. Di antara retina neurosensorik dan epitel
pigmen retina terdapat ruang potensial yang dapat terisi cairan. Berikut adalah lapisan
retina pada potongan lintang dari luar ke dalam: 7
1. Epitel pigmen retina (RPE, retinal pigment epithelium) dan lamina basal.
2. Segmen dalam (IS, inner segment) dan segmen luar (OS, outer segment) sel-
sel fotoreseptor.
3. Membran limitans eksterna (ELM, external limiting membrane) yang
memisahkan segmen dalam dari fotoreseptor dengan nukleusnya.

2
4. Lapisan inti luar fotoreseptor (ONL, outer nuclear/ layer) terdiri atas badan sel
dari sel-sel batang dan kerucut retina. Pada retina perifer, jumlah badan sel
batang melebihi jumlah sel kerucut yang berbanding terbalik pada retina
sentral
5. Lapisan pleksiform luar (OPL, outer plexiform layer) terdiri dari akson sel
kerucut dan batang, dendrit sel horizontal, dan dendrit sel bipolar.
6. Lapisan inti dalam (INL, inner nuclear layer) terdiri dari nuklei sel horizontal,
sel bipolar, dan sel amakrin. Lapisan ini lebih tebal pada area sentral dari
retina dibandingkan area perifer. Pada lapisan ini ditemukan juga sel
penunjang Müller.
7. Lapisan pleksiform dalam (IPL, inner plexiform layer) terdiri dari sinapsinap
antara dendrit dari sel ganglion dan sel amakrin dan sel bipolar dari akson.
8. Lapisan sel ganglion (GCL, ganglion cell layer) terdiri dari nuklei sel
ganglion, dan juga mengandung fotoreseptor non-batang dan non-kerucut,
yaitu sel ganglion fotosensitif yang berperan penting dalam respon refleks
pada cahaya terang siang hari.
9. Lapisan serabut saraf (NFL, nerve fiber layer) terdiri dari akson dari sel
ganglion yang bersatu menuju ke nervus optikus.
10. Membran limitan interna (ILM, inner limiting membrane) merupakan
perbatasan antara retina dan badan vitreus. Membran limitan interna dibentuk
oleh astrosit dan footplates sel Müller dan lamina basal.

Gambar 2. Gambaran Retina 8

3
Serabut saraf retina memasuki diskus optik yang berbentuk oval dengan
ukuran 1,75 mm (vertikal) dan 1,5 mm (horizontal). Pusat diskus optik terletak 4,5-5
mm di sebelah nasal pusat retina. Diskus optik diproyeksikan sebagai bintik buta pada
pemeriksaan lapang pandang karena tidak terdapat jaringan retina (tidak mengandung
fotoreseptor) di diskus optik. 7
Retina neurosensorik memiliki 3 elemen, yaitu elemen neuronal, glial, dan
vaskular. Elemen neural terdiri dari fotoreseptor (sel batang/ rods dan sel kerucut/
cones), sel bipolar, sel horizontal, sel amakrin, dan sel ganglion. Setiap retina manusia
terdapat sekitar 120 juta sel batang serta 6 juta sel kerucut. Pada fotoreseptor pada
segmen luar terdapat molekul opsin (fotopigmen) yaitu rhodopsin pada sel batang,
dan fotopsin pada sel kerucut. Rhodopsin sangat sensitif terhadap cahaya dan
memungkinkan penglihatan dalam pencahayaan rendah/ gelap dan penglihatan hitam-
putih, sedangkan fotopsin berfungsi pada kondisi terang serta penglihatan warna.
Segmen dalam fotoreseptor berisi nukleus sel serta struktur subselular. Sel kerucut
dapat dibagi menjadi 3 tipe yaitu blue cone, green cone, dan red cone. Sel ganglion
retina fotosensitif juga ditemukan. Sel ini mengandung pigmen melanopsin, dan dapat
terstimulasi oleh cahaya walaupun kerja semua sel batang dan sel kerucut dihalangi.
Sel bipolar berfungsi untuk menghubungkan fotoreseptor dengan sel ganglion. Akson
sel ganglion membentuk lapisan serabut saraf di dalam retina, yang kemudian akan
bergabung dan menjadi saraf optik yang berakhir di otak. Sel horizontal berfungsi
menghubungkan sel-sel bipolar, dan menginterkoneksikan secara lateral
neuronneuron di lapisan pleksiformis luar. Sel amakrin menghubungkan sel bipolar
dengan sel ganglion. Sel glial terdapat di antara akson sel ganglion di dalam retina
dan nervus optikus. Sel penyokong pada retina adalah sel Muller, astrosit, dan sel
mikroglial. 7
Retina memiliki dua suplai perdarahan, dan dua sawar darah-retina
(bloodretinal barrier). Kedua suplai ini bersumber dari arteri optalmika, yang
merupakan cabang pertama arteri karotid interna. Fovea sepenuhnya disuplai dari
koriokapilaris. Bagian luar retina termasuk di dalamnya lapisan pleksiformis luar dan
lapisan nuklear luar, fotoreseptor, epitelium pigmen retina, serta koroid disuplai oleh
koriokapilaris. Koriokapilaris memiliki sel endotel berfenestra 6 sehingga protein
serum dapat bocor. Tight junctions antar-RPE mampu memblok difusi komponen
serum ke dalam ruang subretina sehingga menjadi sawar darahretina eksterna.

4
Sebaliknya, sel endotel pada sirkulasi retina sentral tidak memiliki fenestra (lubang)
dan dihubungkan oleh zonula okludens, menyusun sawar darahretina interna. 7
Retina bagian dalam, yaitu lapisan nuklear interna dan lapisan sel ganglion,
disuplai oleh arteri retinal sentralis, cabang arteri optalmika yang memasuki saraf
optik 4 mm di posterior mata dan berjalan bersama nervus optikus. Arteri retinal
sentralis membagi ke dalam 4 cabang utama arteri serta vena berjalan di dalam
lapisan serabut saraf, dan mencabangkan arteriola serta venula. Cabang-cabang dari
arteriola intraretina ini akan menjadi akpiler yang bersambungan dengan kapiler vena
di semua lapisan bagian dalam retina, ke venula, hingga ke vana terminal sentralis.
Drainase sirkulasi arterial yang berasal dari arteri siliaris posterior akan menuju 1-2
vena vorteks yang berada pada keempat kuadran bola mata. Vena vorteks ini akan
bergabung membentuk vena oftalmika.6 Lapisan RPE terdiri atas selapis sel
heksagonal yang tersebar dari diskus optik hingga ora serrata. Fungsi lapisan RPE
antara lain adalah untuk metabolisme vitamin A, menjaga sawar-retina eksterna,
fagositosis segmen luar fotoreseptor, absorbsi scatter cahaya, dan transpor aktif materi
ke dalam dan ke luar RPE. Sitoplasma sel RPE banyak mengandung granul pigmen
(melanosom). 7

2.2 Fisiologi Penglihatan


Sistem visual meliputi pengambilan informasi dari luar dalam bentuk cahaya
serta analisis dan intepretasi informasi visual. Proses penglihatan dan persepsi visual
ini melibatkan sistem struktur yang kompleks, yang masing-masing dirancang untuk
tujuan tertentu. Rangkaian proses penglihatan meliputi masuknya cahaya pada media
refraksi, fototransduksi, pengiriman impuls melalui jaras penglihatan, serta
intepretasi dan persepsi visual oleh korteks visual.9,10,11

2.2.1 Media Refraksi


Komponen optik mata yang berperan sebagai media refraksi adalah kornea,
humor akuos, lensa, dan badan vitreus. Cahaya yang masuk ke dalam mata
mengalami pembiasan melewati media refraksi pada aksis visual, lalu ditangkap
oleh sel fotoreseptor retina. Aksis visual merupakan garis yang menghubungkan
antara fovea sentralis retina dengan bagian anterior dari kornea, sedangkan aksis
optik adalah garis yang menghubungkan antara poros anterior dengan poros
posterior.9,10,12

5
Apeks pada permukaan anterior kornea memberikan kekuatan refraksi
terbesar. Permukaan kornea memiliki kelengkungan 7,7 mm pada bagian anterior
dan 6,9 mm pada bagian posterior. Pertemuan antara udara dan air mata pada
permukaan kornea membentuk kekuatan lensa positif 43 dioptri dan merupakan
elemen media refraksi utama pada mata.11,12,13

Kekuatan refraksi lensa memiliki kekuatan mencapai 20 dioptri dengan


indeks refraksi 1,36 pada bagian perifer dan 1,4 pada bagian sentral. Lensa mata
berakomodasi melalui kontraksi otot siliaris yang melepaskan regangan zonula
sehingga lensa membulat ketika melihat objek dekat. Otot siliaris akan relaksasi dan
lensa mendatar untuk penglihatan jauh. Badan vitreus adalah gel transparan dengan
kandungan air 98% dan indeks refraksi 1,33 yang sama dengan indeks refraksi pada
humor akuos. Vitreus meneruskan cahaya yang ditangkap menuju retina, serta
sebagai tempat penyimpanan substansi kimia yang berperan dalam metabolisme
retina.9,12,13

2.2.2 Fototransduksi
Retina memiliki dua tipe sel fotoreseptor, yaitu sel kerucut dan sel batang.
Fotoreseptor sel batang dan sel kerucut memiliki perbedaan morfologi, pigmen, dan
distribusi pada retina. Masing-masing sel fotoreseptor tersusun atas segmen luar,
segmen dalam, dan badan sel. Bentuk segmen luar fotoreseptor kerucut meruncing,
sedangkan fotoreseptor sel batang tidak meruncing. Segmen luar tersusun atas 600-
1000 diskus yang mengandung fotopigmen, enzim, dan protein yang terlibat dalam
fototransduksi, yaitu opsin, rodopsin, transdusin, phosphodiesterase (PDE), dan
kromofor 11-cis-retinal.10,14,15

Fototransduksi merupakan proses penangkapan cahaya oleh fotoreseptor


retina untuk diubah menjadi impuls saraf. Foton yang diterima menyebabkan
perubahan konformasional pada fotopigmen, memicu terjadinya kaskade reaksi
kimia yang mengubah energi elektromagnetik menjadi stimulus elektrik.
Fotoreseptor sel kerucut sensitif terhadap cahaya terang, terutama pada siang hari
(fotopik). Fotoreseptor sel batang sensitif terhadap cahaya redup (skotopik). Proses
fototransduksi terjadi di membran diskus segmen luar sel fotoreseptor.12,14,15,16

6
Gambar 3. Sel fotoreseptor retina15

Gambar 4. Kaskade fototransduksi pada segmen luar fotoreseptor12

Penangkapan cahaya oleh rodopsin pada segmen luar fotoreseptor


menyebabkan isomerasi ikatan ganda 11-cis-retinal menjadi all-trans-retinal sehingga
molekul opsin akan mengalami perubahan konfigurasi menjadi fase aktif, yaitu
metarodopsin II. Rodopsin aktif akan memulai reaksi yang memberikan aliran masuk
kation ke segmen luar sel batang, melalui kanal cyclic guanosine monophosphate
(cGMP). Rodopsin akan mengaktifkan molekul kedua yaitu transdusin. Satu molekul
rodopsin dapat mengaktifkan hingga 100 transdusin. Transdusin yang telah aktif akan
memberikan sinyal pada protein ketiga, yaitu rod phosphodiesterase (rod PDE). Rod
PDE akan menyebabkan terjadinya hidrolisis cGMP menjadi 5’noncyclic-GMP.9,11,15

7
Penurunan cGMP menyebabkan kanal ion tertutup dan menghentikan aliran
masuk Na+ dan Ca2+ sehingga sel fotoreseptor mengalami hiperpolarisasi.
Hiperpolarisasi sel fotoreseptor menyebabkan pelepasan glutamat terhenti dari
terminal sinaps. Penurunan kadar glutamat memicu sel bipolar-off hiperpolarisasi dan
sel bipolar-on depolarisasi. Seluruh sel batang akan bersinaps dengan sel bipolar-on.
Sel kerucut akan bersinaps dengan sel bipolar-off dan sel bipolar-on. Sel bipolar akan
meneruskan impuls saraf menuju sel ganglion retina.10,12,15

2.2.3 Jaras Penglihatan


Jaras penglihatan merupakan rangkaian proses pengiriman informasi visual
yang terdapat pada impuls saraf menuju korteks visual. Retina meneruskan impuls
saraf ke saraf optik, kiasma optik, traktus optik, badan genikulatum lateralis, radiasi
optik hingga korteks visual. Korteks visual terdiri dari area korteks visual primer dan
sekunder. Area lain yang berhubungan dengan penglihatan adalah area korteks
frontal.9,10

Gambar 5. Jaras penglihatan10

Sel ganglion retina menerima impuls saraf dari sel bipolar, kemudian sebanyak
1-1,2 juta serabut saraf sel ganglion bersatu menuju diskus optik dan melewati lamina
kribosa memasuki rongga orbita. Serabut saraf bagian nasal retina tersusun dalam pola
radial sederhana. Serabut saraf bagian temporal membentuk berkas papilomakular

8
yang menuju langsung ke diskus. Serabut paling medial merupakan serabut retina
bagian nasal, sedangkan area lateral mewakili serabut temporal. Serabut makula yang
menyusun sepertiga dari serabut saraf optik, terletak pada bagian lateral. Serabut
retina nasal berdekusasi pada kiasma optik dan memasuki traktus optik kontralateral.
Serabut saraf akan sedikit melengkung pada area knee of Wilbrand sebelum
berdekusasi ke kontralateral. Serabut saraf retina temporal memasuki traktus optik
secara ipsilateral.10,15,17

Korpus genikulatum lateralis terletak di posterior talamus dan terdiri dari enam
lapisan. Empat lapis bagian superior merupakan terminal dari akson neuron
parvoselular, sedangkan dua lapis bagian inferior merupakan terminal dari akson
neuron magnoselular. Jalur magnoselular berkaitan dengan persepsi gerak dan
kedalaman. Jalur parvoselular berhubungan dengan fungsi spasial dan persepsi warna.
Serabut saraf retina bagian perifer akan berakhir di bagian anterior. Serabut saraf
kuadran atas retina berakhir di sisi medial. Serabut saraf kuadran makula berakhir di
tengah dan posterior nukleus. Akson yang berasal dari serabut saraf kontralateral akan
berakhir di lapisan ke-1, 4, dan 6, sedangkan akson yang berasal dari serabut saraf
ipsilateral akan berterminasi pada lapisan ke-2, 3, dan 5. Impuls saraf kemudian akan
diteruskan melalui radiasi optik menuju korteks area visual primer.10,14,15

2.2.4 Korteks Visual


Korteks visual terbagi menjadi area visual primer (Broadmann’s area 17) dan
area visual sekunder (Broadmann’s area 18 dan 19). Area visual primer terletak di
bagian superior dan inferior sulkus kalkarin korteks oksipital, memanjang ke anterior
hingga sulkus parieto-oksipital. Setiap sisi area visual primer menerima serabut aferen
dari bagian temporal sisi ipsilateral dan bagian nasal sisi kontralateral. Lapang
pandang kanan direpresentasikan pada hemisfer serebral kiri, dan lapang pandang kiri
pada hemisfer serebral kanan. Serabut saraf dari retina kuadran superior yang
merepresentasikan lapang pandang inferior menuju ke superior sulkus kalkarin.
Serabut saraf dari retina kuadran inferior yang mempresentasikan lapang pandang
superior, menuju ke inferior sulkus kalkarin. Bagian posterior area visual primer
merepresentasikan bagian makula lutea.10,12,15,17

9
Gambar 6. Korteks area visual primer dan sekunder17

Area visual sekunder (Broadmann areea 18) terletak berdekatan dengan area
visual primer. Area ini tidak memiliki striata dan secara histologis menunjukkan enam
lapisan. Area asosiasi sekunder menerima impuls saraf dari area visual primer (V1)
dan badan genikulatum lateralis. Fungsi area visual sekunder adalah menghubungkan
dan menganalisis informasi visual yang diterima oleh area visual primer. Informasi
yang dianalisis memungkinkan individu untuk mengenali dan mengapresiasikan apa
yang dilihat, seperti warna, bentuk, pergerakan, dan disparitas binokular. Area visual
sekunder meliputi area visual 2 (V2), area visual 3 (V3), area visual 4 (V4), dan area
temporal tengah atau disebut juga area visual 5 (V5).10,14,15,17

Area V2 menerima informasi dari area visual primer V1 dan mengatur


informasi ke area visual sekunder lainnya. Informasi visual akan diproyeksikan ke dua
jalur yaitu jalur ventral (what pathway) dan jalur dorsal (where pathway). Jalur ventral
membawa informasi bentuk, warna, dan pengenalan objek melalui V4 menuju korteks
temporal. Jalur dorsal membawa informasi arah dan pergerakan melalui V3 dan V5
menuju korteks parietal. Area pada V5 terdiri dari neuron selektif yang berorientasi
pada arah dan kecepatan pergerakan objek, disparitas binokuler, serta kontras gerak.
Area V3 terlibat dalam pengenalan informasi warna, orientasi, pergerakan, dan

10
sterosepsis. Area V4 terlibat dalam pengenalan objek dan sensitivitas warna.14,15,17

11
2.2.5 Persepsi Visual
Persepsi visual adalah hasil akhir proses interpretasi dari respons sensorik yang
dibuat oleh retina ke rangsangan visual oleh korteks. Persepsi visual terdiri dari
persepsi warna, persepsi ruang, persepsi gerak, dan persepsi kedalaman. Jalur ventral
membawa informasi bentuk dan identitas objek. Jalur dorsal membawa informasi
lokasi objek dan hubungan spasial.9,17,18

2.2.5.1 Persepsi Warna


Warna merupakan sensori subjektif yang diproses melalui stimulasi sel kerucut
oleh cahaya spektrum elektromagnetik dengan panjang gelombang 380 nm - 760 nm.
Persepsi warna normal, trikromatik, dimediasi oleh tiga tipe fotopigmen fotoreseptor
sel kerucut yang sensitif terhadap cahaya dengan panjang gelombang yang pendek,
menengah, dan panjang. Fotoreseptor sel kerucut yang sensitif pada cahaya dengan
panjang gelombang pendek memiliki puncak sensitivitas pada warna biru (415 nm),
gelombang menengah pada warna hijau (530 nm), dan gelombang panjang pada
warna merah (560 nm).9,13,15

Gambar 7. Absorpsi spektrum dari tiga tipe fotopigmen sel kerucut, gelombang
pendek, menengah, dan panjang.11

Warna dapat dinilai melalui tiga kualitas, yaitu rona (hue), saturasi, dan tingkat
intensitas cahaya. Rona dideteksi oleh penjumlahan respon dari beberapa fotoreseptor
yang dideduksi ke dalam gelombang spektrum. Perbandingan dari tingkat penyerapan
oleh tiga tipe sel kerucut memberikan empat persepsi rona utama yaitu biru, kuning,
merah, dan hijau.9,13,15

Saturasi merupakan dilusi rona oleh warna putih. Rona murni memiliki
saturasi komplit, dan dapat mengalami desaturasi hingga tercapai warna putih.
Intensitas cahaya bervariasi dari cahaya redup hingga cahaya menyilaukan.
Pergeseran kromatik yang terjadi saat intensitas meningkat hingga seluruh rona
tampak kuning- putih dinamakan fenomena Bezold-Bruckle, sedangkan saat intensitas

12
menurun hingga seluruh warna tampak akromatik dinamakan Purkinje shift.9,11,15

2.2.5.2 Persepsi Ruang


Penglihatan spasial, berkaitan erat dengan luminans yang melewati suatu
ruang. Stimulus sederhana untuk persepsi ruang adalah sine wave gratings. Sine wave
gratings terdiri dari kisi-kisi batang terang dan gelap secara bergantian. Puncak
luminans digambarkan dengan batang yang terang, dan tidak adanya cahaya dengan
batang yang gelap. Transisi dari batang terang ke gelap bersifat gradual. Karakteristik
dari sine wave grating yaitu frekuensi, kontras, fase, dan orientasi.13,15

Gambar 8. Sine wave (kiri) dan square wave gratings (kanan)13

Frekuensi spasial dari kisi dinyatakan dalam jumlah siklus/derajat sudut visual
atau jumlah siklus per unit ruang. Kontras berkaitan dengan profil luminans,
dinyatakan sebagai selisih antara luminans puncak dan rerata luminans dibagi dengan
rerata luminans kisi (kontras = ∆l / laverage) atau selisih luminans per jumlah luminans
(kontras = [lmax – lmin] / [lmax + lmin]). Kontras bernilai 0% hingga 100%. Fase
merupakan posisi sine wave grating satu dengan yang lainnya. Orientasi merupakan
sudut yang terbentuk oleh kisi. Beberapa stimulus sine wave dapat membentuk
stimulus yang lebih kompleks, yaitu square wave gratings.13,15

2.2.5.3 Persepsi Gerak


Perubahan distribusi cahaya yang jatuh pada retina dari waktu ke waktu
menyebabkan terbentuknya persepsi gerak. Pergerakan yang kita lihat diklasifikasikan
menjadi gerak nyata atau ilusi. Ketika melihat mobil berjalan, perubahan distribusi
cahaya pada retina dari waktu ke waktu menimbulkan persepsi bahwa mobil tersebut
bergerak. Bayangan benda pada retina yang terlihat semakin besar akan dipersepsikan
bergerak mendekat, begitupula sebaliknya ketika semakin kecil akan tampak bergerak

13
menjauh. Deretan lampu-lampu yang berkedip secara berurutan, dengan interval yang
sama di antara kilatannya, akan menimbulkan ilusi gerak. Ilusi gerak tersebut
dinamakan gerak stroboskopik atau fenomena phi.9,13
Persepsi gerak juga dapat terbentuk dari stimulus yang lebih rumit, seperti
ketika melihat manusia berlari. Retina menangkap masing-masing pergerakan dari
kaki maupun tangan pelari. Rangsangan yang diterima akan membentuk suatu
kesatuan bahwa manusia tersebut sedang berlari. Rangsangan ini merupakan
rangsangan tingkat kedua, dan diproses melalui jalur yang berbeda dengan rangsangan
tingkat pertama.1,4
Sebagian besar informasi gerak dibawa oleh jalur dorsal, terutama pergerakan dengan
kecepatan tinggi. Jalur ventral memiliki peran yang lebih sedikit dan diperkirakan
berperan pada stimulus berkecepatan rendah. Informasi gerak diteruskan dari korteks
striata melalui area V5 menuju korteks prefrontal. Sel pada area V5 memberikan
respon terhadap stimuli global. Pergeseran bayangan gambar pada retina terjadi pada
gerakan mata yang cepat, namun melalui persepsi visual, otak berkompensasi agar
gambar tetap stabil.13,19

2.2.5.4 Persepsi Kedalaman


Persepsi kedalaman didapatkan melalui penglihatan binokuler, walaupun
dengan penglihatan monokuler persepsi mengenai kedalaman tetap kuat. Stimulus
kedalaman monokuler terbagi pada piktorial, angular declination, gerak paralaks, dan
akomodasi. Persepsi kedalaman binokuler terbagi pada stereopsis dan konvergensi.
Piktorial dapat direpresentasikan dalam dua dimensi, seperti foto atau lukisan.
Piktorial terdiri dari ukuran relatif, ukuran familiar, perspektif linear, tekstur,
interposisi, kejernihan, serta cahaya dan bayangan. Ukuran relatif merupakan persepsi
jarak benda yang timbul akibat ukuran benda yang berbeda. Benda yang lebih kecil
terlihat lebih jauh dan benda yang lebih besar dipersepsikan terletak lebih dekat.
Perspektif linier merupakan persepsi kedalaman yang diciptakan oleh garis linier.
Persepsi kedalaman dapat terbentuk dari perbedaan tekstur benda. Benda dengan
tampilan tekstur yang detil terlihat lebih dekat dibandingkan dengan benda dengan
tekstur yang nampak lebih halus. Interposisi merupakan persepsi jarak yang timbul
akibat terhalangnya suatu objek oleh objek lainnya, sehingga me sedangkan pada
kejernihan objek terhalang oleh asap .13,20

14
Gambar 9. Stimulus piktorial: (A) ukuran relatif; (B) perspektif linear; (C)
interposisi.13
Angular declination adalah sudut yang dibentuk antara objek dengan garis
datar dan posisi mata. Sistem visual ini digunakan untuk mengukur jarak objek. Gerak
paralaks adalah stimulus kedalaman kinetik monokuler yang dibentuk akibat observer
yang bergerak memfiksasi suatu objek sambil memperhatikan benda- benda sekitar
yang bergerak secara relatif. Sensasi gerak relatif memberikan informasi mengenai
jarak relatif.9,13

Gambar 10. Angular declination13

Persepsi kedalaman binokuler yang terbentuk oleh disparitas retina dinamakan


stereopsis. Perbedaan disparitas dua bayangan retina memungkinkan sistem visual
merekonstruksi kedalaman dari proyeksi bayangan dua dimensi. Stereopsis
merupakan kontributor penting untuk mempresepsikan kedalaman pada jarak dekat.
Disparitas retina menghasilkan stereopsis hanya ketika perbedaan bayangan yang

15
terbentuk cukup kecil untuk memungkinkan fusi. Jika perbedaan terlalu besar, gambar
jatuh pada retina dengan arah yang sangat berbeda, menghasilkan diplopia
fisiologis.11,13,20

Gambar 11. Disparitas retina13

2.3 Definisi
Leukemia didefinisikan sebagai keganasan sel darah yang ditandai dengan
produksi berlebih sel darah putih abnormal. 21 Berdasarkan jenis sel, leukemia dibagi
menjadi dua jenis; myelogenous dan limfoblastik, serta berdasarkan waktu terjadi
dibagi atas dua jenis; akut dan kronik. Setidaknya sebanyak 50% kasus leukemia
menunjukkan keterlibatan pada mata.1
Retinopati leukemia merupakan manifestasi umum leukemia dan ditemukan
baik pada leukemia akut maupun kronis.21 Istilah "retinopati leukemia" biasanya
mengacu pada perdarahan intraretinal, white-centered haemorrhages (Roth spots), dan
bintik-bintik seperti kapas atau cotton wool spots.22 Retinopati leukemia merupakan
manifestasi retina oleh karena anemia, trombositopenia, dan hiperviskositas.
Manifestasi yang paling umum dapat berupa pelebaran vena dan tortuositas.21

2.4 Epidemiologi
Secara global, manifestasi terhadap mata dilaporkan sebanyak 50% dari total
kasus leukemia.1 Koshy J et al, melaporkan bahwa jumlah manifestasi mata pada

16
pasien leukemia sebanyak 42/96 kasus (43,8%).23 Penelitian oleh Dhasmana R et al,
menunjukkan sebanyak 39,3% pasien leukemia memiliki manifestasi terhadap mata.24
2.5 Patofisiologi

Pada leukemia sel ganas akan muncul pada setiap tahap pematangan, yaitu
ditahap limfoid, myeloid, atau pluripotensial. Penyebabnya adalah ekspansi klonal ini
kurang baik di pahami, akan tetapi melibatkan beberapa penyusulan ulang DNA.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan perubahan DNA yaitu, faktor eksternal
seperti obat alkilasi, radiasi, dan bahan kimia, sedangkan faktor internal seperti
kelainan kromosom pada penderita.25
Pengaturan ulang kromosom dapat mengubah struktur atau regulasi onkogen
seluler, misalnya dalam sel B limfositik leukemia, translokasi kromosom dapat terjadi
akibat gen yang biasanya mengatur berat dan sintesis imunoglobulin rantai ringan
setelah itu gen akan mengatur aktivasi sel normal dan proliferasi. Yang mana hasil dari
proliferasi yaitu perkembangan lympoblas. Perkembangan sel yang meluas dan
sumsum tulang mengami kegagalan fungsi. Pansitopeni merupakan tipikal yang
sebagian disebabkan oleh penggantian fisik susum elemen normal oleh sel yang belum
matang. Selain itu sel abnormal dapat mengeluarkan faktor-faktor yang menghambat
hematopoiesis normal.25
Saat sumsum tulang diganti, maka sel abnormal akan masuk ke sirkulasi dan ke
organ lainya seperti hati, limpa dan mata. Mata merupakan salah satu organ yang
terpengaruh. Leukositosis yang berkepanjangan meningkatkan jumlah trombosit yang
bersirkulasi sehingga mengakibatkan peningkatan viskositas darah, aliran darah dan
stagnasi vaskuler berkurang yang mana menyebabkan terputusnya pembuluh darah
perifer dan pembentukan mikroaneurisma, sehingga terjadi retinopati proliferatif.
Keterlibatan mata ini dapat terjadi sebelum sebelum pasien didiagnosis leukemia, atau
selama perjalanan penyakit dan sebagai tanda kekambuhan dari penyajit tersebut.
manifestasi mata yang terkena biasanya sekunder akibat infitrasi langsung terhadap sel
leukemia, dan akibatnya abnormalitas parameter sistemik hematologi, infeksi
oportunistik, atau komplikasi iatrogenik yang timbul akibat kemoterapi.25,26

2.6 Diagnosis

17
Diagnosis retinopati leukimia ini dapat ditengakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang dilakukan. Dari anamnesis didapatkan berupa keluhan sakit
mata, gangguan visual (penglihatan kabur, kehilangan penglihatan), melihat bayangan
hitam/bintik-bintik merah, mempunyai riwayat penyakit leukimia akut maupun kronik
dan mempunyai riwayat pengobatan seperti kemoterapi, sedangkan pada pemeriksaan
fisik dapat dilakukan pemeriksaan pupil Pemeriksaan pupil untuk defek pupil aferen
relatif (RAPD), Ketajaman visual Snellen, dan pemeriksaan fundus dilatasi.26,27
Adapun tanda-tanda retinopati leukimia yaitu:26
1. Pembuluh darah melebar dan berliku-liku akibat gangguan hematologi
2. Perdarahan retina di semua lapisan, terutama dikutup posterior dan ektensi
ke cairan vitreus.
 Perdarahan preretinal
 Perdarahan superfisial
 Perdarahan dot and blot (bintik dan noda)
 Perdarahan berpusat putih / Roth Spots

Gambar 12. Funduskopi mata menunjukkan gambaran Roth spots26

 Perdarahan sub-ILM
 Perdarahan subhyaloid

18
Gambar 13. Funduskopi mata menunjukan pendarahan subhyaloid26

 Perdarahan vitreous

3. Cotton wool spots


Pendarahan berpusat putih yang dikenal dengan “bintik roth” yang
diakibatkan oleh ruptur kapiler retina dan eksudasi darah, yang diikuti
adhesi platelet ke endotel yang rusak melalui kaskade koagulasi dan
pembentukan lesi putih ditengah perdarahan yang merupakan trombus fibrin
platelet. Pada leukimia, bagian tengah yang putih bisa berhubungan dengan
akumulasi sel leukimia.

Gambar 14. Foto fundus mata menunjukkan cotton wool spots26

4. Leukimia infitrat

19
 Tidak selalu disertai dengan pendarahan disekitarnya
 Terdapat garis abu-abu yang disebabkan infitrasi perivaskular lokal
 Nodul abu-abu besar dan berwarna putih dengan berbagai ukuran
 Infitrat subretinal disebut juga sebagai hipopion subretinal
 Infitrasi saraf optik
 Infitrat vitreus
5. Oklusi vaskular – CRVO bilateral karena hiperviskositas

Gambar 15. Foto fundus oklusi vaskular26

6. Mikroaneurisma periper
Karena terjadi viskositas dengan jumlah sel darah putih yang meningkat,
sehingga tidak berkolerasi dengan kadar hemoglobin atau trombosit.
7. Neovaskularisasi periper yang mirip dengan anemia sel sabit yang terlihat
pada CML, terkait dengan peningkatan jumlah leukosit yang kronis.
8. Ablasi retina
9. Infitrat vitreous
10. Infitrat koroid

2.6.1 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan adalah MRI, optical coherence


tomography (OCT), dan biopsi saraf optik.

20
1. Pencitraan resonansi magnetik (MRI) otak dan orbit dengan dan tanpa kontras
Pada pemeriksaan MRI dapat melihat peningkatan atau penebalan saraf optik,
namun, pencitraan mungkin normal dalam beberapa kasus.28
2. Optical coherence tomography (OCT)
Pemeriksaan menggunakan OCT akan menunjukkan penebalan (infiltrasi) atau
penipisan dan hilangnya lapisan serat saraf retinal. Pembengkakan atau atrofi
saraf optik juga dapat terlihat.29
3. Biopsi saraf optik
Biopsi dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kehilangan penglihatan yang
parah. Dalam kasus di mana bagian intra-orbital dari saraf optik terlibat,
pendekatan orbital (misalnya, transkonjungtiva).28,30

2.7 Tatalaksana
Retinopati leukemia biasanya tidak memiliki tatalaksana khusus untuk
memperbaiki masalah visualnya atau secara tidak langsung pengobatan hanya
bertujuan mengobati penyebab penyakit onkologinya.. Perawatan yang dipilih
merupakan terapi sistemik dengan melibatkan multi disiplin tata laksana.Terapi yang
dipilih berupa kemoterapi, imunoterapi, dan radioterapi. Terapi retinopati leukumia
yang terbaik hingga saat ini adalah kemoterapi, dan dosis tyang dipilih harus sesuai
pada stadium leukemia.. Meski tidak ada protokol pengobatan sistematis untuk kasus
retinopati leukimia, banyak ahli onkologi dan dukungan dokter mata iradiasi orbital
jika diperlukan dapat diterapkan. Hal ini dikarenakan adanya hubungan penyakit
retinopati leukimia dengan sistem saraf pusat, yang seringkali tahan untuk kemoterapi
sistemik. Sistem saraf pusat dianggap tempat perlindungan untuk sel leukemia, dan
iradiasi profilaksis dengan atau tanpa intratekal kemoterapi diberikan pada banyak
kasus.31,32
Pengobatan terhadap retinopati leukimia tidak memiliki protokol yang spesifik.
Akan tetapi penyakit tersebut akan membaik jika penyakit onkologi leukimianya bisa
teratasi. Terdapat tiga phase dalam pengobatan retinopati leukimia, yakni fase kronik,
fase akselerasi dan fase krisis. Pada tahap kronis tirosin kinase inhibitor, interferon
alpha, hydroxyurea dan HCT. Terapi retinopati leukimia juga sering digunakan sebagai
obat tunggal dan memiliki prognosis yang baik, yakni Hematopoietic cell tranplantation
(HCT) dan untuk fase akselerasi bisa di inisiasi dalam pemberian imatinib ditambah
dengan allupurinol.31

21
2.8 Prognosis
prognosis pasien dengan retinopati leukimia adalah tidak diketahui karena
perawatannya tergantung pada keganasan leukimia. Oleh karena itu, terapi retinopati
leukimia harus berdasarkan prognosis pada penyakit leukimia yang mendasarinya.31

DAFTAR PUSTAKA

1. Conter V, Rizzari C, Sala M, Chiesa R, Biondi A. Acute lymphoblastic


leukemia. Orphanet Encyclopedia. 2004;14:1-13.
2. Sharma1 T, Grewal J, Gupta S, Murray P. Ophthalmic manifestations of acute
leukaemias : The ophthalmologist’s role Eye. 2004;18:663–72.
3. Levin AV. Retinal hemorrhages: Advances in understanding. Pediatr Clin N
Am. 2009;56:333–44.
4. Schmidt D. The mystery of cotton-wool spots a review of recent and historical
descriptions. Eur J Med Res. 2008;13:231-66.
5. lyas S, Yulianti SR. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam: Ilmu Penyakit Mata.
Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2017. hlm. 1–12.
6. Snell RS. Kepala dan leher. Dalam: Sinambela A, editor. Anatomi Klinis:
Berdasarkan Regio. edisi 9. Jakarta: EGC; 2013. h.805-812

7. Andayani G. Retina. Dalam: Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP,


editors. Buku Ajar Oftalmologi. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. hlm. 40–7.
8. Guyton AC. Physiologi of the human body. 11th edition. Philadelphia: W.B.
Saunders Company; 2003. p.727 ̶ 30.

9. Forrester J V, Dick AD, McMenamin PG, Roberts F, Pearlman E. The Eye:


Basic Science in Practice. Edisi ke-4. Edinburgh: Elsevier; 2016. hlm. 269-
336.

10. Remington LA. Clinical Anatomy and Physiology of the Visual System. Edisi
ke-3. Missouri: Elsevier Butterworth Heinemann; 2012. hlm. 233-50.

11. Levin LA, Nilsson SFE, Hoeve J Ver, Wu SM. Adler’s Physiology of The Eye.
Edisi ke-11. Edinburgh: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 613-712.

12. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. The Eye. Dalam: American Academy of
Ophthalmology. Basic Clinical Science Course Section 2: Fundamentals and
Principles of Ophthalmology. San Fransisco: American Academy of
Ophthalmology; 2018. hlm. 44-8.

22
13. Schwartz SH. Visual Perception: A Clinical Orientation. Edisi ke-4. United
States: McGraw-Hill; 2010. hlm. 169-236.

14. De Moraes CG. Anatomy of the visual pathways. J Glaucoma. 2013;22(5


SUPPL.1):2–7.
15. Skalicky SE. Ocular and Visual Physiology: Clinical Application. Sydney:
Springer; 2015. hlm. 207-359.

16. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Basic Anatomy. Dalam: American
Academy of Ophthalmology. Basic Clinical Science Course Section 12: Retina
and Vitreous. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2018.
hlm. 27–32.

17. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Neuro-Ophthalmic Anatomy. Dalam:
American Academy of Ophthalmology. Basic Clinical Science Course Section
5: Neuro-Ophthalmology. San Fransisco: American Academy of
Ophthalmology; 2018. hlm. 30–3.

18. Freud E, Plaut DC, Behrmann M. ‘What’ Is Happening in the Dorsal Visual
Pathway. Trends Cogn Sci. 2016;20(10):773–84.

19. Cavanaugh J, Berman RA, Joiner WM, Wurtz RH. Saccadic Corollary
Discharge Underlies Stable Visual Perception. J Neurosci. 2016;36(1):31–42.

20. Verhoef B, Vogels R, Janssen P, Janssen P. Binocular depth processing in the


ventral visual pathway. 2016;371(1):1-11.

21. Talcott KE, Garg RJ, Garg SJ. Ophtalmic manifestations of leukemia. Curr
Opin Ophthalmol. 2016;27(6):545–51.

22. Guyer DR, Schachat AP, Vitale S, Markowitz JA, Braine H, Burke PJ, et al.
Leukemic retinopathy; relationship between fundus lesions and hematologic
parameters at diagnosis. Ophthalmology. 1989;96(6):860 ̶ 4.

23. Koshy J, John MJ, Thomas S, Kaur G, Batra N, Xavier WJ. Ophtalmic
manifestations of acute and chronic leukemias presenting to a tertiary care
center in India. Indian J Ophtalmol. 2015;63(8):659 ̶ 64.

24. Dhasmana R, Prakash A, Gupta N, Verma SK. Ocular manifestations in


leukemia and myeloproliferative disorders and their association with
hematological parameters. Ann Afr Med. 2016;15(3);97 ̶ 103.

25. Linteh Wu, MD. Ophthalmologic Manifestation of Leukemias. American


Academy of Ophthalmology. 2020
26. Sashwanthi M. Retinal Manifestations of Leukemia - Leukemic Retinopathy.
American Academy Of Opthalmology. USA. 2021.

23
27. Andrew GL, MD. Leukemic Optic Neuropathy. American Academy Of
Opthalmology. USA. 2021.

28. Myers KA, Nikolic A, Romanchuk K, et al. Optic neuropathy in the context of
leukemia or lymphoma: diagnostic approach to a neuro-oncologic emergency.
Neurooncol Pract. 2017;4(1):60–66.

29. Leal JA, Ponce CM, Lee AG. Optic neuropathy in extramedullary, blast crisis
of chronic myeloid leukemia. Can J Ophthalmol. 2019;54(3):128-131.

30. Gunduz K, Catak E, Erden E. Optic nerve biopsy via a medial transconjunctival
orbitotomy approach in the diagnosis of optic nerve and sheath tumors. Orbit.
2010;29(4):190–193.

31. Awuah, A., Asiedu, K., Adanusa, M., Ntodie, M., Acquah, E., & Kyei, S.
(2015). A case of leukemic retinopathy mimicking common ischemic
retinopathies. NCBI. 2021 (cited 22 Mei 2021).
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4736509/.

32. Salvi SM. Chronic myeloid leukemia presenting as venous statis retinophaty.
Eye. 2005 19;928-929

24

Anda mungkin juga menyukai