Disusun Oleh:
Aditya Zairian
NIM. 1908437638
Pembimbing :
dr. Loriana Ulfa, Sp.THT-KL
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
pula melalui kanalis fasialis sehingga mencederai nervus fasialis. Garis fraktur
berasal dari foramen magnum berjalan tranversal menyebrang apeks petrosus,
kanalis auditori internal, dan kapsul otik yang berakhir pada foramen spinosum dan
laserum. Struktur koklea dan vestibuler seringkali rusak, serta sering pula melukai
nervus fasialis.4-6
4
Serabut dari kedua inti meninggalkan batang otak bersama-sama nervus
Wrisberg atau nervus intermedius dan nervus vestibulokokhlearis (N VIII) melewati
sudut cerebelopontin menuju tulang temporal melalui porus akustikus internus.
Panjang serabut saraf dari nukleus sampai porus kanalis akustikus internus sekitar
15,8 mm, yang dilapisi oleh piamater dan digenangi oleh cairan serebrospinal.9,10
Nervus fasialis dan saraf intermedius berjalan superior dari N VIII sepanjang
8-10 mm sampai dengan fundus kanalis akustikus internus. Selanjutnya di dalam
tulang temporal, nervus fasialis berjalan dalam saluran tulang yang disebut kanal
Fallopi. Intratemporal, nervus fasialis berjalan membentuk huruf Z sepanjang 28-30
mm, yang terbagi atas segmen labirin, timpani dan mastoid.9,10
Segmen labirin berawal dari fundus kanalis akustikus internus sampai
ganglion genikulatum, sepanjang 3-5 mm. Terletak di bawah fossa media, dengan
koklea terletak di anterior, ampula kanalis semisirkularis lateral dan posterior terletak
di posterior dan lateralnya. Segmen ini merupakan segmen terpendek dan tertipis.
Bagian tersempit dari kanal Fallopi adalah bagian pintu masuknya, dengan diameter
0,68 mm dan di segmen ini, nervus fasialis mengisi 83% kanal. Serabut saraf
tersusun jarang dan tidak dibungkus epineurium, dengan pendarahan yang tanpa
anastomosis. Keluar cabang pertama nervus fasialis ari ganglion genikulatum, yaitu
N. Petrosus mayor. Saraf ini membawa serabut motorik sekretorik ke kelenjar
lakrimal. Cabang kedua adalah N. Petrosus eksternal, membawa serabut simpatis ke
arteri meningen media. Cabang ketiga adalah N. Petrosus minor, yang akan
bergabung dengan serabut pleksus timpani yang dipersarafi oleh N IX.9,10
Nervus fasialis akan membelok ke belakang secara tajam membentuk sudut
(pada ganglion genikulatum bagian distal) dan mulai memasuki kanal Fallopi
segmen timpani atau horizontal sepanjang 8-11 mm dan nervus fasialis mengisi 73%
kanal. Berdasarkan rekonstruksi tiga dimensi dengan komputer, Nakashima, Fisch
dan Yanagihara melaporkan adanya segmen tersempit kedua di kanal Fallopi, yaitu
segmen timpani bagian tengah. Bagian akhir dari segmen timpani adalah genu
eksterna, di sini nervus fasialis membelok tajam ke arah bawah.9,10
Segmen mastoid berawal dari genu eksterna, yang terletak posterolateral dari
prosesus piramid. Nervus fasialis berjalan vertikal ke bawah di dinding anterior
prosesus mastoid. Segmen ini merupakan segmen terpanjang nervus fasialis
5
intratemporal yaitu sekitar 10-14 mm dengan nervus fasialis mengisi 64% kanal
Fallopi dan pada segmen ini terdapat 3 cabang, yaitu:9,10
1. Saraf ke m. Stapedius
2. N. Korda timpani
3. Persarafan dari cabang aurikular N. Vagus yang membawa serabut nyeri pada
liang telinga posterior.
Nervus fasialis keluar dari kanal Fallopi melalui foramen stilomastoid,
kemudian berjalan di anterior otot digastrikus posterior dan lateral dari prosesus
stiloid, arteri karotis eksterna dan vena fasialis posterior, kemudian memasuki
kelenjar parotis dan bercabang menjadi dua cabang utama, yaitu divisi atas dan
bawah di pes anserinus. Setelah percabangan utama tersebut, kemudian mengalami
lima percabangan, yaitu cabang temporal (frontal), zigomatikus, bukal, mandibula
dan servikal. Saraf-saraf ini menginversi 23 pasang otot wajah dan muskulus
orbicularis oris.9,10 Gambar 2.3 dan Gambar 2.4 menunjukkan nervus fasialis dan
percabangannya.
6
Gambar 2.4 Diagram skematik dari nervus fasialis, yang memperlihatkan distribusi
motorik, rasa pengecapan, dan parasimpatik9
Cabang dari nervus fasialis dan fungsinya dapat dilihat pada Tabel 2.1
berikut:
Tabel 2.1 Otot-otot wajah dan cabang nervus fasialis yang mempersarafinya.8
Cabang N. VII Otot Fungsi
Aurikuler posterior 1. Aurikular posterior 1. Menarik telinga ke
2. Oksipitofrontalis belakang
2. Menarik kulit kepala
ke belakang
Temporal 1. Menarik telinga ke
1. Aurikular anterior depan
2. Aurikular superior 2. Mengangkat pinna
3. Oksipitofrontalis 3. Menarik kulit kepala
4. Korugator supersilia ke depan
5. Procerus 4. Menarik alis ke medial
dan bawah
5. Menarik alis bagian
tengah ke bawah
Temporal & Zigomatik Orbicularis okuli Menutup mata dan
kontraksi kulit sekitar
mata
Zigomatik & Buccal Zigomatikus mayor Mengangkat sudut mulut
Buccal 1. Zigomatikus minor 1. Mengangkat bibir atas
2. Levator labii superior
7
3. Levator labii sup ala 2. Mengangkat bibir atas
nasi dan lipatan nasolabial
4. Risorius bagian tengah
5. Businator 3. Mengangkat lipatan
6. Levator anguli oris nasolabial bagian
7. Orbikularis oris medial dan ala nasi
8. Nasalis dilator nares 4. Menarik ke lateral saat
9. Nasalis compressor senyum
nares 5. Menarik tepi mulut ke
belakang dan
mengembungkan pipi
6. Menarik tepi mulut ke
atas dan garis tengah
7. Menutup dan
mengembungkan bibir
8. Mengembangkan
lubang hidung
9. Mengecilkan lubang
hidung
Buccal & Mandibula Depressor angulus oris Menarik tepi mulut ke
bawah
Mandibular 1. Depressor labii 1. Menarik bibir bawah ke
inferior bawah
2. Mentalis 2. Menarik dagu ke atas
Servikal Platisma Menarik tepi mulut ke
bawah
8
Gambar 2.5 Perbedaan Parese Nervus Fasialis Sentral dan Perifer11
a. Anamnesis
Cedera kepala yang disebabkan kecelakaan motor merupakan penyebab
terbanyak kasus parese nervus fasialis akibat trauma (10-23%).11 Mekanisme atau
riwayat detail dari trauma harus ditanyakan, termasuk bagian kepala yang terkena
benturan. Ini berhubungan dengan kemungkinan jenis fraktur yang terjadi. Trauma
dari arah frontal atau oksipital sering menyebabkan fraktur tulang temporal jenis
transversal, sedangkan trauma dari arah lateral sering menyebabkan fraktur jenis
longitudinal. Onset dan progresivitas parese nervus fasialis sangat penting. Adanya
gangguan pendengaran atau vertigo setelah trauma tulang temporal harus dicurigai
telah terjadi cedera pada nervus fasialis.11
b. Pemeriksaan Fisik
Segera setelah kondisi umum dan fungsi hemodinamik pasien stabil, dilakukan
pemeriksaan nervus fasialis dan status pendengaran. Termasuk pemeriksaan awal
dengan otoskopi. Sering pemeriksaan awal untuk fungsi nervus fasialis ini terlambat
karena “keadaan darurat” seperti perdarahan aktif dianggap telah teratasi.12
Pemeriksaan THT di telinga meliputi pemeriksaan kanalis akustikus eksternus,
melihat adanya laserasi atau perlukaan. Perhatikan kondisi membran timpani, apakah
9
disertai dengan perforasi atau hemotimpani. Perhatikan juga jenis cairan otore yang
keluar, apakah bercampur darah atau jernih (cairan serebrospinal).12
Komplikasi lain dari kerusakan nervus fasialis adalah air mata buaya (crocodile
tears), yang terjadi akibat penyimpangan regenerasi serabut saraf parasimpatis yang
seharusnya menginervasi kelenjar liur, menjadi menyimpang ke kelenjar lakrimal.
Selain itu dapat pula terjadi hiperkinesis di tendon stapes, yang menimbulkan keluhan
telinga penuh dan bergemuruh.17
Pemeriksaan Fungsi Nervus Fasialis13
Tujuan dilakukannya pemeriksaan fungsi nervus fasialis adalah untuk melihat
dimana letak lesi dan juga dapat sebagai penentuan derajat kelumpuhan motorik yang
dihitung dalam persen.
1. Fungsi Motorik
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggungjawab untuk terciptanya
ekspresi pada wajah seseorang. Adapun urutan otot-otot tersebut dari sisi superior
adalah sebagai berikut:
a. m. frontalis: diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas
b. m. sourcilier: diperiksa dengan cara mengerutkan alis
c. m. piramidalis: diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan hidung
ke atas
d. m. orbikularis okuli: diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata dengan
kuat
e. m. zigomatikus: diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil memperlihatkan
gigi
f. m. relever komunis: diperiksa degan cara memoncongkan mulut kedepan
sambil memperlihatkan gigi
g. m. businator: diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi
h. m. orbikularis oris: diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul
i. m. triangularis: diperiksa dengan cara menarik kedua bibir ke bawah
j. m. mentalis: diperiksa dengan cara memoncongkan mulut tertutup rapat ke
depan.
Setiap gerakan dari kesepuluh otot tersebut, dibandingkan antara bagian
kanan dan kiri:
10
a. Gerakan yang normal dan simetris bernilai tiga (3).
b. Sedikit ada gerakan dinilai satu (1).
c. Diantaranya dinilai dengan dua (2).
d. Tidak ada gerak sama sekali dinilai dengan nol (0).
Keadaan normal akan mempunyai nilai total tiga puluh (30).
2. Tonus
Tonus diperiksa dalam keadaan istirahat, yaitu dengan melihat kesimetrisan
wajah pada lipatan nasolabial, gerakan-gerakan abnormal seperti (tic fasialis,
grimacing, kejang tetanus/rhisus sardonicus, tremor, dan sebagainya). Menurut
Freyss, fungsi tonus cukup penting sehingga penilaian yang dilakukan dengan
menilai lima tingkatan (dapat dilihat pada Gambar 2.6 dan Tabel 2.2). Keseluruhan
jumlah pemeriksaan tonus berjumlah lima belas (15), dengan setiap tingkatan di kali
tiga (3) untuk keadaan normal. Namun apabila terdapat hipotonus maka nilai
dikurangi satu sampai minus dua (- 2).
11
Sudut mulut jatuh Bibir terangkat dan/tertarik ke
>5
Bibir jatuh lateral
Menimbulkan gerakan Gerakan pada sudut bibir saat
asimetrik pada sisi sehat mata berkedip
Wajah Fenomena Bell’s dengan Mata menutup di saat
gerak sklera terlihat mengunyah, bicara atau
tersenyum
Bibir dan filtrum deviasi ke Kontraksi beberapa otot yang
sisi sehat menimbulkan akinesia
3. Sinkinesis
Sinkinesis menentukan suatu komplikasi dari parese fasialis yang sering
dijumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai berikut:
a. Pasien diminta untuk memejamkan kedua mata dengan kuat kemudian
perhatikan apakah ada pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Jika
pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dua (2). jika pergerakan pada sisi
parese lebih dibandingkan dengan sisi normal nilainya dikurangi satu (- 1) atau
dua (-2), tergantung dari gradasinya.
b. Pasien diminta untuk tertawa lebar hingga tampak gigi, kemudian perhatikan
pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah. Penilaiannya sama dengan poin a.
c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu pasien berbicara (gerakan emosi)
dengan memperlihatkan pergerakan otot-otot disekitar mulut. Nilai satu jika
pergerkan normal dan nilai nol (0) jika ada pergerakan tidak simetris.
4. Hemispasme
Hemispasme merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada penyembuhan
parese fasialis yang berat. Hemispasme diperiksa dengan cara pasien diminta untuk
melakukan gerakan-gerakan seperti mengedip–ngedipkan mata secara berulang-
ulang, sehingga akan terlihat jelas gerakan otot-otot pada sudut bibir bawah atau
sudut mata bawah pasien. Untuk setiap gerakan hemispasme dinilai dengan angka
minus satu (-1). Keempat penilaian fungsi motorik memilii total poin lima puluh (50)
atau 100%, setiap gradasi penilaian dikalikan dua sebagai persentasenya.
12
5. Fungsi pengecapan
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. korda timpani,
salah satu cabang nervus fasialis. Sejak Krarup menemukan elektrogustometri untuk
menentukan fungsi pengecapan, maka pemeriksa dapat memeriksa fungsi nervus
korda timpani dengan mudah. Dewasa ini, elektrogustometri MADSEN tipe Go-70
dianggap sebagai alat yang sederhana dan mudah di gunakan untuk memeriksa
fungsi pengecapan. Penderita harus diperiksa dalam ruangan yang tenang agar dapat
berkonsentrasi dengan baik. Pasien diberikan rangsang supra maksimal sebagai
pengenal, kemudian rangsangan diturunkan sampai penderita tidak merasakan lagi
rasa acid-metalic tersebut, dan stimulasi dilakukan pada tepi lidah 1½ cm dari garis
median selama 1-2 detik. Angka normal dari setiap individu berbeda-beda dalam
range yang cukup luas. Beberapa penulis mendapat angka normal sbb :
a. House : Variasi tidak melebihi 20 u.A
b. Krarup : Variasi tidak melebihi 3 E.G.M
c. Freyss : Variasi normal antara 10 – 60 u.A
Yang penting pada pemeriksaan fungsi n. korda timpani adalah perbedaan ambang
rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara kedua
sisi adalah patologis.
6. Schirmer Test atau Naso-Lacrymal Reflex
Pemeriksaaan ini merupakan pemeriksaan terbaik untuk melihat fungsi
serabut-serabut simpati nervus fasialis, yang diterusakan melalui nervus petrous
superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Pemeriksa dapat menghitung
berapa banyak sekresi kelenjar lakrimalis dengan cara meletakkan kertas hisap atau
lakmus lebar 0,5 cm, panjang 5-10 cm pada dasar konjungtiva. Freyss menyatakan
jika terdapat perbedaan kanan atau kiri lebih atau sama dengan 50% maka dianggap
patologis. Pemeriksaan tes schirmer dapat dilihat pada Gambar 2.7 berikut:
13
Gambar 2.7 Tes schirmer13
7. Lainnya
a. Stapedial refleks
Pemeriksaan dilakukan menggunakan alat elektroakustik impedans
meter. Yakni dengan memberikan rangsangan pada m. stapedius untuk melihat
fungsi n. stapedius cabang dari nervus fasialis.
b. Tanda glabella
Ketukkan dengan refleks hammer pada glabella akan menimbulkan
refleks menutup mata (berkedip) secara terus menerus (orang normal hanya
berkedip 1-2 kali saja).
Penurunan fungsi nervus fasialis juga dapat ditentukan menggunakan skala
House-Brackmann (Tabel 2.3)
Tabel 2.3 Derajat menurut House-Brackmann
Derajat Fungsi Derajat Fungsi
14
III. Disfungsi Sedang Umum
Terlihat sinkinesis, kontraktur atau
spasme hemifasial tapi tidak berat.
Saat istirahat, wajah terlihat simetris.
Gerakan
Dahi: pergerakan tertinggal
ringan sampai sedang.
Mata: menutup sempurna dengan
usaha maksimal.
Mulut: kelemahan ringan sampai
sedang, simetris dengan usaha
maksimal.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi berupa CT scanning dengan resolusi tinggi sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis fraktur tulang temporal. Keutuhan osikel
atau tulang-tulang pendengaran juga dievaluasi. Jika memungkinkan, untuk
mendapatkan gambaran yang maksimal, CT scanning yang diminta adalah potongan
koronal aksial dengan irisan 0,6 mm.14
Tes pendengaran dilakukan jika kondisi penderita telah memungkinkan,
mulai dari pemeriksaan audiologi sederhana berupa tes penala, audiometri nada
murni, dan timpanometri. Pemeriksaan ini penting sebagai dasar perkembangan
15
kemajuan pengobatan setelah terapi pembedahan dilakukan dan juga dpaat
menentukan derajat ketulian.14
d. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan parese nervus fasialis perifer terdiri dari operasi dan
konservatif (Gambar 2.8). Terapi konservatif yang diberikan adalah kortikosteroid
dan fisioterapi. Jika parese terjadi langsung setelah operasi, harus dilakukan
eksplorasi segera. Operasi dilakukan mulai dari dekompresi sampai dengan
penyambungan kembali nervus fasialis. Jika parese nervus fasialis terjadi lambat
setelah operasi dilakukan terapi konservatif. Pemeriksaan elektrofisiologis pada saraf
yang parese dilakukan dengan Nerve Excitability Test (NET), Maximal Stimulation
Test (MST), Electroneurography (ENoG), dan evoked electromyography (EMG).15
1. Kortikosteroid
Pemberian obat ini membantu mengurangi edema dan memberikan
pemulihan lebih awal. Fungsi kortikosteroid sebagai anti inflamasi telah lama
digunakan sebagai salah satu terapi parese nervus fasialis perifer. Finsterer mengulas
dalam jurnalnya mengenai banyaknya penelitian yang mendukung efektifitas
kortikosteroid terhadap pasien dengan parese nervus fasialis. Perbedaan grup yang
diberikan kortikosteroid memperlihatkan angka kesembuhan tertinggi sampai 94%,
dibandingkan angka kesembuhan tertinggi 68% pada pasien dengan plasebo.16
16
Penelitian metaanalitik yang dilakukan oleh Quant dkk didapatkan dosis
rekomendasi untuk prednisolon dimulai dari 1 mg/kgBB per hari selama 4 – 6 hari
dengan dosis maksimal 60 mg/hari dan dilanjutkan tappering off. Penelitian lain
yang dilakukan dengan penggunaan metilprednisolon 1-2 mg/kgBB per hari dalam
mengobati parese nervus fasialis.16
2. Rehabilitasi
Secara umum teknik rehabilitasi terdiri dari edukasi pasien, relaksasi, dan
stimulasi otot, serta mirror exercise. Edukasi pasien merupakan faktor yang paling
penting dari terapi ini, karena tanpa pengertian dan arahan yang jelas, pasien akan
berhenti berlatih. Tenik pemijatan berguna untuk menurunkan tonus dan memperoleh
kekuatan otot yang normal. Area pipi, perioral dan dagu, teknik pemijatan yang
efektif adalah dengan cara memasukkan ibu jari ke dalam mulut dan memegang otot
wajah tersebut diantara ibu jari dan jari tangan lainnya. Hal tersebut dilakukan
dengan kuat dan perlahan digerakkan ke arah bibir. Jika otot tidak memilik kekuatan,
dapat dibantu pergerakannya dengan menggunakan jari, kemudian pasien
diinstruksikan untuk mempertahankan kontraksi otot tersebut, lalu jari yang menahan
dilepaskan.17
Teknik rehabilitasi dengan stimulasi elektrik dilakukan dengan menggunakan
vibrator elektrik frekuensi tinggi (>100 Hz). Vibrator diletakkan pada sisi otot yang
lemah selama 5-10 menit untuk memberikan stimulasi sensorik sehingga
mempertahankan tonus otot.17
Teknik mirror exercise, pasien diinstruksikan untuk melatih gerakan wajah di
depan cermin. Hal ini membantu pasien belajar memisahkan dan mengontrol
pergerakan otot secara benar. Latihan dimulai pada sisi otot yang lemah dengan
kecepatan yang bervariasi, usaha kuat. Terdapat fase istirahat diantara pengulangan
gerakan dan melakukannya unilateral ataupun bilateral. Walaupun tidak terdapat
gerakan wajah, serabut saraf akan diaktivasi dan membantu mempertahankan tonus
otot.17
17
2. Proteksi mata
Parese nervus fasialis perifer terjadi lagoftalmus yaitu mata yang tidak dapat
menutup sempurna. Proteksi mata difokuskan pada proteksi terhadap kornea dari
dehidrasi, kering (dry eye) atau abrasi. Proteksi mata yang direkomendasikan adalah
memberikan pelumas mata, menutup mata dengan plester saat malam hari,
pemberian salep mata sebelum tidur, penggunaan kaca mata bila bepergian dan
menghindari angin atau kipas angin. Penatalaksanaan operasi untuk proteksi mata
dapat berupa gold weight implant dengan menanam emas di kelopak mata atas.15,17
e. Prognosis
Prognosis dari parese nervus fasialis bergantung pada :
1. Etiologi
2. Derajat gangguan nervus facialis
3. Usia penderita
4. Onset munculnya gejala
5. Onset terapi
Prognosis akan menurun jika terjadi parese total, onset lebih dari tiga minggu,
usia lebih dari enam puluh tahun dan faktor lain seperti diabetes melitus, hipertensi,
dan kehamilan. 18
18
BAB III
LAPORAN KASUS
Status Pasien
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Selamat Gang Sentosa, Sail, Pekanbaru
Suku Bangsa : Batak-Indonesia
ANAMNESA (autoanamnesis)
Keluhan Utama:
Wajah kiri mencong sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
19
sekarang. Keluhan disertai dengan rasa nyeri dan berdenging pada telinga kiri tanpa
disertai rasa pusing berputar. Riwayat keluar darah dan cairan dari telinga disangkal.
Pasien masih dapat makan dan minum dengan baik, buang air kecil dan buang air
besar normal. Pasien masih dapat diajak berkomunikasi. Keluhan demam, nyeri
kepala, mual, muntah, kejang, gangguan penglihatan, gangguan pengecapan,
penglihatan ganda, bicara pelo, kelemahan, dan kesemutan tubuh sesisi disangkal.
9 hari SMRS, pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien terjatuh
setelah ditabrak motor dari belakang dengan posisi kepala kiri mengenai aspal.
Telinga kiri pasien mengeluarkan darah berwarna merah segar sebanyak ± 5 cc.
Perdarahan dari hidung dan mulut disangkal. Pasien tidak menggunakan helm, sadar,
dan segera dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Rokan Hulu. Pasien
dirawatinap selama dua hari dan diperbolehkan pulang setelah kondisi stabil.
20
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tekanan darah : 130/71 mmHg
Frekuensi Nadi : 70 x/menit, regular, kuat angkat
Suhu Tubuh : 36,0oC
Frekuensi nafas : 20 x/menit, regular
BB : 42,3 kg
TB : 149 cm
IMT : 19,05 (normoweight)
Pemeriksaan Sistemik
Kepala : Normocephal
Mata :
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Lagoftalmus : (-/+)
Toraks : Jantung : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
bising usus (+) 10 x/menit
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)
Kekuatan motorik otot 5/5/5/5, normotonus
Refleks fisiologis: Refleks biceps (+/+), triceps (+/+),
patella (-/-), aschilles (-/-)
Refleks patologis: Refleks Babinski (-/-), chaddock
(-/-), oppenheim (-/-), gordon (-/-)
Sensorik : Raba (+/+), nyeri (+/+), suhu
panas (+/+), suhu dingin (+/+)
21
STATUS LOKALIS THT
Telinga
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Kel. Kongenital Tidak ada Tidak ada
Trauma Tidak ada Tidak ada
Daun Telinga Radang Tidak ada Tidak ada
Nyeri tarik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Gambar
22
Tanda radang/abses Tidak ada Tidak ada
Fistel Tidak ada Tidak ada
Mastoid Sikatrik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Hidung
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Deformitas Tidak ada Tidak ada
Kelainan Kongenital Tidak ada Tidak ada
Hidung Luar Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Sinus Paranasal
Pemeriksaan Dekstra Sinistra
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Rinoskopi Anterior
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Vestibulum Vibrise + +
Radang Tidak ada Tidak ada
23
Cavum Nasi Lapang /Cukup Cukup lapang Cukup lapang
Lapang/Sempit
Lokasi Tidak ada Tidak ada
Jenis Tidak ada Tidak ada
Sekret Jumlah Tidak ada Tidak ada
Bau Tidak ada Tidak ada
Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Konkha Inferior Permukaan Licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Ukuran Normal Normal
Warna Merah muda Merah muda
Konkha Media
Permukaan Licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Cukup lurus / deviasi Cukup lurus Cukup lurus
Permukaan Licin Licin
Warna Merah muda Merah muda
Septum Spina Tidak ada Tidak ada
Krista Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk Tidak ada Tidak ada
Ukuran Tidak ada Tidak ada
Permukaan Tidak ada Tidak ada
Massa Warna Tidak ada Tidak ada
Konsistensi Tidak ada Tidak ada
Mudah digoyang Tidak ada Tidak ada
Pengaruh Tidak ada Tidak ada
vasokonstriktor
24
Gambar
Ada / Tidak
Muara Tertutup sekret
tuba Eustachius Edema
Lokasi
Massa Ukuran
Bentuk
Permukaan
Post Nasal Drip Ada / Tidak
Jenis
Gambar
25
Orofaring/Mulut
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Simetris/ Tidak Simetris Simetris
Palatum Mole + Warna Merah muda Merah muda
Arkus Faring Edema Tidak ada Tidak ada
Bercak/ Eksudat Tidak ada Tidak ada
Dinding Faring Warna Merah muda
Permukaan Licin
Ukuran T1 T1
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Tonsil Muara kripti Tidak melebar Tidak melebar
Detritus Tidak ada Tidak ada
Eksudat Tidak ada Tidak ada
Perlengketan Tidak ada Tidak ada
dengan pilar
Warna Merah muda Merah muda
Peritonsil Edema Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Lokasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk Tidak ada Tidak ada
Tumor Ukuran Tidak ada Tidak ada
Permukaan Tidak ada Tidak ada
Konsistensi Tidak ada Tidak ada
Karies / Radiks Tidak ada Tidak ada
Gigi Kesan Dalam batas Dalam batas
normal normal
Deviasi Tidak ada Tidak ada
Bentuk Normal Normal
Lidah
Tumor Tidak ada Tidak ada
26
Gambar
27
Pemeriksaan kelenjar limfe leher :
Inspeksi : Tidak tampak adanya pembesaran kelenjar limfe leher.
Palpasi : Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar limfe leher.
STATUS LOKALIS
Pemeriksaan Fungsi Nervus Fasialis dengan Metode Freys
1. Pemeriksaan Fungsi Saraf Motorik
No Pemeriksaan Otot Wajah Skor
1 M. frontalis 0
2 M. sourcilier 0
3 M. piramidalis 2
4 M. orbicularis oculi 2
5 M. zigomaticus 2
6 M. relever komunis 2
7 M. businator 2
8 M. orbicularis oris 1
9 M. triangualris oris 1
10 M. mentalis 1
Total 13
2. Tonus Otot : 10
3. Sinkinesis :5
4. Hemispasme : Tidak ditemukan
5. Gustometri : Tidak dilakukan
6. Test Schirmer : Tidak dilakukan
7. Refleks stapedius : Tidak dilakukan
28
Pemeriksaan Gradasi Kerusakan Nervus Fasialis Menurut House Brackmann
Umum
Kelemahan otot wajah yang nyata. Saat istirahat terlihat asimetris ringan
Gerakan
a. Dahi: tidak ada gerakan
b. Mata: tidak menutup sempurna
c. Mulut: asimetris walau dengan usaha maksimal
Kesimpulan : House Brackmann IV (Disfungsi sedang-berat)
Sensoris Wajah:
Raba : (+)
Nyeri : (+)
Suhu dingin : (+)
Suhu panas : (+)
Kesan : Sensoris wajah dalam batas normal
29
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto rongten skull AP/Lateral
Kesan:
Suspek fraktur osteo temporal sinistra
Interpretasi:
1. Mastoid air cell menurun, dinding utuh, tak tampak adanya defect
2. Canalis akustikus eksternus kanan dan kiri terbuka
30
3. Epi tympani, cavum timpani, dan hypo timpani cerah, tak tampakadanya deposit
jaringan
4. Rantai tulang pendengaran/maleus, incus, dan stapes kanan/kiri dalam batas
normal
5. Kontour oval/round window dalam batas normal
6. Kanalis semi circularis horizontal, anterior, dan posterior kanan dan kiri dalam
batas normal
7. Tak tampak adanya pelebaran kanalis akustikus internus kanan dan kiri
8. Kontour canalis carotid/jugular dalam batas normal
9. Penebalan sinus sphenoidalis
Kesan:
1. Mastoiditis bilateral
2. Penebalan sinus sphenoidalis dd/sinusitis kronik
31
d. Riwayat hilang gangguan pendengaran disangkal
e. Riwayat operasi telinga disangkal
f. Riwayat trauma disangkal
Pemeriksaan Fisik
Hidung
Rinoskopi Anterior
Konkha Inferior Eutrofi, merah muda, licin Eutrofi, merah muda, licin
Faring
Tonsil T1 T1
32
5. Test Schirmer : Tidak dilakukan
6. Refleks stapedius : Tidak dilakukan
7. House Brackmann : IV (Disfungsi sedang-berat)
8. Sensoris wajah : Raba (+), nyeri (+), suhu hangat (+), suhu
dingin (+)
Diagnosis Kerja:
a. Parese nervus fasialis perifer sinistra et causa susp fraktur osteo temporal
sinistra, dengan fungsi motorik terbaik 56%, House Brackmann IV (sedang-
berat)
b. Laserasi liang telinga auricular sinistra
Diagnosa Banding:
a. Parese nervus fasialis et causa Bells Palsy
b. Parese nervus fasialis et causa stroke
Terapi :
Inj metilprednisolon 2x125 mg
Inj ceftriaxone 2x1 gr
Inj omeprazole 2x40 mg
Prognosis :
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad sanam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
Nasehat:
Istirahat
Latihan penguatan otot wajah depan cermin
Tutup mata kiri saat tidur dan mandi
33
BAB IV
PEMBAHASAN
Telah dilaporkan satu kasus pasien yang didiagnosis dengan parese nervus
fasialis yang dicurigai akibat fraktur tulang temporal. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan THT dan fungsi
nervus fasialis dengan metode Freys dan House Brackmann, serta pemeriksaan
penunjang berupa foto skull dan CT Scan. Penatalaksanaan dengan terapi
medikamentosa diberikan pada kasus ini.
Kasus yang dilaporkan adalah laki-laki berusia 34 tahun. Hal tersebut sesuai
dengan Pawarti dalam penelitian tentang cedera kepala bahwa laki-laki mempunyai
persentase kejadian cedera kepala sebesar 70,31% dibandingkan perempuan
(29,69%). Laki-laki juga memiliki mobilitas lebih tinggi sehingga memiliki risiko
lebih besar. Kejadian cedera kepala yang tinggi pada usia 20-40 tahun disebabkan
rentang tersebut adalah kelompok usia laki-laki produktif sebagai sumber ekonomi
atau penghasilan keluarga utama. Seluruh pasien yang dilaporkan mengalami
kecelakaan lalu lintas sebagai penyebab tertinggi dari cedera kepala. Hal tersebut
sesuai dengan Pawarti yang melaporkan jika penyebab terbanyak dari cedera kepala
adalah KLL (64%).19
Pasien ini datang dengan keluhan wajah kiri mencong dan nyeri telinga kiri,
dua gejala terbanyak yang terjadi pada trauma yang mengenai tulang temporal dan
telinga tengah.20 Gejala dan tanda fraktur longitudinal meliputi perdarahan dari
telinga yang berasal dari laserasi MAE ataupun hematotimpani, fraktur MAE, atau
gangguan rantai tulang pendengaran yang mengakibatkan gangguan konduksi.
Penulis yang sama juga melaporkan gejala dan tanda fraktur tranversal. Perdarahan
dari telinga jarang didapatkan, namun hematotimpani dapat terjadi walaupun tidak
berhubungan dengan perdarahan telinga. Hematotimpani dapat sembuh spontan
tanpa sisa. Sering pula didapatkan gangguan pendengaran sensorineural atau
campuran berat. Otore yang terjadi mungkin hanya disebabkan oleh laserasi liang
telinga saja.21
Pemeriksaan fisik pada pasien, ditemukan membran timpani telinga kiri sukar
dinilai. Hal ini disebabkan laserasi pada liang telinga yang menyebabkan membran
34
timpani sulit terlihat dan pasien juga mengeluhkan nyeri saat dilakukan
pemeriksaan.21 Tes garpu tala juga menunjukkan adanya tuli konduktif telinga kiri.
Gangguan pendengaran konduksi sering kali didapatkan pada fraktur longitudinal
dan disebabkan oleh hematotimpani, perforasi membran timpani, atau gangguan
sebagian atau lengkap dari rantai tulang pendengaran. Gangguan konduksi persisten
setelah beresolusinya hematotimpani ataupun penyembuhan MT dapat disebabkan
diskontinuitas tulang pendengaran. Indikasi timpanotomi eksplorasi dan rekonstruksi
adalah gangguan pendengaran konduksi lebih dari 30 dB yang bertahan lebih dari
dua bulan. Rekonstruksi osikular paling sering adalah dislokasi artikulasi
inkudostapedial (82%). Apabila fraktur mengenai telinga dalam, maka terjadi
gangguan pendengaran sensorineural.20
Pemeriksaan pada pasien juga menunjukkan adanya kelemahan otot wajah
sisi kiri yang mengarah ke parese nervus fasialis perifer. Berdasarkan penilaian
derajat kerusakan House Brackmann, pasien dikategorikan sebagai grade IV yang
berarti disfungsi sedang-berat, sedangkan berdasarkan kriteria Freys, didapatkan skor
motorik otot 13, tonus otot 10, dan sinkinesis 5. Untuk menentukan derajat kerusakan
nervus fasialis, digunakan sistem gradasi fungsi nervus fasialis dengan sistem House
Brackmann dan Sistem Freys. Sistem House Brackmann merupakan sistem subjektif
dengan skala global, menggunakan 6 derajat fungsi fasialis. Sistem ini menilai
gerakan otot wajah dalam keadaan diam dan bergerak. Sistem ini banyak digunakan
dengan alasan sistem ini sensitif, informatif dan mudah digunakan di klinis.
Kelemahan sistem ini adalah tidak dapat menilai adanya suatu perubahan perbaikan
yang ringan dari fungsi nervus fasialis.22 Adapun sistem Freyss dilakukan penilaian
topografi dan pemeriksaan NET. Penilaian topografi mencakup tes Schirmer, reflek
stapedius dan gustatometri. Dari sistem ini dapat dilaporkan letak lesi dengan
persentase fungsi motorik yang lebih baik disertai kemungkinan prognosis dari hasil
NET. Penggabungan dua sistem ini dinilai cukup mendokumentasikan dan
memberikan penjelasan kelainan nervus fasialis secara mudah, cepat, tidak mahal,
dapat dipercaya dalam menilai perubahan penting di klinik.23 Letak pasti lesi pada
pasien ini tidak bisa ditentukan karena tidak dilakukan pemeriksaan gustometri, test
schirmer, dan refleks stapedius.
35
Pemeriksaan CT Scan dengan resolusi tinggi sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis fraktur tulang temporal, dan juga untuk menilai keutuhan
osikel atau tulang-tulang pendengaran. Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen
skull dan CT Scan maksilofasial tanpa kontras tidak terlihat adanya tanda-tanda
fraktur di tulang temporal. Ini juga telah diasumsikan oleh Hough dan McGee yang
mengatakan ada beberapa jenis fraktur tulang temporal yang tidak terlihat pada
pemeriksaan radiologis.24
Pasien ini didiagnosis dengan parese nervus fasialis perifer sinistra et causa
susp fraktur osteo temporal sinistra, dengan fungsi motorik terbaik 56%, House
Brackmann IV (sedang-berat) dan laserasi liang telinga auricular sinistra. Cedera
kepala berakibat fraktur tulang kepala, memiliki kejadian sekitar 30% dari seluruh
kasus dan telinga merupakan organ sensoris yang paling sering mengalami cedera.
Fraktur tulang temporal dilaporkan terjadi sekitar 14-22% dari fraktur tengkorak.
Kecelakaan kendaraan bermotor menyebabkan 31% kejadian fraktur tulang
temporal.19 Bagian petrosa tulang temporal sangat peka untuk menjadi fraktur akibat
cedera kepala oleh karena posisinya pada dasar kepala, struktur tulang yang kurang
kompak dan adanya rongga-rongga di dalamnya. Lebih kurang 70% dari fraktur
tulang dasar kepala mengenai fossa kranii media dan tulang temporal merupakan
bagian terbesar dari fosa kranii media, sehingga fraktur dasar tengkorak sering
menimbulkan fraktur tulang temporal.20 Parese nervus fasialis pada pasien
merupakan komplikasi dari fraktur tulang temporal. Fraktur tulang temporal yang
menyebabkan cedera saraf fasialis mencapai 6 sampai 7%, seperempat diantaranya
komplet. Cedera saraf fasialis terjadi sekitar 20% fraktur longitudinal dan 50%
fraktur transversal.16,20
Penatalaksanaan pada pasien adalah injeksi metilprednisolon 2x125 mg,
ceftriaxone 2x1 gr, dan omeprazole 2x40 mg. Penatalaksanaan parese nervus fasialis
perifer terdiri dari operasi dan konservatif. Terapi konservatif yang diberikan adalah
kortikosteroid dan fisioterapi. Oral glukokortikoid (kortikosteroid) sebaiknya di
berikan secepatnya setelah onset, setidaknya dalam 72 jam pertama. Penggunaan
kortikosteroid berfungsi untuk mengurangi inflamasi dan edema selama fase akut
sehingga dapat meminimalisir kerusakan saraf. Penelitian sistematic review
menunjukkan bahwa pemberian steroid mempunyai efek terapi yang signifikan untuk
36
perbaikan fungsi motorik wajah.14. Chen dan Ariaga25 menyarankan pemberian
prednison 1 mg/kg/hari selama 10 hari dengan tappering off. Chang dan Cass, seperti
dikutip Patel dan Groppo26 menyatakan pemberian kortikosteroid intravena jangka
pendek dapat mencegah inflamasi serta mengurangi edema saraf dan daerah
sekitarnya, sehingga mengurangi kompresi saraf. Selain kortikosteroid, pasien ini
mendapatkan juga mendapatkan antibiotik. Cefriaxone merupakan obat antibiotik
golongan sefalosporin yang bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan atau
membunuh bakteri. Indikasi pemberian antibiotik adalah laerasi pada auricular
sinistra pasien yang dikhawatirkan akan menjadi sumber infeksi. Omeprazole
merupakan Proton Pump Inhibitor (PPI) yang diberikan sebagai pelindung lambung
dari efek samping steroid.
Penutupan kelopak mata kiri yang tidak sempurna dapat menyebabkan mata
kering dan mudah iritasi. Seharusnya, pasien diberikan proteksi pada mata kiri.
Proteksi mata yang direkomendasikan adalah memberikan pelumas mata, menutup
mata dengan plester saat malam hari, pemberian salep mata sebelum tidur,
penggunaan kaca mata bila bepergian dan menghindari angin atau kipas angin.
Evaluasi keberhasilan terapi pasien tidak dapat ditentukan karena saat pasien
memutuskan untuk pulang setelah menjalani dua hari perawatan. Prognosis dari
parese nervus fasialis ini tergantung dari derajat kerusakan sarafnya, bukan pada
onset waktu terjadinya, begitu yang diungkapkan oleh Mainan, dikutip oleh May dan
Shambough.19
37
BAB V
PENUTUP
38
DAFTAR PUSTAKA
39
11. Mistry RK, Al-Sayed AA. Facial Nerve Trauma. [Updated 2020 Aug 10]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK553095/
12. Gordin E, Lee TS, Ducic Y, Arnaoutakis D. Facial nerve trauma: evaluation and
considerations in management. Craniomaxillofac Trauma Reconstr. 2015;8(1):1-
13.
13. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan nervus fasialis perifer.
Didalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku ajar
ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi 7. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2017: 114-7.
14. Walker NR, Mistry RK, Mazzoni T. Facial Nerve Palsy. [Updated 2021 Jul 10].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549815/
15. Vrabec JT, Coket NJ. Acute Paralysis of the Facial Nerve. In: Bailey, Byron J.
Head & Neck Surgery – Otolaryngology 4th Ed. Vol.2. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. 2006: 2139-53.
16. Finsterer J. Management of peripheral facial nerve palsy. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2008: 265;743–52.
17. Henkelmann TC, May M. Physical therapy and neuromuscular rehabilitation.
Dalam: May M, Schaitkin BM, editors. The facial nerve, 2nd ed. New york:
Thieme. 2000:301-18.
18. Siti Faisa A. Penanganan gangguan fungsi saraf fasialis perifer non-surgikal.
Jakarta. April. 2013.
19. May M, Schaitkin BM, Barry M et al. Trauma to the Facial Nerve: External,
Surgical and Iatrogenic . In: May M, Schaitkin BM, editors. The Facial Nerve,
May’s 2nd Edition. New York: Thieme. 2000:367-82.
20. Hough JVD, McGee M. Otologic Trauma. In: Paparella MM, Shumrick DA et al
editors. Otolaryngology Head and Neck Surgery. 6th ed. Philadelphia: WB
Saunders. 1991:1137-60.
21. Patel A, Lofgren DH, Varacallo M. Temporal Fracture. [Updated 2021 Jun 29].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535391/
40
22. Scheller C, Wienke A, Tatagiba M, Gharabaghi A, Ramina KF, Scheller K, Prell
J, Zenk J, Ganslandt O, Bischoff B, Matthies C, Westermaier T, Antoniadis G,
Pedro MT, Rohde V, von Eckardstein K, Kretschmer T, Kornhuber M, Barker
FG 2nd, Strauss C. Interobserver variability of the House-Brackmann facial
nerve grading system for the analysis of a randomized multi-center phase III
trial. Acta Neurochir (Wien). 2017;159(4):733-38.
23. Alviandi, W & Iswara, A & Bramantyo, B & Hakim, M. Diagnostic utility of
Freyss motor examination, House–Brackmann grading, topognostic tests, and
electrophysiological assessments for unilateral peripheral facial nerve disorder.
Journal of Physics: Conference Series. 2018: 1073.
24. Hough JVD, McGee M. Otologic Trauma. In: Paparella MM, Shumrick DA et al
editors. Otolaryngology Head and Neck Surgery. 6th ed. Philadelphia: WB
Saunders. 1991; 1137-60.
25. Chen DA, Ariaga MA. Acute facial paralysis. In: Pensak ML, ed. Controversies
in otolaryngology. New York: Thieme. 2001: 227-31.
26. Patel A, Groppo E. Management of temporal bone trauma. Craniomaxillofacial
Trauma & Reconstruction. 2010; 3(2): 103-13.
41