Anda di halaman 1dari 17

SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA

REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

DESEMBER 2015

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

ABLASIO RETINA

Disusun Oleh :
Apriani Ermawati Waang, S.Ked
1008012041

Pembimbing :
dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITRAAN KLINIK


SMF/ BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF.DR.W.Z.JOHANNES
KUPANG
2015

HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :
Nama

Apriani Ermawati Waang

NIM

1008012041

Judul Referat

Ablasio Retina

Universitas

Universitas Nusa Cendana

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana.

Kupang,

Mengetahui,

Konsulen

dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M

BAB I
2

Desember 2015

PENDAHULUAN
Ablasio retina (retinal detachment) terjadi ketika retina terpisah dari sel
epitel pigmen retina. Antara sel fotoreseptor retina dengan koroid atau epitel
pigmen tidak terdapat suatu perlekatan struktural, sehingga merupakan titik lemah
yang potensial untuk lepas secara embriologis. Jika retina terlepas dari suplai
darah utama, fotoreseptor secara perlahan akan mengalami degenerasi dan tidak
berfungsi dengan baik lagi.(1)
Penyebab

ablasio

retina

bias

terjadi

akibat

trauma

sehingga

memungkinkan vitreous humor untuk masuk kecelah diantara retina dan epitel
pigmen retina. Gangguan miopi berat juga dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan tersebut. Selain itu peradangan atau kondisi neoplastik akan memicu
munculnya eksudasi serosa yang dapat berujung pada terjadinya ablasio retina.
Keadaan lainnya yakni membrane fibrosa atau vascular yang tumbuh secara tidak
normal atau tumor seperti melanoma malignant pada koroid dibelakang retina.(1)
Epidemiologi kejadian ablasio retina berkisar antara 1 per 10.000 orang
per tahun dan lebih sering terjadi pada laki laki. Ablasi retina atau retinal
detachment terbagi atas 3 yaitu rhegmatogenous retinal detachment, tractional
retinal detachment serta exudative and serous retinal detachment. (2)
Tanda dan gejala yang timbul berupa penurunan visus secara mendadak
tanpa disertai nyeri pada mata, adanya titik hitam pada pandangan, melihat kilatan
cahaya maupun pandangan seperti adanya tirai yang menutupi pandangan pada
mata yang terkena. Pada pemeriksaan akan didapati penurunan ketajaman
penglihatan, gambaran tobacco dust peda pemeriksaan dengan slit lamp, dan
tekanan intraokuler dapat menurun.(1)
Penanganan ablasio retina berupa pembedahan dengan fokus pada
keterlibatan makula. Jika makula terlibat maka operasi merupakan hal yang
bersifat mendesak karena pengaruhnya terhadap penglihatan. Karena gangguan ini
berkaitan dengan pusat penglihatan maka penting untuk dikenali tanda dan
gejalanya sejak awal untuk mencegah prognosis yang buruk.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Ablasio Retina


Ablasio retina (retinal detachment) adalah keadaan terpisahnya lapisan
neurosensoris retina dari sel epitel pigmen retina dimana pada keadaan normal sel
neurosensoris / fotoreseptor biasanya terekat. Tidak terdapat suatu perlekatan
struktural, sehingga menjadi titik lemah yang potensial untuk lepas secara
embriologis. Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koroid atau sel
pigmen epitel akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah
koroid yang bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi
penglihatan yang menetap.(3)
Ablasio retina dibedakan menjadi 4 berdasarkan mekanisme penyebabnya
yakni rhegmatogenous yang terjadi akibat robekan/trauma, tractional yang terjadi
akibat penarikan, exudative akibat cairan seperti darah atau serous yang
tertampung di antara epitel pigmen retina dan neurosensoris retina, dan tumor.(3)

Gambar 2.1. Ablasio retina


2.2. Anatomi Retina
Retina merupakan bagian mata yang peka terhadap cahaya dan terdiri dari
sel-sel kerucut yang bertanggungjawab terhadap penglihatan warna dan sel-sel
batang yang bertanggungjawab terhadap persepsi hitam dan putih serta
penglihatan pada area gelap. Ketika sel batang dan sel kerucut tersensitisasi, maka
sinyal akan ditransmisikan pertama melalui lapisan saraf pada retina dan akhirnya
kedalam serabut saraf optic dan korteks serebral.(4)
Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare,
dan berakhir di tepi ora serrata. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk
dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga bertumbuk dengan

membrane Bruch, koroid dan sklera. Disebagian besar tempat, retina dan
epitelium pigmen retina mudah terpisah hingga membentuk suatu ruang subretina,
seperti yang terjadi pada ablasio retina. Tetapi pada diskus optikus retina dan
epitelium pigmen retina saling melekat kuat sehingga membatasi perluasan cairan
subretina pada ablasio retina.

Gambar 2.2. Anatomi Mata dan Retina


Retina terdiri atas 10 lapisan (luar kedalam) yakni : (1) Membrana limitan
interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca, (2) Lapisan
serabut saraf, yang mengandung akson akson sel ganglion yang berjalan menuju
ke nervus optikus dimana dalam lapisan lapisan ini terletak sebagian besar
pembuluh darah retina, (3) lapisan sel ganglion, yang merupakan lapis badan sel
dari pada nervus optikus, (4) lapisan pleksiform dalam, yang mengandung
sambungan sambungan sel ganglion dalam sel amakrin dan sel bipolar, (5)
lapisan inti dalam, merupakan badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal yang
mendapat metabolisme dari arteri retina sentral (7) lapisan pleksiform luar yang
mengandung sambungan sambungan sel bipolar dan sel horizontal dengan
fotoreseptor, (8) lapisan inti luar, yang merupakan susunan lapis nukleus, sel
kerucut dan batang, (9) membrana limitan eksterna, yang merupakan membram
ilusi, (9) lapisan fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang
yang mempunyai bentuk ramping dan sel kerucut dan (10) epitelium pigmen
retina.(4)

Gambar 2.3. Lapisan Retina


Pada retina terdapat fovea yang berperan penting pada proses melihat yang
bersifat akut dan detail. Fovea hanya berukuran 0,3 mm untuk diameter dan terdiri
dari sel kerucut yang berperan pada proses melihat secara detail. Pada sel batang
terdapat rodopsin yang berperan dalam proses melihat sementara pada sel kerucut
terdapat 3 jenis pigmen warna dengan fungsi yang hampir sama dengan rhodopsin
kecuali dalam hal sensitivitas terhadap spektrum warna. Baik rhodopsin maupun
pigmen warna merupakan sejenis protein terkonjugasi. Keduanya bergabung
dalam membran piringan dalam bentuk protein transmembran. 4 segmen
fungsional pada sel batang dan sel kerucut adalah: (1) segmen luar, (2) segmen
dalam yang mengandung mitokondria yang berperan dalam menyediakan energi
dan untuk fotoreseptor dan (3) nukleus dan (4) badan sinaptik.(4)
Suplai darah bernutrisi untuk bagian dalam retina berasal dari arteri retina
sentralis, yang memasuki bola mata melalui pusat saraf optik dan selanjutnya
mempercabangkan diri untuk menyuplai seluruh permukaan dalam arteri.
Sementara lapisan terluar retina melekat pada koroid yang juga merupakan
jaringan kaya pembuluh darah di antara retina dan sklera. Lapisan luar retina,

terutama segmen luar sel batang dan sel kerucut sangat bergantung terutama pada
difusi pembuluh darah koroid untuk nutrisinya, terutama untuk oksigen.(4)
2.3. Fisiologi Retina
Retina memiliki dua sel fotoreseptor yaitu sel batang atau rod dan sel
kerucut atau cone. Baik sel batang maupun sel kerucut mengandung bahan kimia
yang akan terurai bila terpajan cahaya dan dalam prosesnya akan merangsang
serabut saraf yang berasal dari mata. Bahan kimia tersebut adalah rodopsin dan
pigmen warna. Rodopsin adalah suatu glukulipid membran yang separuh
terbenam di lempeng membran lapis ganda pada segmen paling luar fotoreseptor.
Penyerapan cahaya puncak pada rodopsin terjadi pada panjang gelombang sekitar
500 nm, yang terletak di daerah biru-hijau spektrum cahaya. Bila sudah
mengabsorbsi energi cahaya, rodopsin segera terurai dalam waktu sepersekian
detik. Penyebabnya adalah fotoaktivasi elektron pada bagian retinal dari rodopsin
yang akhirnya menjadi metarodopsin I kemudian metarodopsin II dan akhirnya
dalam waktu yang jauh lebih lambat akan menjadi produk pecahan akhir.
Metarodopsin II yang disebut rodopsin teraktivasi, merangsang perubahan elektrik
dalam sel batang yang kemudian menghantar bayangan penglihatan ke sistem
saraf pusat dalam bentuk potensial aksi nervus optikus.
Secara singkat dijelaskan bahwa sel- sel fotoreseptor pada retina, mampu
mengubah rangsang cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh
lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus dan pada akhirnya ke korteks
pengelihatan oksipital. Fotoreseptor tersusun sedemikian rupa sehingga meningkat
di pusat makula, dengan kerapatan sel batang lebih tinggi di perifer. Fovea
berperan pada resolusi spasial (ketajaman penglihatan) dan pengelihatan warna
yang baik karena banyaknya jumlah sel kerucut disana. Kedua peran tersebut
memerlukan pencahayaan ruang yang terang sementara retina sisanya terutama
digunakan untuk melihat gerak, kontras, dan penglihatan malam (skotopik).
Penglihatan skotopik seluruhnya diperantara oleh fotoreseptor sel batang.
Penglihatan siang hari terutama oleh fotoreseptor kerucut, sore atau senja
diperantarai oleh kombinasi sel batang dan kerucut, dan pengelihatan malam oleh
fotoreseptor batang. Fotoreseptor dipelihara oleh epitel pigmen retina, yang
7

berperan penting dalam proses penglihatan. Epitel ini bertanggung jawab untuk
fagositosis segmen luar fotoreseptor, transportasi vitamin, mengurangi hamburan
sinar, serta membentuk sawar selektif antara koroid dan retina, Membran basalis
sel-sel epitel pigmen retina membentuk lapisan dalam membran bruch, yang juga
tersusun

atas

matriks

ekstraseluler

khusus

dan

membran

basalis

korikapilarissebagai lapisan luarnya. Sel-sel epitel pigmen retina mempunyai


kemampuan terbatasdalam melakukan regenerasi.(4)
2.4. Epidemiologi Ablasio Retina
Ablasio retina dibagi menjadi

tiga jenis utama yaitu

ablasio

regmatogenosa, ablasio traksi dan ablasio eksudatif dengan bentuk tersering yaitu
ablasio retina regmatogenosa atau sering dinamakan ablasio retina primer. Insiden
ablasio retina di Inggris antara 6.3 sampai 17.9 orang per 100.000 dengan 7300
kasus baru. Distribusi umur paling sering terjadi pada usia 70-74 tahun dengan
insiden 60 per 100.000 meskipun pada kondisi tertentu, golongan usia muda
beresiko tinggi khususnya pada kelompok yang memiliki miopia yang tinggi. Pria
memiliki resiko yang 1.5 kali lebih tinggi terkena ablasio retina meskipun tidak
terlalu menunjukkan perbedaan yang berarti antara laki-laki dan perempuan. (5)
Berdasarkan penelitian lainnya, kejadian ablasio retina mencapai 1 : 10000
orang dengan prevalensi sekitar 0,4% pada orang tua. Faktor penyebab yang
paling umum di seluruh dunia terkait dengan ablasi retina adalah miopia (yaitu,
rabun jauh), afakia, pseudofakia (yaitu, pengangkatan katarak dengan implan
lensa), dan trauma. Sekitar 40-50% dari semua pasien dengan ablasio retina
memiliki miopia, 30-40% telah mengalami pengangkatan katarak, dan 10-20%
mengalami trauma langsung pada mata. Ablasio traumatis lebih sering terjadi
pada orang muda, dan ablasio miopi paling sering terjadi pada orang berusia 2545 tahun.(2)
Prevalensi ablasio retina pada emetropi dan orang dengan miopia diatas
minus 10 D adalah 0,2% berbanding 7%. Berdasarkan usia, ablasio retina
biasanya terjadi pada usia 40 70 tahun. Namun, cedera paintball pada anak-anak
dan remaja menjadi penyebab semakin umum dari cedera mata, termasuk ablasio
retina traumatis.(2,6)

2.5. Klasifikasi Ablasio Retina


Berdasarkan klasifikasinya, ablasio retina dibagi menjadi :
1. Ablasio retina rhegmatogenosa
Pada tipe ini, terjadi robekan pada retina sehingga cairan yang masuk ke
belakang antara sel pigmen dengan sel fotoreseptor. Terjadi pendorongan
retina oleh badan kaca cair (vitreous fluid) seperti yang masuk melalui
robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan
retina dan terlepas dari lapisan epitel pigmen.(7)
Karakteristik ablasio retina rhegmatogenosa adalah pemutusan total
(full thickness) di area sensorik, tarikan korpus vitreus dengan derajat yang
bervariasi dan mengalirnya korpus vitreus cair melalui defek retina sensorik
ke dalam ruang subretina. Ablasio retina rhegmatogenosa spontan biasanya
didahului oleh pelepasan korpus vitreus. Miopia, afakia, lattice degeneration
dan trauma mata biasanya berkaitan dengan ablasio retina jenis ini.(7)
Letak pemutusan retina bervariasi sesuai dengan jenisnya. Robekan
tapal kuda paling sering terjadi di kuadran superotemporal; lubang atrofik
pada kuadran temporal, dan dialisis retina di kuadran inferotemporal. Ablasio
retina yang berlokasi di daerah supratemporal sangat berbahaya karena dapat
mengangkat makula. Penglihatan akan turun secara akut pada ablasio retina
bila lepasnya retina mengenai macula lutea.(8) Jenis ini termasuk dalam
emergency oftalmologi karena dapat menyebabkan kebutaan jika tidak diatasi.
Etiologi dari ablasio retina bervariasi. Kondisi vitreus merupakan faktor
yang penting dalam timbulnya ablasio retina rhegmatogenous. Beberapa hal
yang dapat menyebabkan perubahan struktur cairan vitreus antara lain umur,
dimana menurut epidemiologi meningkat seiring usia, myopia yang tinggi,
trauma, operasi katarak, dan inflamasi okular. Karena itu penyebab tersering
adalah destruksi pada korpus vitreous yang terkait usia. Hal ini dapat
menyebabkan lubang dan robekan akibat tarikan pada retina perifer. Akibatnya
vitreous humour dapat masuk dan menyebar sehingga terjadi pemisahan
antara lapisan neurosensoris. Insidennya sekitar 0,01% dari kasus ablasio
retina secara keseluruhan dan terbanya pada usia 50-70 tahun. Gambaran
klinis berupa photopsia dan skotoma yang absolut. Jika makula tidak terlibat
9

maka ketajaman penglihatan baik. Diagnose dibuat secara klinis dengan


indirek oftalmoskop dengan midriasil. Tujuannya untuk mendeteksi penyebab
kerusakan retina.(8,9)
2. Ablasio retina traksi
Pada ablasio ini, lepasnya jaringan retina akibat tarikan jaringan parut
pada badan kaca. Dibandingkan degan ablasio retina regmatogenosa, ablasio
retina akibat traksi memiliki bentuk yang khas, yakni permukaan yang lebih
konkaf dan cenderung lebih lokal, biasanya tidak meluas ke ora serata. Gayagaya traksi yang secara aktif menarik retina sensorik menjauhi epitel pigmen
di bawahnya disebabkan oleh adanya membran vitreosa, epiretina atau
subretina yang terdiri dari fibroblast dan sel glia atau sel epitel pigmen retina.
(7,8)

Etiologi yang berkaitan antara lain retraksi post trauma, proliferasi


vitreoretinopathy (diabetes mellitus, oklusi vascular retina, dan trauma),
retinitis proliferans post hemoragic, retinopati pada prematuritas dan sicle cell
retinopati dan gangguan vitreoretinal lainnya yang bersifat herediter. Pada
retinopati diabetik proliferatif, sudah terjadi proses neovaskularisasi,
pembuluh darah baru, tanpa sel perisit pembuluh darah baru ini mudah pecah
dan mengalami perdarahan. Apabila terjadi perdarahan berulang, dapat terjadi
jaringan fibrosis atau sikatriks pada retina. Sikatriks dan jaringan fibrosis ini
akan menarik retina sampai lepas, sehingga dapat terjadi ablasio retina.(9,10)
3. Ablasio retina eksudatif
Terjadi akibat tertimbunnya eksudat di bawah retina dan mengangkat
retina. Penimbunan cairan subretina sebagai akibat keluarnya cairan dari
pembuluh darah retina dan koroid. Kelainan ini dapat terjadi pada skleritis,
koroiditis, tumor retrobulbar, radang uvea, idiopatik, toksemia gravidarum.
Cairan di bawah retina tidak dipengaruhi oleh posisi kepala. Permukaan retina
yang terangkat akan terlihat licin. Penglihatan dapat berkurang dari ringan
sampai berat. Ablasi ini dapat hilang atau menetap bertahun-tahun setelah
penyebabnya berkurang atau hilang.(7)
Komposisi cairan interstitial koroid memainkan peranan penting dalam
patogenesis dari ablasi retina eksudatif. Komposisi cairan interstitial koroid

10

dipengaruhi oleh tingkat permeabilitas pembuluh darah koroid. Setiap proses


patologis yang mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah koroid
berpotensi dapat menyebabkan ablasi retina eksudatif. Adanya kerusakan pada
epitel pigmen retina, mencegah aksi pemompaan cairan dan dapat
menyebabkan akumulasi cairan dalam ruang subretinal yang juga mengarah
pada terjadinya ablasio retina eksudatif.(9)
Etiologi yang paling sering akibat penyakit sistemik termasuk toxocemia
pada kehamilan, hipertensi renal dan poliarteritis nodosa termasuk juga
kelainan vaskular serta penyakit okular seperti Haradas disease, keganasan
atau tumor pada koroid atau retina seperti melanoma choroid, retinoblastoma,
hemangioma, melanoma malignant, metastasis, tumor vasoproliferasi retina
perifer, gangguan sistemik (leukemia, hipertensi, preeclampsia); gangguan
vascular retina, dan inflamasi.(9,10)
Diagnosa dapat memperhatikan perubahan terjadi seiring dengan
perubahan posisi dan permukaanya bersifat lunak. Gejala lainnya yang
mengarah pada diagnose ini adalah masa prominen, dilatasi vena retina, dan
tanda-tanda peradangan lainnya.(9)

2.6. Penegakkan Diagnosa


1. Anamnesis (11,12)
Pada anamnesis penting untuk digali tentang keluhan yang dialami pasien dan
riwayat dapat ditemukan :
Penurunan tajam penglihatan. Pasien mengeluh penglihatannya sebagian
seperti tertutup tirai yang semakin lama semakin luas. Pada keadaan yang
lebih lanjut dapat terjadi penurunan tajam penglihatan yang lebih berat.
Floaters (terlihat benda melayang-layang), terjadi karena adanya
kekeruhan di vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau
degenerasi vitreus itu sendiri. Kadang-kadang penderita merasakan
adanya penghalang atau bayangan yang datang dari perifer (biasanya dari
sisi nasal) meluas dalam lapangan pandang. Penghalang ini bergerak

11

bersama-sama dengan gerakan mata dan menjadi lebih nyata. Pada


stadium awal, penglihatannya membaik di malam hari dan memburuk di
siang hari terutama sesudah stres fisik (membungkuk, mengangkat) atau
mengendarai mobil di jalan begelombang.
Fotopsia (kilatan cahaya, tanpa adanya cahaya di sekitarnya) yang
umumnya terjadi sewaktu mata digerakkan dalam keremangan cahaya
atau dalam keadaan gelap. Keadaan ini disebabkan oleh tarikan pada
retina dan bisa terjadi pada orang normal jika terjadi cedera tumpul pada
mata.
Selain itu, dari anamnesis perlu ditanyakan adanya riwayat trauma,
riwayat pembedahan sebelumnya (seperti ekstraksi katarak, pengangkatan
corpus alienum intraokuler), riwayat penyakit mata sebelumnya (uveitis,
perdarahan viterus, ambliopa, glaukoma dan retinopati diabetik), riwayat
keluarga dengan penyakit mata serta penyakit sistemik yang berhubungan
dengan ablasio retina. Juga riwayat penyakit dalam keluarga.
2. Pemeriksaan fisis dan oftalmologis (6)
Pemeriksaan visus, dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat
terlibatnya makula lutea ataupun terjadi kekeruhan media penglihatan
atau badan kaca yang menghambat sinar masuk. Keterlibatan makula
dalam patomekanisme gangguan menentukan ketajaman penglihatan
penderita. Pemeriksaan ketajaman penglihatan baik dekat maupun jauh,
kemudian dilakukan koreksi pada kelainan refraksi.
Pemeriksaan lapangan pandang, akan terjadi lapangan pandang seperti
tertutup tabir dan dapat terlihat skotoma relatif sesuai dengan kedudukan
ablasio retina. Kadang pada lapangan pandang akan terlihat pijaran api
seperti halilintar kecil dan fotopsia.
Pemeriksaan pupil dan tanda-tanda trauma
Pemeriksaan funduskopi, yaitu salah satu cara terbaik untuk
mendiagnosis ablasio retina dengan menggunakan binokuler indirek
oftalmoskopi. Pada pemeriksaan ini ablasio retina dikenali dengan
hilangnya refleks fundus dan pengangkatan retina. Retina tampak keabuabuan yang menutupi gambaran vaskuler koroid. Jika terdapat akumulasi

12

cairan bermakna pada ruang subretina, didapatkan pergerakkan undulasi


retina ketika mata bergerak. Pembuluh darah retina yang terlepas dari
dasarnya berwarna gelap, berkelok-kelok, dan membengkok di tepi
ablasio. Suatu robekan pada retina terlihat agak merah muda karena
terdapat pembuluh koroid dibawahnya. Mungkin didapatkan debris
terkait pada vitreus yang terdiri dari darah dan pigmen atau ruang retina
dapat ditemukan mengambang bebas.

Gambar 2.4 Gambaran pemeriksaan funduskopi pada pasien


ablasio retina rhegmatogenesa

Gambar 2.5 Gambaran pemeriksaan funduskopi pada pasien eksudatif


ablasio retina
Pemeriksaan tekanan bola mata, pada ablasio retina tekanan
intraokuler kemungkinan menurun.

13

Pemeriksaan imaging, kecuali ruptur terjadi secara keseluruhan, fraktur


orbital / daerah wajah atau benda asing intraocular dicurigai, teknik
pencitraan, seperti CT-scan atau MRI, tidak dibenarkan untuk
mengevaluasi ablasio retina. Ultrasonografi, yaitu ocular B-Scan
ultrasonografi juga digunakan untuk mendiagnosis ablasio retina dan
keadaan patologis lain yang menyertainya seperti proliverative
vitreoretinopati, benda asing intraokuler. Selain itu ultrasonografi juga
digunakan untuk mengetahui kelainan yang menyebabkan ablasio retina
eksudatif misalnya tumor dan posterior skleritis.
2.7. Penatalaksanaan (7,9)
Penanganan yang cepat dan tepat akan mengurangi gejala permanen dan
pembedahan merupakan terapi pilihan yang memberikan hasil yang baik.
Pembedahan dilakukan secepatnya dan sebaiknya antara 1-2 hari. Tujuan
penanganan adalah untuk melekatkan kembali retina yang lepas denga krioterapi
atau laser. Krioterapi yang digunakan dapat hanya di permukaan maupun
krioterapi setengah tebal sesudah reseksi sklera. Hal ini dilakukan dengan atau
tanpa mengeluarkan cairan subretina. Pengeluaran hanya akan dilakukan terutama
di daerah yang paling tinggi ablasinya. Teknik operasi yang dapat dilakukan
antara lain:
Retinopeksi pneumatic dilakukan dengan cara udara dimasukkan ke dalam
viterus untuk mempertahankan retina pada posisinya. Teknik pelaksanaan
prosedur ini adalah dengan menyuntikkan gelembung gas ke dalam vitreus
untuk mempertahankan retina pada posisinya.Jika robekan dapat ditutupi oleh
gelembung gas, cairan subretinal akan menghilang 1-2 hari. Pasien harus
mempertahankan posisi head precise selama 7-10 hari untuk meyakinkan
gelembung terus menutupi robekan retina.Untuk menutupi robekan pada
retina dapat juga dengan menggunakan laser (argon laser coagulation) atau
krioterapi.
Scleral buckling bertujuan untuk menutup robekan retina dengan cara
indentasi sklera untuk mengurangi daya tarikan intravitreus dan melekatkan

14

daerah robekan dengan epitel pigmen atau singkatnya mempertahankan retina


pada posisinya. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan sklera eksplan
yang dijahitkan mengelilingi sklera pada daerah robekan retina sehingga
robekan tertutup akibat tekanan atau indentasi. Penanganan awal dari ablasio
retina yaitu batasi aktivitas fisik pasien dan batasi pergerakan bola mata.
Vitrektomi.
Vitrektomi merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio
akibat diabetes, ablasio regmatogenosa yang disertai traksi vitreus atau
hemoragik vitreus. Vitrektomi yaitu pelepasan traksi vitroretina, jika
diperlukan penyuntikan perfluorocarbon atau cairan dan udara atau gas yang
dapat mempertahankan posisinya jika dibutuhkan tamponade retina lebih
lama.

Gambar 2.6. penanganan ablasio retina


2.8. Prognosis
Prognosis ablasio retina dapat baik jika cepat dikenali dan ditangani lebih
awal. Apabila meliputi daerah makula maka kemungkinan pengembalian
penglihatan sangat rendah. Ablasio retina memiliki risiko berulang.(7)

15

BAB III
PENUTUP

Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel


kerucut dan sel batang retina dari sel epitel pigmen retina. Berdasarkan
epidemiologi, insiden ablasio terjadi pada usia tua dengan risiko yang lebih besar
pada laki-laki. Faktor penyebab ablasio retina banyak antara lain miopia dan
trauma. Ablasio retina dibagi atas tiga bagian yaitu rhegmatogenosa, eksudatif
dan traksi.
Gejala dari ablasio retina adalah adanya floater, fotopsia, dan penurunan
tajam penglihatan. Pada pemeriksaan funduskopi diperoleh retina yang
mengalami ablasio tampak sebagai membran abu-abu merah muda yang
menutupi gambaran vaskuler koroid dan terlihat adanya robekan retina berwarna
merah.
Prinsip penatalaksanaan pada ablasio retina adalah cepat dan tepat
melekatkan kembali lapisan neurosensorik ke lapisan epitel pigmen retina dengan
jalan pembedahan. Prognosis dari ablasio retina tergantung pada keterlibatan
makula. Pada miopia tinggi, karena ada degenerasi retina, maka prognosis buruk.

16

DAFTAR PUSTAKA
1

Olver J, Cassidy L. Opthalmology at a Glance. Blackwell


Publishing.2009.84-85
2 Lang, Gerhard K. Retinal Detachment In Ophthalmology A Short Textbook.
New York. 2000. P:328-32
3 Lang, Gerhard K. Retinal Detachment In Ophthalmology A Pocket Textbook
Atlas. New York. 2007. P:339-42
4 Guyton, Hall. Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. 2008. P654-57
5 Gout I; Mellington F; Tah V; et al: Retinal Detachment An Update of the
Disease and Its Epidemiology A Discussion Based on Research and
Clinical Experience at the Prince Charles Eye Unit, Winsdor, England.
Diakses dari http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/31148.pdf
6 Pandya H. K.; OConnor R:. Retinal Detachmentupdate April 2014. Diakses
dari : http://emedicine.medscape.com/article/798501-clinical
7 Sidarta, Ilyas. Ablasio Retina Dalam Ilmu Penyakit Mata. Edisi Keempat.
Cetakan ke 3. Jakarta : FKUI.2013. 187 90.
8 Riodan-Eva P, Witcher JP. Vaughan & Asbury General Ophtalmology.
Susanto D, editors. 14th ed. Jakarta: EGC; 2012. 12-4, 23-6, 196-7
9 Sclote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J. Pocket atlas of Ophthalmology.
New York. The McGraw Hill Company.2007.172-76
10 Retinal Detachment. British Medical Journal Best Practice diakses dari
http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/651/diagnosis/guidelines.html
11 Wu Lihteh; Sr Hamton Roy. Rhegmatogenous Retinal Detachment. Update
Juli 2013. Diakses dari : http://emedicine.medscape.com/article/1224737overview
12 Wu Lihteh; Sr Hamton Roy. Exudative Retinal Detachment. Update April
2014. Diakses dari : http://emedicine.medscape.com/article/1224509overview

17

Anda mungkin juga menyukai