AIRWAY MANAGEMENT
Disusun oleh:
Pembimbing:
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
PENDAHULUAN
Bila terjadi henti nafas primer, jantung dapat terus memompa darah selama
beberapa menit dan sisa O2 yang ada dalam paru dan darah akan terus beredar ke otak
dan organ vital lain. Penanganan dini pada korban dengan henti napas atau sumbatan
jalan napas dapat mencegah henti jantung. Bila terjadi henti jantung primer, O2 tidak
beredar dan O2 yang tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik. Henti
jantung dapat disertai oleh fenomena listri berikut: fibrilasi ventrikuler takikardi
ventrikular, asistole ventrikular atau disosiasi elektromekanis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
a. Triple manuver
b. Manuver Heimlich
Manuever Heimlich (The Committee on Trauma: American College of Surgeon
(Yayasan Essentia Medica, 1983: 22) ini merupakan metode yang paling efektif untuk
mengatasi obstruksi saluran pernapasan atas akibat makanan atau benda asing yang
terperangkap dalam pharynx posterior atau glottis.
2. Anatomi
Batas hipofaring disebelah superior adalah tepi atas epiglottis, batas anterior ialah
laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra cervical. Bila
hipofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung
atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama
yang tampak dibawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah
cekuangan yang dibentuk oleh ligamentum glossoepiglotika medial dan ligamnetum
glossoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil”, sebab
pada beberapa orang kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Penyebab lain sumbatan jalan napas adalah benda asing, seperti muntahan
atau daah dijalan napas atas yang tidak dapat ditelan atau dibatukkan keluar oleh
pasien yang tidak sadar. Laringospame biasanya disebabkan oleh rangsangan jalan
nafas atas pada pasien stupor atau koma dangkal. Sumbatan jalan nafas bawah dapat
disebabkan oleh bronkospasme, sekresi bronkus, sembeb mukosa, inhalasi isi
lambung atau benda asing.
Serupa dengan obstruksi partial, akan tetapi gejalanya lebih hebat dan stridor justru
menghilang
3. Airway Management
Letakkan pasien pada posisi terlentang pada alas keras ubin atau selipkan
papan kalau pasien diatas kasur. Jika tonus otot menghilang, lidah akan menyumbat
faring dan epiglotis akan menyumbat laring. Lidah dan epiglotis penyebab utama
tersumbatnya jalan nafas pada pasien tidak sadar. Untuk menghindari hal ini
dilakukan beberapa tindakan, yaitu:
chin lift
headtilt
2. Perasat dorong rahang bawah (jaw thrust manuever)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangakat didorong kedepan
pada sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Karena lidah melekat pada
rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan jalan nafas terbuka.
Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit, letakkan pasien dalam posisi
terlentang, lakukan ”manuever triple airway” (kepala tengadah, rahang didorong
kedepan, mulut dibuka) dan kalau rongga mulut ada cairan, lendir atau benda asing
lainnya, bersihkan dahulu sebelum memberikan nafas buatan.
Posisi lurus terlentang ditopang dianjurkan utnuk pasien koma diawasi yang
memerlukan resusitasi. Peninggian bahu dengan meletakkan bantal atau handuk yang
dilipat dibawahnya mempermudah ekstensi kepala. Akan tetapi jangan sekali-kali
meletakkan bantal dibawah kepala pasienyang tidak sadar (dapat menyebabkan leher
fleksi sehingga menyebabkan sumbatan hipofaring) kecuali pada intubasi trakea.
Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang dianestesi
menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring.
Mengubah posisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk
membebaskan jalan nafas. Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas
buatan (artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk
menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian posterior
(Gambar 5-4). Pasien yang sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau
spasme laring pada saat memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring masih
intact. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks
jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. Oral
airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3), medium (90
mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no 5).
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung
ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Disebabkan
adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada pasien yang diberi
antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal airway jangan digunakan pada
pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui hidung
(nasal airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakheal) harus dilubrikasi.Nasal
airway lebih ditoleransi daripada oral airway pada pasien dengan anestesi ringan.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face mask yang
rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat menyebabkan
reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini menunjukkan adanya
kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang tinggi
dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal menunjukkan adanya
obstruksi jalan nafas.
Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk
melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag. Face
mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask dengan ibu
jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk ekstensi joint
atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak
yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari kelingking
ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan untuk jaw thrust manuver yang paling
penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.
Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw thrust
yang adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan seorang asisten untuk
memompa bag (gambar 5-8). Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena
tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw thrust. Kadang-kadang sulit
memasang face maks rapat kemuka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya (tapi
tidak dianjurkan) atau memasukkan gulungan kasa ke rongga mulut mungkin dapat
menolong mengatasi kesulitan ini. Ventilasi tekanan normalnya jangan melebihi 20
cm H2O untuk mencegah masuknya udara ke lambung.
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan
oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat
menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila
face mask dan ikatan mask digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering
dirubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata, dan mata harus
diplester untuk menghindari resiko aberasi kornea.
LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT.
Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses),
sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau
komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan
tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional, LMA
dihindari pada pasien dengan bronkhospasme aatau resistensi jalan nafas tinggi, akan
tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam trakhea,
penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian bronchospasme lebih kurang dari
pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk trakheal
intubasi, LMA membuktikan sangat membantu terutama pada pasien dengan jalan
nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah
untuk memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah
digunakan sebagai pipa untuk jalur stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet,
fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm).
Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga
dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran TT biasanya dipola dalam
milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam scala Prancis
(diameter external dalam milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa selalu hasil
kompromi antara memaksimalkan flow dengan pipa ukuran besar dan meminimalkan
trauma jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.
Dalam 15 tahun terakhir, terdapat 2 laringskop baru yang telah dibuat, untuk
membantu dokter anestesi menjamin jalan nafas pada pasien dengan jalan nafas yang
sulit- Laringokop Bullard dan laringoskop Wu
Keduanya memiliki sumber cahaya fiberoptic dan blade yang melengkung
dengan ujung yang panjang, dan didisain untuk membantu melihat muara glotis pada
pasien dengan lidah besar atau yang memiliki muara glotis sangat anterior. Banyak
dokter anestesi percaya bahwa alat ini untuk mengantisipasi pasien yang memiliki
jalan nafas sulit. Bagaimanapun juga, seperti halnya alat-alat lain yang digunakan
jalan nafas pasien, pengalaman penggunaannya harus dilakukan pada pasien normal
sebelum digunakan pada saat penting dan memergensi pada pasien dengan jalan nafas
sulit.
Dalam beberapa situasi, -misalnya pasien dengan tulang cervical yang tidak
stabil, pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular join, atau dengan kelainan
kongenital atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi langsung dengan
penggunakan rigid laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan atau tidak
dimungkinkan. Suatu FOB yang feksibelmemungkin visualisasi tidak langsung dari
laring dalam beberapa kasus atau untuk beberapa situasi dimana direncanakan
intubasi sadar (awake intubation). FOB dibuat dari fiberglass ini mengalirkan cahaya
dan gambar oleh refleksi internal-contohnya sorotan cahaya akan terjebak dalam fiber
dan terlihat tidak berubah pada sisi yang berlawanan. Pemasangan pipa berisi 2
bundel dari fiber, masing-masing berisi 10.000 – 15.000 fiber. Satu bundel
menyalurkan cahaya dari sumber cahaya ( sumber cahaya bundel) yang terdapat
diluar alat atau berada dalam handle yang memberikan gambaran resolusi tinggi.
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis
Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.
2. Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in Anesthesia 12th ed.
2000
3. Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF,
Stelting RK, editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2006, p. 791-811
4. Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow and
ventilation in the lung: gravity is not the only factor. British Journal of
Anaesthesia; 2007, 98: 420-8.
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical
Anesthesilogy 4th ed. McGraw-Hill; 2007