Anda di halaman 1dari 42

Laporan Kasus Sulit

Senin, 10 Januari 2022 Kepada Yth.


Pukul 09.00 WIB

Seorang Anak Dengan Skoliosis Berat di Regio Torakolumbal


Dengan Komplikasi Kardiopulmonal + Paraparese Inferior +
Gizi Buruk Perawakan Pendek

Oleh :
dr. Nurmega Kurnia Saputri

Pembimbing:
dr. Silvia Triratna, Sp.A(K)
dr. Desti Handayani, Sp.A(K), M.Kes
dr. Indra Saputra, Sp.A (K), M.Kes
dr. Fifi Sofiah, Sp.A(K)

Narasumber:
DR. dr. Rendra Leonas, Sp.OT (K) Spine
dr. RM Faisal, Sp.Rad (K)
dr. Djalalin, Sp.KFR
dr. Lisa Apri Yanti, SpTHT-KL (K), FICS
dr. Aidyl Fitriansyah, Sp. An

Penilai:
dr. Julius Anzar, SpA (K)
dr. RM Indra, SpA (K)

KSM/BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2022

1
PENDAHULUAN

Skoliosis adalah deformitas pada tulang belakang yang ditandai dengan


lengkungan ke lateral dengan atau tanpa rotasi tulang belakang. Etiologi, onset,
prognosis, dan terapi skoliosis dapat bervariasi. Komplikasi dari skoliosis yang
tidak ditatalaksana adalah nyeri, yang disertai gangguan keseimbangan, fungsi
kardiopulmonal, emosional, perilaku, serta aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS).
Pada skoliosis yang berat dan disertai dengan berbagai komplikasi medis, akan
membutuhkan tatalaksana operatif untuk memperbaiki kualitas hidup penderita
dan mencegah progresivitas tanpa memandang etiologi dari skoliosis yang terjadi.
Sekitar 15-20 % dari kasus skoliosis penyebab awalnya tidak diketahui dan 80%
dari kasus skoliosis struktural mempunyai etiologi idiopatik yang biasanya
ditemukan pada kelompok usia anak-anak atau remaja.3 Skoliosis secara umum
diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan derajat keparahannya. Pada skoliosis
fungsional, abnormalitas kurvatura vertebra tidak diikuti dengan rotasi vertebra
yang bermakna, dan biasanya bersifat reversibel.3 Skoliosis struktural biasanya
tidak bersifat reversibel dan bisa berupa skoliosis idiopatik, kongenital atau
didapat. Klasifikasi dari derajat keparahan skoliosis dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu ringan, sedang dan berat. Ringan adalah skoliosis dengan derajat
kelengkungan kurang dari 25 derajat. Sedang adalah skoliosis dengan derajat
kelengkungan antara 25 - 40 derajat. Berat adalah skoliosis dengan derajat
kelengkungan lebih 40 derajat.4
Gejala yang paling umum dari skoliosis ialah adanya suatu lekukan yang
tidak normal dari tulang belakang yang dapat berakibat nyeri, penurunan kualitas
hidup dan disabilitas, deformitas yang mengganggu secara kosmetik, hambatan
fungsional, masalah paru, kemungkinan terjadinya progresivitas saat dewasa, dan
gangguan psikologis. Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemeriksaan fisik
ialah deviasi prosesus spinosus dari garis tengah, punggung yang tampak miring,
rib hump, asimetri dari skapula, pinggul, bagian atas dan bawah trunkus (bahu dan
pelvis), serta perbedaan panjang tungkai. Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk
melihat sudut cobb juga penting untuk dilakukan. Terapi skoliosis dapat berupa

2
observasi, terapi rehabilitasi yaitu penggunaan orthosis/brace, latihan hingga
tindakan operasi. Beratnya derajat skoliosis dan adanya komplikasi merupakan
salah satu pertimbangan untuk dilakukan tindakan operasi pada pasien dengan
skoliosis.2
Penilaian terhadap komplikasi skoliosis yang terkait komorbiditas dan
mortalitas adalah gangguan pada fungsi paru-paru dan jantung. Anak-anak
dengan skoliosis kongenital yang berat sering mengalami sesak napas dan infeksi
saluran napas berulang serta gagal tumbuh. Lebih jauh lagi pada beberapa kasus
dapat menimbulkan komplikasi pada jantung akibat penekanan dari organ
intratorakal. Prognosis skoliosis sendiri dipengaruhi oleh ukuran kurva saat
pertama kali ditemukan, tipe dan rotasi kurvatura dan usia saat onset skoliosis
serta onset terapi. Laporan kasus ini membahasa seorang anak perempuan dengan
skoliosis berat disertai pneumonia dan mild pulmonal regurgitation dan
paraparese inferior dengan gizi buruk perawakan pendek. Gangguan ventilasi dan
oksigenasi yang terjadi saat ini sebagai akibat dari skoliosis berat yang diduga
didapatkan sejak lahir. Pasien saat ini dilakukan perawatan diruang PICU RSMH.
Sajian kasus ini dibuat untuk membantu tatalaksana definitif dan komprehensif
pada pasien dan dapat menjadi pembelajaran dalam tatalaksana kasus serupa di
masa yang akan datang.

3
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : DSN
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 09 Juli 2009
Umur (saat MRS) : 12 tahun 5 bulan
Alamat Rumah : Jl. Rawasari, Kemuning, Palembang
Anak ke : 1 (Tunggal)
Tanggal MRS : 14 Desember 2021
Berat badan : 26 kg
Tinggi badan : 140 cm

II. ANAMNESIS (Alloanamnesis)


Keluhan utama : Sesak Napas
Keluhan tambahan : Batuk
Riwayat perjalanan penyakit:
Tiga jam SMRS, anak mengalami sesak napas. Tidak terdapat riwayat
minum atau tersedak sebelum gejala sesak. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca
maupun aktivitas. Sesak napas dipengaruhi oleh posisi. Anak merasa lebih baik jika
tidur kesisi sebelah kiri. Batuk ada, produktif. Tidak terdapat darah pada dahak.
Tidak terdapat keluhan nyeri dada atau berdebar-debar. Tidak terdapat keluhan
bengkak pada tubuh. Tidak tedapat keluhan nyeri menelan maupun kehilangan
indra penciuman dan perasa. BAB dan BAK anak biasa.
Empat hari SMRS pasien terdapat keluhan batuk, frekuensi batuk lebih
sering daripada biasanya, produktif. Tidak terdapat darah pada dahak. Sesak napas
tidak ada. Demam ada, suhu tidak diukur dengan suhu tidak terlalu tinggi. Tidak

4
terdapat keluhan pada BAB maupun BAK. Anak hanya mengonsumsi obat penurun
panas dan obat batuk. Suhu tubuh turun setelah pemberian antipiretik. Batuk tidak
menunjukan perbaikan. Pasien lalu dibawa ke IGD RSMH.
Pasien dengan skoliosis berat sejak tahun 2018.

Gambar 1. Riwayat peyakit sekarang

Riwayat penyakit dahulu


• Riwayat demam lama disangkal
• Riwayat alergi makanan ataupun atopi disangkal
• Riwayat sakit yang sama sebelumnya disangkal
• Riwaya trauma sebelumnya disangkal

5
• Riwayat keganasan atau paparan radiasi disangkal

Gambar 2. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit dalam keluarga


• Riwayat keluarga yang mengalami sakit batuk lama atau TB paru disangkal
• Riwayat alergi makanan ataupun atopi dalam keluarga disangkal
• Riwayat berpergian keluar kota ataupun kontak dengan pasien terkonfirmasi
covid 19 disangkal
• Tidak ada Riwayat penyakit serupa dalam keluarga.

6
Gambar 3. Pedigree Keluarga

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Pasien merupakan anak tunggal. Kehamilan pasien merupakan kehamilan
yang diinginkan. Selama hamil, ibu sehat dan tidak menderita demam. Ibu tidak
pernah mengalami keguguran sebelumnya. Kehamilan ini didapatkan setelah lama
pernikahan + 5 tahun. Ibu kontrol kehamilan ke bidan setiap bulan dan beberapa
kali memeriksakan kandungannya ke SpOG. Riwayat merokok dan minum alkohol
selama hamil disangkal. Riwayat minum jamu-jamuan disangkal. Ibu hanya
mengonsumsi vitamin yang diberikan oleh dokter dan bidan. Asupan nutrisi selama
kehamilan cukup. Pasien lahir secara Sectio Caesaria (SC) atas indikasi
disproporsi kepala panggul dari ibu G1P1A0 hamil cukup bulan ditolong SpOG di
rumah sakit swasta di Palembang. Bayi lahir langsung menangis. Berat lahir 2.600
gram. Riwayat ketuban pecah dini disangkal, riwayat ketuban kental, hijau, bau
tidak ada. Anak langsung diberikan suntikan Vit K dan imunisasi hepatitis B yang
pertama. Keluarga pasien pada awalnya tidak menyadari terdapat kelainan pada
tulang belakang anaknya hingga saat usia 1 tahun anak masih belum bisa berjalan.

Kesan: Riwayat kelahiran dan persalinan dalam batas normal.

7
Riwayat Imunisasi: Pasien telah mendapat imunisasi dasar, lanjutan PPI dan
program BIAS di sekolah

Tabel 1.1. Imunisasi yang telah dilakukan pasien


Vaksin I II III IV V
BCG  (scar -) - - - -
DPT    
Polio     
MR    -
Hepatitis B     
Covid -19 -

Kesan: Imunisasi dasar PPI lengkap, imunisasi dasar non-PPI tidak dilakukan,
imunisasi lanjutan tidak lengkap.

Riwayat Tumbuh Kembang


Pertumbuhan
Saat lahir berat badan pasien 2.600 gr cukup bulan, panjang badan lahir dan
lingkar kepala lahir tidak diketahui. Pasien rutin dibawa ke praktik dokter anak
untuk ditimbang berat badan dan melakukan imunisasi. Pasien dilakukan imunisasi
rutin ke SpA. Ibu memiliki kartu BPJS.
Kesan : Penambahan berat badan anak menurut orangtua pada awalnya tidak
terdapat masalah. Anak mulai mengalami penurunan berat badan dan berat badan
yang sulit naik ketika anak mulai mengalami sesak napas berulang pada tahun 2018.
Tinggi badan anak juga tidak menunjukkan penambahan secara optimal saat ini
tinggi badan anak yang diukur ketika anak berbaring berada < p5 berdasarkan kurva
CDC. Status gizi anak dinilai berdasarkan LILA dengan nilai <p5. Pasien dengan
gizi buruk perawakan pendek (short stature)

Perkembangan

8
Pasien dapat miring ke kiri dan kanan sejak usia 2 bulan dan duduk sendiri pada
usia 6 bulan, merangkak pada usia 8 bulan. Pada usia 9 bulan pada awalnya dapat
berdiri dengan berpegangan, namun hingga usia 1 tahun anak masih belum bisa
berdiri sendiri dan berjalan. Tidak terdapat riwayat trauma (terjatuh) pada anak
selama masa perkembangannya. Anak telah dibawa orangtua ke dokter spesialis
anak dan dikatakan mengalami motoric delayed dan disarankan melakukan
fisioterapi. Fisioterapi telah dikerjakan namun anak masih belum bisa mencapai
perkembangan motorik kasarnya sesuai usia. Saat ini anak hanya bisa duduk.
Menurut orangtua anak tidak pernah mengeluhkan nyeri pada area punggung
belakang. Orangtua pada awalnya tidak menyadari anaknya mengalami kelainan
pada postur tubuh pasien (skoliosis). Skoliosis pada anak terdeteksi ketika anak
mengalamai sesak napas berat pada awal tahun 2018. Pasien dibawa ke RSMH dan
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa rontgen thorak AP-Lateral dan
didapatkan adanya abnormalitas pada kurvatura vertebrae pasien. Anak bisa
berbicara sejak usia 1,5 tahun. Anak tidak pernah menunjukkan keterlambatan
bicara maupun gangguan komunikasi selama masa perkembangannya. Tidak
terdapat gangguan perilaku pada anak selama ini. Anak dapat mengikuti pelajaran
sekolahnya dengan baik, memiliki semangat belajar yang tinggi serta berprestasi di
sekolah. Anak sesekali merasa malu terhadap kondisi nya namun anak tidak sampai
merasa rendah diri. Anak dapat bergaul dengan baik dengan baik dengan teman
sebayanya. Keseharian anak semenjak sakit adalah tetap mengikuti kegiatan
akademik seperti biasa. Guru dan teman-teman pasien mengetahui dan menerima
keterbatasan fungsional pasien. Kegiatan sekolah disesuaikan dengan kemampuan
pasien. Pada masa pandemi anak melakukan kegiatan sekolah secara online. Pasien
telah mengalami menstruasi sejak 1 tahun yang lalu, siklus menstrusi pasien belum
teratur setiap 28 hari. Pasien tidak pernah mengalami permasalahan berupa
dismenorrhea, menorrhagia maupun metrorhargia.
Kesan: Perkembangan pada sektor motorik kasar mengalami keterlambatan
terutama untuk berdiri dan berjalan. Sektor perkembangan lain berupa motorik
halus, bicara dan personal sosial sesuai dengan usia.

9
Riwayat Nutrisi
Pasien sejak lahir diberi ASI dan susu formula sampai dengan usia 6 bulan.
Sejak usia 6 bulan anak mendapat MPASI berupa bubur saring instan. Anak mulai
mengkonsumsi makanan menu keluarga sejak usia 1 tahun sampai sekarang.
Kesan: Kuantitas dan kualitas asupan nutrisi diluar periode sakit cukup. Sejak
pasien mengalamai sesak napas berulang, asupan makan berkurang dari
sebelumnya. Anak hanya mampu menghabiskan makanan ½ dari porsi makanan
pasien sebelumnya dikarenakan mudah merasa penuh. Berat badan anak saat ini
adalah 26 kg dengan berat badan tertinggi yang pernah dicapai adalah 36 Kg.

Riwayat Sosioekonomi
Pasien adalah anak satu-satunya. Pendidikan terakhir ayah pasien adalah
SMA dan bekerja sebagai pedagang. Ibu pasien merupakan ibu rumah tangga.
Kesan: sosioekonomi cukup

Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan rontgen thorak AP-Lateral pada tanggal 14 Desember
2021 didapatkan kesan Pneumonia, scoliosis thoracalis dengan konveksitas ke
kanan.

Gambar 2. Foto toraks AP-Lateral pada saat 14-Desember-2021

Kesan :

10
- Pneumonia
- Skoliosis Thoracalis dengan konveksitas ke kanan

Gambar 3. Foto toraks AP-Lateral pada saat 28- Desember -2018

Kesan :
- Pneumonia
- Skoliosis Thoracalis dengan konveksitas ke kanan

Gambar 4. Foto toraks AP-Lateral pada saat 31-Mei -2018

11
12
Gambar 5. MRI Whole Spine pada 31- Mei – 2018

Kesan :
- Skoliosis torakolumbal dengan sentrasi pada vertebrae L1
- Tidak tampak canal stenosis
- Tidak tampak lesi pada spinal cord
- Tampak penyempitan ruang subarachnoid pada sisi kiri vertebrae thorakal
dan sisi kanan veretbrae lumbal.
- Tidak tampak paravertebral mass.

13
Gambar 6. MRI Echocardiografi 23 Desember 2021

Kesan :
Mild pulmonal regurgitation
Well contracting ventricles, no paradoxical movements ( LV systolic function EF
44.9% FS 38.8%)

14
III. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG (Saat di IGD)
Keadaan Umum:
Kesadaran : E4M6V4 (14)
TD : 100/70 mmHg
Nadi : 120 kali/menit (isi dan tekanan cukup)
Frekuensi nafas : 52 kali/menit (ireguler), SpO2 tanpa suplementasi oksigen
70-78% dan SpO2 88-90% dengan suplementasi oksigen
NRM 10 LPM
Suhu : 36,7 C
Berat badan : 36 kg
Panjang badan : 140 cm
Status gizi : BB/U: 36/44 (p10-25)
: TB/U : 140/155 (<p5)
: BB/TB: 36/35 x 100 % : 102,8%
: LILA : 17.5 cm ( < p5) :
Severe Acute Malnutrition (Gizi Buruk)

Kesan : : Gizi buruk perawakan pendek

Tabel 1.2. Persentil tekanan darah


Tekanan Darah Tekanan Darah
Sistolik Diastolik
P5 93 54
P50 105 64
P90 116 73
P95 119 75
P99 126 79
P99+5 131 84

15
Keadaan spesifik:
Kepala Nafas cuping hidung (+), konjungtiva anemis (-), sklera
ikterik (-), pupil bulat isokor  3mm, refleks cahaya (+)
normal. Tidak terdapat wajah dismorfik. Tekanan vena
jugularis tidak meningkat
Thorakal anterior Asimetris dengan thorakal kanan lebih tinggi
dibandingkan kiri, retraksi (+) intercostal, subcostal dan
epigastrium
Thorakal posterior Terdapat benjolan pada area skapula kiri, benjolan teraba
keras dan berbatas tegas. Warna sama dengan sekotar dan
tidak terasa nyeri. Badan nampang melengkung.
Cor Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo Vesikuler meningkat, rhonki kasar pada thorakal dextra et
sinsitra (+/+), wheezing (-/-)
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien dalam batas normal
Extremitas Akral hangat, CRT 2 detik, otot nampak atropi
(gastrocnemius)
Status pubertas : M3P3

Status neurologis
• Keadaan Umum : Anak gelisah , anak dapat berkomunikasi tapi tidak
adekuat dengan GCS E4M6V4 (14)
• Pemeriksaan nervi kranialis :
• NI (normal), NII (normal), N III, IV, VI (normal), NV (normal), NVII
(normal) N VIII (normal) NIX dan X (normal) dan NXI (Sulit
mengangkat kedua bahu dan gerakan kiri dan kana asimetris) NXII
(normal)

16
• Motorik :

Lengan Kanan Lengan Kiri Tungkai Kanan Tungkai Kiri

Gerakan Luas Luas Terbatas Terbatas


Kekuatan 5 5 2 2
Tonus Eutoni Eutoni hipotoni hipotoni
Klonus (-) (-)
R/ Fisiologis Normal Normal menurun menurun
R/ Patologis (-) (-) (-) (-)

• Sensorikdan autonom : Normal


• Keseimbangan : Tidak bisa dinilai
• GRM : Tidak ada

IV. DIAGNOSIS

Skoliosis Berat + Pneumonia + Mild Pulmonal Regurgitation + Paraparese Inferior


+Gizi buruk perawakan pendek

V. TATALAKSANA

A: Sniffing Position

B: HFNC dengan Flow 12 Lpm FiO2 40% tercaooai SpO2 90-92%

C: IVFD maintenance (Total cairan maintenance 1650 cc dalam 24 jam)


kecepatan 75 ml/jam), pemasangan NGT untuk rencana diet per NGT jika distress
napas menunjukkan perbaikan

D:

17
- Ampicillin 3x 2 gr IV
- Gentamicin 1x160 mg IV
- IVFD D5 1/2 NS kec 70 cc/jam IV drip
- N acetylsistein 3x 200 mg po
- Kultur darah
- Konsultasi Tim PIE untuk kecurigaan infeksi COVID-19

VI. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG

− Pemeriksaan Laboratorium (14/12/2021)


Darah (27/06/21) :Hb 17.1 gr/dL Eri 6.39/mm3 Leukosit 20.54/mm3 Ht 52 Plt
455/mm3 MCV 81.7 MCH 27 MCHC 33 Basofil 0 Eosinofil 0 Netrofil 74
Limfosit 16 Monosit 10 NLR 4.6 ALC 3286 12 Ur 36 mg/dL Cr 0,59 mg/dL
Ca 8,4 mg/dL albumin 4,1 gr/dL, GDS 103 mg/dL CRP 10 mg/L, LED 40
mm/jam Hasil swab antigen SARS CoV2 14/12/21 (RSMH)
Negatif

AGD :

pH 7,303 pCO2 39,3 mmHg pO2 105,6 mmHg SO2 97,9%, lactat 0,7 mmol/L,
HCO3 19,7 mmol/L, Be -5,7 mmol/L

Konsul PIE kesan :


- Saat ini belum dicurigai ke arah covid
- Penulusuran ke arah infeksi TB
- Rawat non iso sesuai indikasi , persetujuan DPJP dan ketersediaan ruang

DAFTAR MASALAH
1. Skoliosis Berat
2. Ditress Napas
3. Pneumonia Berulang
4. Defisit Neurologis (Paraparese Inferior)

18
5. Gizi Buruk Perawakan Pendek

VI. DIAGNOSIS KERJA


Skoliosis Berat + Pneumonia + Paraparese Inferior + Gizi Buruk Perawakan Pendek

VII. TATALAKSANA AWAL


− Tunjangan oksigenasi
o Oksigen NRM 8 Lpm
− Tunjangan nutrisi dan cairan
o IVFD D5 ½ NS 70 mL /jam
− Tunjangan medikamentosa
o Ampicillin 3x 2 gr IV
o Gentamicin 1x160 mg IV

VIII. TATALAKSANA LANJUTAN


− Tunjangan oksigenasi
ventilator modus PSIMV PIP 28 PEEP 7 FiO2 45% RR 12x/m FT 2.0lpm TI
0.9 sec tercapai VTE 4-6 ml/kgBB, SpO2 97%
− Tunjangan nutrisi dan cairan
o Total cairan maintenance 1800cc
o Norepinefrin 1 cc/jam ~ 0.1mcg/kgBB/menit
o D5 1/2 NS kec 40 cc/jam (GIR 1)
o Diet Makanan Cair 3x150 cc NGT
o FC 3x150 cc NGT
− Tunjangan medikamentosa
o Inj. Meropenem 3 x 550 mg iv H6
o Inj. Fluconazole 1 x 250 mg iv H6
o N asetil sistein 3x200 mg
o Paracetamol 3x400 mg iv
o Bisoprolol 1 x 2.5 mg po
o Furosemide 2x20 mg iv

19
o Captopril 2x6.25 mg po

Foto Klinis Pasien

Gambar 7. Foto Klinis Pasien

Followup Pasien Selama Perawatan :


21 Desember 2021 (perawatan hari ke-7) 30 Desember 2021 (perawatan hari ke 17)

S Perawatan PICU hari ke-7, sesak nafas (+). pasien lebih Perawatan PICU hari ke – 16 Anak sadar
nyaman miring ke kiri. Demam (-) Sesak nafas (+) Demam (-)
O SSP Four score : E4M6V5, RC (+/+), diameter Four score : E4M4B4R1, RC (+/+), diameter
3mm/3mm, tanpa sedasi dan analgetik 3mm/3mm, tanpa sedasi, dengan analgetik
paracetamol 10mg/kgbb/kali
S.KV TD126/82mmHg (p50-p90), HR 136x/m, TD 114/83 mmHg (p95), HR 142x/m, Nadi
Nadi 136x/m nadi radialis teraba kuat isi 140x/m nadi radialis teraba kuat isi dan tegangan
dan tegangan cukup, akral hangat, CRT<3 cukup, akral hangat, CRT<3 detik, dengan
detik topangan norepinefrin 1 cc/jam ~ 0.1
mcg/kgBB/menit
Balans diuresis 24 jam: Balans diuresis 24 jam:
Balans : -37 ml Balans : +25 ml
Diuresis : 2.34 ml /kgbb/jam Diuresis : 2.01 ml /kgbb/jam
S. Resp. Ventilasi: simetris, air entry baik, stridor Ventilasi: simetris, air entry baik, stridor (-) RR
(-) RR 32x/m total 38x/m
Oksigenasi : NCH (-), ronkhi (+/+),
sianosis (-), retraksi (-) Pulmo: vesikuler

20
normal rhonki(+/+) wheezing (-/-) Oksigenasi : NCH (-), ronkhi (+/+), sianosis (-),
Dengan ventilator modus PSIMV PIP 24 retraksi (-) Pulmo: vesikuler normal rhonki(+/+)
PEEP 6 FiO2 70% RR 25x/m TI 0.6 sec wheezing (-/-)
FT 2 lpm tercapai VTE 4-5 ml/kgBB Dengan ventilator modus PSIMV PIP 29 PEEP 7
SpO2 96% FiO2 70% RR 10x/m FT 2.0lpm TI 0.9 sec
tercapai VTE 4-6 ml/kgBB, SpO2 97%
S.Infeksi Demam (-), T : 36.6⁰C, Demam (-), T : 36.6⁰C,
S.Hematologi Pucat (-), perdarahan (-), Hb 7.7 Pucat (-), perdarahan (-)
S.Metabolik Ikterik (-), edema (-) asites (-) Ikterik (-), edema (-) asites (-)
BSS : 104 mg/dl BSS : 110 mg/dl
AGD: pH 7.331 PaCO2 87.9 PaO2 69.7
HCO3 46.9 BE 20.7 Lactat 1.3
Pemeriksaan Hb 14.5 gr/dL Eri 5.48/mm3 Leukosit -hasil Kultur Sputum : Nama Kuman
penunjang 14.93/mm3 Ht 52 Plt 361/mm3 MCV (pseudomonas Aeroginosa) , Mikroskopiki( Gram
83.9 MCH 27 MCHC 32 Basofil 0 -, Bacil +),( gram +, cocus +), (Leukosi 0-1 /
Eosinofil 0 Netrofil 82 Limfosit 13 LPb), S : meropenem, Amikacin, Ceftazidim,
Monosit 5 Ur 22 mg/dL Cr 0,4 mg/dL Ca Cefepime
8 mg/dL albumin 3.9 gr/dL, GDS -Hasil Kultur Darah : Steril
111mg/dL CRP 24,9 mg/L, LED 33
mm/jam
A Skoliosis Berat + Pneumonia + Paraparese Inferior + Gizi Skoliosis Berat + Pneumonia + Paraparese Inferior
buruk perawakan pendek + Gizi buruk perawakan pendek
P Tunjangan ventilasi dan oksigenasi : Tunjangan ventilasi dan oksigenasi :
Ventilator modus PSIMV PIP 24 PEEP 6 FiO2 70% RR Ventilator modus PSIMV PIP 29 PEEP 6 FiO2
25x/m TI 0.6 sec FT 2 lpm 70% RR 10x/m FT 2.0lpm TI 0.9 sec

Tunjangan nutrisi dan cairan Tunjangan nutrisi dan cairan


- IVFD D51/2NS Kec 30cc/jam Total cairan maintenance 1800cc
- Diet cair 4x 150cc - Norepinefrin 1 cc/jam ~ 0.1mcg/kgBB/menit
- FC 2x150cc - D5 1/2 NS kec 40 cc/jam (GIR 1)
- Diet Makanan Cair 3x150 cc NGT
Tunjangan medikamentosa: - FC 3x150 cc NGT
- ampicilin 3x2 gr iv
- gentamicin 1 x 135 mg iv Tunjangan medikamentosa:
- N asetil sistein 3x200 mg - Inj. Meropenem 3 x 550 mg iv H5
- Bisoprolol 1 x 2.5 mg - Inj. Fluconazole 1 x 250 mg iv H5
- Furosemide 2 x 20 mg iv - N asetil sistein 3x200 mg
- Captopril 2 x 6.25 mg - Paracetamol 3x400 mg iv
- Parasetamol 3 x 400 mg iv - Bisoprolol 1 x 2.5 mg po
- Furosemide 2x20 mg iv
Assesment Bedah : - Captopril 2x6.25 mg po

21
Skoliosis berat + Pneumonia - Cek AGD dan BSS Pagi
Saran : perbaikan KU
Assesment Bedah :
Rehabilitasi medik : Chest Fisiotherapy Skoliosis berat + Pneumonia
Saran : perbaikan KU

Rehabilitasi medik : Chest Fisiotherapy

Kondisi pasien terakhir (9 januari 2021)

S :Anak sadar, Demam tidak ada, Sesak ada


- Perawatan PICU H26
O: Status Saraf pusat:
Four score : E4M4B4R1, RC (+/+), diameter 3mm/3mm, tanpa sedasi, dengan
analgetik paracetamol 10mg/kgbb/kali
TD 110/75 mmHg (p50-95), HR 120x/m, Nadi 120x/m nadi radialis teraba kuat
isi dan tegangan cukup, akral hangat, CRT<3 detik, tanpa topangan.
Balance diuresis 3 jam 06.00-06.00
B : + 260 cc
D : 1.9 cc/kgbb/jam
Status Respirasi
Ventilasi: simetris, air entry baik, stridor (-) RR total 38x/m
Oksigenasi : NCH (-), ronkhi (+/+), sianosis (-), retraksi (+) intercostal
Pulmo:
vesikuler normal rhonki kasar pada kedua lapangan paru (+/+) wheezing (-/-)
Penunjang napas dengan ventilator modus PSIMV PIP 28 PEEP 6 FiO2 70% RR
16x/m FT 2.0lpm TI 0.8 sec tercapai VTE 6-8 ml/kgBB, SpO2 99%
Status infeksi :Demam (-), T : 36.7°C
Status Hematologi : Pucat (-) perdarahan (-)
Status Metabolik : edema (-) ascites (-), GDS 102 mg/dl
Sistem Gastrointestinal : Datar, lembut, BU normal, hepar dan lien tidak teraba,
BAB (+)

22
A: Distress Nafas Sedang ec Pneumonia + Skoliosis Berat + Paraparese
Inferior + Mild Pulmonal Regurgitasi
P: Tunjangan Ventilasi dan oksigenasi
- Ventilator modus PSIMV PIP 29 PEEP 7 FiO2 70% RR 10x/m FT 2.0 lpm TI
0.9 sec
Tunjangan Nutrisi dan Sirkulasi :
- Total cairan maintenance 1800cc
- D5 1/2 NS kec 40 cc/jam (GIR 1)
- Diet Makanan Cair 3x150 cc NGT
- FC 3x150 cc NGT
Tunjangan Medikamentosa:
- Inj. Meropenem 3 x 550 mg iv H10
- Inj. Fluconazole 1 x 250 mg iv H10
- N asetil sistein 3x200 mg
- Paracetamol 3x400 mg iv
- Bisoprolol 1 x 2.5 mg po
- Furosemide 2x20 mg iv
- Captopril 2x6.25 mg po
- Cek AGD dan BSS Pagi
- Rawat bersama Divisi Respirologi dan Bedah
- Rawat Bersama Bedah Ortopedi Spine

23
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fungsional Sendi Tulang Belakang


2.1.1 Sistem Tulang Vertebra
Rangkaian vertebra terdiri dari tujuh (7) vertebra cervikalis, dua belas
vertebra (12) thoracalis, lima (5) vertebra lumbalis, lima (5) vertebra sacralis,
dan empat (4) vertebra koksigeus (Pearce, 2009). Susunan tulang vertebra
terdiri dari: korpus, arcus, foramen vertebrale, foramen intervertebrale,
processus articularis superior dan inferior, processus transfersus, spina, dan
discus intervertebralis. Foramen vertebrale merupakan lubang besar yang
dibatasi oleh korpus di bagian depan, pediculus di bagian samping, dan lamina
di bagian samping dan belakang. Discus intervertebralis merupakan cakram
yang melekat pada permukaan korpus dua vertebrae yang berdekatan, terdiri
dari annulus fibrosus, cincin jaringan fibrokartilaginosa pada bagian luar, dan
nucleus pulposus, zat semi-cair yang mengandung sedikit serat dan tertutup di
dalam annulus fibrosus. Processus Transversus merupakan bagian vertebra
yang menonjol ke lateral.

Gambar 2.2 Vertebra

24
Gambar 2.3 Vertebra Lumbal

Gambar 2.4 Discus Intervertebralis

Gambar 2.5 ligament vertebra

25
2.2 Sistem Otot
Menurut Moore dan Agur (2013) otot penggerak batang tubuh secara langsung
atau pun tidak langsung mempengaruhi vertebra. Otot-otot tersebut adalah m.
erector spinae, m. psoas, m. rectus abdominis.
• M. Erector Spinae Origo: berasal melalui tendo yang lebar dari bagian
dorsal crista iliaca, permukaan dorsal sacrum dan processus spinosus
vertebrae lumbalis kaudal, dan ligament supraspinale. Insertion: M.
iliocostalis: lumborum, thoracis, dan cervicis; serabut melintas kranial ke
angulus costae kaudal dan proc. transversus vertebrae cervicalis. M.
longissimus: thoracis, cervicis dan capitis; serabut melintas kranial ke costae
antara tuberculum costae dan angulus costae, ke proc. Spinosus di daerah
thorakal dan cervical, dan proc. Mastoideus ossis temporalis. M. spinalis:
thoracis, cervicis dan capitis: serabut melintas kranial ke proc. Spinosus di
daerah torakal kranial dan cranium. Fungsi utama: bekerja bilateral: ekstensi
columna vertebralis dan kepala sewaktu punggung membungkuk, otot-otot
ini mangatur gerakan dengan memperpanjang serabutnya secara bertahap;
bekerja unilateral: laterofleksi columna vertebralis.
• M. Psoas Major Origo: Proc. Tansversus vertebrae lumbalis; sisi corpus
vertebrae T12-L5 dan discus intervertebralis. Insertio: melalui tendon yang
kuat pada trochanter minor femur. Fungsi: Kontraksi bagian kranial bersama
m. illiacus mengadakan fleksi paha; kontraksi bagian kaudal megadakan
laterofleksi columna vertebralis; berguna untuk mengatur keseimbangan
batang tubuh seaktu duduk; kontraksi bagian kaudal bersama m. illiacus
mengadakan fleksi batang tubuh.
• M. Rectus Abdominis Origo: Symphysis pubica dan crista pubica Insertion:
Proc. Xiphoideus dan cartilagines costales V-VII Fungsi: fleksi batang
tubuh dan menekan visera abdomen.

26
Gambar 2.6 Lapisan dalam otot-otot punggung

Gambar 2.7 Lapisan dalam otot-otot abdomen

2.3 Sistem Saraf


Sistem Saraf Tiga puluh satu pasang saraf spinal (nervus spinalis)
dilepaskan dari medulla spinalis. Persarafan keluar dari permukaan dorsal dan
permukaan ventral medulla spinalis, dan bertaut untuk membentuk akar ventral
(radix anterior) dan akar dorsal (radix posterior). Dalam radix posterior terdapat
serabut aferen atau sensoris dari kulit, jaringan subkutan dan profunda, dan
sringkali dari visera.radix anterior terdiri dari serabut eferen atau motoris untuk
otot kerangka. Pembagian nervus spinal adalah sebagai berikut: 8 pasang nervus
cervicalis, 12 pasang nervus thoracius, 5 pasang nervus lumbalis, 5 pasang
nervus sakralis, dan satu pasang nervus coccygeus.

27
Gambar 2.8 Plexus Lumbosacralis

2.4 Biomekanik
Biomekanik terbagi atas gerakan osteokinematik dan arthrokinematik.
Gerak osteokinematik merupakan gerakan yang berhubungan dengan lingkup
Gerak Sendi. Pada lumbal spine melibatkan gerakan fleksi, ekstensi, rotasi dan
lateral fleksi. Sedangkan gerak arthrokinemetik merupakan gerakan yang terjadi
didalam kapsul sendi pada persendian. Pada lumbal spine gerakannya berupa
gerak slide atau glide terjadi pada permukaan persendian.
1. Osteokinematik
Gerakan osteokinematik pada fleksi dan ekstensi terjadi pada sagital
plane, lateral fleksi pada frontal plane, dan rotasi kanan-kiri terjadi pada
transverse plane. Sudut normal gerakan fleksi yaitu 65°-85° , gerakan
ekstensi sudut normal gerakan sekitar 25°-40°, dan untuk gerakan lateral
fleksi 25° , sedangkan gerakan rotasi dengan sudut normal yang dibentuk
adalah 45° (Reese dan bandy, 2010).
2. Arthrokinematik
Pada lumbal, ketika lumbal spine bergerak fleksi discus intervertebralis
tertekan pada bagian anterior dan menggelembung pada bagian posterior
dan terjadi berlawanan pada gerakan ekstensi. Pada saat lateral flexion,
discus intervertebralis tertekan pada sisi terjadi lateral fleksi. Misalnya,
lateral fleksi ke kiri menyebabkan discus intervertebralis tertekan pada sisi
sebelah kiri. Secara bersamaan discus intervertebralis sisi kanan menjadi
menegang. Pada level lumbal spine, jaringan collagen pada setengah dari
28
lamina mengarah pada arah yang berlawanan (kira-kira 120°) dari jaringan
setengah lainnya. Setengah jaringan itu lebih mengarah ke kanan akan
membatasi rotasi kekiri.
Pada biomekanik, spine mempertimbangkan kinematic chain. Ini
menggambarkan model pola deskripsi sederhana dari gerak. Misalnya pada
gerakan fleksi normal dari lumbal spine superior vertebra akan bergerak
pada vertebra dibawahnya.L1 akan bergerak pertama pada L2, L2
selanjutnya akan bergerak pada L3, dan L3 selanjutnya akan bergerak pada
L4, begitu seterusnya. Pada keadaan ini, gerakan arthrokinematik
mellibatkan gerakan dari inferior facet dari vertebra pada superior facet dari
caudal vertebra. Superior vertebra slide ke anterior dan superior pada caudal
vertebra. Hingga facet joint terbuka pada fleksi dan tertutup pada ekstensi
(Schenck, 2005)

Gambar 2.9 Diskus Intervertebralis pada Saat Fleksi dan Ekstensi

29
2.5 Skoliosis
2.5.1 Definisi
Skoliosis adalah deformitas tulang belakang berupa deviasi vertebra ke
arah samping atau lateral. Skoliosis adalah suatu kelainan bentuk pada tulang
belakang dimana terjadi abnormalitas kurvatura tulang belakang ke arah
samping kiri atau kanan. Kelainan skoliosis ini apabila diamati lebih jauh
sesungguhnya terjadi perubahan yang luar biasa pada tulang belakang akibat
perubahan bentuk tulang belakang secara tiga dimensi, yaitu perubahan sturktur
penyokong tulang belakang seperti jaringan lunak sekitarnya dan struktur
lainnya. Sekitar 15-20 % dari kasus skoliosis penyebab awalnya tidak dike
tahui,2 serta 80% kasus skoliosis struktural mempunyai etiologi idiopatik dan
biasanya ditemukan pada anak-anak atau remaja.3 Kata skoliosis berasal dari
bahasa Yunani skolios yang berarti bengkok.6 Skoliosis adalah kelainan tulang
belakang yang berupa lengkungan ke samping/ lateral. Jika dilihat dari
belakang, tulang belakang pada skoliosis akan berbentuk seperti huruf “C” atau
“S”.7 Definisi lain menyatakan bahwa skoliosis adalah sebuah tipe deviasi
postural dari tulang belakang dengan penyebab apapun, yang dicirikan oleh
adanya kurva lateral pada bidang frontal yang dapat berhubungan atau tidak
berhubungan dengan rotasi korpus vertebra pada bidang aksial dan sagital.5

Skoliosis Normal

30
2.5.2 Etiologi
Penyebab dan patogenesis skoliosis belum dapat ditentukan dengan
pasti. Kemungkinan penyebab pertama ialah genetik. Banyak studi klinis yang
mendu- kung pola pewarisan dominan autosomal, multifaktorial, atau X-linked.
Penyebab kedua ialah postur, yang mempengaruhi terjadinya skoliosis postural
kongenital. Penyebab ketiga ialah abnormalitas anatomi vertebra dimana
lempeng epifisis pada sisi kurvatura yang cekung menerima tekanan tinggi yang
abnormal sehingga mengurangi pertumbuhan, sementara pada sisi yang
cembung menerima tekanan lebih sedikit, yang dapat menyebabkan
pertumbuhan yang lebih cepat. Selain itu, arah rotasi vertebra selalu menuju ke
sisi cembung kurvatura, sehingga menyebab- kan kolumna anterior vertebra
secara relatif menjadi terlalu panjang jika dibandingkan dengan elemen-elemen
posterior.9 Penyebab keempat ialah ketidakseimbangan dari kekuatan dan
massa kelompok otot di punggung.10 Abnormalitas yang ditemukan ialah
peningkatan serat otot tipe I pada sisi cembung dan penurunan jumlah serat otot
tipe II pada sisi cekung kurvatura.9,11,12 Selain itu, dari pemeriksaan EMG
didapatkan peningkatan aktivitas pada otot sisi cembung kurvatura.13
Berdasarkan penyebab dari skoliosis yang terjadi, klasifikasi dari skoliosis
terdiri dari kongenital, neuromuscular dan idiopatik. Kongenital adalah kelainan
dalam pembentukan tulang belakang. Neuromuskular adalah kelemahan atau
kelumpuhan otot akibat suatu penyakit. Idiopatik adalah penyebab skoliosis
yang tidak diketahui penyebabnya. Selain penyebab diatas, etiologi dari
skoliosis juga dapat dikategorikan dalam nonstruktural dan srtruktural.
Nonstruktural bisa diakibatkan oleh adanya kebiasaan postur tubuh yang baik.
Keadaan ini bersifat reversibel dan tanpa disertai dengan adanya rotasi tulang
punggung. Struktural merupakan suatu kelaianan yang bersifat ireversibel dan
disertai dengan rotasi tulang punggung. Pada skoliosis struktural penyebabnya
bisa dikarenakan idiopatik, osteopatik dan neuropatik.

2.5.3 Klasifikasi
Skoliosis dibagi atas skoliosis fungsional dan struktural. Skoliosis
fungsional disebabkan kerena posisi yang salah atau tarikan otot paraspinal
unilateral, yang dapat disebabkan karena nyeri punggung dan spasme otot. 3
Perbedaan panjang tungkai, herniasi diskus, spondilolistesis, atau penyakit pada
31
sendi panggul juga dapat menyebabkan terjadinya skoliosis fungsional.4 Pada
skoliosis fungsional, tidak terjadi rotasi vertebra yang bermakna, dan biasanya
reversibel.3 Terapi terhadap penyebab skoliosis dapat memperbaiki kurvatura
yang terjadi.4 Skoliosis struktural biasanya tidak reversibel dan bisa berupa
skoliosis idiopatik, kongenital atau yang didapat (skoliosis neuromuscular).3
Klasifikasi dari derajat keparahan skoliosis dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu ringan, sedang dan berat. Ringan adalah adalah skoliosis dengan derajat
kelengkungan kurang dari 25 derajat. Sedang adalah skoliosis dengan derajat
kelengkungan antara 25 - 40 derajat. Berat adalah skoliosis dengan derajat
kelengkungan lebih 40 derajat.8

2.5.4 Gejala Kinis


Gejala-gejala yang paling umum dari skoliosis ialah suatu lekukan yang
tidak normal dari tulang belakang. Skoliosis dapat menyebabkan kepala nampak
bergeser dari tengah atau satu pinggul atau pundak lebih tinggi daripada sisi
berlawanannya. Masalah yang dapat timbul akibat skoliosis ialah penurunan
kualitas hidup dan disabilitas, nyeri, deformitas yang mengganggu secara
kosmetik, hambatan fungsional, masalah paru, kemungkinan terjadinya
progresivitas saat dewasa, dan gangguan psikologis.10

Gambar 2.10. Gejala klinis skoliosis. Sumber: Scoliosis Australia.16

32
2.5.5 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan skoliosis, baju pasien harus dibuka agar tulang
belakang dapat diperiksa secara langsung. Posisi terbaik untuk pemeriksaan
ialah posisi berdiri, meskipun pemeriksaan dengan posisi duduk, tidur
tengkurap, atau tidur miring juga dapat dilakukan sesuai dengan kondisi pasien.5
Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemeriksaan fisik ialah deviasi prosesus
spinosus dari garis tengah, punggung yang tampak miring, rib hump, asimetri
skapula, kesimetrisan pinggul serta bagian atas dan bawah trunkus (bahu dan
pelvis), dan perbedaan panjang tungkai.5,7
Yang harus dicatat pada saat pemeriksaan skoliosis ialah bentuk dan
derajat kurvatura yang terbentuk pada berbagai posisi. Deskripsi kurvatura
harus meliputi panjang segmen dimana kurvatura dimulai dan berakhir, bentuk
(C atau S), dan arah puncak kurvatura. Skoliometer dapat digunakan untuk
mengukur sudut kurvatura tanpa foto radiografi.5

2.5.6 Pemeriksaan Radiologi


Diagnosis klinis dari skoliosis dan follow-up keberhasilan terapi
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan radiografi, yang dapat mengukur
derajat kurvatura skoliosis secara kuantitatif. Teknik standard untuk mengukur
sudut kurvatura skoliosis ialah sudut Cobb. Pemeriksaan radiografi dilakukan
dengan posisi berdiri, kecuali jika kondisi pasien tidak memungkinkan maka
posisi yang dipilih ialah posisi terlentang. Panggul, pelvis, dan femur, bagian
proksimal harus terlihat. Kurva skoliosis dikatakan ringan bila sudut Cobb yang
terbentuk <250 sedang, bila 25-450; dan berat, bila >450.4 Pada anak-anak dan
remaja, maturitas tulang dilihat dengan garis risser pada crista illiaca untuk
memperkirakan pertumbuhan tulang yang pesat, progresivitas skoliosis, dan
berhentinya proses pertumbuhan.4 Kurva skoliosis yang disertai rotasi mungkin
lebih sulit untuk ditangani dan mungkin menyebabkan gangguan pada rongga
dada sehingga dapat mengganggu proses pernapasan. Secara radiografi, posisi
pedikel menunjukkan derajat rotasi yang terbaik.15 Berdasarkan klasifikasi lain
dari Lenke, penilaian derajat kelengungan dari vertebrae, dapat diklasifikasikan
dalam tiga kategori yaitu hypokyphotic (-) < 100, normal jika derajat
kelengkungan berada antara 10-400, dan hyperkyphotic (+) jika > 400.
Penggukuran sudut dari T5 hingga T12. Pemeriksaan Magnetic Resonance
33
Imaging (MRI) dilakukan atas indikasi nyeri, gangguan neurologik, kurvatura
torakal kiri, skoliosis juvenil idiopatik, progresi yang cepat, dan defek kulit.8

2.5.7 Penatalaksanaan Rehabilitasi Medik Pada Skoliosis


Indikasi observasi ialah skoliosis dengan sudut kurvatura <250 pada
pasien yang masih dalam masa pertumbuhan dan <500 pada pasien yang masa
pertumbuhannya telah berhenti. Pemeriksaan dilakukan setiap 6-9 bulan untuk
kurvatura <200 dan tiap 4-6 bulan untuk kurvatura >200.7 Peralatan eksternal
yang dapat digunakan untuk terapi skoliosis, antara lain gips plaster, brace, atau
kombinasi. Tujuan penggunaan alat-alat ini ialah untuk mengoreksi kurvatura
skoliosis yang ada atau mempertahankan koreksi yang telah dilakukan oleh
terapi operasi.18 Penggunaan brace direkomendasikan pada skoliosis dengan
kurvatura > 200 pada pasien yang masih dalam masa pertumbuhan dan dengan
progresivitas sebesar 5- 100 dalam periode 6 bulan.4 Milwaukee brace atau
Cervico Torakal Lumbo Sacral Orthosis (CTLSO) merupakan brace yang
memberikan sanggahan pada pelvis dan koreksi dengan deformitas rotatorik
secara statik.19 Indikasi penggunaan Milwaukee Brace meliputi skoliosis tahap
awal yang sedang berkembang dan mendekati sudut kurvatura 200. Kurvatura
yang melebihi 500 bukan merupakan kandidat yang tepat untuk penggunaan
Milwaukee Brace.9 Pemakaian Boston brace paling efektif pada skoliosis
dengan puncak kurva di T6 sampai L3.2 SpineCor merupakan bentuk ortosis
yang fleksibel, dengan tujuan untuk mengurangi hambatan fisik dan
meningkatkan tingkat kepatuhan pasien menggunakan ortosis tersebut.21
Latihan pada pasien skoliosis bertujuan utama untuk mencegah morbiditas
sekunder dan mengurangi proses ekstra spinal.2 Pada kasus skoliosis idiopatik
terutama pada pasien yang menggunakan brace, latihan penguatan otot-otot
perut dan bokong harus dilakukan untuk mencegah terjadinya atrofi otot.
Latihan lingkup gerak sendi fleksor panggul juga harus dilakukan untuk
mencegah kontraktur. Latihan yang dilakukan bertujuan untuk memperbaiki
postur, meningkatkan fleksibilitas, serta memperbaiki tonus ligamen dan otot. 2
Latihan dengan metode Klapp meliputi latihan peregangan dan penguatan otot-
otot punggung dengan menggunakan posisi kucing dan posisi berlutut yang
menyerupai hewan berkaki empat. Latihan ini merupakan bentuk terapi dimana

34
digunakan postur peregangan asimetris.5 Berbeda halnya dengan latihan metode
Woodcock yang menekankan pola latihan koreksi derotasi dan perbaikan otot
intrinsik tulang punggung. Menurut Woodcock, tanpa latihan derotasi,
pertambahan kurva sulit dicegah.3 Latihan metode X merupakan kombinasi
latihan Woodcock dan Klapp. Latihan ini mudah dikerjakan, dapat dikerjakan
setiap hari, dan tidak memerlukan tempat latihan khusus. Frekuensi yang
diperlukan untuk bertemu dengan terapis lebih jarang. Latihan ini merupakan
modifikasi metode Klapp. Jika pada metode Klapp latihan dilakukan dalam
posisi berlutut, maka pada metode X latihan dilakukan dengan posisi berdiri
disertai fleksi trunkus; sudut fleksi trunkus tergantung pada puncak kurvatura.3,7
Metode Schroth ialah salah satu bentuk terapi skoliosis yang menggunakan
latihan isometrik dan latihan-latihan lainnya untuk memperkuat dan
memperpanjang otot-otot yang asimetris pada skoliosis. Tujuan latihan dengan
metode ini ialah untuk memperlambat progresivitas kurvatura spinal yang
abnormal, mengurangi nyeri, meningkatkan kapasitas vital, memperbaiki
kurvatura yang ada (meskipun tidak 100%), memperbaiki postur dan
penampilan, mempertahankan postur yang telah mengalami perbaikan, dan
menghindari tindakan operasi.4

2.5.8 Penatalaksanaan Operatif Pada Skoliosis


Faktor yang harus dipertimbangkan sebelum operasi ialah fungsi paru
pasien dengan penyakit neuromuskuler. Operasi pada kasus skoliosis dilakukan
atas indikasi: 1) pasien telah menjalani perawatan dengan brace, namun masih
mengalami perburukan kurvatura;9,19 2) Pasien yang terlambat menggunakan
brace, yaitu pada pasien dengan kurva >500 dengan usia tulang 15 tahun untuk
perempuan dan 17 tahun untuk laki- laki, serta deformitas kurvatura skoliosis
yang sangat berat; 3) kurvatura skoliosis >500 meskipun tidak dirasakan adanya
gangguan kosmetik;19 4) anak yang tidak menggunakan atau tidak dapat
menggunakan brace;25 5) nyeri terus menerus yang mungkin disebabkan oleh
skoliosis; 6) skoliosis yang tidak seimbang (unbalanced scoliosis); dan 7)
gangguan psikologis karena skoliosis.9 Sesuai dengan usia pasien, operasi dapat
dilakukan dengan cara instrumentasi tanpa fusi (growing rod) atau operasi fusi
definitif yang biasanya dilakukan dengan pendekatan anterior atau posterior.9
Tata laksana non-operatif meliputi observasi, brace, dan traksi. Prosedur bedah
35
dibagi ke dalam kelompok besar (a) Mencegah deformitas lebih lanjut: fusi in
situ, hemiepifisiodesis cembung, dan eksisi HV, (b) Mengoreksi deformitas saat
ini. 8

2.5.9 Prognosis
Progresivitas skoliosis dapat dipe- ngaruhi oleh jenis kelamin, ukuran
kurvatura saat pertama kali ditemukan, tipe dan rotasi kurvatura, serta usia saat
onset skoliosis.1,6 Faktor risiko progresivitas skoliosis kongenital adalah tipe
kelainan, lokasi kelainan, dan usia pasien. Foto polos radiologi masih menjadi
diagnosis standard. Evaluasi MRI dapat dipertimbangkan. Tujuan tatalaksana
adalah untuk mencapai keseimbangan batang tubuh dan tulang belakang sambal
mempertahankan sebanyak mungkin pertumbuhan normal tulang belakang dan
mencegah defisit neurologis. Penilaian komplikasi skoliosis yang penting dan
sering dilupakan yaitu evaluasi fungsi paru- paru. Dengan keadaan yang hampir
mustahil untuk mengukur kapasitas vital pada anak-anak maka kita gunakan
thumb deflection test untuk memperkirakan luas rongga toraks. Anak-anak
dengan skoliosis kongenital yang berat sering sesak napas, lemah, dan gagal
tumbuh.7

36
ANALISIS KASUS

Seorang anak perempuan berusia 12 tahun 5 bulan dengan status gizi buruk
perawakan pendek beralamat di dalam kota Palembang. Pasien datang dengan keluhan
sesak napas berat. Keluhan berupa sesak napas merupakan kondisi yang cukup sering
dialami pasien sejak didiagnosis mengalami skoliosis pada tahun 2018. Pasien
selanjutnya dilakuakan perawatan lanjutan di RSMH.
Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan berupa sesak napas. Empat hari
SMRS pasien terdapat keluhan batuk, frekuensi batuk lebih sering daripada biasanya,
produktif. Tidak terdapat darah pada dahak. Sesak napas tidak ada. Demam ada, suhu
tidak diukur dengan suhu tidak terlalu tinggi. Tidak terdapat keluhan pada BAB
maupun BAK. Anak hanya mengkonsumsi obat penurun panas dan obat batuk. Suhu
tubuh turun paska pemberian antipiretik. Batuk tidak menunjukan perbaikan. Tiga jam
SMRS, anak mengalami sesak napas. Tidak terdapat riwayat minum atau tersedak
sebelum gejala sesak. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca maupun aktivitas. Batuk ada
bersifat produktif. Tidak terdapat darah pada dahak. Tidak terdapat keluhan nyeri dada
atau berdebar-debar. Tidak tedapat keluhan nyeri menelan maupun kehilangan indra
penciuman dan perasa. BAB dan BAK anak biasa. Pasien lalu dibawa ke IGD RSMH.
Dari anamnesis didapatkan adanya keluhan sesak napas yang diawali dengan keluhan
batuk dan demam sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya peningkatan
usaha napas berupa peningkatan frekuensi napas, napas cuping hidung dan retraksi
dinding dada. Pada pemeriksaan auskultasi paru terdengan suara napas tambahan
berupa rhonki kasar pada semua lapangan paru. Pada pemeriksaan radiologis gambaran
pneumonia tidak mudah untuk diidentifikasi dikarenakan lapangan paru yang tertutup
dengan gambaran jantung yang terdorong yang diakibatkan oleh skoliosis yang diderita
pasien. Hasil laboratorium pasien juga menunjukkan adanya peningkatan marker
inflamasi berupa peningkatan leukosit, LED dan CRP. Pasien telah dikonsulkan ke TIM
PIE untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi COVID-19 dengan kesan infeksi paru
tidak mengarah ke infeksi COVID-19. Pasien didiagnosis sebagai pneumonia
bakterialis dan mendapatkan tatalaksana antibiotik standard pneumonia berupa
ampicilin dan gentamicin. Pneumonia dengan komplikasi berupa distress napas sedang
hingga berat merupakan kondisi yang cukup sering dialami pasien semenjak pasien
didiagnosis skoliosis sejak tahun 2018. Pasien telah dilakukan penelusuran etiologi
infeksi paru berupa TB paru dengan hasil penelusuran negatif.
37
Deformitas tulang belakang torakolumbal adalah penyebab paling umum dari
deformitas simtomatik pada dinding dada. Pasien didiagnois mengalami skoliosis sejak
2018. Kondisi ini pada awalnya tidak disadari oleh orangtua pasien. Skoliosis pada
pasien terdeteksi pada saat tahun 2018 anak mengalami sesak napas berat, dengan
gambaran rontgen thorak menunjukkan adanya abnormalitas pada kurvatura
torakolumbal pada pasien. Anak sebenarnya telah menunjukkan adanya defisit

38
neurologis berupa keterlambatan perkembangan motorik kasar yang disadarai sejak
usia 1 tahun. Pada usia 9 bulan anak bisa berdiri dengan berpegangan, namun hingga
usia 1 tahun anak tidak bisa berdiri ataupun berjalan seperti anak seusianya. Anak tidak
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui penyebab keterlambatannya.
Tidak ditemukan keterlambatan di sektor perkembangan lain pada pasien. Tidak
terdapat riwayat trauma sebelumnya. Tidak terdapat keluhan kejang, penurunan
kesadaran maupun gangguan perilaku pada pasien. Onset dari skoliosis yang dialami
pasien mengindikasikan kemungkinan etiologi skoliosis pada pasien bersifat
kongenital. Tidak adanya data terkait kelaianan nerologis pasien saat itu membuat
kelainan neurodegeneratif otot masih bisa difikirkan sebagai penyebab defisit
neurologis pada pasien. Pada pasien dengan neurodegeneratif otot, skoliosis merupakan
komplikasi dari penyakit dasarnya. Pemeriksaan neurologis saat ini didapatkan adanya
penurunan pada kekuatan dan tonus extrimitas inferior disertai penurunan refleks
fisiologis. Tidak terdapat keluhan sensorik maupun autonom pada pasien. Pemeriksaan
MRI Whole Spine pasien menunjukkan tidak adanya lesi pada spinal cord. Pasien juga
pernah dilakukan pemeriksaan CT-Scan kepala dengan hasil normal. Pemeriksaan
lanjutan yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium KHS (kecepatan hantar
saraf).
Skoliosis dapat bersifat didapat atau idiopatik. Skoliosis didapat pada uumnya
bersifat asimptomatik dan tidak menimbulkan keterbatasan pada fungsi vital pasien.
Skoliosis idiopatik adalah jenis skoliosis yang paling sering ditemukan pada usia anak
dengan berbagai komplikasi lanjutan yang dapat terjadi. Skoliosis idopatik cenderung
bersifat berat dengan kelengkungan kurvatura dari derajat sedang hingga berat.
Komplikasi yang terjadi biasa diakibatkan oleh progresivitas dari skoliosis yang
semakin bertambah. Penentuan derajat keparahan skoliosis dapat diukur dengan
mengukur sudut (sudut Cobb) antara bagian atas dan bawah kurva tulang belakang pada
gambaran radiografi. Teknik standard untuk mengukur sudut Cobb ialah dengan posisi
berdiri dari T5 hingga T12, kecuali jika kondisi pasien tidak memungkinkan maka
posisi yang dipilih ialah posisi terlentang. Pada pasien gambaran radiologis terakhir
dilakukan saat pasien dalam keadaan tidak mampu untuk duduk maupun berdiri
dikarenakan distress napas yang dialami. Pada pasien didapatkan derajat sudut Cobb >
400 (derajat berat). Beratnya kelengkungan yang terjadi akan menentukan komplikasi
dan pilihan tatalaksana. Dalam beberapa literatur menyatakan kelainan fungsi
pernapasan (kapasitas paru) terjadi jika sudut kurvatura melebihi 70°. Pada beberapa
39
serial kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru pada pasien dengan skoliosis
kurang dari 60°. Permasalahan pada pasien saat ini adalah dengan adanya infeksi paru
berulang dan berdampak pada penurunan kualitas hidup anak. Pada perawatan akhir
dari anak juga mulai mengalami penurunan berat badan yang signifikan.
Beberapa pendekatan terapeutik untuk skoliosis terkait dengan pencegahan dari
progresivitas penyakit dan komplikasi yang terjadi. Berdasarakan literatur terdapat 2
faktor utama yang harus dipertimbangkan sebelum tindakan operasi ialah fungsi paru
pasien dengan penyakit neuromuskuler. Operasi pada kasus skoliosis dilakukan atas
indikasi: 1) pasien telah menjalani perawatan dengan brace, namun masih mengalami
perburukan kurvatura;9,10 2) Pasien yang terlambat menggunakan brace, yaitu pada
pasien dengan kurva >500 dengan usia tulang 15 tahun untuk perempuan dan 17 tahun
untuk laki- laki, serta deformitas kurvatura skoliosis yang sangat berat; 3) kurvatura
skoliosis >500 meskipun tidak dirasakan adanya gangguan kosmetik;9 4) anak yang
tidak menggunakan atau tidak dapat menggunakan brace5 5) nyeri terus menerus yang
mungkin disebabkan oleh skoliosis; 6) skoliosis yang tidak seimbang (unbalanced
scoliosis); dan 7) gangguan psikologis karena skoliosis. 8) Terdapat kompliksi berupa
defisit neurologis dan progresivitas dari kelengkungan kurvatura sebesar 50 per tahun.19
Pada pasien didapatkan beberapa kondisi yang merupakan indikasi untuk dilakukan
tindakan operasi berupa keterlambatan motorik dan progresivitas kurvatura. Lebih jauh
lagi kondisi ini telah menimbulkan komplikasi berupa infeksi paru berulang hingga
pada rawatan saat ini pasien mengalami gagal napas dan harus menggunakan ventilator
sebagai alat bantu napas. Rencana tindakan operasi pada pasien saat ini mengalami
beberapa kendala berupa fungsi paru pasien yang telah mengalami penurunan akibat
infeksi dan lebih jauh juga diakibatkan penurunan pengembangan rongga thorakal
secara normal. Pada penelitian yang dilakukan terhadap pasien CP dengan komplikasi
skoliosis berat post operasi fusi dari vertebra, didapatkan mean survival rate pada anak
usia 11,2 tahun dengan CI 95% adalah ( 125,8 – 142,4 bulan). Spinal surgery ini juga
merupakan suatu tindakan yang cukup berisiko dikarenakan apabila dikerjakan pada
pasien dengan kondisi yang tidak optimal (status infeksi, status gizi, penurunan fungsi
beberapa organ tubuh) akan meningkaykan risiko kematian sebesar 20% paska tindakan
operasi tulang belakang. Di sisi lain Sakiæ dkk, melaporkan bahwa skoliosis akan
semakin mempengaruhi fungsi paru pada kurva toraks bagian atas ketika puncak antara
T5 dan T8 melebihi 70°, dan dalam kasus tersebut ada korelasi langsung antara
kapasitas vital dan peningkatan keparahan kurva. Pada beberapa pengamatan pada
40
pasien skoliosis postoperatif ditemukan adanya peningkatan yang signifikan dari fungsi
kardiopulmoner setelah stabilisasi tulang belakang dan koreksi diamati setelah 2 tahun.
Lebih lanjut, mereka mencatat bahwa koreksi bedah 54% berkorelasi dengan
peningkatan kapasitas vital, volume ekspirasi paksa pada 1 menit Forced Expiratory
Volume (FEV1), aliran tengah maksimum pada 25% hingga 75% dari kapastas vital,
kapasitas residu fungsional, kapasitas paru total, dan peningkatan toleransi latihan.
Kondisi ini menyebabkan dibutuhkannya tatalaksana yang komperhensif terhadap
pasien ini. Dari laporan kasus ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut:
a. Kemungkinan diagnosis pasien ?
b. Bagaimana tatalaksana lebih lanjut yang paling sesuai terhadap pasien ini ?
c. Bagaimana monitoring dan pencegahan komplikasi jangka panjang terhadap
pasien ini?
d. Bagaimana prognosis pasien dengan kondisi seperti ini?

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Freeman TL, Freeman ED. Musculoskeletal rehabilitation: Physical Medicine


and Rehabilitation. Med J 2004; 281-3.
2. Lau K. Scoliosis current treatment modalities and exercise therapy. European
Med J 2008; 344-50.
3. Rossi R, Alexander M. Pediatric physical medicine and rehabilitation. Am J
2004; 665-9.
4. Murphy K, Wunderlich CA, Pico EL, Driscoll SW, Moberg-Wolff E, Rak M,
et al. Orthopaedic and musculoskeletal condition pediatic rehabilitation
principles and practice. Ped J Clin 2010; 397-405.
5. Iunes DH, Cecilio MBB, Dozza MA, Almeida PR. Quantitative
photogrammetric analysis of the klapp method for treating idiopathic scoliosis.
Rev J Fisioter 2010; 133-40.
6. Lyon Brace. Bracingscoliosis. Am Rev Respir J 2008; 442-7.
7. La Russo L. Pediatric scoliosis. J Bone Joint Surg Am 2012; 33-42.
8. Yawn BP, Yawn RA, Hodge D, Kurland M, Shaughnessy WJ, Ilstrup D, et all.
A population-based study of school scoliosis screening. J Bone Joint Surg Am
1999; 1427-32.
9. Machida M. Causes of idiopathic scoliosis. Med J Spine 1999; 2576-83.
10. Kuester V. Idiopathic scoliosis Ped Med J 2012; 441-50.
11. Wong YC, Yau AC, Low WD, Chin NK, Lisowski FP. Ultrastructural changes
of the back muscles of idiopathic scoliosis. Spine J Surg 2000; 251-60.

42

Anda mungkin juga menyukai