Oleh :
dr. Nurmega Kurnia Saputri
Pembimbing:
dr. Silvia Triratna, Sp.A(K)
dr. Desti Handayani, Sp.A(K), M.Kes
dr. Indra Saputra, Sp.A (K), M.Kes
dr. Fifi Sofiah, Sp.A(K)
Narasumber:
DR. dr. Rendra Leonas, Sp.OT (K) Spine
dr. RM Faisal, Sp.Rad (K)
dr. Djalalin, Sp.KFR
dr. Lisa Apri Yanti, SpTHT-KL (K), FICS
dr. Aidyl Fitriansyah, Sp. An
Penilai:
dr. Julius Anzar, SpA (K)
dr. RM Indra, SpA (K)
1
PENDAHULUAN
2
observasi, terapi rehabilitasi yaitu penggunaan orthosis/brace, latihan hingga
tindakan operasi. Beratnya derajat skoliosis dan adanya komplikasi merupakan
salah satu pertimbangan untuk dilakukan tindakan operasi pada pasien dengan
skoliosis.2
Penilaian terhadap komplikasi skoliosis yang terkait komorbiditas dan
mortalitas adalah gangguan pada fungsi paru-paru dan jantung. Anak-anak
dengan skoliosis kongenital yang berat sering mengalami sesak napas dan infeksi
saluran napas berulang serta gagal tumbuh. Lebih jauh lagi pada beberapa kasus
dapat menimbulkan komplikasi pada jantung akibat penekanan dari organ
intratorakal. Prognosis skoliosis sendiri dipengaruhi oleh ukuran kurva saat
pertama kali ditemukan, tipe dan rotasi kurvatura dan usia saat onset skoliosis
serta onset terapi. Laporan kasus ini membahasa seorang anak perempuan dengan
skoliosis berat disertai pneumonia dan mild pulmonal regurgitation dan
paraparese inferior dengan gizi buruk perawakan pendek. Gangguan ventilasi dan
oksigenasi yang terjadi saat ini sebagai akibat dari skoliosis berat yang diduga
didapatkan sejak lahir. Pasien saat ini dilakukan perawatan diruang PICU RSMH.
Sajian kasus ini dibuat untuk membantu tatalaksana definitif dan komprehensif
pada pasien dan dapat menjadi pembelajaran dalam tatalaksana kasus serupa di
masa yang akan datang.
3
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : DSN
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 09 Juli 2009
Umur (saat MRS) : 12 tahun 5 bulan
Alamat Rumah : Jl. Rawasari, Kemuning, Palembang
Anak ke : 1 (Tunggal)
Tanggal MRS : 14 Desember 2021
Berat badan : 26 kg
Tinggi badan : 140 cm
4
terdapat keluhan pada BAB maupun BAK. Anak hanya mengonsumsi obat penurun
panas dan obat batuk. Suhu tubuh turun setelah pemberian antipiretik. Batuk tidak
menunjukan perbaikan. Pasien lalu dibawa ke IGD RSMH.
Pasien dengan skoliosis berat sejak tahun 2018.
5
• Riwayat keganasan atau paparan radiasi disangkal
6
Gambar 3. Pedigree Keluarga
7
Riwayat Imunisasi: Pasien telah mendapat imunisasi dasar, lanjutan PPI dan
program BIAS di sekolah
Kesan: Imunisasi dasar PPI lengkap, imunisasi dasar non-PPI tidak dilakukan,
imunisasi lanjutan tidak lengkap.
Perkembangan
8
Pasien dapat miring ke kiri dan kanan sejak usia 2 bulan dan duduk sendiri pada
usia 6 bulan, merangkak pada usia 8 bulan. Pada usia 9 bulan pada awalnya dapat
berdiri dengan berpegangan, namun hingga usia 1 tahun anak masih belum bisa
berdiri sendiri dan berjalan. Tidak terdapat riwayat trauma (terjatuh) pada anak
selama masa perkembangannya. Anak telah dibawa orangtua ke dokter spesialis
anak dan dikatakan mengalami motoric delayed dan disarankan melakukan
fisioterapi. Fisioterapi telah dikerjakan namun anak masih belum bisa mencapai
perkembangan motorik kasarnya sesuai usia. Saat ini anak hanya bisa duduk.
Menurut orangtua anak tidak pernah mengeluhkan nyeri pada area punggung
belakang. Orangtua pada awalnya tidak menyadari anaknya mengalami kelainan
pada postur tubuh pasien (skoliosis). Skoliosis pada anak terdeteksi ketika anak
mengalamai sesak napas berat pada awal tahun 2018. Pasien dibawa ke RSMH dan
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa rontgen thorak AP-Lateral dan
didapatkan adanya abnormalitas pada kurvatura vertebrae pasien. Anak bisa
berbicara sejak usia 1,5 tahun. Anak tidak pernah menunjukkan keterlambatan
bicara maupun gangguan komunikasi selama masa perkembangannya. Tidak
terdapat gangguan perilaku pada anak selama ini. Anak dapat mengikuti pelajaran
sekolahnya dengan baik, memiliki semangat belajar yang tinggi serta berprestasi di
sekolah. Anak sesekali merasa malu terhadap kondisi nya namun anak tidak sampai
merasa rendah diri. Anak dapat bergaul dengan baik dengan baik dengan teman
sebayanya. Keseharian anak semenjak sakit adalah tetap mengikuti kegiatan
akademik seperti biasa. Guru dan teman-teman pasien mengetahui dan menerima
keterbatasan fungsional pasien. Kegiatan sekolah disesuaikan dengan kemampuan
pasien. Pada masa pandemi anak melakukan kegiatan sekolah secara online. Pasien
telah mengalami menstruasi sejak 1 tahun yang lalu, siklus menstrusi pasien belum
teratur setiap 28 hari. Pasien tidak pernah mengalami permasalahan berupa
dismenorrhea, menorrhagia maupun metrorhargia.
Kesan: Perkembangan pada sektor motorik kasar mengalami keterlambatan
terutama untuk berdiri dan berjalan. Sektor perkembangan lain berupa motorik
halus, bicara dan personal sosial sesuai dengan usia.
9
Riwayat Nutrisi
Pasien sejak lahir diberi ASI dan susu formula sampai dengan usia 6 bulan.
Sejak usia 6 bulan anak mendapat MPASI berupa bubur saring instan. Anak mulai
mengkonsumsi makanan menu keluarga sejak usia 1 tahun sampai sekarang.
Kesan: Kuantitas dan kualitas asupan nutrisi diluar periode sakit cukup. Sejak
pasien mengalamai sesak napas berulang, asupan makan berkurang dari
sebelumnya. Anak hanya mampu menghabiskan makanan ½ dari porsi makanan
pasien sebelumnya dikarenakan mudah merasa penuh. Berat badan anak saat ini
adalah 26 kg dengan berat badan tertinggi yang pernah dicapai adalah 36 Kg.
Riwayat Sosioekonomi
Pasien adalah anak satu-satunya. Pendidikan terakhir ayah pasien adalah
SMA dan bekerja sebagai pedagang. Ibu pasien merupakan ibu rumah tangga.
Kesan: sosioekonomi cukup
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan rontgen thorak AP-Lateral pada tanggal 14 Desember
2021 didapatkan kesan Pneumonia, scoliosis thoracalis dengan konveksitas ke
kanan.
Kesan :
10
- Pneumonia
- Skoliosis Thoracalis dengan konveksitas ke kanan
Kesan :
- Pneumonia
- Skoliosis Thoracalis dengan konveksitas ke kanan
11
12
Gambar 5. MRI Whole Spine pada 31- Mei – 2018
Kesan :
- Skoliosis torakolumbal dengan sentrasi pada vertebrae L1
- Tidak tampak canal stenosis
- Tidak tampak lesi pada spinal cord
- Tampak penyempitan ruang subarachnoid pada sisi kiri vertebrae thorakal
dan sisi kanan veretbrae lumbal.
- Tidak tampak paravertebral mass.
13
Gambar 6. MRI Echocardiografi 23 Desember 2021
Kesan :
Mild pulmonal regurgitation
Well contracting ventricles, no paradoxical movements ( LV systolic function EF
44.9% FS 38.8%)
14
III. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG (Saat di IGD)
Keadaan Umum:
Kesadaran : E4M6V4 (14)
TD : 100/70 mmHg
Nadi : 120 kali/menit (isi dan tekanan cukup)
Frekuensi nafas : 52 kali/menit (ireguler), SpO2 tanpa suplementasi oksigen
70-78% dan SpO2 88-90% dengan suplementasi oksigen
NRM 10 LPM
Suhu : 36,7 C
Berat badan : 36 kg
Panjang badan : 140 cm
Status gizi : BB/U: 36/44 (p10-25)
: TB/U : 140/155 (<p5)
: BB/TB: 36/35 x 100 % : 102,8%
: LILA : 17.5 cm ( < p5) :
Severe Acute Malnutrition (Gizi Buruk)
15
Keadaan spesifik:
Kepala Nafas cuping hidung (+), konjungtiva anemis (-), sklera
ikterik (-), pupil bulat isokor 3mm, refleks cahaya (+)
normal. Tidak terdapat wajah dismorfik. Tekanan vena
jugularis tidak meningkat
Thorakal anterior Asimetris dengan thorakal kanan lebih tinggi
dibandingkan kiri, retraksi (+) intercostal, subcostal dan
epigastrium
Thorakal posterior Terdapat benjolan pada area skapula kiri, benjolan teraba
keras dan berbatas tegas. Warna sama dengan sekotar dan
tidak terasa nyeri. Badan nampang melengkung.
Cor Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo Vesikuler meningkat, rhonki kasar pada thorakal dextra et
sinsitra (+/+), wheezing (-/-)
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien dalam batas normal
Extremitas Akral hangat, CRT 2 detik, otot nampak atropi
(gastrocnemius)
Status pubertas : M3P3
Status neurologis
• Keadaan Umum : Anak gelisah , anak dapat berkomunikasi tapi tidak
adekuat dengan GCS E4M6V4 (14)
• Pemeriksaan nervi kranialis :
• NI (normal), NII (normal), N III, IV, VI (normal), NV (normal), NVII
(normal) N VIII (normal) NIX dan X (normal) dan NXI (Sulit
mengangkat kedua bahu dan gerakan kiri dan kana asimetris) NXII
(normal)
16
• Motorik :
IV. DIAGNOSIS
V. TATALAKSANA
A: Sniffing Position
D:
17
- Ampicillin 3x 2 gr IV
- Gentamicin 1x160 mg IV
- IVFD D5 1/2 NS kec 70 cc/jam IV drip
- N acetylsistein 3x 200 mg po
- Kultur darah
- Konsultasi Tim PIE untuk kecurigaan infeksi COVID-19
AGD :
pH 7,303 pCO2 39,3 mmHg pO2 105,6 mmHg SO2 97,9%, lactat 0,7 mmol/L,
HCO3 19,7 mmol/L, Be -5,7 mmol/L
DAFTAR MASALAH
1. Skoliosis Berat
2. Ditress Napas
3. Pneumonia Berulang
4. Defisit Neurologis (Paraparese Inferior)
18
5. Gizi Buruk Perawakan Pendek
19
o Captopril 2x6.25 mg po
S Perawatan PICU hari ke-7, sesak nafas (+). pasien lebih Perawatan PICU hari ke – 16 Anak sadar
nyaman miring ke kiri. Demam (-) Sesak nafas (+) Demam (-)
O SSP Four score : E4M6V5, RC (+/+), diameter Four score : E4M4B4R1, RC (+/+), diameter
3mm/3mm, tanpa sedasi dan analgetik 3mm/3mm, tanpa sedasi, dengan analgetik
paracetamol 10mg/kgbb/kali
S.KV TD126/82mmHg (p50-p90), HR 136x/m, TD 114/83 mmHg (p95), HR 142x/m, Nadi
Nadi 136x/m nadi radialis teraba kuat isi 140x/m nadi radialis teraba kuat isi dan tegangan
dan tegangan cukup, akral hangat, CRT<3 cukup, akral hangat, CRT<3 detik, dengan
detik topangan norepinefrin 1 cc/jam ~ 0.1
mcg/kgBB/menit
Balans diuresis 24 jam: Balans diuresis 24 jam:
Balans : -37 ml Balans : +25 ml
Diuresis : 2.34 ml /kgbb/jam Diuresis : 2.01 ml /kgbb/jam
S. Resp. Ventilasi: simetris, air entry baik, stridor Ventilasi: simetris, air entry baik, stridor (-) RR
(-) RR 32x/m total 38x/m
Oksigenasi : NCH (-), ronkhi (+/+),
sianosis (-), retraksi (-) Pulmo: vesikuler
20
normal rhonki(+/+) wheezing (-/-) Oksigenasi : NCH (-), ronkhi (+/+), sianosis (-),
Dengan ventilator modus PSIMV PIP 24 retraksi (-) Pulmo: vesikuler normal rhonki(+/+)
PEEP 6 FiO2 70% RR 25x/m TI 0.6 sec wheezing (-/-)
FT 2 lpm tercapai VTE 4-5 ml/kgBB Dengan ventilator modus PSIMV PIP 29 PEEP 7
SpO2 96% FiO2 70% RR 10x/m FT 2.0lpm TI 0.9 sec
tercapai VTE 4-6 ml/kgBB, SpO2 97%
S.Infeksi Demam (-), T : 36.6⁰C, Demam (-), T : 36.6⁰C,
S.Hematologi Pucat (-), perdarahan (-), Hb 7.7 Pucat (-), perdarahan (-)
S.Metabolik Ikterik (-), edema (-) asites (-) Ikterik (-), edema (-) asites (-)
BSS : 104 mg/dl BSS : 110 mg/dl
AGD: pH 7.331 PaCO2 87.9 PaO2 69.7
HCO3 46.9 BE 20.7 Lactat 1.3
Pemeriksaan Hb 14.5 gr/dL Eri 5.48/mm3 Leukosit -hasil Kultur Sputum : Nama Kuman
penunjang 14.93/mm3 Ht 52 Plt 361/mm3 MCV (pseudomonas Aeroginosa) , Mikroskopiki( Gram
83.9 MCH 27 MCHC 32 Basofil 0 -, Bacil +),( gram +, cocus +), (Leukosi 0-1 /
Eosinofil 0 Netrofil 82 Limfosit 13 LPb), S : meropenem, Amikacin, Ceftazidim,
Monosit 5 Ur 22 mg/dL Cr 0,4 mg/dL Ca Cefepime
8 mg/dL albumin 3.9 gr/dL, GDS -Hasil Kultur Darah : Steril
111mg/dL CRP 24,9 mg/L, LED 33
mm/jam
A Skoliosis Berat + Pneumonia + Paraparese Inferior + Gizi Skoliosis Berat + Pneumonia + Paraparese Inferior
buruk perawakan pendek + Gizi buruk perawakan pendek
P Tunjangan ventilasi dan oksigenasi : Tunjangan ventilasi dan oksigenasi :
Ventilator modus PSIMV PIP 24 PEEP 6 FiO2 70% RR Ventilator modus PSIMV PIP 29 PEEP 6 FiO2
25x/m TI 0.6 sec FT 2 lpm 70% RR 10x/m FT 2.0lpm TI 0.9 sec
21
Skoliosis berat + Pneumonia - Cek AGD dan BSS Pagi
Saran : perbaikan KU
Assesment Bedah :
Rehabilitasi medik : Chest Fisiotherapy Skoliosis berat + Pneumonia
Saran : perbaikan KU
22
A: Distress Nafas Sedang ec Pneumonia + Skoliosis Berat + Paraparese
Inferior + Mild Pulmonal Regurgitasi
P: Tunjangan Ventilasi dan oksigenasi
- Ventilator modus PSIMV PIP 29 PEEP 7 FiO2 70% RR 10x/m FT 2.0 lpm TI
0.9 sec
Tunjangan Nutrisi dan Sirkulasi :
- Total cairan maintenance 1800cc
- D5 1/2 NS kec 40 cc/jam (GIR 1)
- Diet Makanan Cair 3x150 cc NGT
- FC 3x150 cc NGT
Tunjangan Medikamentosa:
- Inj. Meropenem 3 x 550 mg iv H10
- Inj. Fluconazole 1 x 250 mg iv H10
- N asetil sistein 3x200 mg
- Paracetamol 3x400 mg iv
- Bisoprolol 1 x 2.5 mg po
- Furosemide 2x20 mg iv
- Captopril 2x6.25 mg po
- Cek AGD dan BSS Pagi
- Rawat bersama Divisi Respirologi dan Bedah
- Rawat Bersama Bedah Ortopedi Spine
23
TINJAUAN PUSTAKA
24
Gambar 2.3 Vertebra Lumbal
25
2.2 Sistem Otot
Menurut Moore dan Agur (2013) otot penggerak batang tubuh secara langsung
atau pun tidak langsung mempengaruhi vertebra. Otot-otot tersebut adalah m.
erector spinae, m. psoas, m. rectus abdominis.
• M. Erector Spinae Origo: berasal melalui tendo yang lebar dari bagian
dorsal crista iliaca, permukaan dorsal sacrum dan processus spinosus
vertebrae lumbalis kaudal, dan ligament supraspinale. Insertion: M.
iliocostalis: lumborum, thoracis, dan cervicis; serabut melintas kranial ke
angulus costae kaudal dan proc. transversus vertebrae cervicalis. M.
longissimus: thoracis, cervicis dan capitis; serabut melintas kranial ke costae
antara tuberculum costae dan angulus costae, ke proc. Spinosus di daerah
thorakal dan cervical, dan proc. Mastoideus ossis temporalis. M. spinalis:
thoracis, cervicis dan capitis: serabut melintas kranial ke proc. Spinosus di
daerah torakal kranial dan cranium. Fungsi utama: bekerja bilateral: ekstensi
columna vertebralis dan kepala sewaktu punggung membungkuk, otot-otot
ini mangatur gerakan dengan memperpanjang serabutnya secara bertahap;
bekerja unilateral: laterofleksi columna vertebralis.
• M. Psoas Major Origo: Proc. Tansversus vertebrae lumbalis; sisi corpus
vertebrae T12-L5 dan discus intervertebralis. Insertio: melalui tendon yang
kuat pada trochanter minor femur. Fungsi: Kontraksi bagian kranial bersama
m. illiacus mengadakan fleksi paha; kontraksi bagian kaudal megadakan
laterofleksi columna vertebralis; berguna untuk mengatur keseimbangan
batang tubuh seaktu duduk; kontraksi bagian kaudal bersama m. illiacus
mengadakan fleksi batang tubuh.
• M. Rectus Abdominis Origo: Symphysis pubica dan crista pubica Insertion:
Proc. Xiphoideus dan cartilagines costales V-VII Fungsi: fleksi batang
tubuh dan menekan visera abdomen.
26
Gambar 2.6 Lapisan dalam otot-otot punggung
27
Gambar 2.8 Plexus Lumbosacralis
2.4 Biomekanik
Biomekanik terbagi atas gerakan osteokinematik dan arthrokinematik.
Gerak osteokinematik merupakan gerakan yang berhubungan dengan lingkup
Gerak Sendi. Pada lumbal spine melibatkan gerakan fleksi, ekstensi, rotasi dan
lateral fleksi. Sedangkan gerak arthrokinemetik merupakan gerakan yang terjadi
didalam kapsul sendi pada persendian. Pada lumbal spine gerakannya berupa
gerak slide atau glide terjadi pada permukaan persendian.
1. Osteokinematik
Gerakan osteokinematik pada fleksi dan ekstensi terjadi pada sagital
plane, lateral fleksi pada frontal plane, dan rotasi kanan-kiri terjadi pada
transverse plane. Sudut normal gerakan fleksi yaitu 65°-85° , gerakan
ekstensi sudut normal gerakan sekitar 25°-40°, dan untuk gerakan lateral
fleksi 25° , sedangkan gerakan rotasi dengan sudut normal yang dibentuk
adalah 45° (Reese dan bandy, 2010).
2. Arthrokinematik
Pada lumbal, ketika lumbal spine bergerak fleksi discus intervertebralis
tertekan pada bagian anterior dan menggelembung pada bagian posterior
dan terjadi berlawanan pada gerakan ekstensi. Pada saat lateral flexion,
discus intervertebralis tertekan pada sisi terjadi lateral fleksi. Misalnya,
lateral fleksi ke kiri menyebabkan discus intervertebralis tertekan pada sisi
sebelah kiri. Secara bersamaan discus intervertebralis sisi kanan menjadi
menegang. Pada level lumbal spine, jaringan collagen pada setengah dari
28
lamina mengarah pada arah yang berlawanan (kira-kira 120°) dari jaringan
setengah lainnya. Setengah jaringan itu lebih mengarah ke kanan akan
membatasi rotasi kekiri.
Pada biomekanik, spine mempertimbangkan kinematic chain. Ini
menggambarkan model pola deskripsi sederhana dari gerak. Misalnya pada
gerakan fleksi normal dari lumbal spine superior vertebra akan bergerak
pada vertebra dibawahnya.L1 akan bergerak pertama pada L2, L2
selanjutnya akan bergerak pada L3, dan L3 selanjutnya akan bergerak pada
L4, begitu seterusnya. Pada keadaan ini, gerakan arthrokinematik
mellibatkan gerakan dari inferior facet dari vertebra pada superior facet dari
caudal vertebra. Superior vertebra slide ke anterior dan superior pada caudal
vertebra. Hingga facet joint terbuka pada fleksi dan tertutup pada ekstensi
(Schenck, 2005)
29
2.5 Skoliosis
2.5.1 Definisi
Skoliosis adalah deformitas tulang belakang berupa deviasi vertebra ke
arah samping atau lateral. Skoliosis adalah suatu kelainan bentuk pada tulang
belakang dimana terjadi abnormalitas kurvatura tulang belakang ke arah
samping kiri atau kanan. Kelainan skoliosis ini apabila diamati lebih jauh
sesungguhnya terjadi perubahan yang luar biasa pada tulang belakang akibat
perubahan bentuk tulang belakang secara tiga dimensi, yaitu perubahan sturktur
penyokong tulang belakang seperti jaringan lunak sekitarnya dan struktur
lainnya. Sekitar 15-20 % dari kasus skoliosis penyebab awalnya tidak dike
tahui,2 serta 80% kasus skoliosis struktural mempunyai etiologi idiopatik dan
biasanya ditemukan pada anak-anak atau remaja.3 Kata skoliosis berasal dari
bahasa Yunani skolios yang berarti bengkok.6 Skoliosis adalah kelainan tulang
belakang yang berupa lengkungan ke samping/ lateral. Jika dilihat dari
belakang, tulang belakang pada skoliosis akan berbentuk seperti huruf “C” atau
“S”.7 Definisi lain menyatakan bahwa skoliosis adalah sebuah tipe deviasi
postural dari tulang belakang dengan penyebab apapun, yang dicirikan oleh
adanya kurva lateral pada bidang frontal yang dapat berhubungan atau tidak
berhubungan dengan rotasi korpus vertebra pada bidang aksial dan sagital.5
Skoliosis Normal
30
2.5.2 Etiologi
Penyebab dan patogenesis skoliosis belum dapat ditentukan dengan
pasti. Kemungkinan penyebab pertama ialah genetik. Banyak studi klinis yang
mendu- kung pola pewarisan dominan autosomal, multifaktorial, atau X-linked.
Penyebab kedua ialah postur, yang mempengaruhi terjadinya skoliosis postural
kongenital. Penyebab ketiga ialah abnormalitas anatomi vertebra dimana
lempeng epifisis pada sisi kurvatura yang cekung menerima tekanan tinggi yang
abnormal sehingga mengurangi pertumbuhan, sementara pada sisi yang
cembung menerima tekanan lebih sedikit, yang dapat menyebabkan
pertumbuhan yang lebih cepat. Selain itu, arah rotasi vertebra selalu menuju ke
sisi cembung kurvatura, sehingga menyebab- kan kolumna anterior vertebra
secara relatif menjadi terlalu panjang jika dibandingkan dengan elemen-elemen
posterior.9 Penyebab keempat ialah ketidakseimbangan dari kekuatan dan
massa kelompok otot di punggung.10 Abnormalitas yang ditemukan ialah
peningkatan serat otot tipe I pada sisi cembung dan penurunan jumlah serat otot
tipe II pada sisi cekung kurvatura.9,11,12 Selain itu, dari pemeriksaan EMG
didapatkan peningkatan aktivitas pada otot sisi cembung kurvatura.13
Berdasarkan penyebab dari skoliosis yang terjadi, klasifikasi dari skoliosis
terdiri dari kongenital, neuromuscular dan idiopatik. Kongenital adalah kelainan
dalam pembentukan tulang belakang. Neuromuskular adalah kelemahan atau
kelumpuhan otot akibat suatu penyakit. Idiopatik adalah penyebab skoliosis
yang tidak diketahui penyebabnya. Selain penyebab diatas, etiologi dari
skoliosis juga dapat dikategorikan dalam nonstruktural dan srtruktural.
Nonstruktural bisa diakibatkan oleh adanya kebiasaan postur tubuh yang baik.
Keadaan ini bersifat reversibel dan tanpa disertai dengan adanya rotasi tulang
punggung. Struktural merupakan suatu kelaianan yang bersifat ireversibel dan
disertai dengan rotasi tulang punggung. Pada skoliosis struktural penyebabnya
bisa dikarenakan idiopatik, osteopatik dan neuropatik.
2.5.3 Klasifikasi
Skoliosis dibagi atas skoliosis fungsional dan struktural. Skoliosis
fungsional disebabkan kerena posisi yang salah atau tarikan otot paraspinal
unilateral, yang dapat disebabkan karena nyeri punggung dan spasme otot. 3
Perbedaan panjang tungkai, herniasi diskus, spondilolistesis, atau penyakit pada
31
sendi panggul juga dapat menyebabkan terjadinya skoliosis fungsional.4 Pada
skoliosis fungsional, tidak terjadi rotasi vertebra yang bermakna, dan biasanya
reversibel.3 Terapi terhadap penyebab skoliosis dapat memperbaiki kurvatura
yang terjadi.4 Skoliosis struktural biasanya tidak reversibel dan bisa berupa
skoliosis idiopatik, kongenital atau yang didapat (skoliosis neuromuscular).3
Klasifikasi dari derajat keparahan skoliosis dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu ringan, sedang dan berat. Ringan adalah adalah skoliosis dengan derajat
kelengkungan kurang dari 25 derajat. Sedang adalah skoliosis dengan derajat
kelengkungan antara 25 - 40 derajat. Berat adalah skoliosis dengan derajat
kelengkungan lebih 40 derajat.8
32
2.5.5 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan skoliosis, baju pasien harus dibuka agar tulang
belakang dapat diperiksa secara langsung. Posisi terbaik untuk pemeriksaan
ialah posisi berdiri, meskipun pemeriksaan dengan posisi duduk, tidur
tengkurap, atau tidur miring juga dapat dilakukan sesuai dengan kondisi pasien.5
Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemeriksaan fisik ialah deviasi prosesus
spinosus dari garis tengah, punggung yang tampak miring, rib hump, asimetri
skapula, kesimetrisan pinggul serta bagian atas dan bawah trunkus (bahu dan
pelvis), dan perbedaan panjang tungkai.5,7
Yang harus dicatat pada saat pemeriksaan skoliosis ialah bentuk dan
derajat kurvatura yang terbentuk pada berbagai posisi. Deskripsi kurvatura
harus meliputi panjang segmen dimana kurvatura dimulai dan berakhir, bentuk
(C atau S), dan arah puncak kurvatura. Skoliometer dapat digunakan untuk
mengukur sudut kurvatura tanpa foto radiografi.5
34
digunakan postur peregangan asimetris.5 Berbeda halnya dengan latihan metode
Woodcock yang menekankan pola latihan koreksi derotasi dan perbaikan otot
intrinsik tulang punggung. Menurut Woodcock, tanpa latihan derotasi,
pertambahan kurva sulit dicegah.3 Latihan metode X merupakan kombinasi
latihan Woodcock dan Klapp. Latihan ini mudah dikerjakan, dapat dikerjakan
setiap hari, dan tidak memerlukan tempat latihan khusus. Frekuensi yang
diperlukan untuk bertemu dengan terapis lebih jarang. Latihan ini merupakan
modifikasi metode Klapp. Jika pada metode Klapp latihan dilakukan dalam
posisi berlutut, maka pada metode X latihan dilakukan dengan posisi berdiri
disertai fleksi trunkus; sudut fleksi trunkus tergantung pada puncak kurvatura.3,7
Metode Schroth ialah salah satu bentuk terapi skoliosis yang menggunakan
latihan isometrik dan latihan-latihan lainnya untuk memperkuat dan
memperpanjang otot-otot yang asimetris pada skoliosis. Tujuan latihan dengan
metode ini ialah untuk memperlambat progresivitas kurvatura spinal yang
abnormal, mengurangi nyeri, meningkatkan kapasitas vital, memperbaiki
kurvatura yang ada (meskipun tidak 100%), memperbaiki postur dan
penampilan, mempertahankan postur yang telah mengalami perbaikan, dan
menghindari tindakan operasi.4
2.5.9 Prognosis
Progresivitas skoliosis dapat dipe- ngaruhi oleh jenis kelamin, ukuran
kurvatura saat pertama kali ditemukan, tipe dan rotasi kurvatura, serta usia saat
onset skoliosis.1,6 Faktor risiko progresivitas skoliosis kongenital adalah tipe
kelainan, lokasi kelainan, dan usia pasien. Foto polos radiologi masih menjadi
diagnosis standard. Evaluasi MRI dapat dipertimbangkan. Tujuan tatalaksana
adalah untuk mencapai keseimbangan batang tubuh dan tulang belakang sambal
mempertahankan sebanyak mungkin pertumbuhan normal tulang belakang dan
mencegah defisit neurologis. Penilaian komplikasi skoliosis yang penting dan
sering dilupakan yaitu evaluasi fungsi paru- paru. Dengan keadaan yang hampir
mustahil untuk mengukur kapasitas vital pada anak-anak maka kita gunakan
thumb deflection test untuk memperkirakan luas rongga toraks. Anak-anak
dengan skoliosis kongenital yang berat sering sesak napas, lemah, dan gagal
tumbuh.7
36
ANALISIS KASUS
Seorang anak perempuan berusia 12 tahun 5 bulan dengan status gizi buruk
perawakan pendek beralamat di dalam kota Palembang. Pasien datang dengan keluhan
sesak napas berat. Keluhan berupa sesak napas merupakan kondisi yang cukup sering
dialami pasien sejak didiagnosis mengalami skoliosis pada tahun 2018. Pasien
selanjutnya dilakuakan perawatan lanjutan di RSMH.
Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan berupa sesak napas. Empat hari
SMRS pasien terdapat keluhan batuk, frekuensi batuk lebih sering daripada biasanya,
produktif. Tidak terdapat darah pada dahak. Sesak napas tidak ada. Demam ada, suhu
tidak diukur dengan suhu tidak terlalu tinggi. Tidak terdapat keluhan pada BAB
maupun BAK. Anak hanya mengkonsumsi obat penurun panas dan obat batuk. Suhu
tubuh turun paska pemberian antipiretik. Batuk tidak menunjukan perbaikan. Tiga jam
SMRS, anak mengalami sesak napas. Tidak terdapat riwayat minum atau tersedak
sebelum gejala sesak. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca maupun aktivitas. Batuk ada
bersifat produktif. Tidak terdapat darah pada dahak. Tidak terdapat keluhan nyeri dada
atau berdebar-debar. Tidak tedapat keluhan nyeri menelan maupun kehilangan indra
penciuman dan perasa. BAB dan BAK anak biasa. Pasien lalu dibawa ke IGD RSMH.
Dari anamnesis didapatkan adanya keluhan sesak napas yang diawali dengan keluhan
batuk dan demam sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya peningkatan
usaha napas berupa peningkatan frekuensi napas, napas cuping hidung dan retraksi
dinding dada. Pada pemeriksaan auskultasi paru terdengan suara napas tambahan
berupa rhonki kasar pada semua lapangan paru. Pada pemeriksaan radiologis gambaran
pneumonia tidak mudah untuk diidentifikasi dikarenakan lapangan paru yang tertutup
dengan gambaran jantung yang terdorong yang diakibatkan oleh skoliosis yang diderita
pasien. Hasil laboratorium pasien juga menunjukkan adanya peningkatan marker
inflamasi berupa peningkatan leukosit, LED dan CRP. Pasien telah dikonsulkan ke TIM
PIE untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi COVID-19 dengan kesan infeksi paru
tidak mengarah ke infeksi COVID-19. Pasien didiagnosis sebagai pneumonia
bakterialis dan mendapatkan tatalaksana antibiotik standard pneumonia berupa
ampicilin dan gentamicin. Pneumonia dengan komplikasi berupa distress napas sedang
hingga berat merupakan kondisi yang cukup sering dialami pasien semenjak pasien
didiagnosis skoliosis sejak tahun 2018. Pasien telah dilakukan penelusuran etiologi
infeksi paru berupa TB paru dengan hasil penelusuran negatif.
37
Deformitas tulang belakang torakolumbal adalah penyebab paling umum dari
deformitas simtomatik pada dinding dada. Pasien didiagnois mengalami skoliosis sejak
2018. Kondisi ini pada awalnya tidak disadari oleh orangtua pasien. Skoliosis pada
pasien terdeteksi pada saat tahun 2018 anak mengalami sesak napas berat, dengan
gambaran rontgen thorak menunjukkan adanya abnormalitas pada kurvatura
torakolumbal pada pasien. Anak sebenarnya telah menunjukkan adanya defisit
38
neurologis berupa keterlambatan perkembangan motorik kasar yang disadarai sejak
usia 1 tahun. Pada usia 9 bulan anak bisa berdiri dengan berpegangan, namun hingga
usia 1 tahun anak tidak bisa berdiri ataupun berjalan seperti anak seusianya. Anak tidak
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui penyebab keterlambatannya.
Tidak ditemukan keterlambatan di sektor perkembangan lain pada pasien. Tidak
terdapat riwayat trauma sebelumnya. Tidak terdapat keluhan kejang, penurunan
kesadaran maupun gangguan perilaku pada pasien. Onset dari skoliosis yang dialami
pasien mengindikasikan kemungkinan etiologi skoliosis pada pasien bersifat
kongenital. Tidak adanya data terkait kelaianan nerologis pasien saat itu membuat
kelainan neurodegeneratif otot masih bisa difikirkan sebagai penyebab defisit
neurologis pada pasien. Pada pasien dengan neurodegeneratif otot, skoliosis merupakan
komplikasi dari penyakit dasarnya. Pemeriksaan neurologis saat ini didapatkan adanya
penurunan pada kekuatan dan tonus extrimitas inferior disertai penurunan refleks
fisiologis. Tidak terdapat keluhan sensorik maupun autonom pada pasien. Pemeriksaan
MRI Whole Spine pasien menunjukkan tidak adanya lesi pada spinal cord. Pasien juga
pernah dilakukan pemeriksaan CT-Scan kepala dengan hasil normal. Pemeriksaan
lanjutan yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium KHS (kecepatan hantar
saraf).
Skoliosis dapat bersifat didapat atau idiopatik. Skoliosis didapat pada uumnya
bersifat asimptomatik dan tidak menimbulkan keterbatasan pada fungsi vital pasien.
Skoliosis idiopatik adalah jenis skoliosis yang paling sering ditemukan pada usia anak
dengan berbagai komplikasi lanjutan yang dapat terjadi. Skoliosis idopatik cenderung
bersifat berat dengan kelengkungan kurvatura dari derajat sedang hingga berat.
Komplikasi yang terjadi biasa diakibatkan oleh progresivitas dari skoliosis yang
semakin bertambah. Penentuan derajat keparahan skoliosis dapat diukur dengan
mengukur sudut (sudut Cobb) antara bagian atas dan bawah kurva tulang belakang pada
gambaran radiografi. Teknik standard untuk mengukur sudut Cobb ialah dengan posisi
berdiri dari T5 hingga T12, kecuali jika kondisi pasien tidak memungkinkan maka
posisi yang dipilih ialah posisi terlentang. Pada pasien gambaran radiologis terakhir
dilakukan saat pasien dalam keadaan tidak mampu untuk duduk maupun berdiri
dikarenakan distress napas yang dialami. Pada pasien didapatkan derajat sudut Cobb >
400 (derajat berat). Beratnya kelengkungan yang terjadi akan menentukan komplikasi
dan pilihan tatalaksana. Dalam beberapa literatur menyatakan kelainan fungsi
pernapasan (kapasitas paru) terjadi jika sudut kurvatura melebihi 70°. Pada beberapa
39
serial kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru pada pasien dengan skoliosis
kurang dari 60°. Permasalahan pada pasien saat ini adalah dengan adanya infeksi paru
berulang dan berdampak pada penurunan kualitas hidup anak. Pada perawatan akhir
dari anak juga mulai mengalami penurunan berat badan yang signifikan.
Beberapa pendekatan terapeutik untuk skoliosis terkait dengan pencegahan dari
progresivitas penyakit dan komplikasi yang terjadi. Berdasarakan literatur terdapat 2
faktor utama yang harus dipertimbangkan sebelum tindakan operasi ialah fungsi paru
pasien dengan penyakit neuromuskuler. Operasi pada kasus skoliosis dilakukan atas
indikasi: 1) pasien telah menjalani perawatan dengan brace, namun masih mengalami
perburukan kurvatura;9,10 2) Pasien yang terlambat menggunakan brace, yaitu pada
pasien dengan kurva >500 dengan usia tulang 15 tahun untuk perempuan dan 17 tahun
untuk laki- laki, serta deformitas kurvatura skoliosis yang sangat berat; 3) kurvatura
skoliosis >500 meskipun tidak dirasakan adanya gangguan kosmetik;9 4) anak yang
tidak menggunakan atau tidak dapat menggunakan brace5 5) nyeri terus menerus yang
mungkin disebabkan oleh skoliosis; 6) skoliosis yang tidak seimbang (unbalanced
scoliosis); dan 7) gangguan psikologis karena skoliosis. 8) Terdapat kompliksi berupa
defisit neurologis dan progresivitas dari kelengkungan kurvatura sebesar 50 per tahun.19
Pada pasien didapatkan beberapa kondisi yang merupakan indikasi untuk dilakukan
tindakan operasi berupa keterlambatan motorik dan progresivitas kurvatura. Lebih jauh
lagi kondisi ini telah menimbulkan komplikasi berupa infeksi paru berulang hingga
pada rawatan saat ini pasien mengalami gagal napas dan harus menggunakan ventilator
sebagai alat bantu napas. Rencana tindakan operasi pada pasien saat ini mengalami
beberapa kendala berupa fungsi paru pasien yang telah mengalami penurunan akibat
infeksi dan lebih jauh juga diakibatkan penurunan pengembangan rongga thorakal
secara normal. Pada penelitian yang dilakukan terhadap pasien CP dengan komplikasi
skoliosis berat post operasi fusi dari vertebra, didapatkan mean survival rate pada anak
usia 11,2 tahun dengan CI 95% adalah ( 125,8 – 142,4 bulan). Spinal surgery ini juga
merupakan suatu tindakan yang cukup berisiko dikarenakan apabila dikerjakan pada
pasien dengan kondisi yang tidak optimal (status infeksi, status gizi, penurunan fungsi
beberapa organ tubuh) akan meningkaykan risiko kematian sebesar 20% paska tindakan
operasi tulang belakang. Di sisi lain Sakiæ dkk, melaporkan bahwa skoliosis akan
semakin mempengaruhi fungsi paru pada kurva toraks bagian atas ketika puncak antara
T5 dan T8 melebihi 70°, dan dalam kasus tersebut ada korelasi langsung antara
kapasitas vital dan peningkatan keparahan kurva. Pada beberapa pengamatan pada
40
pasien skoliosis postoperatif ditemukan adanya peningkatan yang signifikan dari fungsi
kardiopulmoner setelah stabilisasi tulang belakang dan koreksi diamati setelah 2 tahun.
Lebih lanjut, mereka mencatat bahwa koreksi bedah 54% berkorelasi dengan
peningkatan kapasitas vital, volume ekspirasi paksa pada 1 menit Forced Expiratory
Volume (FEV1), aliran tengah maksimum pada 25% hingga 75% dari kapastas vital,
kapasitas residu fungsional, kapasitas paru total, dan peningkatan toleransi latihan.
Kondisi ini menyebabkan dibutuhkannya tatalaksana yang komperhensif terhadap
pasien ini. Dari laporan kasus ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut:
a. Kemungkinan diagnosis pasien ?
b. Bagaimana tatalaksana lebih lanjut yang paling sesuai terhadap pasien ini ?
c. Bagaimana monitoring dan pencegahan komplikasi jangka panjang terhadap
pasien ini?
d. Bagaimana prognosis pasien dengan kondisi seperti ini?
41
DAFTAR PUSTAKA
42