Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG ANAK PEREMPUAN 3 TAHUN 6 BULAN DENGAN EPILEPSI


INTRAKTABEL DAN BRONKOPNEUMONIA

Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan Senior


Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Disusun oleh:
Dewi Wulansari
22010117220070

Penguji :

dr. Mulyono, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO


SEMARANG
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Dewi Wulansari

NIM : 22010117220070

Bagian : Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr.Kariadi

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

Judul Kasus : Seorang Anak Perempuan 3 Tahun 6 Bulan Dengan Epilepsi

Intraktabel dan Bronkopneumonia

Pembimbing : dr. Mulyono, Sp A

Residen Pembimbing : dr. Yuliana Yunarto

Semarang, Maret 2019

Penguji Pembimbing

dr. Mulyono, Sp.A dr. Yuliana Yunarto

2
Laporan Kasus

SEORANG ANAK PEREMPUAN 3 TAHUN 6 BULAN DENGAN EPILEPSI


INTRAKTABEL DAN BRONKOPNEUMONIA
Dewi Wulansari

Abstrak
Istilah refrakter, intraktabel, resisten obat, farmako resisten sering digunakan secara bergantian.
Epilepsi refrakter dapat didefinisikan sebagai kegagalan kontrol kejang sebagai respon
terhadap OAE.1 Epilepsi refrakter atau intraktabel adalah kondisi kegagalan melakukan kontrol
kejang dengan pemberian lebih dari dua jenis OAE lini pertama dengan rata-rata lebih dari 1
kejang/bulan selama 18 bulan dan tidak ada periode bebas kejang dalam 3 bulan berturut-turut
pada periode tersebut.2 Epilepsi refrakter dapat terjadi pada 10-20% anak dengan epilepsi.
Untuk terapi epilepsi refrakter berkisar pada tiga modalitas, yaitu farmakoterapi, operasi
epilepsi dan tindakan alternatif (seperti terapi diet, stimulasi saraf vagus). 1
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstitial.
Bronkopneumoni adalah pneumonia yang melibatkan bronkus/bronkiolus. Ditandai dengan
bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Beberapa faktor dapat meningkatkan risiko
kejadian dan derajat pneumonia, antara lain defek anatomi bawaan, defisit imunologi, polusi,
GER (gastroesophageal reflux), aspirasi, gizi buruk, berat badan lahir rendah, tidak
mendapatkan air susu ibu (ASI), imunisasi tidak lengkap, ada saudara serumah yang menderita
batuk, dan kamar tidur yang padat penghuninya.3 Menurut Riskesdas tahun 2017, persentase
kasus pneumonia di Indonesia sekitar 3,55%, sedangkan untuk di Jawa Tengah 3,61%.
Pneumonia merupakan penyebab utama kematian balita di dunia. Penyakit ini menyumbang
16% dari seluruh kematian anak di bawah 5 tahun.4 Anak dengan napas cepat dengan atau
tanpa tarikan dinding dada, namun tidak ada tanda bahaya diobati dengan amoxicillin peroral
40 mg/kgbb/ dosis, 2 kali sehari, selama 5 hari. Anak usia 2-59 bulan dengan pneumonia berat
diberikan ampicillin parenteral (atau penicillin) dan gentamicin sebagai pengobatan lini
pertama.5
Pada laporan kasus ini akan membahas diagnosis hingga tatalaksana dari seorang anak
perempuan usia 3 tahun 6 bulan dengan kejang berulang tanpa demam dengan penyakit
penyulit bronkopneumonia.

3
Presentasi Kasus diberikan obat asam valproat dengan dosis
Seorang anak perempuan berusia 3 tahun 6 2,2 ml (110 mg)/8 jam dan vitamin B6. Ibu
bulan dirawat di bangsal anak RSDK pasien selalu memberikan obat sesuai
dengan keluhan utama kejang tanpa petunjuk dokter.
demam. 7 bulan sebelum masuk rumah Dua hari sebelum masuk rumah sakit pasien
sakit pasien mengalami kejang di rumah mengalami batuk. Batuk berdahak, dengan
pasien. Kejang terjadi tiba-tiba, tanpa dahak kental dan berwarna putih. Batuk
disertai demam sebelumnya. Saat kejang terus-menerus hingga kadang mengganggu
pasien seperti orang tertidur, pasien tidak tidur pasien. Orang tua pasien belum
sadar, kemudian setelah kejang pasien memberi obat untuk keluhan batuk pasien.
langsung menangis. Pada saat tidak kejang, Selain itu, pasien juga tampak sesak, nafas
pasien masih dapat aktif bermain bersama cepat (+), tarikan dinding dada (+), mengi
teman-temannya. Durasi waktu kejang (-), nafas cuping hidung (+). Sesak dirasa
sekitar 2 hingga 10 detik. Dalam satu hari terutama saat pasien sedang batuk. Pasien
pasien dapat mengalami kejang 1 hingga 3 menjadi kurang aktif dari biasanya. Gejala
kali. Dalam satu minggu kejang dapat penyerta lainnya seperti pilek (+), demam (-
terjadi 2- 3 hari. Gejala lain seperti nyeri ). Nafsu makan pasien turun, pasien hanya
kepala (-), muntah nyemprot (-), kelemahan menghabiskan ½ porsi makanan dari
anggota gerak (-), diare (-), muntah biasanya, pasien juga menjadi malas
sebelumnya (-). Tidak ada faktor yang minum, dalam sehari pasien hanya minum
2
memperberat kejang. Kejang terkontrol kira-kira /3 botol aqua sedang. Pada
obat anti kejang. Orang tua pasien tanggal 15 Januari 2019, pasien kontrol ke
membawa pasien berobat ke RS di Kendal. poli anak RSDK, dan disarankan untuk
Pasien diberi obat anti kejang (asam rawat inap oleh dokter.
valproate dengan dosis 1,8 ml (90 mg)/8 Saat ini pasien perawatan hari ke-9. Pasien
jam dan vitamin B6) dan dirawat jalan. telah dilakukan pemeriksaan lab darah
Pasien rutin meminum obat sesuai anjuran rutin, cek urin rutin, dan pemeriksaan x-
dokter. Pasien rutin kontrol ke RS di foto thoraks AP/Lateral. Pasien
Kendal, namun tidak ada perbaikan. direncanakan akan dilakukan EEG
Semakin lama frekuensi kejang menjadi longterm. Dari hasil pemeriksaan, pasien
lebih sering. Dalam satu hari kejang dapat didiagnosis epilepsi intraktabel dan
terjadi 5 hingga 7 kali. Pasien kemudian bronkopneumonia. Pasien diberikan terapi
dirujuk ke poli anak RSDK. Pasien rutin asam valproat 2,9 ml (145 mg)/8 jam,
kontrol ke poli anak RSDK, pasien vitamin B6 10 mg/8 jam, topamax 50 mg-

4
0- 50 mg, injeksi phenitoin 20 mg/8 jam, N- paru didapatkan suara dasar vesikuler pada
asetil sistein 60 mg/8 jam, injeksi paru kanan kiri, dan didapatkan suara
ceftriakson 1 gr/24 jam. Saat ini keluhan tambahan, yaitu ronkhi basah halus pada
kejang masih ada, satu hari yang lalu, kedua lapang paru. Pasien berusia 3 tahun 6
pasien mengalami kejang 6 kali. Pada saat bulan dengan BB 11 kg, TB 88 cm, WAZ -
kejang tangan kanan dan kaki pasien kaku. 2,51 SD, HAZ -2,84 SD, WHZ -1,14 SD,
Kepala pasien menoleh kearah kanan. sehingga memiliki kesan gizi baik, BB
Durasi kejang 2 hingga 10 detik. Setelah kurang, perawakan pendek.
kejang pasien langsung menangis. Keluhan Pemeriksaan penunjang lab darah rutin
batuk dan sesak dirasa sudah berkurang. dilakukan pada tanggal 15 Januari 2019,
Riwayat penyakit dahulu: didapatkan hasil normal (Hb 13,4; Ht 39,2;
Riwayat trauma kepala, alergi obat dan eritrosit 5,12x106; leukosit 9x103;
makanan, operasi dan rawat inap disangkal. trombosit 289x103; Ca 2,37; Na 135; K 3,9,
Riwayat batuk (+), membaik dengan obat. dan Cl 99). Pada tanggal 16/1/2019
Riwayat penyakit keluarga: dilakukan x-foto thoraks AP supine/Lateral
Riwayat keluhan yang sama pada keluarga, pada pasien. Hasil dari x-foto thoraks
keluarga sakit epilepsy, keluarga batuk >2 didapatkan :
minggu disangkal. Cor : CTR = 49%
Riwayat sosial ekonomi : Bentuk dan letak jantung normal
Biaya pengobatan menggunakan JKN Non Retrocardiac dan retrosternal space tak
PBI. Ayah bekerja sebagai buruh pabrik menyempit
yang penghasilannya (sekitar 1.200.000 per Pulmo : Corakan vaskular tampak
bulan) dan ibu pasien adalah ibu rumah meningkat
tangga. Orang tua pasien menanggung 1 Tampak bercak pada paracardial kanan
orang anak yang belum mandiri. Kesan Hemidiafragma kanan setinggi costa 8
sosial ekonomi kurang. posterior
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Sinus costofrenikus kanan kiri lancip
kesadaran composmentis, keadaan umum Kesan:
tampak sakit. Tekanan darah 100/70 • Cor tak membesar
mmHg, nadi 110x/menit, isi dan tegangan • Gambaran bronchopneumonia
cukup, RR 29x/menit, suhu 36,80C. Tidak Pada tanggal 21/1/2019, pasien diperiksa
tampak sianosis, tidak tampak retraksi lab darah rutin kembali, didapatkan hasil
dinding dada, tampak terpasang nasal kanul normal (Hb 11,3; Ht 33,4; eritrosit
(2 lpm). Pada pemeriksaan fisik auskultasi 4,22x106; leukosit 6,5x103; trombosit

5
207x103). Pada tanggal 22/1/201 dilakukan sesak sudah berkurang. Didapatkan tanda-
pemeriksaan sekresi-ekskresi urin lengkap, tanda vital sebagai berikut: Tekanan darah
didapatkan hasil normal (warna 110/70 mmHg, nadi 114x/menit, isi dan
kekunningan, jernih, pH 7,4; protein tegangan cukup, RR 27x/menit, suhu
negatif). 36,40C.

Pada tanggal 21/1/2019, pasien diperiksa Pada hari ke-11 perawatan didapatkan
MRI kepala dengan kontras, didapatkan keluhan kejang masih berulang, batuk dan
kesan small vessel ischemic lessions pada sesak sudah berkurang. Didapatkan tanda-
subcortical lobus frontal kanan-kiridan tanda vital sebagai berikut: Tekanan darah
parietal kiri; pelebaran ringan sulcus 100/80 mmHg, nadi 108x/menit, isi dan
corticalis regio frontoparietotemporal tegangan cukup, RR 28x/menit, suhu 370C.
kanan-kiri dan ventrkel lateral kanan-kiri
Pada hari ke-12 perawatan didapatkan
disertai atrofi hippocampus kanan-kiri
keluhan kejang masih berulang, batuk dan
gambaran mild cerebral atrophy; tak
sesak sudah berkurang. Didapatkan tanda-
tampak perdrahan maupun tanda
tanda vital sebagai berikut: Tekanan darah
peningkatan TIK, tak tampak stenosis
110/80 mmHg, nadi 116x/menit, isi dan
maupun oklusi cerebral arteri.
tegangan cukup, RR 26x/menit, suhu
Pasien didiagnosis dengan epilepsi 36,60C.
intraktabel dan bronkopneumonia. Pasien
Diskusi
dipasang nasal kanul 2 lpm dan infus D5 ½
NS. Untuk keluhan kejangnya, pasien Epilepsi didefinisikan sebagai suatu

diberikan terapi asam valproat 2,9 ml (145 gangguan pada otak yang ditandai dengan

mg)/8 jam, vitamin B6 10 mg/8 jam, adanya keadaan klinis di bawah ini : 6

topamax 50 mg- 0- 50 mg, injeksi phenitoin 1. Setidaknya terdapat dua serangan


20 mg/8 jam. Selain itu, pasien diberikan kejang atau refleks yang tidak diprovokasi
injeksi ceftriakson 1 gr/24 jam untuk dalam jangka waktu > 24 jam.
bronkopneumonianya dan N-asetil sistein
2. Terdapat satu serangan kejang atau
60 mg/8 jam. Selama dirawat, pasien diberi
reflek yang tidak terprovokasi dan adanya
diet nasi 3x1 porsi serta diberi susu full
kemungkinan munculnya kejang serupa
cream 3x1 @200 cc.
dengan risiko kekambuhan (setidaknya
Pada hari ke-10 perawatan didapatkan 60%) setelah muncul dua serangan kejang
keluhan kejang masih berulang, batuk dan

6
tanpa provokasi, terjadi dalam 10 tahun ke mengetahui adakah gangguan struktur
depan. otak sejak lahir, dan riwayat trauma.

3. Telah terdiagnosis dengan sindroma Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan


epilepsi sebelumnya. adalah pemeriksaan fisik umum dan
pemeriksaan neurologi lengkap dengan
Klasifikasi kejang menurut ILAE 2017
seksama. Hal ini diperlukan guna
mencari tanda gangguan yang berkaitan
atau yang mencetuskan epilepsi.

Pada kasus ini, dari anamnesis


didapatkan bahwa pasien mengalami
kejang berulang tanpa adanya demam.
Pada saat kejang pasien tidak sadar,
setelah kejang pasien sadar. Pada saat
kejang kedua tangan dan kaki pasien
kaku, kepala pasien menoleh kearah
Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan
kanan sehingga pada pasien ini dapat
apabila terdapat dua atau lebih episode
diklasifikasikan sebagai epilepsi
kejang tanpa provokasi dengan interval
general tonik, sesuai dengan
24 jam atau lebih. Atau apabila
pengklasifikasian oleh ILAE 2017.
ditemukan manifestasi khas sindrom
Pada pemeriksaan fisik tidak
epilepsi. Diagnosis epilepsi merupakan
didapatkakn defisit neurologis.
diagnosis klinis yang terutama
ditegakkan atas dasar anamnesis dan  Pemeriksaan Penunjang
pemeriksaan fisik neurologis yang Standar baku emas dalam penegakan
diperkirakan memiliki sensitivitas diagnosis epilepsi ialah berdasarkan
97,7% dan spesifitas 100%. anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan penunjang bersifat
Pada anamnesis tanyakan apakah ada
sebagai pendukung dari diagnosis
riwayat epilepsi sebelumnya, riwayat
epilepsi atau untuk menentukan
epilepsy dalam keluarga, riwayat
sindrom epilepsi. Pemeriksaan
kejang demam dari keluarga pasien
penunjang yang dapat dilakukan adalah
maupun pasien sendiri, riwayat
elektroensefalografi (EEG) ataupun
prenatal-natal-postnatal pasien untuk
MRI. Pemeriksaan lainnya yang dapat

7
dilakukan yaitu pemeriksaaan mg/KgBB/ha
ri
laboratorium hematologi, lumbal
Fenitoin Epilepsi Mioklonik 5-6
pungsi, dan EKG.6 Fokal mg/KgBB/ha
ri
Epilepsi Absans dibagi dua
Tatalaksana Medikamentosa Umum dosis

Fenobarbital Epilepsi Absans 4-6


Prinsip pemberian OAE:6 Umum mg/KgBB/ha
ri
Epilepsi dibagi dua
1. Tujuan pengobatan monoterapi: Fokal dosis

obat dinaikkan tiap 2 minggu sampai


kejang terkontrol tanpa efek samping
Pilihan OAE lini kedua
2. Berikan OAE lini kedua, bila dosis Nama Obat Indikasi Dosis

maksimal tercapai dan kejang belum Topiramat Epilepsi 5-9mg/KgBB/hari


Umum dibagi dua dosis
terkontrol (bebas kejang)
Epilepsi Fokal Mulai dari dosis 0,5-1
mg/kgBB/hari.
3. Timbul efek samping obat, alergi Dinaikkan setiap 1-2
minggu hingga dosis 5-
9mg/KgBB/hari
Pilihan OAE lini pertama
Lamotrigine Epilepsi Dapat dinaikkan setiap
Nama Obat Indikasi Kontraindika Dosis Umum 5-7 hari hingga dosis 30
si mg/kgBB/hari
Epilepsi Fokal
Asam Epilepsi 0,5-1 mg/kgBB/hari
15-40
Valproat Umum Absans dibagi 2-3 dosis
mg/KgBB/ha
Mioklonik
ri
Epilepsi Mulai dengan dosis 0,5
dibagi dua
Fokal mg/kgBB/hari
dosis.
Absans Dapat dinaikkan setiap 2
Target awal minggu hingga dosis
: 15-25 5mg/KgBB/hari
Miokloni
mg/KgBB/ha Levetiracetam Epilepsi Fokal 20-60 mg/KgBB/hari
k
ri dibagi 2-3 dosis
Epilepsi
Karbamazepi Epilepsi Mioklonik 10-30
Umum Mulai dari dosis 5-10
n Fokal mg/KgBB/ha
mg/kgBB/hari.
ri
Absans Dinaikkan setiap 5-7
Absans dibagi dua
hari hingga dosis 30
dosis
mg/KgBB/hari
Mulai
Oxcarbazepine Epilepsi Fokal 10-30 mg/KgBB/hari
dengan dosis
dibagi 2-3 dosis
5-10
Benign
mg/KgBB/ha
Rolandic Mulai dari dosis 5-10
ri
Epilepsy mg/kgBB/hari.
Dinaikkan
setiap 5-7
hari, 5
mg/KbBB/ha Menurut IDAI, epilepsi refrakter atau
ri
intraktabel adalah kondisi kegagalan
Target awal
15-20 melakukan kontrol kejang dengan

8
pemberian lebih dari dua jenis OAE lini mg/8 jam. Karena dengan kombinasi 2
pertama dengan rata-rata lebih dari 1 OAE kejang tidak membaik, maka pasien
kejang/bulan selama 18 bulan dan tidak ada diberikan OAE ketiga. Pada pasien ini
periode bebas kejang dalam 3 bulan diberikan topamax, dengan dosis 25mg-0-
berturut-turut pada periode tersebut.2 25 mg. Namun, kejang tetap tidak
Sedangkan menurut ILAE, epilepsi membaik, sehingga dosis topamax
refrakter didefinisikan oleh ILAE sebagai dinaikkan menjadi 50mg-0-50mg. Asam
kegagalan untuk mencapai bebas kejang valproate memiliki mekanisme kerja
setelah percobaan menggunakan 2 atau 3 meningkatkan inaktivasi kanal Na+, inhibisi
obat yang sesuai.1 Pasien didiagnosis kanal Ca2+, dan meningkatkan inhibisi
menderita epilepsi intraktabel, hal ini GABA dengan cara menghambat degradasi
dikarenakan pasien sudah mendapat 3 GABA. Fenitoin bekerja dengan cara
OAE, namun keluhan kejang tidak inhibisi kanal Na+, sedangkan topiramat
berkurang. Terapi OAE pada pasien ini bekerja dengan cara inhibisi kanal Na+ dan
sudah sesuai dengan tatalaksana yang menurunkan eksitasi glutamate melalui
dianjurkan oleh PERDOSSI, dimana terapi blok reseptor AMPA.7 Hal ini sejalan
dimulai dengan monoterapi, menggunakan dengan definisi epilepsi refrakter yang
OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan dikemukakan oleh ILAE, dimana epilepsi
dan jenis sindrom epilepsi, dimulai dari refrakter didefinisikan oleh ILAE sebagai
dosis rendah dan dinaikkan bertahap kegagalan untuk mencapai bebas kejang
sampai dosis efektif tercapai. Pada pasien setelah percobaan menggunakan 2 atau 3
ini tidak terdapat perbaikan menggunakan obat yang sesuai.1
monoterapi dengan menggunakan asam
Pemeriksaan penunjang yang dapat
valproate, dimana dosis awalnya diberikan
dilakukan pada epilepsy intraktabel, yaitu:1
1,8 ml (90 mg)/8jam, namun keluhan tidak
membaik, kemudian dosis ditingkatkan  EEG

menjadi 2,2 ml (110 mg)/8jam. Keluhan Rekaman EEG kepala dengan durasi

kejang tidak ada perbaikan, sehingga dosis panjang pada anak dengan epilepsi

dinaikkan lagi menjadi 2,9 ml (145mg)/8 intraktabel sangat penting dan bermanfaat.

jam. Karena keluhan kejang tetap tidak ada Rekaman EEG bertujuan untuk

perubahan, maka diberikan OAE kedua. mengklasifikasi sindrom epilepsi (seperti

OAE kedua harus memiliki mekanisme sindrom Lennox-Gastaut, sindrom West),

kerja yang berbeda dari OAE pertama.6 menentukan lokasi lesi epileptogenik (zona

Pada pasien diberikan injeksi phenitoin 20 iritatif atau epileptogenik) pada kasus

9
epilepsi fokal, diagnosis status epileptik  Pemeriksaan Genetik
non-kejang (biasanya terlihat pada banyak Kariotype dapat mendeteksi perubahan
sindrom epilepsi yang berat pada masa struktur kromosom (penghapusan,
kanak-kanak) dan mengevaluasi duplikasi, translokasi, inversi) atau
kecurigaan kejang non-epilepsi yang dapat jumlah kromosom (monosomi, trisomi).
menyebabkan epilepsy refrakter yang Fluoroscent in-situ hybridization (FISH)
'semu'. Hasil rekaman EEG dapat dapat mengidentifikasi ada tidaknya atau
ditingkatkan dengan memperpanjang penataan ulang segmen DNA tertentu.
durasi rekaman, penyertaan komponen Pemeriksaan untuk gen spesifik harus
video atau rawat inap untuk pemantauan berdasarkan kecurigaan terhadap
video-EEG yang durasi panjang (Long sindrom epilepsi.1
Term Monitoring; LTM).1
Pasien sebelumnya sudah pernah dilakukan
 Neuroimaging
EEG, didapatkan hasil normal. Namun hal
Neuroimaging fungsional dapat
ini tidak membuat diagnosa epilepsi tidak
membantu pada kasus dimana dengan
tegak. Menurut penelitian yang dilakukan
pencitraan struktural didapatkan
oleh I Gusti Ngurah Made, didapatkan hasil
gambaran normal atau terdapat
rekaman EEG pertama kali didapatkan
ketidaksesuaian fitur radiologis dan
gambaran abnormal pada 42,4% kasus dan
klinis serta rekaman EEG. Modalitas
sisanya sebagian besar gambaran EEG
pencitraan fungsional dapat mencakup
dalam batas normal. Beberapa penelitian
Positron Emission Tomography (PET),
lain melaporkan hasil serupa, EEG yang
Ictal and Inter-ictal Single-photon
pertama kali didapatkan abnormal pada 37-
emission CT (SPECT), Subtraction
39% kasus. Hasil rekaman EEG
(SPECT), SISCOM, Magneto
dipengaruhi oleh banyak faktor dan tidak
encephalography (MEG), Functional
selalu gangguan fungsi otak dapat
MRI, Simultaneous EEG and Functional
tercermin pada rekaman EEG. Gambaran
MRI (EEGfMRI) atau Optical imaging.1
EEG normal dapat dijumpai pada anak
 Pemeriksaan Metabolik
dengan epilepsi, sebaliknya gambaran EEG
Pemeriksaan metabolik meliputi abnormal ringan dan tidak khas terdapat
pemeriksaan analisis gas darah, kadar pada 15% populasi normal.8 Pasien ini juga
arteri laktat, gula darah, amonia dan dilakukan pemeriksaan MRI, hal ini
keton urin. Investigasi lebih lanjut harus dilakukan karena terdapat indikasi, yaitu
berdasarkan kecurigaan klinis.1 kegagalan mengontrol kejang setelah

10
pemberian OAE lini pertama yang adekuat epilepsi dan tindakan alternatif (seperti
dan perubahan pola kejang, yaitu awalnya terapi diet, stimulasi saraf vagus).
kejang absans menjadi kejang umum tonik.
 Farmakoterapi
Hal ini sesuai dengan pedoman yang
Pada epilepsi kronis (lebih dari 5 tahun),
dianjurkan oleh PERDOSSI, dimana
penambahan jenis OAE memberikan
terdapat 5 indikasi pasien dilakukan
kebebasan kejang sebesar 17% dan
pemeriksaan MRI, yaitu kejang dengan
pengurangan kejang hingga 50-99%
onset fokal, kejang umum atau tidak
pada 25% pasien epilepsy intraktabel.
terklasifikasi pada tahun pertama
Pada pasien yang tidak berespon
kehidupan atau onset pada dewasa, terdapat
terhadap pemberian OAE pertama, dapat
defisit neurologis, kegagalan mengontrol
dicoba untuk setidaknya 2 percobaan
kejang setelah pemberian OAE lini pertama
dengan terapi OAE lain. Zonisamide,
yang adekuat, dan adanya perubahan pola
levetiracetam, lamotrigin, topiramate,
kejang.6 Dari hasil pemeriksaan MRI
dan gabapentin telah menunjukkan
didapatkan hasil kesan small vessel
manfaat (evidence level A) sebagai
ischemic lessions pada subcortical lobus
terapi tambahan pada pasien dengan
frontal kanan-kiridan parietal kiri;
epilepsi fokal intraktabel.10
pelebaran ringan sulcus corticalis regio
 Operasi Epilepsi
frontoparietotemporal kanan-kiri dan
Operasi epilepsi dapat dilakukan secara
ventrkel lateral kanan-kiri disertai atrofi
efektif dan aman pada anak kecil.
hippocampus kanan-kiri gambaran mild
Tindakan operasi dapat mengurangi
cerebral atrophy; tak tampak perdrahan
frekuensi kejang, memperbaiki kualitas
maupun tanda peningkatan TIK, tak tampak
hidup dan membantu perkembangan.1
stenosis maupun oklusi cerebral arteri. Saat
 Terapi Dietetik
ini pasien diprogramkan akan dilakukan
Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak,
pemeriksaan EEG longterm. Video EEG
rendah karbohidrat, dan restriksi protein
dapat menunjukkan lateralisasi dan
yang merupakan perawatan
lokalisasi zona epileptogenik. Semiologi
nonfarmakologis efektif pada epilepsi
kejang dari rekaman video mungkin dapat
intraktabel.1 Dasar dari efektivitas diet
mengklasifikasikan tipe kejang pasien dan
ketogenic adalah karena ketosis yang
dapat memandu terapi. 9
terjadi saat otak kekurangan glukosa
Terapi epilepsi refrakter berkisar pada tiga
sebagai sumber energi sehingga
modalitas, yaitu farmakoterapi, operasi

11
menggunakan benda keton sebagai Defisiensi vitamin B6 banyak terjadi pada
sumber energi utama.11 penderita epilepsi. Menurut Asif,
 Neurostimulasi pemberian vitamin B6 harus selalu dicoba
Stimulasi saraf vagus (Vagal Nerve pada semua anak dengan epilepsi
Stimulation) adalah terapi yang berguna intraktabel. Pada anak dan dewasa dengan
dalam kejang refrakter. Pada terapi ini kejang yang terkontrol dengan obat harus
menggunakan alat implan kecil yang dipertimbangkan pemberian vitamin B6
menstimulasi saraf vagus kiri secara dengan dosis sedang (10-60mg/hari) agar
intermiten dengan stimulus listrik. mencegah defisiensi vitamin B6 karena
Mekanisme pasti dari anti-kejang belum penggunaan obat.12 Menurut Wang,
diketahui tetapi telah terbukti defisiensi vitamin B6 dapat menyebabkan
mempengaruhi aliran darah ke berbagai defisiensi GABA dan dapat menyebaban
bagian otak dan mempengaruhi kejang. Apabila hal ini tidak diatasi, maka
neurotransmiter tertentu.9 dapat terjadi kerusakan neurologi yang
permanen.13 Sehubungan dengan hal
Pada pasien ini dilakukan terapi
tersebut, pada pasien ini diberikan vitamin
farmakoterapi, yaitu dengan pemberian
B6 10mg/8 jam untuk mencegah terjadinya
obat asam valproate 2,9 ml (145 mg)/8 jam,
defisiensi vitamin B6, sehingga diharapkan
topamax 50mg-0-50mg, injeksi phenytoin
tidak terjadi komplikasi yang disebabkan
20 mg/8 jam serta vitamin B6 10 mg/8 jam.
oleh defisiensi vitamin B6.
Namun keluhan kejang belum ada
perbaikan. Sehingga mungkin perlu Pneumonia adalah infeksi akut parenkim
dipertimbangkan terapi lainnya, misalnya paru yang meliputi alveolus dan jaringan
terapi dietetic (diet ketogenic, stimulasi interstitial. Pneumonia didefinisikan
nervus vagus) maupun terapi pembedahan. berdasarkan gejala dan tanda klinis serta
Menurut Aneja, pada pasien epilepsi perjalanan penyakitnya. Pembagian
intraktabel selalu pertimbangkan pilihan pneumonia secara anatomis dibagi 3 yaitu
pengobatan non farmakologis pada anak- pneumonia lobaris, pneumonia lobularis
anak yang telah gagal dalam pengobatan (bronkopneumoni), dan pneumonia
dengan obat anti-epilepsi lini pertama, interstisialis (bronkiolitis).
karena sebagian besar juga akan kurang Bronkopneumoni adalah pneumonia yang
berespon terhadap obat-obat tambahan melibatkan bronkus/bronkiolus. Ditandai
berikutnya.1 dengan bercak-bercak infiltrat pada
lapangan paru.3

12
Beberapa faktor dapat meningkatkan risiko dijumpai pada anak besar, tapi pada
kejadian dan derajat pneumonia, antara lain neonatus bisa tanpa batuk.14
defek anatomi bawaan, defisit imunologi,
Dari anamnesis pada pasien ini didapatkan
polusi, GER (gastroesophageal reflux),
bahwa anak mulai batuk grok-grok 2 hari
aspirasi, gizi buruk, berat badan lahir
SMRS, batuk berdahak, anak tampak sesak,
rendah, tidak mendapatkan air susu ibu
nafas cepat, dan terdapat tarikan dinding
(ASI), imunisasi tidak lengkap, ada saudara
dada. Pada saat pemeriksaan fisik,
serumah yang menderita batuk, dan kamar
didapatkan adanya suara ronkhi basah halus
tidur yang padat penghuninya.3 Beberapa
di kedua lapang paru. Hal ini sesuai dengan
keadaan seperti gangguan nutrisi
kriteria dari WHO 2017, dimana anak usia
(malnutrisi), usia muda, kelengkapan
2-59 bulan dengan batuk dan atau sesak
imunisasi, kepadatan hunian, defisiensi
disertai nafas cepat dan atau retraksi
vitamin A, defisiensi Zinc (Zn), dan faktor
diklasifikasikan sebagai pneumonia,
lingkungan (polusi udara) merupakan
sedangkan pneumonia berat adalah
faktor risiko untuk IRBA. Kejadian IRBA
pneumonia yang disertai tanda-tanda
meningkat pada anak dengan riwayat
bahaya, yaitu tidak dapat minum, muntah
merokok atau perokok pasif. 14
terus-menerus, letargi, ataupun malnutrisi.5
Gejala dan tanda pneumonia dapat
Pemeriksaan Penunjang
dibedakan menjadi gejala umum infeksi
(nonspesifik), gejala pulmonal, pleural,  Pemeriksaan radiologi :
atau ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik - Pemeriksaan foto dada tidak
meliputi demam, menggigil, sefalgia, resah direkomendasikan secara rutin
dan gelisah. Beberapa pasien mungkin pada anak dengan infeksi saluran
mengalami gangguan gastrointestinal napas bawah akut ringan tanpa
seperti muntah, kembung, diare, atau sakit komplikasi
perut. Gejala pada paru timbul setelah - Pemeriksaan foto dada
beberapa saat proses infeksi berlangsung. direkomendasikan pada penderita
Setelah gejala awal seperti demam dan pneumonia yang dirawat inap atau
batuk pilek, gejala napas cuping hidung, bila tanda klinis yang ditemukan
takipnu, dispnu, dan timbul apnu. Otot membingungkan
bantu napas interkostal dan abdominal - Pemeriksaan foto dada follow up
mungkin digunakan. Batuk umumnya hanya dilakukan bila didapatkan
adanya kolaps lobus, kecurigaan

13
terjadinya komplikasi, pneumonia tersedia) untuk penegakkan
berat, gejala yang menetap atau diagnosis dan menentukan
memburuk, atau tidak respons mulainya pemberian antibiotik
terhadap antibiotik - Pemeriksaan C-reactive protein
- Pemeriksaan foto dada tidak dapat (CRP), LED, dan pemeriksaan
mengidentifikasi agen penyebab.3 fase akut lainnya tidak dapat
 Pemeriksaan laboratorium : membedakan infeksi viral dan
- Pemeriksaan jumlah leukosit dan bakterial sehingga tidak
hitung jenis leukosit perlu direkomendasikan sebagai
dilakukan untuk membantu pemeriksaan rutin
menentukan pemberian - Pemeriksaan uji tuberkulin selalu
antibiotik. Gambaran darah dipertimbangkan pada anak
menunjukkan leukosistosis, dengan riwayat kontak dengan
biasanya 15.000 - 40.000/mm3 penderita TBC dewasa
dengan pergeseran - Analisis gas darah (AGD)
- Pemeriksaan kultur pewarnaan menunjukkan hipoksemia dan
gram sputum dengan kualitas hiperkarbia. Pada stadium lanjut
yang baik, direkomendasikan dapat terjadi asidosis metabolik.3
dalam tata laksana anak dengan
Pada pasien ini, didapatkan kesan
pneumonia berat
gambaran bronchopneumonia pada X-foto
- Kultur darah tidak
thoraksnya. Hal ini semakin menunjang
direkomendasikan secara rutin
penegakkan diagnosis bronkopneumonia.
terhadap pasien rawat jalan tetapi
direkomendasikan pada pasien Tatalaksana

rawat inap dengan kondisi berat


dan pada setiap anak yang
dicurigai menderita pneumonia
bakterial. Kultur darah dapat
posistif pada 20-50%
- Jika ada efusi pleura, dilakukan
Rekomendasi penatalaksanaan menurut
pungsi cairan pleura dan
WHO :
dilakukan pemeriksaan
mikroskopis, kultur, serta deteksi Rekomendasi 1:
antigen bakteri (jika fasilitas

14
Anak dengan napas cepat tanpa tarikan berat yang gagal diobati dengan lini
dinding dada atau tanda bahaya diobati pertama.
dengan amoxicillin peroral 40
mg/kgbb/dosis, 2 kali sehari (80
Rekomendasi 4:
mg/kgbb/hari) selama 5 hari. Pada
wilayah dengan prevalensi HIV Ampicillin (atau penicillin jika tidak
rendah, dapat diberikan amoxicillin tersedia) plus gentamicin atau
selama 3 hari. ceftriaxon, direkomendasikan sebagai
antibiotik lini pertama untuk anak
Anak dengan napas cepat yang gagal
dengan infeksi HIV dan bayi yang
diobati dengan lini pertama harus
terpapar HIV dan untuk anak dibawah
dirujuk ke fasilitas kesehatan yang
5 tahun dengan tarikan dinding dada
menyediakan pengobatan lini kedua.
atau pneumonia berat.
Rekomendasi 2:
Rekomendasi 5:
Anak usia 2-59 bulan dengan tarikan
- Terapi empiris Cotrimoxazole untuk
dinding dada diobati dengan
suspek pneumocytis jirovecii
amoxicillin peroral 40 mg/kgbb/ dosis,
(sebelumnya Pneumocystus carinii)
2 kali sehari, selama 5 hari
pneumonia (PCP) direkomendasikan
Rekomendasi 3: sebagai terapi tambahan bagi anak
dengan infeksi HIV atau bayi yang
Anak usia 2-59 bulan dengan
terpapar HIV sejak usia 2 bulan - 1
pneumonia berat diberikan ampicillin
tahun dengan pneumonia berat atau
parenteral (atau penicillin) dan
pneumonia sangat berat
gentamicin sebagai pengobatan lini
- Terapi empiris cotrimoxazole ini
pertama.
tidak direkomendasikan untuk anak
- Ampicillin: 50 mg/kgbb, atau benzyl dengan infeksi HIV atau terpapar
penicillin: 50.000 unit/kg IM/IV tiap HIV usia lebih dari 1 tahun dengan
6 jam selama 5 hari tarikan dinding dada atau pneumonia
- Gentamicin: 7,5 mg/kgbb IM/IV sekali berat.5
sehari selama 5 hari Pada kasus ini, awalnya pasien diterapi
- Ceftriaxon digunakan sebagai lini dengan ampicillin sulbactam 500 mg/6
kedua pada anak dengan pneumonia jam selama 5 hari, namun tidak ada
perbaikan, dimana anak masih terasa

15
sesak, nafas cepat, terdapat retraksi halus di kedua lapang paru. Pada X-foto
dinding dada sehingga terapi diganti thoraks didapatkan kesan gambaran
menjadi injeksi ceftriakson. Saat ini bronkopneumonia. Pada MRI, didapatkan
pasien diterapi dengan injeksi hasil kesan small vessel ischemic lessions
ceftriakson 1 gr/24 jam. Hal ini sesuai pada subcortical lobus frontal kanan-
dengan rekomendasi WHO, dimana kiridan parietal kiri; pelebaran ringan
disebutkan bahwa anak dengan sulcus corticalis regio
pneumonia berat yang gagal dengan frontoparietotemporal kanan-kiri dan
pengobatan lini pertama dapat diberikan ventrkel lateral kanan-kiri disertai atrofi
terapi dengan menggunakan hippocampus kanan-kiri gambaran mild
ceftriakson.5 Mukolitik bekerja dengan cerebral atrophy. Pasien didiagnosis dengan
mengurangi kekentalan mukus dengan epilepsi intraktabel dan bronkopneumonia.
memutus ikatan polimer mukus. Pasien diterapi dengan 3 jenis OAE, yaitu
Asetilsistein sendiri berada pada level of asam valproate 2,9 ml/8 jam, topamax
evidence 1A untuk terapi pada batuk 50mg-0-50 mg, dan fenitoin 20 mg/8 jam.
akut maupun bronchitis pada anak usia Selain itu, pasien medapat vitamin, yaitu
lebih dari 2 tahun.15 Pada pasien ini vitamin B6 dengan dosis 10 mg/8 jam.
diberikan n-asetilsistein, yang Untuk bronkopneumonianya, pasien
merupakan mukolitik dengan tujuan diberikan injeksi ceftriakson 1 gr/24 jam.
untuk mengencerkan dahaknya. Pasien Untuk keluhan batuk dahaknya, pasien
juga diberikan terapi suportif, yaitu diberi n-asetil sistein 60mg/8 jam. Pasien
pemberian oksigen nasal kanul 2 lpm, juga dipasang nasal kanul 2 lpm untuk
hal ini dilakukan untuk mengurangi mengurangi sesaknya. Orang tua pasien
keluhan sesak pasien. Terapi oksigen perlu di edukasi mengenai penyakit pasien
sendiri dapat diberikan 2-4 lpm, apabila dan hal-hal yang perlu diperhatikan pada
saturasi sudah lebih dari 92%, maka pasien. Orang tua pasien di edukasi
dapat diturunkan secara bertahap.16 mengenai penyakit pasien dan rencana
Kesimpulan terapi yang mungkin akan dilakukan pada
pasien. Apabila pengobatan epilepsi dengan
Pasien perempuan usia 3 tahun 6 bulan
farmakoterapi tidak menunjukkan
dengan keluhan kejang berulang tanpa
perbaikan, mungkin perlu dipertimbangkan
demam dan batuk berdahak, sesak, dan
terapi dengan nonfarakoterapi, misalnya
disertai tarikan dinding dada. Pada
diet ketogenik maupun terapi pembedahan.
pemeriksaan fisik didapatkan ronkhi basah
Orang tua juga harus patuh dalam

16
pemberian OAE kepada anak. Orang tua
pasien juga di edukasi untuk lebih
mengawasi pasien ketika beraktivitas.
Misalnya aktivitas dalam air, seperti
berenang dan berendam, orang tua pasien
harus mengawasi untuk menghindari pasien
tenggelam. Anak juga tidak dianjurkan
bersepada di jalan raya dan sebaiknya tidak
bersepeda sendiri, serta wajib memakai
helm pelindung. Orang tua juga diberi
informasi mengenai risiko kematian pada
epilepsi.17 Orang tua pasien di edukasi
untuk menjaga kebersihan lingkungan
rumah dan nutrisi yang baik untuk anak.

17
DAFTAR PUSTAKA 9. Benbadis SR. R eview Approach to
refractory childhood seizures R
1. Aneja S, Jain P. Refractory Epilepsy
eview. 2010;7:497–506.
in Children.
10. Beleza P. Refractory Epilepsy : A
2014;81(October):1063–72.
Clinically Oriented Review.
2. IDAI UKKN. Kejang yang sukar
2009;65–71.
diobati (intraktabel). In: Epilepsi
11. Gupta V, Gupta DM, Gupta R.
pada Anak. Badan Penerbit Ikatan
Intractable epilepsy. JK-Practitioner
Dokter Anak Indonesia; 2016. p. 72.
2005; 12(2): 105-107
3. Antonius H. Pudjiadi, Hegar B,
12. Asif M. Role of various vitamins in
Handryastuti S, Idris NS,
the patients with epilepsy.
Gandaputra EP. Pneumonia.
2013;3(1):1–9.
Pedoman pelayanan medis.
13. Wang H, Kuo M. Vitamin B 6
2009;250–5.
Related Epilepsy during Childhood.
4. Kementerian Kesehatan Republik
2007;396–401.
Indonesia. Profil Kesehatan
14. Supriyatno B. Infeksi Respiratorik
Indonesia 2017. Jakarta: Kementrian
Bawah Akut pada Anak. Sari
Kesehatan Indonesia; 2018.
Pediatr. 2006;8.
5. WHO. Revised WHO classification
15. Andarini I. Update Management of
and treatment of childhood
Cough in Children.
pneumonia at healt facilities.
16. RSUP Dr. Kariadi. Pneumonia. In:
Geneva; 2014.
Panduan Praktek Klinis Ilmu
6. PERDOSSI. 2014. Kelompok Studi
Kesehatan Anak. Semarang; 2015. p.
Epilepsi Perhimpunan Dokter
129.
Spesialis Saraf Indonesia. Pedoman
17. IDAI UKKN. Tatalaksana. In:
Tatalaksana Epilepsi. Jakarta. :1–96.
Epilepsi pada Anak. Badan Penerbit
7. Antiepilepsi dan Antikonvulsi. In:
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.
p. 28.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011.
p. 179–96.
8. Ngurah IG, Suwarba M. Insidens dan
Karakteristik Klinis Epilepsi pada
Anak. 2011;13(2).

18

Anda mungkin juga menyukai