Anda di halaman 1dari 25

Presentasi Kasus Siska Silviana Rabu, 9 Desember 2010

Kepada Bapak/Ibu dr..

EMPIEMA PARAPNEUMONIA

Pendahuluan Empiema adalah akumulasi pus dalam rongga pleura dengan penyebab terbanyak pada anak adalah efusi parapneumonia yang diakibatkan oleh pneumonia bakterial.1-3 Persentase empiema pada anak yang dirawat dengan pneumonia di era preantibiotik adalah sebesar 10% . Persentase empiema pada anak yang dirawat dengan pneumonia di tahun 70-an berkurang yaitu sebesar 2% namun akhir-akhir ini insiden pneumonia pada anak meningkat. World Health Organization (WHO) melaporkan pada tahun 2004 didapatkan 113 juta kasus, 6 juta kasus diantaranya terjadi di Indonesia dengan insiden empiema yang juga meningkat.2,4 Mortalitas empiema lebih tinggi pada usia dibawah 1 tahun terutama pada keterlambatan penanganan, beratnya infeksi dan usia yang lebih muda.1,5,6 Proses perkembangan empiema merupakan proses yang progresif yang terdiri dari 3 fase yaitu fase eksudatif, fase fibropurulen dan fase organizing. Fase ini menentukan tatalaksana yang akan diberikan pada pasien empiema.3 Pengenalan empiema yang lebih dini dan dengan tatalaksana yang tepat diharapkan memberikan kesembuhan yang sempurna1,3,6 Presentasi kasus ini bertujuan untuk tatalaksana empiema pada anak. mengingat kembali diagnosis dan

KASUS Seorang anak perempuan berusia 8 bulan dirawat dibangsal IKA RSUP Dr. M.Djamil Padang selama 15 hari (tanggal 27 Maret 2010 sampai 10 April 2010).

Alloanamnesis diberikan oleh ibu kandung dengan keluhan utama sesak nafas semakin bertambah sejak 3 hari yang lalu. Riwayat penyakit sekarang, demam 6 minggu sebelum masuk rumah sakit, tinggi, hilang timbul, tidak menggigil dan tidak disertai kejang. Batuk sejak 6 minggu sebelum masuk rumah sakit, batuk tidak berdahak, sesak nafas sejak 15 hari sebelum masuk rumah sakit, semakin lama semakin sesak, terutama sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak tidak berbunyi menciut, tidak dipengaruhi cuaca dan makanan. Benjolan di leher belakang sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, sebanyak dua buah, awalnya hanya kemerahan semakin lama makin besar. Muntah tidak ada, riwayat tersedak tidak ada. Riwayat kontak dengan penderita batuk lama tidak ada. Riwayat kebiruan disekitar mulut dan ujung jari tangan dan kaki tidak ada, Riwayat menyusu sebentar-sebentar sejak sesak nafas. Riwayat trauma di daerah dada tidak ada. Buang air kecil, jumlah dan warna biasa. Buang air besar, warna dan konsistensi biasa. Anak sebelumnya sudah dirawat di RS swasta selama 5 hari dan karena tidak ada perbaikan anak dibawa ke SpA(K). Pasien langsung dikirim oleh SpA(K) ke RSUP Dr. M.Djamil Padang. Pasien tidak pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya. Pasien sering menderita bisulan sejak usia 4 bulan. Pasien merupakan anak ke 4 dari 4 bersaudara. Ayah berusia 43 tahun, pendidikan SMA, karyawan BUMN dengan penghasilan 5 juta rupiah per bulan. Ibu pasien berusia 40 tahun, pendidikan SMA, ibu rumah tangga. Tidak ada yang menderita sesak nafas dan tidak ada yang menderita batuk-batuk lama di keluarga. Riwayat atopi keluarga tidak ada. Pasien lahir spontan, ditolong bidan, cukup bulan, berat badan lahir 2750 gram, panjang badan lahir 48 cm, langsung menangis kuat. Pasien telah mendapat imunisasi dasar lengkap dan ada parut BCG. Anamnesis diet, saat ini anak mendapat ASI, nasi tim 2x1/2 porsi sehari, biskuit 2-3 keping sehari. Anak sudah bisa tengkurap saat berusia 4 bulan, duduk sendiri saat berusia 7 bulan dan saat ini sudah bisa berdiri berpegangan, status pubertas A1M1P1 dengan kesan perkembangan dalam batas normal. Pasien tingggal di rumah permanen dengan sumber air minum

dari ledeng, ada jamban di dalam rumah, sampah dibakar, pekarangan cukup luas dengan kesan higiene dan sanitasi cukup. Pasien tampak sakit berat, sadar, tekanan darah 90/60 mmHg, frekuensi laju nadi 120x/menit, frekuensi laju nafas 76x/menit dan suhu aksila 38,3C. Berat badan 6,8 kg, panjang badan 70cm, berat badan menurut umur 82,92%, tinggi badan menurut umur 102,9%, berat badan menurut tinggi badan 79,06%, dengan kesan gizi kurang. Kulit teraba hangat, teraba pembesaran kelenjar getah bening di regio colli dekstra sebanyak dua buah dengan ukuran 1 x 0,5 x 0,5 cm perabaan kenyal, mobile, tidak nyeri. Tampak benjolan di regio colli posterior dua buah dengan ukuran 1 x 1 x 0,5 cm, konsistensi lunak, hiperemis dan nyeri tekan, fluktuasi tidak ada. Kepala bulat, simetris dengan lingkar kepala 48cm (Normal Standar Nelhauss), Ubun-ubun besar datar dan rambut hitam tidak mudah dicabut. Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor dengan diameter 2mm, bentuk isokor dan refleks cahaya +/+ normal. Telinga tidak ditemukan kelainan. Nafas cuping hidung ada. Tonsil berukuran T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis. Mukosa mulut dan bibir basah. Tekanan Vena Jugularis sukar dinilai. Inspeksi dada tampak asimetris, dada kanan tampak lebih menonjol dibanding kiri, gerakan paru kanan tertinggal dibanding kiri, retraksi di epigastrium, interkostal dan supra sternal. Palpasi, fremitus sukar dinilai. Perkusi pekak di kanan, sonor di paru kiri. Auskultasi, tidak terdengar suara nafas di paru kanan, paru kiri bronkovesikuler, ronki tidak ada, wheezing tidak ada. Iktus jantung tidak terlihat, teraba di 1 jari lateral linea midclavicula sinistra ruang interkostal V, batas jantung sukar dinilai, irama jantung teratur dan tidak ditemukan bising. Perut tidak membuncit, perabaaan supel, hepar dan lien tidak teraba dan bising usus normal. Alat kelamin tidak ditemukan kelainan dan status pubertas A1M1P1. Ekstremitas, akral hangat dan perfusi baik. Refleks fisiologis normal dan refleks patologis tidak ditemukan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 10,5g/dl, leukosit 25.500/mm3, hitung jenis 0/0/2/77/18/3, eritrosit 3,98 juta/mm3, hematokrit 30 volume%, trombosit

392.000/mm3, retikulosit 12, gambaran darah tepi normokrom, anisositosis. Laju Endap Darah 10 mm/jam. MCV 75,3 fl, MCH 26,3 pg, MCHC 35%. Urine dan feses dalam batas normal.

Diagnosis kerja : 1. Efusi pleura dekstra ec suspek tuberkulosis Differential diagnosis : efusi pleura dekstra ec suspek infeksi kuman banal 2. Gizi kurang 3. Furunkulosis di regio colli posterior 4. Anemia mikrositik hipokrom ec susp. defisiensi besi Tata laksana : 1.Efusi pleura dekstra ec suspek tuberkulosis Differential diagnosis : efusi pleura dekstra ec susp. infeksi kuman banal Diagnostik Rontgen thorax Aspirasi cairan pleura Analisis cairan pleura Kultur cairan pleura Sitologi cairan pleura Kultur darah Analisis Gas Darah (AGD) dan elektrolit Tes tuberkulin

Terapeutik IVFD KAEN IB 8 tetes/menit (tetesan makro) Oksigen 2 liter/menit Sementara puasa

Amoksisilin 3 x 200 mg iv Kloramfenikol 4 x 125 mg iv

Edukasi Diagnosis, tatalaksana dan prognosis

2. Gizi Kurang Diagnostik Analisis status gizi

Terapeutik Hitung kebutuhan kalori sesuai RDA Berikan diet dengan kalori sesuai RDA setelah sesak nafas teratasi dan disesuaikan dengan toleransi anak

3. Furunkulosis di regio colli posterior Terapeutik Amoksisilin 3 x 200 mg iv

Edukasi Diagnosis, prognosis dan higiene

4.Anemia mikrositik hipokrom ec susp defisiensi besi Diagnostik Pemeriksaan Serum Iron (SI) dan Total Iron Binding Capacity (TIBC)

Pemeriksaan foto thorax tampak perselubungan homogen di hemithorax dextra dengan pendorongan jantung dan trakea kearah kiri, kesan sesuai dengan efusi pleura dekstra.

Pada aspirasi cairan pleura keluar cairan berwarna putih kekuningan, kental, dikeluarkan sebanyak 30cc dengan kesan suatu empiema dan direncanakan untuk pemasangan Water Sealed Drainage(WSD).

Pemantauan pada 1 jam perawatan Demam masih ada, tidak tinggi, sesak nafas masih ada, batuk masih ada, muntah tidak ada, anak masih dipuasakan, anak tampak sakit berat, sadar, laju nadi 120 x/menit, laju nafas 70x/menit, suhu 38C, tekanan darah 90/60 mmHg. Nafas cuping hidung masih ada. Pemeriksaan fisik paru belum ada perubahan. Ekstremitas, akral hangat dan perfusi baik. Analisis gas darah pH 7,44; pCO2 23 mmHg; pO2 138 mmHg; HCO3- 15,6 mmol/l; BE -6,8 mmol/l; SO2 99% dengan kesan asidosis metabolik terkompensasi dan hiperoksemia. Elektrolit, Natrium 137mg/dl dan kalium 5,0 mg/dl dengan kesan dalam batas normal. Analisis cairan pleura, volume 3cc; berwarna putih keruh kekuningan dengan jumlah sel 249.000, PMN 65%, MN 35, protein 6,4, Glukosa 33 mg/dl, rivalta + dengan kesan infeksi bakterial akut. Sikap : Pemasangan WSD Turunkan O2 menjadi 1 liter/menit Sementara puasa IVFD KaEN IB 8 tetes/menit (tetesan makro) Antibiotik Amoksisilin 3 x 200 mg iv Kloramfenikol 4 x 125 mg iv

Pemantauan pada 12 jam perawatan Telah dilakukan pemasangan WSD dalam anestesi lokal selama 30 menit, keluar cairan putih kekuningan keruh sebanyak 150cc, cairan mengalir pada selang WSD. Demam tidak ada, sesak nafas berkurang, batuk masih ada. Anak tampak sakit berat, sadar, laju nadi 116x/menit, laju nafas 60x/menit, suhu 37. Sudah dilakukan foto torak sesudah pemasangan WSD dengan kesan posisi WSD baik. Kesan : perbaikan. Sikap : terapi diteruskan.

Pemantauan pada hari kedua perawatan Demam tidak ada, sesak nafas berkurang, batuk berkurang, cairan di selang WSD mengalir, berwarna putih kekuningan. Tes tuberkulin tidak dilakukan karena hasil analisis cairan pleura sesuai untuk infeksi bakterial akut. Anak tampak sakit berat, sadar, laju nadi 118 x/menit, laju nafas 42x/menit, undulasi WSD (+), bubble (+). Cairan dalam botol 300cc. Buang air besar dan buang air kecil biasa. Nafas cuping hidung tidak ada. Inspeksi dada tampak simetris, retraksi epigastrium dan intercostal. Auskultasi suara nafas paru kanan lemah dibanding kiri. Kesan : perbaikan. Sikap : Coba minum ASI 8x20 cc/sonde, terapi lain diteruskan.

Pemantauan pada hari ketiga perawatan Demam tidak ada, sesak nafas berkurang, batuk tidak ada, anak sudah diberi minum personde, muntah tidak ada. Selang WSD terlepas dan luka bekas thorax tube masih terpasang benang jahitan, pus tidak ada. Cairan dalam botol 300cc. Sudah dilakukan penutupan pada luka bekas thorax tube oleh bagian bedah dan dianjurkan untuk foto thorax. Anak tampak sakit sedang, sadar, laju nadi 108x/menit, laju nafas 42x/menit. Nafas cuping hidung tidak ada. Benjolan di regio colli posterior 1 x 1 x 0,5 cm, masih hiperemis, fluktuasi tidak ada. Dada tampak simetris, retraksi tidak ada. Suara nafas paru kanan masih lemah dibanding kiri. Hasil foto thorax masih tampak efusi pleura kanan namun sudah berkurang dibanding sebelumnya. Hasil

sitologi cairan pleura radang akut (abses). Kultur darah ditemukan pertumbuhan kuman Staphilococcus aureus, sensitif dengan gentamicin. Amoksisilin tidak diuji. Sikap : ASI 4x100 cc , nasi tim saring 2x,. Ganti antibiotik sesuai hasil kultur Gentamicin 2 x 15 mg iv, stop amoksisilin dan berikan Linkomisin 4 x 100 mg p.o.

Pemantauan hari ketujuh perawatan Demam tidak ada, sesak nafas tidak ada, batuk tidak ada, muntah tidak ada, anak mau makan. Benjolan di leher belakang mengecil dan kemerahan berkurang. Anak tampak sakit sedang, sadar, laju nadi 100x/menit, laju nafas 38x/menit, suhu 36,8C. Berat badan 6,8 kg. Mata konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik. Benjolan di leher belakang ukuran 1 x 0,5 x 0.5 cm, hiperemis berkurang. Inspeksi dada tampak simetris, retraksi tidak ada. Suara nafas paru kanan lemah dibanding kiri. Jantung irama teratur, bising tidak ada. Abdomen tidak ditemukan distensi, bising usus + normal. Hasil pemeriksaan darah Hb10 g/dl, leukosit 22.800/mm3, hitung jenis 0/0/4/83/12/1, hematokrit 30 vol%, trombosit 170.000/mm3, eritrosit 4,34 juta/mm3, retikulosit 9%, MCV 69,12 fl, MCH 23 pg, MCHC 33%. SI 49 mg/dl, TIBC 277 mg/dl. SI/TIBC 17,6 (dalam batas normal). Kesan : anemia mikrositik hipokrom ec infeksi kronis. Hasil kultur pus Stafilokokus aureus. Sensitif dengan Gentamisin. Sikap : ASI OD, Nasi tim saring 2 x, Buah biskuit 2 x, terapi lain diteruskan.

Pemantauan hari kedelapan perawatan Berak-berak encer 4 kali sejak 4 jam yang lalu, jumlah 3-4 sendok makan per kali, tidak berlendir, tidak berdarah. Demam tinggi sejak 1 jam yang lalu, tidak menggigil, tidak berkeringat dan tidak kejang. Sesak nafas tidak ada, batuk tidak ada, muntah tidak ada. Anak mau minum ASI dan mau minum oralit. Buang air kecil ada, jumlah sedikit dibanding biasnya. Anak tampak sakit sedang, sadar, laju nadi 114x/menit, laju nafas 40x/menit, suhu 39C. Berat badan 6,7 kg. Ubun-ubun besar datar. Mata tidak tampak cekung, air mata ada, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Inspeksi dada tampak simetris, retraksi tidak ada, suara nafas melemah di basal paru

dekstra. Irama jantung teratur, bising tidak ada. Abdomen tidak distensi, bising usus (+), turgor baik. Akral hangat, perfusi baik. Feses berwarna kuning, konsistensi lembek, pH netral, leukosit 0-1, eritrosit - , amuba - , telur cacing - . Kesan : diare akut tanpa dehidrasi ec susp infeksi virus. Sikap : Oralit 70cc/berak encer Zink 1 x 20 mg Lacto B 2 x sachet ASI OD Nasi tim tanpa serat 2x Buah biskuit 2x Linkomisin 4 x 100 mg Gentamisin 2 x 15 mg Paracetamol 70 mg, kompres intensif

Pemantauan hari kesepuluh perawatan Berak-berak encer masih ada, frekuensi 4x, jumlah 3-4 sendok makan per kali, tidak berlendir, tidak berdarah. Sesak nafas tidak ada, batuk tidak ada, muntah tidak ada,. Ana mau makan dan minum. Anak tampak sakit sedang, sadar, laju nadi 100x/menit, laju nafas 40x/menit, suhu 37C. Berat badan 6,7 kg. Ubun-ubun besar datar. Mata tidak tampak cekung. Air mata ada. Benjolan di leher belakang mengecil, ukuran 1x0,5x0,5cm, tidak hiperemis. Thorax tampak simetris, retraksi tidak ada. Suara nafas melemah di basal paru kanan. Paru kiri bronkovesikur, ronki tidak ada, wheezing tidak ada, Abdomen tidak distensi, bising usus +, turgor baik, ekstremitas akral hangat, perfusi baik. Kesan diare akut tanpa dehidrasi. Terapi diteruskan.

Pemantuan hari keduabelas perawatan Sesak nafas tidak ada, batuk tidak ada. Demam tidak ada, muntah tidak ada. Anak mau makan dan minum. Buang air besar dan buang air kecil biasa. Anak tampak sakit sedang, sadar, laju nadi 100x/menit, laju nafas 38x/menit, suhu 36,8C. Berat badan 6,8kg. Kelenjar getah bening di regio colli dextra dua buah berukuran 0,5 x 0,5 x 0,5 cm. Benjolan di leher belakang ukuran 0,5 x 0,5 x 0.5 cm, tidak hiperemis. Inspeksi dada tampak simetris, retraksi tidak ada. Suara nafas melemah di basal paru kanan. Kesan : perbaikan dan terapi diteruskan.

Pemantuan hari limabelas perawatan Demam tidak ada, sesak nafas tidak ada, batuk pilek tidak ada, muntah tidak ada. Anak mau makan dan minum. Buang air besar dan buang air kecil biasa. Anak tampak sakit sedang, sadar, laju nadi 100x/menit, laju nafas 38x/menit, suhu 36,8C. Berat badan 6,8kg. Mata konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Kelenjar getah bening masih teraba di regio colli dextra 0,5 x 0,5 x 0,5 cm. Tidak teraba benjolan di leher belakang. Inspeksi dada tampak simetris, retraksi tidak ada. Suara nafas melemah di basal paru kanan. Dilakukan foto thorax ulangan dengan hasil empiema dekstra (perbaikan dibanding sebelumnya). Hasil pemeriksaan darah Hb 10,8 g/dl, leukosit 20.100/mm3, trombosit 384.500/mm3, hematokrit 30, eritrosit 4,34 juta/mm3. MCV 69,12 MCH 24.9 MCHC 36%. Kesan : perbaikan dan pasien dibolehkan pulang. Antibiotik Linkomisin 4 x 100 mg po dilanjutkan sampai lima belas hari.

Pemantauan di poliklinik tanggal 19 April 2010. Demam tidak ada, sesak nafas tidak ada, batuk pilek tidak ada, makan mau, buang air kecil dan buang air besar biasa. Keadaan umum baik, frekuensi laju nadi 104x/menit, frekuensi laju nafas 30x/menit, suhu 36,8C. Berat badan 7,1 kg.Panjang badan 70 cm dengan kesan gizi kurang. Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening. Mata, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Dada tampak simetris, retraksi tidak

ada. Fremitus kiri dan kanan sama, sonor di kiri dan kanan, suara nafas bronkovesikuler, tidak ada ronki dan wheezing. Sikap : edukasi pemberian diet anak.

Pemantauan di poliklinik tanggal 22 Juni 2010. Demam tidak ada, batuk pilek tidak ada, sesak nafas tidak ada, buang air besar dan buang air kecil biasa. Frekuensi laju nadi 100x/menit, frekuensi laju nafas 28x/menit, suhu 36,8C. Berat badan 7,8 kg, panjang badan 70 cm. Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening. Pemeriksaan fisik paru dalam batas normal. Dilakukan foto thorax ulangan dengan hasil dalam batas normal dan dilakukan pemeriksaan darah dengan hasil Hb 11 g/dl, Leukosit 12.800/mm3 , hitung jenis 0/3/1/59/35/2 dengan kesan dalam batas normal.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Empiema adalah akumulasi pus biasanya terdiri dari leukosit polimorfonuklear dan fibrin di rongga pleura.1-3 Efusi parapneumonia merupakan proses eksudatif di pleura yang disebabkan oleh inflamasi di paru dan disebut empiema jika efusi tersebut sudah bersifat purulen.5

Epidemiologi Empiema terjadi 10% dari anak yang dirawat dengan pneumonia di era pre antibiotik dengan kuman patogen terbanyak adalah Streptococcus pneumoniae. Kejadian empiema meningkat lagi di tahun 50-an yaitu sebanyak 14% dari anak yang dirawat dengan pneumonia dengan kuman patogen terbanyak adalah Stafilococccus aureus. Tahun 70-an kejadian empiema menurun yaitu sebanyak 2%2 Akhir-akhir ini kejadian empiema kembali meningkat di seluruh dunia. Studi retrospektif di Texas tahun 1993-2002 menemukan peningkatan kejadian empiema anak yaitu dari 5,8 kasus per 10.000 pasien di tahun 1993-1994 dan mencapai 23 kasus per 10.000 pasien di tahun 1999-2000. dengan usia rata-rata adalah 43,6 tahun. Tahun 2001-2002 jumlah kasus menurun hingga 12,3 kasus per 10.000 pasien.7 Peningkatan kasus juga ditemukan di Inggris yaitu 14 kasus per 1 juta penduduk di tahun 1995/1996 menjadi 26 kasus di tahun 2002/2003.2 Jumlah kasus empiema pada anak di Australia juga meningkat yaitu 4 kasus per 1 juta penduduk di tahun 1993/1994 menjadi 9,6 kasus per 1 juta penduduk di tahun 2004/2005 dan kejadian empiema pada pneumonia meningkat dari 0,27% menjadi 0,7%.8 Penyebab peningkatan ini belum jelas, diduga akibat munculnya strain pneumococcal yang lebih virulen dan strain Metilcillin Resisten Stafilococcus Aureus (MRSA).2,7 Satu penelitian retrospektif di Amerika Serikat tahun 2005-2008 menemukan bahwa pneumonia dengan empiema lebih banyak disebabkan oleh MRSA.9

Efusi pleura pada orang dewasa terjadi pada 57% pasien pneumonia dan 10% dari efusi pleura ini berkembang menjadi empiema.3 Kematian akibat empiema tinggi pada 2 tahun pertama kehidupan namun pada usia diatas 2 tahun penyembuhan pada anak lebih sempurna dibanding dewasa.5

Etiologi Lebih dari 50% penyebab empiema adalah efusi parapneumonia, 25% terjadi setelah operasi paru, esofagus atau mediastinum, 10% akibat trauma toraks dan sisanya terjadi akibat sepsis, tuberkulosis, enterokolitis nekrotikan, abses subdiafragmatika atau pneumotoraks spontan. Organisme penyebab empiema adalah bakteri, jamur dan amuba.1,3 Organisme penyebab utama adalah Streptococcus pneumonia dan Stafilococcus aureus .Bakteri gram positif penyebab empiema yang terbanyak adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumonia dan Streptococcus pyogenes. Bakteri garam negatif yang terbanyak adalah Haemophillus influenza, Klebsiella pneumonie dan Pseudomonas aeruginosa. Bakteri anaerob penyebab empiema spesies Prevotella, Bacteroides, Fusobacterium, Veillonella, Propionibacterium acnes, Porphyromonas dan Clostridium perfringens.1

Patofisiologi Empiema parapneumonia terjadi jika pneumonia terjadi di dekat permukaan pleura yang kemudian menembus rongga pleura dan menyebabkan infeksi.10 Perkembangan efusi menjadi empiema terdiri dari 3 fase evolusi yaitu fase eksudatif, fase fibrinopurulen dan fase organizing.1,3,11 Pada fase eksudatif cairan bergerak menuju rongga pleura akibat peningkatan permeabilitas kapiler, disertai dengan produksi proinflamasi sitokin sehingga mengaktifkan sel mesotel pleura dan cairan masuk ke rongga pleura dengan mudah.1, Karakteristik cairan pleura pada fase ini adalah: pH > 7,25, glukosa >60 mg/dl, LDH < 500 IU/dl, protein > 2,5 g/dl, AL > 500/l, BJ > 1,018, cairan serous atau keruh, steril

Fase fibropurulen terjadi akumulasi cairan dan invasi bakteri melalui endotel yang rusak sehingga terjadi deposisi fibrin dan lokulasi cairan. Karakteristik cairan pleura pada fase ini adalah pH 7-7,29, glukosa 40-60mg/dl, dan LDH 500-1000IU/dl. Fase organizing ditandai dengan proliferasi fibroblas, terbentuk membran elastis yang disebut pleural peel, yaitu jaringan fibrous yang keras menggantikan jaringan fibrin yang lunak. Karakteristik cairan pleura pada fase ini adalah : pH<7, glukosa< 40mg/dl, LDH >1000 IU/dl.

Imunopatologi Rongga pleura normal terdiri dari sedikit cairan transudat dengan monosit, makrofag dan sel mesotelial, tanpa netrofil. Pada pleura yang terinfeksi terjadi interaksi bakteri, lipopolisakarida, sitokin dan kemokin yang menyebabkan perubahan permeabilitas pleura. Pada tahap awal terjadi ikatan produk dinding sel bakteri dengan sel mesotel pleura. Ikatan ini menstimulasi produksi interleukin-1(IL-1), interleukin-8 (IL-8), epithelial neutrophil activating protein (ENA)-78, Tumor Necrosis Factor (TNF) dan platelet activating factor. Kemokin yang dominan ditemukan pada empiema adalah IL-8.12 IL-8 akan menarik netrofil ke dalam rongga pleura.12,13 Rongga pleura yang normal bersifat fibrinolitik, dengan adanya inflamasi terjadi peningkatan aktifitas prokoagulan yang menurunkan aktifitas fibrinolitik dan meningkatkan aktifitas fibroblast sehingga terjadi penebalan pada dinding pleura. Hal ini terjadi pada stadium lanjut empiema yang dikendalikan oleh mediator Trasforming Growth Factor dan Platelet Derived Growth Factor.12 Pneumonia yang diobati dengan antibiotik yang tepat akan menggugurkan sel inflamasi dan mediator inflamasi.12

Diagnosis Diagnosis ditegakkan atas dasar gejala klinis, pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan cairan pleura.1,5 Manifestasi klinis efusi parapneumonia sama dengan gejala klasik pneumonia. Umumnya terjadi demam, batuk non produktif, takipnu,

takikardi,dispnu, nyeri dada dan kemungkinan sianosis. Efusi para pneumonia seharusnya dicurigai pada kasus pneumonia yang tidak berespon terhadap pengobatan dalam 48 jam.14 Gejala yang lebih spesifik pada proses parapneumonia adalah sesak nafas dan nyeri dada.5,13 Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai nafas cuping hidung, penurunan gerakan dada, fremitus menurun atau tidak ada, perkusi redup dan vesikuler menurun pada paru yang terkena.1 Pleural rub bisa didengar jika ada eksudat fibrin di pleura.11 Pemeriksaan radiologis meliputi foto dada anteroposterior, lateral dekubitus dan lateral. Pemeriksaan radiologis lebih sensitif dibanding pemeriksaan fisik pada efusi pleura yang sedikit.11 Foto lateral dekubitus bisa menilai cairan di pleura bersifat befat terlokulasi atau bebas.11 Stadium efusi bisa ditentukan dengan pemeriksaan CT scan dan ultrasonografi. Ultrasonografi bisa membedakan efusi berada pada fase fibrinopurulen atau fase organizing.2,5,12,13 Pemeriksaan ultrasonografi dan CT scan dilakukan bila ada lokulasi atau menyerupai abses.2,5,12,13 Pemeriksaan cairan pleura dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan aspirasi cairan pleura. Sampel cairan pleura sebanyak 50cc diambil dengan jarum 21G dan syringe 50ml, sampel harus segera dimasukkan ke dalam botol steril untuk pemeriksaan analisis protein, LDH, pH, glukosa, pewarnaan Gram, sitologi dan kultur mikrobiologis.1,3 Setelah pengambilan perlu memperhatikan penampakan dan warnanya karena bisa menegakkan diagnosis.13 Jika cairan yang keluar jelas purulen maka dipastikan bahwa efusi tersebut adalah empiema. Cairan yang keluar seperti susu harus dibedakan apakah empiema atau chyle dengan cara sentrifugasi .13 Membedakan transudat dan eksudat secara tepat adalah dengan adalah berdasarkan kadar protein yaitu transudat jika kadar protein >30 g/dl dan eksudat jika protein <30 g/dl. Selain itu ada cara yang lebih akurat untuk membedakan keduanya yaitu dengan menggunakan kriteria Light.1,13 Menurut kriteria Light, cairan pleura adalah eksudat jika memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut : Protein cairan pleura dibagi protein serum > 1/2

LDH cairan pleura dibagi LDH serum > 0,6 LDH cairan pleura > 2/3 batas atas LDH serum

Bila terbukti cairan tersebut adalah eksudat, dilanjutkan dengan pemeriksaan pewarnaan Gram dan kultur bakteri. Selain itu juga harus dilakukan hitung jenis leukosit. Hitung jenis sel cairan pleura bisa menentukan etiologi.13 Netrofil >50% menunjukkan proses akut, yaitu pneumonia bakterial akut atau infark paru dan dominasi sel mononuklear menunjukkan proses kronis yaitu tuberkulosis proses keganasan.
3,13 1,13

atau

Pelacakan tuberkulosis dilakukan bila ada limfositosis dan

berdasarkan hasil analisis sitologi. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan anemia dan leukositosis12 serta peningkatan laju endap darah3 namun ini tidak bersifat spesifik.3,12

Penatalaksanaan Penatalaksanaan empiema meliputi pemberian terapi antibiotik yang tepat, nutrisi yang optimal dan evakuasi pus dari rongga pleura.13 Tujuan penatalaksanaan adalah mengembalikan fungsi paru ke fungsi normal dengan pemberian antibiotik yang tepat, drainase cairan pleura dan memperbaiki pengembangan paru. Empiema dapat diterapi dengan kombinasi obat-obatan dan tindakan bedah.1 Pemberian nutrisi yang adekuat juga perlu diperhatikan karena gizi buruk dapat memperlama penyembuhan.1 Ada beberapa pilihan terapi setelah diagnosis ditegakkan. Pilihan terapi tergantung pada pengalaman dan respon klinis terhadap pengobatan awal yaitu antibiotik saja atau kombinasi dengan drainase dan fibrinolitik, open dekortikasi dan Video-assisted Thoracoscopy Surgery (VATS).

Baranwal, dkk (2003) membuat protokol empiema untuk anak di negara berkembang seperti berikut1:

Curiga empiema akut

Cairan serous jernih Dengan pewarnaan Gram dan analisis kimia normal

Cairan purulen

antibiotik parenteral empiris Efusi parapneumonia Bukan empiema Ubah antibiotik sesuai hasil kultur dan drainase cairan pleura

Drainase inkomplet dan/atau gejala menetap Lokulasi pada USG

Perbaikan simptomatis Pengembangan paru + Drainase pus minimal

Reposisi selang drainase/ ganti dengan yang baru (dengan petunjuk USG)

Pus drainase menetap

Pulang 7-14 hari setelah lepas selang (dengan antibiotik oral)

Tindakan bedah setelah 10 hari pemasangan selang drainase

Gambar. Algoritma penatalaksanaan empiema


Sumber : Baranwal AK singh M, Marwaha RK, Kumar L. Empyema thoraxis : a 10 year comparative review of hospitalized children from South Asia. Arch Dis Child 2003,88

Antibiotik harus diberikan pada empiema.1 Pemberian antibiotika disesuaikan dengan hasil kultur.1 Sementara menunggu hasil kultur, pasien tetap diberikan

antibiotik secara empiris.1 Pilihan terapi antibiotik yang tepat dan empiris untuk empiema parapneumonia adalah antibiotik untuk melawan kuman Stafilococcus aureus dan Streptococcus pneumonia. Terapi empiris untuk daerah yang bukan epidemis Community Acquired Metilcillin Resisten Stafilococcus Aureus (CAMRSA) digunakan antibiotik golongan Laktamase resisten penisilin seperti oxacillin dan sefalosporin. Terapi empiris pada daerah epidemis MRSA adalah klindamisin atau vankomisin yang dikombinasi dengan Sefalosporin.2 Sebagian besar antibiotik berdifusi dengan baik ke dalam cairan pleura dengan lama terapi diperkirakan cukup 14-28 hari.2

Pilihan terapi antibiotik sesuai hasil kultur dapat dilihat pada table berikut ini : Tabel 1. Terapi antimikrobial empiema
Agen infeksi Bakteri aerob 1. Staphylococcus Metilcillin 200-400 mg dibagi 3-4 dosis iv, 3-4 minggu Cloxacillin, 100-200 mg dibagi 3-6 dosis iv, 3-4 minggu 2. Haemophilus influenza Ampisilin 100-200 mg dibagi 2-4 dosis iv, 1-2 minggu Chloramfenicol 50-100mg dibagi 4 dosis iv, 1-2 minggu Cefuroxime 75-225 mg, dibagi 3 dosis iv, 1-2 minggu 3. Pneumococcus Streptococci 4. E. Coli dan Klebsiella dan Penicillin G 50.000-300.000 unit dibagi 3-4 dosis iv atau im, 710 hari Gentamisin, 5-7 mg dibagi 2-3 dosis iv, 14 hari atau lebih Obat dan dosis (per kgbb perhari)jalur dan durasi

5.

Pseudomonas

Carbenicillin, 100-600mg dibagi 4 dosis iv, 10 hari atau lebih Ticarcillin 400mg dibagi 4 dosis, 10 hari atau lebih Tobranycin 5-7 mg dibagi 2 dosis

Bakteri Anaerob 1. Bacteroides fragilis Chloramphenicol 50-100mg, dibagi 4 dosis iv, 1-2 minggu Penicillin G 50.000-300.000 unit dibagi 3-4 dosis iv atau im, 710 hari 2. Semua kecuali B. fragilis Ampicillin 100-200 mg, dibagi 2-4 dosis iv, 1-2 minggu

Drainase merupakan kunci utama penanganan empiema.1 Drainase dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu tanpa petunjuk radiologis, dengan petunjuk radiologis dan dengan pemasangan `pada saat tindakan bedah. Selang drainase diposisikan pada sisi empiema dengan diameter yang cukup untuk mencegah penyumbatan.2 Perbaikan klinis dan radiologis seharusnya sudah terjadi dalam 24-72 jam dan selang bisa

dilepas jika drainase kurang dari 50 cc/hari dan cairannya jernih atau kuning.1 Obstruksi cairan empiema akibat adanya lokulasi atau akibat kekentalan eksudat sehingga menyumbat drainase menyebabkan drainase saja tidak cukup dan diperlukan pilihan terapi lainnya. Penggunaan obat fibrinolitik intra pleura dilaporkan pada empiema yang tidak respon terhadap antibiotik dan drainase.5 Obat ini dapat menghancurkan septasi yang terbentuk di rongga pleura sehingga bisa memperbaiki drainase.12 Belum ada ketentuan mengenai obat dan dosis yang digunakan.3 Ada 3 macam fibrinolitik yang biasa digunakan yaitu Streptokinase, Urokinase dan Alteplase.15 Bisa digunakan Streptokinase 250.000 IU dua kali sehari selama 3 hari atau Urokinase 100.000 IU sekali sehari selama 3 hari.1 Pemberian obat ini terbukti dapat menunjukkan perbaikan radiologis namun tidak terbukti menurunkan mortalitas, kebutuhan tindakan bedah dan lama perawatan di rumah sakit pada beberapa penelitian1,13 Penggunaan fibrinolitik intra pleura ini mempunyai risiko anafilaktik, perdarahan dan komplikasi lainnya.3 Tindakan bedah dipertimbangkan pada empiema yang gagal mengalami resolusi dalam 10 hari setelah pemasangan selang drainase. Tindakan bedah yaitu dekortikasi dengan Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS) atau open torakotomi.1,2,5,13 Dekortikasi dilakukan apabila tidak terjadi perbaikan klinis atau jika demam persisten atau jika parenkim paru ditutupi lapisan fibrinopurulen. Hoff dan kawankawan menggunakan sistem skoring untuk memutuskan dekortikasi. Kriteria yang digunakan yaitu infeksi anaerobik, pH < 7,2, glukosa < 40 mg/dl, skoliosis dan entrapment paru. Dekortikasi dilakukan jika terpenuhi dua kriteria di atas. Jika pleura yang terkena tidak banyak bisa dilakukan insisi kecil (mini torakotomi). Perlu dilakukan CT Scan atau USG untuk menentukan kondisi ini. Dekortikasi memberikan manfaat yang nyata pada fibrosis yang luas di rongga pleura.5 Idealnya dilakukan 2-6 minggu setelah muncul gejala.10 VATS merupakan teknik yang paling populer5, teknik ini dilakukan dalam anestesi umum namun hanya dengan membuat dua insisi

kecil. Lubang pertama digunakan untuk teleskop dan lubang kedua adalah untuk memasukkan instrumen operatif. Prosedur ini adalah untuk adesiolisis dan debridement, seharusnya dilakukan sebelum terbentuk pleural peel yang tebal.5 Teknik ini sama efektifnya dengan open torakotomi.11

Prognosis Empiema yang diobati dengan antibiotik yang adekuat akan mengalami resolusi tanpa sekuele. Resolusi abnormalitas radiologis akan terjadi setelah 3-6 bulan. Angka mortalitas sekitar 2-15%, terutama pada anak umur dibawah 1 tahun dengan faktor risiko keterlambatan penanganan, durasi penyakit, beratnya infeksi dan umur muda. Pasien yang gagal dengan terapi konservatif memerlukan tindakan bedah yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas meningkat. Penanganan yang cepat dan tepat pada fase akut diharapkan pasien dapat sembuh sempurna.1,2,3,6

ANALISIS KASUS Kasus empiema parapneumonia pada seorang anak perempuan berusia 8 bulan. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, foto thorax dan aspirasi dan analisis cairan pleura. Empiema pada pasien ini diduga empiema parapneumonia karena infeksi di rongga pleura pada umumnya merupakan proses sekunder dari tempat lain terutama dari paru dengan etiologi terbanyak adalah pneumonia bakterial2 dan dari anamnesis didapatkan demam, batuk dan sesak nafas sejak 1 bulan yang lalu dan diikuti sesak nafas. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa anak dengan gejala pneumonia dan demam yang persisten harus dipikirkan suatu empiema.3,16 Analisis multivariat dari penelitian yang dilakukan oleh Elina Lahti, dkk di Finlandia tahun 2007 mendapatkan gejala klinis yang paling signifikan untuk empiema adalah riwayat demam yang lama, takipnea dan nyeri pada palpasi abdomen.17 Penelitian yang dilakukan Metin Aydogan, dkk pada tahun 2002 di Turki menemukan gejala paling banyak adalah batuk (87%) dan demam (85%).18

Pada pemeriksaan fisik didapatkan anak tampak sesak nafas dengan frekuensi 80 kali permenit, gerakan dada kanan tertinggal dibanding kiri, perkusi paru kanan redup dan suara nafas paru kanan tidak ada. Hal ini menunjukkan adanya akumulasi cairan di rongga pleura kanan yang disebabkan oleh efusi pleura. Pada foto thorax terlihat perselubungan homogen di paru kanan dengan sudut kostofrenikus kanan yang tumpul serta jantung terdorong ke kiri, hal ini menunjukkan adanya cairan di rongga pleura, dengan foto thorax posisi tegak akan terlihat adanya permukaan atas dari perselubungan berbentuk cekung untuk menandakan cairan. Aspirasi cairan pleura keluar cairan berupa pus. Hasil analisis cairan pleura sesuai untuk eksudat, dengan sel polimononuklear dominan sehingga disingkirkan kemungkinan tuberkulosis. Pemeriksaan selanjutnya yang harus dilakukan adalah menemukan adanya bakteri pada cairan pleura dengan pewarnaan Gram, kultur mikrobiologi dan sitologi cairan pleura. Hasil kultur darah dan kultur cairan pleura adalah ditemukan pertumbuhan kuman Staphylococcus aureus. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa pneumonia di Negara berkembang yang disebabkan oleh kuman Staphylococcus aureus sering menyebabkan empiema.3 Sitologi cairan pleura adalah abses (radang akut) sehingga empiema disebabkan oleh infeksi bakterial akut. Penatalaksanaannya adalah dengan memberikan antibiotik intravena dan evakuasi cairan pleura dengan pemasangan selang drainase. Antibiotik yang diberikan adalah antibiotik empiris menjelang keluar hasil kultur cairan pleura. Setelah kultur darah keluar antibiotik diganti sesuai dengan hasil kultur. Anak menunjukkan perbaikan klinis setelah dilakukan pemasangan WSD. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa tindakan utama pada empiema adalah antibiotik dan drainase cairan pleura. WSD pasien ini terlepas sendiri pada hari ketiga dan diputuskan tidak dipasang kembali karena cairan sudah berkurang. Menurut literatur drainase harus dilakukan jika tinggi cairan mencapai 10mm.10 Tatalaksana lanjutan yaitu dekortikasi melalui VATS atau open torakotomi bisa dipertimbangkan jika anak masih demam dan dispnu setelah 72 jam pemberian antibiotik dan drainase.3 Menurut

Baranwall dkk. tindakan bedah dilakukan jika drainase tidak ada perbaikan setelah 10 hari pemasangan WSD dan pemberian antibiotik sesuai kultur mikrobiologi.1 Penggunaan fibrinolitik intra pleura menurut beberapa literatur bermanfaat untuk pasien dengan lokulasi dan septasi karena bisa menghancurkan fibrin, pada pasien ini perbaikan klinis dengan antibiotik dan drainase adalah karena belum terbentuk lokulasi dan septasi. Anemia yang diderita pasien ini adalah anemia mikrositik hipokrom. Anemia ini merupakan anemia yang terjadi akibat penyakit kronis karena anak sudah sakit sejak 6 minggu sebelum masuk rumah sakit dan tidak ditemukan penurunan kadar besi serum sesuai dengan literatur, anemia penyakit kronis bisa terjadi pada infeksi yang sudah berlangsung 1-2 bulan.19 Furunkulosis kemungkinan juga disebabkan oleh Staphilococcus aureus karena furunkulosis paling sering disebabkan oleh Staphilococcus aureus.20 Antibiotik yang diberikan sekaligus untuk mengobati furunkulosis. Gizi kurang diintervensi dengan pemberian diet sesuai kebutuhan RDA. Makanan disesuaikan dengan toleransi anak, dimulai dengan ASI per sonde kemudian setelah tidak sesak nafas bisa diberikan ASI OD, buah biskuit dan nasi tim saring.

DAFTAR PUSTAKA 1. Naning R, Setyati A, Empiema. Dalam : Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2008. p 550-7 2. Crawford SE, Daum RS. Bacterial pneumonia, lung abscess and empyema. Dalam: Taussig LM, Souef PNL, Martinez FD, Landau LI, Morgan WJ, Sly PD, Editors.Pediatric Respiratory Medicine. 2nd ed. Philadelphia : Mosby ; 2008. p.1913-36 3. Winnie GB. Pleurisy, pleural effusion and empyema. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Editors. Nelson textbook of pediatric. 18th ed. Philadelphia : Saunder ; 2007.p 1834-5 4. Pattemore PK, Jennings LC. Epidemiology of respiratory infections. Dalam: Taussig LM, Souef PNL, Martinez FD, Landau LI, Morgan WJ, Sly PD. Editors.Pediatric respiratory medicine. 2nd ed. Philaelphia: Mosby;2008. p. 438-46 5. Wheeler JG, Jacobs RF. Pleural effusion and empyema. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, Demmler GJ, Kaplan SL. Editors. Textbook of pediatric infectious disease. 5th ed. Philadelphia : Saunders; 2004. p 320-9 6. Montgomery M, Sigalet D. Disorder of the pleura. Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A. Kendigs disorder of the respiratory tract in children.7th ed. Philadelphia : Saunders; 1998.p 368-87 7. Schultz KD, Fan LL, Pinsky J, Ochoa L, Smith OB, Kaplan SL, et.al. The changing face of pleural empyemas in children : Epidemiology and management. Pediatrics 2004 ; 113: 1735-40 8. Rougemont AL, Buteau C, Ovetchkine P, Bergeron C, Fournet JC, Soglio DBD. Fatal cases of Staphylococcus aureus pleural empyema in infant. Pediatric and developmental pathology. 2009. p. 390-3 9. Mongkolrattanothai K, Aldag JC, Mankin P, Gray BM. Epidemiology of community onset Staphylococcus aureus infections in pediatric patients : an experience at childrens hospital in central Illinois. BMC Inf.Dis 2009 ; 9:112 10. Callahan CW. Pneumonia and bacterial pulmonary infection, Dalam : Panitch HB. Editor. Pediatric pulmonology the requisites in pediatric. Philadelphia : Mosby Elsevier; 2005. p. 107-8 11. Mani SC, Murray DL. Acute pneumonia and its complications. Dalam : Long SS, Pickering LK, Prober CG, Editors. Principles and practice of pediatric infectious disease. 3rd ed. China : Churchill Livingstone ; 2008. P. 245-55 12. Septimus EJ.Pleural effusion and empyema. Dalam : Mandell BL, Bennet JE, Dolin R.editors. Principles and practise of infectious disease.7th ed. Philadelphia : Churchill Livingstone ; 2010. p 917-23 13. Lee YCG, Davies HE. Pleural effusion, empyema and pneumothorax. Dalam : Albert RK, Spiro SG. Editors. Clinical respiratory medicine. 3rd ed. Philadelphia : Mosby Elsevier; 2008. p. 853-67

14. Schidlow DV, Tauber D, Abnormalities of the pleural space. Dalam : Taussig LM, Souef PNL, Martinez FD, Landau Li, Morgan WJ, Sly PD. Editors. Pediatric respiratory medicine. 2nd ed. Philadelphia : Mosby Elsevier ; 2008. p. 989-96 15. Sectish TC, Prober CG. Pneumonia. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Editors. Nelson textbook of pediatric. 18th ed. Philadelphia : Saunder ; 2007.p.1795-9. 16. Lynn IMB, Abrahamson E, Cohon G, Hartley J, King S, Parikh D, Spencer D. et al. BTS guidelines for the management of pleural infection in children. Thorax 2005; 60 : 21 17. Lahti E, Pettola V, Virkki R, Alanen M, Ruuskanen O. Development of parapneumonic empyema in children. Acta Pediatrica 2007 18. Aydogan M, Aydogan A, Ozean A, Tugay M, Gokalp AS, Arisoy ES.Intra pleural streptokinase treatment in children with empyema. Eur J. Pediatr. 2008;167:739-44 19. Maens TR. Anemias secondary to chronic disease and systemic disorders. Dalam : Green JP, Foster J, Rodgers GM, dkk. editors. Wintrobes clinical hematology. Edisi ke 12. Philadelphia : Lippincot William&Wilkins ; 2009 : 1221-25 20. Brook I, Finegold SM. Aerobic and anaerobic bacteriology of cutaneous abscesses in children. Pediatrics 1981; 67:891-5

Anda mungkin juga menyukai