Anda di halaman 1dari 35

CASE REPORT

Family Medicine Approach sebagai Tatalaksana Benign Paroxysmal


Positional Vertigo (BPPV) Kanal Posterior Kanan Komorbid Hipertensi
pada Perempuan Usia 49 Tahun: Sebuah Laporan Kasus

DISUSUN OLEH :

Stella Arzsa Sarahnaz

1820221128

Diajukan Kepada :

Pembimbing

dr. Anggina Diksita Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG


TENGGOROKAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

PEMBELAJARAN JARAK JAUH PERIODE 16 - 21 NOVEMBER 2020


Telah dipresentasikan dan disetujui case report dengan judul :

Family Medicine Approach sebagai Tatalaksana Benign Paroxysmal


Positional Vertigo (BPPV) Kanal Posterior Kanan Komorbid Hipertensi
pada Perempuan Usia 49 Tahun: Sebuah Laporan Kasus

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan Program Studi Profesi Dokter di rumah sakit pendidikan Fakultas
Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Disusun Oleh :

Stella Arzsa Sarahnaz 1820221128

Jakarta, November 2020

Disetujui,

Dokter Pembimbing,

dr. Anggina Diksita Sp.THT-KL


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karuniaNya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas journal reading ini. Case report yang berjudul “Family Medicine
Approach sebagai Tatalaksana Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) Kanal
Posterior Kanan Komorbid Hipertensi pada Perempuan Usia 49 Tahun: Sebuah
Laporan Kasus ” ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian kepanitraan klinik bagian
Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Program Studi Profesi Dokter di rumah sakit
pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Anggina Diksita Sp.THT-KL
sebagai pembimbing atas bimbingan, kritik, dan saran yang membangun dalam penyusunan
tugas ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan case report ini masih terdapat banyak
kesalahan dan belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
membangun dari pembimbing serta seluruh pihak. Terimakasih

Jakarta, November 2020

Penulis
BAB I

LAPORAN KASUS

I.1 IDENTITAS1

Nama : Ny. SS

Usia : 49 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Kebangsaan : Indonesia

I.2 ANAMNESIS

Pasien datang dengan keluhan pusing berputar disertai dengan mual dan muntah 3 jam
sebelum datang ke Puskesmas Rawat Inap Simpur. Rasa pusing berputar dirasakan pasien
sewaktu baru bangun dari tidur, pada saat melakukan gerakan rukuk dan bersujud
sewaktu shalat subuh. Pasien merasakan lingkungan disekelilingnya berputar.Rasa
berputar berlangsung sekitar 1-2 menit dan hilang dengan sendirinya. Keluhan lain
berupa mual dan muntah disertai keringat dingin dialami pasien. Pasien belum
mengonsumsi obat–obatan sampai datang ke puskesmas. Pasien pernah mengalami
keluhan serupa sebelumnya sejak tiga tahun yang lalu. Intensitas serangan makin lama
makin berkurang, hilang timbul, muncul jika pasien merubah posisi kepala, terutama jika
pasien tidur miring kekanan.Terdapat riwayat mendengung pada telinga sebelah kanan.
Pasien juga memiliki riwayat hipertensi sejak 1,5 tahun yang lalu. Selama menderita
hipertensi, pasien mengonsumsi obat amlodipin 5 mg sebanyak satu kali sehari. Pasien
rutin mengonsumsi makanan berlemak dan yang mengandung santan serta pasien
menjalani olahraga secara tidak rutin. Pasien mengaku makan teratur setiap hari. Karena
kondisinya tersebut, pasien perlu menjalani rawat inap di Puskesmas tersebut.

I.3 PEMERIKSAAN FISIK

 Keadaan umum tampak sakit sedang

 Kesadaran compos mentis, E4 V5 M6 dan kooperatif


 Tekanan Darah 150/90 mmHg
 Nadi 86 x / menit
 Frekuensi pernapasan 16x/menit
 Suhu 36,9OC
 Berat badan 57 kg

 Tinggi badan 150 cm

 Status gizi 25,3 overweight (berdasarkan IMT).

 Pemeriksaan neurologis otologi


o Tes penala memberi kesan normal.
o Pemeriksaan keseimbangan sederhana (tes Romberg, tes Tandem Romberg, Fukuda
stepping test, nose to finger test, dan past pointing test) memberikan kesan normal.
o Dix-Hallpike maneuver, dimulai dengan kepala ditolehkan ke kiri, tidak ditemukan
adanya vertigo dan nistagmus. Pada saat dilakukan Dix- Hallpike maneuver ke kanan,
setelah lebih kurang sepuluh detik, pasien mengeluhkan rasa pusing berputar yang
hebat dan terlihat adanya nistagmus posisional dengan fase cepat ke arah kiri. Pasien
tidak dapat menahan muntah yang disertai keringat dingin sehingga Dix-Hallpike
maneuver tidak dilanjutkan.

I.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Hematologi

o Hemogoblin 12,5g/dl (11,7 – 15,5g/dl)

o Leukosit 5.190/μl (3.600 – 11.000/μl)

o Eritrosit 4,3x106/μl (3,8 – 5,2 x106/μl)

o Hematokrit 37% (35 – 47 %)

o Trombosit 218.000/μl (150.000 – 450.000/μl)

o Gula Darah Sewaktu 121 mg/dl (<140 mg/dl)

o Na+ 140 mmol/l (135 – 147 mmol/l)

o Ca2+9 mg/dl (8,5 – 10 mg/dl)

o Cl-100 mmol/l (95 – 105 mmol/l)

o K+ 4 mmol/l (3,5 – 5 mmol/l).


I.5 DIAGNOSIS

Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanal Posterior Kanan komorbid Hipertensi Derajat 1

I.6 TATALAKSANA

 Medikamentosa
o Betahistin mesylate 3 x 6 mg
o Difenhidramin HCl 4 x 25 mg
o Kaptopril 1 x 12,5 mg.

 Non-medikamentosa

o Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit Benign Paroxysmal


Positional Vertigo (BPPV).

o Edukasi kepada pasien untuk segera datang kembali ke puskesmas jika keluhan
datang tiba-tiba terutama menyebabkan hendaya dalam melakukan aktivitas sehari
– hari.

o Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai kontrol tekanan darah secara rutin
agar dapat mencegah kekambuhan BPPV dan menghindari komplikasi.

o Edukasi kepada pasien untuk makan makanan yang bergizi dan seimbang sesuai
dengan anjuran dokter.

o Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai faktor – faktor yang dapat
membuat keluhan berulang.

o Edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam mengingatkan pasien mengenai


latihan dengan metode Brandt-Daroff maneuver untuk mencegah kekambuhan
serta gaya hidup yang sehat.
o Edukasi dan motivasi mengenai perlunya perhatian dukungan dari semua anggota
keluarga terhadappenyakit pasien. Keluarga harus memberikan dorongan kepada
pasien untuk mencari tahu penyebab dari penyakit yang diderita dan melakukan
pencegahan terjadinya komplikasi.

I.7 PROGNOSIS

 Ad vitam : ad bonam
 Ad functionam : ad bonam
 Ad sanationam : ad bonam

1.8 FOLLOW UP

Pasien pulang setelah dilakukan perawatan di puskesmas Rawat Inap Simpur selama
3 hari dengan kondisi baik. Telah dilakukan kunjungan ke rumah sebanyak 4 kali untuk
mengidentifikasi faktor risiko dalam keluarga, keberhasilan tata laksana dan edukasi
lanjutan. Didapatkan perkembangan yang baik pada gejala klinis dan perubahan perilaku
pasien setelah dilakukan tata laksana berdasarkan evidence based medicine yang bersifat
patient centred dan family approach.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI VESTIBULUM DAN LABIRIN

Vestibulum memonitor pergerakan dan posisi kepala dengan mendeteksi


akselerasi linier dan angular. Bagian vestibular dari labirin terdiri dari tiga kanal
semisirkular, yakni kanal anterior, posterior, dan horisontal. Ketiga kanal
semisirkularis ini mendeteksi akselerasi angular. Setiap kanal semisirkular terisi oleh
endolimfe dan pada bagian dasarnya terdapat penggelembungan yang disebut sebagai
ampula. Ampula mengandung kupula, suatu masa gelatin yang memiliki densitas yang
sama dengan endolimfe, serta melekat pada sel rambut.

Labirin juga terdiri dari dua struktur otolit, yakni utrikulus dan sakulus yang
mendeteksi akselerasi linear, termasuk deteksi terhadap gravitasi. Organ reseptornya
adalah makula. Makula utrikulus terletak pada dasar utrikulus kira-kira di bidang
kanalis semisirkularis horisontal. Makula sakulus terletak pada dinding medial sakulus
dan terutama terletak di bidang vertikal. Pada setiap makula terdapat sel rambut yang
mengandung endapan kalsium yang disebut otolith (otokonia). Makula pada utrikulus
diperkirakan sebagai sumber dari partikel kalsium yang menjadi penyebab BPPV.

Kupula adalah sensor gerak untuk kanal semisirkular dan ini teraktivasi oleh
defleksi yang disebabkan oleh aliran endolimfe. Pergerakan kupula oleh karena
endolimfe dapat menyebabkan respon, baik berupa rangsangan atau hambatan,
tergantung pada arah dari gerakan dan kanal semisirkular yang terkena. Kupula
membentuk barier yang impermeabel yang melintasi lumen dari ampula, sehingga
partikel dalam kanal semisirkular hanya dapat masuk atau keluar kanal melalui ujung
yang tidak mengandung ampula.
Gambar 1. Labirin Membran (Lavender) dan Tulang (Putih) dari Telinga Dalam Sisi Kiri.

Ampulofugal berarti pergerakan yang menjauhi ampula, sedangkan ampulapetal

berarti gerakan mendekati ampula. Pada kanal semisirkular posterior dan superior,

defleksi utrikulofugal dari kupula bersifat merangsang (stimulatory) dan defleksi

utrikulopetal bersifat menghambat (inhibitory). Pada kanal semisirkular lateral, terjadi

yang sebaliknya.

Nistagmus mengacu pada gerakan osilasi yang ritmik dan berulang dari bola

mata. Stimulasi pada kanal semisirkular paling sering menyebabkan “jerk nystagmus”,

yang memiliki karakteristik fase lambat (gerakan lambat pada satu arah) diikuti oleh

fase cepat (kembali dengan cepat ke posisi semula). Nistagmus dinamakan sesuai arah

dari fase cepat. Nistagmus dapat bersifat horizontal, vertikal, oblik, rotatori, atau

kombinasi.

II.2 BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO

II.2.1. Definisi

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan salah satu gangguan

Neurotologi dimana 17% pasien datang dengan keluhan pusing. Definisi vertigo

posisional adalah sensasi berputar yang disebabkan oleh perubahan posisi kepala.

Sedangkan BPPV didefinisikan sebagai gangguan yang terjadi di telinga dalam dengan

gejala vertigo posisional yang terjadi secara berulang-ulang dengan tipikal nistagmus

paroksimal. Benign dan paroksimal biasa digunakan sebagai karakteristik dari vertigo

posisional. Benign pada BPPV secara historikal merupakan bentuk dari vertigo
posisional yang seharusnya tidak menyebabkan gangguan susunan saraf pusat yang

serius dan secara umum memiliki prognosis yang baik. Sedangkan paroksimal yang

dimaksud adalah onset vertigo yang terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung cepat

biasanya tidak lebih dari satu menit. Benign Paroxysmal Positional Vertigo memiliki

beberapa istilah atau sering juga disebut dengan benign positional vertigo, vertigo

paroksimal posisional, vertigo posisional, benign paroxymal nystagmus, dan dapat

disebut juga paroxymal positional nystagmus.

II.2.2 EPIDEMIOLOGI

Pada populasi umum prevalensi BPPV yaitu antara 11 sampai 64 per 100.000

(prevalensi 2,4%). Dari kunjungan 5,6 miliar orang ke rumah sakit dan klinik di United

State dengan keluhan pusing didapatkan prevalensi 17% - 42% pasien didiagnosis

BPPV. Dari segi onset BPPV biasanya diderita pada usia 50-70 tahun. Proporsi antara

wanita lebih besar dibandingkan dengan laki-laki yaitu 2,2 : 1,5. BPPV merupakan

bentuk dari vertigo posisional.

II.2.3 PATOGENESIS DAN FAKTOR RISIKO

Benign Paroxysmal Positional Vertigo disebabkan ketika otolith yang terdiri dari

kalsium karbonat yang berasal dari makula pada utrikulus yang lepas dan bergerak

dalam lumen dari salah satu kanal semisirkular. Kalsium karbonat dua kali lebih padat

dibandingkan endolimfe, sehingga bergerak sebagai respon terhadap gravitasi dan

pergerakan akseleratif lain. Ketika kristal kalsium karbonat bergerak dalam kanal

semisirkular (kanalitiasis), mereka menyebabkan pergerakan endolimfe yang

menstimulasi ampula pada kanal yang terkena, sehingga menyebabkan vertigo. Arah

dari nistagmus ditentukan oleh eksitasi saraf ampula pada kanal yang terkena oleh

sambungan langsung dengan otot ektraokular. Setiap kanal yang terkena kanalitiasis

memiliki karakteristik nistagmus tersendiri. Kanalitiasis mengacu pada partikel kalsium

yang bergerak bebas dalam kanal semisirkular. Sedangkan kupulolitiasis mengacu pada

kondisi yang lebih jarang dimana partikel kalsium melekat pada kupula itu sendiri.
Konsep “calcium jam” pernah diusulkan untuk menunjukkan partikel kalsium yang

kadang dapat bergerak, tetapi kadang terjebak dalam kanal.

Alasan terlepasnya kristal kalsium dari makula belum dipahami dengan pasti.

Debris kalsium dapat pecah karena trauma atau infeksi virus, tapi pada banyak keadaan

dapat terjadi tanpa trauma atau penyakit yang diketahui. Mungkin ada kaitannya dengan

perubahan protein dan matriks gelatin dari membran otolith yang berkaitan dengan usia.

Pasien dengan BPPV diketahui lebih banyak terkena osteopenia dan osteoporosis

daripada kelompok kontrol, dan mereka dengan BPPV berulang cenderung memiliki

skor densitas tulang yang terendah. Pengamatan ini menunjukkan bahwa lepasnya

otokonia dapat sejalan dengan demineralisasi tulang pada umumnya. Tetap perlu

ditentukan apakah terapi osteopenia atau osteoporosis berdampak pada kecenderungan

terjadinya BPPV berulang.

II.2.4 KLASIFIKASI JENIS KANAL BPPV

Benign Paroxysmal Positional Vertigo dapat disebabkan baik oleh kanalitiasis ataupun

kupulolitiasis dan secara teori dapat mengenai ketiga kanalis semisirkularis, walaupun

terkenanya kanal superior (anterior) sangat jarang. Bentuk yang paling sering adalah

bentuk kanal posterior, diikuti bentuk lateral. Sedangkan bentuk kanal anterior dan

bentuk polikanalikular adalah bentuk yang paling tidak umum.

a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Tipe Kanal Posterior

Benign Paroxysmal Positional Vertigo yang paling sering terjadi adalah tipe kanal

posterior. Ini tercatat pada 85 sampai 90% dari kasus dari BPPV, karena itu, jika

tidak diklasifikasikan, BPPV umumnya mengacu pada BPPV bentuk kanal

posterior. Penyebab paling sering terjadinya BPPV kanal posterior adalah

kanalitiasis. Hal ini dikarenakan debris endolimfe yang terapung bebas cenderung

jatuh ke kanal posterior disebabkan karena kanal ini adalah bagian vestibulum yang
berada pada posisi yang paling bawah saat kepala pada posisi berdiri ataupun

berbaring.

2
Gambar 2. Kanalitiasis dan Kupulolitiasis pada Telinga Kiri.

Mekanisme dimana kanalitiasis menyebabkan nistagmus dalam kanalis

semisirkularis posterior digambarkan oleh Epley. Partikel harus berakumulasi

menjadi "massa kritis" di bagian bawah dari kanalis semisirkularis posterior. Kanalit

tersebut bergerak ke bagian yang paling rendah pada saat orientasi dari kanalis

semisirkularis berubah karena posisi dan gravitasi. Tarikan yang dihasilkan harus

dapat melampaui resistensi dari endolimfe pada kanalis semisirkularis dan elastisitas

dari barier kupula, agar bisa menyebabkan defleksi pada kupula. Waktu yang

dibutuhkan untuk terjadinya hal ini ditambah inersia asli dari partikel tersebut

menjelaskan periode laten yang terlihat selama manuver Dix-Hallpike.

b. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Tipe Kanal Lateral

BPPV tipe kanal lateral adalah tipe BPPV yang paling banyak kedua. BPPV
tipe kanal lateral sembuh jauh lebih cepat dibandingkan dengan BPPV tipe kanal
posterior. Hal ini dikarenakan kanal posterior tergantung di bagian inferior dan
barier kupulanya terdapat pada ujung yang lebih pendek dan lebih rendah.Debris
yang masuk dalam kanal posterior akan terperangkap di dalamnya. Sedangkan
kanal lateral memiliki barier kupula yang terletak di ujung atas. Karena itu, debris
bebas yang terapung di kanal lateral akan cenderung untuk mengapung kembali ke
utrikulus sebagai akibat dari pergerakan kepala.
Dalam kanalitiasis pada kanal lateral, partikel paling sering terdapat di
lengan panjang dari kanal yang relatif jauh dari ampula. Jika pasien melakukan
pergerakan kepala menuju ke sisi telinga yang terkena, partikel akan membuat
aliran endolimfe ampulopetal, yang bersifat stimulasi pada kanal lateral. Nistagmus
geotropik (fase cepat menuju tanah) akan terlihat. Jika pasien berpaling dari sisi
yang terkena, partikel akan menciptakan arus hambatan ampulofugal. Meskipun
nistagmus akan berada pada arah yang berlawanan, itu akan tetap menjadi
nistagmus geotropik, karena pasien sekarang menghadap ke arah berlawanan.
Stimulasi kanal menciptakan respon yang lebih besar daripada respon hambatan,
sehingga arah dari gerakan kepala yang menciptakan respon terkuat (respon
stimulasi) merupakan sisi yang terkena pada geotropik nistagmus.Kupulolitiasis
memiliki peranan yang lebih besar pada BPPV tipe kanal lateral dibandingkan tipe
kanal posterior. Karena partikel melekat pada kupula, vertigo sering kali berat dan
menetap saat kepala berada dalam posisi provokatif. Ketika kepala pasien
dimiringkan ke arah sisi yang terkena, kupula akan mengalami defleksi
ampulofugal (inhibitory) yang menyebabkan nistagmus apogeotrofik. Ketika
kepala dimiringkan ke arah yang berlawanan akan menimbulkan defleksi
ampulopetal (stimulatory), menghasilkan nistagmus apogeotrofik yang lebih kuat.
Karena itu, memiringkan kepala ke sisi yang terkena akan menimbulkan respon
yang terkuat. Apogeotrofik nistagmus terdapat pada 27% dari pasien yang memiliki
BPPV tipe kanal lateral.

II.2.5 DIAGNOSIS

1. Anamnesis
Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-20 detik akibat

perubahan posisi kepala. Posisi yang memicu adalah berbalik di tempat tidur pada

posisi lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas dan belakang, dan

membungkuk. Vertigo bisa diikuti dengan mual.

2. Pemeriksaan fisik
Pasien memiliki pendengaran yang normal, tidak ada nistagmus spontan, dan pada

evaluasi neurologis normal. Pemeriksaan fisik standar untuk BPPV adalah : Dix-

Hallpike dan Tes kalori.

a. Dix-Hallpike Tets

Tes ini tidak boleh dilakukan pada pasien yang memiliki masalah dengan leher dan

punggung. Tujuannya adalah untuk memprovokasi serangan vertigo dan untuk

melihat adanya nistagmus. Cara melakukannya sebagai berikut :

1. Pertama-tama jelaskan pada penderita mengenai prosedur pemeriksaan, dan

vertigo mungkin akan timbul namun menghilang setelah beberapa detik.

2. Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa, sehingga ketika posisi

0 0
terlentang kepala ekstensi ke belakang 30 -40 , penderita diminta tetap membuka

mata untuk melihat nistagmus yang muncul.


0
3. Kepala diputar menengok ke kanan 45 (kalau kanalis semisirkularis posterior

yang terlibat). Ini akan menghasilkan kemungkinan bagi otolith untuk bergerak,

kalau ia memang sedang berada di kanalis semisirkularis posterior.

4. Dengan tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala penderita, penderita direbahkan

sampai kepala tergantung pada ujung tempat periksa.

5. Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut

dipertahankan selama 10-15 detik.

6. Komponen cepat nistagmus harusnya „up-bet‟ (ke arah dahi) dan ipsilateral.

7. Kembalikan ke posisi duduk, nistagmus bisa terlihat dalam arahyang berlawanan

dan penderita mengeluhkan kamar berputar kearah berlawanan.

0
8. Berikutnya manuver tersebut diulang dengan kepala menoleh ke sisi kiri 45 dan

seterusnya.
Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke

belakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus. Pada

pasien BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya lambat, 40

detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari satu menit bila sebabnya

kanalitiasis, pada kupulolitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari satu menit,

biasanya serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus.

Gambar 3. Uji Dix-Hallpike.

b. Tes kalori

Tes kalori ini dianjurkan oleh Dix dan Hallpike. Pada cara ini dipakai 2 macam air,

0
dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 30 C, sedangkan suhu air panas adalah

0
44 C. Volume air yang dialirkan ke dalam liang telinga masing-masing 250 ml,

dalam waktu 40 detik. Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul.

Setelah telinga kiri diperiksa dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan air

dingin juga. Kemudian telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga dalam. Pada tiap-

tiap selesai pemeriksaan (telinga kiri atau kanan atau air dingin atau air panas) pasien

4
diistirahatkan selama 5 menit (untuk menghilangkan pusingnya).

c. Tes Supine Roll


Jika pasien memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV dan hasil tes Dix-
Hallpike negatif, dokter harus melakukan supine roll test untuk memeriksa ada tidaknya
BPPV kanal lateral. BPPV kanal lateral atau disebut juga BPPV kanal horisontal adalah
BPPV terbanyak kedua. Pasien yang memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV, yakni
adanya vertigo yang diakibatkan perubahan posisi kepala, tetapi tidak memenuhi
kriteria diagnosis BPPV kanal posterior harus diperiksa ada tidaknya BPPV kanal
lateral.

Gambar 4. Supine Roll Test

Dokter harus menginformasikan pada pasien bahwa manuver ini bersifat

provokatif dan dapat menyebabkan pasien mengalami pusing yang berat selama

beberapa saat. Tes ini dilakukan dengan memposisikan pasien dalam posisi supinasi

atau berbaring terlentang dengan kepala pada posisi netral diikuti dengan rotasi

kepala 90 derajat dengan cepat ke satu sisi dan dokter mengamati mata pasien untuk

memeriksa ada tidaknya nistagmus. Setelah nistagmus mereda (atau jika tidak ada

nistagmus), kepala kembali menghadap ke atas dalam posisi supinasi. Setelah

nistagmus lain mereda, kepala kemudian diputar/ dimiringkan 90 derajat ke sisi yang

berlawanan, dan mata pasien diamati lagi untuk memeriksa ada tidaknya nistagmus.
3. Kriteria Diagnosis BPPV
Diagnosis BPPV dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan
pemeriksaan fisik.Pasien biasanya melaporkan episode berputar ditimbulkan
oleh gerakan-gerakan tertentu, seperti berbaring atau bangun tidur, berguling
di tempat tidur, melihat ke atas atau meluruskan badan setelah membungkuk
Episode vertigo berlangsung 10 sampai 30 detik dan tidak disertai dengan
gejala tambahan selain mual pada beberapa pasien. Beberapa pasien yang
rentan terhadap mabuk (motion sickness) mungkin merasa mual dan pusing
selama berjam-jam setelah serangan vertigo, tetapi kebanyakan pasien
merasa baik-baik saja di antara episode vertigo. Jika pasien melaporkan
episode vertigo spontan, atau vertigo yang berlangsung lebih dari 1 atau 2
menit, atau jika episode vertigo tidak pernah terjadi di tempat tidur atau
dengan perubahan posisi kepala, maka kita harus mempertanyakan diagnosis
dari BPPV.

1. Diagnosis BPPV Tipe Kanal Posterior


Dokter dapat mendiagnosis BPPV tipe kanal posterior ketika
nistagmus posisional paroksismal dapat diprovokasi dengan manuver Dix-
Hallpike. Manuver ini dilakukan dengan memeriksa pasien dari posisi
berdiri ke posisi berbaring (hanging position) dengan kepala di posisikan
45 derajat terhadap satu sisi dan leher diekstensikan 20 derajat. Manuver
Dix-Hallpike menghasilkan torsional upbeating nystagmus yang terkait
dalam durasi dengan vertigo subjektif yang dialami pasien, dan hanya
terjadi setelah memposisikan Dix-Hallpike pada sisi yang terkena.
Diagnosis presumtif dapat dibuat dengan riwayat saja, tapi nistagmus
posisional paroksismal menegaskan diagnosisnya.
Nistagmus yang dihasilkan oleh manuver Dix-Hallpike pada BPPV
kanal posterior secara tipikal menunjukkan 2 karakteristik diagnosis yang
penting. Pertama, ada periode latensi antara selesainya manuver dan onset
vertigo rotasi subjektif dan nistagmus objektif. Periode latensi untuk onset
nistagmus dengan manuver ini tidak spesifik pada literatur, tapi berkisar
antara 5 sampai 20 detik, walaupun dapat juga berlangsung selama 1 menit
pada kasus yang jarang. Yang kedua, vertigo subjektif yang diprovokasi
dan nistagmus meningkat, dan kemudian mereda dalam periode 60 detik
sejak onset nistagmus.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis untuk BPPV Tipe Kanal Posterior

Riwayat Pasien melaporkan episode berulang dari vertigo yang terjadi

karena perubahan posisi kepala

Pemeriksaan Fisik Setiap kriteria berikut terpenuhi:

 Vertigo berkaitan dengan nistagmus diprovokasi oleh tes

Dix-Hallpike

 Ada periode laten antara selesainya tes Dix-Hallpike

dengan onset vertigo dan nistagmus

 Vertigo dan nistagmus yang diprovokasi meningkat dan

kemudian hilang dalam periode waktu 60 detik sejak onset

nistagmus.

Komponen nistagmus yang diprovokasi oleh manuver Dix-Hallpike

menunjukkan karakteristik campuran gerakan torsional dan vertikal (sering disebut

upbeating-torsional). Dalam sekejap, nistagmus biasanya mulai secara lembat,

meningkat dalam hal intensitas, dan kemudian berkurang dalam hal intensitas ketika

ia menghilang. Ini disebut sebagai crescendo-decrescendo nystagmus. Nistagmus

sekali lagi sering terlihat setelah pasien kembali ke posisi kepala tegak dan selama

bangun, tetapi arah nystagmus mungkin terbalik. Karakteristik lain dari nistagmus

pada BPPV kanal posterior adalah nistagmusnya dapat mengalami kelelahan

(fatigue), yakni berkurangnya keparahan nistagmus ketika manuver tersebut

diulang-ulang. Tetapi karakteristik ini tidak termasuk kriteria diagnosis.


2. Diagnosis BPPV Tipe Kanal Lateral

BPPV tipe kanal lateral (horisontal) terkadang dapat ditimbulkan oleh Dix-Hallpike
manuver. Namun cara yang paling dapat diandalkan untuk mendiagnosis BPPV
horisontal adalah dengan supine roll test atau supine head turn maneuver (Pagnini-
McClure maneuver). Dua temuan nistagmus yang potensial dapat terjadi pada
manuver ini, menunjukkan dua tipe dari BPPV kanal lateral.

a. Tipe Geotrofik. Pada tipe ini, rotasi ke sisi patologis menyebabkan nistagmus

horisontal yang bergerak (beating) ke arah telinga paling bawah. Ketika pasien

dimiringkan ke sisi lain, sisi yang sehat, timbul nistagmus horisontal yang tidak

begitu kuat, tetapi kembali bergerak ke arah telinga paling bawah.

b. Tipe Apogeotrofik. Pada kasus yang lebih jarang, supine roll test menghasilkan

nistagmus yang bergerak ke arah telinga yang paling atas. Ketika kepala

dimiringkan ke sisi yang berlawanan, nistagmus akan kembali bergerak ke sisi

telinga paling atas.

Pada kedua tipe BPPV kanal lateral, telinga yang terkena diperkirakan adalah
telinga dimana sisi rotasi menghasilkan nistagmus yang paling kuat. Di antara kedua
tipe dari BPPV kanal lateral, tipe geotrofik adalah tipe yang paling banyak.

3. Diagnosis BPPV Tipe Kanal Anterior dan Tipe Polikanalikular


Benign Paroxysmal Positional Vertigo tipe kanal anterior berkaitan dengan

paroxysmal downbeating nystagmus, kadang-kadang dengan komponen torsi minor

mengikuti posisi Dix-Hallpike. Bentuk ini mungkin ditemui saat mengobati bentuk

lain dari BPPV. Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanal anterior kronis atau

persisten jarang. Dari semua tipe BPPV, BPPV kanal anterior tampaknya tipe yang

paling sering sembuh secara spontan. Diagnosisnya harus dipertimbangkan dengan


hati-hati karena downbeating positional nystagmus yang berhubungan dengan lesi

batang otak atau cerebellar dapat menghasilkan pola yang sama.

Benign Paroxysmal Positional Vertigo tipe polikanalikular jarang, tetapi

menunjukkan bahwa dua atau lebih kanal secara bersamaan terkena pada waktu

yang sama. Keadaan yang paling umum adalah BPPV kanal posterior

dikombinasikan dengan BPPV kanal horisontal. Nistagmus ini bagaimanapun juga

tetap akan terus mengikuti pola BPPV kanal tunggal, meskipun pengobatan

mungkin harus dilakukan secara bertahap dalam beberapa kasus.

4. Membedakan dengan Penyebab Sentral

Benign Paroxysmal Positional Vertigo yang khas biasanya mudah dikenali seperti di

atas dan merespon terhadap pengobatan. Bentuk-bentuk vertigo posisional yang

paling sering menyebabkan kebingungan adalah mereka dengan downbeating

nystagmus, atau mereka dengan nistagmus yang tidak benar-benar ditimbulkan oleh

manuver posisi, tetapi tetap terlihat saat pasien berada pada posisi kepala

menggantung. Tabel dibawah menguraikan beberapa fitur yang mungkin membantu

membedakan vertigo sentral dari vertigo perifer. Sebagai aturan umum, jika

nistagmus tidak khas, atau jika gagal merespon terhadap terapi posisi, penyebab

sentral harus dipertimbangkan.


Tabel 2. Perbedaan antara Vertigo Posisi Perifer dengan Sentral

Sentral Perifer

Nausea berat + +++

Memburuk dengan pergerakan kepala non spesifik ++ -

Paroxysmal upbeating dan torsional nystagmus dengan - +++

manuver Dix-Hallpike

Nistagmus horizontal (geotrofik atau apogeotrofik) dipicu + ++

oleh supine head turning/supine roll test

Nistagmus downbeating persisten pada posisi apapun +++ -

Nistagmus berkurang (Fatigue) dengan pengulangan posisi - +++

Nistagmus dan vertigo sembuh mengikuti manuver terapi - +++

posisi

II.2.6 TATA LAKSANA BPPV

1. Non-Farmakologi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo dikatakan adalah suatu penyakit yang

ringan dan dapat sembuh secara spontan dalam beberapa bulan. Namun telah banyak

penelitian yang membuktikan dengan pemberian terapi dengan manuver reposisi


partikel/ Particle Repositioning Maneuver (PRM) dapat secara efektif

menghilangkan vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi

risiko jatuh pada pasien. Keefektifan dari manuver-manuver yang ada bervariasi

mulai dari 70%-100%. Beberapa efek samping dari melakukan manuver seperti

mual, muntah, vertigo, dan nistagmus dapat terjadi, hal ini terjadi karena adanya

debris otolitith yang tersumbat saat berpindah ke segmen yang lebih sempit misalnya

saat berpindah dari ampula ke kanal

bifurcasio. Setelah melakukan manuver, hendaknya pasien tetap berada pada


posisi duduk minimal 10 menit untuk menghindari risiko jatuh.

Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk mengembalikan partikel ke

posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus. Ada lima manuver yang dapat dilakukan

tergantung dari varian BPPV nya.

a. Manuver Epley

Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada kanal vertikal. Pasien

0
diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 45 , lalu pasien

berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Lalu kepala

0
ditolehkan 90 ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi lateral

dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Setelah itu pasien mengistirahatkan dagu
pada pundaknya dan kembali ke posisi duduk secara perlahan.
Gambar 5 Manuver Epley

b. Manuver Semont

Manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis kanan posterior. Jika

0
kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu kepala dimiringkan 45 ke

sisi yang sehat, lalu secara cepat bergerak ke posisi berbaring dan dipertahankan

selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan vertigo dapat diobservasi. Setelah itu pasien

pindah ke posisi berbaring di sisi yang berlawanan tanpa kembali ke posisi duduk

lagi.

Gambar 6. Manuver Semon


c. Manuver Lempert

Manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe kanal lateral. Pasien

0 0
berguling 360 , yang dimulai dari posisi supinasi lalu pasien menolehkan kepala 90

ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan tubuh ke posisi lateral dekubitus.

Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh mengikuti ke posisi ventral dekubitus.

0
Pasien kemudian menoleh lagi 90 dan tubuh kembali ke posisi lateral dekubitus

lalu kembali ke posisi supinasi. Masing-masing gerakan dipertahankan selama 15

detik untuk migrasi lambat dari partikel-partikel sebagai respon terhadap gravitasi.

Gambar 7. Manuver Lempert.

d. Forced Prolonged Position

Manuver ini digunakan pada BPPV tipe kanal lateral. Tujuannya adalah untuk

mempertahankan kekuatan dari posisi lateral dekubitus pada sisi telinga yang sakit

dan dipertahankan selama 12 jam.


e. Brandt-Daroff exercise

Manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di rumah dan dapat dilakukan

sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada pasien yang tetap simptomatik

setelah manuver Epley atau Semont. Latihan ini juga dapat membantu pasien

menerapkan beberapa posisi sehingga dapat menjadi kebiasaan.

Gambar 2.8 Brandt-Daroff Exercise

2. Farmakologi

Penatalaksanaan dengan farmakologi untuk BPPV tidak secara rutin dilakukan.

Beberapa pengobatan hanya diberikan untuk jangka pendek untuk gejala-gejala vertigo,

mual dan muntah yang berat yang dapat terjadi pada pasien BPPV, seperti setelah

melakukan terapi PRM. Pengobatan untuk vertigo yang disebut juga pengobatan

suppresant vestibular yang digunakan adalah golongan benzodiazepine (diazepam,

clonazepam) dan antihistamine (meclizine, dipenhidramin). Benzodiazepines dapat

mengurangi sensasi berputar namun dapat mengganggu kompensasi sentral pada kondisi

vestibular perifer. Antihistamine mempunyai efek supresif pada pusat muntah sehingga

dapat mengurangi mual dan muntah karena motion sickness. Harus diperhatikan bahwa

benzodiazepine dan antihistamine dapat mengganggu kompensasi sentral pada

kerusakan vestibular sehingga penggunaannya diminimalkan.

3. Operasi
Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi kronik dan sangat sering

mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah melakukan manuver-manuver

yang telah disebutkan di atas. Dari literatur dikatakan indikasi untuk melakukan operasi

adalah pada intractable BPPV, yang biasanya mempunyai klinis penyakit neurologi

vestibular, tidak seperti BPPV biasa.

Terdapat dua pilihan intervensi dengan teknik operasi yang dapat dipilih, yaitu

singular neurectomy (transeksi saraf ampula posterior) dan oklusi kanal posterior

semisirkular. Namun lebih dipilih teknik dengan oklusi karena teknik neurectomi

mempunyai risiko kehilangan pendengaran yang tinggi.


BAB III

PEMBAHASAN

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan gangguan klinis dengan


karakteristik berupa serangan vertigo perifer, berulang, singkat, dan berkaitan dengan
perubahan posisi kepala baik dari tidur kemudian memutar kepala. Etiologi pada pasien ini
adalah idiopatik, yang merupakan etiologi terbanyak untuk kasus BPPV. Aparatus
vestibularis adalah komponen khusus pada telinga yang dapat memberikan informasi
mengenai sensasi keseimbangan serta koordinasi gerakan- gerakan kepala, mata dan posisi
tubuh. Bagian vestibuler dari membran labirin ini terdiri atas 3 kanalis semisirkularis yaitu,
anterior, horizontal, dan posterior. Labirin ini juga terdiri atas dua struktur otolit yaitu sakulus
dan utrikulus yang mampu mendeteksi akselerasi linear termasuk pengaruh gravitasi bumi.
Makula pada utrikulus diduga menjadi sumber partikel – partikel kalsium yang dapat
menyebabkan BPPV berupa kalsium karbonat (otokonia) yang berbentuk matriks gelatinosa.
Kristal kalsium karbonat ini memiliki densitas dua kali lipat dari endolimfe sehingga
berespon terhadap perubahan gravitasi dan gerakan akselerasi yang lain. Adanya debris
otokonia yang terlepas dari makula utrikulus yang berdegenerasi, melekat di permukaan
kupula (sensor gerakan) kanalis semisirkularis posterior yang letaknya paling bawah. Sistem
vestibular akan terdegradasi dengan usia dan sebagai hasil dari perubahan yang disebabkan
oleh hipertensi. Hipertensi akan memicu kerusakan pembuluh darah difus yang
mengakibatkan penyakit aterosklerosis. Kerusakan pembuluh darah pada telinga bagian
dalam yang disebabkan oleh aterosklerosis dapat mengakibatkan pelepasan otokonia secara
progresif dari membran otolitik. Pergeseran massa otokonia membutuhkan waktu,
menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya keluhan vertigo dan nistagmus. Kristal
otokonia yang bergerak di dalam kanalis semisirkularis akan menyebabkan endolimfe
bergerak dan menstimulasi ampula dalam kanal sehingga menyebabkan vertigo. Nistagmus
dibangkitkan oleh saraf ampularis yang tereksitasi di dalam kanal yang berhubungan
langsung dengan muskulus ekstra okuler.

Berdasarkan literatur diatas, terdapat hubungan yang cukup erat kaitannya antara
gejala yang dirasakan pasien dengan hipertensi. Diagnosis BPPV kanalis posterior kanan
komorbid hipertensi ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya keluhan rasa pusing berputar
sewaktu posisi kepala berubah, diikuti dengan gejala mual muntah dan keringat dingin yang
pernah dialami sejak tiga tahun lalu dan riwayat hipertensi sejak satu setengah tahun lalu. Tes
provokasi dengan Dix- Hallpike maneuver menimbulkan vertigo hebat sewaktu kepala
dimiringkan ke kanan dengan nistagmus posisional yang muncul sesudah 10 detik. Nistagmus
posisional kanan muncul pada saat tes provokasi karena otokonia yang berada pada bagian
posterior kanal bergerak dari atas kebawah secara torsional, sehingga mengakibatkan
nistagmus posisional dengan fase cepat ke kiri. Nistagmus pada tipe kupulolithiasis tidak
mempunyai fase laten, intensitas menetap selama kepala berada pada posisi provokatif dan
tidak mempunyai fatigabilitas. Sebaliknya nistagmus pada tipe kanalolithiasis akan
memperlihatkan adanya fase laten sebelum onset vertigo dengan onset yang lebih singkat
sekitar satu menit dan mempunyai fatigabilitas. Kedua hal diatas sangat penting untuk
dibedakan karena merupakan dasar penentuan letak lesi dan awal manuver terapi. Posisi
telinga yang sakit ditentukan dengan membandingkan intensitas vertigo dan nistagmus serta
arah dari fase cepat nistagmus. Pada pasien terdapat perbedaan intensitas yang bermakna
yaitu pergerakan dari arah kanan dapat menimbulkan vertigo dan nistagmus. Dix-Hallpike
maneuver bernilai positif bila dijumpai adanya masa laten selama 5 – 20 detik setelah posisi
kepala berubah hingga onset munculnya nistagmus dan vertigo, terjadi nystagmus dan vertigo
secara bersamaan dengan intensitas yang meningkat dan membaik dalam 60 detik serta
vertigo yang semakin berkurang setiap maneuver tersebut dilakukan berulang. Dix-Hallpike
maneuveryang dilakukan pada pasien ini menimbulkan gejala vertigo, sehingga bisa
disimpulkan bahwa terdapat otokonia pada kanalis posterior dan anterior. Bila pasien
merubah posisi seperti Dix-Hallpike maneuver, posisi kanalis posterior berubah dari inforior
ke superior sehingga kupula bergerak secara sentrifugal dan menimbulkan keluhan vertigo
serta nistagmus. Secara statistik, BPPV yang paling banyak ditemui adalah BPPV kanalis
posterior. Hal ini dapat terjadi karena BPPV kanalis horizontal dapat beremisi spontan pada
saat kepala sejajar dengan bidang horizontal bumi. Saat dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik, pasien memiliki penyakit hipertensi. Penyakit hipertensi dapat
meningkatkan kejadian rekurensi pada penyakit BPPV. Menurut guideline, pasien dengan
gejala khas BPPV dan hasil Dix-Hallpike maneuver yang positif pada saat tes provokasi,
menandakan terdapat gangguan vertigo vestibuler kanal posterior karena Dix-Hallpike
maneuver merupakan manuver provokasi yang terbaik untuk BPPV kanalis posterior. BPPV
kanalis posterior dapat ditatalaksana dengan terapi medikamenotasa dan nonmedikamentosa
berupa berbagai macam manuver terapi, namun yang terbanyak dan paling umum dipakai
klinisi untuk tatalaksana BPPV kanalis posterior adalah Epley maneuver dengan efektifitas
>85%. Epley maneuver dapat dilakukan untuk BPPV kanalis posterior tipe kanalolitiasis.
Pada pasien ini, nistagmus yang muncul merupakan nistagmus posisional mempunyai
karakteristik yang sesuai dengan tipe kanalolithiasis, sehingga putaran Epley maneuver tetap
dimulai dari telinga yang memperlihatkan vertigo dan nistagmus dengan intensitas yang kuat
pada saat berada diposisi bawah. Pada saat pertama kali dilakukan manuver terapi, pasien
tidak mampu menyelesaikan satu putaran, karena rasa pusing berputar dan gejala otonom
yang muncul begitu hebat, sehingga diputuskan untuk tidak melanjutkan terapi dan diberikan
pengobatan analog histamin yaitu betahistin mesylate yang dapat mengurangi tekanan
endolimfatik dengan cara memperbaiki mikrosirkulasi serta pemberian vestibulosupresan
yaitu difenhidramin HCl untuk mencegah kekambuhan. Selain itu diberikan nasehat agar
tidur miring dengan telinga yang sakit berada di posisi atas. Untuk mengatasi hipertensi,
pasien diberikan medikamentosa berupa kaptopril. Kaptopril merupakan obat golongan ACE-
Inhibitor. ACE-Inhibitor salah satu lini pertama dalam tatalaksana hipertensi selain
Amlodipin dari golongan Calcium Channel Blocker. Pemilihan obat ACE-Inhibitor pada
pasien ini karena salah satu efek samping dari obat golongan Calcium Channel Blocker dapat
menimbulkan vertigo. Epley maneuver dilanjutkan keesokan harinya dan pasien dapat
melakukan secara lengkap Pasien dipulangkan setelah keadaan membaik dan tetap diberikan
terapi medikamentosa.

Penatalaksanaan pada pasien dilakukan secara holistik dan komprehensif dengan


melakukan kunjungan sebagai tindak lanjut dari tatalaksana pasien saat di puskesmas. Setelah
kunjungan awal, berdasarkan konsep Mandala of Health, didapatkan bahwa dari segi perilaku
kesehatan pasien mengutamakan kuratif dibandingkan tindakan preventif karena rendahnya
pengetahun mengenai langkah pencegahan penyakit serta kurangnya penerapan pola hidup
sehat. Pasien dan anggota keluarganya merupakan peserta KIS dan hanya datang ke
puskesmas terdekat bila terdapat keluhan yang mengganggu aktivitasnya. Menurut human
biology, pasien merasakan pusing berputar disertai dengan mual dan muntah sejak 3 jam
sebelum datang ke Puskesmas Rawat Inap Simpur. Pasien mengkonsumsi makanan berlemak
dan bersantan serta pasien juga memiliki riwayat hipertensi. Mengenai hal ini pasien diberi
edukasi untuk merubah variasi makanan dengan makanan yang bergizi dan seimbang. Pada
pasien juga dijelaskan bahwa kekambuhan dari penyakit yang diderita saat ini disebabkan
karena penyakit hipertensi yang di derita oleh pasien. Disarankan pasien mengkonsumsi obat
hipertensi untuk mengontrol tekanan darah sehingga risiko kekambuhan menjadi berkurang.

Lingkungan psikososial, hubungan antar pasien dengan anak – anak pasien dinilai
baik, tetapi yang membuat pasien sedikit cemas hubungan antar suami pasien dan anak –
anak yang kurang dekat dikarenakan suami selalu pulang larut malam dan kurang berinteraksi
dengan anak – anak. Dilakukan family conference untuk menengahi masalah ini. Suami
pasien berniat merubah kebiasaannya serta semua anggota keluarga ingin mendukung pasien
dalam mencari pengobatan ke pelayanan kesehatan terdekat dan membantu pasien untuk
mengidentifikasi faktor penyebab kekambuhan sehingga dapat dihindari dan kesembuhan
pasien dapat tercapai.Gaya hidup pasien yang mengkonsumsi makanan berlemak dan
bersantan. Setelah digali faktor gaya hidup, diperoleh data bahwa pasien sudah memiliki
kebiasaan mengkonsumsi gorengan dan makanan bersantan selama 3 tahun, hal tersebut
membuat pasien merasa khawatir berhubungan dengan keluhannya saat ini.Pasien merasa
kurang pengetahuan mengenai dampakmengkonsumsi makanan berlemak dan bersantan
tanpa disertai gizi yang seimbang.Hal ini diperberat dengan kondisi penyakit pasien yang
dapat menghambat pasien dalam melakukan aktivitas, sehingga kesulitan dalam memotivasi
diri untuk berhenti dari pola hidup yang tidak sehat.

Pada keluarga Ny.SS diberikan intervensi nonmedikamentosa berupa: 1) Edukasi


mengenai penyakit Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) kepada pasien dan
keluarganya, 2) Edukasi kepada pasien untuk melakukan kontrol rutin tekanan darah dan
kembali ke puskesmas jika keluhan BPPV menetap setelah obat habis, 3) Edukasi kepada
pasien untuk makan makanan yang bergizi dan seimbang, 4) Edukasi mengenai gaya hidup
sehat, cara melatih diri sendiri untuk membentuk gaya hidup sehat, 5) Memberikan edukasi
mengenai latihan vestibuler yaitu Epley maneuver untuk mengurangi kekambuhan dari
penyakit BPPV yang diderita pasien seperti yang pernah dilakukan pada saat perawatan di
puskesmas,6) Edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam mengingatkan pasien mengenai
gaya hidup sehat, 7) Edukasi dan motivasi mengenai perlunya perhatian dukungan dari semua
anggota keluarga terhadap perbaikan penyakit pasien.

Pasien masih merasakan pusing berputar sewaktu perubahan posisi setelah dilakukan
Epley maneuver saat perawatan di puskesmas, walaupun tidak sehebat yang pertama namun
pasien masih takut untuk menggerakkan kepalanya. Terlihat bahwa terapi medikamentosa
dan nonmedikamentosa yang diberikan saat perawatan dan setelah pasien pulang dari
puskesmas memberikan respon yang memuaskan, sesuai dengan literatur dimana pilihan
terapi untuk BPPV selain menggunakan medikamentosa yaitu dengan terapi Epley Maneuver.
Pusing yang masih dirasakan oleh pasien disebabkan karena Epley Maneuver tidak dapat
dilanjutkan di rumah. Epley maneuver hanya dapat dilakukan di puskesmas dengan bantuan
tim medis. Setelah pertemuan pertama di rumah binaan, penulis melakukan uji literatur untuk
menemukan manuver lain yang memiliki efektivitas sama dengan Epley maneuver untuk
mencegah kekambuhanBenign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) kanal posterior dan
dapat dilakukan sendiri oleh pasien saat di rumah.

Berdasarkan jurnal yang berjudul Comparison of the effectiveness of Brandt- Daroff


Vestibular training and Epley- Canalith repositioning maneuver in Benign Paroxysmal
Positional Vertigo long term result: A randomized prospective clinical trial, didapatkan
bahwa Brandt-Daroff maneuver merupakan latihan vestibuler yang memiliki efektivitas sama
dengan Epley maneuver dalam mengatasi rekurensi dari BPPV kanal posterior. Brandt-
Daroff maneuver ini dapat dilakukan pasien secara mandiri saat di rumah untuk mencegah ke
kambuhan. Telah dilakukan edukasi mengenai Brandt-Daroff maneuver kepada keluarga dan
pasien. Dijelaskan bahwa manuver ini dapat meringankan terjadinya rekurensi pada pasien
BPPV. Selain itu, pada kunjungan kedua ini dicarikan alternatif pemecahan masalah –
masalah yang ada pada keluarga dengan metode family conference serta diberikan edukasi
mengenai penyakit lain yang diderita oleh pasien dan keluarga seperti hipertensi dan
hiperkolesterolemia dan cara pencegahan agar tidak menjadi suatu komplikasi yang berat.
Didapatkan hasil evaluasi bahwa keluhan pusing berputar dirasakan pasien berkurang.
Brandt-Daroff maneuver masih memprovokasi terjadinya vertigo dan nistagmus posisional,
namun dengan intensitas yang telah jauh berkurang. Pasien mampu menyelesaikan satu
putaran lengkap Brandt-Daroff maneuver dan mengalami perbaikan dengan terapi yang
diberikan. Brandt- Daroff maneuver dan Epley maneuver mempunyai prinsip terapi yang
sama, yaitu mendorong otokonia untuk kembali ke utrikulus melalui ujung kanal
nonampulatory dengan bantuan gravitasi. Pasien mengatakan bahwa pasien telah selesai
meminum obat yang diberikan dan sesuai dengan yang dijelaskan sebelumnya. Suami dan
anak pasien ikut serta dalam mengingatkan pasien untuk minum obat. Pasien khawatir tidak
dapat mempertahankan gaya hidupnya yang sudah mengurangi konsumsi makanan berlemak
dan bersantan Pasien juga mengatakan telah mengikuti saran yang diberikan dalam rangka
merubah gaya hidup dengan mulai membiasakan olahraga rutin 1 minggu sekali dan
berencana untuk meningkatkan frekuensinya perlahan. Pasien juga mengatakan seringkali
melakukan latihan vestibuler Brandt-Daroff maneuver setiap pagi saat bangun tidur, siang
hari dan malam hari sebelum tidur sesuai dengan yang sudah diajarkan sebelumnya. Setelah
kunjungan ketiga, pasien diminta untuk tetap rutin melakukan latihan vestibuler untuk
mencegah kekambuhan. Hasil evalusasi lanjutan dinilai keluhan pusing berputar telah
berkurang lebih dari 60%. Keluhan pusing hanya terasa pada saat bangun dari tidur.
Suami dan anak – anak pasien sering memotivasi diri pasien untuk melakukan latihan
vestibuler setiap hari.

Pasien mengatakan bahwa suami pasien sudah pulang ke rumah sebelum maghrib,
sehingga memiliki waktu lebih banyak bersama keluarga dana semakin dekat dengan anak –
anak pasien. Pasien juga mengatakan bahwa suami dan anaknya banyak mendukung pasien
selama pengobatan, mengingatkan minum obat, mengingatkan untuk melakukan latihan
vestibuler setiap hari, serta mengajak pasien untuk berolahraga bersama.
DAFTAR PUSTAKA

1. You P, Instrum R, dan Parnes L. Benign Paroxysmal Positional Vertigo.


Laryngoscope Investig Otolaryngol. 2018;4(1):116-123

2. Cetin YS, et al. Comparison of the effectiveness of Brandt-Daroff Vestibular training


and Epley Canalith repositioning maneuver in Benign Paroxysmal Positional Vertigo
long term result: A randomized prospective clinical trial. Pak J Med Sci.
2018;34(3):558-563.

3. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Pedoman Tatalaksana Vertigo.


Jakarta: PERDOSSI,2012

4. Lance S, and Mossman SS. Misleading signs in acute vertigo. Pract Neurol.
2018;18(2):162-165

5. Lim EC, et al. Developing a Diagnostic Decision Support System for Benign
Paroxysmal Positional Vertigo Using a Deep-Learning Model. J Clin Med.
2019;8(5):E633

6. Tan J, Deng Y, Zhang T, dan Wang M. Clinical Characteristics and Treatment


Outcomes for Benign Proxysmal Positional Vertigo Comorbid with Hypertension.
Acta Otolaryngol. 2017; 137(5):482-484.

7. Bhattacharyya N, et al. Clinical Practice Guideline: Benign Paroxysmal Positional


Vertigo (Update). Otolaryngol Head Neck Surg. 2017; 156(3_suppl):S1-S47.

8. Gupta AK, Sharma KG, dan Sharma P. Effect of Epley, Semont Mabeuvers and
Brandt-Daroff Exercise on Quality of Life in Patients with Posterior Semicircular
Canal Benign Paroxysmal Positional Vertigo (PSCBPPV). Indian J Otolaryngol Head
Neck Surg. 2019; 71(1):99-103.

9. Sanchez-Vanegas G, Casro-Moreno C, dan Buitrago D. Betahistine in the Treatment


of Peripheral Vestibular Vertigo: Results of a Real-Life Study in Primary Care. Ear
Nose Throal J. 2019; 145561319849946
10. Kim MB, Lee HS, dan Ban JH. Vestibular suppressants after canalith repositioning
in benign paroxysmal positional vertigo. Laryngoscope. 2014;124(10):2400-3

11. Strupp, M, et al. Long-term prophylactic treatment of attacks of vertigo in Meniere's


disease-- comparison of a high with a low dosage of betahistine in an open trial.Acta
Otolaryngol. 2008;128(5): 520-4.

12. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana


Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular. Jakarta: PERKI,2015

13. Shrout T, Rudy DW, dan Piascik MT. Hypertension update, JNC8 and beyond. Curr
Opin Pharmacol. 2017;33:41-46.

14. Aldemir NM, et al. Amlodipine- induced gingival hyperplasia in chronic renal
failure: a case report

15. Fife D.T. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Semin Neurol Journal. 2009;29:500-
508.

16. Parnes et al. Diagnosis and Management of Benign Paroxysmal Positional Vertigo
(BPPV). CMAJ. 2003;169 (7): 681-93.

17. Bhattacharyya N, Baugh F R, Orvidas L. Clinical Practice Guideline: Benign


Paroxysmal Positional Vertigo. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2008;139:
S47-S81.

18. ]Teixeira L.J., Pollonio J.N., Machado. Maneuvers for the treatment of Benign
Positional Paroxysmal Vertigo: a systemic review. Brazilian Journal of
Otorhinolaryngology. 2006;72(1): 130-8.

19. Bittar et al. Benign Paroxysmal Positional Vertigo: Diagnosis and Treatment.
International Tinnitus Journal. 2011;16(2): 135-45.

20. Leveque et al. Surgical Therapy in Intractable Benign Paroxysmal Positional Vertigo.
Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2007;136:693-698.

Anda mungkin juga menyukai