Anda di halaman 1dari 14

Nama Peserta: dr.

Nisia Pratama Setiabekti


Nama Wahana: RSUD Cengkareng
Topik: Status Epileptikus Pada Anak
Tanggal (Kasus): 16/03/2016
Nama Pasien: An. H
No RM: 20-62-32
Tanggal Presentasi:
Nama Pendamping: dr. Hanny Dewajanti
Tempat Presentasi:RSUD Cengkareng
Obyektif Presentasi:
Keilmuan
Keterampilan Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Masalah
Istimewa
Diagnostik
Manajemen
Neon
atus

Re

De

ay

na

ma

wa

ja

sa

L
an

Bu

si

mil

Deskripsi:An. H, usia 3 tahun 3 bulan, datang dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan
kejang tanpa demam sejak setengah jam SMRS. Menurut orang tuanya, anak kejang sudah
5 kali. Kejang berlangsung selama 1 menit. Orang tua OS mengatakan kejang seluruh badan
kelonjotan, sedangkan mata berkedip-kedip. Setelah kejang anak menangis kencang dan
kembali seperti biasa. Keluhan batuk dan pilek sebelumnya disangkal oleh orang tua pasien.
Orang tua mengatakan bahwa anaknya menjalani pengobatan dengan fenitoin sejak usia 2
tahun.Fenitoin kemudian diganti oleh asam valproat sejak 1 bulan SMRS. OS tidak
memiliki riwayat kejang demam sebelumya. Riwayat kelahiran tanpa penyulit dan status
imunisasi lengkap.
Tujuan: Menentukan penatalaksanaan awal dan komplikasi pada kasusstatus epileptikus
anak.
Bahan
Bahasan:
Cara

Tinjauan Pustaka

Riset

Kasus

Audit

Diskusi Presentasi dan Diskusi Email


Pos
Membahas:
Data Pasien
Nama: An. H
No Registrasi:
Nama Wahana: RSUD Cengkareng Telpon:
Terdaftar Sejak:
Data Utama dan Bahan Diskusi
1. Diagnosis / Gambaran Klinis
- Status Epileptikus
2. Riwayat Pengobatan
Fenitoin dan asam valproat
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit
An. H, usia 3 tahun 3 bulan, datang dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan kejang
tanpa demam sejak setengah jam SMRS. Menurut orang tuanya, anak kejang sudah 5
kali. Kejang berlangsung selama 1 menit. Orang tua OS mengatakan kejang seluruh
badan kelonjotan, sedangkan mata berkedip-kedip. Setelah kejang anak menangis
1

kencang dan kembali seperti biasa. Keluhan batuk dan pilek sebelumnya disangkal oleh
orang tua pasien. Orang tua mengatakan bahwa anaknya menjalani pengobatan dengan
fenitoin sejak usia 2 tahun. Fenitoin kemudian diganti oleh asam valproat sejak 1 bulan
SMRS. OS tidak memiliki riwayat kejang demam sebelumya. Riwayat kelahiran tanpa
penyulit dan status imunisasi lengkap.
4. Riwayat Keluarga
Riwayatepilepsy dan kejang demam pada keluarga disangkal.
5. Lain-lain: OS sudah pernah dirawat inap sebelumnya karena kejang tanpa demam dan
menurut orang tua, OS seharusnya di EEG besok harinya.
Daftar Pustaka
1. Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta . Gadjah Mada University
Press.
2. Harsono, Endang Kustiowati, Suryai Gunadarma. 2008. Pedoman dan Tatalaksana
Epilepsi edisi 3. Jakarta. PERDOSSI.
3. Lombardo MC. Gangguan Kejang. In : Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi,
Edisi 6. Jakarta : EGC, 2005.
4. Epilepsi KS. Pedoman Tata Laksana Epilepsi Edisi 3. Jakarta: Perdossi ;2008
5. Status Epileptikus. Diunduh dari
https://www.neurocriticalcare.org/sites/default/files/pdfs/SE%20Guidelines%20NCS
%200412.pdf. 18 Maret 2016
6. Epilepsy. Diunduh dari http://jnnp.bmj.com/content/70/suppl_2/ii22.full.pdf.
18 Maret 2016
Hasil Pembelajaran
1. Penatalaksanaan awal kejang pada status epileptikus
2. Komplikasi dari status epileptikus pada anak
1. Subyektif
An. H, usia 3 tahun 3 bulan, datang dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan
kejang tanpa demam sejak setengah jam SMRS. Menurut orang tuanya, anak
kejang sudah 5 kali. Kejang berlangsung selama 1 menit. Orang tua OS
mengatakan kejang seluruh badan kelonjotan, sedangkan mata berkedip-kedip.
Setelah kejang anak menangis kencang dan kembali seperti biasa. Keluhan batuk
dan pilek sebelumnya disangkal oleh orang tua pasien. Orang tua mengatakan
bahwa anaknya menjalani pengobatan dengan fenitoin sejak usia 2 tahun. Fenitoin
kemudian diganti oleh asam valproat sejak 1 bulan SMRS. OS tidak memiliki
riwayat kejang demam sebelumya. Riwayat kelahiran tanpa penyulit dan status
imunisasi lengkap.
2. Objektif
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan:
Tanda-tanda Vital
:
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
2

Kesadaran
Berat Badan
Nadi
Pernapasan
Suhu
Status Generalis
Kepala
Mata
THT
Leher
Thorax
Paru
Jantung
Abdomen

: compos mentis (GCS 15)


: 20 kg
:120 kali/menit
: 30 kali/menit
: 37 oC
:
: normocephal
: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat, isokor,
:
:
:
:
:
:

refleks cahaya +/+, kaku kuduk (-)


dalam batas normal
dalam batas normal
pergerakan dada simetris
bunyi napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-, sonor +/+
bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
bising usus (+) normal, supel, nyeri tekan (-) di epigastrium,
timpani

Ekstremitas

: akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-), tonus otot 5/5

3. Assessment
Definisi
Status Epileptikus merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang harus ditangani
segera dan secepat mungkin, karena melibatkan proses fisiologis pada sistem homeostasis
tubuh, kerusakan syaraf dan otak yang dapat mengakibatkan kematian. Penanganannya tidak
hanya menghentikan kejang yang sedang berlangsung, tetapi juga harus mengidentifikasi
penyakit dasar dari status tersebut. Umur, jenis kejang, etiologi, jenis kelamin perempuan,
durasi dari status epileptikus, dan lamanya dari onset sampai penanganan merupakan faktor
prognostik penting.
Pada

konvensi Epilepsy

Foundation

of

America (EFA),

status

epileptikus

didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa
adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih
dari 30 menit.
Klasifikasi
Pada umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan
area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau nonkonvulsi.
3

Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus.


Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonikklonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau
kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan
status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens).
Epidemiologi
Jumlah kasus status epileptikus di Amerika Serikat saja telah diperkirakan dari studi
epidemiologi menjadi sekitar 102.000-152.000 episode per tahun dan sebanyak 55.000
kematian per tahun telah dikaitkan dengan status epileptikus. Status epileptikus merupakan
keadaan kejang terus menerus, dengan kejadian tahunan berkisar 10-86 per 100.000 orang.
Di Indonesia, data mengenai status epileptikus masih belum jelas karena SE juga
berhubungan dengan epilepsi yang sampai saat ini masih belum ada penelitian secara
epidemiologi. Sedangkan data secara global sendiri menunjukkan bahwa SE terjadi pada 1041 kasus per 100.000 orang per tahun dan paling sering terjadi pada anak-anak (Muttaqin,
2008).Lebih dari 15 % pasien dengan epilepsi memiliki setidaknya satu episode SE. Risiko
lainnya yang meningkatkan frekuensi terjadinya SE adalah usia muda, genetik serta kelainan
pada otak. Angka kematian pada penderita status epileptikus pada dewasa sebesar 15%-20%
dan 3%-15% pada anak-anak
Etiologi
Menurut DeLorenzo et al (2009) ditinjau dari penyebabnya, epilepsi dibagi menjadi 2,
yaitu :
1

Epilepsi Primer (Idiopatik)


Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan
kelainan pada jaringan otak. Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.

Epilepsi Sekunder (Simtomatik)


Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada
jaringan otak. Kelainan ini disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya
jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa
perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama / sebelum kelahiran),
gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria), defisiensi
vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia,
4

gangguan sirkulasi, dan neoplasma.


DeLorenzo et al (2009) melaporkan bahwa pada pasien dibawah usia 16 tahun,
penyebab paling umum adalah demam atau infeksi(36%). Pasien dengan riwayat
epilepsi sebelumnya mempunyai risiko lebih tinggi terjadinya SE. Hal ini termasuk
juga pasien yang cenderung mengalami epilepsi berulang serta ketidakteraturan
dalam meminum obat antikonvulsan.
Patofisiologi
Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk mencegah kejang.
Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang (Neurotransmiter eksitatori: glutamat,
aspartat dan asetilkolin) melebihi kemampuan hambatan intrinsik (GABA) atau mekanisme
hambatan intrinsik tidak efektif. Pada lebel neurokimia, bangkitan terjadi akibat
ketidakseimbangan antara eksitasi berlebihan dan kurangnya inhibisi. Neurotransmitter
eksitasi yang terbanyak ditemukan adalah glutamat dan juga turut dilibatkan disini adalah
reseptor subtipe NMDA (N-methyl-D-aspartat). Neurotransmiter inhibisi yang terbanyak
ditemukan adalah gamma-aminobutyric acid (GABA). Kegagalan proses inhibisi merupakan
mekanisme utama pada status epileptikus. Inhibisi yang diperantarai oleh reseptor GABA
berperanan dalam terminasi bangkitan. Aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat sebagai
neurotransmitter eksitasi dibutuhkan dalam perambatan bangkitan. Aktivasi reseptor NMDA
meningkatkan kadar kalsium intraseluler yang menyebabkan cedera sel saraf pada status
epileptikus. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa semakin lama durasi status epileptikus
maka semakin sulit dikontrol. Hal ini dikatakan sebagai akibat peralihan dari transmisi
GABAinhibisi yang inadekuat ke transmisi NMDA eksitasi yang berlebihan (Schweich dan
Zempsky , 2007).
Suatu lepasan muatan simpatis akan menyebabkan naiknya

tekanan darah

dan bertambahnya denyut jantung. Autoregulasi peredaran darah otak hilang mengakibatkan
turunnya resistensi serebrovaskuler. Aliran darah ke otak sangat bertambah didorong oleh
tingginya tekanan darah dan tidak adanya mekanisme autoregulasi. Sebaliknya tekanan darah
sistemik akan turun bila kejang berlangsung terus dan mengakibatkan turunnya tekanan
perfusi yang selanjutnya menyebabkan iskemik pada otak. Hal ini dan berbagai faktor lain
akan menyebabkan hipoksia pada sel-sel otak. Kejang otot yang luas dan melibatkan
otot pernafasan selain mengganggu pernafasan secara mekanis juga menyebabkan inhibisi
pada pusat pernafasan di medula oblongata. Disamping itu pelepasan muatan saraf otonom
5

menyebabkan sekresi bronkus berlebihan dan aspirasi mengakibatkan gangguan difusi


oksigen melalui dinding alveolus. Perubahan fisiologis lain yang paling penting ialah adanya
penggunaan energi yang sangat banyak.Neuron yang terus menerus terpacu menyebabkan
bertambahnya metabolisme otak secara berlebihan sehingga persediaan senyawa fosfat energi
tinggi terkuras. Hipotensi dan hipoksia akan memperburuk keadaan yang berakhir dengan
kematian sel-sel neuron. Selanjutnya hal ini dapat mengakibatkan aritmia jantung, hipoksia
otak yang berat dan kematian. Kejang otot dan gangguan autoregulasi lain juga menimbulkan
komplikasi kerusakan otot, edema paru dan nekrosis tubuler mendadak .
Status epileptikus yang berlangsung lama menimbulkan kelainan yang sama dengan apa
yang terjadi pada hipoglikemia berat atau hipoksia. Sel-sel neuron yang mengalami iskemik
selalu terdapat di daerah sektor Sommer hipokampus, lapisan 3, 4 dan 6 korteks serebri, kornu
Ammon, amigdala, talamus dan sel-sel Purkinje.
Fase Epileptikus
Menurut Kariasa (2002), secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi
menjadi lima fase, yaitu :
a Fase pertama : Pada fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran
darah otak dan cardiac output ,peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan
darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang
diakibatkan oleh asidosis laktat dan terjadi perubahan saraf yang bersifat reversibel pada
tahap ini.
b Fase Kedua : Setelah 30 menit ada perubahan ke fase kedua yaitu kemampuan tubuh
beradaptasi menjadi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali
normal. Kemudian, terjadilah kerusakan saraf yang bersifat irreversibel pada tahap ini.
c Fase ketiga : Pada fase ketiga, aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya
hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan saraf
yangirreversibel.
d Fase keempat : Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat,

ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi.


e Fase kelima : Keadaan pada fase keempat diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas
kejang pada tahap kelima, tetapi kerusakan saraf dan kerusakan otak berlanjut.

Manifestasi Klinis
Bentuk kejang tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk
status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai
74%, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi. Berikut manifestasi klinis status epileptikus.
a

Status

Epileptikus

Tonik-Klonik

Umum

(Generalized

tonic-clonic

Status

Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik
umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada
status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum
tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi. Setiap
kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otototot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis
selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan
peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan
peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan
asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam
pertama pada kasus yang tidak tertangani.

Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)


Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
7

mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
c

Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)


Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik.

Status Epileptikus Mioklonik


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus
adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat
kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat
dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik,
infeksi atau kondisi degeneratif.

Status Epileptikus Absens


Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen
sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti
menyerupaislow motion movie dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang
lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa
anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz
spike) pada semua tempat.Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin
intravena didapati.

Status Epileptikus Non Konvulsif


Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus nonkonvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma. Ketika sadar, dijumpai
perubahan kepribadian dengan paranoia,delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah
laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus
8

dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak
seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
g. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jarijari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin
menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi
tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada
hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses
destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai
dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
h.Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang
cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode .Dapat terjadi otomatisme,
gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG
terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi
bangkitan epilepsi sering menyeluruh.Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens
dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks
dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.Adapun manifestasi klinik
dari status epilepsy yaitu:

Kejang-kejang ( tonik klonik, Absence)


Hipertensi
Mulut berbuih
Menggigit lidah
Kekuatan Otot menurun
Cyanosis
Inkontinensia urin
Denyut nadi meningkat
Hipersalivasi

Penatalaksanaan
9

Prioritas pertama adalah memastikan jalan napas yang adekuat dengan cara pemberian
oksigen melalui nasal canul atau mask ventilasi.Darah diambil untuk pemeriksaan darah
lengkap, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin. Harus diperiksa gas-gas darah arteri untuk
melacak adanya asidosis metabolic dan kemampuan oksigenasi darah.
Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin.
Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan),
dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari gaminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks ReseptorBarbiturat.

10

11

Waktu

Tindakan

0-5 menit

Tatalaksana umum:
Oksigenasi
Stabilisasi jalan napas, pernapasan, dan hemodinamik
Akses IV dan berikan infus normal salin dengan tetesan lambat
Pemeriksaan darah ke laboratorium
Cek kadar glukosa
Monitoring EKG

5-10 menit

Tiamin 100 mg IV dan D50% 50 ml IV


Diazepam 0,15 mg/kg IV atau lorazepam 0,1 mg/kg IV dalam 1-2
menit, ulangi setelah 5 menit jika masih
kejang
Jika tidak ada akses IV, berikan diazepam per rektal atau
midazolam intranasal, bukal, atau intramuskuler

10-20 menit

Jika kejang masih berlanjut, berikan fenitoin 20 mg/kg IV (50


mg/menit) atau fosfenitoin 20 mg/kg IV (150 mg/
menit). Jika masih kejang, tambahkan 5-10 mg/kg

20-30 menit

Intubasi, pasang kateter urin, mulai perekaman EEG, cek


temperatur
Berikan fenobarbital dengan loading dose 20 mg/kg IV (100
mg/menit)

40-60 menit

Jika kejang masih berlanjut, induksi koma dengan pilihan:


Midazolam 0,2 mg/kg IV, ulangi dosis 0,2-0,4 mg/kg IV bolus
setiap 5 menit hingga maksimal loading dose 2
mg/kg, kemudian dosis pemeliharaan 0,05-2,9 mg/kg/jam, titrasi
dengan monitoring EEG.
Atau
Propofol 1-2 mg/kg, ulangi 1-2 mg/kg tiap 3-5 menit sampai
kejang berhenti dengan loading dose maksimal
10 mg/kg, diikuti 1-15 mg/kg/jam, titrasi dengan monitoring EEG.
Atau
Pentobarbital dosis awal 5 mg/kg IV, selanjutnya 5 mg/kg IV
bolus hingga kejang berhenti, lanjutkan infus
pentobarbital 1 mg/kg/jam, infus dilambatkan setiap 6 jam untuk
memastikan bangkitan kejang berhenti
dengan pedoman monitoring EEG, observasi tekanan darah dan
pernapasan. Jika perlu berikan pressor
untuk mempertahankan tekanan darah.

12

Kombinasi OAE yang dapat digunakan pada epilepsy refrakter


Kombinasi OAE
Sodium valproate + etosuksimid
Karbamazepin + sodium valproate
Sodium valproate + Lamotrigin
Topiramat + Lamotrigin

Indikasi
Bangkitan Lena
Bangkitan Parsial Kompleks
Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum
Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum

Komplikasi

Otak

Peningkatan Tekanan Intra Kranial

Oedema serebri

Trombosis arteri dan vena otak

Disfungsi kognitif

Gagal Ginjal

Gagal Nafas

Apnoe

Pneumonia

Hipoksia, hiperkapni

Gagal nafas

Pelepasan Katekolamin

Hipertensi

Oedema paru

Aritmia

Glikosuria, dilatasi pupil

Hipersekresi, hiperpireksia

Jantung

Myoglobinuria, rhabdomiolisis

Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme

Metabolik dan Sistemik

Dehidrasi

Asidosis
13

Hiper/hipoglikemia

Hiperkalemia, hiponatremia

Kegagalan multiorgan

Idiopatik

Fraktur, tromboplebitis, DIC

4. Plan
- Stesolid rectal 10 mg/kgBB per rectal, diulang bila masih kejang
- Cek darah hema 1, GDS, elektrolit
- Kaen 1B 1000 cc/24 jam
- Loading dose fenitoin
- Fenitoin 2 x 70 mg
- Diit seperti biasa

14

Anda mungkin juga menyukai