Anda di halaman 1dari 11

Worksheet Praktikum Farmakoterapi III Kasus II

“Epilepsi”

OLEH:

I Dewa Gede Alit Dharma Putra (18021057)


Ni Ketut Diah Sawitri (18021058)
Ni Made Rika Handayani (18021059)
Ni Made Winda Indriani (18021060)
I Putu Diva Pramana Yasa (18021061)
I Putu Maheswara Dharma Sanjaya (18021062)
I Wayan Arda (18021063)

KELOMPOK 4/A3B

Tanggal Praktikum : Selasa, 8 Juni 2021

Nama Dosen : Apt. Putu Pryasquita Mpuadji , S.Farm., M.Farm.

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI
INTERNASIONAL DENPASAR
2021
Kasus :

Nama Pasien : Tn. AR

Umur : 24 Tahun
MRS : 25 September 2017
KRS : 08 Oktober 2017

Kurang lebih 5 jam SMRS pada saat akan makan siang tiba tiba pasien kejang 15 menit
sekitar jam12.00 siang, pada saat pasien kejang tangan pasien mengepal dan terguncang naik
turun kaki pasien juga terguncang naik turun secara bersamaan. Mata terbelalak, mulut tidak
berbusa, lidah tidak tergigit, saat kejang terjadi pasien terjatuh pada sisi tubuh sebelah kanan
dengan bibir dan kepala sisi kanan membentur batu, bibir luka sebesar 1 cm tepi tidak rata,
Kejang terjadi hingga 3 kali sekitar 15 menit, selama masa kejang pasien tidak sadarkan diri.

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat epilepsi sejak kecil (+) namun tidak terkontrol
Tanda-Tanda Vital TTV: TD: 110/70mmHg, HR : 88x/menit, RR: 20x/menit, T: 38°C
DIAGNOSA SEMENTARA Epilepsi dd Infeksi Intrakranial
TERAPI SAAT MRS IVFD D5% + fenitoin 3 ampul/8jam Ceftriaxone 2x1 ampul (iv)
Paracetamol drip 3x1 Fl. (bila panas)
DIAGNOSA AKHIR Epilepsi bangkitan umum tipe Tonik-Klonik

Pertanyaan Yang Harus Didiskusikan Dan Dijawab:


1. Adakah tambahan informasi (FIR) yang kalian perlukan untuk rencana terapi pasien?
2. Apakah tujuan terapi dari kasus dibawah ini?
3. Apakah rencana terapi yang sudah diberikan oleh dokter sudah tepat?
4. Adakah rekomendasi terapi obat pulang untuk kasus Tn.AR? Bila ada, sebutkan dan
berikan alasannya!
5. Bagaimana tatalaksana terapi pada Tn.AR (gunakan metode SOAP)!
6. Hal apa saja yang perlu dimonitoring dari kasus pasien dibawah ini?

Penyelesaian Kasus :
1. tambahan informasi (FIR) yang di perlukan untuk rencana terapi pasien:
No FIR
1 Riwayat pengobatan epilepsi sblmnya
2 Apakah kejang pasien berulang?
3 Apakah pasien memiliki riwayat penyakit neurologi lain
4 Apakah pasien memiliki cidera pada kepala ?
5 Berapa BB Pasien? (untuk menentukan dosis yg efektif)
6 Apakah pasien mengalami penurunan kesadaran?
7 Apakah sudah dilakukan pemeriksaan lab terkait infeksi? Jika sudah apakah ada
data hasil pemeriksaannya?
8 Apakah pasien sudah melakukan pemeriksaan CT-Scan ? apa pada saat CT-
Scan ditemukan kelainan/lesi structural pada otak ?
9 Apakah pasien sudah melakukan pemeriksaan MRI ?
10 Bagaimana life style pasien (merokok/alkohol/kopi/istirahat tidak teratur?

2. Apakah tujuan terapi dari kasus dibawah ini?


Adapun tujuan terapi dari kasus dibawah ini yaitu :
Tujuannya terapi epilepsi adalah untuk mengontrol atau mengurangi frekuensi dan
tingkat keparahan kejang, meminimalkan efek samping, dan memastikan kepatuhan,
memungkinkan pasien untuk menjalani kehidupan yang senormal mungkin.
Penindasan kejang total harus seimbang terhadap tolerabilitas efek samping, dan
pasien harus terlibat dalam menentukan keseimbangan. Efek samping dan
komorbiditas (misalnya, kecemasan, depresi) serta masalah sosial (misalnya,
mengemudi, keamanan kerja, hubungan, stigma sosial) memiliki dampak signifikan
pada kualitashidup (Dipiro, 2015)
3. Apakah rencana terapi yang sudah diberikan oleh dokter sudah tepat?
Jawab :
(Terlampir pada Form Soap )
4. Adakah rekomendasi terapi obat pulang untuk kasus Tn.AR? Bila ada, sebutkan dan
berikan alasannya!
Jawab :
Tujuan terapi yang diberikan pada penatalaksanaan pasien ini adalah untuk
mengontrol supaya tidak terjadi kejang dan meminimalisir adverse drug effect obat
antiepilepsi.
Pasien saat di RS diberikan terapi IVFD dextrose 5%, bila dilihat dari hal tersebut,
perlu ditanyakan hasil pemeriksaan lab terkait elektrolit, GDS pasien untuk bisa
menentukan terapi tersebut sudah diberikan tepat dan perlu terapi lanjutan saat
pasien keluar dari RS. Terkait pemberian fenitoin 3 ampul/8 jam, ceftriaxone 2x1
ampul IV, dan paracetamol drip 3x1 sudah tepat melihat hasil TTV pasien bahwa
pasien mengalami demam dan didiagnosa sementara mengalami infeksi intracranial,
namun penatalaksanaan terapi di RS ini terkait pemberian antibiotik memerlukan
hasil pemeriksaan lebih lanjut agar pemberian antibiotic tepat.
Untuk terapi yang dapat disarankan pada saat pasien pulang ke rumah adalah terapi
obat antiepilepsi karena diagnosa akhir pasien saat keluar RS adalah epilepsy dengan
bangkitan tipe tonik-klonik. Terapi antiepilepsi yang disarankan untuk dibawa
pulang pasien adalah monoterapi. Monoterapi direkomendasikan untuk pasien
dengan epilepsi yang baru didiagnosis karena 60% pasien yang baru didiagnosis
dengan epilepsi akan bebas bangkitan dengan pemberian OAE tunggal dengan dosis
sedang. Terapi yang disarankan setelah pasien keluar dari RS adalah:
 Fenitoin peroral.

Alasan pemilihan OAE ini adalah menyesuaikan dengan tipe bangkitan kejang yaitu
tonik klonik, toksisitas efek samping dapat ditoleransi dibanding pilihan OAE
lainnya untuk bangkitan tonik-klonik. Pemilihan OAE sangat penting diperhatikan,
pasien sudah mendapatkan terapi fenitoin 3 ampul/8 jam untuk epilepsinya. Pada
prinsip pengobatan epilepsy, pengubahan terapi perlu pertimbangan tertentu karena
pergantian terapi dapat menimbulkan kemungkinan kejadian kejang berulang dan
efek samping yang merugikan.
Dosis yang dapat digunakan yaitu loading dose 10-15mg/kg dan maintenance dose 3
x 100mg sesudah makan.Obat oral diberikan selama 1 bulan, kemudian pasien
disarankan untuk kontrol sebelum habis obat (setiap bulan), jika dalam 1 tahun
pasien tidak mengalami bangkitan pasien dapat disarankan kontrol setiap 3 bulannya.
Obat diminum secara rutin dan patuh secara terus menerus, pengobatan dapat
dihentikan jika dalam waktu 2-4 tahun tidak terjadi bangkitan dan dilakukan
monitoring efektivitas fenitoin dilihat dari hasil EEG yang normal dan pemeriksaan
neurologis yang normal (Dipiro, 2009)

5. Bagaimana tatalaksana terapi pada Tn.AR (gunakan metode SOAP)!


Jawab :
(Terlampir pada Form Soap)
6. Hal apa saja yang perlu dimonitoring dari kasus pasien dibawah ini?
Jawab :
1. Monitoring bangkitan atau perkembangan yang terjadi pada pasien untuk melihat
efektifitas terapi antiepilepsi.
2. Monitoring infeksi intracranial, pada pasien epilepsi serta cedera otak penting
sekali mengetahui tekanan intrakranial dan mempertahankannya tetap rendah
serta menjaga cerebral perfusion pressure (CPP) agar otak mendapatkan aliran
darah yang cukup. Ada beberapa metode dalam mengukur tekanan intracranial,
seperti CT-Scan, MRI, tekanan intrakranial intraventrikel lateralis, dan lumbal
pungsi (Dunn LT 2002).
3. Efek samping obat:
 Fenitoin 3 ampul/8jam  : sakit kepala, pusing, vertigo, mual, muntah, sembelit,
mengantuk, kesulitan untuk tidur
 IV Dextrose 5% : nyeri dan iritasi pada area suntikan.
 Ceftriaxone: nyeri perut, mual, muntah, diare, pusing Serta muncul keringat
secara berlebihan
 Ibu profen : perut kembung, mual muntah, maag.
 
Form Soap :
No Problem Subjektif Objektif Terapi Assesment Planning Monitoring &
Medik Farmakologi Evaluasi
1 Epilepsi Pasien mengalami - Fenitoin 3 Tidak ada DRP Pengobatan dilanjutkan Dilakukan
general tonik- kejang berulang ampul/8 jam penyesuian dosis
klonik sebanyak 3x sekitar sesuai BB pasien
15 menit, selama
masa kejang pasien IV FD D5% Tidak ada DRP Monitoring kadar
tidak sadarkan gula darah pasien
diri.Saat kejang untuk mencegah
tangan pasien terjadinya
mengepal dan hipoglikemia dan
terguncang naik hiperglikemia
turun kaki juga
terguncang naik
turun secara
bersamaan.,
2 Infeksi Keluhan kejang Demam Ceftriaxone 2x1 Tidak ada DRP Pengobatan dilanjutkan Penggantian
Intrakarnial (suhu 38) ampul (iv) antibiotic
dilakukan, setelah
hasil pemeriksaan
laboratorium
didapatkan

Efek samping yang


mungkin terjadi
setelah pemberian
antibiotik
ceftriaxone yaitu
mual dan nyeri
perut
3 Demam - Demam Paracetamol drip P1.2 efek pengobatan obat diubah menjadi Ibuprofen memiliki
(suhu 38) 3x1 FI tidak optimal Ibuprofen  200-250 mg efek samping
C1.4 Kombinasi 3-4 kali sehari. Secara ketidaknyamanan
yang tidak tepat oral. (BPOM,2015) gastrointestinal,
(terdapat interaksi mual, diare,
dengan fenitoin) terkadang
I3.1 obat diubah pendarahan, dan
menjadi Ibuprofen terjadi ulserasi
Penjelasan :
1. EPILEPSI
Obat fenitoin merupakan salah satu lini terapi antiepilepsi yang bekerja
dengan mekanisme aksi yakni pada saluran Na yang seimbang atau terkontrol
(Modulate Sodium Channels). Dari beberapa jenis obat yang masuk dalam golongan
Modulate Sodium Channels (Fenitoin, As Valproat, Phenobarbital, Okskarbazepine,
Lamotrigine, dan Carbamazepine) menurut kami hanya Fenitoin yg memiliki efek
yang tidak diinginkan (side effect) paling minim yakni seperti Anemia, GIgival
hyperpiasia, hirsutism (berambut abnormal), Imphadenopathy, osteoporosis dan rash
(kulit kemerahan). (Kemenkes RI, 2009)
Oleh karena pasien sudah mempunya Riwayat epilepsy sejak kecil namun
tidak dikontrol serta Riwayat pengobatan sebelumnya belum diketahui, maka kami
sarankan untuk menggunakan pilihan monoterapi lini pertama dalam pengobatan
epilepsy pasien pada kasus ini.
Berdasarkan Chintya Ganda (2020) maka pilihan monoterapi OAE lini
pertama dengan pasien epilepsy umum/general adalah phenobarbital, phenytoin, dan
valproic acid. Pada jurnal Heller (1995), phenobarbital menimbulkan efek samping
yang paling banyak dibandingkan phenytoin dan valproic acid. Valproat dan
phenitoin adalah pengobatan yang umum digunakan untuk individu dengan epilepsi,
tetapi kami tidak menemukan perbedaan antara pengobatan ini untuk hasil tinjauan ini
atau antara jenis kejang (Nevitt et al., 2016). Phenytoin jika dibandingkan dengan
valproate maka penggunaan phenytoin lebih sering digunakan, walaupun tidak ada
perbedaan yang signifikan antara keefektivitasan obat (Heller, 1995). Pada penelitian
lain juga disebutkan bahwa phenytoin lebih banyak diberikan daripada asam valproate
sebagai terapi epilepsy dengan subjek sebagian besar epilepsy general (Tedyanto et
al., 2020)
Pemberian IVFD D5% juga memiliki pengaruh terhadap epilepsy sehingga
dimasukkan dalam problem medik ini. Perubahan substansial dalam gula darah—baik
gula darah rendah (hipoglikemia) atau gula darah tinggi (hiperglikemia)—dapat
mempengaruhi eksitabilitas sel saraf (neuron), memungkinkan kejang terjadi lebih
mudah (Stafstrom, 2003). Oleh karena pasien mengalami demam yang dimana
kenaikan suhu 1ºC akan mengakibatkan kebutuhan glukosa (Erwika, 2014). Untuk
memastikan tersebut maka perlu dilakukan pemeriksaan gula darah pada pasien.
2. INFEKSI INTRAKRANIAL
Infeksi intrakranial merupakan masalah kesehatan dunia yang penting, karena
tingginya angka morbiditas dan mortalitas. Penyebab infeksi intrakranial terutama
pada seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah (immunocompromised). Salah
satu penyulit yang sering terjadi pada penyakit infeksi intrakranial adalah bangkitan
epileptik. Bangkitan epileptik akan meningkatkan angka mortalitas sampai 15-30%
pada kasus infeksi intracranial. Diagnosis infeksi intrakranial ditegakkan berdasarkan
gambaran klinis, CT scan kepala dengan kontras, dan/atau pemeriksaan cairan
serebrospinal (CSS). Pada kasus belum diketahui apakah pasien sudah melakukan
pemeriksaan sehingga untuk mikroorganisme penyebab terjadinya infeksi intracranial
belum diketahui. (Pokorn, 2003)
Penanganan infeksi harus tepat dan cepat sesuai dengan penyebabnya.
Pemberian initial antibiotik secara empiric (empirical antimicrobial) dapat diberikan
tanpa harus menunggu hasil kultur cairan serebrospinal. Pemberian antibiotik yang
dimulai secara empiris dengan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur.
Sesudah bakteri patogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotik yang
berspektrum sempit sesuai patogen (Depkes, 2005).
Terapi empirik pada pasien infeksi intrakarnial yang belum diketahui kultur
dan sensitivitasnya yang dianjurkan adalah ceftriaxone (Greenberg MS,2006).
Ceftriaxone adalah antibiotik spektrum luas generasi ketiga sefalosporin untuk
pemberian intravena atau intramuskular. Ceftriaxone adalah salah satu antibiotik yang
paling umum digunakan karena potensi antibakteri yang tinggi, spektrum yang luas
dari aktivitas dan potensi yang rendah untuk toksisitas. (Tjay dan Rahardja, 2007).
Dosis yang dianjurkan untuk ceftriaxone adalah dosis tunggal 2 gram dan memiliki
waktu paruh selama 5,4 - 10,9 jam dimana hal ini sudah sesuai dengan pemberian
dokter. (Greenberg MS,2006).

3. DEMAM
Pasien memiliki suhu tubuh 38ºC, sehingga diberikan obat demam yakni
paracetamol. Berdasarkan pengecekan interaksi obat pada situs drug interaction
Medscape, bahwa paracetamol dan phenytoin akan menimbulkan interaksi obat
dengan kategori minor, yang dimana akan mengakibatkan penurunan kadar
paracetamol oleh phenytoin dengan meningkatkan metabolism paracetamol.
Peningkatan metabolism tersebut termasuk tingkat metabolit hepatotoksik.
Sehingga pada kasus ini dilakukan pergantian paracetamol menjadi ibuprofen
sebagai antipiretik dan diberikan jika suhu tubuh pasien masih tinggi. Serta, tidak ada
interaksi obat merugikan yang terjadi, tidak seperti pemberian paracetamol.
Hubungannya dengan IVFD D5% adalah selain dengan pengobatan
paracetamol juga tetap untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit yang
dimana pada pasien demam kenaikan suhu 1ºC akan mengakibatkan kebutuhan
glukosa (Erwika, 2014). Untuk memastikan tersebut maka perlu dilakukan
pemeriksaan gula darah serta pemeriksaan cairan dan elektrolit pasien.
Ibuprofen merupakan turunan asam propionat yang memiliki efek
antiinflamasi, analgesik dan antipiretik (The UK Health Departemen, 2011).
Ibuprofen termasuk kedalam obat golongan NSAID (non-steroid anti inflammatory
drug) yang bekerja menghambat siklooksigenase-1 dan siklooksigenase-2). Ibuprofen
mengobati nyeri dan inflamasi pada penyakit rematik dan penyakit musculoskeletal
lainnya. Ibuprofen memiliki efek samping ketidaknyamanan gastrointestinal, mual,
diare, terkadang pendarahan, dan terjadi ulserasi (The UK Health Departemen, 2011).
DAFTAR PUSTAKA

BPOM. 2015. Ibuprofen. (http://pionas.pom.go.id/monografi/ibuprofen)


Depkes RI., 2005, Pharmaceutical Care, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Dipiro.JT., 2009, Pharmacoterapy Handbook 9th edition, Mc Graw Hill, New York.
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015, Pharmacotherapy
Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies, Inggris.

Dunn LT. Raised Intracranial Pressure. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2002;73(suppl


1):123- 127

Erwika. 2014. Therapy Management of Simple Partial Seizure with Hyperpirezia In Three
Years Old Child. J Medula Unila. Vol. 3(2): 1-24.
Ganda, C. 2021. Kejadian Epilepsi Pada Anak Dengan Riwayat Kejang Demam Pada Tahun
2014-2019 : Studi Literatur. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Heller. 1995. Phenobarbitone, Phenytoin, Carbamazepine, Or Sodium Valproate For Newly
Diagnosed Adult Epilepsy: A Randomised Comparative Monotherapy Trial. J
Neurol Neurosurg Psychiatry. Vol. 58(1): 44-5.
Kemenkes RI. 2009. Pelayanan Kefarmasian untuk Orang dengan Gangguan Epilepsi.
Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis Chintya G. (2020)
Nevitt et al. 2016. Sodium Valproate Versus Phenytoin Monotherapy (Single Drug
Treatment) For Epilepsy. UK: John Willey&Sons Ltd.
Pokorn M. 2016 Pathogenesis and classification of central nervous system infection.
Slovenia. Departemen Greenberg MS. Handbook of Neurosurgery. 8th ed. Nerw
York: Thieme;. p.320-6.
Stafstrom. 2003. Hyperglycemia Lowers Seizure Threshold. J Epilepsy Curr. Vol. 3(4):
148–149.t of Infectious Diseases, University Medical Centre;
Tedyanto et al. 2020. Gambaran Penggunaan Obat Anti Epilepsi (OAE) pada Penderita
Epilepsi Berdasarkan Tipe Kejang di Poli Saraf Rumkital DR. Ramelan Surabaya.
Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. Vol.9(1): 77-84.
The UK Health Departemen, 2011, British Pharmacopoeia, London
Tjay, T.H dan Rahardja, K., 2007, Obat – obat Penting : khasiat, penggunaan, dan Efek-
efek sampingnya. Edisi ke VI. Cetakan I, Hal. 263, 270, Penerbit Gramedia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai