Anda di halaman 1dari 12

I.

PEMBAHASAN

PHARMACEUTICAL CARE

Tn. AR
Jenis Kelamin : Laki-Laki Tgl. MRS : 25 September 2017
Usia : 24 th Tgl. KRS : 8 Oktober 2017
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 70kg

Presenting Complaint
Pada saat akan makan siang tiba tiba pasien kejang 15 menit sekitar jam 12.00 siang,
pada saat pasien kejang tangan pasien mengepal dan terguncang naik turun kaki pasien juga
terguncang naik turun secara bersamaan. Mata terbelalak, mulut tidak berbusa, lidah tidak
tergigit, saat kejang terjadi pasien terjatuh pada sisi tubuh sebelah kanan dengan bibir dan
kepala sisi kanan membentur batu, bibir luka sebesar 1 cm tepi tidak rata, Kejang terjadi
hingga 3 kali sekitar 15 menit, selama masa kejang pasien tidak sadarkan diri.

Diagnosa kerja : Epilepsi


Diagnosa banding : epilepsi infeksi intrakanial
Relevant Past Medical History:
Riwayat epilepsi sejak kecil (+) namun tidak terkontrol, Riwayat penyakit kusta (+)
meminum obat program (Tahun 2006)
Drug Allergies: tidak ada

Tanda-tanda Vital Tgl Tgl Tgl Tgl tgl


Tekanan darah 110/70mmHg
Nadi 88x/menit
Suhu 380C
RR 20x/menit

Medication
No Nama Obat Indikasi Dosis yang Dosis Terapi
. digunakan (literatur)
10-25 g (20-50ml 50%
Pengganti cairan
1 IVFD D5% D5% larutan atau 40-100 ml
tubuh
25%) (Medscape)
Load 10-15 mg/kg atau
15-20 mg/kg sampai
2 Fenitoin Anti Epilepsi 3 ampul/8 jam
25-50mg/min
(Medscape)
2g IV /12 jam untuk 7-
3 Ceftriaxone Antibiotik 2x1 ampul iv
14 hari (Medscape)
325-650 mg PO
4 Paracetamol drip Antipiretik 3x1 (bila panas)
(Medsacape)

No Further Information Required Alasan Jawaban


Apakah masih menderita penyakit Sudah sembuh
1. kusta? Jika masih apa ada Pemilihan terapi
mengomsumsi obat?
Apakah masih mengonsumsi obat Sudah sembuh
2. program? Dan apa saja jenis Pemilihan terapi
obatnya?
3. BB dan TB ? Penentuan dosis terapi 70kg/170 cm
4. Aktivitas/pekerjaan sehari-hari px? Mengetahui faktor resiko Pegawai swasta
5. Ada alergi obat? Pemilihan terapi -

Problem List (Actual Problem) (-)


Medical Pharmaceutical
1 IFDV D5% 1 Tidak ada DRP
2 Fenitoin 2 M1.2 Efek obat tidak optimal
P1.1 Pemilihan obat tidak tepat
3 Ceftriaxone 2 M3.2 Obat tidak diperlukan
P1.2 Tidak ada indikasi penggunaan
4 Paracetamol 3 Tidak ada DRP

PHARMACEUTICAL PROBLEM
A. Subjektif (symptom)
Pada saat akan makan siang tiba tiba pasien kejang 15 menit sekitar jam 12.00 siang,
pada saat pasien kejang tangan pasien mengepal dan terguncang naik turun kaki pasien
juga terguncang naik turun secara bersamaan. Mata terbelalak, mulut tidak berbusa, lidah
tidak tergigit, saat kejang terjadi pasien terjatuh pada sisi tubuh sebelah kanan dengan bibir
dan kepala sisi kanan membentur batu, bibir luka sebesar 1 cm tepi tidak rata, Kejang
terjadi hingga 3 kali sekitar 15 menit, selama masa kejang pasien tidak sadarkan diri.

B. Objektif (Sign)
Tanda-Tanda Vital
No Parameter Hasil Pemeriksaan
1 Tekanan darah 110/70mmHg
2 HR 88x/menit
3 RR 20x/menit
4 Temperature 38°C

Diagnosa sementara : Epilepsi dd Infeksi Intrakranial


Diagnosa Akhir: Epilepsi bangkitan umum tipe Tonik-Klonik

C. Assesment
1. Saat Masuk RS Epilepsi Status epileptikus
a. Pemberian fenitoin  M1.2 Efek obat tidak optimal/P1.1 Pemilihan obat
tidak tepat
Pada kasus diatas, Tn. Ar mengalami kejang kurang lebih selama 15
menit sebanyak 3 kali dan saat kejang pasien tidak sadarkan diri, sehingga
termasuk kedalam keadaan status epilepticus, pada ksus ini termasuk status
epileptikus konvulsif dimana terjadi bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit,
atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran di antara
bangkitan. Penanganan status epilepticus harus ditangani sesegera mungkin
dengan tujuan untuk menghentikan serangan kejang dan mencegah serangakn
ulangan sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien. Prinsip tatalaksana
kegawatdaruratan status epileptikus konvulsif meliputi penanganan jalan napas
dan pernapasan, mempertahankan sirkulasi, pemasangan akses intravena (jika
belum dilakukan) dan pemberian obat untuk menghentikan kejang. Suplementasi
oksigen dapat diberikan jika diperlukan (Agung Prasetyo dan Bawa Hery P.
2018). Berdasarkan guideline ada beberapa pilihan terapi untuk menangani status
epilepticus pada pasien pada fase awal 5-20 menit pertama dapat diterapi dengan
midazolam IM (10 mg >40 kg, 5 mg untuk 13-40 kg, dosis tunggal),atau
lorazepam iv (0,1 mg/kg/dosis, maksimal 4 mg/dosis, pemberian dapat diulang 1
kali) dan diazepam iv (0,15-0,2 mg/kg/dosis, maksimal 10 mg/dosis dapat
diulang 1 kali)

b. Pemberian ceftriaxone  M3.2 Obat tidak diperlukan/P1.2 Tidak ada


indikasi penggunaan
Pada kasus diatas, pemberian ceftriaxone diindikasikan untuk mengobati
infeksi intracranial pada diagnosis sementara pasien berdasarkan gejala dan tanda
tanpa bukti. Karena tanpa bukti, masih ada kemungkinan salah. Penyakit yang
masih mungkin pada pasien tersebut disebut dengan diagnosis differensial. Setelah
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, didapatkan diagnosis akhir pada Tn.Ar yaitu
mengalami epilepsy bangkitan umum tipe tonik-klonik dan tidak ditemukan adanta
infeksi. Maka dari itu, pemberian ceftriaxone dihentikan karena tidak ditemukan
indikasi pada pasien.

c. Pemberian Paracetamol  Tidak ada DRP


Pada kasus Tn.Ar terjadi demam dengan suhu 38 0C, sehingga pemberian
paracetamol 3x1 (prn) untuk menurunkan demamnya sudah tepat. Kejang
bangkitan yang terjadi pada pasien menyebabkan kenaikan suhu tubuh yang
disebabkan oleh suatu proses ektrakranium (Price S.A 2000). Kejang tersebut
biasanya timbul pada suhu badan yang tinggi (demam).

2. Terapi maintenance  Tidak ada DRP


Pada kasus Tn.Ar, setelah pasien mendapatkan penanganan status epilepticus
dengan diazepam 0,15mg/kg BB secara iv + phenytoin 18mg/kg BB iv (sesuai kasus
diatas), kemudian pasien diberikan terapi maintenance sebagai terapi perawatannya
dengan pemberian asam valproat. Berdasarkan (Perdosi, 2014), pada epilepsi bangkitan
tonik-klonik sesuai lini pertama nya diberikan OAE asam valproate oral dengan dosis
awal 500-1000mg/hari, diberikan dalam 2-3 dosis terbagi, kemudian dititrasi mulai
dosis 500mg/hari, bila perlu tingkatkan sampai 7 hari hingga tercapainya waktu stady
state 2-4 hari (Perdosi, 2014).
Berdasarkan penelitian Misra UK, et al. 2006. Asam valproat lebih efektif dari pada
Phenytoin dalam mengendalikan Status epilepsy.

D. Plan (including primary care implications)


1. Saat Masuk RS
a. Pemberian IFDS D5% Tetap dilanjutkan
Pemberian IFDS D5% tetap dilanjutkan. Kenaikan suhu 1oC akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10% – 15%. Mengakibatkan
peningkatan glukosa dan oksigen. Selain itu, dapat terjadi perubahan keseimbangan
dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion
kalium maupun ion natrium. Di lain pihak elektrolit juga penting untuk memastikan
apakah ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh yang menjadi pencetus kejang
demam. Pemberian cairan elektrolit ini dipilih karena pasien mengalami demam,
kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa (Erwika,
2014)

b. Pemberian fenitoin  Pemberian fenotoin dihentikan dan diganti dengan


lorazepam injeksi 4 mg selama 2 menit atau 0,1mg/kg BB secara intravena
Pada kasus Tn.Ar yang mengalami kejang berulang dimana pada saat tiba di
RS pasien memasuki status epilepticus, untuk mengatasi status epilepticus pasien
dapat diterapi dengan lorazepam injeksi, dimana sebuah penelitian Leppik et all
(1983) yang membandingkan lorazepam 4 mg dan diazepam 10 mg secara intravena
menunjukan bahwwa lorazepam menghentikan kejang lebih baik disbanding
diazepam, namun disamping itu lorazepam juga menunjukan efek samping depresi
pernafasan pada pasien dengan masalah medis yang significant.
Judul Jurnal: Double-blind Study of Lorazepam and Diazepam in Status
Epilepticus
Patient 70 pasien dengan kejang umum tonik-klonik
Intervention 37 pasien diberikan 2 ml larutan intravena yaitu lorazepam
2mg/mL selama 2 menit
Comparator 33 pasien diberikan 2 ml larutan intravena yaitu diazepam 5mg/mL
selama 2 menit
Outcome Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam menghentikan
aktivitas kejang dari kedua obat tersebut dimana kejang dapat
dikendalikan pada 89% episode yang diobati dengan lorazepam
dan 76% diobati dengan diazepam dan terjadi efek buruk seperti
depresi pernafasan pada 13% pasien yang diobati lorazepam dan
12% pasien yang diobati diazepam, efek buruk tersebut terjadi
pada pasien dengan masalah medis yang signifikan (komplikasi)
Kesimpulan Pemberian lorazepam iv sebanyak 4mg lebih efektif dalam
menghentikan kejang pada status epileptikus walaupun tidak
terlalu berbeda signifikan dari diazepam, namun terdapat efek
samping depresi pernafasan pada pasien dengan masalah medis
yang signifikan yang lebih besar disbanding dengan diazepam
namum efek samping tersebut tidak menunjukan perbedaan yang
signifikan

Dari jurnal diatas menunjukan bahwa pemberian lorazepam dan diazepam


tidak terlalu berbeda significant dalam menghentikan kejang pada status epilepticus,
maka kami mencari jurnal lain yang menunjukan perbandingan yang lebih jelas,
dimana pada penelitian yang dilakukan oleh Treiman, D et all (1998) yang
menyatakan bahwa pemberian iv lorazepam 0,1 mg/kg BB lebih efetif
dibandingkan fenitoin

Judul Jurnal: A Comparison Of Four Treatments For Generalized Convulsive


Status Epilepticus
Patient 518 pasien dengan diagnosis status epilepticus kejang umum,
dimana pasien dibagi kedalam 4 kelompok berbeda dengan
pemberian lorazepam, phenobarbital, diazepam + phenytoin , dan
phenytoin tunggal
Intervention Lorazepam iv 0,1 mg/kg BB (data jumlah pasien yang menerima
lorazepam tidak ditunjukan di jurnal)
Comparator Phenobarbital 15mg/kg vs diazepam 0.15mg/kg kombinasi
phenytoin 18 mg/kg vs phenytoin 18 mg/kg (data jumlah pasien
yang menerima masing-masing intervensi tidak ditunjukan di
jurnal)
Outcome Dari hasil pembandingan diantara keempat obat tersebut
menunjukan bahwa lorazepam berhasil menghentikan kejang
dalam 64,9 % dari mereka yang ditugaskan untuk lorazepam,
fenobarbital di 58,2 persen, diazepam dan fenitoin di 55,8 persen,
dan fenitoin di 43,6 persen (P = 0,02 untuk perbandingan
keseluruhan di antara empat kelompok). Lorazepam secara
signifikan lebih unggul dari fenitoin dalam perbandingan
berpasangan (P = 0,002)
Kesimpulan Pada jurnal yang berjudul Tatalaksana Status Epileptikus di
Instalasi Gawat Darurat (Agung Prasetyo dan Bawa Hery P.
2018), menyatakan bahwa obat golongan benzodiazepine
(terutama midazolam IM, lorazepam IV, atau diazepam IV)
direkomendasikan sebagai pilihan terapi awal atau lini pertama,
sehingga pada pasien ini dapat diberikan iv lorazepam 0,1 mg/kg
BB

c. Pemberian ceftriaxone  Pemberian dihentikan


Pada kasus diketahui bahwa diagnosis akhir (Final Diagnoses) Tn.Ar adalah
epilepsy bangkitan umum tipe tonik-klonik. Diagnosis akhir merupakan adalah
diagnosis atas dasar pemeriksaan yang lebih mendalam dan lengkap. Sehingga
pemberian ceftriaxone dihentikan.

d. Pemberian paracetamol  tidak ada DRP


Pada kasus Tn.Ar terjadi demam dengan suhu 38 0C, sehingga pemberian
paracetamol 3x1 untuk menurunkan demamnya sudah tepat. Berdasarkan penelitian
Teemu Strengel, et al (2009) yang membandingkan antara ibuprofen, asetaminofen
dan placebo, tidak menemukan perbedaan bermakna antara grup yang mendapat
antipiretik dan plasebo dalam mencegah berulangnya kejang demam.

Judul Jurnal: Antipyretic Agents for Preventing Recurrences of Febrile


Seizures
Patient Sebanyak 231 subjek yang mengalami kejang demam pertama
mereka antara 1 Januari 1997, dan 31 Desember 2003.
Intervention Semua episode demam diobati terlebih dahulu dengan diklofenak
rektal atau plasebo. Setelah 8 jam, pengobatan dilanjutkan dengan
ibuprofen oral, acetaminophen, atau plasebo.
Comparator Pasien dialokasikan secara acak pertama menjadi 2 kelompok
(diklofenak rektal vs plasebo) dan kemudian menjadi 3 kelompok
(plasebo oral vs asetaminofen vs ibuprofen)
Outcome Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok-kelompok
dalam ukuran efek utama, dan perkiraan efeknya serupa, karena
angka tersebut 23,4% (46 tahun 197) pada mereka yang menerima
agen antipiretik dan 23,5% (8 dari 34) pada mereka yang
menerima plasebo. (perbedaan, 0,2; interval kepercayaan 95%,
−12,8 hingga 17,6; P = 0,99). Demam secara signifikan lebih
tinggi selama episode dengan kejang daripada pada mereka yang
tidak kejang (39,7°C vs 38,9°C; perbedaan, 0,7°C; interval
kepercayaan 95%, -0,9°C hingga −0,6°C; P <0,001), dan
fenomena ini tidak tergantung pada obat yang diberikan.
Kesimpulan Agen antipiretik tidak efektif untuk mencegah kekambuhan kejang
demam dan untuk menurunkan suhu tubuh pada pasien dengan
episode demam yang mengarah ke kejang demam berulang. Tidak
ada perbedaan antara salah satu kelompok dalam suhu maksimum
selama episode seluruh demam yang menyebabkan kejang atau
suhu yang diukur pada saat kejang. Semua temuan neurologis dan
elektroensefalografi setelah tindak lanjut adalah normal, dan tidak
ada efek samping yang dilaporkan.

2. Terapi maintenance  Tidak ada DRP


Pada kasus Tn.Ar terjadi epilepsi bangkitan tonik-klonik diberikan obat valproat.
Berdasarkan penelitian yang membandingkan antara fenotoin dengan valproate
menunjukkan bahwa valproate direkomendasikan sebagai pilihan terapi awal atau lini
pertama, sehingga pada pasien ini dapat diberikan valproat 30 mg / kg lebih efektif dari
fenotoin.
.
Judul Jurnal: Sodium Valproate VS Phenytoin In Status Epilepticus: A Pilot
Study.
Patient Pasien berturut-turut dengan SE kejang kembali dilakukan setelah
persetujuan dari komite etika lokal. SE didefinisikan sebagai dua
atau lebih kejang kejang tanpa pemulihan penuh kesadaran antara
kejang atau kejang kejang terus menerus yang berlangsung selama
lebih dari 10 menit.
Intervention Valproat 30 mg / kg dalam 100 mL salin yang diinfuskan selama
15 menit.
Comparator Fenitoin 18 mg / kg dalam 100 mL saline yang diinfuskan segera
pada kecepatan 50 mg / menit.
Outcome Dalam penelitian kami, VPA lebih efektif daripada PHT dalam
mengendalikan SE.Kejang dibatalkan pada 66% pada kelompok
VPA dan 42% pada kelompok PHT. Sebagai pilihan kedua pada
pasien refrakter, VPA efektif pada 79% dan PHT efektif pada
25%. Efek samping pada kedua kelompok tidak berbeda. Sodium
valproate lebih disukai pada SE konvulsif karena kemanjurannya
yang lebih tinggi.
Kesimpulan Berdasarkan jurnal ini membandingkan antara obat valproate
dengan fenotoin untuk bangkitan epilepsi tonik-klonik sehingga
valproate direkomendasikan sebagai pilihan terapi awal atau lini
pertama, sehingga pada pasien ini dapat diberikan valproat 30 mg /
kg lebih efektif dari fenotoin.
E. Monitoring
 Efektifitas Obat
- Monitoring kekambuhan epilepsi berupa kejang.
- Monitoring suhu tubuh pasien secara bertahap, hentikan paracetamol jika suhu
sudah kembali normal
- Monitoring peningkatan dosis asam valproat dilakukan dengan ketat, sehingga
didapatkan level serum consentration 50-100 mcg/ml
- Monitoring kadar glukosa darah pasien pada penggunaan infus dektrosa untuk
mencegah hiperglikemia
- Monitoring kepatuhan minum obat
 Efek samping Obat
- Fenitoin : sakit kepala, fatique, vertigo, ataxia
- Asam valproate: pendarahan, Anoreksia, Peningkatan nafsu makan dan berat badan,
Nistagmus (pergerakan mata yang tidak terkendali), Penurunan tingkat kesadaran,
Kelelahan, Hipotermia, Halusinasi
- Paracetamol : mual, muntah, nausea, konstipasisakit kepala, agitasi, pruritus
Dapus

Hongquan Wang, et al. 2017. Comparison of the curative efficacy of intrathecal and intravenous
injection of ceftriaxone and vancomycin in the treatment of intracranial infection during
the perioperative period. Int J Clin Exp Med 2017;10(11):15485-15491

UK Mirsa, Jayantee Kalita and Rajesh Patel 2006. Sodium Valproate VS Phenytoin In Status
Epilepticus: A Pilot Study. Neurologi:67;340

Price, SA. 2000. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih Bahasa Peter.
Jakarta : EGC

Sadoughil A, Rybinnik I,Cohen R. Measurement and management of Increased intracranial


pressure. Crit Care Med 2013;6(Suppl 1:M4):56-65.

Shofty B, Neuberger A, Naffaa ME, Binawi T, Babitch T, Rappaport ZH, Zaaroor M, Sviri G
and Paul M. 2016. Intrathecal or intraventricular therapy for post-neurosurgical Gram-
negative meningitis: matched cohort study. Clin Microbiol Infect 2016; 22: 66-70.

Teemu Strengel, et al. 2009. Antipyretic Agents for Preventing Recurrences of Febrile Seizures.
Arch Pediatr Adolesc Med. 2009;163(9):799-804

Tsimogianni A, Alexandropoulos P, Chantziara V, Vassi A, Micha G, Lagiou F, Chinou E,


Michaloudis G and Georgiou S. 2017. Intrathecal or intraventricular administration of
colistin, vancomycin and amikacin for central nervous system infections in neurosurgical
patients in an intensive care unit. Int J Antimicrob Agents 2017; 49: 389-390.

Anda mungkin juga menyukai