Anda di halaman 1dari 21

CSS

BRONKIOLITIS

Disusun Oleh :
Dini Paramita Defrin – 12010011068

Preceptor :
dr. Yoyoh Yusroh., SpA

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM PENDIDIKAN POFESI DOKTER (P3D)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG – RSUD AL-IHSAN
2011
KATA PENGANTAR

Atas segala rahmat, nikmat serta kemudahan yang telah Allah berikan, penulis
memanjatkan syukur yang setinggi-tingginya, karena penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Bronkiolitis dalam rangka untuk memenuhi Clinical Science Session (CSS).
Keberhasilan dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan,
pengarahan baik moral maupun material yang tidak ternilai besarnya dari berbagai pihak. Oleh
karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
setinggi-tingginya kepada dr. Yoyoh Yusroh.,Sp.A selaku preseptor mata Ilmu Penyakit Mata
yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang telah diberikan untuk menyusun karya tulis
ini. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Selain ucapan terima kasih, penulis juga ingin menyampaikan permohonan maaf kepada
semua pihak apabila selama penyusunan makalah ini, penulis banyak melakukan sesuatu hal
yang tidak berkenan. Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis berharap makalah ini
dapat berguna bagi siapa saja yang membacanya.

Bandung, Juni 2011


BAB I
ANATOMI SALURAN PERNAPASAN

1.1.HIDUNG
Merupakan saluran pernafasan teratas. Ditempat ini udara pernafasan mengalami proses yaitu
1. Penyaringan ( filtrasi )
Partikel-partikel yang ada dalam udara pernafasan akan disaring khususnya partikel-partikel
yang berdiameter > m. Cilia berperan sebagai filter.2
2. Penghangatan
Kapiler pembuluh darah yang ada di lapisan mukosa hidung berperan sebagai penghangat.
Udara pernafasan yang dingin akan dihangatkan.
3. Pelembaban ( humidifikasi )
Udara pernafasan yang kering akan dilembabkan oleh lapisan mukosa hidung sehingga tidak
mengiritasi saluran pernafasan. Sepertiga bagian atas hidung terdiri dari tulang dan dua pertiga
bagian bawahnya adalah kartilago yang terdiri dari dua bagian. Bagian tengah dipisahkan oleh
septum. Septum dan dinding dalam rongga hidung dilapisi oleh membran mukosa. Bagian depan
hidung yang terbuka keluar dilapisi oleh kulit dan folikel rambut. Bagian belakang hidung
berhubungan dengan pharing disebut nasopharing.
1.2.PHARING
Pharing atau tenggorokan berada dibelakang mulut dan rongga nasal dibagi dalam tiga
bagian yaitu nasofaring, oropharing dan laringopharing. Pharing merupakan saluran
penghubung ke saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Normalnya bila makanan masuk
melalui oropharing, epiglotis akan menutup secara otomatis sehingga aspirasi tidak terjadi.
Tonsil merupakan pertahanan tubuh terhadap benda-benda asing ( organisme ) yang masuk
ke hidung dan pharing.

1.3.LARING
Laring berada diatas trachea, dibawah pharing. Sering kali orang menyebut laring sebagai
kotak suara karena udara yang melewati daerah ini akan membentuk bunyi ( suara ).

1.4.TRACHEA
Terletak di bagian depan esophagus, dari mulai bagian bawah cricoid kartilago laring dan
berakhir setinggi vertebra thorakal 4 atau 5. Trachea bercabang menjadi bronchus kanan dan
kiri. Tempat percabangannya disebut karina yang terdiri dari 6 – 10 cincin kartilago.

1.5.BRONCHUS

Bronchus primer dimulai dari karina. Bronchus kanan lebih gemuk dan pendek serta lebih
vertikal dibandingkan dengan bronchus kiri. Bronchus primer dibagi kedalam lima bronchus
sekunder ( lobus ) masing-masing lobus dikelilingi oleh jaringan penyambung, pembuluh
darah saraf, pembuluh limfatik. Bronchus dilapisi oleh cilia yang berfungsi menangkap
partikel-partikel dan mendorong sekret ke atas untuk selanjutnya dikeluarkan melalui batuk
atau ditelan.

1.6.BRONCHIOLUS
Merupakan cabang dari bronchus sekunder yang dibagi kedalam saluran-saluran kecil yaitu
bronchiolus terminal dan bronchiolus respirasi. Kedua bronchiolus ini mempunyai diameter
< 1 mm. Bronchiolus terminalis dilapisi cilia, tidak terjadi difusi di tempat ini. Sebagian kecil
difusi terjadi pada bronchiolus respirasi.

1.7.ALVEOLUS
Duktus alveolus menyerupai buah anggur dan merupakan cabang dari bronchiolus
respiratori. Sakus alveolus mengandung alveolus yang merupakan unit fungsional paru
sebagai tempat pertukaran gas. Diperkirakan paru-paru mengandung + 300 juta alveolus (
luas permukaan + 100 m2 ) yang dikelilingi oleh kapiler darah. Dinding alveolus
menghasilkan surfaktan ( terbuat dari lesitin ) sejenis fosfolipid yang sangat penting dalam
mempertahankan ekspansi dan recoil paru. Surfaktan ini berfungsi menurunkan tegangan
permukaan dinding alveoli. Tanpa surfaktan yang adekuat maka alveolus akan mengalami
kolaps.
1.8.PARU-PARU

Paru merupakan jaringan elastis yang dibungkus ( dilapisi ) oleh pleura. Pleura terdiri dari
pleura viseral yang langsung membungkus / melapisi paru dan pleura parietal pada bagian
luarnya. Pleura menghasilkan cairan jernih ( serosa ) yang berfungsi sebagai lubrikasi.
Banyaknya cairan ini lebih kurang 10 – 15 cc. Lubrikasi dimaksudkan untuk mencegah iritasi
selama respirasi.

Peredaran darah ke paru-paru melalui dua pembuluh darah yaitu :

1. Arteri pulmonaris yang bercabang-cabang menjadi arteriol venula yang akan membentuk
jalinan kapiler.
2. Arteri bronchialis yang merupakan percabangan dari aorta torakal. Arteri ini akan
mensuplai darah untuk kebutuhan metabolisme paru.

Rongga dada diperkuat oleh tulang-tulang yang membentuk rangka dada. Rangka dada
ini terdiri dari costae (iga-iga), sternum (tulang dada) tempat sebagian iga-iga menempel di
depan, dan vertebra torakal (tulang belakang) tempat menempelnya iga-iga di bagian belakang.
Terdapat otot-otot yang menempel pada rangka dada yang berfungsi penting sebagai otot
pernafasan. Otot-otot yang berfungsi dalam bernafas adalah sebagai berikut :
1.Interkostalis eksterrnus (antar iga luar) yang mengangkat masing-masing iga.
2.Sternokleidomastoid yang mengangkat sternum (tulang dada).
3.Skalenus yang mengangkat 2 iga teratas.
4.Interkostalis internus (antar iga dalam) yang menurunkan iga-iga.
5.Otot perut yang menarik iga ke bawah sekaligus membuat isi perut mendorong
diafragma ke atas.
6.Otot dalam diafragma yang dapat menurunkan diafragma.
Percabangan saluran nafas dimulai dari trakea yang bercabang menjadi bronkus kanan
dan kiri. Masing-masing bronkus terus bercabang sampai dengan 20-25 kali sebelum sampai ke
alveoli. Sampai dengan percabangan bronkus terakhir sebelum bronkiolus, bronkus dilapisi oleh
cincin tulang rawan untuk menjaga agar saluran nafas tidak kolaps atau kempis sehingga aliran
udara lancer.

Bagian terakhir dari perjalanan udara adalah di alveoli. Di sini terjadi pertukaran oksigen
dan karbondioksida dari pembuluh darah kapiler dengan udara. Terdapat sekitar 300 juta alveoli
di kedua paru dengan diameter masing-masing rata-rata 0,2 milimeter.
BAB II
BRONKIOLITIS

2.1. Definisi
Bronkiolitis adalah infeksi akut pada saluran napas kecil atau bronkiolus yang pada
umumnya disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala–gejala obstruksi bronkiolus.
Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi, takipnea, retraksi,
dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto dada.

2.2. Epidemiologi
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 60–90% dari
kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B,
Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan
merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004)
mendapatkan bahwa infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan
menyebabkan pneumonia sebanyak 40%.
Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada
bayi usia 6 bulan. Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV
terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin
berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi
maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan
penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan
immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit yang lebih
berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering
terjadi pada laki-laki.

2.3. Faktor Resiko


Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi
rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak
atau ke tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi
yang tidak mendapatkan air susu ibu.
RSV menyebar melalui droplet dan inokulasi/kontak langsung, seseorang biasanya aman
apabila berjarak lebih 6 feet dari seseorang yang menderita infeksi RSV. Droplet yang besar
dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seorang penderita dapat menularkan virus
tersebut selama 10 hari.
Di negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim dingin sampai awal
musim semi, di negara tropis pada musim hujan

2.4. Patogenesis dan Patofisiologi

RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm), termasuk
paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV
untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )yang mengikat sel dan protein F
(fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya.
Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam
strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang
lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam
nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui
penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV
mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus
dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis
sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin
kedalam lumen bronkiolus.
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus
tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf
aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida
(neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya
kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1
(ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi,
bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas,
akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas.Adapun respon paru
ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan
tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut
menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas,
hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena
resistensi aliran udara saluran nafas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat
4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar pada
aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran
udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi.
Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan
menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di
atas normal. Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total.Anak besar dan orang dewasa jarang
mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi
muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon
proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada
saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang
berulang-ulang, terjadi ‘cumulatif immunity’ sehingga pada anak yang lebih besar dan orang
dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.
Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari,
sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat sampai 15 hari . Ada 2 macam
fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran napas dan asma: (1) Infeksi akut
virus saluran napas pada bayi atau anak keci seringkali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing
berulang yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksi
virus saluran napas pada saat bayi/usia muda. Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun
humoral dan selular. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi
usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk.

2.4. Manifestasi Klinis


Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin.
Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan
berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak
napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis
biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi
saluran nafas atas yang ringan.Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan
bahkan ada yang mengalami hipotermi.

Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang
disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot
bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru
(terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat
terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien teraba akibat
pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Sering terjadi hipoksia
dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis
didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis.Ada bentuk kronis bronkiolitis,
biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids
,sulfur dioxide). Karakteristiknya: gambaran klinis & radiologis hilang timbul dalam beberapa
minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang berulang. Proses
penyembuhan, mengarah ke penyakit paru kronis. Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat
meluas ke peribronkial, destruksi dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa.
Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis.
2.5. Diagnosis
Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemi
RSV di masyarakat . Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama kali, (2) umur 24
bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk,
pilek, demam dan (4) menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan
wheezing. Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress
Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu
wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3
dimasukkan dalam kategori ringan.

Pulse oximetry merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat
keparahan penderita. Saturasi oksigen < 95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan
merupakan indikasi untuk rawat inap. Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit
biasanya normal. Pada pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan
bentuk batang. Kim dkk (2003) mendapatkan bahwa ada subgrup penderita bronkiolitis dengan
eosinofilia.17 Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan
asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi.Gambaran radiologik mungkin masih normal bila
bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga
didapatkan bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis) atau pneumonia
(patchy infiltrates).
Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke
bawah. Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet
jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter
anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah
paru tampak tersebar. Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama
kalinya, berbeda dengan asma yang mengalami wheezing berulang. Asma bronkiale merupakan
diagnosis banding yang tersering.
Diagnosis banding bronkiolitis adalah: asma bronkiale, pneumonia, aspirasi benda asing,
refluks gastroesophageal, sistik fibrosis, gagal jantung, miokarditis .
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan
nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan
hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan
pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas
pemeriksaan ini adalah 80-90%.

2.6. Penatalaksanaan
Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif: oksigenasi, pemberian cairan
untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat
jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai
berat harus dirawat inap. Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang
dari 3 bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi
imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi suportif, mencegah dan
mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian antivirus.
Penanganan bronkiolitis:
1. Cairan dan nutrisi: adekuat, tergantung kondisi penderita
2. Oksigenasi dengan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse oxymetry dan bila
perlu dilakukan analisa gas darah. Bila ada tanda gagal napas diberikan bantuan ventilasi
mekanik.
3. Bronkodilator: nebulasi agonis beta2: salbutamol 0,1 mg/kg BB/dosis, diencerkan
dengan cairan normal saline, diberikan 4 – 6 kali per-hari
4. Steroid, pada bronkiolitis berat: deksametason 0,1-0,2 mg/kg/dosis, IV
5. Antibiotika: penyakit berat, keadaan umum kurang baik, curiga infeksi sekunder
6. Digitalisasi: bila ada tanda payah jantung

Terapi Oksigen
Oksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus yang sangat
ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap oksigen di
dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (0,5-2 liter/menit) , masker
(minimum 4 liter/menit) atau head box.
Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oximetry
(SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat
berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan di rumah sakit.
Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik, yaitu pada kasus
gagal napas, serta apnea berulang.
Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas, distres
napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari
kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of
Inappropriate Anti Diuretic Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan
asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.
Antibiotika
Apabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan lekosit atau
pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur darah, urine, feses dan
cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki spektrum luas. Pemberian
antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis.
Akan tetapi keterlambatan dalam mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab
bronkiolitis dan menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi
sekunder dapat menjadi alasan untuk memberikan antibiotika.
Antivirus (Ribavirin)
Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue, menghambat aktivitas virus termasuk
RSV. Ribavirin menghambat translasi messenger RNA (mRNA) virus kedalam protein virus dan
menekan aktivitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul
atau sepuluh hari setelah terkena virus.
Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif,
maka pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi. Efektivitas ribavirin sampai
saat ini masih kontroversi. Dapat terjadi perbaikan SaO2, penurunan penggunaan ventilasi
mekanik, lama perawatan dirumah sakit lebih singkat, dan perbaikan fungsi paru. Tetapi pada
penelitian lain penggunaan ribavirin tidak memberikan efek perbaikan. Perbedaan hasil tersebut
kemungkinan karena desain, metode yang dipakai berbeda termasuk jumlah sampel yang terlibat,
dan keterlambatan dalam memulai terapi.
Kekurangan dari terapi ribavirin harganya yang mahal, resiko terjadi toksisitas pada
pekerja. Menurut American Academy of Pediatrics/AAP (1996), ribavirin hanya
direkomendasikan pada bronkiolitis dengan kondisi spesifik.
Bronkodilator
Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan selama
hampir 40 tahun. Terapi farmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan
bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortikosteroid.
Obat-obat beta2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan penyempitan saluran napas
karena menyebabkan efek bronkodilatasi, mengurangi pelepasan mediator dari sel mast,
menurunkan tonus kolinergik, mengurangi sembab mukosa dan meningkatkan pergerakan silia
saluran napas sehingga efektivitas dari mukosilier akan lebih baik.
Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien-pasien yang diberikan beta2 agonis
secara nebulisasi menunjukkan perbaikan skor klinis dan saturasi oksigen, tetapi beberapa studi
yang lain tidak. Sebuah penelitian meta-analisis oleh Kellner dkk (1996) mengenai efikasi
bronkodilator pada penderita bronkiolitis mendapatkan bahwa bronkodilator menyebabkan
perbaikan klinis yang singkat (short-term improvement) pada bronkiolitis ringan dan sedang.
Walaupun pemakaian nebulisasi dengan beta2 agonis sampai saat ini masih kontroversi,
tetapi masih bisa dianjurkan dengan alasan
1. Pada bronkiolitis selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga ada
bronkospasme dibagian perifer saluran napas (bronkioli)
2. Beta agonis dapat meningkatkan mukosilier
3. Sering tidak mudah membedakan antara bronkiolitis dengan serangan pertama asma
4. Efek samping nebulasi beta agonis yang minimal dibandingkan epinefrin.

Kortikosteroid
Banyak studi terdahulu yang telah dilakukan untuk mencari efektifitas kortikosteroid
untuk pengobatan bronkiolitis. Penelitian pada 61 penderita bronkiolitis anak dengan
menggunakan deksametason oral pada anak yang telah menggunakan nebulasi salbutamol tidak
didapatkan perbedaan antara grup perlakuan dan plasebo pada saturasi oksigen, laju nafas, skor
RDAI dan lamanya rawat inap. Hasil yang hampir sama juga didapatkan pada pemberian
deksamateson intravena pada penderita bronkiolitis, dan ternyata tidak didapatkan perbedaan
pada skor klinis, laju nafas, skor klinis, dan tes fungsi paru pada hari ke 3. Richter melakukan
penelitian nebulasi budesonide pada penderita bronkiolitis saat rawat inap dan dilanjutkan
sampai dengan 6 minggu dan ternyata mendapatkan hasil bahwa tidak mengurangi gejala
bronkiolitis dan tidak mencegah wheezing pasca bronkiolitis.
Terdapat beberapa penelitian pada penderita bronkiolitis yang rawat jalan mendapatkan
hasil bahwa dengan pemberian deksametason oral 1 mg/kg BB mengurangi angka rawat inap
penderita bronkiolitis. Penelitian meta-analisis tentang penggunaan kortikosteroid sistemik pada
bayi dengan bronkiolitis menunjukkan perbaikan dalam hal gejala klinis, lama perawatan dan
lama timbulnya gejala. Sedangkan AAP tidak merekomendasikan penggunaan kortikosteroid
pada bayi yang dirawat dirumah sakit dengan bronkiolitis. Pemberian kortikosteroid oral
1mg/kgbb pada bayi usia 8 mgg-23 bulan dengan bronkiolitis sedang-berat, terdapat perbaikan
klinis pada 4 jam pertama dan penurunan jumlah pasien yang dirawat pada kelompok studi.
Tetapi tidak ada perbedaan skor klinis setelah 7 hari terapi. Preparat steroid inhalasi
dibuat untuk mendapatkan efek topikal yang maksimal dengan efek sistemik yang minimal.
Beberapa preparat inhalasi yang tersedia diantaranya Beclomethason propionate, budesonide,
flunisolide, fluticason propionate, triamcinolone acetonide. Perbedaannya terletak pada
afinitasnya terhadap reseptor glukokortikoid, lipofilitas dan bioavaibilitas sistemik. Preparat
steroid inhalasi yang ideal bila memiliki efek topikal yang tinggi, bioavaibilitas sistemik rendah
serta proses inaktivasi di hepar yang cepat dan sempurna, misalnya flutikason, budesonid,
mometason.
Mekanisme kerja kortikosteroid inhalasi , yaitu:- Didalam sel, kortikosteroid menembus
membran sel dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid dalam sitoplasma, yang selanjutnya
menembus nucleus dan berikatan dengan glucocorticoid respon elements (GRE) untuk
meningkatkan transkripsi gen reseptor-β2 dalam paru manusia dan tikus, membutuhkan waktu 6-
12 jam. - Menghambat pembentukan sitokin tertentu, seperti IL-1, TNFa, GM-CSF, IL-3, IL-4,
IL-5, IL-6 dan IL-8.
Meningkatkan pembentukan reseptor-β2 dan mencegah reaksi takifilaksis akibat
pemakaian obat agonis β2 jangka panjang- Mempercepat regenerasi sel epitel- Mengurangi
jumlah sel-sel inflamasi.

PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi
udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan
dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil
dari tempat keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak
dengan penderita ISPA.
Penggunaan imunoglobulin (RSV-IG) pada bayi berumur kurang dari 24 bulan dengan
Bronchopulmonary dysplasia (BPD), bayi prematur (kurang dari 35 minggu) menunjukkan hasil
penurunan signifikan: jumlah yang terinfeksi RSV, jumlah penderita masuk rumah sakit serta
memperpendek waktu perawatan di rumah sakit dan ICU. RSV-IG dapat di toleransi dengan
baik.Palivizumab adalah humanized murine monoclonal anti-F glycoprotein antibody, yang
mencegah masuknya RSV kedalam sel host. Respigram adalah human polyclonal hyperimmune
globulin, diberikan secara intra vena , juga bisa dipakai sebagai imunoprofilaksis pasif pada
bronkiolitis. Tahun 1998, AAP merekomendasikan Palizumab sebagai profilaksis RSV pada
anak kurang dari 2 tahun dengan penyakit paru menahun, anak yang mendapat terapi RSV dalam
6 bulan pertama dan bayi prematur (32-35 minggu). AAP tidak merekomendasikan pada pasien
dengan penyakit jantung sianosis atau immunocompromised karena belum pernah dilakukan
penelitian pada kelompok ini. Penelitian penggunaan vaksin RSV menggunakan virus hidup (live
attenuated, subunit, live recombinant) dan synthetic peptide sampai saat ini tidak memberikan
proteksi yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Orenstein DM. Bronchiolitis. In: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM eds. Nelson’s
Textbook of Pediatrics; 17th ed.Philadelphia: WB Saunders, 2004; 1285-7.
2. Garna. H, Nataprawira. H. M.D, Pedoman diagnosis dan terapi ed. 3 FK UNPAD; 2005

Anda mungkin juga menyukai