Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS

SEORANG REMAJA LAKI-LAKI 17 TAHUN DENGAN SINDROM


NEFROTIK RESISTEN STEROID DAN HIPERTENSI STAGE II

DISUSUN OLEH:
Dinannisya Fajri S. G991903013

Pembimbing Residen

dr. B. Rina Aninda Sidharta, SpPK(K) dr. Indah Meyliza

KEPANITERAAN KLINIK / PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan


Pqtologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi. Presentasi kasus dengan judul :

Seorang Remaja Laki-Laki 17 Tahun dengan Sindrom Nefrotik Resisten


Steroid dan Hipertensi Stage II

Hari/tanggal : , Desember 2020

Oleh :
Dinannisya Fajri S. G991903013

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

dr. B. Rina Aninda Sidharta, SpPK(K)


BAB I
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien

Nama : An. ANM


Umur : 17 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Siswa
Alamat : Rembang
Tanggal MRS : 30 Agustus 2019
No RM : 01475xxx

B. Keluhan Utama
Bengkak di seluruh tubuh
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan dari RS Rembang dengan keterangan
sindroma nefrotik. 2 minggu SMRS, pasien merasa bengkak diseluruh
tubuh terutama kelopak mata dan seluruh kaki. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan kakinya sangat sulit digerakkan dan sesak napas sehingga
keluarga pasien membawa pasien ke RS Rembang. Di RS Rembang,
pasien dirawat di PICU selama sembilan hari dan dilakukan USG
dengan hasil deep vein thrombosis lalu kemudian dirujuk ke RSUD Dr.
Moewardi. Tidak didapatkan batuk atau pilek, sekitar 1 bulan sebelum
pasien mengeluh bengkak. Keluhan BAK seperti anyang-anyangan,
berkemih tidak puas, dan sering berkemih tetapi hanya keluar sedikit
disangkal.
Sebelumnya, pasien juga pernah mengeluhkan bengkak pada
kelopak mata, kaki dan perut sekitar dua bulan yang lalu. Pasien
kemudian dibawa oleh keluarganya ke RS Rembang. Bengkak dirasa
semakin membaik setelah dilakukan perawatan selama 4 hari. Dari RS
Rembang, pasien didiagnosis dengan Sindroma Nefrotik dan dirujuk ke
RSUP Kariadi untuk rawat jalan.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat Alergi obat/makanan : disangkal
d. Riwayat Asma : disangkal
e. Riwayat keluhan serupa : diakui
E. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat Hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat Alergi obat/makanan : disangkal
d. Riwayat Asma : disangkal
e. Riwayat keluhan serupa : disangkal
F. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Selama hamil, ibu pasien rutin melakukan pemeriksaan kehamilan di
bidan.
G. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir dari ibu usia 23 tahun dengan umur kehamilan 36
minggu secara spontan di bidan dengan berat badan lahir 2700 gram,
langsung menangis kuat segera setelah lahir, bergerak aktif, dan tidak
ada kebiruan. Kesan kelahiran dalam batas normal.
H. Pohon Keluarga

An. ANM
17 tahun, 70 kg, 170 cm
I. Riwayat Imunisasi
0 bulan : HB1 (-)
1 bulan : Polio1 (-), BCG (-)
2 bulan : DPT1 (-), HB2 (-), Polio2 (-)
3 bulan : DPT2 (-), HB3 (-), Polio3 (-)
4 bulan : DPT3 (-), Polio4 (-)
9 bulan : Campak (-)
Kelas 1 SD : DT (-), Campak (-)
Kelas 5 SD : dT atau TT (-)
Kesimpulan : imunisasi tidak lengkap sesuai Kemenkes 2004.
J. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
1. Pertumbuhan
Pasien lahir di bidan dengan berat badan lahir 2700 gram.
Menurut ibu pasien, pasien rutin dibawa ke posyandu. Saat ini
pasien berusia 17 tahun dengan berat badan 70 kg dan tinggi badan
170 cm.
Kesan : gizi baik
2. Perkembangan
Pasien saat ini sekolah di Pondok Pesantren. Pasien dapat
mengikuti pelajaran dengan baik. Pasien tidak mengalami kesulitan
dalam berkomunikasi dan mengikuti aktivitas sehari-hari baik di
sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal.
Kesan: perkembangan dalam batas normal.
K. Riwayat Nutrisi
Pasien makan sehari dua - tiga kali dengan menu makan nasi
disertai lauk pauk seperti tahu, tempe, telur, daging disertai sayur.
Kesan: kualitas dan kuantitas baik.
L. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Orang tua
pasien bekerja sebagai peternak. Sehari-hari pasien bersekolah di
Pondok Pesantren. Riwayat sosial ekonomi pasien terkesan cukup.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan tanggal 5 September 2019
KU : baik, Compos Mentis, tampak sakit sedang.
VS : TD 135/90
130 80
HR 104x/menit
RR 20x/menit 134 84
T 36.0 C
0

SiO2 98% 146 96

Kepala : mesocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), odem (+/+)
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), epistaksis (-)
Mulut : Mukosa basah, gusi berdarah (-)
Leher : Pembesaran kelenjar limfe (-)
Thorax : Simetris (+), retraksi (-)
COR : BJ I-II reguler, bising (-)
Pulmo : SD ventrikuler +/+, suara tambahan -/-
Abdomen: I: Dinding perut > Dinding dada, striae (+)
A: Bising Usus (+)
P: Timpani (-), undulasi (+), pekak (+)
P: Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien sulit dinilai

+ +
Ekstremitas: Akral hangat oedem - -
+ +
+ +
CRT < 2 detik, Arteri Dorsalis Pedis teraba kuat

Status Gizi:
Status gizi secara klinis : gizi baik
Status gizi secara antropometri berdasarkan Chart CDC :
BB/U : P75>BB/U>P50
TB/U : =P25
BB/TB : 70/65 x 100% = 107% (Waterlow; Gizi baik)
Simpulan : normoheight dan gizi baik

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium Darah (30 Agustus 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 12.8 g/dl 14.0-17.5
Hematokrit 41 % 33-45
Leukosit 23.7 ribu/ul 4.5-14.5
Trombosit 465 ribu/ul 150-450
Eritrosit 4.61 juta/ul 4.50-5.90
INDEKS ERITROSIT
MCV 89.1 /um 80.0-96.0
MCH 27.7 pg 28.0-33.0
MCHC 31.1 g/dl 33.0-36.0
RDW 14.2 % 11.6-14.6
MPV 9.3 Fl 7.2-11.1
PDW 16 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.00 % 0.00-4.00
Basofil 0.00 % 0.00-1.00
Netrofil 88.00 % 55.00-80.00
Limfosit 71.00 % 33.00-48.00
Monosit 4.80 % 0.00-6.00
Gol. Darah B
HEMOSTASIS
PT 11.4 detik 10.0-15.0
APTT 24.4 detik 20.0-40.0
NR 0.840 -
KIMIA KLINIK
Albumin 1.9 g/dl 3.2-4.5
Natrium darah 128 mmol/L 136-145
Kalium darah 4.3 mmol/L 3.3-5.1
Klorida darah 98 mmol/L 98-106
Kalsium Ion 1.13 mmol/L 1.17-1.29

Laboratorium Urin (2 September 2019)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
MAKROSKOPIS
Warna Dark Yellow
Kejernihan Cloudy
KIMIA URIN
Berat Jenis 1.026 1.015-1.025
Protein ++++/Positif 4 mg/dl Negatif
Glukosa +/Positif 1 mg/dl Normal
Keton Negatif mg/dl Negatif
Urobilinogen Normal mg/dl Normal
Bilirubin Negatif mg/dl Negatif
Eritrosit ++/Positif 2 mg/dl Negatif
MIKROSKOPIS
Eritrosit 272.6 /uL 0 – 6.4
Leukosit 12.7 /LPB 0 – 12
EPITEL
Epitel Squamous 10 – 20 /LPB Negatif
Epitel Transisional 2–4 /LPB Negatif
Epitel bulat - /LPB Negatif
SILINDER
Hyive 0 /LPK 0–3
Granulated 10 – 20 /LPK Negatif

IV. DAFTAR MASALAH


a. Keluhan Utama
Bengkak diseluruh tubuh terutama pada kelopak mata, kaki, dan perut.
b. Anamnesis
 Bengkak diseluruh tubuh, kaki sulit digerakkan
 Sesak nafas
 Riwayat mondok dengan Sindroma Nefrotik di RSUD Rembang
c. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis, GCS E4/V5/M6.
Kesan gizi baik. Tekanan darah 135/90 mmHg, nadi 104 kali/menit,
frekuensi nafas 20 kali /menit, nafas dalam, suhu 36,7oC. Terdapat
odem pada kedua ekstremitas.
d. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Darah
 Anemia (Hb 12,8)
 Leukositosis (AL 23700/ul)
 Trombositosis (AT 465000/ul)
 Neutrofilia absolut (88.00%)
 Hipoalbumin (1,9 mmol/L)
 Hiponatremi (128 mmol/L)
Urinalisis
 Berat jenis meningkat sedikit (1.026)
 Proteinuria (+4)
 Glukosuria (+1)
 Eritrosit (+2), eritrosit mikroskopis (272,6)

V. DIAGNOSIS BANDING
a. Sindroma nefrotik
b. Sindroma nefritik
c. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus
d. ISK

VI. DIAGNOSIS
a. Sindroma Nefrotik resistens steroid
b. Hipertensi Stage II
c. Gizi baik dengan edema
VII. TATALAKSANA
a. Diet nasi lauk 2000 kkal, cukup protein 60gr/hari, rendah garam
800mg/hari
b. Inf. Stopcock
c. Inj. Ampicillin sulbactam 25mg/kgBB/6jam (1gr/6jam)
d. Inj. Furosemide 1,5mg/kgBB/6jam (60mg/6jam)
e. Captopril 0,3mg/kgBB/jam (25mg/8jam po)
f. Metilprednisolone 80mg/LBP = 3-0-0 po
g. Terapi VIP albumin 1 tab/8 jam po
h. Aspilet 100mg/24 jam po
i. Simvastatin 10mg/24 jam po
j. Gemfibrazol 10mg/24jam po
k. Fluoxetine 5mg/24jam po
l. Alprazolam 0,25mg/24jam po

VIII. PLANNING
Cek ureum, creatinine, profil lipid

IX. MONITORING
KU/VS/BCD/8jam
BAB II
ANALISIS KASUS

Pasien dalam kasus awalnya mengeluhkan bengkak pada kelopak mata yang
timbul hanya pada pagi hari setelah bangun tidur. Keluhan dirasa semakin
menonjol 2 minggu SMRS saat kelompak mata, kaki, dan perut pasien bengkak,
bengkak dirasakan terus menerus. Selain itu pasien juga merasa sesak napas
karena perut pasien yang membengkak tersebut. Sejak dirawat karena keluhan
sesak, tekanan darah pasien juga meningkat, walaupun sebelumnya pasien tidak
mempunyai hipertensi. Keluhan-keluhan ini dapat mengarahkan ke gejala klinis
dari sindrom nefrotik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya edema pada
kedua kaki pasien dan asites pada perut pasien. 2 bulan SMRS pasien juga
mengeluhkan keluhan yang sama yaitu bengkak pada mata, perut, dan kaki lalu
membaik dengan pengobatan. Saat itu pasien didagnosis dengan sindroma
nefrotik.
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia normositik-
normokromik yang mengarah ke anemia defisiensi besi atau anemia karena
penyakit kronis serta didapatkan trombositosis serta leukositosis. Dari
pemeriksaan hitung jenis didapatkan neutrofilia absolut yang dapat menandakan
bahwa pasien sedang mengalami infeksi atau inflamasi.
Dari hasil urinalisis didapatkan urin berwarna kuning gelap dan berbuih. Di
dapatkan proteinuria positif 4. Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin
manusia yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam.
Proteinuria dikatakan patologis bila kadarnya di atas 200 mg/hari pada beberapa
kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Proteinuria biasanya dideteksi
dengan uji dipstick dan dilaporkan sebagai negatif, sedikit sekali, 1+ (paling dekat
ke 30 mg/dL), 2+ (paling dekat ke 100 mg/dL), 3+ (paling dekat ke 300 mg/dL),
dan 4+ (lebih besar dari 2.000 mg/dL. Glukosuria serta didapatkan hematuria
mikroskopik (eritrosit positif 2) serta leukosituria. Jumlah epitel masih didapatkan
normal. Hal ini berkaitan dengan gangguan fungsi filtrasi pada ginjal.
Dari pemeriksaan kimia klinik didapatkan hipoalbumin dan hiponatremia.
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati
dan kehilangan protein melalui urin. Hipoalbuminemia yang terjadi disebabkan
oleh proteinuria massif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan
sintesis albumin namun tidak dapat mengkompensasi sejumlah albumin yang
hilang sehingga menyebabkan klinis edema pada pasien.
Dari hasil anamnesis dan laboratorium darah pasien tidak mengalami
ISPA maupun infeksi kulit sebelum datang kerumah sakit sehingga diagnosis
GNAPS juga dapat disingkirkan. Pasien tidak mengalami demam, kelainan BAK
serta pemeriksaan urinalisis tidak didapatkan bacteriuria sehingga diagnosis ISK
dapat dihilangkan. Pasien menyangkal BAK berwarna kecoklatan namun saat
pemeriksaan urinalisis didapatkan hematuria (eritrosit makoskopis +2 dan
mikroskopis 272.
Pasien juga mengalami hipertensi serta hematuria yang mengarah kepada
sindroma nefritik. Namun jika dilihat secara keseluruhan dan riwayat pasien yang
mengarah ke sindroma nefritik, pasien perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk
menyingkirkan diagnosis sindroma nefritik untuk mencari apakah ada penyebab
lain yang mengakibatkan kerusakan pada glomerulus. Sindroma nefrotik dapat
disertai dengan gejala sindroma nefritik dengan gejala seperti hipertensi,
hematuria, hipokomplementemia, dan gagal ginjal yang disebut sebagai mix atau
atipikal sindroma nefrotik. Hal tersebut dapat disebabkan ketika terdapat
peningkatan permeabilitas disertai dengan kerusakan glomerulus pada membrane
mesangium pada glomerulus ginjal. (Barriois et all, 2012).
Hipertensi yang dialami pasien dapat terjadi pada sindroma nefrotik dapat
disebabkan karena pengobatan dari steroid pasien. Hipertensi dapat ditemukan
pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN akibat toksisitas steroid.
Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin converting
enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium channel blockers, atau
antagonis β adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume
darah arteri menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif,
sehingga mengakibatkan penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan
menurunnya tekanan perfusi aliran darah ke ginjal. Hal ini dideteksi
lalu mengaktifkan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS) yang
akan meningkatkan vasokonstriksi. Stimulasi renis angiotensin, aktivasi
aldosteron dan hormon antidiuretik akan mengaktifasi terjadinya hipertensi.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien di diagnosis sindrom nefrotik dengan tatalaksana awal pemberian steroid
full dose 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) selama 4
minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4
minggu kedua dengan dosis 40 mg/m 2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5
mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1x sehari setelah makan pagi.
Pada pasien, setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh tidak terjadi remisi,
oleh karena itu pasien di diagnosis sindrom nefrotik resisten steroid. Pasien perlu
untuk dilakukan pemeriksaan kadar lipid dalam darah serta pemeriksaan ureum
kreatinin untuk mengetahui fungsi ginjal pasien.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROM NEFROTIK
1. Definisi
Sindroma nefrotik adalah suatu keadaan klinis dengan gejala proteinuria
masif, hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolemia yang terkadang
disertai dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi dari ginjal.
Sindroma nefrotik dapat dibedakan menjadi sindrom nefrotik kongenital,
sindrom nefrotik primer, dan sindrom nefrotik sekunder.
2. Epidemiologi
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di
Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per
tahun,1dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara
berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000
per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.3 Perbandingan anak laki-
laki dan perempuan 2:1.
Pada umumnya sebagian besar (+80%) sindrom nefrotik primer
memberi respons yang positif terhadap pengobatan awal dengan steroid,
tetapi kira-kira 50% diantaranya akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak
memberi respons pada terapi steroid.
3. Etiologi
Terkenanya infeksi, terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas,
ditemukan sebagai faktor pemicu di hampir separuh kasus, reaksi alergi pada
sepertiga kasus dan lebih jarang, gigitan serangga, vaksinasi, pengobatan stres
psikologis.
Penyebab utama
a. Minimal-change Disease (MCD),
b. Glomerulosklerosis fokal,
c. Nefropati membranosa,
d. Nefropati herediter
Penyebab sekunder
a. Diabetes mellitus
b. Faktor imun
c. Infeksi
Penyebab paling umum pada anak-anak adalah MCD atau yang dapat
disebut juga nefrotik lipoid
4. Patogenesis dan Patofisiologi
Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotelium fenestrasi yang berada
pada membran basal glomerulus, yang ditutupi oleh epitel glomerulus, atau
podosit, yang membungkus kapiler dengan perpanjangan seluler, proses ini
terinterdigitasi dengan pertemuan sel-sel khusus yang disebut celah diafragma
yang bersama-sama membentuk filter glomerulus. Biasanya, protein yang
lebih besar (lebih besar dari 69 kD) dikeluarkan dari filtrasi. Penghancuran
podosit di atas massa kritis juga menyebabkan kerusakan glomerulus yang
tidak dapat diubah.
Proteinuria yang lebih dari 85% albumin adalah proteinuria selektif.
Albumin memiliki muatan negatif bersih, dan diusulkan bahwa hilangnya
muatan negatif membran glomerulus bisa menjadi penyebab penting
albuminuria. Proteinuria non-selektif, yang merupakan kebocoran glomerulus
dari semua protein plasma, tidak akan melibatkan perubahan dalam muatan
bersih glomerulus melainkan defek umum dalam permeabilitas.
Mutasi pada beberapa protein podosit telah diidentifikasi pada keluarga
dengan sindrom nefrotik bawaan; faktor plasma dapat mengubah
permeabilitas glomerulus, terutama pada pasien dengan sindrom nefrotik
yang resisten terhadap steroid dan yang terakhir mengubah respons imun
terpolarisasi T-limfosit, di mana sel-T dapat menghasilkan produksi faktor
permeabilitas. Peningkatan kadar IgE, IgG4, dan hubungan dengan atopy
plasma menunjukkan bias sitokin tipe II pada pasien dengan MCNS. Studi in
vitro menunjukkan bahwa podosit mengekspresikan reseptor untuk IL-4 dan
IL-13, aktivasi reseptor ini dapat mengganggu permeabilitas glomerulus yang
mengakibatkan proteinuria. Tidak ada sitokin tertentu yang memicu sindrom
nefrotik.
Banyak komplikasi sindrom nefrotik dapat dikaitkan dengan
metabolisme lipid yang tidak teratur dan dislipidemia. Abnormalitas ini
termasuk peningkatan kadar kolesterol plasma, trigliserida, dan
apolipoprotein B; penurunan aktivitas lipoprotein lipase di endotelium, otot
dan jaringan adiposa; penurunan aktivitas lipase hati, dan peningkatan kadar
enzim PCSK9. Juga, ada peningkatan kadar plasma dari partikel HDL yang
tidak matang dan pengurangan kolesterol.

Gambar1. Patofisiologi Sindroma Nefrotik

5. Gambaran Klinis
Gambaran umum pada Sindrom Nefrotik yaitu edema, yang pada fase
awal terletak di wajah pada pagi hari bangun dengan kelopak mata yang
membengkak dan terlihatnya lipatan kain pada kulit dan pergelangan kaki
pada malam hari. Tanpa pengukuran, gejala semakin jelas, difus, dan
berkembang menjadi anasarka dengan asites, hidrocele atau efusi pleura,
dapat juga ditunjukkan oleh komplikasi seperti hipovolemi, infeksi
(pneumonia dan peritonitis karena Streptococcus pneumoniae), deep vein atau
arterial thrombosis, dan emboli pulmo.
Hipertensi sedang terdapat pada 25% kasus dan hipotensi dapat ada
pada hipovolemia.
Kegagalan fungsi ginjal dapat muncul. Hematuria mikroskopik terdapat
pada 20% kasus, hematuria makroskopik tergantung pada trombosis vena
ginjal.
6. Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kelopak mata, perut,
tungkai, serta penurunan jumlah urin. Urin dapat ditemukan keruh atau
terdapat hematuria yang berwarna kemerahan.
b. Pemeriksaan Fisik
Ditemukannya edema kedua kelopak mata, tungkai, atau terdapat asites,
edema skrotum/labia, terkadang ditemukan hipetensi.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pada urinalisis ditemukan protein masif (≥2+), rasio albumin kreatinin
urin >2 dan disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan
hipoalbuminemia (<2,5g/dL), hiperkolesterolemia (>200 mg/dl) dan laju
endap darah yang meningkat. Kadar ureum dan kreatinin umumnya
normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan
gejala:
a. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein / kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥2+)
b. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
c. Edema
d. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
7. Tatalaksana
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan berikut:
a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
b. Pengukuran tekanan darah
c. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
d. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
e. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis. INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis
diberikan obat antituberkulosis (OAT).
Pasien diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended
daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari)
hanya diperlukan selama anak menderita edema.
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan
pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya
terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk
menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian
furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya,
dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit
untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila
diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi
kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites
sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi
asites berulang.
Algoritma pemberian diuretik

TERAPI DENGAN KORTIKOSTEROID


Terapi Inisial
Terapi steroid inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison
60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis
terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose)
inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal)
atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.
Pengobatan SN Relaps
Pada pasien yang mengalami proteuniria kembali tetapi tanpa edema,
sebelum pemberian prednisone, lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran
nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian
proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal
proteinuria dan edema maka diagnosis tetap relaps dan prednisone tetap diberikan.

Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid

1) Pemberian steroid jangka panjang


2) Pemberian levamisol
3) Pengobatan dengan sitostatik
4) Pengobatan dengan siklosporin atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)
Pengobatan SN dengan Kontraindikasi Steroid
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid
seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat,
maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat
diberikan peroral dengan dosis 2-3mg/KgBB/hari dosis tunggal, maupun secara
intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan
dengan dosis 500-750mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250ml larutan NaCL
0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan.

Pengobatan SN Resistensi Steroid


Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsy
ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi
anatomi mempengaruhi prognosis.
1) Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SRNRS dapat menimbulkan remisi. Apabila
mengalami remisi, dapat diberikan steroid kembali karena SNRS dapat
menjadi sensitive kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh
tidak terjadi remisi (resistensi steroid) atau menjadi dependen steroid
kembali, dapat diberikan siklosporin.
2) Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi
total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis,
hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi
tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan
terhadap:
 Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 1. nanogram/mL
 Kadar kreatinin darah berkala.
 Biopsi ginjal setiap 2 tahun.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan
dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA
jarang atau sangat selektif.
HIPERTENSI
1. Definisi
Hipertensi pada anak-anak didefinisikan sebagai rata-rata pengukuran
dari tekanan sistol dan tekanan diastole ≥ persentil ke-95 (berdasarkan
persentil usia, jenis kelamin, dan tinggi badan) yang selanjutnya
diklasifikasikan sebagai tahap 1 atau hipertensi tahap 2.
2. Epidemiologi
Menurut penelitian NHANES sejak tahun 1988 telah terjadi
peningkatan prevalensi anak dengan tekanan darah tinggi dan prevalensi anak
yang terkena hipertensi. Tekanan darah yang lebih tinggi terjadi pada anak
laki-laki (15% -19%) dibandingkan dengan perempuan (7% –12%).
Prevalensi tekanan darah tinggi lebih tinggi antara Hispanik dan non-
Hispanik pada anak-anak Afrika-Amerika dibandingkan dengan anak-anak
kulit putih non-Hispanik, dengan tingkat yang lebih tinggi di kalangan remaja
daripada di antara anak-anak muda.‍
3. Etiopatofisiologi
Hipertensi primer
Hipertensi primer pada anak-anak sebelumnya dianggap sebagai
diagnosis pengecualian. Penelitian terbaru mencatat peningkatan hipertensi
primer sejajar dengan peningkatan obesitas. Sebanyak 91% dari pasien
hipertensi di pusat rujukan tersier ditemukan memiliki hipertensi primer; 89%
dari pasien tersebut kelebihan berat badan atau obesitas (indeks massa tubuh
>85%). Karakteristik pasien pediatrik dengan hipertensi primer tidak hanya
obesitas, tetapi juga anak-anak yang lebih tua dan riwayat keluarga hipertensi.
Dalam 1 kohort, tahap hipertensi tidak memprediksi etiologi hipertensi.
Mengingat perubahan epidemiologi hipertensi pada remaja, Pedoman Praktik
Klinis 2017 untuk Skrining dan Manajemen Tekanan Darah Tinggi pada
Anak-anak dan Remaja menyatakan bahwa pemeriksaan lanjutan untuk
penyebab sekunder hipertensi tidak diperlukan. untuk anak-anak yang berusia
lebih dari 6 tahun yang mengalami obesitas, memiliki riwayat keluarga
hipertensi, dan tidak memiliki temuan pemeriksaan fisik yang menunjukkan
hipertensi sekunder dan tidak memiliki bukti kerusakan organ akhir.
Hipertensi sekunder
a. Hipertensi sekunder: penyakit ginjal
Penyakit parenkim ginjal dan hipertensi renovaskular adalah
penyebab umum hipertensi sekunder pada anak-anak, terhitung lebih dari
setengah dari semua kasus hipertensi sekunder dalam 1 penelitian.
Tingkat kreatinin plasma abnormal atau pemeriksaan ultrasonografi
ginjal abnormal ditemukan prediktif hipertensi sekunder pada penelitian
pusat-tunggal lain. Bentuk penyakit parenkim ginjal yang menyebabkan
hipertensi termasuk glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, kelainan
bawaan pada ginjal dan saluran kemih dan penyakit ginjal kronis.
Penyakit renovaskular mengacu pada obstruksi arteri dan vena ginjal dan
merupakan penyebab utama hipertensi sekunder. Beberapa etiologi
termasuk aterosklerosis, displasia fibromuskular, vaskulitis, dan
kompresi ekstrinsik pembuluh darah ginjal.
b. Hipertensi sekunder: koarktasio aorta
Koarktasio aorta adalah penyempitan aorta yang secara klasik
berhubungan dengan perbedaan TD ekstremitas atas dan bawah 20 mm
Hg atau lebih, murmur sistolik dengan radiasi ke belakang, dan
malformasi jantung bawaan lainnya. Perubahan kongenital dan
arteriosklerotik pada pasien dengan koarktasio mempengaruhi
perkembangan hipertensi, bahkan setelah koreksi bedah yang berhasil.
c. Endokrin penyebab hipertensi sekunder
Endokrinopati adalah penyebab yang jarang tetapi penting dari
hipertensi sekunder. Sebagian besar bentuk hipertensi endokrin
melibatkan kelenjar adrenal, karena hormon adrenal adalah kunci utama
perawatan tekanan darah.
Medula adrenal menghasilkan dopamin, norepinefrin, dan epinefrin
dalam sel chaffaffin, juga disebut pheochromocytes. Selain medula
adrenal, sel-sel chromaffin bermigrasi untuk membentuk koleksi
paraganglionik di kedua sisi aorta. Tumor yang timbul dari
pheochromocytomas dan paraganglioma umumnya menghasilkan jumlah
katekolamin yang berlebihan, episodik, atau menjadi hipertensi sekunder
dengan gejala diaforesis, sakit kepala, palpitasi, dan tremor.
Korteks adrenal menghasilkan mineralokortikoid (aldosteron,
deoksikortikosteron), glukokortikoid (kortisol dan kortikosteron), dan
steroid seks (androgen). Disregulasi sintesis hormon dari korteks adrenal
dapat menyebabkan hipertensi akibat kelebihan mineralokortikoid atau
glukokortikoid. Tingkat aktivitas renin rendah, kadar aldosteron tinggi,
dan hipertensi mencirikan sindrom aldosteronisme primer. Pasien dengan
hiperaldosterisme familial biasanya memiliki kadar kalium serum
abnormal dan hipertensi onset dini. Pada pasien hipertensi dengan kadar
renin dan aldosteron rendah, mineralokortikoid lain seperti
deoksikortikosteron dapat tinggi dari tumor penghasil
deoksikortikosteron atau hiperplasia adrenal kongenital.
Mineralokortikoid ini mengaktifkan reseptor alteron untuk
mempertahankan natrium dan air dan mengeluarkan kalium. Aktivitas
enzim mikrosomal yang bertanggung jawab untuk menonaktifkan
kortisol yang tidak aktif, HSD11B2, juga dapat menyebabkan hipertensi
dari kortisol berlebih, yang bertindak sebagai mineralokortikoid yang
poten.
Sindrom Cushing Iatrogenik terjadi akibat penggunaan
glukokortikoid eksogen dan sering terjadi, sedangkan penyakit Cushing
disebabkan oleh produksi kortisol endogen dan jarang terjadi. Hipertensi
terkait dengan kelebihan glukokortikoid pada sindrom Cushing atau
penyakit dimediasi oleh deoksikortikosteron berlebih, aksi kortisol pada
reseptor mineralokortikoid, dan peningkatan aktivitas pressor menjadi
vasokonstriktor endogen.
d. Hipertensi sekunder: obat-obatan
Obat-obatan yang dijual bebas seperti pseudoefedrin,
fenilpropanolamin, kafein, dan obat antiinflamasi nonsteroid dapat
menyebabkan atau memperburuk hipertensi pada beberapa pasien. Obat
yang diresepkan seperti stimulan sistem saraf pusat yang digunakan
untuk gangguan defisit hiperaktif juga telah terbukti memiliki efek
negative kardiovaskuler, sering meningkatkan diastolik tekanan darah
dan denyut jantung.
4. Diagnosis
a. Anamnesis
i. Hipertensi ringan-sedang umumnya tidak menimbulkan gejala. Gejala
umum berasal dari penyakit yang mendasari seperti gromeluronefritis
akut, SLE, sindrom Henoch Schoenlein
ii. Hipertensi berat atau krisis hipertensi dapat berupa sakit kepala,
kejang, muntah, nyeri perit, anoreksia, gelisah, keringat berlebihan,
rasa berdebar-debar, perdarahan hidung.
b. Pemeriksaan Fisik
i. Pengukuran tekanan darah pada keempat ekstremitas untuk
menyingkirkan koarktasio aorta
ii. Kesadaran menurun sampai koma, tekanan sistolik dan diastolic
meningkat, denyut jantung meningkat.
iii. Bunyi murmur dan bruit, tanda gagal jantung dan tanda ensefalopati
dapat ditemukan
iv. Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan kelainan retina berupa
perdarahan eksudat, edema papil atau penyempitan pembuluh darah
arteriol retina.
c. Pemeriksaan penunjang
i. Tingkat I
Darah lengkap, elektrolit serum, asam urat, uji fungsi ginjal, lemak
darah, urinalisis, kultur darah, USG
ii. Tingkat II (tambahan apabila perlu)
Ekokardiografi, sidik nuklir (DMSA, DTPA), USG Doppler pada
arteri ginjal, T3, T4, TSH serum, katekolamin urin, aldosterone
plasma, aktivitas renin plasma, arteriografi ginjal.
5. Tatalaksana
Tujuan pengobatan hipertensi pada anak adalah mengurangi risiko
jangka pendek maupun panjang terhadap penyakit kardiovaskular dan
kerusakan organ target. Selain itu, juga harus diperhatikan faktor-faktor lain
seperti kerusakan organ target, faktor komorbid, obesitas, hiperlipidemia,
kebiasaan merokok, dan intoleransi glukosa.
Tujuan akhir pengobatan hipertensi adalah menurunkan tekanan darah
hingga di bawah persentil ke-95 berdasarkan usia dan tinggi badan anak.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengobatan yang dilakukan secara
tepat sejak awal pada anak yang menderita hipertensi ringan-sedang akan
menurunkan risiko terjadinya stroke dan penyakit jantung koroner di
kemudian hari.
Pengobatan hipertensi pada anak dibagi ke dalam 2 golongan besar,
yaitu nonfarmakologis dan farmakologis yang tergantung pada usia anak,
tingkat hipertensi dan respons terhadap pengobatan.

Pengobatan Non-Farmakologis
Anak dan remaja yang mengalami prehipertensi atau hipertensi tingkat
1 dianjurkan untuk mengubah gaya hidupnya. Pada tahap awal anak remaja
yang menderita hipertensi primer paling baik diobati dengan cara non-
farmakologis.
Pengobatan tahap awal hipertensi pada anak mencakup penurunan berat
badan, diet rendah lemak dan garam, olahraga secara teratur, menghentikan
rokok dan kebiasaan minum alkohol. Seorang anak yang tidak kooperatif dan
tetap tidak dapat mengubah gaya hidupnya perlu dipertimbangkan untuk
mendapatkan obat anti hipertensi.
Penurunan berat badan efektif mengobati hipertensi pada anak yang
mengalami obesitas. Dalam upaya menurunkan berat badan anak ini, sangat
penting untuk mengatur kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi.
Buatlah pola makan teratur dengan kandungan gizi seimbang dan lebih
diutamakan untuk banyak mengkonsumsi buah dan sayuran.
Diet rendah garam yang dianjurkan adalah 1,2 g/hari pada anak usia 4-8
tahun dan 1,5 g/hari pada anak yang lebih besar. Diet rendah garam yang
dikombinasikan dengan buah dan sayuran, serta diet rendah lemak
menunjukkan hasil yang baik untuk menurunkan tekanan darah pada anak.
Asupan makanan mengandung kalium dan kalsium juga merupakan salah satu
upaya untuk menurunkan tekanan darah.
Olahraga secara teratur merupakan cara yang sangat baik dalam upaya
menurunkan berat badan dan tekanan darah sistolik maupun diastolik.
Olahraga teratur akan menurunkan tekanan darah dengan cara meningkatkan
aliran darah, mengurangi berat badan dan kadar kolesterol dalam darah, serta
stress.

Pengobatan Farmakologis
Menurut the National High Blood Pressure Education Program
(NHBEP) Working Group on High Blood Pressure in Children and
Adolescents obat yang diberikan sebagai antihipertensi harus mengikuti
aturan berjenjang (step-up), dimulai dengan satu macam obat pada dosis
terendah, kemudian ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai efek
terapoitik, atau munculnya efek samping, atau bila dosis maksimal telah
tercapai. Kemudian obat kedua boleh diberikan, tetapi dianjurkan
menggunakan obat yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda
Di bawah ini dicantumkan beberapa keadaan hipertensi pada anak yang
merupakan indikasi dimulainya pemberian obat antihipertensi:
a. Hipertensi simtomatik
b. Kerusakan organ target, seperti retinopati, hipertrofi ventrikel kiri, dan
proteinuria
c. Hipertensi sekunder
d. Diabetes mellitus
e. Hipertensi tingkat 1 yang tidak menunjukkan respons dengan perubahan
gaya hidup.
f. Hipertensi tingkat 2

Tatalaksana hipertensi pada anak

SINDROMA NEFRITIK
1. Definisi
Sindrom nefritik adalah sindrom klinis yang muncul sebagai hematuria,
tekanan darah tinggi, penurunan output urin, dan edema. Patologi utama yang
mendasari adalah peradangan pada glomerulus yang menyebabkan sindrom
nefritik. Ini menyebabkan munculnya sel darah merah (RBC) dan sel darah
secara tiba-tiba, sejumlah proteinuria yang bervariasi, dan sel darah putih
dalam urin. Patologi primer bisa di ginjal, atau bisa jadi akibat gangguan
sistemik.
2. Patofisiologi
Patofisiologi tergantung pada penyebab sindrom nefritik. Pada sindrom
nefritik, terjadi gangguan struktural pada membran basal glomerulus.
Penghalang filtrasi glomerulus (GFB) dibentuk oleh jalinan laminin,
proteoglikan, dan kolagen tipe IV. Ini memungkinkan penyaringan air dan zat
terlarut berukuran kecil dan sedang. Tiga lapisan penghalang filtrasi
glomerulus adalah endotelium, membran basal glomerulus (GBM), dan
podosit. Podosit adalah bagian dari lapisan visceral kapsul bowman, lapisan
sel epitel kuboid yang mengubah dan membentuk ekstensi sitoplasma yang
membungkus membran basal kapiler. Proses akhir membentuk diafragma
seperti celah yang selektif untuk ukuran dan muatan zat yang disaringnya.
Pada sindrom nefritik, GFB dapat dirusak oleh berbagai mekanisme:
 Kerusakan langsung pada lapisan sel endotel
 Deposisi kompleks imun di ruang subendotel, subepitel, dan
mesangial
 Gangguan membran basal glomerulus oleh penyakit ginjal primer atau
sistemik sekunder
 Kerusakan pada lapisan seluler podosit
Gambar 2. Klasifikasi Sindroma Nefritik

Gambar 3. Sindroma Nefrotik dan Sindroma Nefritik

3. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala klasik sindrom nefritik adalah:
 Edema periorbital
 Hematuria dengan urine berwarna merah atau cola
 Proteinuria dalam kisaran non-nefrotik (yaitu, kurang dari 3,5
gm / hari) dan dapat menyebabkan urin berbusa ketika
kandungan protein tinggi
 Hipertensi atau tekanan darah yang tidak terkontrol (TD) pada
pasien dengan tekanan darah yang sebelumnya terkontrol
 Insufisiensi ginjal yang ditandai dengan oliguria (penurunan
keluaran urin), dan azotemia, akibat penurunan laju filtrasi
glomerulus (GFR)
 Tanda overload cairan mungkin dapat terjadi: peningkatan
JVP, pitting edema, ronki pada auskultasi paru
b. Pemeriksaan Penunjang
 Elektrolit serum
 Kreatinin serum - kreatinin adalah salah satu indikator
terpenting dari fungsi ginjal dan digunakan untuk menghitung
laju filtrasi glomerulus (GFR). Kadar kreatinin yang
meningkat dianggap abnormal dan dapat mengindikasikan
penurunan fungsi ginjal.
 Nitrogen urea darah (BUN) - Nitrogen urea darah merupakan
indikator berapa banyak nitrogen dalam darah pada saat proses
mengeluarkan darah. Ginjal bertanggung jawab untuk
mengeluarkan zat nitrogen dalam urin, jadi peningkatan BUN
biasanya menunjukkan bahwa ginjal tidak berfungsi dengan
baik.
 Analisis Urine (Urinalisis). Ginjal bertanggung jawab
membuat urin, menganalisis urin secara langsung dapat
memberikan data penting yang dapat membantu dokter
mendiagnosis sindrom nefritik. Beberapa temuan tentang
urinalisis yang konsisten dengan sindrom nefritik termasuk sel
darah merah (hematuria), gips sel darah merah, proteinuria,
dan mungkin sel darah putih (piuria).

GLOMERULONEFRITIK AKUT PASCA STREPTOKOKUS (GNAPS)


1. Definisi
GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara
histopatologi menunjukkan proliferasi & Inflamasi glomeruli yang didahului
oleh infeksi group A β-hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan
gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi
secara akut.
2. Patofisiologi
Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan
filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya
normal. Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di
bawah 1%. Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis
berkurang yang akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses
reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air.
Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air
didukung oleh keadaan berikut ini:
a. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses
radang di glomerulus.
b. Overexpression dari epithelial sodium channel.
c. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin
intrarenal.
Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan air,
sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi. Efek proteinuria yang
terjadi pada GNAPS tidak sampai menyebabkan edema lebih berat, karena
hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin
angiotensin, aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) tidak meningkat.
Edema yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga hormon tersebut
meningkat.

Gambar 3. Patogenesis GNAPS


3. Penegakkan Diagnosis
a. Gejala khas GNAPS: gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema,
oliguria
b. Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan
laboratorium berupa ASTO (meningkat) & C3 (menurun) dan
pemeriksaan lain berupa adanya torak eritrosit, hematuria &
proteinuria.
c. Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus ß
hemolitikus grup A.
Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen
urin (hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi/kontak
dengan penderita GNAPS.
4. Tatalaksana
a. Bed Rest
Sindroma Nefrotik Sindroma Nefritik GNAPS

Definisi Suatu keadaan klinis Suatu keadaan klinis, Suatu peradangan glomerulus
dengan TRIAS SN dan inflamasi/infeksi dari (proliferasi dan inflamasi) yang
edema yang disebabkan membrane glomerulus didahului oleh infeksi group
karena peningkatan Streptococcus A/B hemolitikus
permeabilistas dari dengan gejala klinis nefritik.
membrane glomerulus
yang rusak.

Epidemiologi Anak-anak dan dewasa Anak-anak dan Dewasa Dapat terjadi di semua usia,
paling sering anak 6 – 7 tahun

Etiologi Penyakit pada ginjal (gagal Inflamasi atau infeksi Infeksi group A B hemolytic
ginjal, diabetes, dsb) pada ginjal streptococci (ISPA atau infeksi
kulit)
TRIAS Hipokolesterolemia, Hipertensi, gross Hipertensi, gross hematuria,
hypoalbuminemia, hematuria, azotemia azotemia
proteinuria massif
Edema Anasarka Sebagian Sebagian
Hematuria Mikroskopis Mikroskopis dan Mikroskopis dan Makroskopis
Makroskopis (Gross) (Gross) hematuria
hematuria
Urin Keruh Kemerahan Kemerahan
Anemia Tidak ada Ada Ada
Urinalisis Proteinuria >3,5gr/hari Proteinuria <2g/hari Proteinuria <2g/hari
dengan dipstick +3 atau +4

b. Diet tanpa garam, pembatasan protein.


c. Antibiotik
Amoksisilin 50mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis dalam 10 hari. Jika
alergi diberikan golongan eritromisin dosis 30mg/kgBB/hari
d. Pengobatan Simptomatik

e.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien tersebut didiagnosis dengan sindrom nefrotik dengan
hipertensi stage II.
2. Pada pasien tersebut telah dilakukan penanganan sesuai.

B. Saran
1. Setelah pasien diperbolehkan pulang, sebaiknya dilakukan follow up
kembali untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
2. Perlu edukasi pada pasien dan keluarga untuk mengontrol dan mengukur
urin output setiap hari dan mencatatnya sebagai salah satu evaluasi hasil
pengobatan.
3. Edukasi diet rendah garam untuk mencegah timbulnya edema.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bawazier L A. Proteinuria. Dalam: Sudoyo, Aru W. dkk, Editor. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam; 2009. hlm. 956-61.
2. Bergstein J M. Keadaan-keadaan yang terutama disertai dengan proteinuria.
Dalam: Arvin, B K, Editor. Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15, Vol. 3.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2012. hlm. 1826-27
3. Flynn, JT., dkk. 2017. Clinical Practice Guideline for Screening and
Management of High Blood Pressure in Children and Adolescents. American
Academy of Pediatrics Volume 140, number 3, September 2017
4. Hashmi, M.S. 2020. Nephritic Syndrome. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK562240/ Accessed on December,
14th 2020
5. Histopatologi Guru. Pathophysiology of Nephrotic Syndrome. Available at
https://www.histopathology.guru/pathophysiology-of-nephrotic-syndrome/
Accessed on December, 14th 2020
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Konsensus Glomerulonefritis Akut
Pasca Streptokokus. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi. Unit Kerja Nefrologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia Tahun 2012
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Konsensus Tatalaksana Sindroma
Nefrotik pada Anak. Unit Kerja Koordinasi NefrologiIkatan Dokter Anak
IndonesiaTahun 2005
8. Muntmer P, He J, Cutler JA, Wildman RP,Whelton PK. Trends in blood
pressure among children and adolescents.JAMA. 2004;291:2107-13.
9. Pediatric Clinics of NA. Elsevier Inc, 66(1), pp. 45–57. doi:
10.1016/j.pcl.2018.09.001.
10. Prodjosudjadi W. Sindrom nefrotik. Dalam: Sudoyo, Aru W. dkk, Editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam; 2009. hlm. 999-1003.
11. Pudjiaji, A.H., dkk. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
12. Sekarwana, Nanan., Rachmadi, Dedi., Hilmanto, Dany. 2011. Konsensus
Tatalaksana Hipertensi pada Anak. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi, Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
13. Tapia C, Bashir K. Nephrotic Syndrome. [Updated 2019 Jan 13]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470444/
14. Trihono, Partini P., Alatas, Husein., Tambunan, Taralan., Pardede, Sudung O.
2012. Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai