DISUSUN OLEH:
Dinannisya Fajri S. G991903013
Pembimbing Residen
Oleh :
Dinannisya Fajri S. G991903013
B. Keluhan Utama
Bengkak di seluruh tubuh
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan dari RS Rembang dengan keterangan
sindroma nefrotik. 2 minggu SMRS, pasien merasa bengkak diseluruh
tubuh terutama kelopak mata dan seluruh kaki. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan kakinya sangat sulit digerakkan dan sesak napas sehingga
keluarga pasien membawa pasien ke RS Rembang. Di RS Rembang,
pasien dirawat di PICU selama sembilan hari dan dilakukan USG
dengan hasil deep vein thrombosis lalu kemudian dirujuk ke RSUD Dr.
Moewardi. Tidak didapatkan batuk atau pilek, sekitar 1 bulan sebelum
pasien mengeluh bengkak. Keluhan BAK seperti anyang-anyangan,
berkemih tidak puas, dan sering berkemih tetapi hanya keluar sedikit
disangkal.
Sebelumnya, pasien juga pernah mengeluhkan bengkak pada
kelopak mata, kaki dan perut sekitar dua bulan yang lalu. Pasien
kemudian dibawa oleh keluarganya ke RS Rembang. Bengkak dirasa
semakin membaik setelah dilakukan perawatan selama 4 hari. Dari RS
Rembang, pasien didiagnosis dengan Sindroma Nefrotik dan dirujuk ke
RSUP Kariadi untuk rawat jalan.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat Hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat Alergi obat/makanan : disangkal
d. Riwayat Asma : disangkal
e. Riwayat keluhan serupa : diakui
E. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat Hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat Alergi obat/makanan : disangkal
d. Riwayat Asma : disangkal
e. Riwayat keluhan serupa : disangkal
F. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Selama hamil, ibu pasien rutin melakukan pemeriksaan kehamilan di
bidan.
G. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir dari ibu usia 23 tahun dengan umur kehamilan 36
minggu secara spontan di bidan dengan berat badan lahir 2700 gram,
langsung menangis kuat segera setelah lahir, bergerak aktif, dan tidak
ada kebiruan. Kesan kelahiran dalam batas normal.
H. Pohon Keluarga
An. ANM
17 tahun, 70 kg, 170 cm
I. Riwayat Imunisasi
0 bulan : HB1 (-)
1 bulan : Polio1 (-), BCG (-)
2 bulan : DPT1 (-), HB2 (-), Polio2 (-)
3 bulan : DPT2 (-), HB3 (-), Polio3 (-)
4 bulan : DPT3 (-), Polio4 (-)
9 bulan : Campak (-)
Kelas 1 SD : DT (-), Campak (-)
Kelas 5 SD : dT atau TT (-)
Kesimpulan : imunisasi tidak lengkap sesuai Kemenkes 2004.
J. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
1. Pertumbuhan
Pasien lahir di bidan dengan berat badan lahir 2700 gram.
Menurut ibu pasien, pasien rutin dibawa ke posyandu. Saat ini
pasien berusia 17 tahun dengan berat badan 70 kg dan tinggi badan
170 cm.
Kesan : gizi baik
2. Perkembangan
Pasien saat ini sekolah di Pondok Pesantren. Pasien dapat
mengikuti pelajaran dengan baik. Pasien tidak mengalami kesulitan
dalam berkomunikasi dan mengikuti aktivitas sehari-hari baik di
sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal.
Kesan: perkembangan dalam batas normal.
K. Riwayat Nutrisi
Pasien makan sehari dua - tiga kali dengan menu makan nasi
disertai lauk pauk seperti tahu, tempe, telur, daging disertai sayur.
Kesan: kualitas dan kuantitas baik.
L. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Orang tua
pasien bekerja sebagai peternak. Sehari-hari pasien bersekolah di
Pondok Pesantren. Riwayat sosial ekonomi pasien terkesan cukup.
Kepala : mesocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), odem (+/+)
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), epistaksis (-)
Mulut : Mukosa basah, gusi berdarah (-)
Leher : Pembesaran kelenjar limfe (-)
Thorax : Simetris (+), retraksi (-)
COR : BJ I-II reguler, bising (-)
Pulmo : SD ventrikuler +/+, suara tambahan -/-
Abdomen: I: Dinding perut > Dinding dada, striae (+)
A: Bising Usus (+)
P: Timpani (-), undulasi (+), pekak (+)
P: Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien sulit dinilai
+ +
Ekstremitas: Akral hangat oedem - -
+ +
+ +
CRT < 2 detik, Arteri Dorsalis Pedis teraba kuat
Status Gizi:
Status gizi secara klinis : gizi baik
Status gizi secara antropometri berdasarkan Chart CDC :
BB/U : P75>BB/U>P50
TB/U : =P25
BB/TB : 70/65 x 100% = 107% (Waterlow; Gizi baik)
Simpulan : normoheight dan gizi baik
V. DIAGNOSIS BANDING
a. Sindroma nefrotik
b. Sindroma nefritik
c. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus
d. ISK
VI. DIAGNOSIS
a. Sindroma Nefrotik resistens steroid
b. Hipertensi Stage II
c. Gizi baik dengan edema
VII. TATALAKSANA
a. Diet nasi lauk 2000 kkal, cukup protein 60gr/hari, rendah garam
800mg/hari
b. Inf. Stopcock
c. Inj. Ampicillin sulbactam 25mg/kgBB/6jam (1gr/6jam)
d. Inj. Furosemide 1,5mg/kgBB/6jam (60mg/6jam)
e. Captopril 0,3mg/kgBB/jam (25mg/8jam po)
f. Metilprednisolone 80mg/LBP = 3-0-0 po
g. Terapi VIP albumin 1 tab/8 jam po
h. Aspilet 100mg/24 jam po
i. Simvastatin 10mg/24 jam po
j. Gemfibrazol 10mg/24jam po
k. Fluoxetine 5mg/24jam po
l. Alprazolam 0,25mg/24jam po
VIII. PLANNING
Cek ureum, creatinine, profil lipid
IX. MONITORING
KU/VS/BCD/8jam
BAB II
ANALISIS KASUS
Pasien dalam kasus awalnya mengeluhkan bengkak pada kelopak mata yang
timbul hanya pada pagi hari setelah bangun tidur. Keluhan dirasa semakin
menonjol 2 minggu SMRS saat kelompak mata, kaki, dan perut pasien bengkak,
bengkak dirasakan terus menerus. Selain itu pasien juga merasa sesak napas
karena perut pasien yang membengkak tersebut. Sejak dirawat karena keluhan
sesak, tekanan darah pasien juga meningkat, walaupun sebelumnya pasien tidak
mempunyai hipertensi. Keluhan-keluhan ini dapat mengarahkan ke gejala klinis
dari sindrom nefrotik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya edema pada
kedua kaki pasien dan asites pada perut pasien. 2 bulan SMRS pasien juga
mengeluhkan keluhan yang sama yaitu bengkak pada mata, perut, dan kaki lalu
membaik dengan pengobatan. Saat itu pasien didagnosis dengan sindroma
nefrotik.
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia normositik-
normokromik yang mengarah ke anemia defisiensi besi atau anemia karena
penyakit kronis serta didapatkan trombositosis serta leukositosis. Dari
pemeriksaan hitung jenis didapatkan neutrofilia absolut yang dapat menandakan
bahwa pasien sedang mengalami infeksi atau inflamasi.
Dari hasil urinalisis didapatkan urin berwarna kuning gelap dan berbuih. Di
dapatkan proteinuria positif 4. Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin
manusia yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam.
Proteinuria dikatakan patologis bila kadarnya di atas 200 mg/hari pada beberapa
kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Proteinuria biasanya dideteksi
dengan uji dipstick dan dilaporkan sebagai negatif, sedikit sekali, 1+ (paling dekat
ke 30 mg/dL), 2+ (paling dekat ke 100 mg/dL), 3+ (paling dekat ke 300 mg/dL),
dan 4+ (lebih besar dari 2.000 mg/dL. Glukosuria serta didapatkan hematuria
mikroskopik (eritrosit positif 2) serta leukosituria. Jumlah epitel masih didapatkan
normal. Hal ini berkaitan dengan gangguan fungsi filtrasi pada ginjal.
Dari pemeriksaan kimia klinik didapatkan hipoalbumin dan hiponatremia.
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati
dan kehilangan protein melalui urin. Hipoalbuminemia yang terjadi disebabkan
oleh proteinuria massif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan
sintesis albumin namun tidak dapat mengkompensasi sejumlah albumin yang
hilang sehingga menyebabkan klinis edema pada pasien.
Dari hasil anamnesis dan laboratorium darah pasien tidak mengalami
ISPA maupun infeksi kulit sebelum datang kerumah sakit sehingga diagnosis
GNAPS juga dapat disingkirkan. Pasien tidak mengalami demam, kelainan BAK
serta pemeriksaan urinalisis tidak didapatkan bacteriuria sehingga diagnosis ISK
dapat dihilangkan. Pasien menyangkal BAK berwarna kecoklatan namun saat
pemeriksaan urinalisis didapatkan hematuria (eritrosit makoskopis +2 dan
mikroskopis 272.
Pasien juga mengalami hipertensi serta hematuria yang mengarah kepada
sindroma nefritik. Namun jika dilihat secara keseluruhan dan riwayat pasien yang
mengarah ke sindroma nefritik, pasien perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk
menyingkirkan diagnosis sindroma nefritik untuk mencari apakah ada penyebab
lain yang mengakibatkan kerusakan pada glomerulus. Sindroma nefrotik dapat
disertai dengan gejala sindroma nefritik dengan gejala seperti hipertensi,
hematuria, hipokomplementemia, dan gagal ginjal yang disebut sebagai mix atau
atipikal sindroma nefrotik. Hal tersebut dapat disebabkan ketika terdapat
peningkatan permeabilitas disertai dengan kerusakan glomerulus pada membrane
mesangium pada glomerulus ginjal. (Barriois et all, 2012).
Hipertensi yang dialami pasien dapat terjadi pada sindroma nefrotik dapat
disebabkan karena pengobatan dari steroid pasien. Hipertensi dapat ditemukan
pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN akibat toksisitas steroid.
Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin converting
enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium channel blockers, atau
antagonis β adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume
darah arteri menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif,
sehingga mengakibatkan penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan
menurunnya tekanan perfusi aliran darah ke ginjal. Hal ini dideteksi
lalu mengaktifkan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS) yang
akan meningkatkan vasokonstriksi. Stimulasi renis angiotensin, aktivasi
aldosteron dan hormon antidiuretik akan mengaktifasi terjadinya hipertensi.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien di diagnosis sindrom nefrotik dengan tatalaksana awal pemberian steroid
full dose 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) selama 4
minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4
minggu kedua dengan dosis 40 mg/m 2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5
mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1x sehari setelah makan pagi.
Pada pasien, setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh tidak terjadi remisi,
oleh karena itu pasien di diagnosis sindrom nefrotik resisten steroid. Pasien perlu
untuk dilakukan pemeriksaan kadar lipid dalam darah serta pemeriksaan ureum
kreatinin untuk mengetahui fungsi ginjal pasien.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
SINDROM NEFROTIK
1. Definisi
Sindroma nefrotik adalah suatu keadaan klinis dengan gejala proteinuria
masif, hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolemia yang terkadang
disertai dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi dari ginjal.
Sindroma nefrotik dapat dibedakan menjadi sindrom nefrotik kongenital,
sindrom nefrotik primer, dan sindrom nefrotik sekunder.
2. Epidemiologi
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di
Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per
tahun,1dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara
berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000
per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun.3 Perbandingan anak laki-
laki dan perempuan 2:1.
Pada umumnya sebagian besar (+80%) sindrom nefrotik primer
memberi respons yang positif terhadap pengobatan awal dengan steroid,
tetapi kira-kira 50% diantaranya akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak
memberi respons pada terapi steroid.
3. Etiologi
Terkenanya infeksi, terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas,
ditemukan sebagai faktor pemicu di hampir separuh kasus, reaksi alergi pada
sepertiga kasus dan lebih jarang, gigitan serangga, vaksinasi, pengobatan stres
psikologis.
Penyebab utama
a. Minimal-change Disease (MCD),
b. Glomerulosklerosis fokal,
c. Nefropati membranosa,
d. Nefropati herediter
Penyebab sekunder
a. Diabetes mellitus
b. Faktor imun
c. Infeksi
Penyebab paling umum pada anak-anak adalah MCD atau yang dapat
disebut juga nefrotik lipoid
4. Patogenesis dan Patofisiologi
Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotelium fenestrasi yang berada
pada membran basal glomerulus, yang ditutupi oleh epitel glomerulus, atau
podosit, yang membungkus kapiler dengan perpanjangan seluler, proses ini
terinterdigitasi dengan pertemuan sel-sel khusus yang disebut celah diafragma
yang bersama-sama membentuk filter glomerulus. Biasanya, protein yang
lebih besar (lebih besar dari 69 kD) dikeluarkan dari filtrasi. Penghancuran
podosit di atas massa kritis juga menyebabkan kerusakan glomerulus yang
tidak dapat diubah.
Proteinuria yang lebih dari 85% albumin adalah proteinuria selektif.
Albumin memiliki muatan negatif bersih, dan diusulkan bahwa hilangnya
muatan negatif membran glomerulus bisa menjadi penyebab penting
albuminuria. Proteinuria non-selektif, yang merupakan kebocoran glomerulus
dari semua protein plasma, tidak akan melibatkan perubahan dalam muatan
bersih glomerulus melainkan defek umum dalam permeabilitas.
Mutasi pada beberapa protein podosit telah diidentifikasi pada keluarga
dengan sindrom nefrotik bawaan; faktor plasma dapat mengubah
permeabilitas glomerulus, terutama pada pasien dengan sindrom nefrotik
yang resisten terhadap steroid dan yang terakhir mengubah respons imun
terpolarisasi T-limfosit, di mana sel-T dapat menghasilkan produksi faktor
permeabilitas. Peningkatan kadar IgE, IgG4, dan hubungan dengan atopy
plasma menunjukkan bias sitokin tipe II pada pasien dengan MCNS. Studi in
vitro menunjukkan bahwa podosit mengekspresikan reseptor untuk IL-4 dan
IL-13, aktivasi reseptor ini dapat mengganggu permeabilitas glomerulus yang
mengakibatkan proteinuria. Tidak ada sitokin tertentu yang memicu sindrom
nefrotik.
Banyak komplikasi sindrom nefrotik dapat dikaitkan dengan
metabolisme lipid yang tidak teratur dan dislipidemia. Abnormalitas ini
termasuk peningkatan kadar kolesterol plasma, trigliserida, dan
apolipoprotein B; penurunan aktivitas lipoprotein lipase di endotelium, otot
dan jaringan adiposa; penurunan aktivitas lipase hati, dan peningkatan kadar
enzim PCSK9. Juga, ada peningkatan kadar plasma dari partikel HDL yang
tidak matang dan pengurangan kolesterol.
5. Gambaran Klinis
Gambaran umum pada Sindrom Nefrotik yaitu edema, yang pada fase
awal terletak di wajah pada pagi hari bangun dengan kelopak mata yang
membengkak dan terlihatnya lipatan kain pada kulit dan pergelangan kaki
pada malam hari. Tanpa pengukuran, gejala semakin jelas, difus, dan
berkembang menjadi anasarka dengan asites, hidrocele atau efusi pleura,
dapat juga ditunjukkan oleh komplikasi seperti hipovolemi, infeksi
(pneumonia dan peritonitis karena Streptococcus pneumoniae), deep vein atau
arterial thrombosis, dan emboli pulmo.
Hipertensi sedang terdapat pada 25% kasus dan hipotensi dapat ada
pada hipovolemia.
Kegagalan fungsi ginjal dapat muncul. Hematuria mikroskopik terdapat
pada 20% kasus, hematuria makroskopik tergantung pada trombosis vena
ginjal.
6. Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kelopak mata, perut,
tungkai, serta penurunan jumlah urin. Urin dapat ditemukan keruh atau
terdapat hematuria yang berwarna kemerahan.
b. Pemeriksaan Fisik
Ditemukannya edema kedua kelopak mata, tungkai, atau terdapat asites,
edema skrotum/labia, terkadang ditemukan hipetensi.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pada urinalisis ditemukan protein masif (≥2+), rasio albumin kreatinin
urin >2 dan disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan
hipoalbuminemia (<2,5g/dL), hiperkolesterolemia (>200 mg/dl) dan laju
endap darah yang meningkat. Kadar ureum dan kreatinin umumnya
normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan
gejala:
a. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein / kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥2+)
b. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
c. Edema
d. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
7. Tatalaksana
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan berikut:
a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
b. Pengukuran tekanan darah
c. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.
d. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
e. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis. INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis
diberikan obat antituberkulosis (OAT).
Pasien diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended
daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari)
hanya diperlukan selama anak menderita edema.
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan
pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya
terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk
menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian
furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya,
dapat diberikan plasma 20 ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit
untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila
diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi
kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites
sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi
asites berulang.
Algoritma pemberian diuretik
Pengobatan Non-Farmakologis
Anak dan remaja yang mengalami prehipertensi atau hipertensi tingkat
1 dianjurkan untuk mengubah gaya hidupnya. Pada tahap awal anak remaja
yang menderita hipertensi primer paling baik diobati dengan cara non-
farmakologis.
Pengobatan tahap awal hipertensi pada anak mencakup penurunan berat
badan, diet rendah lemak dan garam, olahraga secara teratur, menghentikan
rokok dan kebiasaan minum alkohol. Seorang anak yang tidak kooperatif dan
tetap tidak dapat mengubah gaya hidupnya perlu dipertimbangkan untuk
mendapatkan obat anti hipertensi.
Penurunan berat badan efektif mengobati hipertensi pada anak yang
mengalami obesitas. Dalam upaya menurunkan berat badan anak ini, sangat
penting untuk mengatur kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi.
Buatlah pola makan teratur dengan kandungan gizi seimbang dan lebih
diutamakan untuk banyak mengkonsumsi buah dan sayuran.
Diet rendah garam yang dianjurkan adalah 1,2 g/hari pada anak usia 4-8
tahun dan 1,5 g/hari pada anak yang lebih besar. Diet rendah garam yang
dikombinasikan dengan buah dan sayuran, serta diet rendah lemak
menunjukkan hasil yang baik untuk menurunkan tekanan darah pada anak.
Asupan makanan mengandung kalium dan kalsium juga merupakan salah satu
upaya untuk menurunkan tekanan darah.
Olahraga secara teratur merupakan cara yang sangat baik dalam upaya
menurunkan berat badan dan tekanan darah sistolik maupun diastolik.
Olahraga teratur akan menurunkan tekanan darah dengan cara meningkatkan
aliran darah, mengurangi berat badan dan kadar kolesterol dalam darah, serta
stress.
Pengobatan Farmakologis
Menurut the National High Blood Pressure Education Program
(NHBEP) Working Group on High Blood Pressure in Children and
Adolescents obat yang diberikan sebagai antihipertensi harus mengikuti
aturan berjenjang (step-up), dimulai dengan satu macam obat pada dosis
terendah, kemudian ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai efek
terapoitik, atau munculnya efek samping, atau bila dosis maksimal telah
tercapai. Kemudian obat kedua boleh diberikan, tetapi dianjurkan
menggunakan obat yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda
Di bawah ini dicantumkan beberapa keadaan hipertensi pada anak yang
merupakan indikasi dimulainya pemberian obat antihipertensi:
a. Hipertensi simtomatik
b. Kerusakan organ target, seperti retinopati, hipertrofi ventrikel kiri, dan
proteinuria
c. Hipertensi sekunder
d. Diabetes mellitus
e. Hipertensi tingkat 1 yang tidak menunjukkan respons dengan perubahan
gaya hidup.
f. Hipertensi tingkat 2
SINDROMA NEFRITIK
1. Definisi
Sindrom nefritik adalah sindrom klinis yang muncul sebagai hematuria,
tekanan darah tinggi, penurunan output urin, dan edema. Patologi utama yang
mendasari adalah peradangan pada glomerulus yang menyebabkan sindrom
nefritik. Ini menyebabkan munculnya sel darah merah (RBC) dan sel darah
secara tiba-tiba, sejumlah proteinuria yang bervariasi, dan sel darah putih
dalam urin. Patologi primer bisa di ginjal, atau bisa jadi akibat gangguan
sistemik.
2. Patofisiologi
Patofisiologi tergantung pada penyebab sindrom nefritik. Pada sindrom
nefritik, terjadi gangguan struktural pada membran basal glomerulus.
Penghalang filtrasi glomerulus (GFB) dibentuk oleh jalinan laminin,
proteoglikan, dan kolagen tipe IV. Ini memungkinkan penyaringan air dan zat
terlarut berukuran kecil dan sedang. Tiga lapisan penghalang filtrasi
glomerulus adalah endotelium, membran basal glomerulus (GBM), dan
podosit. Podosit adalah bagian dari lapisan visceral kapsul bowman, lapisan
sel epitel kuboid yang mengubah dan membentuk ekstensi sitoplasma yang
membungkus membran basal kapiler. Proses akhir membentuk diafragma
seperti celah yang selektif untuk ukuran dan muatan zat yang disaringnya.
Pada sindrom nefritik, GFB dapat dirusak oleh berbagai mekanisme:
Kerusakan langsung pada lapisan sel endotel
Deposisi kompleks imun di ruang subendotel, subepitel, dan
mesangial
Gangguan membran basal glomerulus oleh penyakit ginjal primer atau
sistemik sekunder
Kerusakan pada lapisan seluler podosit
Gambar 2. Klasifikasi Sindroma Nefritik
3. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala klasik sindrom nefritik adalah:
Edema periorbital
Hematuria dengan urine berwarna merah atau cola
Proteinuria dalam kisaran non-nefrotik (yaitu, kurang dari 3,5
gm / hari) dan dapat menyebabkan urin berbusa ketika
kandungan protein tinggi
Hipertensi atau tekanan darah yang tidak terkontrol (TD) pada
pasien dengan tekanan darah yang sebelumnya terkontrol
Insufisiensi ginjal yang ditandai dengan oliguria (penurunan
keluaran urin), dan azotemia, akibat penurunan laju filtrasi
glomerulus (GFR)
Tanda overload cairan mungkin dapat terjadi: peningkatan
JVP, pitting edema, ronki pada auskultasi paru
b. Pemeriksaan Penunjang
Elektrolit serum
Kreatinin serum - kreatinin adalah salah satu indikator
terpenting dari fungsi ginjal dan digunakan untuk menghitung
laju filtrasi glomerulus (GFR). Kadar kreatinin yang
meningkat dianggap abnormal dan dapat mengindikasikan
penurunan fungsi ginjal.
Nitrogen urea darah (BUN) - Nitrogen urea darah merupakan
indikator berapa banyak nitrogen dalam darah pada saat proses
mengeluarkan darah. Ginjal bertanggung jawab untuk
mengeluarkan zat nitrogen dalam urin, jadi peningkatan BUN
biasanya menunjukkan bahwa ginjal tidak berfungsi dengan
baik.
Analisis Urine (Urinalisis). Ginjal bertanggung jawab
membuat urin, menganalisis urin secara langsung dapat
memberikan data penting yang dapat membantu dokter
mendiagnosis sindrom nefritik. Beberapa temuan tentang
urinalisis yang konsisten dengan sindrom nefritik termasuk sel
darah merah (hematuria), gips sel darah merah, proteinuria,
dan mungkin sel darah putih (piuria).
Definisi Suatu keadaan klinis Suatu keadaan klinis, Suatu peradangan glomerulus
dengan TRIAS SN dan inflamasi/infeksi dari (proliferasi dan inflamasi) yang
edema yang disebabkan membrane glomerulus didahului oleh infeksi group
karena peningkatan Streptococcus A/B hemolitikus
permeabilistas dari dengan gejala klinis nefritik.
membrane glomerulus
yang rusak.
Epidemiologi Anak-anak dan dewasa Anak-anak dan Dewasa Dapat terjadi di semua usia,
paling sering anak 6 – 7 tahun
Etiologi Penyakit pada ginjal (gagal Inflamasi atau infeksi Infeksi group A B hemolytic
ginjal, diabetes, dsb) pada ginjal streptococci (ISPA atau infeksi
kulit)
TRIAS Hipokolesterolemia, Hipertensi, gross Hipertensi, gross hematuria,
hypoalbuminemia, hematuria, azotemia azotemia
proteinuria massif
Edema Anasarka Sebagian Sebagian
Hematuria Mikroskopis Mikroskopis dan Mikroskopis dan Makroskopis
Makroskopis (Gross) (Gross) hematuria
hematuria
Urin Keruh Kemerahan Kemerahan
Anemia Tidak ada Ada Ada
Urinalisis Proteinuria >3,5gr/hari Proteinuria <2g/hari Proteinuria <2g/hari
dengan dipstick +3 atau +4
e.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien tersebut didiagnosis dengan sindrom nefrotik dengan
hipertensi stage II.
2. Pada pasien tersebut telah dilakukan penanganan sesuai.
B. Saran
1. Setelah pasien diperbolehkan pulang, sebaiknya dilakukan follow up
kembali untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
2. Perlu edukasi pada pasien dan keluarga untuk mengontrol dan mengukur
urin output setiap hari dan mencatatnya sebagai salah satu evaluasi hasil
pengobatan.
3. Edukasi diet rendah garam untuk mencegah timbulnya edema.
DAFTAR PUSTAKA