Anda di halaman 1dari 34

PORTOFOLIO KASUS MEDIK IGD

PPOK EKSASERBASI AKUT

Disusun Guna Memenuhi Syarat Salah Satu Tugas Formatif Dokter Internsip
Rumah Sakit Umum Islam Harapan Anda Kota Tegal

Pembimbing
dr. Namira

Disusun oleh :
dr. Deny Prima Oktaviyanti

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP


RUMAH SAKIT UMUM ISLAM HARAPAN ANDA
DINAS KESEHATAN KOTA TEGAL
2020
Telah dipresentasikan dan disetujui laporan kasus dengan judul :

PPOK EKSASERBASI AKUT

Oleh :
dr. Deny Prima Oktaviyanti
Dokter Internship RSU Islam Harapan Anda

Program Internship Dokter Indonesia


Rumah Sakit Umum Islam Harapan Anda
Tegal-Jawa Tengah

Tegal, Januari 2020

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Namira
No. ID dan Nama Peserta : Presenter : dr. Deny Prima Oktaviyanti
dr. Deny Prima Oktaviyanti
No. ID dan Nama Pendamping: dr. Namira
Wahana :RSU Islam Harapan
Anda, Tegal
TOPIK : PPOK Eksaserbasi Akut
Tanggal (Kasus) : 13 Januari
2020
Nama Pasien : Tn. S No. RM : 519929
Tanggal Presentasi : Pendamping : dr. Namira
Tempat Presentasi : RSU Islam Harapan Anda Tegal
OBJEKTIF PRESENTASI
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnosti  Manajemen  Masalah  Istimewa
k
 Neonatus  Bayi  Ana  Remaja  Dewas  Lansia  Bumil
k a
 Deskripsi :
Tn. S usia 69 tahun dibawa keluarganya dengan keluhan sesak nafas
 Tujuan :
Mengetahui segala aspek tentang penyakit pasien dan penanganannya
Bahan  Tinjauan  Riset  Kasus  Audit
Bahasan Pustaka
Cara  Diskusi  Presentas  E-mail  Pos
Membahas i dan
Diskusi
I. HASIL PEMBELAJARAN

A. SUBYEKTIF
1. Keluhan Utama:
Sesak nafas
2. Keluhan Penyerta:
Batuk
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Tn. S usia 69 tahun, dibawa keluarganya ke IGD RSU Islam
Harapan Anda pada tanggal 13 Januari pukul 11.26 WIB dengan
keluhan sesak nafas. Sesak dirasakan sejak ± 2 minggu dan semakin
memberat sejak 2 hari yang lalu. Sesak dirasakan terus-menerus, tidak
berkurang dengan istirahat.
Riwayat penurunan berat badan yang drastis dalam waktu singkat
disangkal. Berkeringat saat malam hari disangkal. Riwayat nyeri dada
disangkal, riwayat batuk berdarah disangkal. Riwayat merokok(+)
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
a. Riwayat penyakit paru disangkal
b. Riwayat asma disangkal
c. Riwayat penyakit darah tinggi disangkal
d. Riwayat penyakit diabetes mellitus disangkal
e. Riwayat penyakit jantung disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga:
Hanya pasien yang memiliki keluhan seperti ini.
6. Sosial Ekonomi:
Pasien merokok sejak berumur 20 tahun dan Pasien merokok ± 20
batang/hari selama ± 30 Tahun. Indeks Brinkman (IB) : 30 tahun x 20
batang/hari = 600  perokok berat.
Biaya pengobatan pasien menggunakan Badan Penyelenggaraan
Jaminan Sosial kesehatan (BPJS) PBI.
B. OBYEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan umum: tampak sakit sedang
B. Kesadaran : composmentis
C. Vital sign
 Tekanan darah : 108/69 mmHg
 Nadi : 97x/menit
 Pernafasan : 28x/menit
 Suhu : 36,9º C
 SpO2 : 96%
D. Status Generalisata
- Kepala : normocephal
- Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
reflek cahaya (+/+)
- Hidung : Tidak ada pernafasan cuping hidung, mukosa tidak
hiperemis, sekret tidak ada, tidak ada deviasi
septum
- Telinga : Simetris, tidak ada kelainan, otore (-/-)
- Mulut : Bibir tidak sianosis, gusi tidak ada perdarahan,
lidah tidak kotor,faring tidak hiperemis
- Leher : Tidak ada deviasi trakhea, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid dan getah bening, JVP tidak meningkat
- Thorax
 Paru-paru :
- Inspeksi : Bentuk dan pergerakan pernafasan kanan-kiri
simetris
- Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan-kiri
- Perkusi : hipersonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi: Suara nafas vesikuler pada seluruh lapangan
paru, wheezing (+/+), ronkhi (+)
 Jantung :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba.
- Perkusi : Batas atas sela iga III garis mid klavikula kiri
Batas kanan sela iga V garis sternal kanan
Batas kiri sela iga V garis midklavikula kiri
- Auskultasi: Bunyi jantung I – II murni, murmur (-)
 Abdomen :
- Inspeksi : Perut datar simetris
- Palpasi : Hepar dan Lien tidak membesar, nyeri tekan
epigastrium (-), nyeri lepas (-), defans muskuler (-)
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Ekstremitas
- Superior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-)
- Inferior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-)

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium Darah
LABORATORIUM DARAH
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hematologi 13 Januari 2020
Hemoglobin 12,8(L) g/dl 13,2 – 17,3
Hematokrit 38,3(L) % 40 – 52
Eritrosit 4,68 jt/uL 4,50 – 5,50
Leukosit 18.400(H) uL 3.800-10.600
Trombosit 108.000(L) uL 150.000 – 440.000
MCH 27,4 Pg 26.0-34.0
MCV 81,8 fL 80.00-100.0
MCHC 33,4 g/dL 32.0-36.0
Hitung Jenis
Lym % 3,9(L) % 20-40
Mxd% 11,2(H) % 0-10
Neut% 84,9(H) % 50-70
Kimia klinik
Glukosa sewaktu 120(H) mg/dL 74 - 110

b. Pemeriksaan EKG

Interpretasi EKG : Sinus Rhytm

c. Pemeriksaan Rontgen Thorax

C. ASSESMENT
PPOK Eksaserbasi Akut
D. PLAN
IGD
a. O2 nasal kanul 2 lpm
b. Infus RL 20 tpm
c. Inj. Metilprednisolon 2x1/2 amp
d. Nebulizer combivent 3x1
e. Po ambroxol 3x1 tab
Advice Sp.P
a. Infus RL 20 tpm
b. O2 nasal kanul 3 lpm
c. Drip aminofilin 2x1/2 amp
d. Inj dexamethason 2x1 amp iv
e. Nebulizer combivent 3x1
f. Po salbutamol 2x2mg
g. Po cefixim 3x100mg

E. CATATAN MEDIS RAWAT INAP


Tang S O A P
gal
13/01 Sesak - Ku: tampak PPOK - O2 nasal kanul 3
/20 nafas, sakit sedang Eksaserbas lpm
batuk - GCS: E4M6V5 i Akut - Infus RL 20 tpm
- TD:110/90 - Inj.metylprednisol
mmHg on 2x1/2 amp
- HR:88x/ - Nebulizer
menit,irama combivent 3x1
teratur isi - Po ambroxol 3x1
tekanan cukup.
- Suhu: 36,6o C
- RR:26x/
menit,reg
- SpO2 : 99%
- Pulmo : Rh
(+/+) , Wh
(+/+)

14/01 Sesak - Ku:tampak PPOK - Infus RL 20 tpm


/20 nafas, sakit sedang Eksaserbas - O2 nasal kanul 3
batuk - GCS: E4M6V5 i Akut lpm
- TD:100/60 - Drip aminofilin
mmHg 2x1/2 amp
- HR:97x/ - Inj dexamethason
menit,irama 2x1 amp iv
teratur isi - Nebulizer
tekanan cukup. combivent 3x1
- Suhu: 36,8o C - Po salbutamol
- RR:26x/ 3x2mg
menit,reg - Po cefixim
- SpO2 : 99% 3x100mg
- Pulmo : Rh +/+
minimal, wh -/-

15/01 Sesak - Ku:tampak PPOK - Infus RL 20 tpm


/20 (-) sakit sedang Eksaserbas - Inj.
batuk - GCS: E4M6V5 i Akut Dexamethason
minima - TD:110/60 2x1amp iv
l mmHg - Po salbutamol
- HR:90x/ 3x2mg
menit,irama - Po ambroxol 3x1
teratur isi tab
tekanan cukup. - Po cefixim
- Suhu: 36,5o C 3x100mg
- RR:20x/
menit,reg
- SpO2 : 99%
- Pulmo : Rh
-/-,wh -/-

16/01 Batuk - Ku:tampak PPOK - Infus RL 20tpm


/20 mulai sakit sedang Eksaserbas - Inj
berkura - GCS: E4M6V5 i Akut dexamethason
ng, - TD:120/80 2x1gr
sesak mmHg - Po cefixim
disangk - HR:96x/ 2x100mg
al menit,irama - Po salbutamol
teratur isi 2x2mg
tekanan cukup. - Po ambroxol 3x1
- Suhu: 36,8o C
- RR:20x/ Pasien rencana

menit,reg pulang

- SpO2 : 99% Obat pulang :

- Pulmo : Rh - Ambroxol 3x1

-/-,wh -/- tab


- Cefixim
3x100mg
- Salbutamol
2x2mg
Kontrol tgl
20/01/20
F. DIAGNOSIS KERJA
PPOK Eksaserbasi Akut

G. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Penyakit paru obstuktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya
reversible, bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru.
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD, 2013),
PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan
limitasi aliran udara yang persisten dan progresif akibat respons inflamasi kronik
pada jalan napas dan parenkim paru yang disebabkan gas atau partikel beracun.
2. Epidemiologi
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan salah satu penyakit yang menjadi
masalah kesehatan global saat ini. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas
berbeda di tiap negara dan terus mengalami peningkatan. Hal ini berhubungan
dengan meningkatnya usia harapan hidup rata-rata masyarakat dan semakin
tingginya pajanan terhadap faktor risiko.
Jumlah penderita PPOK pada tahun 2006 untuk wilayah Asia diperkirakan
sekitar 56,6 juta dengan prevalensi 6,3%. Di Cina angka kasus mencapai 38,16
juta jiwa, sedangkan di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta jiwa pasien
dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa meningkat seiring semakin banyaknya
jumlah perokok, karena 90% penderita PPOK adalah perokok atau mantan
perokok.

3. Etiologi
Banyak hal yang dapat menjadi penyebab penyakit paru obstruktif kronis,
diantaranya yaitu:
1. Merokok
Penelitian menyebutkan bahwa kebiasaan merokok merupakan penyebab
terbanyak terjadinya PPOK. Kejadian PPOK karena merokok mencapai 90%
kasus. Merokok sigaret mempengaruhi makrofag untuk melepaskan faktor
kemotaktik dan elastase, yang akan menyebabkan kerusakan jaringan. Secara
signifikan, PPOK berkembang pada 15% perokok sigaret, walaupun jumlah ini
pasti bukan nilai sebenarnya. Usia memulai merokok, jumlah bungkus
pertahun, dan status merokok saat ini memprediksi mortalitas.
Orang yang merokok mengalami penurunan FEV 1: secara fisiologis
normal, penurunan FEV1diperkirakan sekitar 20-30 ml/tahun, tetapi pada pasien
PPOK biasanya menurun 60 ml/tahun atau lebih besar. Sebuah studi
menyimpulkan bahwa gangguan fungsi paru dan perubahan struktural paru
sudah muncul pada perokok sebelum tanda klinis obstruksi muncul.
2. Faktor Lingkungan
PPOK juga dapat terjadi pada individu yang tidak pernah merokok.
Walaupun peran polusi udara sebagai etiologi PPOK tidak jelas, efeknya lebih
kecil bila dibandingkan dengan merokok. Pada negara berkembang,
penggunaan bahan bakar biomass serta memasak dan memanaskan dalam
ruangan kemungkinan juga menjadi penyumbang terbesar dalam prevalensi
PPOK.
3. Hiperesponsif jalan napas
Pasien PPOK juga memiliki kecenderungan adanya hiperesponsif jalan
napas, seperti pada asma. Tetapi PPOK dan asma benar-benar berbeda. Asma
dilihat sebagai fenomena alergi, sedangkan PPOK merupakan hasil dari
kerusakan dan radang karena rokok. Studi longitudinal yang membandingkan
kepekaan saluran napas pada awal studi yang kemudian mengalami penurunan
fungsi paru telah menunjukkan bahwa peningkatan kepekaan saluran napas
secara jelas merupakan prediktor penurunan fungsi paru di waktu mendatang.
Tetapi studi ini masih belum jelas.
4. Sindroma Imunodefisiensi
Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan faktor resiko
untuk PPOK, bahkan setelah mengontrol variabel pengganggu seperti merokok,
obat IV, ras dan usia. Pada pasien defisiensi autoimun dan infeksi
Pneumocystis carinii terjadi kerusakan paru yang kortikal dan apikal.
5. Gangguan Jaringan Ikat
Cutis laxa adalah gangguan elastin yang digambarkan terutama dengan penuaan
prematur. Penyakit ini biasanya kongenital dengan bermacam bentuk penurunan
(mis. dominan, resesif). Emfisema prekoks dihubungkan dengan cutis laxa sejak
dari periode neonatus atau bayi. Patogenesis penyakit ini karena defek sintesis
elastin atau tropoelastin. Sindrom Marfan yaitu penyakit autosomal dominan
kolagen tipe I, ditemukan sekitar 10% pasiennya mengalami abnormalitas paru,
termasuk emfisema.

4. Patogenesis
PPOK dapat terjadi karena berbagai mekanisme patogenesis. Patogenesis
terjadinya PPOK diantaranya adalah:
1. Hipotesis Proteinase-antiproteinase
Hipotesis proteinase-antiproteinase didasarkan pada asumsi bahwa
kerusakan jaringan dan emfisema terjadi karena ketidakseimbangan proteinase
dan inhibitornya. Telah dinyatakan bahwa ada peningkatan kuantitas enzim
pendegradasi elastik dibandingkan inhibitornya pada emfisema. Konsep ini
diusulkan untuk emfisema yang digambarkan dengan defisienasi AAT. Pasien
dengan defisiensi AAT mengalami mutasi pada gen AAT. Mutasi Z adalah
mutasi paling umum dan mutasi ini menggangu sekresi protein dari hepatosit.
Hasilnya ditandai dengan penuruan level penghambat serin protease di
sirkulasi. Dilaporkan bahwa PiZ-α1 AT cenderung mengalami polimerisasi
yang dapat menghambat sekresi hepatik, menggangu inhibisi elastase netrofil
dan menyebabkan inflamasi. Matrix metalloproteinases (MMP) memiliki
kemampuan untuk membelah protein struktural seperti kolagen dan elastin,
sehingga berperan dalam patogenesis PPOK. Peningkatan banyak Matrix
Metalloprotein dilaporkan pada emfisema karena rokok dan 3 MMP (MMP-2, -
9, dan 12) mendegradasi elastin Protease lain yang berperan penting dalam
patogenesis PPOK adalah cathapsins S, L (dalam makrofag), dan G, serta
proteinase-3 (dalamnetrofil).
2. Mekanisme Imunologis
PPOK berhubungan dengan respon inflamasi paru yang abnormal
terhadap partikel atau gas berbahaya, terutama rokok. Pasien dengan PPOK
dilaporkan mengalami peningkatan netrofil di sputum, jaringan paru dan
bronchoalveolar lavage (BAL) dan neutrofil berperan penting dalam
patogensis PPOK. Level serum immunoglobulin free light chains (IgLC)
meningkat pada PPOK karena rokok. IgLC mengikat netrofil dan cross-linking
IgLC pada netrofil menghasilkan peningkatan produksi IL8yang merupakan
atraktan selektif untuk netrofil. Sel B juga meningkat pada pasien PPOK dan
sel ini memproduksi IgCL, selain memproduksi IgG dan IgA. Level serum IgE
juga meningkat dan berhubungan dengan merokok.
3. Keseimbangan Oksidan-antioksidan
Stress oksidatif dapat menggangu vasodilatasi dan pertumbuhan sel
endotel. Ketika oksidan melebihi antioksidan paru; modifikasi protein, lemak,
karbohidrat, dan DNA terjadi dan menghasilkan kerusakan jaringan. Oksidan
tersebut dapat memodifikasi elastin, sehingga lebih rentan terhadap
pembelahan proteolitik. Merokok dapat menginaktivasi histone deacetylase
(HDAC2) dan menyebabkan transkripsi kemokin/sitokin netrofil (TNF-α dan
IL-8) dan MMP sehingga terjadi degradasi matriks yang mendukung
terbentuknya emfisema.
4. Inflamasi Sistemik
PPOK juga memiliki manifestasi ekstrapulmomal. Dinyatakan bahwa
inflamasi pulmonal persisten dapat menyebabkan pelepasan kemokin dan
sitokin proinflamasi ke sirkulasi. Mediator ini dapat menstimulasi liver,
jaringan adiposa dan sumsum tulang untuk melepaskan sejumlah leukosit,
CRP, interleukin (IL)-6, IL-8, fibrinogen dan TNF-α ke sirkulasi dan
menyebabkan inflamasi sistemik. Inflamasi sistemik dapat memulai atau
memperburuk penyakit komorbid, seperti penyakit jantung iskemik,
osteoporosis, anemia normositik, kanker paru, depresi, dan lain-lain.
5. Apoptosis
Studi terbaru menyatakan bahwa apoptosis terlibat dalam perkembangan
PPOK dan telah ditunjukkan adanya peningkatan apoptosis epitel alveolar dan
sel endotel di paru pasien PPOK.Karena tidak diimbangi dengan peningkatan
proliferasi protein struktural, maka hal ini akan berakhir dengan kerusakan
jaringan paru dan emfisema.
6. Perbaikan yang Tidak Efektif
Ada perbaikan yang tidak efektif pada emfisema dan keterbatasan
kemampuan paru dewasa untuk memperbaiki alveolus yang rusak.

5. Patofisiologi
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh PPOK merupakan konsekuensi dari
mekanisme patofisiologi PPOK, diantaranya adalah:
1. Pembatasan Aliran udara dan Udara yang Terjebak
Inflamasi luas, fibrosis dan eksudat lumen pada saluran pernapasan kecil
berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC, dan mungkin
dengan percepatan penurunan FEV1 (karakteristik PPOK), obstruksi saluran
napas ini akan menjebak udara saat ekspirasi dan menyebabkan hiperinflasi.
Emfisema juga berperan dalam menjebak udara selama ekspirasi. Hiperinflasi
mengurangi kapasitas inspirasi demikian juga kapasitas residual fungsional
meningkat, khususnya selama aktivitas, menghasilkan peningkatan dispnea dan
keterbatasan kapasitas saat aktivitas. Hiperinflasi berkembang pada tahap awal
penyakit dan menjadi mekanisme utama dispnea saat aktivitas.
2. Abnormalitas Pertukaran Gas
Abnormalitas pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia.
Distribusi abnormal rasio ventilasi-perfusi adalah mekanisme pertukaran gas
abnormal pada PPOK. Umumnya transfer oksigen dan karbon dioksida
memburuk selama perjalanan penyakit. Hal ini menyebabkan retensi karbon
dioksida saat dikombinasikan dengan penurunan ventilasi selama kerja
pernapasan tinggi karena obstruksi berat dan hiperinflasi bersamaan dengan
gangguan dari otot ventilasi.
3. Hipersekresi Mukus
Hipersekresi mukus adalah abnormalitas fisiologis pertama pada PPOK.
awalnya adalah stimulasi sekresi dari kelenjar mukus yang membesar. Lama
kelaman hipersekresi mukus terjadi karena metaplasia epitel skuamosa.
Hipersekresi mukus ini menghasilkan batuk produktif yang kronis. Pasien
dengan hipersekresi mukus adalah bila terjadi peningkatan jumlah sel goblet
dan pembesaran kelenjar submukosa.
4. Hipertensi Pulmonal
Terjadi pada kasus PPOK yang sudah lama, biasanya setelah terjadi
abnormalitas pertukaran gas. Faktor yang berkontribusi menyebabkan
hipertensi pulmonal pada PPOK termasuk vasokonstriksi, disfungsi endotel,
dan remodelling arteri pulmonal. Kombinasi ini mungkin suatu saat
menyebabkan pembesaran ventrikel jantung kanan. Ada respon inflamasi pada
pembuluh darah yang sama dengan yang terjadi pada saluran napas. Emfisema
dan hilangnya capillary bed juga berkontribusi terjadinya peningkatan tekanan
di sirkulasi pulmonal.
5. Gambaran Sistemik
Keterbatasan aliran udara dan khususnya hiperinflasi mempengaruhi
fungsi jantung dan pertukaran gas (Barr et al., 2010). Mediator inflamasi ke
sirkulasi mungkin berkontribusi pada penurunan massa otot skeletal dan
kaheksia, dan mungkin memulai atau memperburuk penyakit komorbid seperti
penyakit jantung iskemik, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik,
diabetes, sindroma metabolik, dan depresi (GOLD, 2013). Efek sistemik ini
berkontribusi pada pembatasan kapasitas aktivitas pada pasien dan
memperburuk prognosis, tidak bergantung pada fungsi paru mereka (Postma,
dan Boezen, 2006).

6. Manifestasi Klinis
Gejala dari PPOK adalah seperti susah bernafas, batuk kronis dan
terbentuknya sputum kronis, episode yang buruk atau eksaserbasi sering muncul.
Salah satu gejala yang paling umum dari PPOK adalah sesak napas (dyspnea).
Orang dengan PPOK umumnya menggambarkan ini sebagai : "Saya merasa
kehabisan napas," atau "Saya tidak bisa mendapatkan cukup udara ".
Orang dengan PPOK biasanya pertama sadar mengalami dyspnea pada saat
melakukan olahraga berat ketika tuntutan pada paru-paru yang terbesar. Selama
bertahun-tahun, dyspnea cenderung untuk bertambah parah secara bertahap
sehingga dapat terjadi pada aktivitas yang lebih ringan, aktivitas sehari-hari
seperti pekerjaan rumah tangga. Pada tahap lanjutan dari PPOK, dyspnea dapat
menjadi begitu burukyang terjadi selama istirahat dan selalu muncul.
Orang dengan PPOK kadang-kadang mengalami gagal pernafasan. Ketika ini
terjadi, sianosis, perubahan warna kebiruan pada bibir yang disebabkan oleh
kekurangan oksigen dalam darah, bisa terjadi. Kelebihan karbon dioksida dalam
darah dapat menyebabkan sakit kepala, mengantuk atau kedutan (asterixis). Salah
satu komplikasi dari PPOK parah adalah cor pulmonale, kejang pada jantung
karena pekerjaan tambahan yang diperlukan oleh jantung untuk memompa darah
melalui paru-paru yang terkena dampak. Gejala cor pulmonale adalah edema
perifer, dilihat sebagai pembengkakan pada pergelangan kaki, dan dyspnea.

7. Diagnosis
Dalam mendiagnosis PPOK sama seperti mendiagnosis penyakit lain, yaitu
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis
PPOK harus dipertimbangkan pada pasien yang mengalami dispnea, batuk
kronis atau produksi sputum berlebihan, dan riwayat terpajan faktor resiko
penyakit. Nilai spirometri dibutuhkan untuk membuat diagnosis dalam konteks
klinis. Adanya nilai FEV1/FVC postbronkodilator <0.70 memastikan adanya
pembatasan aliran udara yang persisten dan merupakan PPOK.
1.Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan beberapa hal untuk melihat adanya riwayat medis
pasien yang berhubungan dengan PPOK, yaitu:
a. Pajanan terhadap faktor resiko, seperti asap rokok, pajanan di pekerjaan
atau lingkungan
b. Riwayat medis terdahulu, termasuk asma, alergi, sinusitis, atau polip nasal;
infeksi respirasi saat anak-anak dan penyakit pernapasan lainnya
c. Riwayat PPOK pada keluarga atau penyakit pernapasan kronis lainnya
d. Pola perkembangan gejala: PPOK biasanya berkembang pada usia dewasa
dan kebanyakan pasien sadar akan peningkatan kesulitan bernapas dan
beberapa keterbatasan sosial beberapa tahun sebelum mencari bantuan
pengobatan medis
e. Riwayat eksaserbasi atau rawat inap karena penyakit pernapasan terdahulu
f. Adanya penyakit komorbid: gangguan jantung, osteoporosis, gangguan
muskuloskeletal, dan keganasan yang juga berperan dalam pembatasan
aktivitas.
g. Dampak penyakit dalam kehidupan pasien, kehilangan pekerjaan dan
dampak ekonomi, efek dalam rutinitas keluarga, merasa cemas dan depresi,
serta gangguan aktivitas seksual
h. Kemungkinan menurunkan faktor resiko, misalnya berhenti merokok
Dalam anamnesis juga akan didapatkan gejala dan keluhan-keluhan yang
disampaikan pasien tentang penyakitnya. Gejala-gejala pada PPOK
diantaranya adalah:
a. Batuk
Batuk bisa saja hanya sebentar (pagi awal) awalnya, secara progresif ada
terus sepanjang hari, tetapi jarang nokturnal. Batuk kronis biasanya
produktif dan sering diabaikan dengan anggapan sebagai konsekuensi
dari merokok. Sinkop batuk atau fraktur kosta karena batuk mungkin
terjadi.
b. Produksi Sputum
Sputum mulai terjadi pada pagi hari tetapi lama-kelamaan akan muncul
terus sepanjang hari. Sputum bersifat mukoid dan berjumlah sedikit.
Produksi sputum ≥3 bulan dalam 2 tahun adalah definisi epidemiologi
dari bronkitis kronis. Perubahan warna sputum (purulen) atau volume
memberi kesan terjadi eksaserbasi infeksius. Produksi sputum sering sulit
dievaluasi karena pasien mungkin lebih memilih menelannya
dibandingkan membuangnya. Pasien yang memproduksi sputum dengan
jumlah besar mungkin memiliki penyakit bronkiektasis.
c. Dispnea
Biasanya progresif dan seiring berjalan waktu menjadi persisten. Saat
onset, gejala ini terjadi saat aktivitas (naik tangga, mendaki bukit, dll)
dan dapat dihindari dengan perubahan perilaku yang tepat (mis.
menggunakan elevator). Bagaimanapun, selama penyakit berkembang,
dispnea bahkan akan muncul dalam aktivitas ringan atau istirahat.
Dispnea menjadi penyebab utama ketidakmampuan dan kecemasan yang
dialami pasien berhubungan dengan penyakitnya.
d. Mengi dan Dada Sesak
Mengi dan dada sesak merupakan gejala tidak spesifik dan mungkin
bervariasi setiap hari. Mengi yang dapat terdengar mungkin berasal dari
laring. Dada sesak sering diikuti usaha dalam bernapas, berasal dari
kontraksi isometrik otot-otot interkostal.
e. Gambaran pada Penyakit Berat
Lelah, penurunan berat badan dan anoreksia adalah masalah utama pasien
dengan PPOK gejala berat dan sangat berat. Sinkop batuk terjadi karena
peningkatan cepat dari tekanan intratorakal selama serangan jangka panjang
batuk. Batuk yang parah ini juga bisa menyebabkan fraktur kosta yang
biasanya asimptomatis. Tanda-tanda kor-pulmonale juga menunjukkan
keadaan penyakit yang buruk. Selain itu, mungkin pasien akan mengalami
gejala depresi atau gangguan kecemasan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien PPOK yang masih dini biasanya tidak
menunjukkan kelainan. Seiring dengan perjalanan penyakit, muncullah
beberapa tanda dan gejala yang makin lama akan makin khas menjadi
gejala PPOK. PPOK memberikan tanda berupa gangguan baik pada sistem
pernapasan maupun sistemik.
a. Tanda Pernapasan
Inspeksi: barrel chest, pursed-lips breathing, gerakan tidak normal dari
dada/abdomen dan penggunaan otot-otot pernapasan. Semua ini
merupakan tanda pembatasan aliran udara, hiperinflasi dan gangguan
mekanis dari bernapas.
Palpasi: ditemukan fremitus melemah pada emfisema.
Perkusi: penurunan letak diafragma, suara timpani karena hiperinflasi, hati
dapat teraba.
Auskultasi: suara napas vesikuler normal, atau melemah, terdapat ronki
dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa,
ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh.
b. Tanda Sistemik
Distensi vena leher, pembesaran hatidan edema perifer dapat terjadi karena
cor pulmonale atau selama inflasi yang parah.
Kehilangan massa otot dan kelemahan otot perifer yang konsisten dengan
malnutrisi dan/atau disfungsi otot skelet.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai dalam mendiagnosis PPOK
adalah:
a. Pemeriksaan darah rutin
Untuk melihat nilai Hb, Ht, leukosit, dll. Peningkatan sel darah merah
(eritrositosis), terjadi ketika level oksigen di darah rendah (hipoksemia)
dalam waktu yang lama. Sel darah merah membawa oksigen di darah.
Karena kerusakan paru, pasien PPOK tidak dapat memperoleh cukup
udara. Sehingga reaksi tubuh adalah meningkatkan produksi sel darah
merah untuk meningkatkan jumlah oksigen di darah.
b. Pemeriksaan faal paru dengan spirometri
Pemeriksaan faal paru merupakan hal yang esensial untuk diagnosis dan
penilaian keparahan penyakit, dan juga membantu memantau progresnya.
Nilai yang didapat dari pemeriksaan dengan spirometri adalah FVC,
FEV1dan FEV1 /FVC.Penurunan nilai dari ketiga parameter diatas
menunjukkan adanya gangguan dalam faal paru. Nilai FEV 1 yang
didapatkan dari hasil spirometri adalah indeks yang paling sering
digunakan untuk menilai obstruki aliran udara, menilai beratnya PPOK
dan juga untuk memantau perjalanan penyakit.
c. Pemeriksaan Radiologi
Harus dilakukan pada semua pasien. Pemeriksaan radiologi memang
tidak sensitif untuk diagnosis, tetapi membantu dalam menyingkirkan
penyakit lain (pneumonia, kanker, efusi pleura, dan pneumotoraks).
Umum walaupun tidak spesifik, tanda emfisema adalah diafragma yang
mendatar, radiolusensi paru yang ireguler. Bronkitis kronis berhubungan
dengan peningkatan tanda bronkovaskular dan kardiomegali. Dengan
komplikasi hipertensi pulmonal, bayangan vaskular hilus menjadi sering,
dengan kemungkinan adanya pembersaran ventrikular kanan.
d. Analisa Gas Darah Arteri (AGDA)
Analisa gas darah arteri memberikan petunjuk tentang keakutan dan
keparahan eksaserbasi dari penyakit. Pasien PPOK mengalami
hipoksemia ringan sedang tanpa hiperkapnia. Seiring perjalanan
penyakit, hipoksemia memburuk dan hiperkapnia mulai berkembang.
Mekanisme paru dan pertukaran gas memburuk selama eksaserbasi akut.
Umumnya ada mekanisme kompensasi ginjal yang terjadi bahkan saat
CO2 yang kronisbertahan dalam tubuh (bronkitis); sehingga pH biasanya
mendekati normal. Biasanya, bila didapati pH dibawah 7,3 dapat menjadi
tanda gangguan akut dari sistem pernapasan.
e. Evaluasi Sputum
Pada bronkitis kronis stabil, sputumnya mukoid dan makrofag sangat
banyak. Dengan eksaserbasi, sputum menjad purulen karena adanya
neutrofil. Peningkatan jumlah sputum merupakan tanda eksaserbasi akut
(Mosenifar, 2013). Beberapa organisme yang sering ditemukan dari
kultur adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae.
Moraxella catarrhalis juga sering, dan Pseudomonas aeruginosa dapat
ditemukan pada pasien dengan obstruksi berat.
f. Pemeriksaan Alfa-1 Antitripsin
Pasien dengan tingkat AAT rendah, diagnosis definitifnya membutuhkan
penentuan tipe Pi. Hal ini dilakukan dengan fokus isoelektris pada serum yang
mewakili lokus Pi untuk alel umum dan alel Pi lain yang jarang. Molecular
genotyping DNA dapat dilakukan untuk alel Pi yang umum. 7
Tingkat α1-
antitripsinharus diperkirakan pada pasien PPOK muda (dekade 4 atau 5) dan
memiliki riwayat keluarga yang kuat. Nilai serum α1-antitripsin <15–20% dari
batas normal merupakan tanda dari defisiensi α1-antitripsin.

8. Derajat PPOK
Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru
Indonesia) maka PPOK dikelompokkan ke dalam :
a. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa
produksi sputum dan dengan sesak napas derajat nol sampai satu. Sedangkan
pemeriksaan Spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥ 80% prediksi (normal) dan
VEP1/KVP < 70 %.
b. PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan
atau produksi sputum dan sesak napas dengan derajad dua. Sedangkan
pemeriksaan Spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥ 70% dan VEP1/KVP < 80%
prediksi
c. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajad tiga atau
empat dengan gagal napas kronik. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai
komplikasi kor pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri
menunjukkan VEP1/KVP < 70 %, VEP1< 30 % prediksi atau VEP1> 30 %
dengan gagal napas kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pe-meriksaan analisa
gas darah dengan kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau hipokse-mia
dengan hiperkapnia.

Derajat PPOK Berdasarkan Kriteria GOLD


Kriteria GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease) adalah suatu kriteria yang dipakai secara internasional yang
merupakan kolaborasi antara National Institutes of Health (NIH) danWorld
Health Organization (WHO) dalam menentukan derajat keparahan pada pasien
PPOK.
Kriteria GOLD untuk PPOK mengklasifikasikan penderita PPOK
berdasarkan derajat pembatasan aliran udara (obstruksi). Selain untuk
mengklasifikasikan, kriteria GOLD ini juga berguna untuk mendiagnosis
obstruksi. Derajat keparahan PPOK dinilai berdasarkan nilai dari hasil
pemeriksaan spirometri.
Nilai spirometri yang digunakan dalam penentuan kriteria GOLD adalah:
1. FVC (Forced Vital Capacity) atau Kapasitas Vital Paksa adalah total volume
udara yang dapat pasien keluarkan secara paksa dalam sekali bernapas.
2. FEV1 (Forced Expiratory Volume in One Second ) atau Volume Ekspirasi
Paksa detik 1 adalah volume udara yang dapat dikeluarkan pasien dalam detik
pertama saat ekspirasi paksa.
3. FEV1 /FVC adalah rasio FEV1 terhadap FVC yang dinyatakan dalam fraksi.
Kriteria spirometri yang diperlukan dalam kriteria GOLD untuk diagnosis
derajat keparahan PPOK adalah FEV1 /FVC setelah pemberian bronkodilator :

Tabel 2.1 Kriteria GOLD untuk Derajat Keparahan PPOK


Derajat Karakteristik

I : PPOK Ringan FEV1/FVC < 0,70%


FEV1 ≥ 80% prediksi
II: PPOK Sedang FEV1/FVC < 0,70%
50% ≤ FEV1 ≤ 80% prediksi
III: PPOK Berat FEV1/FVC < 0,70%
30% ≤ FEV1 ≤ 50% prediksi
IV: PPOK Sangat Berat FEV1/FVC < 0,70%
FEV1< 30% prediksi atau
FEV1< 50% prediksi ditambah
Gagal nafas kronik

Mild COPD atau PPOK ringan, pada tahap ini pasien mungkin belum menyadari
bahwa fungsi parunya tidak normal.
Moderate COPD atau PPOK sedang, gejala biasanya berkembang pada tahap ini,
dengan napas yang memendek saat melakukan aktivitas.
Severe COPD atau PPOK berat, pemendekan nafas semakin buruk pada tahap
ini dan sering membatasi aktivitas harian pasien. Eksaserbasi biasanya mulai
dapat terlihat pada tahap ini.
Very severe COPD atau PPOK sangat berat, pada tahap ini kualitas hidup
sudah sangat terganggu dan eksaserbasi pada pasien bisa mengancam jiwa.

9. Penatalaksanaan
Adapun tujuan dari penatalaksanaan PPOK ini adalah :
- Mencegah progresifitas penyakit
- Mengurangi gejala
- Meningkatkan tolenransi latihan
- Mencegah dan mengobati komplikasi
- Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
- Mencegah dan meminimalkan efek samping obat
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualitas hidup penderita
- Menurunkan angka kematian
Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu
tujuan selama tata laksana PPOK.
a. Terapi Farmakologis
 Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau
obat berefek panjang (long acting).
Macam-macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis beta-2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidka dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
 Kortikosteroid
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
 Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan:2
Lini I: amoksisilin
Makrolid
Lini II: amoksisilin dan asam kluvanat
Sefalosporin, kuinolon, makrolid baru
 Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N-
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
 Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.

b. Terapi non-farmakologis
 Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel
baik di otot maupun organ-organ lainnya. Manfaat oksigen :
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualitas hidup
Indikasi :
Pao2< 60 mmHg atau Sat O2< 90%
Pao2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2> 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan
Pulmonal, Ht > 55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit
paru lain.
 Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas
akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat
berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di
ruang ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik dapat digunakan dengan cara :
- Ventilasi mekanik dengan intubasi
Digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan
selama di rumah.
- Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Noninvasive Intermitten
Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pressure Ventilation (NPV).
 Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadinya hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
 Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup pendita PPOK. Program rehabilitasi terdiri dari 3
komponen yaitu :
- Latihan fisik
- Latihan pernapasan dan latihan endurance
- Rehabilitasi psikososial

Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya
seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.
Gejala eksaserbasi :
- Sesak bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga :
a. Tipe (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran
napas atas lebihdari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatanfrekuensi pernapasan > 20% baseline, atau
frekuensi nadi > 20% baseline.
Penyebab eksaserbasi akut
Primer :
- Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)
Sekunder :
- Pnemonia
- Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia
- Emboli paru
- Pneumotoraks spontan
- Penggunaan oksigen yang tidak tepat
- Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat
- Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit)
- Nutrisi buruk
- Lingkunagn memburuk/polusi udara
- Aspirasi berulang
- Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi)
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk
eksaserbasi yang ringan) ataudi rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat).
Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang
telah diedukasidengan cara :
-Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator
yangdigunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebuliser
- Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
- Menambahkan mukolitik
- Menambahkan ekspektoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara
rawat jalan atau rawatinap dan dilakukan di :
1. Poliklinik rawat jalan
2. Unit gawat darurat
3. Ruang rawat
4. Ruang ICU
Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi
segera eksaserbasi yangterjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah
menjadi gagal napas segera atasi untukmencegah kematian. Beberapa hal yang
harus diperhatikan meliputi :

1. Diagnosis beratnya eksaerbasi


- Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal
- Kesadaran
- Tanda vital
- Analisis gas darah
- Pneomonia
2. Terapi oksigen adekuat
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam
jiwa. dapat dilakukandi ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Sebaiknya
dipertahankan Pao2 > 60 mmHgatau Sat O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia.
gunakan sungkup dengan kadar yang sudahditentukan (ventury masks) 24%, 28%
atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing ataunonrebreathing,
tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat
mencapaikondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam
penggunaan ventilasimekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure
Ventilation (NIPPV), bila tidakberhasil ventilasi mekanik digunakan dengan
intubasi.
3. Pemberian obat-obatan yang maksimal
Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut
a. Antibiotik
- Peningkatan jumlah sputum
- Sputum berubah menjadi purulen
- Peningkatan sesak
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan
komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah
sakit sebaiknya per drip ataui ntravena, sedangkan untuk rawat jalan bila
eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat
diberikan tunggal.
b. Bronkodilator
Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan
peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunkan dengan cara yang
tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan
penggunaan nebuliser yang memakai oksigen sebagai kompressor, karena
penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan
retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersama-sama dengan bronkodilator
lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di
rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebulizer, dengan
pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai
efek samping bronkodilator.
c. Kortikosteroid
Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada
eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2
minggu, pada derajat beratdiberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2
minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak
menimbulkan efek samping.

4. Nutrisi adekuat
untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia berkepanjangan,dan
menghindari kelelahan otot bantu napas

5.Ventilasi mekanik
Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaerbasi berat akan
mengurangi mortaliti danmorbiditi, dan memperbaiki simptom. Dahulukan
penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan
intubasi

6.Kondisi lain yang berkiatan


- Monitor balans cairan elektrolit
- Pengeluaran sputum
- Gagal jantung atau aritmia

7.Evaluasi ketat progesiviti penyakit


Penanganan yang tidak adekuat akan memperburuk eksaserbasi dan
menyebabkan kematian. Monitor dan penanganan yang tepat dan segera dapat
mencegah dan gagal napas berat dan menghindari penggunaan ventilasi mekanik.

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi :


- Sesak napas berat, pernapasan > 35 x/menit
- Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal
- Kesadaran menurun
- Hipoksemia berat PaO2 < 50 mmHg
- Asidosis pH < 7,25 dan hiperkapnia Paco2 > 60 mmHg
- Komplikasi kardiovaskuler, hipotensi
- Komplikasi lain, gangguan metabolik, sepsis, pneumonia, barotrauma, efusi
pleura danembolimasif
- Penggunaan NIPPV yang gagal
10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah:
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal
Gagal napas kronik :
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal inimemudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik
ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandaidengan menurunnya kadar limposit
darah.
Kor pulmonal :
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan
DAFTAR PUSTAKA

1. GOLD, 2013. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and


Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease Updated 2013.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 10-17
2. PDPI, 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Persatuan Dokter Paru Indonesia, 1-32
3. World Health Organization. 2012. Chronic obstructive pulmonary disease
fact sheet. WHO Media Center [Online]. [Cited 2014 Aug 8]. Available
from: URL: http://www.who.int/mediacentre
4. Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquet X, 2003.
Systemic Effect of COPD, Eur Respir J; 21; p.347-360
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) diagnosis dan penatalaksanaan. Edisi ke-1. Jakarta: 2011
6. Mosenifar, Zab., 2013. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Available
from http://emedicine.medscape.com/article/297664-overview. [Accessed
10 April 2013].
7. Reilly, J.J., Silverman, E.K., Shapiro, S.D., 2010. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. In: Loscalzo, J., ed. Harrison Pulmonary and Critical
Care 17th edition. New York, USA: Mc-Graw Hill, 178-189
8. Vijayan, V.K., 2013. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Indian J Med
Res, 137: 251-269
9. Shapiro, S.D., Ingenito, E.P., 2005. The Pathogenesis of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease: Advances in the Past 100 Years. Am J
Respir Cell Mol Biol, 32: 367-372.
10. Tkac, J., Man, S.F., Sin, D.D., 2007. Systemic Consequences of COPD.
Ther Adv Respir Dis, 1: 47-59
11. ATS-ERS, 2004. Standards of Diagnosis and Management of Patients of
COPD. American Thoracic Society and European Respiratory Society, 14-
43
12. Putra, G.N.W, Artika, I.D.M, 2013.Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit
Paru Obstruktif Kronis. E-Jurnal Medika Udayana, 2(1)
13. Omeati, R. 2013Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK).Media Litbangkes 23(2): 82-88

Anda mungkin juga menyukai