Anda di halaman 1dari 24

Laporan Kasus

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)


EKSASERBASI AKUT

Oleh:
Desmy Fadillah
C014172104

Pembimbing Akademik Departemen:


Dr. Arif Santoso, Sp.P (K), Ph.D, FAPSR

DEPARTEMEN PULMONOLOGI & KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Desmy Fadillah


NIM: : C014172104
Judul Laporan Kasus : Penyakit Paru Obstruktif KroniK (PPOK) Eksaserbasi Akut

Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Departemen Pulmonologi dan


Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 6 Januari 2019

Supervisor Pembimbing,

(Dr. Arif Santoso, Sp.P, Ph.D, FAPSR)


BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. LR
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tgl. Lahir : 6/10/1952
Umur : 66 tahun
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Makassar
MR : 788337
Perawatan : Infection Centre Lt 2
Tanggal Masuk : 28/12/2018

B. ANAMNESIS
 Keluhan Utama
Sesak Napas
 Anamnesis Terpimpin:
Pasien masuk dengan keluhan sesak napas yang dialami sejak 1 hari sebelum masuk
Rumah Sakit. Sesak dirasakan muncul setelah pasien membersihkan debu rumahnya,
dirasakan terus menerus, dipengaruhi aktivitas dan tidak dipengaruhi oleh perubahan
posisi ataupun cuaca. Batuk ada dirasakan sejak 3 minggu yang lalu dan memberat
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, dirasakan hilang timbul, disertai lendir
berwarna putih dan tidak ada darah. Nyeri dada ada, dirasakan hanya pada saat batuk
dan hilang saat batuk reda. Demam tidak ada, riwayat demam tidak ada. Mual dan
muntah tidak ada. Keringat malam hari tidak ada. Nafsu makan baik, penurunan
berat badan tidak ada. BAB dan BAK kesan normal.
 Riwayat penyakit dahulu:
• Riwayat penyakit sebelumnya ada, dengan keluhan yang sama terakhir kali
dirawat di Palem pada tanggal 13 Januari 2018 dengan diagnosis PPOK
Eksaserbasi Akut.
• Riwayat pengobatan OAT tidak ada
• Riwayat alergi tidak ada
• Riwayat Infeksi saluran napas berulang tidak ada
• Riwayat hipertensi tidak ada
• Riwayat diabetes mellitus tidak ada
• Riwayat penyakit jantung tidak ada
• Riwayat kolesterol tinggi tidak ada.
• Riwayat Psikososial:
• Riwayat merokok ada selama 20 tahun sebanyak 3 bungkus (36 batang)
dalam 1 hari. (Indeks Brinkman = Perokok berat). Pasien sudah berhenti
merokok sejak 20 tahun lalu.
• Pasien merupakan seorang pensiunan PNS, riwayat terpapar zat kimia
berbahaya di lingkungan dan tempat kerja tidak ada.
• Riwayat kontak penderita TB tidak ada

C. PEMERIKSAAN FISIK
 Status Generalisata
Keadaan umum : Sakit Sedang / Gizi Baik / GCS E4M6V5
Berat badan : 65kg
Tinggi badan : 165 m
Indeks massa tubuh : 23,8kg/m2
 Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 120/80mmHg
Denyut jantung : 112x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi pernafasan : 25x/menit, tipe thoracoabdominal
Suhu Tubuh : 36,6 °C
Saturasi O2 : 98% dengan modalitas oksigen nasal kaNul 2L/menit
 Status Lokasi
Kepala : Normosefal
Mata : Konjungtiva pucat tidak ada,ikterus tidak ada
Telinga : Otorrhea tidak ada
Hidung : Rhinorrhea dan epistaksi tidak ada
Mulut : Tidak ditemukan stomatitis, perdarahan gusi(-), dan bibir sianosis
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar, DVS R+2 CM H2O, deviasi
trakea(-)

Paru
Inspeksi : Barrel chest, pergerakan dinding dada simetris kiri dan
kanan saat pernapasan statis dan dinamis, tidak ada venektasi, tidak tampak
massa
Palpasi : Vocal fremitus sama pada kedua hemithorax, nyeri tekan
tidak ada, tidak ada krepitasi, tidak teraba massa
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing +/+ pada kedua
hemithorax

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi :Batas jantung kanan linea parasternalis dextra,
batas kiri linea midclavicularis sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, bising tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik ada, kesan normal
Palpasi : nyeri tekan (-) daerah epigastrium, massa tumor (-), hepar tidak
teraba, lien tidak teraba
Perkusi : Timpani, undulasi (-)
Ekstremitas
Clubbing finger tidak ada, edema tungkai tidak ada, akral hangat.

D. Pemeriksaan penunjang
 Hasil Laboratorium (29/12/2018):
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
WBC 15,7 4.0-10.0 10^3/ul
RBC 4,63 4.00-6.00 10^6/ul
HGB 14,0 12-16 Gr/dl
MCV 90 80-97 Fl
MCH 30 26.5-33.5 Pg
HCT 42 37-48 %
PLT 282 150-400 10^3/ul
NEUT 84,3 52-75 %
LYMPH 8,1 20-40 %
MONO 4,8 2-8 10^3/ul
EOS 2,3 1-3 10^3/ul
BASO 0,08 0-1 10^3/ul
GDS 129 140 Mg/dl
UREUM 27 10-50 Mg/dl
CREATININ 1,12 (p<1,1 L<1.3 Mg/dl
SGOT 27 <38 U/L
SGPT 29 <41 U/L
NATRIUM 138 135-145 Mmol/l
KALIUM 4,0 3.5-5.1 Mmol/l
CHLORIDA 106 97-111 Mmol/l

Kesan: Leukositosis, Neutrofilia

 Foto Thoraks PA (29/12/2018)

Hasil Foto thorax:


- Corakan bronchovaskuler normal
- Tidak tampak proses spesifik pada kedua paru
- Cor: CTI normal, aorta normal
- Kedua sinus dan diafragma baik
- Tulang-tulang intak
- Jaringan lunak sekitar kesan baik
Kesan:
- Tidak tampak kelainan pada foto thorax ini.

 Uji Spirometri (02/01/2019)


- Kapasitas vital : 41.03%
- KVP : 41.03%
- VEP1 : 31.84%
- VEP1/KVP : 54.21%
- APE : 5.70 L/detik
- Kesan : Retriksi Sedang (30-59%), Obstruksi Sedang (30-59%)

ü 4

ü 4
2
ü
ü 3

ü 2

ü 1
ü 4

ü 3

23

E. DIAGNOSIS KERJA
PPOK ( Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Eksaserbasi Akut

F. TATALAKSANA AWAL
 Oksigen nasal kanul 3L/menit
 Inhalasi Combivent 1 amp/ 20 menit/bila belum ada perbaikan dalam 1 jam pertama
 Selanjutnya, Combivent 1 amp/8 jam/inhalasi
 N-acetylsistein 200 mg/8 jam/oral

G. DAFTAR MASALAH
NO ASSESMENT SUBJEKTIF OBJEKTIF RENCANA TERAPI
1. Penyakit Paru Pasien masuk dengan keluhan Pemeriksaan Fisis Oksigen 3 liter per
Obstruksi sesak yang dialami sejak 1 Thoraks: menit via nasal kanul
Kronik hari sebelum masuk rumah - Bentuk dada
Eksaserbasi sakit. Sesak dirasakan muncul barrel chest Short-Acting beta 2
setelah pasien membersihkan - Bunyi nafas agonist:
debu rumahnya, dirasakan bronkovesikuler, Combivent/8jam/
terus menerus, dipengaruhi Rhonki +/+, inhalasi
aktivitas dan tidak Wh+/+
dipengaruhi oleh perubahan Inhaled Corticosteroid
posisi ataupun cuaca. Batuk (ICS):
ada dirasakan sejak 3 minggu -CAT : 23 Pulmicort/12jam/
yang lalu dan memberat sejak -MMrs : 2 inhalasi
3 hari sebelum masuk rumah
sakit, dirasakan hilang timbul, Hasil Spirometri: Mukolitik:
disertai lendir berwarna Retriksi Sedang (30- N-acethylcysteine
putih. Riwayat merokok ada 59%), Obstruksi 200mg/8jam/oral
selama 20 tahun sebanyak 36 Sedang (30-59%)
batang dalam 1 hari (Indeks
Brinkman: Perokok berat)
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit atau gangguan
paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa obstruksi saluran pernapasan yang bersifat
progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi
abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya.Pada PPOK, bronkitis kronik
dan emfisema sering ditemukan bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda.
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus
yang meningkat dan bermanifestasi sebagai batuk kronik. Emfisema merupakan suatu
perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus
alveolaris serta destruksi dinding alveolar.1,2

B. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan/atau yang menyebabkan
terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi
faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi
genetik, hiperesponsif jalan napas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama
adalah kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan
napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan
dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru
akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK3
Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi
terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai
merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka
kematian. Tidak semua perokok akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan
juga dengan faktor genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan
faktor risiko PPOK. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup
bermakna pada orang muda yang bukan perokok.3 Hubungan antara rokok dengan PPOK
menunjukkan hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap
setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang
ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks
Brinkman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari lamanya
merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya jika seseorang merokok
sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita bronkitis kronik minimal setelah 10
tahun merokok4.
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok, asap
kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas buang
industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat
kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus
menerus oleh polusi udara merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan
(outdoor polution) masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingka n asap rokok. Polusi
dalam ruangan (indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang
digunakan untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya. Status
sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK, kemungkinan berkaitan
dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain
yang berkaitan dengan sosioekonomi3.
Diketahui dari hasil anamnesis pada pasien, ada riwayat merokok sejak pasien
berusia muda selama 20 tahun. Setiap harinya, pasien menghabiskan rata-rata 3
bungkus rokok per hari (Indeks Brinkman: 20 x 36 batang rokok = 720,
dikategorikan sebagai perokok berat). Hal ini sesuai dengan hubungan dose response
rokok pada PPOK yang disebutkan pada teori di atas. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa factor risiko utama PPOK pada pasien ini adalah riwayat merokok.

C. PATOFISIOLOGI PPOK
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen
untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil
metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi
adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa
pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi
darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu
gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di
saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah
kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama
terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP)5.
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang
melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-
perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang
menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul
hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang
kental dan adanya peradangan1.
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada
paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang
di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi
berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi
akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila
tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara
kolaps1.
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic
Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan
jaringan10. Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya
ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya
inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi
berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol6.

Jika dikaitkan dengan teori patogenesis PPOK di atas, pada pasien didapatkan
gangguan ventilasi berupa gejala sesak napas dan batuk kronik berlendir. Sesak
napas terjadi akibat adanya air trapping dalam paru serta penumpukan mucus akibat
metaplasia dari silia dan perubahan-perubahan pada sel penghasil mucus. Sehingga,
dapat dijumpai mucus yang menjadi semakin purulen. Selain itu, pada pasien juga
dijumpai kadar Neutrofil yang meningkat dari nilai normal, yaitu 84.3%. Asap rokok
menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan
elastase. Hal ini sering dijadikan salah satu poin yang membedakan PPOK dan Asma,
dimana pada Asma inflamasi dominannya akan dimediasi oleh Eosinofil sehingga
akan didapatkan Eosinofilia pada hasil darah rutin.

D. DIAGNOSIS PPOK
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat
menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat
menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.
1. Anamnesis
a. Ada faktor risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya
riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat
kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan
riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok
aktif, perokok pasif, atau bekas perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan
Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap
sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat
ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat (>600)7.
Pada pasien, didapatkan adanya riwayat merokok selama 20 tahun dimana
setiap harinya pasien rata-rata mengonsumsi 3 bungkus (36 batang) rokok
per hari (Indeks Brinkman: 20 tahun x 36 batang = 720, dikategorikan
sebagai perokok berat).
b. Gejala klinis7
Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai berikut:
a) Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir
yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat terjadi
sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam hari.
b) Batuk berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang pasien
menyatakan hanya berdahak terus menerustanpa disertai batuk. Karakteristik
batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.
c) Sesak napas
Sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat
sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti,
gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak.
Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan sesak napas sejak 1 hari
yang lalu dan memberat beberapa jam sebelum masuk Rumah Sakit.
Riwayat sesak sebelumnya ada, saat pasien dirawat di Palem RSWS 1
tahun yang lalu. Sesak napas yang dialami pasien mengindikasikan adanya
PPOK eksaserbasi akut, dimana timbul perburukan gejala dibandingkan
kondisi sebelumnya yang membuat pasien memerlukan terapi tambahan.
Eksaserbasi dapat disebabkan oleh infeksi atau faktor lainnya seperti
polusi udara yang sesuai dengan kondisi pasien, yakni sesak muncul setelah
membersihkan debu rumahnya. Selain itu, pada PPOK eksaserbasi juga
didapatkan produksi sputum yang meningkat, sesuai dengan keluhan
tambahan pada pasien yakni batuk berlendir yang telah dirasakan sejak 3
minggu yang lalu.

2. Pemeriksaan Fisis
Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi
paru yang signifikan. Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan
yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat
hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat
seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut7,8:
- Inspeksi : Bentuk dada khas yaitu barrel chest (dada seperti tong) dengan
rasio anterior dinding dada: lateral dinding dada sebesar 2:1. Terdapat purse
lips breathing (seperti orang meniup). Terlihat penggunaan dan hipertrofi
(pembesaran) otot bantu nafas.
- Palpasi : Sela iga melebar, vokal fremitus menurun
- Perkusi : Hipersonor
- Auskultasi: Suara nafas vesikuler melemah atau normal. Ekspirasi
memanjang. Bunyi jantung menjauh. Terdapat ronki dan atau mengi pada
waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa.7,8
Pada pasien laporan kasus ini, pasien memenuhi semua gejala pada
PPOK yang disebutkan di atas malah memburuk dari kebiasaan gejala yang
dirasai hingga diklasifikasikan sebagai penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) eksaserbasi. Pemeriksaan fisik yang dilakukan juga mendukung
karena pada pasien didapatkan barrel chest, vokal fremitus menurun,
hipersonor, bunyi napas bronkhial dan terdapat bunyi tambahan wheezing
pada ekspirasi paksa.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan lain yang dilakukan untuk mendukung diagnosis PPOK adalah
spirometri. The National Heart, Lung, and Blood Institute merekomendasikan
spirometri untuk semua perokok 45 tahun atau lebih tua, terutama mereka yang
dengan sesak napas, batuk, mengi, atau dahak persisten. Spirometri merupakan gold
standard dengan prosedur sederhana yang dapat dilakukan di tempat. Kunci pada
pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1 (Forced Expiratory Volume in 1 s) dan
FVC (Forced Vital Capacity). FEV1 adalah volume udara yang pasien dapat
keluarkan secara paksa dalam satu detik pertama setelah inspirasi penuh. FEV1
pada pasien dapat diprediksi dari usia, jenis kelamin dan tinggi badan. FVC adalah
volume maksimum total udara yang pasien dapat hembuskan secara paksa setelah
inspirasi penuh. Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease (GOLD) 2018, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut
(berdasarkan post bronkodilator FEV1)1:
Pada pasien laporan kasus ini, telah dilakukan uji spirometry dengan hasil
sebagai berikut:
• Kapasitas vital : 41.03%
• KVP : 41.03%
• VEP1 : 31.84%
• VEP1/KVP : 54.21%
• APE : 5.70 L/detik
Kesan: Retriksi Sedang (30-59%), Obstruksi Sedang (30-59%)
Sehingga, jika diklasifikasikan ke dalam tabel di atas, maka pasien termasuk
ke dalam GOLD 3, derajat berat.

Selain itu, COPD Assessment Test (CAT) merupakan kuesioner yang sudah
tervalidasi dan terstandarisasi yang digunakan untuk menilai status kesehatan pasien
PPOK. CAT terdiri dari 8 item pertanyaan yang mudah dimengerti dan dijawab oleh
pasien. CAT memiliki skor dari 0-40. CAT harus diisi sendiri oleh pasien tanpa
bantuan praktisi kesehatan. Dengan 8 item pertanyaan, CAT sudah dapat
menunjukkan efek yang jelas terhadap status kesehatan dan kehidupan sehari-hari
pasien.CAT bukan merupakan alat diagnostik seperti spirometri. Namun CAT dapat
digunakan bersama-sama dengan spirometri dalam penilaian klinis pasien PPOK
untuk mengetahui apakah penatalaksanaan sudah optimal. CAT juga tidak dapat
menggantikan terapi PPOK, tetapi dapat membantu dalam memonitor efek terapi.9
Para ahli yang terlibat dalam pengembangan CAT menyarankan pasien PPOK
untuk melengkapi kuesioner CAT ketika menunggu untuk pemeriksaan atau saat di
rumah sebelum berangkat konsultasi karena CAT hanya membutuhkan beberapa
menit untuk diisi.Kuesioner CAT yang sudah dilengkapi dapat membantu dalam
menyusun langkah penatalaksanaan pasien.CAT Development Steering Group and
GOLD menyarankan agar pasien mengisi kuesioner CAT setiap 2-3 bulan untuk
menilai perubahan. Terdapat satu lagi kuesioner yang turut digunakan dalam
penilaian PPOK yaitu Modified Medical Research Council (mMRC) dimana juga
digunakan dalam menentukan kelompok pasien ABCD bagi tujuan pengobatan bagi
pasien PPOK yang stabil. Contoh kuesioner disertakan di bawah9:

ü 4

ü 4
2
ü
ü 3

ü 2

ü 1
ü 4

ü 3

23

Pada pasien laporan kasus ini, telah dilakukan penilaian PPOK dengan
mMRC dan CAT sebelum pasien dipulangkan. Pasien mendeskripsikan sesak
napas yang dirasakan timbul saat pasien menaiki beberapa anak tangga dan
untuk beberapa detik, pasien harus berhenti sejenak jika ingin melanjutkan
aktivitasnya. Deskripsi tersebut sesuai dengan grade 2 pada kuisioner mMRC.
Pasien kemudian diperlihatkan kuisioner CAT dan diberikan penjelasan
untuk mencentang skor masing-masing pernyataan sesuai dengan kondisi
pasien saat ini. Total skor CAT yaitu 23.
4. ABCD ASSESSMENT TOOLS
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2017, terdapat satu assessment tool yang mengkombinasi beberapa assessment PPOK
yaitu simptom, spirometri, CAT, mMRC dan frekuensi eksaserbasinya. Ia membagikan
kepada 4 kelompok yaitu kelompok A, B, C dan D. Kelompok ini menunjukkan pasien
berada dalam resiko rendah, resiko tinggi, gejala sedikit ataupun gejala banyak.
Berdasarkan pembagian ini, penanganan pada pasien penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) yang stabil ditentukan berdasarkan kelompok tersebut9.

E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi
non-farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah mengurangi
gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi ekserbasasi dan
komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien, meningkatkan kualitas
hidup dan mengurangi angka kematian.
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan kebiasaan
merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta
memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangkan
panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat irreversible dan progresif, inti dari
edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan
perburukan penyakit.
Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan
merupakan pilihan utama adalah bronchodilator. Penggunaan obat lain seperti
kortikoteroid, antibiotik dan antiinflamasi diberikan pada beberapa kondisi tertentu.
Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi,nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting).
F. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) EKSASERBASI AKUT
Penyakit paru obstruktif kronik eksaserbasi akut adalah timbulnya perburukan
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan oleh infeksi
atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi. Gejala
eksaserbasi terdiri daripada batuk dan sesak yang bertambah, produksi sputum yang
meningkat dan sputum yang berubah warna. PPOK eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga
yaitu Tipe I (eksaserbasi berat) yang memenuhi tiga gejala cardinal, Tipe II (eksaserbasi
sedang) yang memenuhi dua gejala cardinal dan Tipe III (eksaserbasi ringan) yang
memiliki satu gejala ditambah salah satu gejala seperti infeksi saluran napas lebih dari
lima hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi, peningkatan
frekuensi napas atau nadi >20% nilai dasar. Berdasarkan klasifikasi di atas, pasien
laporan kasus ini diklasifikasikan sebagai eksaserbasi ringan karena memenuhi satu
gejala tersebut.
 Kunci penatalaksanaan eksaserbasi adalah dengan pemberian :
 SABA dengan/tanpa SAMA direkomendasi sebagai terapi awal eksaserbasi akut
 Kortikosteroid sistemik diberikan selama 5 hinggas 7 hari
 Antibiotik selama 5 hingga 7 hari
 Pemberian Metilxantin sudah tidak direkomendasikan dalam penatalaksanaan
eksaserbasi
 Non Invasive Mechanical Ventilator mode ventilasi pertama yang digunakan
untuk pasien PPOK dengan gagal napas akut
Adapun indikasi untuk rawat inap untuk pasien PPOK, antaranya adalah :
1. Gejalanya berat (sesak napas memberat, frekuensi napas tinggi, saturasi oksigen
menurun, bingung, mengantuk)
2. Gagal napas akut
3. Gejala fisik baru (sianosis, edema perifer)
4. Kegagalan respon terhadap terapi awal
5. Komorbid yang serius (gagal jantung, aritmia yang baru)
6. Perawatan rumah yang tidak mendukung
Apabil kondisi pasien sudah stabil, pasien PPOK dapat dipulangkan sekiranya
memenuhi kriteria pasien keluar dari perawatan. Antara kriterianya adalah:
 Kondisi pasien stabil selama 12 – 24 jam
 Inhalasi SABA tidak lebih dari setiap 4 jam
 Dapat menggunakan bronkodilator inhalasi
 Pasien yang menangani di rumah sudah menjamin penggunaan terapi dengan benar
 Perencanaan observasi lanjutan
 Pasien, keluarga dan tenaga medis yakin dapat dikelola dengan baik di rumah.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas
akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan cor pulmonale. Gagal napas kronik
ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg,
serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas
dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran
menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik
ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit
darah. Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan
dapat disertai gagal jantung kanan10
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2018. Global Strategy for
The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Barcelona: Medical Communications Resources. Available from:
http://www.goldcopd.org
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V, Jakarta : Interna Publishing, 2009
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001. Survey Kesehatan Rumah
Tangga.
4. Setiyanto, H., Yunus, F., Soepandi, P.Z., Wiyono, W.H., Hartono, S., dan
Karuniawati, A., 2008. Pola dan Sensitivitas Kuman PPOK Eksaserbasi Akut yang
Mendapat Pengobatan Echinacea Purpurea dan Antibiotik Siprofloksasin. Dalam:
Wiyono, W.H. (eds). 2008. Jurnal Respirologi Indonesia. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, Jakarta 28 (3):107-125.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002. Profil Kesehatan Indonesia 2001.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).
6. Shinta, dan Wara, D., 2007. Studi Penggunaan Antibiotik pada Eksaserbasi Akut
Penyakit Paru Obstruktif Kronik: Studi pada Pasien IRNA Medik di Ruang Paru
Laki dan Paru Wanita RSU dr. Soetomo Surabaya. Universitas Airlangga.
7. Helmersen, D., Ford, G., Bryan, S., Jone, A., and Little, C., 2002. Risk Factors. In:
Bourbeau, J., ed. Comprehensive Management of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. London: BC Decker Inc, 33-44
8. Suradi. 2009. Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Tinjauan Patogenesis, Klinis dan Sosial. Pidato Guru Besar, Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi
Kronik), Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Available
from: http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
10. Vestbo, J., 2006. Clinical Assessment, Staging, and Epidemiology of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease Exacerbations. Proceedings Of The American
Thoracic Society. Proc Am Thorac Soc 3: 252–256.

Anda mungkin juga menyukai