Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

&
LANDASAN TEORI

DRUG INDUCED HEPATITIS (DIH)

Penyaji:
dr. Purnama Aji Saputra

Pembimbing:
dr. Nurul Hidayah

Narasumber:
Dr. Sri Dhunny, Sp.P

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU
JUNI
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Penyebab penting dari kerusakan hati salahs atunya adalah konsumsi obat. Lebih
dari 900 jenis obat, toksin dan herbal telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan
pada sel-sel hati, dan 20−40% dari semua kejadian gagal hati fulminan diakibatkan oleh
obat. Kerusakan hati akibat obat (Drugs Induced Liver Injury) adalah alasan paling
banyak dimana suatu obat dapat ditarik dari peredarannya ataupun dibatasi
penggunaannya. Seorang dokter harus lebih peka dalam mengidentifikasi obat-obat yang
berhubungan dengan kerusakan hati karena dengan deteksi awal dapat menurunkan
beratnya tingkat hepatotoksisitas dari suatu obat apabila penggunaan obat segera
dihentikan. Manifestasi dari kerusakan hati yang diinduksi oleh obat sangat bervariasi,
mulai dari peningkatan enzimenzim hati yang tanpa gejala (asimptomatik) sampai
terjadinya gagal hati fulminan.1
Fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuh terhadap terjadinya penumpukan
zat berbahaya yang masuk dari luar, misalnya obat. Banyak diantara obat yang bersifat
larut dalam lemak dan tidak mudah diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu maka sistem
enzim pada mikrosom hati akan melakukan biotransformasi sedemikian rupa sehingga
terbentuk metabolit yang lebih mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin
atau empedu. Dengan faal sedemikian ini, tidak mengherankan bila hati mempunyai
kemungkinan yang cukup besar pula untuk dirusak oleh obat. Kerusakan hati
akibat obat ( Drugs Induced Liver Injury ) pada umumnya tidak menimbulkan kerusakan
permanen, tetapi kadang-kadang dapat berlangsung lama dan fatal.2
Di Amerika Serikat, kira-kira dari 2000 kasus terjadinya gagal hati akut (Acute
Liver Failure), lebih dari 50%-nya diakibatkan oleh obat (39% karena asetaminofen, 13%
karena reaksi idiosinkrasi dari pengobatan lain).1

2
BAB II

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A P
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 27 tahun
Tanggal lahir : 11 April 1991
Agama : Islam
Status : Menikah
No. RM : 195863
Datang melalui : IGD RSUD Pasar Minggu
Tanggal kunjungan : 26 Maret 2019

II. ANAMNESIS
Diperoleh dengan autoanamnesis dan aloanamnesis pada tanggal 26 Maret 2019.

Keluhan utama
Nyeri perut kanan atas

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Minggu dengan keluhan nyeri perut kanan atas
sejak 10 hari SMRS, nyeri semakin hari semakin parah, paling parah dalam 3 hari SMRS.
Demam, keringat dingin, nyeri perut kanan atas, mual, muntah, badan muncul bentol-
bentol di sekujur badan semenjak pasien mengkonsumsi OAT (13 hari SMRS). Pasien
juga mengatakan saat ini sedang pengobatan TB paru sejak tanggal 14 Maret 2019. Pasien
mengeluhkan nafsu makan menurun. Terdapat batuk berdahak, demam, keringat malam
sejak 1 bulan terakhir. Berat badan pasien turun > 10 kg dalam 2 bulan terakhir. BAK
dan BAB tidak ada keluhan.
3
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat TB Paru sedang pengobatan OAT sejak tanggal 14 Maret 2019. Riwayat
darah tinggi disangkal. Riwayat diabetes melitus disangkal, riwayat kolesterol disangkal.
Riwayat penyakit jantung, ginjal, dan hati disangkal.. Riwayat alergi disangkal, riwayat
penyakit asma disangkal.

Riwayat Sosial
Pasien merokok > 5 tahun. Pasien tidak mengkonsumsi alkohol. Pasien juga
menyangkal adanya penggunaan obat-obatan terlarang.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Primary Survey
A : Bebas
B : adekuat, frekuensi napas 24x/menit (regular, cukup)
C : adekuat, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 86 x/menit , CRT<2”
D : tidak tampak defisit neurologis, GCS 15
E : tidak tampak ada lesi

Secoondary Survey
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Nadi : 86x/ menit
Tekanan darah :110/80 mmHg
Suhu : 38.1oC
Pernapasan : 24 x/menit
Saturasi O2 : 98%

 Kepala : normocephal, tidak ada tanda deformitas


 Rambut : hitam tersebar merata, tidak mudah dicabut
4
 Mata : konjungtiva pucat, sclera tidak ikterik, pupil simetris, 2mm, ditengah,
RCL positif, RCTL positif
 Telinga : normotia, tidak ada secret, tidak ada deformitas, tidak ada nyeri
tekan tragus
 Hidung : tidak ada septal deviasi, tidak hiperemis, tidak ada secret
 Mulut : mukosa lembab, higienitas mulut baik
 Leher : JVP 5+2 cmH2O
 Thorax :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat, Simetris, terdapat retraksi (+)
Palpasi : Krepitasi negatif, nyeri –
Perkusi : Sonor
Auskultasi : vesikular (+/+), terdapat rhonki (+/+), wheezing (-/-). BJ I-II
normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Abdomen : Datar, tidak ada venektasi, lemas, hati teraba pembesaran 2 jari di
bawah arcus costae, limpa tidak teraba, tidak ada shifting dullness, dan timpani
pada seluruh lapang abdomen, Bising usus normal, terdapat nyeri tekan pada
abdomen kuadran kanan atas.
Ekstremitas : Akral hangat, tidak terdapat edema, CRT < 2 detik

5
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Foto Thoraks 26 Maret 2019

 Laboratorium (26/3/2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
Hb 11.6 13.2 - 17.3 g/dl
Ht 34 40 - 52 %
Eritrosit 3.86 4.40 - 5.90 106/ul
Trombosit 159 150 - 440 103/ul
Leukosit 4.00 3.8 - 10.6 103/ul
RDW 13.0 %
MCV 88 80 - 100 fl
6
MCH 30 26 - 34 pg
MCHC 34 32 - 36 g/dL
GDS 113 70-108 mg/dl
Ur 28 <48 mg/dl

Cr 1.28 0.70 - 1.30 mg/dl


Na 134 135 - 147 mEq/L
K 3.50 3.50 - 5.00 mEq/L
Cl 99 95 - 105 mEq/L
SGOT 447* <50 U/l
SGPT 273* <50 U/l

V. RUMUSAN MASALAH

 Drug Induced Hepatitis (DIH) ec Intoksikasi OAT


 TB on OAT 13 hari

VI. RENCANA DIAGNOSTIK

 Cek Lab Darah


 Foto Thoraks

VII. TATALAKSANA

Terapi di IGD :

 IVFD Asering 20tpm


 O2 Nasal Kanul 5 lpm

 Inj ketorolac 30mg iv

7
 Inj ranitidine 50mg iv

 Inj ondansetron 4mg iv

 Cek lab (Hematologi rutin, Ur/Cr, SGOT, SGPT, Elektrolit)

 Foto thorak PA

 Konsul dr. Sri Dhunny, SpP

Rencana Terapi Rawat Inap :

 O2 Nasal Kanul 5 LPM


 IVFD Asering 20tpm
 Inj ondansetron 3x4mg iv
 Inj Ranitidin 2x 50 mg iv
 Inj ketorolac 3x30mg iv kp nyeri
 Curcuma 3x2 tab po

 Stop OAT sementara

VIII. PROGNOSIS

Ad Vitam : dubia
Ad Functionam : dubia
Ad Sanationam : dubia ad malam

IX. FOLLOW UP

1. 28 Maret 2019
2. 29 Maret 2019
3. 30 Maret 2019
4. 01 April 2019

FOLLOW UP

8
28 Maret 2019 pukul. 13:48
(TRANSIT RSUD Pasar Minggu)

S Pasien masih mengatakan demam (+)

O TTV:
TD 110/70
HR 87 x/mnt
RR 21 x/mnt
Suhu 37,2°C
A TB on OAT (start 14/03/19)
DIH
P OAT (start 14/03/19) – stop sementara
Curcuma 3x1
Ranitidin 2x50mg iv

29 Maret 2019 pukul. 12:50


(8003 RSUD Pasar Minggu)

S Pasien mengatakan batuk, sesak, dan nyeri dada

O TTV:
GCS 15 E4V5M6
TD 110/70
HR 87 x/mnt
RR 21 x/mnt
Suhu 37,2°C
A TB on OAT (start 14/03/19)
DIH

9
P Nistatin 2x1mg
Kotrimoksazol 2x960mg
Cek sputum gram

30 Maret 2019 pukul. 08:28


(8003 RSUD Pasar Minggu)

S Pasien mengatakan gatal gatal dan sesak

O GCS 15 E4V5M6
Perawatan hari ke 3
TD 90/70
HR 79 x/mnt
RR 22 x/mnt
Suhu 36,2°C
A TB on OAT (start 14/03/19)
Pneumonia dd/PCP
DIH
HIV
Alergi kotrimoksazol ringan
P Terapi lanjut
OAT stop sementara
Cetirizine 2x10mg

01 April 2019 pukul. 15:35


(8003 RSUD Pasar Minggu)

10
S Pasien mengatakan sariawan, tenggorokan sakit

O GCS 15 E4V5M6
Perawatan hari ke 4
TD 100/70
HR 82 x/mnt
RR 22 x/mnt
Suhu 36,2°C
A TB on OAT (start 14/03/19)
Pneumonia dd/PCP
DIH
HIV
Alergi kotrimoksazol ringan
P Rencana rajal
Obat pulang:
Curcuma 3x1
Kotrimoksazol 2x960
Cetirizin 2x10mg
Ranitidin 2x1

X. RESUME

Pasien laki-laki usia 27 tahun datang ke IGD RSUD Pasar Minggu dengan
keluhan nyeri perut kanan atas sejak 10 hari SMRS. Pasien juga terdapat demam, keringat
dingin, mual, muntah, badan muncul bentol-bentol di sekujur badan yang dirasakan sejak
mengkonsumsi OAT (13 hari SMRS). Pasien juga mengatakan saat ini sedang
pengobatan TB paru sejak tanggal 14 Maret 2019. Pasien mengeluhkan nafsu makan
menurun. Terdapat batuk berdahak, demam, keringat malam sejak 1 bulan terakhir. Berat
badan pasien turun > 10 kg dalam 2 bulan terakhir. BAK dan BAB tidak ada keluhan.
11
Pasien dirawat di RSUD Pasar Minggu dengan diagnosis drug induced hepatitis (DIH) ec
intoksikasi OAT.

12
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Pendahuluan
Hepatitis karena obat adalah peradangan/inflamasi pada hati yang disebabkan oleh
reaksi obat Salah satu fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuh terhadap terjadinya
penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar, misalnya obat. Banyak diantara obat
yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah diekskresikan oleh ginjal. Untuk itu
maka sistem enzim pada mikrosom hati akan melakukan biotransformasi sedemikian rupa
sehingga terbentuk metabolit yang lebih mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan
melalui urin atau empedu. Dengan faal sedemikian ini, tidak mengherankan bila hati
mempunyai kemungkinan yang cukup besar pula untuk dirusak oleh obat. Hepatitis
karena obat pada umumnya tidak menimbulkan kerusakan permanen, tetapi kadang-
kadang dapat berlangsung lama dan fatal.3
Metabolisme obat terjadi dalam 2 tahap. Pada tahap 1 reaksi, obat dijadikan polar
oleh proses oksidasi atau hydroxilasi. Tidak semua obat-obatan melalui tahap ini,
beberapa dapat langsung menjalani reaksi tahap 2. Enzim cytochrome P-450 enzim
mengkatalisis reaksi tahap 1. Sebagian besar produk intermediatnya bersifat transient dan
sangat reaktif. Ini dapat menyebabkan reaksi pembentukan metabolit yang jauh lebih
beracun dari substrat obatnya dan dapat menyebabkan kerusakan hati. Enzim Cytochrome
P-450 adalah hemoprotein yang terdapat pada reticulum endoplasmic hati. Setiap enzim
P-450 dapat metabolisme banyak obat-obatan. Tahap 2 reaksi mungkin terjadi di dalam
maupun di luar hati. Obat-obatan dikonjugasi dengan asetat, asam amino, sulfate,
glutathione, asam glucuronic, yang selanjutnya akan meningkatkan daya larut.4

3.2.Epidemiologi
Hepatitis karena obat terjadi pada delapan dalam setiap 10.000 orang. Perempuan
cenderung terpengaruh hampir dua kali dibandingkan laki-laki. Orang dewasa lebih
rentan terhadap jenis hepatitis ini karena tubuh mereka tidak mampu memperbaiki dengan
cepat sel-sel hepatosit yang rusak seperti pada orang muda. 5 Di Amerika terdapat sekitar
13
200 kasus penyakit hati akut. 50% diantaranya adalah karena penggunaan obat terdiri dari
30% karena acetaminophen, 13% adalah reaksi idiosinkratik akibat pengobatan lainnya. 2
– 5% kasus akibat penggunaan obat di rumah sakit dengan jaundice, 10% dari semua
kasus adalah hepatits akut.5

3.3.Faktor Resiko
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya hepatitis karena obat,
yaitu :4
1. Ras : Beberapa obat memiliki toksisitas yang berbeda tergantung ras. Misalnya, kulit
hitam lebih rentan terhadap isoniazid (INH). 
2. Hepatitis karena obat jarang ditemukan pada anak-anak. Resikonya meingkat pada
orang tua.
3. Jenis kelamin : Dengan alasan yang tidak diketahui, hepatitis jenis ini lebih sering
terjadi pada perempuan.
4. Konsumsi alkohol : orang yang mengkonsumsi alkohol lebih rentan terhadap hepatiis
karena obat karena kerusakn hati mengubah metabolisme obat-obatan. Alkohol
menyebabkan penipisan glutathione (hepatoprotektif) yang membuat orang lebih
rentan.
5. Faktor resiko lain : Orang dengan AIDS, malnutrisi, dan berpuasa mungkin rentan
terhadap narkoba karena rendahnya glutathione.

3.4.Etiologi
Beberapa contoh obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya hepatitis karena obat,
yaitu :4
1. Acetaminophen: Hepatoksisitas dari acetaminophen disebabkan oleh senyawa
metabolit NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinone-imine). Ini adalah senyawa metabolit
yang dihasilkan oleh cytochrome P-450-2E1.
2.  Amoxicillin: Amoxicillin menyebabkan peningkatan kadar SGOT, SGPT, atau
keduanya.
3.  Amiodarone: Amiodarone menyebabkan hasil tes fungsi hati tidak normal dalam 15-
50% dari pasien.

14
4.   Chlorpromazine: Kerusakan hati akibat Chlorpromazine menyerupai hepatitis infeksi
dengan fitur laboratorium jaundice obstruktif lebih jelas daripada kerusakan
parenkim.
5.   Ciprofloxacin : Kira-kira 1,9% dari pasien yan menggunakan ciprofloxacin
menunjukkan tingkat SGPT tinggi, 1,7% mengalami peningkatan SGOT, 0,8%
mengalami peningkatan alkalin phosphatase, dan 0,3% kadar bilirubin meningkat. 
6.   Diclofenac: Perempuan tua lebih rentan terhadap kerusakan hati akibat diclofenac.
Peningkatan dari satu atau lebih hasil tes hati mungkin terjadi.
7.   Erythromycin: Erythromycin dapat menyebabkan kerusakan hati, termasuk
peningkatan enzim hati dan hepatocellular dan/atau hepatitis cholestatis dengan atau
tanpa jaundice.
8.   Fluconazole: Menyebabkan peningkatan transaminase.
9.   Isoniazid : Hepatitis berat telah dilaporkan pada pasien yang mendapat terapi INH.
Pasien yang diberikan INH harus diawasi secara hati-hati.
10. Methyldopa: Methyldopa merupakan antihipertensi yang merupakan kontraindikasi
pada pasien dengan penyakit hati aktif.
11. Kontrasepsi oral : kontrasepsi oral dapat mengakibatkan intrahepatic cholestasis
dengan pruritus dan jaundice dalam sejumlah kecil pasien.
12. Statin/HMG-COA reductase inhibitors : Penggunaan statin terkait dengan
abnormalitas biokimiawi dari fungsi hati.
13. Rifampicin: Rifampicin biasanya diberikan dengan INH. Rifampin sendiri dapat
menyebabkan hepatitis ringan.

3.5.Patogenesis
1.Mekanisme patofisiologi4
a.Gangguan hepatosit : Ikatan kovalen dari obat dengan protein intrasellular dapat
menyebabkan penurunan ATP, yang menyebabkan gangguan aktin. Gangguani aktin
di permukaan hepatosit menyebabkan pecahanya membrane hepatosit.
b.Gangguan transportasi protein: Obat-obatan yang mempengaruhi transportasi
protein di membrane canalicular dapat mengganggu arus empedu. Hilangnya
processus villous dan gangguan pompa transportasi seperti resistensi multidrug-
15
protein 3 menghambat ekskresi bilirubin, menyebabkan cholestasis.
c.Aktivasi sel Cytolytic T : Ikatan kovalen obat pada enzim P-450 bertindak sebagai
immunogen, mengaktifkan sel T dan cytokines dan merangsang kekebalan tubuh yang
multi respon.
d.Apoptosis hepatosit : Aktivasi jalur apoptotic oleh reseptor faktor tumor nekrosis-
alpha receptor oleh Fas memicu kaskade intraselular, yang menghasilkan kematian
sel.
e.Gangguan mitokondria : Beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan
efek ganda terhadap produksi energi beta-oksidasi oleh hambatan sintesis
Nikotinamid adenin dinukleotida dan flavin adenin dinukleotida, mengakibatkan
penurunan produksi ATP.
f.Kerusakan saluran empedu : metabolit toksik yang dieksresikan di empedu dapat
menyebabkan kerusakan epitel saluran empedu.
2.    Mekanisme toksisitas obat3
Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati
dibedakan atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan yang unpredictable.
a. Hepatotoksin yang predictable (intrinsik) : merupakan obat yang dapat dipastikan
selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikan kepada setiap penderita
dengan dosis yang cukup tinggi. Dari golongan ini ada obat yang langsung merusak sel
hati, ada pula yang merusak secara tidak langsung yaitu dengan mengacaukan
metabolisme atau faal sel hati. Obat hepatotoksik predictable yang langsung merusak sel
hati umumnya tidak digunakan lagi untuk pengobatan. Contohnya ialah karbon tetraklorid
dan kloroform. Hepatotoksin yang predictable yang merusak secara tidak langsung masih
banyak yang dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin, metotreksat, etanol, steroid
kontrasepsi dan rifampisin. Tetrasiklin, etanol dan metotreksat menimbulkan steatosis
yaitu degenerasi lemak pada sel hati. Parasetamol menimbulkan nekrosis, sedangkan
steroid kontrasepsi dan steroid yang mengalami alkilasi pada atom C-17 menimbulkan
ikterus akibat terhambatnya pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula menimbulkan
ikterus karena mempengaruhi konyugasi dan transpor bilirubin dalam hati.
b. Hepatotoksin yang unpredictable : kerusakan hati yang timbul disini bukan disebabkan
karena toksisitas intrinsik dari obat, tetapi karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya
16
terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari kelainan yang bersifat idiosinkrasi ini ialah
timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya hanya terjadi pada sejumlah kecil orang
yang rentan. Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan idiosinkrasi ini dapat
dibedakan dalam dua golongan yaitu karena reaksi hipersensitivitas dan karena kelainan
metabolisme. Yang timbul karena hipersensitivitas biasanya terjadi setelah satu sampai
lima minggu dimana terjadi proses sensitisasi. Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik
berupa demam, ruam kulit, eosinofilia dan kelainan histologik berupa peradangan
granulomatosa atau eosinofilik pada hati. Dengan memberikan satu atau dua challenge
dose, gejala-gejala di atas biasanya segera timbul lagi. Reaksi idiosinkrasi yang timbul
karena kelainan metabolisme mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara
satu minggu sampai lebih dari satu tahun. Biasanya tidak disertai demam, ruam kulit,
eosinofilia maupun kelainan histopatologik yang spesifik seperti di atas. Dengan
memberikan satu atau dua challenge dose kelainan ini tidak dapat diinduksi untuk timbul
lagi ; untuk ini obat perlu diberikan lagi selama beberapa hari sampai beberapa minggu.
Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan waktu yang cukup lama agar penumpukan
metabolit hepatotoksik dari obat sampai pada taraf yang memungkinkan terjadinya
kerusakan hati5

3.6.Gejala
Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada hepatitis karena obat, yaitu : demam,
ruam dan gatal pada kulit, diare, nyeri sendi, mual, vomitingmuntah, headachesakit
kepala, anorexiaanorexia, jaundice jaundice, feses berwarna seperticlay color stools tanah
liat, dark urineair kencing gelap, dan hepatomegaly.6

3.7. Diagnosis
Kemungkinan hepatitis karena obat selalu perlu dipikirkan pada penderita dengan
ikterus. Diagnosa kerja dapat dibuat atas dasar anamnesis mendapat obat tertentu, adanya
kelainan spesifik yang disebabkan obat tertentu dan usaha mencari bukti penunjang.
Adanya demam dan eosinofilia menyokong diagnosa, tetapi kedua gejala ini tidak selalu
dijumpai. Kolestasis intrahepatik relatif sering disebabkan oleh obat, lebih-lebih bila
dijumpai adanya peradangan dan sebukan eosinofil di daerah portal. Tetapi ikterus

17
kolestatik akibat steroid mungkin tidak disertai peradangan daerah portal. Berulangnya
gangguan faal hati atau hiperbilirubinemia setelah pemberian suatu challenge dose
merupakan petunjuk berharga untuk menegakkan diagnosa hepatitis karena obat. Selama
tiga hari setelah pemberian challenge dose ini diperiksa kadar fosfatase alkali, SGOT,
SGPT dan bilirubin. Kurang lebih 40-60% penderita akan memperlihatkan reaksi berupa
kambuhnya gangguan faal hati dalam waktu relatif singkat. Untuk mencegah terjadinya
hal yang tidak diinginkan maka pemberian challenge dose ini sebaiknya hanya dibatasi
pada obat yang menimbulkan kelainan yang bersifat kolestasis dan obat tersebut masih
diperlukan sekali oleh penderita. Challenge dose ini diberikan selama satu hari. Untuk
obat yang menimbulkan kerusakan hepatoseluler tindakan ini sebaiknya tidak dilakukan
karena membahayakan penderita.3,6

3.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding hepatitis karena obat, yaitu : hepatitis virus akut, hepatitis
autoimun, shock hati, cholecystitis, cholangitis, sindrom Budd-Tundo, penyakit hati
karena alcohol, cholestatic, penyakit Wilson, hemochromatosis, gangguan pembekuan.4

3.9.Pengobatan
Pengobatan hepatitis karena obat pada prinsipnya sama dengan pengobatan
penyakit hati yang ditimbulkan oleh penyebab lain. Obat yang dicurigai sebagai penyebab
harus dihentikan. Penderita diberi diet 2500-3000 kalori, 70-100 g protein dan 400-500 g
karbohidrat sehari. Bila ada tanda akan terjadi koma hepatikum, protein tidak diberikan
dan juga diberikan neomisin per oral. Bila penderita jatuh ke dalam koma, diberikan infus
glukosa. Keseimbangan asam-basa dan kebutuhan cairan harus diperhatikan dengan baik.
Untuk ikterus yang disebabkan kolestasis hepatokanalikuler, diberikan terapi suportif.
Jenis ini umumnya tidak terlalu berbahaya. Bila ikterus menghebat dan timbul rasa gatal,
dapat diberikan kortikosteroid atau kolestiramin. Perlu dicatat bahwa kortikosteroid tidak
mempercepat sembuhnya penyakit.3,5,6

18
3.10.Komplikasi3,6
a.Peningkatan tekanan di vena porta
Darah dari usus, lien dan pancreas masuk ke hati melalui vena porta. Jika ada
kerusakan pada jaringan hati maka akan terjadi bendungan sirkulasi darah yang
dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada vena porta.
b.Pelebaran vena
Ketika ada pembendungan di vena porta maka darah akan mengalir kembali ke
perut, esophagus dan traktus intestinal bagian bawah.
c.Jaundice
Terjadi jika ada peningkatan bilirubin.
d.Cirrhosis
Adalah kondisi hati yan serius dan irreversible.

3.11.Prognosis3,6
Prognosis pada pasien drug induced hepatitis semakin baik jika penetapan diagnosis pada
awal.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Mehta N. Drug-Induced Hepatotoxicity. Tersedia pada


http://www.emedicine.medscape.com/article/169814-overview. Updates 26
maret 2010 diakses pada tanggal 2 Juni 2011
2. Setiabudy R. Hepatitis Karena Obat. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 1979; 15: 8−12
3. Dhingra MS. Drug Induced Liver Injury. 2006.
4. Kaplowitz N. Drug Induced Liver Injury. Clinical Infectious Diseases 2004;
38(2): 44–8
5. Fontana RJ, Seeff LB, Andrade RJ, Msson EB, Day CP, Serrano C, et al.
Meeting report: Standardization of Nomenclature and Causality Assessment in
Drug-Induced Liver Injury: Summary of a Clinical Research Workshop.
Hepatology 2010; 52:730−742
6. Tajiri K and Shimizu Y. Practical Guidelines for Diagnosis and Early
Management of Drug-Induced Liver Injury. World J Gastroenterol 2008;
14(44): 6774–6785
7. Chau TN. Drug Induced Liver Injury: An Update. The Hongkong Medical
Diary 2008; 13(3): 23−26
8. Dienstag JL and Isselbacher KJ. Toxic and Drug Induced Hepatitis. In
Harrison’s: Principles of Internal Medicine 16th Edition. Editors: Kasper DL,
Fauci AS, Longo DL, et al. 2005;1838−1844
9. Benvie. Hepatoksisitas Obat. 2009. Tersedia pada http://doctorology.net/?
p=31. Diakses pada tanggal 2 Juni 2011. 10. Holt MP and Ju C. Mechanisms of
Drug-Induced Liver Injury. The AAPS Journal 2006; 8(1): 48−54
11. Lee WM. Drug Induced Hepatotoxicity. N Engl J Med 2003; 349:474−485
12. Adams DH, Ju C, Ramaiah SK, Uetrecht J, and Jaeschke H. Mechanisms of
Immune-Mediated Liver Injury. Toxicological Sciences 2010; 115(2): 307–
321.
13. Bénichou C. Criteria of Drug-Induced Liver Disorders. Report of An
International Consensus Meeting. J Hepatol. 1990;11:272–276.
20
14. Anonymous. CIOMS/RUCAM Scale. Tersedia pada http://wikipedia.com.
Diakses pada tanggal 2 Juni 2011.

21

Anda mungkin juga menyukai