Anda di halaman 1dari 44

PRESENTASI KASUS

General Anastesi Pada Kasus Perforasi Gaster


Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan
Kepaniteraan Klinik Bagian Anastesi di RSUD
Salatiga

Disusun Oleh:
Nama : Yunita Rahmawati
Nim : 1813020060

Pembimbing:
dr. Tinon Anindita, Sp. An.

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
RSUD KOTA SALATIGA
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul

General Anastesi Pada Kasus Perforasi Gaster

Disusun Oleh:
Nama : Yunita Rahmawati
Nim : 1813020060

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Tinon Anindita, Sp. An.

ii
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : Tn. H
Umur/ Tanggal Lahir : 86 tahun
Jenis Kelamin : Laki- laki
No. CM : 13-14-xxxx
Alamat : Sawit 0/0, Boyolali-Boyolali
Tanggal Masuk : 31-07-2019
B. Anamesis (Subjektif)
1. Keluhan Utama
Nyeri perut
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke RSUD Salatiga mengeluh mengalami nyeri perut sejak 9
jam SMRS. Perut terasa keras dan besar disertai sesak dan keringat dingin,
keluhan muntah 1x/ berisi makanan dan minuman yang dikonsumsi. BAK
lancer, BAB terakhir tidak diketahui.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan yang serupa sebelumnya.
Pasien memiliki riwayat penyakit maag (+), hipertensi (-), Pasien tidak
memiliki riwayat asma dan alergi obat.
4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Pasien mengaku tidak ada keluarga yang sakit seperti ini.
5. Riwayat Personal Sosial (RPSos)
Pasien makan dan minum secara terartur 3 kali sehari.

1
C. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG (OBJEKTIF)
Kesadaran Komposmentis (GCS E4V5M6)
Umum
Vital Signs / RR : 24x/menit
Tanda-Tanda
Nadi : 79x/menit
Vital
Suhu : 36,7C

SpO2 : 97 %

Status Gizi Baik

Kepala dan Leher

Inspeksi Conjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), deviasi


trakea (-)

Palpasi Pembesaran Limfonodi (-), Trakea teraba di garis


tengah

Pulmo

Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan


kelainan bentuk

Palpasi Tidak ada ketertinggalan gerak dan vokal fremitus


tidak ada peningkatan maupun penurunan

Perkusi Sonor

Auskultasi Suara vesikular dasar (SDV) : +/+ (positif di lapang


paru kanan dan kiri)
Suara ronkhi: -/-
Wheezing : -/-

2
Cor

Inspeksi Pulsasi tidak terlihat

Palpasi Teraba ictus cordis di SIC V linea midclavicularis


sinistra

Perkusi Ukuran jantung dalam batas normal

Auskultasi Suara S1 dan S2 terdengar regular

Abdomen

Inspeksi Distensi minimal, massa (-)

Auskultasi Dalam batas normal

Palpasi Defens muscular (-) nyeri tekan (+)

Perkusi Timpani

Ekstremitas

Inspeksi Edema (-)

Palpasi Akral dingin, CRT < 2 detik

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

Leukosit 5,03 4,0-10,0 Ribu/ul

Eritrosit 5,54 3,50-5,00 Juta/ul

Hemoglobin 16,4 10,7-14,7 g/dl

3
Hematokrit 48,8 37,0-48,0 Vol%

MCV 88,1 82-95 Fl

MCH 29,6 27-31 Pg

MCHC 33,6 32-36 g/dl

Trombosit 268 150-450 Ribu/ul

MPV 8,2 6,5-12 Fl

PDW 15,3 9-17

Golongan A
Darah ABO

PT 13,4 11-18 Detik

APTT 30,4 27-42 Detik

HbsAg Negative Negative

F. DIAGNOSIS (ASSESMENT)
Perforasi Gaster

G. TERAPI (PLANING)
Penatalaksanaan pada pasien dengan diagnosis perforasi gaster yaitu
dilakukan tindakan operasi laparotomy. Pasien datang ke RSUD pada tanggal 31
july 2019 dengan diagnosis perforasi gaster kemudian pasien di program oleh
Dokter Spesialis Bedah untuk melakukan operasi laparotomy. Sebelum
dilakukan operasi pasien puasa terlenih dahul dan diberi infus Ringer Lakt 20
tpm serta dikonsultasikan kepada dokter spesialis anestesi. Adapun hal-hal yang
dilakukan adalah sebagai berikut:

4
1. Kunjungan Preanestesi
Kunjungan praanastesi dilakukan oleh Dokter spesialis anestesi. Tujuan
kunjungan praanastesi yaitu untuk menilai kondisi pasien sebelum dilakukan
operasi. Hal yang dilakukan saat kunjungan praanastesi yaitu anamnesis,
pemeriksaan fisik dan melihat hasil pemeriksaan penunjang. Pasien
dipastikan sudah berpuasa sebelum tindakan operasi minimal 6 jam, tidak
memakai makeup, memakai pakaian minimal, dan tidak menggunakan gigi
palsu, serta pasien sudah dalam keadaan sudah terinfus. Selain itu pada
kunjungan praanastesi Dokter anastesi juga melakukan informed consent
serta menjelaskan resiko yang mungkin terjadi saat operasi. Setelah Dokter
anastesi , Dokter spesialis bedah menyetujui dilakukan operasi kemudian
pasien dikirim ke Instalasi Bedah Sentral untuk tindakan operasi sekitar pukul
08.00 WIB keesokan harinya.
2. Pra Medikasi
Pramedikasi dilakukan pada pukul 08.40 WIB dan obat-obatan
pramedikasi yang diberikan adalah sebagai berikut:
 Puasa 6-8 jam sebelum operasi
 Sulfas Atropin 0,25 mg/kgBB
3. Tatalaksana Jalan Nafas
 Preoksigenasi 4-5 l/menit selama 5-10 menit.
 Atrakurium (awal : 0,5-0,6 mg/kg, rumatan : 0,1 mg/kg)

Pemasangan tabung endotrakeal / Endotracheal tube (ETT) :

Diawali manuever tripel jalan nafas dan oksigenasi manual.


Posisikan pasien terlentang, kepala dan leher ekstensi, dilakukan jaw
thrust, seta diberi ganjal dibawah bahu. Posisi ini disebut Rose Position.
Lalu dilakukan pemasangan ETT, dengan ukuran pipa disesuaikan dengan
usia pasien ataupun diameter trakea.

5
Pemeliharan Jalan Nafas : Dengan mengalirkan oksigen 2 L/menit.
4. Induksi
Induksi dilakukan pada pukul 08.40 WIB dengan memberikan obat-
obatan sebagai berikut:
Intravena 
Proanes (Propofol) 100 mg

Inhalasi 
Sevoflurane: 2,5 vol %

6
5. Maintenence
Maintenence atau pemeliharaan anestesi dilakukan bersamaan
dengan tindakan operasi yaitu pada pukul 08.40-11.00 WIB dengan
memberikan obat-obatan sebagai berikut:
 Torasik (Ketorolak) 30 mg
 Vomceron (Ondansentron) 4 mg
 Gas 02 3 Lpm
 Sevofluran 2,5 vol %
6. Terapi Cairan Intra Operasi
Terapi penggantian cairan selama operasi adalah menggunakan
Asering 500 cc sebanyak 4 buah.
Monitoring Perianestesi
Monitoring selama anaestesi dilakukan meliputi saturasi oksigen dan
nadi setiap 12 menit dari pukul 08.40 – 11.00 WIB yaitu:
 Pukul 09.00 WIB saturasi oksigen 100%, nadi 75x/menit, TD
120/100mmHg.
 Pukul 09.20 WIB saturasi oksigen 100%, nadi 75x/menit, TD 110/90
mmHg.
 Pukul 09.40 WIB saturasi oksigen 100%, nadi 72x/menit, TD 120/98
mmHg
 Pukul 09.60 WIB saturasi oksigen 100%, nadi 80x/menit, TD 120/100
mmHg
 Pukul 10.00 WIB saturasi oksigen 100%, nadi 80x/menit, TD 125/95
mmHg.
 Pukul 10.20 WIB saturasi oksigen 100%, nadi 75x/menit, TD 120/100
mmHg.
 Pukul 10.40 WIB saturasi oksigen 100%, nadi 80x/menit, TD 125/95
mmHg.
 Pukul 10.60 WIB saturasi oksigen 100%, nadi 80x/menit, TD 125/95
mmHg.

7
 Pukul 11.00 WIB saturasi oksigen 100%, nadi 80x/menit, TD 125/95
mmHg.
Tindakan operasi dan anestesi selasai pada pukul 11.00 WIB.
Setelah tindakan operasi dan anestesi selesai kemudian pasien di
pindahkan keruangan pemulihan (RR) atau Post Anestesia Care Unit
(PACU) untuk perawatan setelah anestesi.
7. Perawatan Setelah Anestesi
Perawatan setelah anestesi dilakukan di ruang RR sampai pasien
sadar penuh serta dimonitoring saturasi oksigen, tekanan darah, dan Tn. H
segera di pindahkan ke ICU dengan saturasi oksigen 100% , tekanan darah
120/100 mmhg serta steward score 6 dengan catatan pasien posisi
terlentang tanpa bantal hingga sadar penuh.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. General Anastesi
1. DEFINISI
General anestesi merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
secara sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible). Teknik general
anestesi yang dapat dilakukan adalah general anestesi denggan teknik
intravena anestesi, general anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face
mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan
endotrecheal tube atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena
(Latief, 2007).
2. Teknik General Anestesi (Mangku dan Senapathi, 2010) yaitu :
1) General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan
obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
2) General Anestesi Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan
kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang
mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara
inspirasi.
3) Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-
obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk
mencapai trias anestesi (efek hipnosis, analgesia, relaksasi)

9
3. Obat General Anastesi
Tabel 2.1. Obat-obatan General Anastesi

1) Anestesi intravena
Obat-obatan anastesi intravena yaitu tiopental, propofol, ketamin,
dan opioid.
2) Anestesi inhalasi
Obat-obat anestesi inhalasi yaitu N20, halotan, enfluran, isofluran,
desfluran, dan sevofluran.
Tabel 2.2 Obat Anastesia Inhalasi

3) Obat pelumpuh otot


Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesi
umum inhalasi, melakukan blokade saraf regional dan memberikan
obat pelumpuh otot. Obat pelumpuh otot dibedakan menjadi
pelumpuh obat depolarisasi contohnya adalah suksinil kolin dan
dekametonium pada golongan ini obat antikolinesterase di kontra

10
indikasikan sedangkan yang kedua adalah jenis pelumpuh otot non
depolarisasi contohnya adalah d-tubokuarin, metokurin, atrakurium,
doksakurium, mivakurium, vankuronium, pipekuronium,
ropakuronium, rokuronium, gallamin, dan alkuronium penawar
pelumpuh otot dapat diberikan berupa antikolinesterase, yang paling
banyak digunakan adalah neostigmin (prostigmin).
Tabel 2.3. Obat-obatan Pelumpuh Otot

11
4) Tatalaksana nyeri
Metode penghilang nyeri biasanyanya digunakan analgesik
golongan opioid untuk nyeri hebat untuk nyeri hebat dan golongan
anti inflamasi non steroid untuk nyeri ringan sampai sedang. Opioid
adalah semua semua zat baik sintetik atau natural yang dapat
berikatan dengan reseptor morfin . dibagi menjadi 3 golongan yaitu
ada golongan agonis contoh opioid adalah morfin , papaveretum,
petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein,
alfaprodin. Golongan antagonis contohnya adalah nalokson dan
naltrekson. Golongan agonis-antagonis contohnya pentasosin,
nalbufin, butarfanol, buprenorfin. Selain itu ada juga golongan obat
analgetik non opioid yang tidak berkaitan dengan reseptor opioid
seperti asam asetil salisilat, indometasin, diklofenakketorolak,
ketoprofen, piroksikam, meloksikam dan acetaminofen. (Latief et
al., 2010).
4. Penilaian dan Persiapan Anastesi
1) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi
sebelumnya untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri
otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat
dirancang anestesi berikutnya dengan lebih baik. Kebiasaan

12
merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya. (Latief et al.,
2010).
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan system organ seperti inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi. (Latief et al., 2010).
3) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai dengan indikasi.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb,
lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada
usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto
thoraks. (Latief et al., 2010).
4) Kebugaran untuk anastesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada
operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari. (Latief et
al., 2010).
5) Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang digunakan berasal dari the american society of
anesthesiologi (ASA) yaitu:

 ASA I Pasien normal sehat organik, tanpa kelainan fisiologi,


biokimiawi, dan psikiatris.
 ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang
 ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas
 ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa,

13
 ASA V pasien dengan kemungkinan hidup kecil/ sekarat. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24
jam tanpa operasi / dengan operasi.
Untuk operasi cito atau emergency, ASA ditambah huruf E.
6) Masukan Oral
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis
sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam
jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia. (Latief et al.,
2010).
5. Premedikasi
Premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesi diantaranya:
1) Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
2) Memudahkan atau memperlancar induksi
3) Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5) Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
6) Mengurangi rasa sakit
7) Menciptakan amnesia
8) Mengurangi isi cairan lambung
9) Mengurangi reflex yang membahayakan
Ada beberapa obat yang dapat diberikan pada tahap ini misalnya Obat
pereda kecemasan dapat diberikan diazapam peroral 10-15 mg beberapa
jam sebeluma nestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg secara intramuscular. Untuk
meminimalkan kejadian pneumonitis asam pada lambung dapat diberikan
obat seperti Simetidin 600 mg atau ranitidin oral 150 mg 1-2 jam sebelum

14
operasi. Untuk mengurangi mual muntah pasca operasi sering
ditambahkan ondansetron 2-4 mg atau Droperidol 2,5-5mg
(Latief et al., 2010)
6. Induksi Anastesia
Induksi anastesia ialah suatu tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anastesia dan
pembedahan. Induksi anastesia dapat dilakukan secara intravena,
intramuskular, inhalasi dan per rektal.
Induksi secara intravena dilakukan dengan menyuntikan obat induksi
dalam kecepatan antara 30-60 detik. Obat yang dapat digunakan yaitu:
1) Tiopental (tiopenton, pentotal) kepekatan 25% dan dosis antara 3-7
mg/kgBB, propofol (recofol, diprivan) kepekatan 1% dengan dosis
2-3 mg/kgBB
2) Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan
dosis tinggi. Opioid tidak menggangu kardiovaskular sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung.
Dosis fentanil 20-50 mg/kgBB dilanjutkan dengan rumatan 0,3-1
mg/kgBB/menit.
3) Ketamin (ketalar) dosis 1-2 mg/kgBB. Ketamin dapat menimbulkan
efek halusinasi oleh karena itu sebelum pemberian ketamin dapat
diberikan midazolam serta ketamin tidak boleh diberikan pada
pasien tekanan darah tinggi (>160mmHg).
Induksi intramuskular menggunakan ketamin (ketalar) dengan dosis 5-7
mg/kgBB.
Induksi inhalasi menggunakan halotan dan sefofluran. Induksi halotan
memerlukan gas pendorong berupa O2 atau gabungan N2O dan O2.
Induksi dimulai dengan O2 sebanyak 4 liter/ menit atau gabungan N2O
dengan O2 dengan perbandingan 3: 1 aliran 4 liter/menit dimulai dengan
halotan 0,5 vol % sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Induksi dengan
sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk walowpun

15
diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol % kemudian
konsentrasi disesuaikan dengan keperluan.
Induksi per rektal mengunakan tiopental atau midazolam untuk anak dan
bayi (Latief et al., 2010).
7. Rumatan/maintenance Anastesia
Rumatan intravena dapat menggunakan opioid dosis tinggi seperti
fentanil 10-50 micogram/kgBB. Dosis tinggi opioid dapat menyebabkan
pasien tidur dengan analgesik cukup, sehingga tinggal memberikan
relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intra vena juga dapat menggunakan
opioid dosis biasa tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Untuk mengembangkan paru dapat diberikann O2 atau
gabungan N2O dan O2. Rumatan inhalasi dapat menggunakan campuran
N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol % atau
enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol % atau sevofluran 2-4 vol % .
Kemudian pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan. (Latief et
al., 2010).
8. Monitoring perianastesia
Monitoring rutin atau standar pada sistem perianastesia berbeda antara
satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya dan bergantung banyak hal
seperti apakah pembedahannya termasuk bedah ringan cepat selesai pada
pasien sehat, atau bedah sedang, bedah khusus (bedah jantung, otak,
teknik hipotensi, teknik hipotermi atau bedah pasien dengan kelainan
sistemik berat). Monitoring yang lengkap dan baik dapat meningkatkan
mutu pelayanan terhadap pasien. monitoring standar minimal yaitu
stetoskop prekordial/esofageal, manset tekanan darah, ekg, oksimeter
dan termometer. Monitoring perianastesia meliputi monitoring
kardiovascular, respirasi, suhu badan, ginjal, neuromuskular, sistem saraf
serta monitoring khusus. (Latief et al., 2010).

16
9. Terapi cairan pada pembedahan
Terapi cairan merupakan suatu tindakan untuk memelihara, mengganti
milieuinteriur dalam batas-batas fisiologis dengan cairan kristaloid
(elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara intravena. Terapi
cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat puasa
sesudah dan sebelum pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat
pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan
pindah ke ruang ketiga (ke rongga peritoneum, keluar tubuh). Kebutuhan
cairan basal dewasa mudah ialah 2 ml/kgBB/jam, dewasa tua 1
ml/kgBB/jam serta anak-anak 4 ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg
pertama 2 ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg kedua 1 mg/kgBB/jam
untuk sisa berat badan. Untuk menganti cairan saat puasa yaitu lama
puasa(jam)x kebutuhan cairan basal. Untuk mengganti cairan yang
pindah ke ruang ketiga tergantung dengan jenis pembedahannya jika
pembedahan ringan 4ml/kgBB/jam, pembedahan sedang 6ml/kgBB/jam
dan pembedahan berat 8ml/kgBB/jam.
Perdarahan pada pembedahan tidak selalu perlu transfusi. Perdarahan
<20% pada dewasa cukup diganti dengan cairan infus yang kira-kira
komposisi elektrolitnya sama dengan serum. Perdarahan >10% pada bayi
diperlukan transfusi. Volume darah bayi/ anak 80 ml/kgBB, volume
darah dewasa pria 75 ml/kgBB, serta dewasa wanita 65 ml/kgBB. (Latief
et al., 2010).
10. Stadium anastesia
1) Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari
pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran.
Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi
pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi.
2) Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya
kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II
terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak,

17
pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis,
hipertensi, dan takikardia.
3) Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu;
a) Plana I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan
terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal,
refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra,
konjuctiva dan kornea terdepresi.
b) Plana II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola
mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot
perut.
c) Plana III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata
kembali ke tengah dan otot perut relaksasi.
4) Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai
dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata
menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi
lakrimal (Munaf, 2008).
Tabel 2.4. Stadium Anastesi

18
11. Pengakhiran Anastesia
Setelah pembedahan selesai, obat anestetika dihentikan pemberiannya.
Berikan oksigen murni 5-15 menit. Bersihkan rongga hidung dan mulut
dari lendir kalau perlu. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur pulih
sesuai dengan turunnya kadar obat anastesi dalam darah Jika
menggunakan pelumpuh otot, dapat dinetralkan dengan prostigmin (0,04
mg/kg) atau neostigmine (0,05 mg/kg) dan atropin (0,02 mg/kg). Depresi
nafas oleh narkotika-analgetika netralkan dengan nalokson 0,2-0,4 mg
secara titrasi.3,4,6 Ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih
teranastesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar.
Ekstubasi dalam keadaan anestesia ringan, akan menyebab kan batuk-
batuk, spasme laring atau bronkus. Ekstubasi dalam keadaan anestesia
dalam digemari karena kurang traumatis. Dikerjakan kalau nafas
spontannya adekuat, keadaan umumnya baik dan diperkirakan tidak akan
menimbulkan kesulitan pasca intubasi

12. Intubasi Trakea


Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam
trakhea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea (Latief,
2007). Tindakan intubasi trakhea merupakan salah satu teknik anestesi
umum inhalasi, yaitu memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi
langsung ke udara inspirasi. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan
dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan
perempuan 7,5 – 8,5 mm (Latief, 2007). Pada anakanak dipakai rumus
(Latief, 2007):

19
Idikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
sebagai berikut :
1) Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun kelainan anatomi, bedah
khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-
lain.
2) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka
panjang
3) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Klasifikasi tampakan
faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal
menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi (Latief, 2007)
Kontraindikasi pemasangan Intubasi yaitu :
1) Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
2) Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglotitis
3) Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin teacher,
atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial
4) Benda asing
5) Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang leher
6) Obesitas
7) Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis
arkilosing, halo traction
8) Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek,
gigi moncong (Latief, 2007)
Pemasangan Intubasi
1) Persiapan Alat (STATICS)
2) Pelaksanaan
a) Mesin siap pakai
b) Cuci tangan
c) Memakai sarung tangan steril
d) Periksa balon pipa/ cuff ETT
e) Pasang macintosh blade yang sesuai

20
f) Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai
g) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
h) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
i) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
j) Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
k) Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis,
dorong blade sampai pangkal epiglotis
l) Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
m) Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan
kanan
n) Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan
nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
o) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
p) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
q) Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
r) Lakukan fiksasi ETT dengan plester
s) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir 2
t) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
u) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan (Latief, 2007)
13. Gangguan Pasca Anastesia
Menurut (Potter dan Perry, 2010) gangguan pasca anastesia yaitu :
1) Pernapasan
Gangguan pernapasan cepat menyebabkan kematian karena hipoksia
sehingga harus diketahui sedini mungkin dan segera di atasi.
Penyebab yang sering dijumpai sebagai penyulit pernapasan adalah
sisa anastesi (penderita tidak sadar kembali) dan sisa pelemas otot
yang belum dimetabolisme dengan sempurna, selain itu lidah jatuh
kebelakang menyebabkan obstruksi hipofaring. Kedua hal ini
menyebabkan hipoventilasi, dan dalam derajat yang lebih berat
menyebabkan apnea.

21
2) Sirkulasi
Penyulit yang sering di jumpai adalah hipotensi syok dan aritmia,
hal ini disebabkan oleh kekurangan cairan karena perdarahan yang
tidak cukup diganti. Sebab lain adalah sisa anastesi yang masih
tertinggal dalam sirkulasi, terutama jika tahapan anastesi masih
dalam akhir pembedahan
3) Regurgitasi dan Muntah
Regurgitasi dan muntah disebabkan oleh hipoksia selama anastesi.
Pencegahan muntah penting karena dapat menyebabkan aspirasi.
4) Hipotermi
Gangguan metabolisme mempengaruhi kejadian hipotermi, selain
itu juga karena efek obat-obatan yang dipakai. General anestesi juga
memengaruhi ketiga elemen termoregulasi yang terdiri atas elemen
input aferen, pengaturan sinyal di daerah pusat dan juga respons
eferen, selain itu dapat juga menghilangkan proses adaptasi serta
mengganggu mekanisme fisiologi pada fungsi termoregulasi yaitu
menggeser batas ambang untuk respons proses vasokonstriksi,
menggigil, vasodilatasi, dan juga berkeringat.
5) Gangguan Faal Lain
Diantaranya gangguan pemulihan kesadaran yang disebabkan oleh
kerja anestesi yang memanjang karena dosis berlebih relatif karena
penderita syok, hipotermi, usia lanjut dan malnutrisi sehingga
sediaan anestesi lambat dikeluarkan dari dalam darah.

22
B. Perforasi Gaster

1. Definisi
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut
abdomen. Penyebab perforasi gastrointestinal adalah : ulkus peptik,
inflamasi divertikulum kolon sigmoid, kerusakan akibat trauma, perubahan
pada kasus penyakit Crohn, kolitis ulserasi, dan tumor ganas di sistem
gastrointestinal. Perforasi paling sering adalah akibat ulkus peptik lambung
dan duodenum. Perforasi dapat terjadi di rongga abdomen (perforatio
libera) atau adesi kantung buatan (perforatio tecta). Pada anak-anak cedera
yang mengenai usus halus akibat dari trauma tumpul perut sangat jarang
dengan insidensinya 1-7 %. Sejak 30 tahun yang lalu perforasi pada ulkus
peptikum merupakan penyebab yang tersering. Perforasi ulkus duodenum
insidensinya 2-3 kali lebih banyak daripada perforasi ulkus gaster. Hampir
1/3 dari perforasi lambung disebabkan oleh keganasan pada lambung.
Sekitar 10-15% penderita dengan divertikulitis akut dapat berkembang
menjadi perforasi bebas. Pada pasien yang lebih tua appendicitis acut
mempunyai angka kematian sebanyak 35 % dan angka kesakitan 50 %.
Faktor-faktor utama yang berperan terhadap angka kesakitan dan kematian
pada pasien-pasien tersebut adalah kondisi medis yang berat yang
menyertai appedndicitis tersebut.

2. Etiologi
 Cedera tembus yang mengenai dada bagian bawah atau perut (contoh:
trauma tertusuk pisau)
 Trauma tumpul perut yang mengenai lambung. Lebih sering ditemukan
pada anak-anak dibandingkan orang dewasa.
 Obat aspirin, NSAID (misalnya fenilbutazon, antalgin,dan natrium
diclofenac) serta golongan obat anti inflamasi steroid diantaranya
deksametason dan prednisone. Sering ditemukan pada orang dewasa.
 Kondisi yang mempredisposisi: ulkus peptikum, appendicitis akut,

23 11
divertikulosis akut, dan divertikulum Meckel yang terinflamasi.
 Appendicitis akut: kondisi ini masih menjadi salah satu penyebab
umum perforasi usus pada pasien yang lebih tua dan berhubungan
dengan hasil akhir yang buruk.
 Luka usus yang berhubungan dengan endoscopic : luka dapat terjadi
oleh ERCP dan colonoscopy.
 Fungsi usus sebagai suatu komplikasi laparoscopic: faktor yang
mungkin mempredisposisikan pasien ini adalah obesitas, kehamilan,
inflamasi usus akut dan kronik dan obstruksi usus.
 Infeksi bakteri: infeksi bakteri (demam typoid) mempunyai komplikasi
menjadi perforasi usus pada sekitar 5 % pasien. Komplikasi perforasi
pada pasien ini sering tidak terduga terjadi pada saat kondisi pasien
mulai membaik.
 Penyakit inflamasi usus : perforasi usus dapat muncul pada paien
dengan colitis ulceratif akut, dan perforasi ileum terminal dapat
muncul pada pasien dengan Crohn’ disease.
 Perforasi sekunder dari iskemik usus (colitis iskemik) dapat timbul.
 Perforasi usus dapat terjadi karena keganasan didalam perut atau
limphoma
 Radiotherapi dari keganasan cervik dan keganasan intra abdominal
lainnya dapat berhubungan dengan komplikasi lanjut, termasuk
obstruksi usus dan perforasi usus.
 Benda asing (misalnya tusuk gigi atau jarum pentul) dapat
menyebabkan perforasi oesophagus, gaster, atau usus kecil dengan
infeksi intra abdomen, peritonitis, dan sepsis.

3. Patofisologi
Secara fisiologis, gaster relatif bebas dari bakteri dan
mikroorganisme lainnya karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi.
Kebanyakan orang yang mengalami trauma abdominal memiliki fungsi

24 12
gaster yang normal dan tidak berada pada resiko kontaminasi bakteri yang
mengikuti perforasi gaster. Bagaimana pun juga mereka yang memiliki
masalah gaster sebelumnya berada pada resiko kontaminasi peritoneal
pada perforasi gaster. Kebocoran asam lambung kedalam rongga
peritoneum sering menimbulkan peritonitis kimia. Bila kebocoran tidak
ditutup dan partikel makanan mengenai rongga peritoneum, peritonitis
kimia akan diperparah oleh perkembangan yang bertahap dari peritonitis
bakterial. Pasien dapat asimptomatik untuk beberapa jam antara peritonitis
kimia awal dan peritonitis bakterial lanjut.

Mikrobiologi dari usus kecil berubah dari proksimal samapi ke


distalnya. Beberapa bakteri menempati bagian proksimal dari usus kecil
dimana, pada bagian distal dari usus kecil (jejunum dan ileum) ditempati
oleh bakteri aerob (E.Coli) dan anaerob (Bacteriodes fragilis (lebih banyak).
Kecenderungan infeksi intra abdominal atau luka meningkat pada perforasi
usus bagian distal.

Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang masuknya sel-sel


inflamasi akut. Omentum dan organ-organ visceral cenderung melokalisir
proses peradangan, mengahasilkan phlegmon (ini biasanya terjadi pada
perforasi kolon). Hypoksia yang diakibatkannya didaerah itu memfasilisasi
tumbuhnya bakteri anaerob dan menggangu aktifitas bakterisidal dari
granulosit, yang mana mengarah pada peningkatan aktifitas fagosit daripada
granulosit, degradasi sel-sel, dan pengentalan cairan sehingga membentuk
abscess, efek osmotik, dan pergeseran cairan yang lebih banyak ke lokasi
abscess, dan diikuti pembesaran absces pada perut. Jika tidak ditangani
terjadi bakteriemia, sepsis, multiple organ failure dan shock.

4. Gejala klinik
a. Nyeri perut hebat yang makin meningkat dengan adanya pergerakan
b. Nausea

25
c. Vomitus
d. Pada keadaan lanjut disertai demam dan mengigil.

5. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan pada area perut:
Periksa apakah ada tanda-tanda eksternal seperti luka, abrasi, dan atau
ekimosis.

Amati pasien: lihat pola pernafasan dan pergerakan perut saat bernafas,
periksa adanya distensi dan perubahan warna kulit abdomen. Pada
perforasi ulkus peptikum pasien tidak mau bergerak, biasanya dengan
posisi flexi pada lutut, dan abdomen seperti papan.

b. Pada auskultasi bila tidak ditemukan bising usus mengindikasikan


suatu peritonitis difusa.
c. Nyeri perkusi mengindikasikan adanya peradangan peritoneum
d. Palpasi dengan halus
Perhatikan ada tidaknya massa atau nyeri tekan. Bila ditemukan
tachycardi, febris, dan nyeri tekan seluruh abdomen mengindikasikan
suatu peritonitis. Rasa kembung dan konsistensi sperti adonan roti
mengindikasikan perdarahan intra abdominal.

e. Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dan pelvis


Pemeriksaan ini dapat membantu menilai kondisi seperti appendicitis
acuta, abscess tuba ovarian yang ruptur dan divertikulitis acuta yang
perforasi.

6. Pemeriksaan Penunjang
Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan
adalah: foto polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi dengan
vesika urinaria penuh, CT-scan murni dan CT-scan dengan kontras. Jika

26
temuan foto Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas, sebaiknya jangan ragu
untuk menggunakan CT-scan, dengan pertimbangan metode ini dapat
mendeteksi cairan dan jumlah udara yang sangat sedikit sekali pun yang
tidak terdeteksi oleh metode yang disebutkan sebelumnya.

a. Radiologi
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen.
Isi yang keluar dari perforasi dapat mengandung udara, cairan lambung
dan duodenum, empedu, makanan, dan bakteri. Udara bebas atau
pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar dari sistem
gastrointestinal. Hal ini terjadi setelah perforasi lambung, bagian oral
duodenum, dan usus besar. Pada kasus perforasi usus kecil, yang dalam
keadaan normal tidak mengandung udara, jumlah udara yang sangat
kecil dilepaskan. Udara bebas terjadi di rongga peritoneum 20 menit
setelah perforasi.

Manfaat penemuan dini dan pasti dari perforasi gaster sangat penting,
karena keadaan ini biasanya memerlukan intervensi bedah. Radiologis
memiliki peran nyata dalam menolong ahli bedah dalam memilih
prosedur diagnostik dan untuk memutuskan apakah pasien perlu
dioperasi. Deteksi pneumoperitoneum minimal pada pasien dengan
nyeri akut abdomen karena perforasi gaster adalah tugas diagnostik
yang paling penting dalam status kegawatdaruratan abdomen. Seorang
dokter yang berpengalaman, dengan menggunakan teknik radiologi,
dapat mendeteksi jumlah udara sebanyak 1 ml. dalam melakukannya,
ia menggunakan teknik foto abdomen klasik dalam posisi berdiri dan
posisi lateral decubitus kiri.

Untuk melihat udara bebas dan membuat interpretasi radiologi dapat


dipercaya, kualitas film pajanan dan posisi yang benar sangat penting.
Setiap pasien harus mengambil posisi adekuat 10 menit sebelum
pengambilan foto, maka, pada saat pengambilan udara bebas dapat

27
mencapai titik tertinggi di abdomen. Banyak peneliti menunjukkan
kehadiran udara bebas dapat terlihat pada 75-80% kasus. Udara bebas
tampak pada posisi berdiri atau posisi decubitus lateral kiri. Pada kasus
perforasi karena trauma, perforasi dapat tersembunyi dan tertutup oleh
kondisi bedah patologis lain. Posisi supine menunjukkan

pneumoperitoneum pada hanya 56% kasus. Sekitar 50% pasien


menunjukkan kumpulan udara di abdomen atas kanan, lainnya adalah
subhepatika atau di ruang hepatorenal. Di sini dapat terlihat gambaran
oval kecil atau linear. Gambaran udara bentuk segitiga kecil juga dapat
tampak di antara lekukan usus. Meskipun, paling sering terlihat dalam
bentuk seperti kubah atau bentuk bulan setengah di bawah diafragma
pada posisi berdiri. Football sign menggambarkan adanya udara bebas
di atas kumpulan cairan di bagian tengah abdomen.

b. Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut
abdomen. Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas
dengan berbagai densitas, yang pada kasus ini adalah sangat tidak
homogen karena terdapat kandungan lambung. Pemeriksaan ini
khususnya berharga untuk mendeteksi cairan bebas di pelvik kecil
menggunakan teknik kandung kemih penuh. Kebanyakan,
ultrasonografi tidak dapat mendeteksi udara bebas.

c. CT-scan
CT-scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk
mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti
gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan negatif. Oleh
karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi gaster.
Ketika melakukan pemeriksaan, kita perlu menyetel jendelanya agar
dapat membedakan antara lemak dengan udara, karena keduanya
tampak sebagai area hipodens dengan densitas negatif. Jendela untuk

28
parenkim paru adalah yang terbaik untuk mengatasi masalah ini. Saat
CT scan dilakukan dalam posisi supine, gelembung udara pada CT scan
terutama berlokasi di depan bagian abdomen. Kita dapat melihat
gelembung udara bergerak jika pasien setelah itu mengambil posisi
decubitus kiri. CT scan juga jauh lebih baik dalam mendeteksi
kumpulan cairan di bursa omentalis dan retroperitoneal. Walaupun
sensitivitasnya tinggi, CT scan tidak selalu diperlukan berkaitan
dengan biaya yang tinggi dan efek radiasinya. Jika kita menduga
seseorang mengalami perforasi, dan udara bebas tidak terlihat pada
scan murni klasik, kita dapat menggunakan substansi kontras nonionik
untuk membuktikan keraguan kita. Salah satu caranya adalah dengan
menggunakan udara melalui pipa nasogastrik 10 menit sebelum
scanning. Cara kedua adalah dengan memberikan kontras yang dapat
larut secara oral minimal 250 ml 5 menit sebelum scanning, yang
membantu untuk menunjukkan kontras tapi bukan udara. Komponen
barium tidak dapat diberikan pada keadaan ini karena mereka dapat
menyebabkan pembentukkan granuloma dan adesi peritoneum.
Beberapa penulis menyatakan bahwa CT scan dapat memberi ketepatan
sampai 95%.

7. Penatalaksanaan
Tanda dan gejala perforasi gaster biasanya mereka dengan gejala
akut abdomen disertai sepsis dan gagal napas. Pemeriksaan abdominal
adanya distensi abdominal yang signifikan. Vomitus adalah gejala yang
tidak konsisten. Terapi suportif yang baik post operatif bersama dengan
penggunaan antibiotik spektrum luas secara intravena diperlukan.

Jika gejala dan tanda-tanda peritonitis umum tidak ada, kebijakan


nonoperatif mungkin digunakan dengan terapi antibiotik langsung
terhadap bakteri gram-negatif dan anaerob. Apabila penderita yang

29
lambungnya mengalami perforasi, harus diperbaiki keadaan umumnya
sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa
nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak diberikan.

Tujuan dari terapi bedah adalah :

a. Koreksi masalah anatomi yang mendasari


b. Koreksi penyebab peritonitis
c. Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat
menghambat fungsi leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri
(seperti darah, makanan, sekresi lambung).

Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan.


Jahitan saja setelah eksisi tukak yang perforasi belum mengatasi penyakit
primernya, tetapi tindakan ini dianjurkan bila keadaan umum kurang baik,
penderita usia lanjut dan terdapat peritonitis purulenta. Bila keadaan
memungkinkan, tambahan tindakan vagotomi dan antrektomi dianjurkan
untuk mencegah kekambuhan.

Tujuan dari prosedur operasi untuk ulkus duodenum adalah untuk


memberikan perbaikan yang lama dengan mengontrol produksi asam sel
parietal. Pendekatan operasi untuk ulkus duodenum perforasi dapat
menggunakan patch omentum saja dengan penggunaan pasca operasi PPI
dan pemberantasan H pylori, seperti yang ditunjukkan, atau dapat
menggunakan patch omentum dengan kontrol bedah asam lambung dengan
cara vagotomy dan drainase, sel parietal vagotomy, dan antrectomy. Pilihan
operasi ditentukan oleh berikut:

a. Patologi bertanggung jawab untuk perforasi


b. status kesehatan premorbid Pasien
c. status hemodinamik perioperatif Pasien
d. Tingkat kontaminasi peritoneum yang telah ditemukan

30
Indikasi Patch omentum ditunjukkan dalam situasi berikut:
a. Peritonitis Generalized
b. Ketidakstabilan hemodinamik dengan syok
c. Perforasi selama lebih dari 24 jam
d. Perforasi jelas terkait dengan penggunaan obat anti-inflammatory drugs
(NSAID)
e. Pasien tidak memiliki gejala yang signifikan selama 3 bulan sebelum
prosedur

Ulkus lambung pada atipikal (lokasi lebih proksimal) atau dengan


fitur sugestif keganasan tidak boleh ditambal tapi harus baji-direseksi
kecuali biopsi dan tindakan lain dapat meyakinkan bahwa mereka adalah
jinak.
Obstruksi lambung merupakan komplikasi pasca operasi dengan frekuensi
sekitar 15%. Jika ulkus besar dan pasien stabil, komplikasi ini dapat dicegah
dengan eksisi ulkus dan penggabungan perbaikan menjadi pyloroplasty
Heineke-Mikulicz. Indikasi lain untuk jenis perbaikan cacat duodenum
lebih besar dari 1 cm untuk memungkinkan pencegahan striktur dan
obstruksi berikutnya. Pada pasien dengan klinis yang lebih stabil, pilihan
pembedahan gastrektomi distal atau antrectomy dan vagotomy lebih agresif
tetapi lebih definitif.

Pertimbangan Teknis
 Resusitasi Praoperasi
Pentingnya resusitasi pra operasi digarisbawahi oleh Shoemaker dalam
sebuah penelitian menunjukkan peningkatan mortalitas dan morbiditas
pada pasien yang berisiko tinggi dengan hemodinamik supranormal dan
oksigen variabel transportasi.

31
Perbaikan klinis dengan melihat resusitasi pra operasi yang memadai
berasal dari konsep optimalisasi sirkulasi dan pembesaran pengiriman
oksigen ke jaringan perifer oleh preload yang memadai.
 Drainase
Patch diyakini mematuhi serosal lapisan usus dan dengan demikian
menutup perforasi. Drainase dapat menyebabkan morbiditas (infeksi
atau erosi ke dalam struktur viseral). Apabila abses memenuhi dinding
abdomen dan serta adanya kontaminasi yang berasal dari perforasi,
maka drainase dapat ditempatkan didalam rongga yang terdapat abses.
 Bedah dan kimia vagotomy penyakit ulkus perforasi
Dengan diperkenalkannya PPI, vagotomy kimia banyak digantikan
vagotomy bedah, dengan tingkat keberhasilan yang baik. Pada pasien
yang tidak sesuai dengan pengobatan medis, vagotomy bedah pada saat
awal atau perbaikan untuk ulkus perforasi harus dipertimbangkan.
Namun, seperti yang dibahas dalam teks, status hemodinamik pasien
adalah penentu utama tingkat intervensi bedah.
 Patch omentum untuk perforasi ulkus peptikum lambung
Pilihan patching omentum berongga viskus perforasi tergantung pada
lokasi lesi dan flora mikroba dari bagian masing-masing saluran
pencernaan. lesi prepilorik atau pilorus berada di dekat omentum dan
karena itu dapat ditambal dengan ketegangan minimal, sedangkan ulkus
pada lekukan yang lebih proksimal lambung mungkin tidak mudah
diakses dengan metode ini. Pada saat yang sama, lingkungan asam pada
lambung dan duodenum proksimal dengan pertumbuhan minimal dan
proliferasi flora normal gram kokus positif membuat perbaikan untuk
patching sederhana, menjamin penutupan ketat pada perekrutan sel
inflamasi.
Sebaliknya, ulkus lambung lebih proksimal lebih mungkin untuk
menjadi ganas. Ulkus berlubang yang ganas tidak harus ditambal,
karena mereka tidak mungkin untuk menutup. ulkus lambung

32
berlubang ganas setidaknya harus direseksi wedge jika pasien tidak
cukup stabil untuk menjalani reseksi kanker lebih klasik.

Teknik
 pendekatan standar
Sayatan garis tengah atas adalah rute yang lebih disukai untuk masuk
ke dalam rongga peritoneum. Selain memberikan paparan bedah yang
baik, sebuah garis tengah sayatan atas juga memungkinkan
perpanjangan inferior jika ulkus perforasi tidak ditemukan dan sisanya
dari usus yang akan diperiksa atau dimanipulasi. Pengisapan cairan
gastrointestinal dari setiap eksudat fibrinous dilakukan secara cepat,
dan perhatikan duodenum dan visualisasi perforasi. Perforasi biasanya
ditemukan pada dinding anterior dari duodenum, di dekat dengan bola
duodenum. Jika perforasi tidak jelas, mobilisasi duodenum bersama
dengan pemeriksaan perut dan jejunum selanjutnya harus dilakukan.
Setelah perforasi usus diidentifikasi, busa dapat digunakan untuk
mengapit duodenum untuk mencegah tumpahan lanjut isi lambung.
Sebuah patch dari omentum dibawa tanpa ketegangan dan diposisikan
di atas perforasi, dan jahitan berturut-turut diikat dari unggul aspek
inferior di patch omentum untuk jangkar graft omentum di tempat.
Setelah operasi perbaikan telah dicapai, beberapa ahli bedah melakukan
tes kebocoran untuk memungkinkan deteksi kesalahan teknis. Tujuan
perbaikan adalah untuk mengamankan omentum untuk menutup
peforasi.
Rongga peritoneum kemudian diirigasi dengan 10 L larutan garam
hangat untuk menghilangkan kontaminasi lebih lanjut.
Pemilihan drainase dari daerah dekat dengan perforasi dapat dicoba jika
kekhawatiran tentang adanya kemungkinan kebocoran dari ulkus
dengan cara ditempatkan di daerah paraduodenal atau ruang
infrahepatic. Keuntungan drainase dapat mendeteksi dini kebocoran

33
pasca operasi dan penyediaan drainase dikendalikan menggunakan
suction saluran tertutup jika kebocoran tidak terjadi.
Lesi kemudian ditutup dengan cara biasa dengan jahitan kontinu atau
terputus dari polypropylene atau polydioxanone. Jika edema besar usus
menyebabkan ketegangan di tepi fasia pada penutupan, maka abdomen
dapat dikelola terbuka melalui berbagai teknik, termasuk penutupan
vacuum-assisted closure, Wittmann patch, dan sejumlah pilihan lain.
Perawatan Pascaoperasi
 Makanan
Makanan oral mungkin akan tertunda karena kebutuhan untuk ileus
untuk menyelesaikan dan patch omentum untuk menyembuhkan.
 Terapi antimikroba
Perforasi duodenum dengan peritonitis lokal atau umum dan tumpahan
isi enterik pada pasien yang tidak stabil hemodynamically ditemukan
sepsis atau syok septik dan dianggap infeksi intra-abdominal rumit.
Menurut pedoman dari Infectious Diseases Society of America, terapi
antimikroba harus dilanjutkan pasca operasi selama 24 jam ketika
perforasi pembedahan telah ditutup pada 12 jam pertama.
Jika resolusi tanda-tanda klinis dari infeksi, termasuk normalisasi
jumlah sel darah putih dan suhu tidak terjadi setelah 24 jam pasca
operasi, antimikroba dapat dilanjutkan selama 4-7 hari. Baik kombinasi
dari beta-laktam dengan inhibitor beta-laktamase (misal amoksisilin
klavulanat) atau carbapenem (misalnya, ertapenem atau imipenem)
lebih disukai.
Dalam kasus di mana ada bukti infeksi persisten atau berulang setelah
4-7 hari terapi, kemungkinan adanya abses intraoperatif. Cari sumber
lain dari infeksi, seperti saluran kemih atau pernapasan, kateter, dan
garis, harus diselidiki setelah kecurigaan infeksi dari intra-abdominal
dikesampingkan. Pemberantasan H. pylori juga harus dipertimbangkan.
Beberapa ahli bedah dapat memilih untuk pemberantasan pasca operasi
empiris dengan obat anti-sekretorik dan antibiotik setelah pasien

34
mentoleransi diet oral, sementara yang lain memilih untuk menguji
H.pylori dan kemudian memperlakukan hanya pasien yang dites positif
H.pylori. Pemberantasan secara signifikan mengurangi morbiditas,
mortalitas, dan kambuhan gastritis pada pasien dengan perforasi yang
berhubungan dengan H pylori.

8. Komplikasi
Komplikasi pada perforasi gaster, sebagai berikut:

a. Infeksi Luka, angka kejadian infeksi berkaitan dengan muatan bakteri


pada gaster
b. Kegagalan luka operasi
Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap lapisan
luka operasi) dapat terjadi segera atau lambat.

Faktor-faktor berikut ini dihubungkan dengan kegagalan luka operasi :

 Malnutrisi
 Sepsis
 Uremia
 Diabetes mellitu
 Terapi kortikosteroid
 Obesitas
 Batuk yang berat
 Hematoma (dengan atau tanpa infeksi)
c. Abses abdominal terlokalisasi
d. Kegagalan multiorgan dan syok septic :
 Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang
menimbulkan manifestasi sistemik, seperti kekakuan, demam,
hipotermi (pada septikemia gram negatif dengan endotoksemia),
leukositosis atau leukopenia (pada septikemia berat), takikardi, dan
kolaps sirkuler.

35
 Syok septik dihubungkan dengan kombinasi hal-hal berikut :
- Hilangnya tonus vasomotor
- Peningkatan permeabilitas kapiler
- Depresi myokardial
- Pemakaian leukosit dan trombosit
- Penyebaran substansi vasoaktif kuat, seperti histamin, serotonin
dan prostaglandin, menyebabkan peningkatan permeabilitas
kapiler
- Aktivasi komplemen dan kerusakan endotel kapiler
 Infeksi gram-negatif dihubungkan dengan prognosis yang lebih
buruk dari gram-positif, mungkin karena hubungan dengan
endotoksemia.
e. Gagal ginjal dan ketidakseimbangan cairan, elektrolit, dan pH
f. Perdarahan mukosa gaster. Komplikasi ini biasanya dihubungkan
dengan kegagalan sistem multipel organ dan mungkin berhubungan
dengan defek proteksi oleh mukosa gaster
g. Obstruksi mekanik, sering disebabkan karena adesi postoperatif
h. Delirium post-operatif. Faktor berikut dapat menyebabkan predisposisi
delirium postoperatif:
 Usia lanjut
 Ketergantungan obat
 Demensia
 Abnormalitan metabolik
 Infeksi
 Riwayat delirium sebelumnya
 Hipoksia
 Hipotensi Intraoperatif/postoperative

36
9. Prognosis
Apabila tindakan operasi dan pemberian antibiotik berspektrum luas
cepat dilakukan maka prognosisnya dubia ad bonam. Sedangkan bila
diagnosis, tindakan, dan pemberian antibiotik terlambat dilakukan maka
prognosisnya menjadi dubia ad malam.

Hasil terapi meningkat dengan diagnosis dan penatalaksanaan dini. Faktor-


faktor berikut akan meningkatkan resiko kematian :

a. Usia lanjut
b. Adanya penyakit yang mendasari sebelumnya
c. Malnutrisi

37
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien Tn. H datang ke RSUD Salatiga untuk melakukan operasi


laparatomy yang telah di program oleh Dokter Bedah. Sebelum dilakukan
laparatomi pasien dipuasakan terlebih dahulu selama minimal 6 jam dan di
konsultasikan dengan Dokter Anastesi. Sebelum dilakukan operasi diawali dengan
kunjungan anastesi yang bertujuan untuk mengetahui kondisi pasien sebelum
dilakukan operasi, saat kunjungan anastesi dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
serta melihat hasil pemeriksaan penunjang pada pasien. Selain itu pada saat
kunjungan anastesi, Dokter Anastesi menjelaskan kemungkinan resiko yang dapat
terjadi saat operasi dan setelah operasi serta melakukan informed consent kepada
keluarga pasien. Setelah dilakukan kunjungan anastesi , pasien dikirim ke instalasi
bedah sentral (IBS) untuk dilakukan laparatomy. Sebelum dilakukan laparatomy
pasien di anastesi terlebih dahulu. Sebelum diinduksi pasien diberikan obat
premedikasi terlebih dahulu. Obat premedikasi yang diberikan yaitu sulfas atropine
0,25mg/kgBB.

Induksi yang di berikan pada pasien yaitu Proanes (Propofol) 100 mg.
Proanes (propofol) adalah salah satu dari kelompok derivat fenol yang banyak
digunakan sebagai anastesia intravena. Propofol dikemas dalam cairan emulsi
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg). Dosis
induksi cepat menimbulkan sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-
75 menit tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf pusat. Dosis induksi
menyebabkan pasien kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat
lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan
efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik. Dosis propofol digunakan untuk induksi
dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak –
anak usia lebih dari 3 tahun. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien lebih
dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 2-3 mg/kgBB dan untuk pasien lebih
dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 1-1.5 mg/kgBB. Pada pasien

38
Tn. H dengan usia 86 tahun diberikan propofol 100 mg. Pemberian induksi sudah
memberikan efek anastesi kemudian dipasang intubasi untuk menjaga patensi jalan
napas, mencegah aspirasi serta mempermudah melakukan ventilasi positif maka
dilakukan operasi laparatomy dan diberikan Maintenence atau pemeliharaan
anestesi.

Maintenence atau pemeliharaan anestesi yang diberikan kepada Tn. H


Torasik (Ketorolak) 30 mg untuk mengurangi rasa nyeri setelah pembedahan,
Vomceron (Ondansentron) 4 mg untuk mencegah mual muntah setelah proses
pembedahan, Gas 02 4 Lpm, Sevofluran 2,5 vol % untuk mengembangkan paru
pasien dan membantu pernafasan pasien selama operasi.

Pengakhiran anastesi pada pasien Tn. H yaitu anastesi diakhiri dengan


menghentikan pemberian obat anastesi, pada anastesi inhalasi bersamaan dengan
penghentian obat anastesi aliran oksigenasi dinaikkan, hal ini disebut oksigenasi.
Kemudian kesadaran pasien berangsur-angsur pulih dan dilakukan ekstubasi
(melepas pipa ET). Kemudian pasien di bawa ke ruang PACU untuk di monitoring
hingga pasien sadar setelah pasien sadar pasien di pindahkan kembali ke ruang
perawatan.

39
BAB IV
KESIMPULAN

Kesimpulannya dari kasus ini adalah:


 Diagnosis pre operatif : Perforasi Gaster
 Status operatif : ASA II
 Jenis operasi : Laparatomy
 Jenis anestesi : General Anestesi

40
Steward Score
NO Tanda Kriteria Score

1 Kesadaran Bangun 2

Respon terhadap 1
rangsang

Tidak ada respon 0

2 Respirasi Batuk/ menangis 2

Pertahankan jalan 1
napas

Perlu bantuan 0
napas

3 Motorik Gerak bertujuan 2

Gerak tanpa 1
tujuan

Tidak bergerak 0

Score ≥ 5 pasien pindah ke ruangan

41
DAFTAR PUSTAKA

Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, editor : Mansjoer, Arif.,


Suprohalta., Wardhani, Wahyu Ika., Setiowulan, Wiwiek., Fakultas
Kedokteran UI, Media Aesculapius, Jakarta : 2000
Latief, Said A, dkk. (2007). Petunjuk Praktik Anestesiologi: Edisi Kedua. Jakarta:
FKUI

Latief, Said A, dkk. (2010). Petunjuk Praktik Anestesiologi: Edisi Kedua. Jakarta:
FKUI

Mangku, G. dan Senapathi, I.G.A. (2010). Buku Ajar Ilmu Anastesi dan
Reanimasi. Indeks Jakarta, Jakarta.

Munaf, S. (2008). Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT.Indeks

Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 : Lambung dan
Duodenum, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC : Jakarta, 2004. Hal.
541-59.
RaviTch, M.M. (2007). Intussusception. Pediatric Surgery 4th edition : Chicago

Stringer, J.L .2008. Konsep Dasar Farmakologi : Panduan Untuk Mahasiswa, Ed.
3. Jakarta : EG

Sylvia A.Price, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi Konsep Klinis proses- proses


penyakit volume 1, Edisi 6, EGC : Jakarta, 2006

42

Anda mungkin juga menyukai