Anda di halaman 1dari 100

REFERAT

TRAUMA

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Kegawatdaruratan di RS PKU Muhammadiyah Gombong

Diajukan kepada:
dr. Eva Delsi, Sp.EM.

Disusun oleh:
Andika Nurwijaya
1813020053

BAGIAN ILMU KEGAWATDARURATAN


RS PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG
PROGRAM PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, Referat dengan judul


Trauma

Disusun oleh:

Andika Nurwijaya
1813020053

Disahkan oleh:
Dokter Pendidik Klinis,

dr. Eva Delsi, Sp.EM.

2
DAFTAR ISI
BAB I PENDHULUAN……………………………………………………...……4

1.1. Epidemiologi.............................................................................................4

1.2. Etiologi, Patogenesis, Faktor Predisposisi/Risiko.....................................7

1.3. Manifestasi Klinis....................................................................................11

1.4. Kriteria diagnosis....................................................................................17

1.5. Pemeriksaan penunjang...........................................................................21

BAB II TATALAKSANA DAN FARMAKO TERAPI………………………..65

II.1. Non Farmakoterapi..................................................................................65

II.2. Farmakoterapi..........................................................................................69

BAB III KOMPLIKASI DAN PROGNOSA.........................................................83

III.1. Komplikasi..............................................................................................83

III.2. Prognosis.................................................................................................90

BAB IV PENCEGAHAN......................................................................................93

BAB V PENUTUP.................................................................................................95

REFERENSI..........................................................................................................98

3
BAB I
PENDAHULUAN

a.1. Epidemiologi
1. Trauma kepala

Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan


kematian, terutama pada dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10%
kematian disebabkan karena trauma, dan setengah dari total kematian
akibat trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi
setiap 7 detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit.
Cedera kepala dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun angka
kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda berusia 15-24 tahun. Angka
kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering dibandingkan wanita.1
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan
lalu lintas yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007
dengan 2013 hanya untuk transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup
tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7 %.3
2. Trauma Thorak
Peningkatan pada kasus trauma toraks dari waktu ke waktu tercatat
semakin tinggi. Hal ini banyak disebabkan oleh kemajuan sarana
transportasi diiringi oleh peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Trauma toraks secara langsung menyumbang 20% sampai 25% dari
seluruh kematian akibat trauma, dan menghasilkan lebih dari 16.000
kematian setiap tahunnya di Amerika Serikat begitu pula pada negara
berkembang. 11

Di Amerika Serikat penyebab paling umum dari cedera yang


menyebabkan kematian pada kecelakaan lalu lintas, dimana kematian
langsung terjadi sering disebabkan oleh pecahnya dinding miokard atau
aorta toraks. Kematian dini (dalam 30 menit pertama sampai 3 jam) yang
diakibatan oleh trauma toraks sering dapat dicegah, seperti misalnya
disebabkan oleh tension Pneumotoraks ,tamponade jantung, sumbatan

4
jalan napas, dan perdarahan yang tidak terkendali. Oleh karena seringnya
kasus trauma toraks reversibel atau sementara tidak mengancam nyawa
dan tidak memerlukan tindakan operasi, sangat penting untuk dokter yang
bertugas di unit gawat darurat mengetahui lebih banyak mengenai
patofisiologi, klinis, diagnosis, serta jenis penanganan lebih lanjut.15

Di antara pasien yang mengalami trauma toraks, sekitar 50% akan


mengalami cedera pada dinding dada terdiri dari 10% kasus minor, 35%
kasus utama, dan 5% flail chest injury. Cedera dinding dada tidak selalu
menunjukkan tanda klinis yang jelas dan sering dengan mudah saja
diabaikan selama evaluasi awal. Di Australia, 45% dari trauma tumpul
mengenai rongga toraks. Dengan adanya trauma pada toraks akan
meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan trauma. Trauma toraks
dapat meningkatkan kematian akibat Pneumotoraks 38%, Hematotoraks
42%, kontusio pulmonum 56%, dan flail chest 69%.9

Trauma tumpul toraks menyumbang sekitar 75% - 80% dari


keseluruhan trauma toraks dan sebagian besar dari pasien ini juga
mengalami cedera ekstratoraks. Trauma tumpul pada toraks yang
menyebabkan cedera biasanya disebabkan oleh salah satu dari tiga
mekanisme, yaitu trauma langsung pada dada, cedera akibat penekanan,
ataupun cedera deselarasi.11

3. Trauma Abdomen
Pada tahun 1990, sekitar 5 juta orang meninggal di seluruh dunia
karena cedera (trauma). Resiko kematian karena trauma sangat bervariasi
tergantung dari daerah, usia, dan jenis kelamin. Kematian karena trauma
sekitar 12,5% dari seluruh kematian pada laki-laki dan pada perempuan
hanya 7,4%. Pada tahun 2020, diperkirakan angka kematian di dunia
akibat trauma akan mencapai 8,4 miliar dan salah satu penyebab tersebut
adalah kecelakaan lalu lintas.17

5
National Pediatric Trauma Registry (2000) di Amerika Serikat
melaporkan 8% pasien (total 25.301 pasien) mengalami trauma abdomen.
Delapan puluh tiga persen (83%) dari trauma tersebut adalah karena
trauma tumpul dan 59% dari trauma tumpul tersebut diakibatkan oleh
cedera karena kecelakaan kendaraan. Penelitian yang serupa dari database
trauma pasien dewasa menunjukkan bahwa trauma tumpul merupakan
penyebab utama cedera intraabdomen dan kecelakaan kendaraan bermotor
merupakan penyebab utama dari cedera tersebut. Trauma tumpul
didapatkan sekitar 2/3 dari seluruh trauma tersebut.16
4. Trauma Tulang Belakang
Cedera kolumna vertebralis, dengan atau tanpa defisit neurologis harus
tetap selalu dipikirkan pada pasien dengan trauma multipel. Kurang lebih
dari 5% pasien dengan cedera kepala juga mengalami cedera spinal,
sementara 25% pasien dengan cedera spinal mengalami setidaknya cedera
kepala ringan. Kurang lebih 55% trauma spinal terjadi pada regio servikal,
15% pada regio torakal, 15% di regio sendi torakalumbal, dan 15% di area
lumbosakral.25

Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang


disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu
mengenai daerah L1-2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan
hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi
dan berkemih. Trauma medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet :
kehilangan sensasi fungsi motorik volunter total, dan tidak komplet :
campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunteer.24

5. Trauma Ekstremitas
Patah tulang atau fraktur didefinisikan sebagai hilangnya atau adanya
gangguan integritas dari tulang, termasuk cedera pada sumsum tulang,
periosteum, dan jaringan yang ada di sekitarnya. Yang dimaksud dengan
fraktur ekstrimitas adalah fraktur yang terjadi pada komponen ekstrimitas
atas (radius, ulna, dll) dan ekstrimitas bawah (femur, tibia, fibula, dll). 30

6
Di Amerika Serikat, 5,6 juta kejadian patah tulang terjadi setiap
tahunnya dan merupakan 2% dari kejadian trauma. Patah tulang pada tibia
merupakan kejadian tersering dari seluruh patah tulang panjang. Insiden
per tahun dari patah tulang terbuka tulang panjang diperkirakan 11,5 per
100.000 penduduk dengan 40% terjadi di ekstrimitas bagian bawah.

Patah tulang ekstrimitas yang terisolasi menyebabkan angka morbiditas


yang tinggi seperti penderitaan fisik, kehilangan waktu produktif dan
tekanan mental. Patah tulang ekstrimitas dengan energi tinggi juga
menyebabkan angka mortalitas tinggi apabila terjadi multi trauma dan
pendarahan hebat. Kematian paling sering terjadi pada 1 – 4 jam pertama
setelah trauma apabila tidak tertangani dengan baik. 33

a.2. Etiologi, Patogenesis, Faktor Predisposisi/Risiko


A. Etiologi

a. Trauma Kepala

Etiologi cidera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal


diantaranya adalah
1. Pukulan langsung Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi
pukulan (coup injury) atau pada sisi yang berlawanan dari pukulan
ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai dinding yang
berlawanan (contrecoup injury)
2. Rotasi / deselerasi Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan
serangan pada otak yang menyerang titik-titik tulang dalam
tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang sfenoid). Rotasi yang
hebat juga menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih
otak dan batang otak, menyebabkan cedera aksonal dan bintik-
bintik perdarahan intraserebral
3. Tabrakan
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat
(terutama pada anak-anak yang elastis)

7
4. Peluru
Cenderung menimbulkan hilangnya jaringan seiring dengan
trauma. Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi.
Terngkorak yang secara otomatis akan menekan otak
5. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak
misalnya kecelakaan, dipukul dan terjatuh
6. Trauma saat lahir misalnya sewaktu lahir dibantu dengan forcep
atau vacum
7. Efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak
8. Efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada
otak.2,4
b. Trauma Thorax
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma
tumpul 65% dan trauma tajam 34.9 %. Penyebab trauma toraks
tersering adalah kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%). Dalam
trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis benturan (impact) yang
berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan terguling.
Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat
yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda.
Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan
menjadi 3 berdasarkan tingkat energinya, yaitu berenergi rendah
seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti tembakan pistol, dan
berenergi tinggi seperti pada tembakan senjata militer. Penyebab
trauma toraks yang lain adalah adanya tekanan yang berlebihan pada
paru - paru yang bisa menyebabkan Pneumotoraks seperti pada
aktivitas menyelam. Trauma toraks dapat mengakibatkan kerusakan
pada tulang kosta dan sternum, rongga pleura saluran nafas intratoraks
dan parenkim paru. Kerusakan ini dapat terjadi tunggal ataupun
kombinasi tergantung dari mekanisme cedera.9

8
c. Trauma Abdomen
Berdasarkan penyebabnya trauma tumpul dibagi menjadai tiga
yaitu: benturan karena benda tumpul, cedera kompresi, dan cedera
perlambatan (deselerasi). Benturan karena benda tumpul dapat
mengakibatkan perforasi pada organ visera berongga dan perdarahan
pada organ visera padat. Pada cedera kompresi dapat mengakibatkan
robekan dan hematoma pada organ visera padat. Selain itu cedera
kompresi juga dapat mengakibatkan ruptur pada organ berongga
karena peningkatan tekanan intraluminer. Peregangan dan ruptur pada
jaringan ikat atau penyokong diakibatkan karena perlambatan atau
deselerasi.15
Trauma akibat kecelakaan kendaraan sampai saat ini merupakan
penyebab utama trauma tumpul abdomen pada populasi masyarakat.
Kecelakaan antar kendaraan dan kendaraan dengan pejalan kaki
menjadi penyebab pada 50-75% kasus. Penyebab yang jarang dari
trauma tumpul abdomen antara lain trauma iatrogenic selama
resusitasi cardiopulmonal, melakukan dorongan secara manual untuk
membersihkan jalan napas, dan maneuver Heimlich.18
Trauma tembus dapat desebabkan oleh luka akibat terkena
tembakan, luka akibat tikaman benda tajam dan luka akibat tusukan.
Luka tembus karena tembakan kecepatan rendah dapat mengakibatkan
kerusakan jaringan, laserasi, dan putus. Sedangkan luka tembak
kecepatan tinggi dapat mengakibatkan hancurnya organ dalam.15
Luka akibat tembakan senjata, dimana mempunyai energi yang
lebih besar dibandingkan luka tusuk, biasanya menyababkan
kerusakan yang lebih besar. Luka akibat tembakan senjata yang
menembus peritoneum dan mengakibatkan kerusakan yang berarti
terhadap struktur intraabdomen yang penting didapatkan pada lebih
dari 90% kasus.14

d. Trauma Tulang Belakang

9
Cedera tulang belakang yang paling sering traumatis, disebabkan
oleh lateral yang lentur, rotasi dislokasi, pemuatan aksial, dan
hyperflexion atau hiperekstensi dari kabel atau cauda equina.
Kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab paling umum dari
SCI, sedangkan penyebab lain meliputi jatuh, kecelakaan kerja, cedera
olahraga (menyelam, judo dll), dan penetrasi seperti luka tusuk atau
tembak, kecelakaan di rumah (jatuh dr ketinggian, bunuh diri dll), dan
bencana alam, misal gempa. SCI juga dapat menjadi asal non-
traumatik,. Seperti dalam kasus kanker, infeksi, penyakit cakram
intervertebralis, cedera tulang belakang, penyakit sumsum tulang
belakang vascular, transverse myelitis, tumor dan multiple sclerosis.24
e. Trauma Ekstremitas
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan puntir mendadak dan kontraksi otot yang ekstrim. Patah
tulang mempengaruhi jaringan sekitarnya mengakibatkan oedema
jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur
tendon, kerusakan saraf dan pembuluh darah. Organ tubuh dapat
mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau
gerakan fragmen tulang. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
fraktur:
1. Faktor ekstrinsik yaitu meliputi kecepatan dan durasi trauma
yang mengenai tulang, arah serta kekuatan tulang.
2. Faktor intrinsik yaitu meliputi kapasitas tulang mengabsorpsi
energi trauma, kelenturan, densitas serta kekuatan tulang.
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera,
seperti kecelakan mobil, olah raga atau karena jatuh. Jenis dan
beratnya patah tulang dipengaruhi oleh arah, kecepatan,
kekuatan dari tenaga yang melawan tulang, usia penderita dan
kelenturan tulang. Tulang yang rapuh karena osteoporosis dapat
mengalami patah tulang.29,32
B. Patogenesis

10
1. Trauma Kepala
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua
tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer
merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda
paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam
mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
countrecoup.

Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada


tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah
yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang
disebut countrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala
bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma.
Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat
dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak
memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat
yang berlawanan dari benturan (countrecoup). Cedera sekunder
merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa

11
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.4,3
2. Trauma Thorak
Utuhnya suatu dinding Toraks sangat diperlukan untuk sebuah
ventilasi pernapasan yang normal. Pengembangan dinding toraks ke
arah luar oleh otot - otot pernapasan diikuti dengan turunnya
diafragma menghasilkan tekanan negatif dari intratoraks. Proses ini
menyebabkan masuknya udara pasif ke paru - paru selama inspirasi.
Trauma toraks mempengaruhi strukur - struktur yang berbeda dari
dinding toraks dan rongga toraks. Toraks dibagi kedalam 4 komponen,
yaitu dinding dada, rongga pleura, parenkim paru, dan mediastinum.
Dalam dinding dada termasuk tulang - tulang dada dan otot - otot
yang terkait. Rongga pleura berada diantara pleura viseral dan parietal
dan dapat terisi oleh darah ataupun udara yang menyertai suatu trauma
toraks. Parenkim paru termasuk paru - paru dan jalan nafas yang
berhubungan, dan mungkin dapat mengalami kontusio, laserasi,
hematoma dan pneumokel. Mediastinum termasuk jantung, aorta /
pembuluh darah besar dari toraks, cabang trakeobronkial dan
esofagus. Secara normal toraks bertanggungjawab untuk fungsi vital
fisiologi kardiopulmoner dalam menghantarkan oksigenasi darah
untuk metabolisme jaringan pada tubuh. Gangguan pada aliran udara
dan darah, salah satunya maupun kombinasi keduanya dapat timbul
akibat dari cedera toraks.
Secara klinis penyebab dari trauma toraks bergantung juga pada
beberapa faktor, antara lain mekanisme dari cedera, luas dan lokasi
dari cedera, cedera lain yang terkait, dan penyakit - penyakit komorbid
yang mendasari. Pasien - pasien trauma toraks cenderung akan
memburuk sebagai akibat dari efek pada fungsi 25 respirasinya dan
secara sekunder akan berhubungan dengan disfungsi jantung.
Pengobatan dari trauma Toraks bertujuan untuk mengembalikan

12
fungsi kardiorespirasi menjadi normal, menghentikan perdarahan dan
mencegah sepsis.
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma toraks dapat ringan
sampai berat tergantung pada besar kecilnya gaya penyebab terjadinya
trauma. Kerusakan anatomi yang ringan pada dinding toraks berupa
fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat
berupa fraktur kosta multipel dengan komplikasi pneumotoraks,
hematotoraks dan kontusio pulmonum. Trauma yang lebih berat
menyebakan robekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada
jantung.
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya
dapat mengganggu fungsi fisiologis dari sistem respirasi dan
kardiovaskuler. Gangguan sistem respirasi dan kardiovaskuler dapat
ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal
respirasi dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi,
dan gangguan mekanik alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian
pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan pembuluh
darah.9,11
3. Trauma Abdomen
Pada trauma tumpul abdomen cedera pada struktur dalam
rongga abdomen dapat diklasifikasikan menjadi dua mekanisme
cedera yaitu kekuatan kompresi dan kekuatan perlambatan
(deselerasi).
Kekuatan kompresi dapat ditemukan pada pukulan secara
langsung atau kompresi luar yang melawan benda yang memfiksasi
organ tersebut misalnya lap belt dan spinal column. Umumnya
kekuatan yang merusak menyebabkan robek dan timbulnya hematoma
subkapsular dari organ visera yang padat. Kekuatan tersebut juga
menyebabkan perubahan bentuk pada organ berongga dan
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sementara sehingga

13
dapat menimbulkan robekan. Peningkatan tekanan sementara ini
biasanya terjadi pada usus kecil.
Kekuatan deselerasi menyebabkan peregangan (stretching) dan
memotong (shearing) secara linier bagian organ yang relatif terfiksir
dengan bagian yang bergerak bebas. Kekuatan memotong secara
longitudinal cenderung menyebabkan ruptur dari struktu penyokong
pada daerah hubungan antara dua segmen yang bergerak bebas dan
terfiksir. Cedera deselerasi yang klasik termasuk robeknya hepar
sepanjang ligamentum teres dan trauma lapisan intima dari arteri
renalis. Hal serupa juga dapat menyebabkan kolon terlepas dari
perlekatannya dengan mesenterium, trombosis dan robekan
mesenterik serta dapat juga ditemukan cedera pada arteri splanikus.
Pada luka tusuk, kerusakan organ adalah akibat langsung dari
alat penusuk. Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai
pembuluh darah atau organ yang padat. Bila mengenai organ yang
berongga, isinya akan keluar ke dalam rongga abdomen dan
menimbulkan iritasi pada peritoneum. Luka tembak akan menimbul
kerusakan pada organ yang dilalui peluru. Organ padat akan
mengalami kerusakan yang lebih luas akibat energi yang ditimbulkan
oleh peluru tipe high velocity.17,19
4. Trauma Tulang Belakang
Trauma pada permukaan medula spinalis dapat memperlihatkan
gejala dan tanda yang segera ataupun dapat timbul kemudian. Trauma
mekanik yang terjadi untuk pertama kalinya sama pentingnya dengan
traksi dan kompresi yang terjadi selanjutnya.
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf
oleh fragmen-fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen
pada sistem saraf pusat dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat
menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan sel membran neuron bisa
juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit di

14
substansia grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga
perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian.
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa fraktur-
dislokasi, fraktur, dan dislokasi. Frekuensi relatif  ketiga jenis tersebut
adalah 3:1:1. Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi
dislokasi cenderung terjadi pada tempat-tempat antara bagian yang
sangat mobil dan bagian yang terfiksasi, seperti vertebra C1-2, C5-6
dan T11-12.

Gambar 5 : manifestasi plegi pada trauma medulla spinalis

Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau berat dan


menetap. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek
traumatiknya bisa mengakibatkan lesi yang nyata di medulla spinalis.
Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan
fraktur dan dislokasi, tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla
spinalis dikenal sebagai trauma tak langsung. Tergolong dalam trauma
tak langsung ini ialah whiplash (lecutan),  jatuh terduduk atau dengan
badan berdiri, atau terlempar oleh gaya eksplosi bom.

15
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme
berikut :
 Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus
intervertebralis dan hematom. Yang paling berat adalah
kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus
vertebra yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi oleh
korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan
trauma hiperekstensi.
 Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan
gangguan pada jaringan, hal ini biasanya terjadi pada
hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis terhadap regangan akan
menurun dengan bertambahnya usia.
 Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma
menyebabkan gangguan aliran darah kapiler dan vena.
 Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau arteri spinalis
anterior dan posterior.21,22
5. Trauma Ekstremitas
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang
menyebabkan fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit
terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika
gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat
pecah berkepingkeping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada
ujung tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan
menarik fragmen fraktur keluar posisi.
Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang
kuat bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun
bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun
bagian distal dapat bergeser karena faktor penyebab patah maupun
spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke
samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen
tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah. Selain itu,

16
periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang
yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi
cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak
atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada saluran sumsum (medula),
hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen tulang dan dibawah
periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan
menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan terjadi
vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan
leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan
tulang.28,30

a.2 Manifestasi Klinis


a. Trauma Kepala
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak.

1. Cedera kepala ringan


a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap
setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah
tingkah laku

Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa


minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma
ringan. 2

2. Cedera kepala sedang


a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan
kebinggungan atau hahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba
defisit neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan

17
pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala,
vertigo dan gangguan pergerakan.

3. Cedera kepala berat


a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan
sesudah terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya
cedera terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada
area tersebut.5
b. Trauma Thorak
Nyeri pada tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi.
1. Pembengkakan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi.
2. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek.
3. Dyspnea, takipnea
4. Takikardi
5. Tekanan darah menurun.
6. Gelisah dan agitasi
7. Kemungkinan cyanosis.
8. Batuk mengeluarkan sputum bercak darah.
9. Hypertympani pada perkusi di atas daerah yang sakit.
10.Ada jejas pada thorak
11.Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi
vena leher
12.Bunyi muffle pada jantung
13.Perfusi jaringan tidak adekuat
14.Pulsus paradoksus ( tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi
dengan pernapasan ) dapat terjadi dini pada tamponade jantung.8
c. Trauma Abdomen

18
Gejala awal dari cedera abdomen meliputi mual, muntah, dan demam.
Darah dalam urine juga sebagai tanda yang lainnya. Cedera pada abdomen
bisa didapatkan nyeri abdomen, distensi, atau kaku pada palpasi, dan suara
usus bisa menurun atau tidak ada. Perlindungan abdomen yaitu dengan
penegangan dari dinding perut untuk menjaga organ-organ yang mengalami
inflamasi di dalam abdomen. Pneumoperitoneum merupakan udara atau gas
di dalam rongga abdomen, bisa menjadi suatu indikasi adanya ruptur dari
organ berongga. Pada luka tembus, bisa didapatkan adanya eviserasi
(keluarnya organ-organ dalam abdomen dari tempat luka tersebut). Cedera-
cedera yang berhubungan dengan trauma intraabdomen meliputi fraktur
costa, fraktur vertebra, fraktur pelvis, dan cedera pada dinding abdomen.13
Trauma tumpul abdomen seringkali diperlukan observasi dan
pemeriksaan berulang karena tanda rangsangan peritoneum bisa timbul
perlahan-lahan. Adanya darah atau cairan usus akan menimbulkan
rangsangan peritoneum berupa nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan
kekakuan dinding perut. Adanya darah dapat pula ditentukan dengan
shifting dullness, sedangkan adanya udara bebas dapat diketahui dengan
hilang dan beranjaknya pekak hati. Bising usus biasanya melemah dan
menghilang. Rangsangan peritoneum dapat pula berupa nyeri alih di daerah
bahu sebelah kiri.17
Trauma tembus dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis
bila mengenai organ yang berongga intraperitoneal. Rangsangan peritoneal
yang timbul sesuai dengan isi dari organ yang berongga tersebut, mulai dari
gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses.
Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila
perforasi terjadi di bagian atas, misalnya di daerah lambung, maka akan
terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala
peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah, seperti kolon, mula-mula
tidak terdapat gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembangbiak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritoneum.16

19
d. Trauma Tulang Belakang
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah
0 Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf
yang terkena
1 Paraplegia
2 Paralisis sensorik motorik total
3 Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi kandung
kemih)
4 Penurunan keringat dan tonus vasomotor
5 Penurunan fungsi pernapasan
6 Gagal nafas.23

Gambar 6 : manifestasi klinis trauma medulla spinalis

20
e. Trauma Ekstremitas
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal dan perubahan
warna.

1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang


diimobilisasi.

2. Pergeseran fragmen tulang menyebabkan deformitas tulang yang bisa


diketahui dengan membandingkan dengan bagian yang normal

3. Pemendekan tulang yang disebabkan karena kontraksi otot yang


melekat diatas maupun dibawah tempat fraktur.

4. Pada pemeriksaan palpasi ditemukan adanya krepitasi akibat gesekan


antara fragmen satu dengan yang lainnya.

5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal kulit terjadi sebagai akibat


trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. 31

a.3 Pemeriksaan penunjang

a) Trauma Kepala
1) Konvensional radiografi (X-ray)
Patah tulang tengkorak, bahkan tanpa gejala klinis, merupakan
penanda risiko independent untuk lesi intrakranial. Namun, film
tengkorak terutama digunakan untuk identifikasi patah tulang
tengkorak dan tidak untuk evaluasi dari patologi intrakranial. Pada
cedera kepala ringan, x-ray tengkorak jarang menunjukkan temuan
yang signifikan, sedangkan pada cedera kepala berat tidak adanya
kelainan pada x-ray tengkorak tidak menyingkirkan cedera
intrakranial utama. X-ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan
tidak ada. Indikasi pemeriksaan x-ray pada cedera kepala, diantaranya:

21
1. Kehilangan kesadaran, amnesia
2. Nyeri kepala menetap
3. Tanda neurologis fokal
4. Cedera SCALP
5. Dugaan cedera penetrating
6. Cairan serebrospinal dari darah ataupun telinga
7. Deformitas tengkorak tampak atau teraba
8. Kesulitan penilaian (dalam pengaruh alkohol, obat, epilepsi,
atau anak-anak)
9. GCS 12 dengan riwayat trauma multipel yang langsung dan
keras.

Foto polos berguna untuk penilaian triase. Fraktur


mempengaruhi tindakan:

1. Karena ada kemungkinan perdarahan, perlu CT.


2. Fraktur terbuka termasuk basis meninggikan risiko infeksi.
Fraktur depres meningkatkan kemungkinan kejang, terutama
bila laserasi duramater.
3. Fraktur menunjukkan sisi operasi pada pasien dengan
perburukan cepat karena perdarahan ekstradural
B. Computed Tomography Scanner (CT Scan)
Penemuan awal CT Scan penting dalam memperkirakan
prognosa cedera kepala berat. Suatu CT scan yang normal pada waktu
masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat
berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan
fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-
penderita yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah
berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal
akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkatan TIK
dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita.

22
Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi
di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya
struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering
berhubungan dengan outcome yang buruk. Pemeriksaan CT scan
kepala masih merupakan gold standard bagi setiap pasien dengan
cedera kepala, dan merupakan modalitas pilihan karena cepat,
digunakan secara luas, dan akurat dalam mendeteksi patah tulang
tengkorak dan lesi intrakranial. CT scan dapat memberikan gambaran
cepat dan akurat lokasi perdarahan, efek penekanan, dan komplikasi
yang mengancam serta apabila membutuhkan intervensi pembedahan
segera. 1
Berdasarkan gambaran CT scan 34 kepala dapat diketahui
adanya gambaran abnormal yang sering menyertai pasien cedera
kepala. Jika tidak ada CT scan kepala pemeriksaan penunjang lainnya
adalah X-ray foto kepala untuk melihat adanya patah tulang tengkorak
atau wajah. Patah tulang kepala merupakan faktor klinis yang sering
dikaitkan dengan terjadinya lesi otak paska terjadinya trauma. Patah
tulang menggambarkan besarnya trauma yang terjadi pada kepala.
Patah tulang kepala adalah faktor resiko yang bermakna terhadap
terjadinya abnormalitas CT Scan kepala dengan besar resiko mencapai
80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang normal.
Sebagian besar peneliti setuju bahwa patah tulang kepala memiliki
hubungan yang bermakna terhadap terjadinya kelainan pada CT scan
kepala.5
Lebih dari 70 % penderita cedera kepala yang mengalami
patah tulang kepala terdapat lesi dibawahnya. Hal ini disebabkan
karena impact yang besar pada kepala sehingga memperbesar
kemungkinan terjadinya lesi dibawah garis patahan. CT scan adalah
suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam sudut 360
derajat melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas.

23
Bayangan foto akan direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto
akan tampak secara menyeluruh (luar dan dalam). 6
Foto CT scan akan tampak sebagai penampangpenampang
melintang dari objeknya. Dengan CT scan isi kepala secara anatomi
akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis, fraktur, perdarahan
dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya.
Indikasi pemeriksaan CT scan pada kasus trauma kepala adalah
seperti berikut:
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang
dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan
gangguan kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau
herniasi jaringan otak.
7. Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.
Perdarahan subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami
trauma.

24
Hasil CT scan tersebut juga dapat dikelompokkan berdasarkan
klasifikasi Marshall maupun secara tradisional. Sedangkan secara
tradisional dapat dibedakan berdasarkan fokal lesi yang didapatkan
dari gambaran CT scan yang dilakukan, yaitu dengan dijumpai adanya
gambaran EDH, SDH, ICH maupun SAH. 4,5

25
Gambaran klinis klasik dengan prognosis signifikan pada
pasien dengan cedera kepala berat diantaranya usia, nilai Glasgow
Coma Scale (GCS), respon pupil, reflek batang otak, dan adanya
hipotensi pasca trauma. Kebanyakan pasien saat ini sampai di rumah
sakit telah terintubasi, paralisis dan dengan ventilator. Perkiraan
akurat terhadap nilai GCS dan perubahannya pada waktu awal setelah
cedera kepala sulit untuk dinilai. Pada penelitian pasien cedera kepala
berat dan sedang, yang dilakukan oleh perkumpulan European Brain
Injury, penggunaan nilai GCS hanya teruji dari 56% pasien yang
masuk ke bedah saraf.
Gambaran prognostik berdasarkan pemeriksaan teknis
sangatlah dibutuhkan. CT scan secara rutin dikerjakan pada seluruh
pasien cedera kepala berat dan memberikan informasi implikasi terapi
untuk intervensi operasi atau indikasi untuk pemantauan tekanan
intrakranial (TIK), dan memungkinkan memberikan gambaran
informasi terkait dengan prognostik pasien. Perdarahan subaraknoid
terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma kepala jika dilakukan
CT scan dalam waktu 48 jam paska trauma. Berdasarkan hasil CT

26
scan tersebut juga dapat dikelompokkan berdasarkan klasifikasi
Marshall maupun secara tradisional. Menurut Marshall klasifikasi dari
cedera kepala yaitu dibedakan menjadi enam kategori, pembagiannya
dapat dilihat pada tabel. Sedangkan secara tradisional dapat dibedakan
berdasarkan fokal lesi yang didapatkan dari gambaran CT Scan yang
dilakukan, yaitu dengan dijumpai adanya gambaran EDH, SDH, ICH
maupun SAH (Selladurai dan Reilly, 2017).
Terdapatnya hematoma intraserebral yang harus dioperasi
berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk sama halnya bila
sisterna basal tidak tampak atau adanya kompresi terhadap sisterna
basal. Lesi massa terutama hematoma subdural dan hematoma
intraserebral berhubungan dengan meningkatnya mortalitas dan
menurunnya kemungkinan penyembuhan fungsional. Dengan adanya
SAH angka mortalitas akan meningkat dua kali lipat. SAH di dalam
sisterna basal menyebabkan unfavorable outcome pada 70% dari
penderita. SAH adalah faktor independen yang bermakna didalam
menentukan prognosis.
B. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di
dalam menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia
alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT scan.
Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau
terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai
prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil
pemeriksaan CT scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol
baik.
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)
menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan
metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD).
Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya
dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan

27
MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba.
Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa
cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai
saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit
neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala
ringan.4,7
b) Trauma Thorak
1. Radiologi : Foto Thorax (AP)
Pemeriksaan ini masih tetap mempunyai nilai diagnostik pada
pasien dengan trauma toraks. Pemeriksaan klinis harus selalu
dihubungkan dengan hasil pemeriksaan foto toraks. Lebih dari
90% kelainan serius trauma toraks dapat terdeteksi hanya dari
pemeriksaan foto toraks.
2. Gas Darah Arteri (GDA) dan Ph
gas darah dan pH digunakan sebagai pegangan dalam
penanganan  pasien-pasien penyakit berat yang akut dan
menahun. Pemeriksaan gas darah dipakai untuk menilai
keseimbangan asam basa dalam tubuh, kadar oksigen dalam
darah, serta kadar karbondioksida dalam darah. Pemeriksaan
analisa gas darah dikenal juga dengan nama  pemeriksaan
ASTRUP, yaitu suatu pemeriksaan gas darah yang dilakukan
melalui darah arteri. Lokasi pengambilan darah yaitu: Arteri
radialis, A. brachialis, A. Femoralis.
3. CT-Scan
Sangat membantu dalam membuat diagnosa pada trauma tumpul
toraks, seperti fraktur kosta, sternum dan sterno clavikular
dislokasi. Adanya retro sternal hematoma serta cedera pada
vertebra torakalis dapat diketahui dari pemeriksaan ini. Adanya
pelebaran mediastinum pada  pemeriksaan toraks foto dapat
dipertegas dengan pemeriksaan ini sebelum dilakukan
Aortografi.

28
4. Ekhokardiografi
Transtorasik dan transesofagus sangat membantu dalam
menegakkan diagnosa adanya kelainan pada jantung dan
esophagus. Hemoperikardium, cedera pada esophagus dan
aspirasi, adanya cedera  pada dinding jantung ataupun sekat
serta katub jantung dapat diketahui segera. Pemeriksaan ini bila
dilakukan oleh seseorang yang ahli, kepekaannya meliputi 90%
dan spesifitasnya hampir 96%.
5. EKG (Elektrokardiografi)
Sangat membantu dalam menentukan adanya komplikasi yang
terjadi akibat trauma tumpul toraks, seperti kontusio jantung
pada trauma. Adanya abnormalitas gelombang EKG yang
persisten, gangguan konduksi, tachiaritmia semuanya dapat
menunjukkan kemungkinan adanya kontusi jantung. Hati hati,
keadaan tertentu seperti hipoksia, gangguan elektrolit, hipotensi
gangguan EKG menyerupai keadaan seperti kontusi jantung.
6. Angiografi
Gold Standard’ untuk pemeriksaan aorta torakalis dengan
dugaan adanya cedera aorta pada trauma tumpul toraks.
7. Hb (Hemoglobin)
Mengukur status dan resiko pemenuhan kebutuhan oksigen
jaringan tubuh.11
c) Trauma Abdomen
A. Secara rutin diperiksa hemoglobin, hematokrit, hitung jenis leukosit,
dan urinalisis. Nilai-nilai amilase urine dan serum dapat membantu
untuk menentukan adanya perlukaan pankreas atau perforsi usus.
1. Darah lengkap
Hemoglobin dan hematokrit normal ditemukan jika tidak terjadi
perdarahan. Pasien yang mengalami perdarahan dapat dilakukan
transfusi dengan cairan kristaloid. Transfusi trombosit diperlukan

29
jika terjadi trombositopenia (plateler count < 50.000/ml) dan
perdarahan aktif.
2. Kimia serum
Pemeriksaan kimia serum penting dilakukan untuk mengatahui
adanya ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan gula darah
sewaktu juga penting digunakan untuk mengetahui status mental
pasien.
3. Lever funection test (LFT)
LFT mungkin dapat digunakan pada pasien dengan trauma tumpul
abdomen untuk mengetahui alasan insiden seperti pada alcohol
abuse. Peningkatan kadar aspartate aminotransferase (AST) atau
alanin aminotransferase (ALT) lebih dari 130µ berhubungan
dengan cedera hepar yang signifikan. Kadar lactate dehydrogenase
(LDH) dan bilirubun merupakan indikasi non spesifik untuk cedera
hepar.
4. Pengukuran amilase
pemeriksaan amilase merupakan test yang sensitif non spesifik
untuk cedera pankreas. Namun peningkatan kadar amilase setelah 3
– 6 jam setelah trauma memiliki akuransi yang cukup besar.
5. Urinalisis
Indikasi untuk dilakukan urinalisis antara lain trauma yang cukup
parah pada abdomen dan flank, gross hematuri, microscop hematuri
pada pasien hipotensi, dan mekanisme deselerasi yang parah.
6. Coagulation profile
Pemeriksaan PT dan PTT dilakukan pada pasien yang memiliki
riwayat blood dyscrasias (hemophilia), gangguan sintesis
(cirrhosis), atau yang sedang dalam terapi obat-obatan (warfarin
dan heparin).

30
7. Golongan darah, screen, dan crossmatch
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang mengalami trauma
abdomen dengan tujuan untuk menghemat waktu crossmatch
sehingga dapat dipersiapkan darah utnuk transfusi dengan segera.
8. Pengukuran gas darah arteri
Pemeriksaan ini penting untuk memberikan informasi tentang
kadar oksigen (PO2, SaO2) dan ventilasi (PCO2). Pemeriksaan ini
juga dapat mendeteksi asidosis metabolik yang sering menyertai
keadaan syok.
9. Skrining obat dan alkohol
Pemeriksaan skrining terhadap pemakaian obat dan alkohol dapat
berguna untuk menilai kesadaran pasien.
B. Pemeriksaan Radiologi
Bila indikasi untuk melakukan laparatomi sudah ditentukan
tidak perlu lagi dilakukan pemeriksaan radiologi, lebih-lebih pada
penderita dalam keadaan syok. Pemeriksaan radiologi hanya akan
memperburuk keadaan penderita bahkan dapat berakhir dengan
kematian di atas meja rontgen.
Pemeriksaan radiologi untuk skrining adalah Ro-Cervical
lateral, thorak anterior-posterior, dan pelvis anterior-posterior
dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multi trauma. Rontgen
foto abdomen 3 posisi (terlentang, setengah duduk, dan lateral
dekubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas di bawah
diafragma ataupun udara di luar lumen di retroperitoneum yang
menjadi petunjuk untuk dilakukannya laparotomi. Hilangnya
bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal.
IVP atau sistogram hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap
trauma saluran kencing.13
d) Trauma Tulang Belakang
Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi
pemeriksaan laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis.

31
Dianjurkan melakukan pemeriksaan 3 posisi standar (anteroposterior,
lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, dan posisi AP dan lateral
untuk vertebra thorakal dan lumbal. Pada kasus-kasus yang tidak
menunjukkan kelainan radiologis, pemeriksaan lanjutan dengan CT
Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic Resonance
Imaging merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk
mendeteksi lesi di medulla spinalis akibat cedera/trauma
 Radiologik
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang
diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya
fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi.
Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat
membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra
C1-C2.
Evaluasi radiologis yang lengkap sangat penting untuk
menentukan adanya cedera spinal. Pemeriksan radiologis tulang
servical diindikasikan pada semua pasien trauma dengan nyeri
leher di garis tengah, nyeri saat palpasi, defisit neurologis yang
berhubungan dengan tulang servical, atau penurunan kesadaran
atau dengan kecurigaan intoksikasi. Pemeriksaan radiologis
proyeksi lateral, anteroposterior (AP) dan gambaran odontoid open
mouth harus dilakukan. Pada proyeksi lateral, dasar tengkorak dan
ketujuh tulang cervicla harus tampak. Bahu pasien harus ditarik
saat melakukan foto servikal lateral, untuk menghindari luputnya
gambaran fraktur atau fraktur dislokasi di tulang servikal bagian
bawah. Bila ketujuh tulang servikal tidak bisa divisualisasikan pada
foto latural, harus dilakukan swimmer view pada servical bawah
dan thorakal atas.
Proyeksi open mouth odontoid harus meliputi seluruh
prosessus odontoid dan artikulasi C1-C2 kanan dan kiri. Proyeksi
AP tulang servikal membantu indenfitikasi adanya diskolasi faset

32
unilateral pada kasus dimana sedikit atau tidak tampak gambaran
dislokasi pada foto lateral. CT-scan aksial dengan irisan 3 mm juga
dapat dilakukan pada daerah yang dicurigai dari gambaran foto
polos atau pada servikal bawah bila tidak jelas tampak pada foto
polos. Gambaran CT aksial melalui C1-C2 juga lebih sensitif
daripada foto polos untuk mencari adanya fraktur pada vertebra.
Bila kualitas filmnya baik dan diinterpretasikan dengan benar,
cedera spinal yang tidak stabil dapat dideteksi dengan sensitivitas
lebih dari 97%.
Jika pada skrining radiologis seperti dijelaskan normal,foto X-
ray fleksi ekstensi perlu dilakukan pada pasien tanpa penurunan
kesadaran, atau pada pasien dengan keluhan nyeri leher untuk
mencari adanya instabilitas okult atau menentukan stabilitas
fraktur, seperti pada fraktur kompresi atau lamina. Mungkin sekali
pasien hanya mengalami cedera ligamen sehingga mengalami
instabilitas tanpa adnaya fraktur walaupun beberapa penelitian
menyebutkan bahwa bila 3 proyeksi radiologis ditambah CT scan
menunjukkan gambaran normal (tidak ada pembengkakan jaringan
lunak atau angulasi abnormal) maka instabilitas jarang terjadi.
Untuk tulang torakolumbal, indikasi melakukan skrining
radiologis sama dengan pada kejadian di tulang servikal. Foto polos
AP dan lateral dengan CT scan aksial irisan 3 mm pada daerah
yang divutigai dapat mendeteksi lebih dari 99% cedera yang tidak
stabil. Pada proyeksi AP kesegarisan vertikal pedikel dan jarak
antar pedikel pada masing-masing tulang harus diperhatikan.
Fraktur yang tidak stabil sering menyebabkan pelebaran jarak antar
pedikel. Foto lateral dapat mendeteksi adanya subluksasi, fraktur
kompresi, dan fraktur Chance. CT scan sendiri berguna untuk
mendeteksi adanya faktur pada elemen posterior (pedikel, lamina,
dan prosessus spinosus) jdan menentukan derajat gangguan kanalis
spinalis yang disebabkan burst fraktur. Rekonstruksi sagital dari

33
CT Scan aksial mungkin diperllukan untuk menentukan fraktur
Chance.

 Pungsi Lumbal

Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit


peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade
pada tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat
edema medula spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal
ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang
belakang dapat memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan
antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan
terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut.

 Mielografi

Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari


trauma pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus
intervertebralis.25,26

e) Trauma Ekstremitas
1. Foto Rontgen

 Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara


langsung

 Mengetahui tempat atau tipe fraktur. Biasanya diambil sebelum


dan sesudah serta selama proses penyembuhan secara periodik

 Hal yang harus dibaca pada x-ray:

a. Bayangan jaringan lunak.

b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum


atau biomekanik atau juga rotasi.

34
c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.

d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

2. Artelogram bila ada kerusakan vaskuler

3. Hitung darah lengkap

HT mungkin terjadi (hemokonsentrasi) atau menurun


(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada organ
multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah kompensasi normal
setelah fraktur.

4. Profil koagulasi

Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple


atau trauma hati.

5. Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik


khususnya seperti:

 Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi


struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini
ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.

 Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan


pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.

 Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak


karena ruda paksa.

 Computed Tomografi – Scanning : menggambarkan potongan


secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur
tulang yang rusak.29,31

35
a.4 Klasifikasi Kriteria diagnosis
a) Trauma Kepala
1. Mekanisme Cedera Kepala Cedera kepala dibagi atas cedera kepala
tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda
tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan.
Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera
termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.
2. Beratnya Cedera Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai
secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam
deskripsi beratnya penderita cedera kepala. Cedera kepala adalah
trauma mekanik terhadap kepala secara langsung. Klasifikasi cedera
kepala berdasarkan GCS, sebagai berikut :
a. Cedera Kepala Ringan (GCS: 14-15)
b. Cedera Kepala Sedang (GCS: 9-13)
c. Cedera Kepala Berat (GCS ≤ 8)
3. Morfologi Cedera Secara morfologi, kejadian cedera kepala dibagi
menjadi:
(a) Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau
tertutup. Fraktur dasar tengkorak membutuhkan pemeriksaan CT scan
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain :
 Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
 Ekimosis retro aurikuler (Battle`s sign)
 Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea)
 Parese nervus facialis ( N VII )
(b) Fraktur Basis Kranii Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier
yang terjadi pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali

36
disertai dengan robekan pada duramater yang merekat erat pada dasar
tengkorak. Hal ini memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur
linear pada kranium. Insidensi kasus ini sangat sedikit dan hanya pada
4% pasien yang mengalami trauma kepala berat. Terdapat tanda-tanda
yang menunjukkan fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan
serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoon’s eye
(penumpukan darah pada orbital mata) (Fraktur basis kranii fossa
anterior), atau ottorhea dan battle’s sign (fraktur kranii fossa media).
Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan
kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi
pada fossa anterior, media dan posterior.
(c) Lesi Intrakranial
a. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria.
Umumnya terjadi pada regio temporal atau temporopariental
akibat robeknya salah satu cabang arteria meningea media,
robeknya sinus venosus durameter atau robeknya arteria
diploica. Robekan ini sering terjadi akibat adanya fraktur tulang
tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya suatu
lucid interval (fase sadar diantara dua fase tidak sadar karena
bertambahnya volume darah). Keadaan ini disusul oleh
gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologis
unilateral yang diikuti oleh timbulnya gejala neurologi yang
secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema
dan gejala herniasi transcentorial.
Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan
berasal dari sinus lateral, jika terjadi di oksiput akan
menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah,
ataksia serebral dan paresis nervus kranialis. Berdasarkan foto
rontgen didapatkan garis fraktur yang jalannya melintang
dengan jalan arteri meningea media atau salah satu cabangnya.

37
Gambar 5. Perdarahan intrakranial
f. Perdarahan Subdural Terjadi akibat robeknya vena-vena
jembatan,sinus venosus duramater atau robeknya arachnoidea.
Perdarahan terletak diantara duramater dan arachnoidea.
Subdural Hemorrage (SDH) ada yang akut dan kronik. Gejala
klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah
proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak,
mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran.
Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk
bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan, disebut higroma
(hidroma) subdural. Perdarahan subdural terbagi atas 3 bagian
yaitu :
 Perdarahan subdural akut Gejala klinis berupa sakit
kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon
yang lambat, serta gelisah. Keadaan kritis terlihat dengan
adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil. Perdarahan
subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak
besar dan cedera batang otak. Perdarahan subdural akut
memberi gejala dalam 24 jam.7
 Perdarahan subdural subakut Perdarahan subdural
subakut, biasanya terjadi 25 – 65 jami setelah cedera dan
dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.

38
Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran
 Perdarahan subdural kronik Terjadi karena luka ringan.
Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.
Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar
membran vaskuler dan secara pelanpelan ia meluas.
Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu
atau beberapa bulan. Pada proses yang lama akan terjadi
penurunan reaksi pupil dan motoric.1,4
g. Perdarahan Subarachnoid
Terjadi pada ruang subarachnoid (piameter dan arachnoid).
Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan
subarakhnoid adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar
otak dan adanya malformasi arteriovenosa (MAV). Kondisi ini
juga dapat disebabkan oleh trauma yang merusak pembuluh
darah. Perdarahan subarachnoid juga sering terjadi pada kondisi
nontrauma seperti aneurisma dan malformasi arteri-vena. Gejala
yang ditimbulkan antara lain nyeri kepala yang hebat dan
mendadak, hilangnya kesadaran, fotofobia, meningismus, mual,
dan muntah. Pemeriksaan CT scan untuk kondisi ini memiliki
spesifitas yang rendah. Oleh karena itu seringkali dilakukan CT
angiografi untuk mengecek perdarahan subarachnoid.
Komplikasi yang paling sering pada perdarahan
subarachnoid adalah vasospasme dan perdarahan ulang. Tanda
dan gejala vasospasme dapat berupa status mental, deficit
neurologis fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia
serebral tertunda dengan dua pola utama, yaitu infark kortikal
tunggal dan lesi multiple luas.
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk
mengurangi risiko perdarahan ulang sebelum dilakukan
perbaikan aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-hati

39
dengan diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine
(hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi (hipertensi).
Tekanan darah sistolik harus dipertahankan >100 mmHg untuk
semua pasien selama ±21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan
darah sistolik harus dipertahankan dibawah 160 mmHg dan
selama ada gejala vasospasme, tekanan darah 18 sistolik akan
meningkat sampai 1200-220 mmHg.Selain vasopasme dan
perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat terjadi adalah
hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi.
4. Perdarahan Intraserebral dan Kontusio
Perdarahan intraserebral disebabkan oleh jejas terhadap arteri atau
vena yang ada di bagian parenkim otak. Region frontal dan temporal
merupakan daerah yang paling sering terkena namun selain itu dapat
pula terjadi di lobus parietalis maupun pada serebelum. Kontusio
intraserebral yangdapat terjadi karena trauma melalui jejas coup atau
countercoup. Jika kepala bergerak saat terjadi jejas, kemungkinan
kontusio terjadi disisi yang jauh dari tempat terjadinya jejas
(countercoup). Apabila dua pertiga lesi adalah darah, jejas terseebut
disebut perdarahan. Gejala klinis pada perdarahan intraserebral, yaitu
adanya penurunan kesadaran, defisit neurologis, tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial, hemiplegi (gangguan fungsi
motorik/sensorik pada satu sisi tubuh), papill edema (pembengkakan
mata). Pada hasil CT scan didapatkan hasil CT scan yang abnormal
dan pada pemeriksaan penunjang cariran serebrospinal didapatkan
cairan yang berdarah. Penatalaksanaan sedikit kompleks karena
mempertimbangkan region serta luas dari perdarahan yang sering
terjadi :
 Perdarahan 15cm pada region frontal posterior/inferior dan
temporal memerlukan pembedahan.
 Perdarahan pada batang otak, ganglia basal atau thalamus
ditatalaksana secara konservatif.

40
5. Komosio Serebri
Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang
disebabkan oleh trauma kapitis tanpa menunjukkan kelainan
mikroskopis jaringan otak. Benturan pada kepala menimbulkan
gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak yang kemudian
disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah bawah canalis
spinalis dengan demikian batang otak teregang dan menyebabkan lesi
iritatif/blokade sistem reversible terhadap sistem ARAS.
Pada komosio serebri secara fungsional batang otak lebih
menderita daripada fungsi hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh
karena tauma tidak langsung yaitu jatuh terduduk sehingga energi
linier pada kolumna vertebralis diteruskan ke atas sehingga juga
meregangkan batang otak. Akibat daripada proses patologi di atas
maka terjadi gangguan kesadaran (tidak sadar kurang dari 20 menit)
bisa diikuti sedikit penurunan tekanan darah, pols dan suhu tubuh.
Muntah dapat juga terjadi bila pusat muntah dan keseimbangan di
medula oblongata terangsang. Gejala : pening/nyeri kepala, tidak
sadar/pingsan kurang dari 20 menit, amnesia retrograde : hilangnya
ingatan pada peristiwa beberapa lama sebelum kejadian kecelakaan
(beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini menunjukkan
keterlibatan/gangguan pusatpusat di korteks lobus temporalis. Post
trumatic amnesia : (anterograde amnesia) lupa peristiwa beberapa saat
sesudah trauma.
Derajat keparahan trauma yang dialaminya mempunyai korelasi
dengan lamanya waktu daripada retrograde amnesia, post traumatic
amnesia dan masa-masa confusionnya. Amnesia ringan disebabkan
oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan
menetap maka lesi bisa meluas dari sirkuit hipokampus ke garis
tengah diensefalon dan kemudian ke korteks singulate 20 untuk
bergabung dengan lesi diamigdale atau proyeksinya ke arah garis
tengah talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal. Amnesia

41
retrograde dan anterograde terjadi secara bersamaan pada sebagian
besar pasien (pada kontusio serebri 76 % dan komosio serebri 51 %).
Amnesia retrograde lebih sering terjadi daripada amnesia retrograde.
Amnesia retrograde lebih cepat pulih dibandingkan dengan amnesia
anterograde.
Gejala tambahan : bradikardi dan tekanan darah naik sebentar,
muntah-muntah, mual, vertigo. (vertigo dirasakan berat bila disertai
komosio labirin). Bila terjadi keterlibatan komosio medullae akan
terasa ada transient parestesia ke empat ekstremitas. Gejal-gejala
penyerta lainnya (sindrom post trauma kapitis), adalah nyeri kepala,
nausea, dizziness, sensitif terhadap cahaya dan suara, iritability,
kesukaran konsentrasi pikiran, dan gangguan memori. Sesudah
beberapa hari atau beberapa minggu ; bisa di dapat gangguan fungsi
kognitif (konsentrasi, memori), lamban, sering capek-capek, depresi,
iritability. Jika benturan mengenai daerah temporal nampak gangguan
kognitif dan tingkah laku lebih menonjol. Prosedur Diagnostik :
1. X foto tengkorak
2. LP, jernih, tidak ada kelaina
3. EEG normal
Terapi untuk komosio serebri yaitu : istirahat, pengobatan
simptomatis dan mobilisasi bertahap. Setiap penderita komosio serebri
harus dirawat dan diobservasi selama minimal 72 jam. Awasi
kesadarannya, pupil dan gejala neurologik fokal, untuk mengantisipasi
adanya lusid interval hematom
6. Kontusio cerebri
Lesi kontusio adalah suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa
adanya kerusakan duramater. Lesi kontusio bisa terjadi tanpa adanya
dampak yang berat, yang penting untuk terjadinya lesi kontusio ialah
adanya akselerasi kepala, yang seketika itu juga menimbulkan
penggeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif.

42
Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Karena itu otak
membentang batang otak terlampau kuat, sehingga menimbulkan
blokade reversibel terhadap lintasan asendens retikularis difus.
Pada kontusio atau memar otak terjadi perdarahanperdarahan di
dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata,
meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada
trauma yang membentur dahi kontusio terjadi di daerah otak yang
mengalami benturan.Pada benturan di daerah parietal, temporalis dan
oksipital selain di tempat benturan dapat pula terjadi kontusio pada
sisi yang bertentangan pada jalan garis benturan.Lesi kedua ini disebut
lesi kontra benturan (lesi kontusio “contrecoup”). Perdarahan mungkin
pula terjadi disepanjang garis gaya benturan ini, dan pada permukaan
bagian otak yang menggeser karena gerakan akibat benturan.3,5,7
b) Trauma Thorak

Trauma dada diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu :

1. Trauma Tajam
a) Pneumothoraks terbuka : luka tembus yang jelas disertai
dengan aliran udara ke dalam defek dinding dada tersebut.
b) Hemothoraks : akumulasi darah dalam ruang
pleura.seringkali timbul pada trauma dada yang hebat dan
sering, tetapi tidak selalu disertai dengan pneumotorak.
c) Trauma tracheobronkial : biasanya terjadi
pneumomediastinum atau pneumotorak. Rupture jalan nafas
dapat menyebabkan penyaluran udara ke paru yang
inadekuat.
d) Contusio Paru : dapat timbul dalam 72 jam pertama dan
dikarakteristikkan dengan dyspnea, penurunan PO2 arterial,
ronki, dan infiltrate yang terlihat pada rontgen foto.
e) Ruptur diafragma : perubahan fisiologis pernafasan sebagian
besare menyeruai apa yang didapatkan pada neumotorak.

43
Dapat terjadi herniasi dari isi abdomen dengan keluhan
dyspnea dan nyeri dada kiri, yang dapat menjalar ke bahu.
f)   Trauma Mediastinal
2. Trauma Tumpul
a) Tension pneumothoraks : Adanya udara didalam cavum
pleura mengakibatkan tension pneumothorak. Apabila ada
mekanisme ventil karena lubang pada paru maka udara akan
semakin banyak pada sisi rongga pleura, sehingga
mengakibatkan :
 Paru sebelahnya akan terekan dengan akibat sesak yang
berat
 Mediastinum akan terdorong dengan akibat timbul syok
 Pada perkusi terdengar hipersonor pada daerah yang
cedera, sedangkan
 Pada auskultasi bunyi vesikuler menurun.
b) Trauma tracheobronchial : biasanya terjadi
pneumomediastinum atau pneumotorak. Rupture jalan nafas
dapat menyebabkan penyaluran udara ke paryu yang
inadekuat.
c) Flail Chest : Tulang iga patah pada 2 tempat pada lebih dari 2
iga sehingga ada satu segmen dinding dada yang tidak ikut
pada pernafasan. Pada ekspirasi segmen akan menonjol
keluar, pada inspirasi justru masuk kedalam yang dikenal
dengan pernafasan paradoksal.
d) Ruptur diafragma : perubahan fisiologis pernafasan sebagian
besar menyerupai apa yang didapatkan pada pneumotorak.
Dapat terjadi herniasi dari isi abdomen dengan keluhan
dyspnea dan nyeri dada kiri, yang dapat menjalar ke bahu.
e) Trauma mediastinal
f)   Fraktur kosta.8

44
c) Trauma Abdomen
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian
tubuh yang terkena trauma, kemudian menetapkan derajat cedera
berdasarkan hasil analisis riwayat trauma. Pemeriksaan fisik abdomen
harus dilakukan dengan teliti dan sistimatis meliputi inspeksi, auskultasi,
perkusi, dan palpasi.

Temuan-temuan positif ataupun negatif didokumentasi dengan baik


pada status. Syok dan penurunan kesadaran mungkin akan memberikan
kesulitan pada pemeriksaan perut. Trauma penyerta kadang-kadang dapat
menghilangkan gejalagejala perut.

a. Inspeksi
Umumnya pasien harus diperiksa tanpa pakaian. Adanya jejas pada
dinding perut dapat menolong ke arah kemungkinan adanya trauma
abdomen. Abdomen bagian depan dan belakang, dada bagian bawah
dan perineum diteliti apakah mengalami ekskoriasi ataupun memar
karena alat pengaman, adakah laserasi, liang tusukan, benda asing
yang menancap, omentum ataupun bagian usus yang keluar, dan status
kehamilan. Harus dilakukan log-roll agar pemeriksaan lengkap.
b. Auskultasi
Di ruang IGD yang ramai sulit untuk mendengarkan bising usus, yang
penting adalah ada atau tidaknya bising usus tersebut. Darah bebas di
retroperitoneum ataupun gastrointestinal dapat mengakibatkan ileus,
yang mengakibatkan hilangnya bising usus. Pada luka tembak atau
luka tusuk dengan isi perut yang keluar, tentunya tidak perlu
diusahakan untuk memperoleh tanda-tanda rangsangan peritoneum
atau hilangnya bising usus. Pada keaadan ini laparotomi eksplorasi
harus segera dilakukan. Pada trauma tumpul perut, pemeriksaan fisik
sangat menentukan untuk tindakan selanjutnya. Cedera struktur lain
yang berdekatan seperti iga, vertebra, maupun pelvis bisa juga
mengakibatkan ileus walaupun tidak ada cedera intraabdominal.

45
Karena itu hilangnya bising usus tidak diagnostik untuk trauma
intraabdominal.
c. Perkusi
Manuver ini mengakibatkan pergerakan peritoneum dan
mencetuskan tanda peritonitis. Dengan perkusi bisa kita ketahui
adanya nada timpani karena dilatasi lambung akut di kwadran kiri atas
ataupun adanya perkusi redup bila ada hemoperitoneum. Adanya
darah dalam rongga perut dapat ditentukan dengan shifting dullness,
sedangkan udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang beranjak
atau menghilang.
d. Palpasi
Adanya kekakuan dinding perut yang volunter (disengaja oleh
pasien) mengakibatkan pemeriksaan abdomen ini menjadi kurang
bermakna. Sebaliknya, kekakuan perut yang involunter merupakan
tanda yang bermakna untuk rangsang peritoneal. Tujuan palpasi
adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang kadang-kadang
dalam. Nyeri lepas sesudah tangan yang menekan kita lepaskan
dengan cepat menunjukkan peritonitis, yang bisanya oleh kontaminasi
isi usus, maupun hemoperitoneum tahap awal.
e. Evaluasi luka tusuk
Sebagian besar kasus luka tembak ditangani dengan laparotomi
eksplorasi karena insiden cedera intraperitoneal bisa mencapai 95%.
Luka tembak yang tangensial sering tidak betul-betul tangensial, dan
trauma akibat ledakan bisa mengakibatkan cedera intraperitoneal
walaupun tanpa adanya luka masuk. Luka tusukan pisau biasanya
ditangani lebih selektif, akan tetapi 30% kasus mengalami cedera
intraperitoneal. Semua kasus luka tembak ataupun luka tusuk dengan
hemodinamik yang tidak stabil harus di laparotomi segera.
Trauma pada abdomen disebabkan oleh dua mekanisme yang merusak,
yaitu:

46
1. trauma tumpul: merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam
rongga peitonium. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh
jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, keselakaan kendaraan bermotor,
cedera akibat berolah raga, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi
atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas.
2. Trauma tembus: merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke
dalam rongga peritoneum. Luka tembus pada abdomen disebabkan
oleh tusukan benda tajam atau luka tembak.
Berdasarkan organ yang terkena trauma abdomen dapat dibagi menjadi
dua:
1. Trauma pada organ padat, seperti hepar, limpa (lien) dengan gejala
utama perdarahan.
2. Trauma pada organ padat berongga seperti usus, saluran empedu
dengan gejala utama adalah peritonitis.
Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada
permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusio atau laserasi
jaringan atau organ dibawahnya. Trauma tumpul dapat berupa benda
tumpul, perlambatan (deselerasi), dan kompresi. Benturan benda tumpul
pada abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa
perforasi dan organ padat berupa laserasi.
Trauma tembus dibagi menjadi luka tusuk dan luka tembak. Trauma
tembus akibat peluru dibedakan antara jenis kecepatan rendah (low-
velocity) dengan kecepatan tingg (high-velocity). Trauma tembus akibat
peluru dengan kecepatan tinggi menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Hampir selalu luka tembus akibat peluru mengakibatkan kerusakan pada
organ-organ dalam abdomen. Bahkan luka peluru yang tangensial tanpa
memasuki rongga abdomen dapat menimbulkan kerusakan organ-organ
dalam abdomen akibat efek ledakan.

47
Cedera organ abdomen
a. Diafragma
Robekan diafragma dapat terjadi pada bagian manapun dari ke
dua diafragma, yang paling penting mengenai cedera adalah
diafragma kiri. Cedera biasanya 5 – 10 cm panjangnya dengan lokasi
di postero lateral dari diafragma kiri. Pada pemeriksaan foto thorak
awal akan terlihat diafragma yang labih tinggi ataupun kabur,
biasanya berupa hemathoraks, ataupun adanya bayangan udara yang
membuat kaburnya gambaran diafragma, ataupun terlihat NGT yang
terpasang dalam gaster terlihat di thorak. Pada sebagian kecil foto
thorak tidak memperlihatkan adanya kelainan.
b. Organ berongga
1. Lambung dan usus halus
Trauma tumpul dan penetrasi ke dalam lambung, jejunum,
dan ileum relatif mudah dikoreksi pada eksplorasi bedah.
Trauma penetrasi memerlukan debridemen luka dan penutupan
sederhana. Kadang-kadang sejumlah luka akan ditemukan dalam
usus halus di atas segmen yang relatif pendek, sehingga
mereseksi segmen yang terlibat dan melakukan anastomosis
primer merupakan tindakan yang tepat. Faktor yang dianggap
mencetuskan hal tersebut adalah peningkatan mendadak tekanan
intralumina lokal, kompresi usus halus pada kolumna vertebralis
serta deselerasi pada atau dekat titik fiksasi. Penggunaan sabuk
pengaman mengakibatkan avulsi lambung dan usus halus.
2. Kolon dan rektum
Trauma kolon dan rektum tersering mengikuti trauma
penetrasi cavitas abdominalis. Banyak kontroversi sehubungan
dengan terapi cedera kolon. Penatalaksanaan memerlukan
banyak penilaian klinik dan terutama ditentukan oleh derajat
cedera, adanya cedera penyerta yang mengancam nyawa dan
kontaminasi feses serta waktu yang terlewatkan antara trauma

48
dan perbaikan bedah. Para ahli percaya terapi konservatif lebih
tepat, kecuali cedera kolon ringan dan kontaminasi feses sedikit.
c. Organ padat
1. Hati
Karena ukuran dan letaknya, hati merupakan organ yang
paling sering terkena kerusakan yang diakibatkan oleh luka
tembus dan sering kali kerusakan disebabkan oleh trauma
tumpul. Hal utama yang dilakukan apabila terjadi perlukaan di
hati yaitu mengontrol perdarahan dan mendrainase cairan
empedu. Trauma hepar dengan hemodinamik stabil dan tidak
ada tanda perdarahan serta defans muskular dilakukan
perawatan non operatif dengan observasi ketat selama minimal 3
x 24 jam. Harus dilakukan pemeriksaan CT scan serial, USG
maupun Hb serial. Indikasi operatif cedera hepar yaitu trauma
hepar dengan shok, peritonitis, hematoma yang meluas,
penanganan konservatif gagal, dan dengan cedera lain intra
abdominal.
2. Limpa
Merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan
yang diakibatkan oleh trauma tumpul. Sering terjadi hemoragi
atau perdarahan masif yang berasal dari limpa yang ruptur
sehingga semua upaya dilakukan untuk memperbaiki kerusakan
di limpa.
Penatalaksanaan cedera limpa dapat dilakukan dengan
terapi operatif dan non operatif. Jika terapi operatif harus dipilih,
splenorafi dapat dilakukan dengan memberikan zat-zat
hemostatik topikal, dijahit atau splenoktomi parsial cedera
dengan vaskularisasi. Kontraindikasi tindakan penyelamatan
limpa adalah kondisi pasien yang tidak stabil, avulsi limpa atau
fragmentasi yang luas, dan cedera pembuluh darah hilus yang
luas serta kegagalan mencapai hemostasis.

49
3. Pankreas
Umumnya cedera pankreas terjadi pada pukulan langsung
di daerah epigastrium dengan kolumna vertebralis sebagai alas.
Peningkatan kadar amilase yang konstan harus dicurigai adanya
cedera pankreas. Pada 8 jam pertama pasca trauma pemeriksaan
CT dengan double contras bisa saja belum memperlihatkan
cedera pankreas. Pemeriksaan harus diulang jika dicurigai
adanya cedera pada organ tersebut. Jika CT scan meragukan
maka dianjurkan untuk dilakukan pembedahan eksplorasi.
4. Traktus urinarius
a. Ginjal
Delapan puluh sampai delapan puluh lima persen
trauma ginjal disebabkan oleh trauma tumpul yang secara
langsung mengenai abdomen, pinggang, dan punggung.
Trauma tersebut disebabkan karena kecelakaan lalu lintas,
perkelahian, jatuh, dan olahraga kontak. Tabrakan
kendaraan pada kecepatan tinggi bisa menyebabkan trauma
pembuluh darah utama karena deselerasi cepat. Luka karena
senjata api dan pisau merupakan luka tembus terbanyak
yang mengenai ginjal sehingga jika terdapat luka pada
pinggang harus dipikirkan trauma ginjal. Pada luka tembus
ginjal, 80% berhubungan dengan trauma visera abdomen.
Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneum
bagian atas hanya terfiksasi oleh pedikel pembuluh darah
serta ureter, sementara massa ginjal melayang bebas dalam
bantalan lemak yang berada dalam fascia gerota. Karena
fiksasi yang sedikit, ginjal mudah mengalami dislokasi oleh
akselerasi maupun deselerasi mendadak yang bisa
menyebabkan trauma seperti avulsi collecting system atau
sobekan pada intima arteri renalis sehingga terjadi oklusi
parsila mauopun komplit pembuluh darah.

50
Vena renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka
penetrasi di daerah ini bisa menyebabkan trauma pada ke
dua struktur. Vena renalis yang berdekatan dengan
pankreas dan pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan
tepi medial ginjal kanan bisa menyebabkan trauma
kombinsai yaitu trauma pankreas, duodenum, dan ginjal.
Anatomi ginjal yang mengalami kelainan seperti
hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah mengalami
ruptur karena adanya trauma ginjal.
b. Ureter, vesika urinaria, dan urethra
Trauma tumpul ureter jarang terjadi dan biasanya
timbul akibat tindakan laparotomi. Ruptur intraperitonium
dari kandung kemih biasanya timbul akibat fraktur pelvik
atau ketika pukulan langsung pada perut bagian bawah.
Gejala yang timbul berupa rangsangan peritoneum.
Pemeriksaan dengan CT scan dapat mendeteksi cairan
intraperitoneum. Cedera tersebut juga dapat dikonfirmasi
dengan pemeriksaan retrograde atau CT cystography.
Cedera urethra anterior lebiha jarang terjadi, namun
biasanya timbul akibat straddle injury yang menyebabkan
timbulnya hematom di daerah penis dan perineum. Pasien
dengan cedera tersebut bisanya megalami kerusakan berat
pada spongiosus urethra. Eksplorasi bedah dini dindikasikan
dengan mobilisasi urethra dan eksisi segmen cedra dengan
reanastomosis.
d. Organ reproduksi
Cedera intraabdominal yang mengenai organ jarang terjadi pada
pasien yang tidak hamil dan biasanya ditemukan ketika dilakukan
laparotomi akibat yang lain
e. Pembuluh darah abdomen

51
Cedera pada pembuluh darah besar abdomen biasanya
menyebabkan instabilisasi hemodinamik dan ditemukan pada saat
laparotomi. Pada beberapa kasus perdarahan dapat berhenti sendiri.
Pada pemeriksaan CT scan mungkin ditemukan adanya
pseudoaneurisma. Jika aneurisma terjadi pada pembuluh darah besar,
maka merupakan indikasi perbaikan pembuluh darah yang rusak
dengan cara laparotomi. Pada beberapa kasus perdarahan dapat
berenti sendiri. Pada pemeriksaan CT scan mungkin ditemukan
adanya pseudoaneurisma. Jika aneurisma terjadi pada pembuluh
darah besar, maka merupakan indikasi perbaikan pembuluh darah
yang rusak dengan cara laparotomi dan mencegah perdarahan yang
terjadi.20,23,24
d) Trauma Tulang Belakang
Cedera medulla spinalis diklasifikasikan berdasarkan Level, beratnya
defisit neurologis, sindroma medulla spinalis, dan morfologi.
 Berdasarkan Level
Level neurologis adalah segmen paling kaudal yang masih
memiliki fungsi sensorik dan motorik normal di kedua sisi tubuh.
Bila istilah level sensorik yang digunakan berarti dipakai untuk
menyebutkan bagian paling kaudal dari medulla spinalis dengan
fungsi sensorik normal. Level motorik juga didefenisikan hampir
sama, sebagai fungsi motorikpada otot penanda yang paling rendah
dengan kekuatan paling tidak 3/5. Pada cedera komplit, bila
ditemukan kelemahan fungsi sensorik dan/ atau motorik dibawah
segmen normal terendah hal ini disebut dengan zone preservasi
parsial. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penentuan level
trauma pada kedua sisi sangat penting.

52
Perbedaan yang jelas terjadi antara lesi diatas dan dibawah
T1. Cedera pada segmen 8 medulla spinalis servikal akan
menyebabkan tetraplegi, dan lesi dibawah T1 menyebabkan
paraplegi. Level trauma pada tulang adalah pada tulang vertebra
yang mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kerusakan pada
medulla spinalis. Level neurologis trauma dapat ditentukan
pertama kali dengan pemeriksaan fisik. Seringkali ditemukan
perbedaan antara level tulang dan neurologis karena nervus spinalis
memasuki kanalis spinalis melalui foramen dan naik atau turun
didalam kanalis spinalis sebelum benar-benar masuk ke mdeulla
spinalis.

Gambar 8 : penilaian motorik dan sensorik

 Berdasarkan beratnya defisit neurologis

53
Berdasarkan beratnya defisit cedera medulla spinalis dibagi
menjadi 4, yaitu :
1. Paraplegia inkomplit (torakal inkomplit)
2. Paraplegia komplit (torakal komplit)
3. Tetraplegia inkomplit (servikal komplit)
4. Tetraplegia komplit (cedera servikal komplit)

Sangat penting untuk mencari tanda-tanda adanya preservasi fungsi


dari semua jaras medulla spinalis. Adanya fungsi motorik dan
sensorik dibawah level trauma menunjukkan adanya cedera
inkomplit. Tanda-tanda cedera inkomplit meliputi adanya sensasi
atau gerakan volunter di ekstremitas bawah, sacral sparing (contoh
: sensasi perianal), kontraksi sfinghter ani volunter, dan fleksi ibu
jari kaki volunter. Reflek sakral, seperti refleks bulbokavernosus
atau kerutan anus, tidak termasuk dalam sacral sparing.

 Berdasarkan sindrom medulla spinalis


Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada
pasien dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali
sehingga tidak membingungkan pemeriksa.
1. Central cord syndrome
Ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih
banyak pada ekstremitas atas dibandingkan dengan
ekstremitas bawah, dengan kehilangan sensorik yang
bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi setelah adanya
trauma hiperekstensi pada pasien yang telah mengalami
kanalis stenosis servikal sebelumnya. Dari anamnesis
didapatkanadanya riwayat jatuh kedepan dengan dampak
pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur
tulang servikal atau dislokasi.
Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah
kelemahan yang lebih prominen pada ekstremitas atas

54
dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi ekstremitas
bawah biasanya lebih cepat, sementara pada ekstremitas
atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai
disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama
disebabkan karena pusat cedera paling sering adalah
setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat di
medulla spinalis C6 dengan lesi LMN.
2. Anterior Cord Syndrome
Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan
kehilangan sensorik disosiasi dengan hilangnya sensasi
nyeri dan suhu. Fungsi kolumna posterior (posisi, vibrasi,
dan tekanan dalam) tetap bertahan. Biasnaya anterior cord
syndrome disebabkan infark pada daerah medulla spinalis
yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior. Prognosis
sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera inklomplit
lainnya.
3. Brown Sequard Syndrome
Sindrome ini terjadi akibat hemiseksi medulla
spinalis, biasanya akibat luka tembus. Namun variasi
gambaran klasik tidak jarang terjadi. Pada kasus murni,
sindrom ini terdiri dari kehilangan sistem motorik
ipsilateral (traktus kortikospinalis) dan hilangnya sensasi
posisi (kolumna posterior), disertai dengan hilangnya
sensasi suhu serta nyeri kontralateral mulai satu atau dua
level di bawah level trauma (traktus spinothalamikus).
Walaupun sindrom ini disebabkan trauma tembus langsung
ke medulla spinalis, biasanya masih mungkin untuk terjadi
perbaikan.25

 Berdasarkan Morfologi

55
Cedera spinal servikal dapat terjadi akibat salah satu atau
kombinasi dari mekanisme trauma berikut ini:

-0 Axial Loading
-1 Fleksi
-2 Ekstensi
-3 Rotasi
-4 Lateral Bending
-5 Distraksi
Cedera yang disebutkan meliputi seluruh kolumna spinalis.
Cedera tersebut disusun dalam urutan anatomis (bukan berdasarkan
frekuensi) mulai dari kranial hingga ujung kaudal spinal.
1. Dislokasi Atlanto Oksipital
Cedera terputusnya atlanto-oksipital cukup jarang dan terjadi
akibat distraksi dan fleksi traumaik yang hebat. Kebanyakan
pasien akan meninggal akibat destruksi batang otak dan apneu
atau mendapat gangguan neurologis (tergantung pada ventilato
dan tetraplegia). Sedikit pasien yang dapat bertahan bila
langsung mendapatkan resusitasi di tempat kejadian. Cedera
ini ditemukan pada 19% pasien dengan ecedera spinal fatal dan
biasanya merupakan penyebab kematian pada shaken baby
syndrome dimana bayi meninggal setelah diguncang-guncang
2. Fraktur Atlas (C1)
Tulang atlas tipis, berbentuk cincin dengan permukaan sendi
yang luas. Fraktur atlas terjadi pada 5% dari fraktur tulang
servikal akut. Kira-kira 40% fraktur atlas berhubungan dengan
fraktur aksis (C2). Fraktur C1 tersering adalah burst fracture
(Fraktur Jefferson). Mekanisme trauma yang biasa terjadi
adalah aksial loading, yang terjadi bila ada beban berat jatuh
secara vertikal ke kepala pasien atau pasie jatuh ke permukaan
dengan kepala pasien berada pada posisi netral. Fraktur

56
Jefferson meliputi terputusnya kedua ring anterior-posterior C1
dengan bergesernya massa lateral ke arah lateral. Fraktur ini
paling baik dilihat dengan pandangan open mouth dari C1-C2
dan dengan CT scan Axial
3. Subluksasi Rotasi C1
Subluksasi rotasi C1 paling sering ditemukan pada anak. Dapat
terjadi spontan, setelah trauma mayor atau minor, dengan
infeksi saluran pernafasan atas atau dengan rheumatoid
arthritis. Pasien datang dengan rotasi kepala persisten
(tortikolis). Cedera ini paling baik juga dilihat dengan open
mouth odontoid view. Pada cedera ini odontoid tidak terletak
sama dari kedua lateral mass C1. Pasien tidak boleh dipaksa
untuk melawan rotasi, tapi harus diimobilisasi dalam posisi
terotasi dan dirujuk untuk mendapat penanganan spesialistik
4. Fraktur Aksis C2
Aksis adalah tulang vertebra servikal terbesar dan bentuknya
berbeda dengan yang lain. Sehingga tulang ini mudah
mengalami bermacam-macam fraktur tergantung dari gaya dan
arahnya. Fraktur C2 kira-kira terjadi pada 18% dari semua
cedera tulang servikal.
a. Fraktur Odontoid
60% dari fraktur C2 terjadi pada prosesus odontoid,
tonjolan tulang seperti pasak yang menonjol ke atas dam
da;a, leadaam mpr,a; nerjbimgam demgam arlis amteropr
C1. Prossesus odontoid terikat di tempatnya oleh
ligamentum transversum. Fraktur odontoid bisa dilihat
dengan foto servikal lateral atau dengan proyeksi open
mouth. Fraktur odontoid tipe I terjadi pada ujung odontoid
dan tergolong jarang sementara fraktur odontoid tipe II
terjadi pada dasar dens dan sering terjadi. Fraktur odontoid

57
tipe III terjadi pada dasar dens dan berlanjut secara oblique
ke arah korpus aksis
b. Fraktur Elemen Posterior C2
Hangman’s Franture terjadi pada elemen posterior C2 yang
merupakan pars interartikularis. Fraktur jenis ini terjadi
pada 20% dari semua fraktur aksis dan biasanya diakibatkan
cedera tipe ekstensi. Pasien dengan fraktur ini harus
diimobilisasi eksternal sampai mendapatkan terapi spesifik,
Variasi hangman’s fracture meliputi juga fraktur bilateral
mass atau pedikel. Kira-kira 20% dari semua fraktur aksis
adalah nonodontoid dan non-hangman’s. Hal ini meliputi
fraktur via korpus, pedikel, lateral mass, lamina dan
prosessus spinosus.
5. Fraktur dan Dislokasi (C3-C7)
Fraktur C3 jarang terjadi, barangkali disebabkan letaknya
pada tulang servikal terletak diantara daerah yang lebih rentan
dan lebih mobile C5-C6 yang merupakan tempat fleksi dan
ekstensi terbesar pada leher. Pada pasien dengan cedera ini
biasanya didapatkan fraktur korpus vertebra dengan atau tanpa
subluksasi, subluksasi prosessus artikularis (meliputi
terkunvinya faset –locked facet- unilateral atau bilateral), dan
fraktur lamina, prosessus spinosus, pedikel, atau lateral mass.
Yang jarang terjadi juga adalah terjadinya ruptur ligamen tanpa
disertai fraktur atau dislokasi faset.
Insidensi terjadinya gangguan neurologis meningkat secara
dramatis dengan adnaya dislokasi faset. Dengan adanya
dislokasi faset unilateral, 80% pasien mengalami gangguan
neurologis, kira-kira 30% hanya mengalami gangguan
radikuler, 40% cedera medulla spinalis inkomplit, dan 30%
mengalami cedera medulla spinalis komplit. Pada dislokasi
faset bilateral morbiditas lebih buruk.

58
6. Fraktur Tulang Torakal (T1-T10)
Fraktur torakal dibagi menjadi 4 kategori yaitu (1) fraktur
kompresi anterior wedge, (2) burst injuries, (3) Fraktur
Chance, (4) Fraktur Dislokasi.
Axial loading dengan posisi fleksi menyebabkan cedera
kompresi anterior WEDGE. Bagian yang mengalami wedge
biasanya kecil, dan ukuran anterior korpus yang lebih dari 25%
lebih pendek dari korpus posterior. Akibat rigiditas lengkung
iga, kebanyakan fraktur jenis ini stabil. Jenis kedua fraktur
torakal adalah burst injury, yang disebabkan oleh kompresi
vertikal-aksial.
Fraktur Chance adalah fraktur transversal yang melalui
korpus vertebra. Ini disebabkan oleh fleksi kira-kira pada aksis
anterior kolumna vertebralis dan sering terjadi pada tabrakan
mobil di mana penderita hanya mengenakan lap belt. Fraktur
Chance dapat berkaitan dengan cedera organ visera di
retoperitoneal dan abdomen. Frakturdislokasi relatif jarang
terjadi pada torakal dan lumbal karena orientasi sendi faset.
Cedera jenis ini hampir selalu terjadi akibat fleksi yang ekstrim
atau trauma tumpul posterior (pedikel, faset, dan lamina)
vertebra
7. Fraktur Lumbal
Gambaran radiologis pada fraktur lumbal sama dengan fraktur
torakal dan torakolumbal. Namun, karena hanya mengenai kauda equina,
kemungkinan terjadinya defisit neurologis komplit lebih jarang pada
cedera jenis ini.24,25

e) Trauma Ekstremitas

59
Klasifikasi fraktur dapat dibagi menjadi:

a. Fraktur komplit Patah pada seluruh garis tulang dan biasanya


mengalami pergeseran dari posisi normal.

b. Fraktur tidak komplit Patah tulang yang terjadi pada sebagian garis
tengah tulang.

c. Fraktur tertutup Patah tulang yang tidak menyebabkan robekan pada


kulit. Patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.

d. Fraktur terbuka/fraktur komplikata Patah tulang dengan luka pada


pada kulit dan atau membran mukosa sampai patahan tulang. 28

Fraktur terbuka di gradasi menjadi:

1. Grade I : fraktur terbuka dengan luka bersih kurang dari


1 cm 9

2. Grade II : fraktur dengan luka lebih luas tanpa


kerusakan jaringan extensif sekitarnya.

3. Grade III : fraktur dengan kondisi luka mengalami


kerusakan jaringan lunak ekstensif dan sangat
terkontaminasi.

Trauma Ekstremitas Dengan Potensi Ancaman Nyawa

a. Kerusakan Pelvis berat dengan pendarahan

Fraktur Pelvis yang disertai perdarahan sering kali


disebabkan Fraktur sakroiliaka, dis lokasi, atau Fraktur
sacrum yang kemudian akan menyebabkan kerusakan
posteriol oseus ligamenteus kompleks. Kemudian arah
gaya yang membuka pelvis ring, akan merobek pleksus
Vena di pelvis dan kadang-kadang merobek system arteri

60
iliaka interna (Trauma komprensi anterior posterior).
Mekanisme trauma Pelvis ring disebabkan trabrakan
sepeda Motor atau pejalan kaki yang ditabrak kendaraan,
benturan langsung pada pelvis atau jatuh dari ketinggian
lebih dari 3,5 meter.

Pada tabrakan kendaraan, mekanisme Fraktur pelvis


yang tersering adalah tekanan yang mengenai sisi lateral
pelvis dan cenderung menyebabkan hemi pelvis rotasi
kedalam, mengecilkan rongga pelvis dan melepas
regangan system Vaskularisasi pelvis. Gerakan rotasi ini
akan menyebabkan Trauma uretra atau buli-buli. Trauma
urogenital bagian bawah ini jarang akan menimbulkan
kematian baik perdarahan yang terjadi maupun
komplikasinya, sehingga tidak separah Trauma pelvis
yang tidak stabil.

b. Pendarahan besar arterial

Luka tusuk di Ekstremitas dapat menimbulkan trauma


arteri sirkulasi darah ke ekstremitas diselenggarakan oleh
pembuluh arteri besar yang berdiameter sekitar satu cm,
yang melalui lipat paha dan aksila. Arteri ini melanjutkan
diri didekat tulang dan berpencar menjadi cabang-
cabang lebih halus sewaktu menuju keujung jari tangan
dan kaki. Pada tempat tertentu sepanjang perjalanannya
cabang ini cukup dekat dengan kulit, sehingga dapat
diraba oleh tangan pemeriksa. Titik berdenyut ini dapat
bermanpaat dalam menentukan adanya aliran darah arteri
dan kadang-kadang berguna untuk mengenal
pendarahan.

61
Trauma tumpul yang menyebabkan fraktur sendi atau
dislokasi sendi dekat arteri dapat merobek arteri. Cedera
ini dapat menimbulkan pendarahan besar pada luka
terbuka atau perdarahan didalam jaringan lunak.

c. Crush syndrome (Rabdomiolisis taroumatika)

Crush syndrome adalah Keadaan kliniks yang


disebabkan pelepasan zat berbahaya, hasil kerusakan
otot, yang jika tidak ditangani akan menyebabkan
kegagalan ginjal. Keadaan ini terdapat pada keadaan
crush injury dan kompresi lama pada sejumlah otot, yang
tersering paha dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh
gangguan perkusi otot, iskemia, pelepasan mioglobin dan
zat toksik lainnya.29

Trauma Mengancam Ekstremitas

a. Patah tulang terbuka dan Trauma Sendi

Pada patah tulang terbuka terdapat hubungan antara


tulang dengan lingkungan luar. Otot dan kulit mengalami
cedera dan beratnya kerusakan jaringan lunak ini akan
berbanding lurus dengan energi yang menyebabkannnya.
Kerusakan ini disertai kontaminasi bakteri, menyebabkan
patah tulang terbuka mengalami masalah infeksi,
gangguan penyembuhan dan gangguan fungsi.

b. Trauma vaskuler termasuk amputasi traumatika

Trauma vaskuler harus dicurigai jika terdapat


insufisiensi vaskuler yang menyertai trauma tumpul,
remuk,trauma tembus ekstremitas Pada mulanya
ekstremitas mungkin masih tampak hidup karena sirkulasi
kolateral yang mencukupi aliran secara retrograd. Trauma

62
vaskuler parsial menyebablkan ekstremitas bagian distal
dingin, pengisian kapiler lambat, pulsasi melemah. Aliran
yang terputus menyebabkan ekstremitas dingin, pucat, dan
nadi tak teraba.

c. Sindroma Kompartemen

Sindroma kompartemen akan ditemukan pada tempat


diman otot dibatasi oleh rongga fasia yang tertutup.Perlu
diketahui bahwa kulit juga berfungsi sebagi lapisan
penahan.Daerah yang sering terkena adalah tungkai bawah,
lengan bawah,tangan, dan paha. Sindroma kompartemen
terjadi bila tekanan diruang osteofasial menimbulkan
iskemia dan berikutnya nekrosis. Iskemia dapat terjadi
karena peningkatan isi kompartemen akibat udema yang
timbul akibat revaskularisasi sekunder dari ekstremitas yang
iskemi, atau karena penurunan isi kompartemen yang
disebabkan tekanan dari luar misalnya dari balutan yang
menekan.

d. Trauma Neurologi akibat fraktur-dislokasi

Fraktur atau dislokasi, dapat menyebabkan trauma saraf


yang disebabkan hubungan anatomi atau dekatnya posisis
saraf dengan persendian, misalnya nervus iskhiadikus dapat
tertekan oleh dislokasi posterior sendi panggul atau nervus
aksillaris oleh dislokasi posterior sendi bahu. Kembalinya
fungsi hanya akan optimal bila keadaan ini diketahui dan
ditangani secara cepat.32

Untuk mendiagnosis fraktur, pertama tama dapat dilakukan anamnesis


baik dari pasien maupun pengantar pasien. Informasi yang digali adalah
mekanisme cedera, apakah pasien mengalami cedera atau fraktur
sebelumnya. Pasien dengan fraktur tibia mungkin akan mengeluh rasa

63
sakit, bengkak dan ketidakmampuan untuk berjalan atau bergerak,
sedangkan pada fraktur fibula pasien kemungkinan mengeluhkan hal yang
sama kecuali pasien mungkin masih mampu bergerak.

Selain anamnesis, pemeriksaan fisik juga tidak kalah pentingnya.


Pemeriksaan fisik yang dibutuhkan dapat dikelompokkan menjadi tiga
yaitu look, feel, move. Yang pertama look atau inspeksi di mana kita
memperhatikan penampakan dari cedera, apakah ada fraktur terbuka
(tulang terlihat kontak dengan udara luar). Apakah terlihat deformitas dari
ekstremitas tubuh, hematoma, pembengkakan dan lain-lain. Hal kedua
yang harus diperhatikan adalah feel atau palpasi. Kita harus mempalpasi
seluruh ekstremitis dari proksimal hingga distal termasuk sendi di
proksimal maupun distal dari cedera untuk menilai area rasa sakit, efusi,
maupun krepitasi. Seringkali akan ditemukan cedera lain yang terjadi
bersamaan dengan cedera utama. Poin ketiga yang harus dinilai adalah
move. Penilaian dilakukan untuk mengetahui ROM (Range of Motion).30

Seringkali pemeriksaan ROM tidak bisa dilakukan karena rasa sakit


yang dirasakan oleh pasien tetapi hal ini harus tetap didokumentasikan.
Pemeriksaan ekstrimitas juga harus melingkupi vaskularitas dari
ekstrimitas termasuk warna, suhu, perfusi, perabaan denyut nadi, capillary
return (normalnya < 3 detik) dan pulse oximetry. Pemeriksaan neurologi
yang detail juga harus mendokumentasikan fungsi sensoris dan motoris.32

BAB II
TATALAKSANA FARMAKOTERAPI DAN NON FARMAKOTERAPI

II.1 Farmakoterapi
a) Trauma Kepala

64
1) Farmakologi Obat Oral
(a) Flunarizine Flunarizine adalah obat yang biasa digunakan untuk
mencegah serangan migren, gangguan organ keseimbangan di
telinga, dan gangguan pembuluh darah di seluruh tubuh yang bisa
menyebabkan munculnya gejala seperti pusing, tinitus, dan vertigo.1
2) Farmakologi Obat Injeksi
(a) Citicoline Citicolin golongan nootropik dan neurotonik/ neurotropik,
vasodilator perifer & aktivator serebral. Obat resep ini berfungsi
mencegah degenerasi saraf dan melindungi kerusakan mata akibat
degenerasi saraf optik, meningkatkan phosphatidylcholine,
meningkatkan metabolisme glukosa di otak, dan meningkatkan
aliran darah dan oksigen otak.
(b) Ranitidin Ranitidin adalah obat golongan antasida yang berfungsi
menurunkan sekresi asam lambung berlebih .
(c) Asam Traneksamat
Kalnex termasuk golongan obat tranexamic acid. Tranexamic acid
digunakan untuk membantu menghentikan kondisi perdarahan.
Tranexamic acid merupakan agen antifibrinolytic. Golongan obat ini
bekerja dengan menghalangi pemecahan bekuan darah, sehingga
mencegah pendarahan.
(d) Ondancetron
Terjadinya mual dan muntah disebabkan oleh senyawa alami tubuh
yang bernama serotonin. Jumlah serotonin dalam tubuh akan
meningkat ketika kita menjalani kemoterapi, radioterapi, dan
operasi. Seretonin akan bereaksi terhadap reseptor 5HT3 yang
berada di usus kecil dan otak, dan membuat kita merasa mual.
Ondansetron akan menghambat serotonin bereaksi pada reseptor
5HT3 sehingga membuat kita tidak mual dan berhenti muntah.
(e) Metilprednisolon
Methylprednisolone adalah salah satu jenis obat kortikosteroid yang
dapat menekan sistem kekebalan tubuh dan mengurangi reaksi

65
peradangan serta gejalanya, seperti pembengkakan dan nyeri.
Kortikosteroid efektif untuk mengatasi edema vasogenik yang
terutama berhubungan dengan peningkatan permaebilitas sawar
darah otak. Kortikosteroid menurunkan permaebilitas sawar darah
otak dengan menghambat transport aktif ion Na K ATPase yang
penting untuk pertukaran ion natrium yang dapat menarik air
sehingga terjadi edema.
2) Farmakologi Obat Infus
(a) Asering 12 tpm Infus asering diindikasikan untuk perawatan darah
dan kehilangan cairan, hipokalsemia, kekurangan kalium,
ketidakseimbangan elektrolit, inkonsistensi pH, natrium yang rendah
dalam darah dan kondisi lainnya.3
b) Trauma Thorak
1. Farmakoterapi
a. Pemberian Analgetik
Pada tahap ini terapi analgetik yang diberikan merupakan kelanjutan dari
pemberian sebelumnya.Rasa nyeri yang menetap akibat cedera jaringan
paska trauma harus tetap diberikan penanganan manajemen nyeri dengan
tujuan menghindari terjadinya Syok seperti Syok Kardiogenik yang
sangat berbahaya pada penderita dengan trauma yang mengenai bagian
organ jantung.8

b. Jika Perlu Antibiotika


Antibiotika yang digunakan disesuaikan dengan tes kepekaan dan kultur.
Apabila belum jelas kuman penyebabnya, sedangkan keadaan penyakit
gawat, maka penderita dapat diberi “broad spectrum antibiotic”, misalnya
Ampisillin dengan dosis 250 mg 4 x sehari.

c. Buat 2 jalur intravena besar (14g / 16g) di kedua fossa antekubital, cairan
resusitasi awal pilihan adalah kristaloid (hartmanns 0,9 isotonic saline).9
c) Trauma Abdomen

66
1. Farmakoterapi
Pada pasien dengan trauma tusuk abdomen, antibiotik bisa diberikan
untuk menghindari infeksi tetanus. Darah harus diberikan sesuai
kebutuhan agar pasien tidak mengalami syok. Pasien dapat diberikan
resusitasi cairan intravena sesuai kebutuhan, biasanya dengan cairan
kristaloid, baik larutan saline 0,9% atau ringer laktat. 

d) Trauma Tulang Belakang

1. Farmakoterapi
(a) Cairan Intravena
Pada penderita dengan kecurigaan trauma spinal, cairan
intravena diberikan seperti pada resusitasi pasien trauma. Jika tidak
ada atau tidak dicurigai adanya perdarahan aktif, adanya hipotensi
setelah pemberian cairan 2 liter atau lebih menimbulkan kecurigaan
adanya syok neurogenik. Pasien dengan syok hipovolemik biasanya
mengalami takikardia sementara pasien dengan syok neurogenik
secara klasik akan mengalami bardikardia. Jika tekanan darah tidak
meningkat setelah pemberian cairan, maka pemberian vasopressor
secara hati-hati diindikasikan. Fenielfrin HCL, dopaminm atau
norepinefrin direkomendasikan. Pemberian cairan yang berlebihan
dapat menyebabkan edema paru pada pasien dengan syok
neurogenik. Bila status cairan tidak jelas maka pemasangan monitor
invasif bisa menolong. Kateter urine dipasang untuk memonitor
pengeluaran urine dan mencegah distensi kandung kemih.26

e) Trauma Ekstremitas

1. Farmakoterapi
Berikan vaksinasi tetanus dan juga antibiotik sebagai profilaksis
infeksi. Antibiotik yang dapat diberikan adalah

67
(a) Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 – 2 g dibagi dosis 3
-4 kali sehari)

(b) Aminoglikosid (antibiotik untuk gram negatif) seperti gentamicin


(120 mg dosis 2x/hari)

(c) Metronidazole (500 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk


mengatasi kuman anaerob.

Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan hingga 72 jam setelah luka


ditutup. Debridement luka di kamar operasi juga sebaiknya dilakukan
sebelum 6 jam pasca trauma untuk menghindari adanya sepsis pasca
trauma. Reduksi, Reposisi dan imobilisasi sesuai posisi anatomis dapat
menunggu hingga pasien siap untuk dioperasi kecuali ditemukan defisit
neurovaskular dalam pemeriksaan.

Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat dalam


patah tulang digunakan srategi “Three Step Analgesic Ladder” dari
WHO. Pada nyeri akut, sebaiknya di awal diberikan analgesik kuat
seperti Opioid kuat. Dosis pemberian morfin adalah 0.05 – 0.1 mg/kg
diberikan intravena setiap 10/15 menit secara titrasi sampai mendapat
efek analgesia. Terdapat evidence terbaru di mana pada tahun terakhir ini
Ketamine juga dapat dipergunakan sebagai agen analgesia pada dosis
rendah (0.5 – 1 mg/kg).29,33

II.2 Non Farmakoterapi


a) Trauma Kepala
1) Penanganan Cedera Kepala Ringan
Pasien dengan CT Scan normal dapat keluar dari UGD dengan peringatan
apabila : mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2 jam), mual dan
muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung atau telinga, nyeri
kepala hebat, kelemahan/gangguan sensibilitas pada ekstrimitas, bingung

68
dan tingkah laku aneh, pupil anisokor, penglihatan dobel/gangguan visus,
nadi yang terlalu cepat/terlalu pelan, pola nafas yang abnormal.
2) Penanganan Cedera Kepala Sedang
Beberapa ahli melakukan skoring cedera kepala sedang dengan Glasgow
Coma Scale Extended (GCSE) dengan menambahkan skala Postrauma
Amnesia(PTA) dengan sub skala 0-7 dimana skore 0 apabila mengalami
amnesia lebih dari 3 bulan,dan skore 7 tidak ada amnesia. Bachelor (2003)
membagi cedera kepala sedang menjadi :
 Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness
 Risiko sedang : ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post
trauma
 Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah

Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat


penanganan Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali . Gejala
terbanyak antara lain : mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala, gangguan
konsentrasi dan dizziness. Penatalaksanaan utamanya ditujukan pada
penatalaksanaan gejala, strategi kompensasi dan modifikasi lingkungan
(terapi wicara dan okupasi) untuk disfungsi kognitif ,dan psiko edukasi.2,5

3) Penanganan Cedera Kepala Berat


Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi: Primary survey :
stabilisasi cardio pulmoner Secondary survey : penanganan cedera
sistemik, pemeriksaan mini neurologi dan ditentukan perlu penanganan
pembedahan atau perawatan di ICU.5
b) Trauma Thorak
Manajemen awal untuk pasien trauma toraks tidak berbeda dengan
pasien trauma lainnya dan meliputi ABCDE, yaitu A: airway patency with
care of cervical spine, B: Breathing adequacy, C: Circulatory support, D:
Disability assessment, dan E: Exposure without causing hypothermia.

1) Gawat Darurat / Pertolongan Pertama

69
Penanganan yang diberikan harus sistematis sesuai dengan keadaan
masing-masing klien secara spesifik. Bantuan oksigenisasi penting
dilakukan untuk mempertahankan saturasi oksigen klien. Jika ditemui
dengan kondisi kesadaran yang mengalami penurunan / tidak sadar maka
tindakan tanggap darurat yang dapat dilakukan yaitu dengan
memperhatikan:

a) Pemeriksaan dan Pembebasan Jalan Napas (Air-Way)

Klien dengan trauma dada seringkali mengalami permasalahan


pada jalan napas. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu,
kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk
atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan
sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari
telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross
Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk
Pada mulut korban.

Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing,


biasa pada korban tidak sadar tonus otot-otot menghilang, maka
lidah dan epiglotis akan menutup farink dan larink, inilah salah satu
penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh lidah
dapat dilakukan dengan cara Tengadah kepala topang dagu (Head
tild – chin lift) dan Manuver Pendorongan Mandibula (Jaw Thrust
Manuver).

b) Pemeriksaan dan Penanganan Masalah Usaha Napas (Breathing)

Kondisi pernapasan dapat diperiksa dengan melakukan tekhnik


melihat gerakan dinding dada, mendengar suara napas, dan
merasakan hembusan napas klien (Look, Listen, and Feel), biasanya
tekhnik ini dilakukan secara bersamaan dalam satu waktu. Bantuan
napas diberikan sesuai dengan indikasi yang ditemui dari hasil

70
pemeriksaan dan dengan menggunakan metode serta fasilitas yang
sesuai dengan kondisi klien.

c) Pemeriksaan dan Penanganan Masalah Siskulasi (Circulation)

Pemeriksaan sirkulasi mencakup kondisi denyut nadi, bunyi


jantung, tekanan darah, vaskularisasi perifer, serta kondisi
perdarahan. Klien dengan trauma dada kadang mengalami kondisi
perdarahan aktif, baik yang diakibatkan oleh luka tembus akibat
trauma benda tajam maupun yang diakibatkan oleh kondisi fraktur
tulang terbuka dan tertutup yang mengenai / melukai pembuluh
darah atau organ (multiple). Tindakan menghentikan perdarahan
diberikan dengan metode yang sesuai mulai dari penekanan hingga
penjahitan luka, pembuluh darah, hingga prosedur operatif.

Jika diperlukan pemberian RJP (Resusitasi Jantung Paru) pada


penderita trauma dada, maka tindakan harus diberikan dengan sangat hati-
hati agar tidak menimbulkan atau meminimalisir kompilkasi dari RJP
seperti fraktur tulang kosta dan sebagainya11
c) Trauma Abdomen
1. Primary Survey
(a) Airway
Airway harus dijaga dengan baik pada semua penderita trauma
abdomen. Membuka jalan napas menggunakan teknik head tilt,
chin lift atau jaw thrust, periksa adakah benda asing yang dapat
mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Bila penderita tidak sadar
dan tidak ada refleks bertahak (gag reflex) dapat dipakai
oropharyngeal tube. Bila ada keraguan mengenai kemampuan
menjaga airway, lebih baik memasang airway definitif. Jika ada
disertai dengan cedera kepala, leher atau dada maka tulang leher
(cervical spine) harus dilindungi dengan imobilisasi in-line.
(b) Breathing

71
Kontrol jalan nafas pada penderita trauma abdomen yang airway
terganggu karena faktor mekanik, ada gangguan ventilasi atau ada
gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi endotrakeal. Setiap
penderita trauma diberikan oksigen. Bila tanpa intubasi, sebaiknya
diberikan dengan face mask. Pemakaian pulse oximeter baik untuk
menilai saturasi O2 yang adekuat.
(c) Circulation Resusitasi pasien dengan trauma abdomen penetrasi
dimulai segera setelah tiba. Cairan harus diberikan dengan cepat.
NaCl atau Ringer Laktat dapat digunakan untuk resusitasi
kristaloid. Rute akses intravena adalah penting, pasang kateter
intravena perifer berukuran besar (minimal 2) di ekstremitas atas
untuk resusitasi cairan. Pasien yang datang dengan hipotensi sudah
berada di kelas III syok (30-40% volume darah yang hilang) dan
harus menerima produk darah sesegera mungkin, hal yang sama
berlaku pada pasien dengan perdarahan yang signifikan jelas.
Upaya yang harus dilakukan untuk mencegah hipotermia, termasuk
menggunakan selimut hangat dan cairan prewarmed.
(d) Disability
Dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat.
Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil.
(e) Exposure
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya dengan cara
menggunting untuk memeriksa dan evaluasi penderita. Paparan
lengkap dan visualisasi head-to-toe pasien adalah wajib pada
pasien dengan trauma abdomen penetrasi. Ini termasuk bagian
bokong, bagian posterior dari kaki, kulit kepala, bagian belakang
leher, dan perineum. Setelah pakaian dibuka penting penderita
diselimuti agar penderita tidak kedinginan.16
2. Secondary Survey

72
Survei Sekunder hanya dilakukan bila ABC pasien sudah stabil.
Bila sewaktu survei sekunder kondisi pasien memburuk maka kita
harus kembali mengulangi PRIMARY SURVEY. Semua prosedur
yang dilakukan harus dicatat dengan baik. Pemeriksaan dari kepala
sampai ke jari kaki (head-to-toe examination) dilakukan dengan
perhatian utama:
(a) Pemeriksaan kepala
 Kelainan kulit kepala dan bola mata
 Telinga bagian luar dan membrana timpani
 Cedera jaringan lunak periorbital
(b) Pemeriksaan leher
 Luka tembus leher
 Emfisema subkutan
 Deviasi trachea
 Vena leher yang mengembang
(c) Pemeriksaan neurologis
 Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
 Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik
 Penilaian rasa raba / sensasi dan reflex
(d) Pemeriksaan dada
 Clavicula dan semua tulang iga
 Suara napas dan jantung
 Pemantauan ECG (bila tersedia)
(e) Pemeriksaan rongga perut (abdomen)
 Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah
 Pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma tumpul
abdomen kecuali bila ada 15 trauma wajah
 Periksa dubur (rectal toucher)
 Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus
externus

73
(f) Pelvis dan ekstremitas
 Cari adanya fraktur (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan
melakukan tes gerakan apapun karena memperberat
perdarahan)
 Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma
 Cari luka, memar dan cedera lain 7. Pemeriksaan sinar-X
(bila memungkinkan) :
 Foto atas daerah abdomen yang cedera dilakukan secara
selektif. 21
3. Penatalaksanaan di Ruang Emergensi
(a) Mulai prosedur resusitasi ABC (memperbaiki jalan napas,
pernapasan dan sirkulasi).
(b) Pertahankan pasien pada brankard; gerakan dapat menyebabkan
fragmentasi bekuan pada pembuluh darah besar dan menimbulkan
hemoragi masif
(c) Pastikan kepatenan dan kestabilan pernapasan
(d) Gunting pakaian penderita dari luka.
(e) Hitung jumlah luka dan tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
(f) Kontrol perdarahan dan pertahankan volume darah sampai
pembedahan dilakukan.
(g) Berikan kompresi pada luka dengan perdarahan eksternal dan
lakukan bendungan pada luka dada.
(h) Pasang kateter IV berdiameter besar untuk penggantian cairan
secara cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi.
(i) Perhatikan kejadian syok setelah respon awal terhadap terapi
transfusi; ini sering merupakan tanda adanya perdarahan internal.
(j) Aspirasi lambung dengan memasang selang nasogastrik. Prosedur
ini membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi
terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena
aspirasi.

74
(k) Pasang kateter urin untuk mendapatkan kepastian adanya
hematuria dan pantau jumlah urine perjam.
(l) Tutupkan visera abdomen yang keluar dengan balutan steril,
balutan dibasahi dengan salin untuk mencegah kekeringan visera
(m)Fleksikan lutut pasien; posisi ini mencegah protusi yang lanjut.
(n) Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya
peristaltik dan muntah.
(o) Siapkan pasien untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika
terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.
(p) Siapkan pasien untuk sinografi untuk menentukan apakah terdapat
penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk.
(q) Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
(r) Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. Trauma
dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier
mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan
manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial).
(s) Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok,
kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma,
eviserasi, atau hematuria.19
d) Trauma Tulang Belakang
Berdasarkan ATLS (Advance Trauma Life Support), manajemen umum
pada pasien dengan trauma spinal dan medulla spinalis meliptui immonilisasi,
cairan intravena, obat-obatan, dan rujukan dilkukan saat kondisi pasien sudah
stabil.

1. Immobilisasi
Semua pasien dengan kecurigaan trauma spinal harus
diimobilisasi sampai di atas dan dibawah daerah yang dicurigai
sampai adanya fraktur dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
radiologi. Harus diingat bahwa proteksi spinal harus
dipertahankan sampai cedera cervical dapat disingkirkan.

75
Imobilisasi yang baik dicapai dengan meletakkan pasien dalam
posisi netral-supine tanpa memutar atau menekuk kolumna
vetebralis. Jangan dilakukan usaha/tindakan untuk mengurangi
deformitas. Anak-anak mungkin mengalami tortikolis, sedangkan
orang yang lebih tua mungkin menderita penyakit degenerasi
spinal berat yang mengakibatkan mereka mengalami kifosis
nontraumatik atau deformitas angulasi spinal. Pasien sperti ini
diimobilisasi pada backboard pada posisi yang tepat. Padding
tambahan juga diperlukan. Usaha untuk meluruskan spinal guna
immobilisasi di atas backboard tidak dianjurkan bila
menimbulkan nyeri.
Immbolisasi leher dengan semirigid collar tidak menjamin
stabilisasi komplit tulang cervical. Imobilisasi dengan
menggunakan spine board dengan bantal ganjalan yang tepat
lebih efektif dalam membatasi pergerakan leher. Cedera tulang
cervical memerlukan immobilisasi yang terus menerus dengan
menggunakan cervical collar, immoblisasi kepala, backboard,
dan pengikt sebelum dan selama pasien dirujuk ke tempat
perawatan definitif. Ekstensi atau fleksi leher harus dihindari
karena geraka seperti ini berbahaya bagi medulla spinalis. Jalan
nafas adalah hal yang penting pada pasien dengan cedera medulla
spinalis dan intubasi segera harus dilakukan bila terjadi gangguan
respirasi. Selama melakukan intubasi, leher harus dipertahankan
dalam posisi netral,
Perhatian khusus dalam mempertahankan imbolisasi yang
adekuat diberikan pada pasien yang gelisah, agitatif, atau
memberontak. Hal ini dapat disebabkan oleh nyeri, kesadaran
menurun akibat hipoksia atau hipotensi, penggunaan alkohol atau
obat-obatan, atau gangguan kepribadian. Dokter harus mencari
dan memperbaiki penyebab bila mungkin. Jika diperlukan dapat
diberikan sedatif atau obat paralitik, dengan tetap diingat

76
mengenai proteksi jalan nafas yang kuat, kontrol, dan ventilasi.
Pneggunaan sedasi atau obat paraitik dalam keadaan ini
memerlukan ketepatan dalam keputusan klinis, keahlian dan
pengalaman.
Saat pasien tiba di ruang gawat daruratm harus diusahakan
agar pasien bisa dilepaskan dari spine board yang keras untuk
mengurangi risiko terjadinya ulkus dekubitus. Pelepasan alas
keras sering dilakukan sebagai bagian dari secondary survey saat
dilakukan log roll untuk inspeksi dan palpasi tubuh bagian
belakang. Jangan sampai hal ini ditunda hanya untuk
pemeriksaan radiologis, apalagi bila pemeriksaan radiologis tidak
bisa dilakukan dalam beberapa jam.
Gerakan yang aman atau log roll, pad apasien dengan
tulang belakang yang tidak stabil memerlukan perencana dan
bantuan 4 orang atau lebih, tergantung ukuran pasien.
Kesegarisan anatomis netral dari seluruh tulang belakang harus
dijaga pada saat memutar atau mengangkat pasien. Satu orang
ditugaskan untuk menjaga kesegarisan leher dan kepala. Yang
lain berada di sisi yang sama dari pasien, secara manual
mencegahh rotasi, fleksi, ekstensi, tekukan lateral, atau
tertekuknya thorax atau abdomen secara manual selama transfer
pasien. Otang keempat bertanggung jawab menggerakkan
tungkai dan memindahkan spine board dan memeriksa punggung
pasien.25,27

Gambar 7. Log Roll

77
e) Trauma Ekstremitas
1. Tatalaksana Kegawatdaruratan pada Fraktur Ekstrimitas

Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk


mempertahankan kehidupan pasien dan yang kedua adalah
mempertahankan baik anatomi maupun fungsi ekstrimitas seperti
semula. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
penanganan fraktur yang tepat adalah

(a) survey primer yang meliputi Airway, Breathing, Circulation,

(b) meminimalisir rasa nyeri

(c) mencegah cedera iskemia-reperfusi,

(d) menghilangkan dan mencegah sumber- sumber potensial


kontaminasi. Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur
dapat direduksi dan reposisi sehingga dapat mengoptimalisasi
kondisi tulang untuk proses persambungan tulang dan
meminimilisasi komplikasi lebih lanjut.28

2. Survey Primer

Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan


adalah mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway,
Breathing, Circulation, Disability Limitation, Exposure)

1. A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai


adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas oleh adanya benda asing atau fraktus di
bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus
memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat
digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang
dari biasanya memerlukan pemasangan airway definitif1 .

78
2. B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya
kita harus menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik
meliputi fungsi dari paru paru yang baik, dinding dada dan
diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien dengan fraktur
ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow
oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir bag

3. C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus


diperhatikan di sini adalah volume darah, pendarahan, dan
cardiac output. Pendarahan sering menjadi permasalahan utama
pada kasus patah tulang, terutama patah tulang terbuka. Patah
tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha
3 – 4 unit darah dan membuat syok kelas III. Menghentikan
pendarahan yang terbaik adalah menggunakan penekanan
langsung dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang
mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai
yang baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata dengan
mengurangi gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade
otot sekitar patahan. Pada patah tulang terbuka, penggunaan
balut tekan steril umumnya dapat menghentikan pendarahan.
Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting
disamping usaha menghentikan pendarahan

4. D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan


evaluasi singkat terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini
adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat cedera spinal

5. E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya,


seiring dengan cara menggunting, guna memeriksa dan evaluasi
pasien. setelah pakaian dibuka, penting bahwa pasien diselimuti
agar pasien tidak hipotermia. 30

79
Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal
seperti fraktur adalah imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan radiologi.

1. Imobilisasi Fraktur

Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang


cedera dalam posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang
berlebihan pada daerah fraktur. hal ini akan tercapai dengan
melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan
dengan alat imobilisasi. pemakaian bidai yang benar akan membantu
menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah
kerusakan jaringan lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup
sendi diatas dan di bawah fraktur.

Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction


splint. traction splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau
melalui kulit. Di proksimal traction splint didorong ke pangkal paha
melalui ring yang menekan bokong, perineum dan pangkal paha. Cara
paling sederhana dalam membidai tungkai yang trauma adalah dengan
tungkai sebelahnya. pada cedera lutut pemakaian long leg splint atau
gips dapat membantu kenyamanan dan stabilitas. Tungkai tidak boleh
dilakukan imobilisasi dalam ekstensi penuh. Fraktur tibia sebaiknya
dilakukan imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter, long leg
splint. jika tersedia dapat dipasang gips dengan imobilisasi meliputi
tungkai bawah, lutut, dan pergelangan kaki.

80
Gambar 4. Alat Imobilisasi ekstrimitas bagian bawah. (1) Traction
Splint. (2) Long Leg Splint

3. Survey Sekunder

Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera


muskuloskeletal adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan
dari survey sekunder adalah mencari cedera cedera lain yang
mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan
dan tidak terobati. Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka
kita harus mengambil riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies,
Medication, Past Medical History, Last Ate dan Event (kejadian
atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk
ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang
dimiliki oleh pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera
yang belum diketahui saat primary survey, Selain riwayat 9
AMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai
penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit.

Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting


untuk dievaluasi adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari
kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi neuromuskular (3) status
sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang. Cara

81
pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada
Look, kita menilai warna dan perfusi, luka, deformitas,
pembengkakan, dan memar. Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu
dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal aktif, begitu
pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan
tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi.
Ekstremitas yang bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan
adanya crush injury dengan ancaman sindroma kompartemen. Pada
pemerikasaan Feel, kita menggunakan palpasi untuk memeriksa
daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada periksaan
Move kita memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal.

Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi


bagian distal dari fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada
ujung jari kemudian membandingkan sisi yang sakit dengan sisi
yang sehat. Jika hipotensi mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat
digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran darah di
ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang normal,
perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan
adanya gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Selain itu
hematoma yang membesar atau pendarahan yang memancar dari
luka terbuka menunjukkan adanya trauma arteria.30,32,33

BAB III
KOMPLIKASI DAN PROGNOSA

III.1 Komplikasi
a) Trauma Kepala

82
Komplikasi Cidera kepala yang tidak teratasi dengan segera atau tidak
optimal dalam terapi maka dapat menyebabkan beberapa komplikasi yaitu:

1. Edema paru
Edema paru terjadi akibat refleks chusing yang disebabkan peningaktan
tekanan intra kranial yang berakibat terjadinya peningkatan respon
simpatis. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum akan lebih
banyak darah yang dialirkan ke paru. Perubahan permeabilitas
pembuluh darah paru berperan dalam berpindahnya cairan ke aleolus.
Kerusakan difusi oksigen dan karbondioksida dari darah akan
menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial lebih lanjut;
2. Kebocoran cairan serebrospinal
Hal ini dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen yang terjadi
pada 2-6% pasien dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini
berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari. Drainase
lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien memiliki resiko
meningitis yang meningkat (biasanya pneumokok). Otorea atau rinorea
cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis yang berulang
merupakan indikasi operasi reparatif (Rosjidi & Nurhidayat, 2007).
3. Fistel karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala yaitu eksolftamos, kemosis, dan bruit orbita,
dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cidera.
4. Diabetes insipidus Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai
hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon anti diuretik.
Pasien mensekresikan sejumlah volume urine yang encer, menimbulkan
hipernatremia dan depresi volume

5. Perdarahan intra kranial


a. Hematoma epidural Hemtoma epidural merupakan suatu akibat
serius dari cedera kepala. Hematoma epidural paling sering

83
terjadi pada daerah peritotemporal akibat robekan arterio
meningea media. Pengobatan secara dini dapat mengurangi
defisit neurologik.
b. Hematoma subdural Hematoma epidural pada umumnya berasal
dari arteria, hematoma subdural berasal dari vena yang ruptur
yang terjadi di ruang subdural. Hematoma subdural dibedakan
menjadi akut dan kronik.1,4
1) Subduralis haematoma akut
Kejadian akut hematoma di antara durameter dan
korteks, dimana pembuluh darah kecil sinus vena pecah
atau terjadi perdarahan atau jembatan vena bagian atas
pada interval yang akibat tekanan lalu terjadi perdarahan.
Kejadiannya keras dan 23 cepat, karena tekanan jaringan
otak sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi
rongga antara durameter dan korteks. Kejadian dengan
cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam
jaringan otak). Pada kejadian akut hematoma, lucidum
intervalum akan terasa setelah beberapa jam sampai 1
atau 2 hari.
Tanda-tanda neurologis-klinis di sini jarang memberi
gejala epileptiform pada perdarahan dasar duramater.
Akut hematoma subduralis pada trauma kapitis dapat
juga terjadi tanpa Fraktur kranii, namun pembuluh darah
arteri dan vena di korteks terluka. Pasien segera pingsan/
koma. Jadi, di sini tidak ada "free interval time".
Kadang-kadang pembuluh darah besar seperti arteri dan
sinus dapat juga terluka. Dalam kasus ini sering dijumpai
kombinasi dengan intracerebral haematoma sehingga
mortalitas subdural haematoma akut sangat tinggi
2) Hematoma subdural kronik

84
Hematoma subdural kronik seringkali disebut “peniru”
karena tanda dan gejalanya tidak spesifik, tidak
terokalisasi, dan dapat disebabkan oleh penyakit lain.
Beberapa penderita mengeluh sakit kepala. Tanda dan
gejala yang lain khas adalah perubahan progresif dalam
tingkat kesadarantermasuk apati, letargi, dan
berkurangnya perhatian, menurunnya kemampuan untuk
menggunakan kecakapan kognitif lebih tinggi.
3) Subrachnoidalis Hematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah
otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam
duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik
sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar
jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna Ini sering
menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.
Gambaran klinik tidak menunjukkan gejala-gejala
penyakit tetapi terjadi gangguan ingatan karena
timbulnya gangguan meningeal. Akut Intracerebralis
Hematoma terjadi karena pukulan benda tumpul di
daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan
pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak.
Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak
menjadi pecah pula karena tekanan pada durameter
bagian bawah melebar sehingga terjadilah "subduralis
haematoma", disertai gejala kliniknya.
6. Gangguan Intestinal
Pada cedera kepala berat, akan terjadi erosi, pembentukan ulkus dan
perdarahan saluran cerna. Penderita cedera kepala akan mengalami
peningkatan rangsang simpatik yang mengakibatkan gangguan fungsi
pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi pada lambung.3
b) Trauma Thorak

85
Trauma toraks memiliki beberapa komplikasi seperti pneumonia 20%,
pneumotoraks 5%, hematotoraks 2%, empyema 2%, dan kontusio pulmonum
20%. Dimana 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum yang berat akan 26
menjadi ARDS. Walaupun angka kematian ARDS menurun dalam dekade
terakhir, ARDS masih merupakan salah satu komplikasi trauma toraks yang
sangat serius dengan angka kematian 20-43%.9

Kontusio dan hematoma dinding toraks adalah bentuk trauma toraks yang
paling sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding toraks,
perdarahan masif dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah pada
kulit, subkutan, otot dan pembuluh darah interkosta. Kebanyakan hematoma
ekstrapleura tidak membutuhkan pembedahan, karena jumlah darah yang
cenderung sedikit. 13

Fraktur kosta terjadi karena adanya gaya tumpul secara langsung maupun
tidak langsung. Fraktur kosta terjadi sekitar 35% - 40% pada trauma toraks.
Karakteristik dari trauma kosta tergantung dari jenis benturan terhadap
dinding dada. Gejala yang spesifik pada fraktur kosta adalah nyeri, yang
meningkat pada saat batuk, bernafas dalam atau pada saat bergerak. Pasien
akan berusaha mencegah daerah yang terkena untuk bergerak sehingga terjadi
hipoventilasi. Hal ini meningkatkan risiko atelektasis dan pneumonia.12

Flail chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta - kosta yang
berdekatan patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada daerah
kostokondral. Angka kejadian dari flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan lalu
lintas menjadi penyebab yang paling sering. Diagnosis flail chest didapatkan
berdasarkan pemeriksaan fisik, foto Toraks, dan CT scan Toraks.11

Fraktur sternum terjadi karena trauma tumpul yang sangat berat sering
kali disertai dengan fraktur kosta multipel. Gangguan organ mediastinum
harus dicurigai pada pasien fraktur sternum, umumnya adalah kontusio
miokardium (dengan nyeri prekordium dan dispnea). Diagnosis fraktur

86
sternum didapatkan dari pemeriksaan fisik, adanya edema, deformitas, dan
nyeri lokal.

Kontusio parenkim paru adalah manifestasi trauma tumpul toraks yang


paling umum terjadi. Kontusio pulmonum paling sering disebabkan trauma
tumpul pada dinding dada secara langsung yang dapat menyebabkan
kerusakan parenkim, edema interstitial dan perdarahan yang mengarah ke
hipoventilasi pada sebagian paru. Kontusio juga dapat menyebabkan
hematoma intrapulmoner apabila pembuluh darah besar didalam paru terluka.
Diagnosis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik (adanya suara
gurgling pada auskultasi), foto toraks, dan CT scan toraks. Kontusio lebih
dari 30% pada parenkim paru membutuhkan ventilasi mekanik.

Pneumotoraks adalah adanya udara pada rongga pleura. Pneumotoraks


sangat berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura parietalis dan
visceralis. Robekan dari pleura visceralis dan parenkim paru dapat
menyebabkan Pneumotoraks, sedangkan robekan dari pleura parietalis dapat
menyebabkan terbentuknya emfisema subkutis. Pneumotoraks pada trauma
tumpul toraks terjadi karena pada saat terjadinya kompresi dada tiba - tiba
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intraalveolar yang dapat
menyebabkan ruptur alveolus. Udara yang keluar ke rongga interstitial ke
pleura visceralis ke mediastinum menyebabkan Pneumotoraks atau emfisema
mediastinum. Selain itu Pneumotoraks juga dapat terjadi ketika adanya
peningkatan tekanan tracheobronchial tree, dimana pada saat glotis tertutup
menyebabkan peningkatan tekanan terutama pada bivurcatio trachea dan atau
bronchial tree tempat dimana bronkus lobaris bercabang, sehingga ruptur dari
trakea atau bronkus dapat terjadi. Gejala yang paling umum pada
Pneumotoraks adalah nyeri yang diikuti oleh dispneu. 13

Hematotoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Darah dapat masuk
ke rongga pleura setelah trauma dari dinding dada, diafragma, paru-paru, atau
mediastinum. Insiden dari hematotoraks tinggi pada trauma tumpul, 37%

87
kasus berhubungan dengan pneumotoraks (hemopneumotoraks ) bahkan
dapat terjadi hingga 58%. Terjadinya hemotoraks yang massive dengan
drainage sekitar 1000 mililiter ataupun 100 mililiter per jam lebih daari 4 jam
pada kasus akut mengindikasikan untuk dilakukan thoracotomy emergency
karena sangat beresiko mengancam nyawa bahkan kematian.11
c) Trauma Abdomen
Komplikasi bisa terjadi pada trauma yang dapat diidentifikasi
maupun yang tidak teridentifikasi. Perdarahan intraabdomen, infeksi, sepsis,
dan kematian dapat terjadi. Delayed ruptur atau delayed hemmorage dari
organ padat khususnya limpa dapat muncul. Pada pasien yang menjalani
laparatomi dan perbaikan, komplikasi sama dengan kondisi lain yang
memerlukan tindakan operasi.17
Beberapa komplikasi pasca laparotomi pada trauma abdomen yang
paling banyak adalah abses intraabdominal sebanyak (12%), selanjutnya
infeksi luka (7%), fistel enterokutan (4%), dan gagal ginjal akut (3%).
Selain itu komplikasi postoperasi dini meliputi perdarahan yang tetap
berlanjut, coagulopati, dan sindrom compartment abdomen. Komplikasi
yang terakhir ini diterapi dengan membuka abdomen dan menutup
sementara. Komplikasi yang lebih lambat lagi meliputi obstruksi usus halus
dan hernia insisional.18
d) Trauma Tulang Belakang
0 Neurogenik shock
1 Hipoksia
2 Instabilitas spinal
3 Ileus paralitik
4 Infeksi saluran kemih
5 Kontraktur
6 Dekubitus
7 Konstipasi.27
e) Trauma Ekstremitas

88
Komplikasi fraktur dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Komplikasi awal

1. Syok

Syok hipovolemik akibat dari perdarahan karena tulang


merupakan organ yang sangat vaskuler maka dapat terjadi
perdarahan yang sangat besar sebagai akibat dari trauma
khususnya pada fraktur femur dan fraktur pelvis.

2. Emboli lemak

Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam


darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan
kapiler dan katekolamin yang dilepaskan memobilisasi asam
lemak kedalam aliran darah. Globula lemak ini bergabung dengan
trombosit membentuk emboli yang dapat menyumbat pembuluh
darah kecil yang memasok darah ke otak, paru- paru, ginjal dan
organ lainnya.

3. Compartment Syndrome

Compartment syndrome merupakan masalah yang terjadi saat


perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan. Hal ini
disebabkan oleh karena penurunan ukuran fasia yang
membungkus otot terlalu ketat, balutan yang terlalu ketat dan
peningkatan isi kompartemen karena perdarahan atau edema.

4. Komplikasi awal lainnya seperti infeksi, tromboemboli dan


koagulopati intravaskular. 28

b. Komplikasi lambat

89
1. Delayed union, malunion, nonunion Penyatuan terlambat
(delayed union) terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan
kecepatan normal berhubungan dengan infeksi dan distraksi
(tarikan) dari fragmen tulang. Tarikan fragmen tulang juga dapat
menyebabkan kesalahan bentuk dari penyatuan tulang
(malunion). Tidak adanya penyatuan (nonunion) terjadi karena
kegagalan penyatuan ujung- ujung dari patahan tulang.

2. Nekrosis avaskular tulang

Nekrosis avaskular terjadi bila tulang kekurangan asupan darah


dan mati. Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi
dan diganti dengan tulang yang baru. Sinar-X menunjukkan
kehilangan kalsium dan kolaps struktural.

3. Reaksi terhadap alat fiksasi interna

Alat fiksasi interna diangkat setelah terjadi penyatuan tulang


namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat
sampai menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi
merupakan indikator terjadinya masalah. Masalah tersebut
meliputi kegagalan mekanis dari pemasangan dan stabilisasi
yang tidak memadai, kegagalan material, berkaratnya alat,
respon alergi terhadap logam yang digunakan dan remodeling
osteoporotik disekitar alat.28

IIII.1 Prognosis
a) Trauma Kepala
Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan yang
dialami.Nilai GCS saat pasien pertama kali datang ke rumah sakit memiliki
nilai prognosis yang besar. Nilai GCS antara 3-4 memiliki tingkat mortalitas
hingga 85%, sedangkan nilai GCS diatas 12 memiliki nilai mortalitas 5-10%.
Gejala-gejala yang muncul pasca trauma juga perlu diperhatikan seperti
mudah letih, sakit kepala berat, tidak mampu berkonsentrasi dan irritable.3

90
b) Trauma Thorak
1. Open Pneumothorak
Timbul karena trauma tajam, ada hubungan dengan rongga pleura
sehingga paru menjadi kuncup. Seringkali terlihat sebagai luka pada
dinding dada yang menghisap pada setiap inspirasi ( sucking chest
wound). Apabila luban ini lebih besar dari pada 2/3 diameter trachea,
maka pada inspirasi udara lebih mudah melewati lubang dada
dibandingkan melewati mulut sehingga terjadi sesak nafas yang hebat

2. Tension Pneumothorak
Adanya udara didalam cavum pleura mengakibatkan tension
pneumothorak. Apabila ada mekanisme ventil karena lubang pada paru
maka udara akan semakin banyak pada sisi rongga pleura, sehingga
mengakibatkan :
a. Paru sebelahnya akan terekan dengan akibat sesak yang berat
b. Mediastinum akan terdorong dengan akibat timbul syok
c. Pada perkusi terdengar hipersonor pada daerah yang cedera,
sedangkan
d. pada auskultasi bunyi vesikuler menurun.
3. Hematothorak
Pada keadaan ini terjadi perdarahan hebat dalam rongga dada. Ada
perkusi terdengar redup, sedang vesikuler menurun pada auskultasi.
4. Flail Chest
Tulang iga patah pada 2 tempat pada lebih dari 2 iga sehingga ada satu
segmen dinding dada yang tidak ikut pada pernafasan. Pada ekspirasi
segmen akan menonjol keluar, pada inspirasi justru masuk kedalam yang
dikenal dengan pernafasan paradoksal.

5. Tamponade jantung

91
Luka tembus / tusuk jantung adalah penyebab kematian utama pada
daerah perkotaan.Tamponade jarang terjadi akibat trauma tumpul.12
c) Trauma Abdomen
Prognosis pasien yang menderita trauma abdomen umumnya baik.
Angka kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit sekitar 5-10%.
Sebagian besar kematian yang disebabkan oleh trauma abdomen dapat
dicegah. Trauma abdomen merupakan salah satu penyebab tersering dari
kematian akibat suatu trauma yang dapat dicegah.
Jika cedera abdomen tidak segera didiagnosis, suatu keadaan yang
lebih buruk dapat terjadi. Terapi yang terlambat akan menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi jika terjadi perforasi saluran
gastrointestinal.
Angka pasien yang selamat dari trauma tembus abdomen tidak
meningkat secara nyata karena kematian dalam 24 jam pertama sebagai
akibat dari syok perdarahan irreversible dan exsangunasi. Lebih dari 80%
kematian terjadi dalam 24 jam saat kedatangan di rumah dan 66,7% pada saat
operasi awal karena cedera pembuluh darah abdomen. Sebaliknya, angka
pasien yang selamat dari trauma tembus abdomen tanpa cedera pembuluh
darah masih tinggi.
Distribusi puncak dari kematian pada trauma tembus abdomen sangat
berbeda dibandingkan pada trauma tumpul abdomen. Sebagian besar
kematian karena trauma tembus abdomen terjadi antara 1 – 6 jam dari saat
datang di rumah sakit, diikuti jumlah yang lebih kecil pada 6 – 24 jam setelah
kedatangan. Sebaliknya, jumlah tertinggi kematian karena trauma tumpul
abdomen terjadi 72 jam setelah kedatangan di rumah sakit dan jumlah yang
lebih kecil dalam jam pertama kedatangan. Kematian karena trauma tembus
abdomen lebih sering terjadi di instlasi gawat darurat (IGD) atau ruang
operasi dibandingkan dengan trauma tumpul abdomen yang terutama terjadi
di ICU.
Secara umum, kematian terjadi dalam 72 jam pertama karena
hipoperfusi dan sequelenya. Kematian di ICU dua minggu atau lebih

92
kemudian biasanya karena komplikasi sepsis, sindrom respon inflamasi
sistemik (SIRS=systemic inflammatory response syndrome), atau sindrom
disfungsi organ multiple (multiple organ dysfunction syndrome).
Faktor-faktor yang meningkatkan mortalitas dari trauma tembus
abdomen adalah jenis kelamin perempuan, lamanya jarak antara saat kejadian
dan dimulainya tindakan operasi, adanya syok saat datang ke rumah sakit, dan
adanya cedera kepala.17,18
d) Trauma Tulang Belakang
Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-
rata harapan hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah dibanding
populasi normal. Penurunan rata-rata lama harapan hidup sesuai dengan
beratnya cedera. Penyebab kematian utama adalah komplikasi disabilitas
neurologik yaitu : pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal ginjal.25
e) Trauma Ekstremitas
Pada pasien dengan trauma ekstrimitas prognosis tergantung denga tingkat
keparahan penderita. Pronosis dubia et bonam ketika pasien mendapat
penangan medis yang benar dan tepat pada trauma yang tidak menyebabkan
perbadarah pada pembuluh darah besar.33

BAB IV
PENCEGAHAN

Trauma dapat diakibatkan karena benturan akibat suatu kejadian secara tiba-tiba.
Trauma dapat dicegah dengan beberapa cara, seperti:

93
 Menerapkan budaya kesehatan dan keselamatan dalam bekerja dan
beraktivitas
 Menaati peraturan keselamatan, seperti menggunakan sabuk pengaman,
mematuhi batas kecepatan, dan mematuhi rambu-rambu lalu lintas

 Mengikuti prosedur keselamatan yang ada dalam bekerja

 Menggunakan alat pelindung diri

 Selalu waspada terhadap lingkungan sekitar.

BAB V
PENUTUP
A. Trauma Kepala
Trauma kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks.Gangguan yang
ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif,

94
psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya.Hal ini disebabkan
oleh karena trauma kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala mulai dari
bagian terluar hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak.

Trauma kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan


utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas. Klasifikasi Cedera Kepala Berat ringannya cedera kepala
bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul setelah cedera kepala.

B. Trauma Thorak
Secara umum trauma toraks dapat didefinisikan sebagai suatu trauma yang
mengenai dinding toraks yang secara langsung maupun tidak langsung
berpengaruh pada pada organ didalamnya, baik sebagai akibat dari suatu trauma
tumpul maupun oleh sebab trauma tajam. Peningkatan dalam pemahaman
mekanisme fisiologis yang terlibat, kemajuan dalam modalitas imaging yang lebih
baru, pendekatan invasif yang minimal, dan terapi farmakologis memberikan
kontribusi dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan
cedera ini
Cedera pada parenkim paru sering terjadi pada pasien yang mengalami
cedera berat meliputi, kontusio, laserasi dan hematoma pada paru. Hemotoraks
dan Pneumotoraks juga merupakan cedera yang biasa terjadi pada pasien - pasien
trauma toraks. Penatalaksanaan pada cedera ini telah berkembang selama
beberapa dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh kemajuan dalam teknik
imaging diagnostik dan peningkatan dalam pemahaman patofisologi. Pemahaman
ini akan meningkatkan kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma
toraks sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan segera
C. Trauma Abdomen
Trauma abdomen mungkin mengancam nyawa dan harus ditangani dengan
hati-hati. Setelah trauma, perut mungkin suatu tempat untuk perdarahan okultisme
itu, jika tidak ditemukan dan diperbaiki secepatnya, dapat mengakibatkan
konsekuensi buruk. Secara tradisional cedera ini diklasifikasikan sebagai trauma
tumpul, yang sebagian besar berasal dari tabrakan kendaraan bermotor, dan

95
trauma tajam, yang sebagian besar adalah sekunder untuk tembakan atau tikaman.
Pasien dengan trauma abdomen harus memperoleh penilaian cepat, stabilisasi, dan
konsultasi bedah dini untuk memaksimalkan peluang hasil yang sukses.

Pada hakekatnya, pengenalan, penilaian cepat, dan tatalaksana awal yang


baik pada trauma tajam abdomen sangat diperlukan karena hal ini menentukan
outcome dan tatalaksana lanjutan terbaik yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi atau kematian yang tidak diharapkan

Kematian pada trauma abdomen tidak hanya ditentukan oleh beratnya


trauma atau adanya trauma penyerta, tetapi juga oleh keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis. Kematian biasanya disebabkan oleh perdarahan atau
peradangan dalam rongga peritoneum. Angka kematian ini dapat diturunkan
melalui upaya pencegahan trauma dan penanggulangan optimal yang diberikan
sedini mungkin pada korbannya

D. Trauma Tulang Belakang


Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung
maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis dan
menimbulkan gangguan neurologis atau kematian. Keluhan yang muncul
bervariasi antara lain nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas,
inkontinensia urine dan inkontinensia alvi, nyeri tekan otot atau hiperestesia.
Insiden cedera medula spinalis menunjukkan terdapat 40-80 kasus baru per 1 juta
populasi atau sekitar 250.000-500.000 orang mengalami cedera medula spinalis
setiap tahunnya.
Penanganan pada kasus ini yaitu tirah baring serta pemantauan tanda-tanda
vital, pemberian metilprednisolon dosis tinggi, pencegahan komplikasi yang
muncul, dan fisioterapi. Selama perawatan pasien menunjukkan kemajuan yang
berarti, baik dari fungsi motorik maupun otonom.
E. Trauma Ekstremitas
Trauma pada ekstrimitas menyebabkan angka morbiditas (penderitaan
fisik, kehilangan waktu, dan tekanan mental) yang tinggi. Patah tulang energi

96
tinggi pada tungkai bawah juga dapat menyebabkan cedera pembuluh darah
besar, crush syndrome, dan sindroma kompartemen yang membahayakan nyawa.

Penanganan awal dalam ruang emergency sangat penting untuk


menyelamatkan nyawa dan menyelamatkan ekstrimitas yang mengalami fraktur.
survey primer (mengamankan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi) dan
sekunder yang cepat dan tepat mampu akan mengidentifikasi secara dini
komplikasi berbahaya dari fraktur, seperti cedera arteri besar, crush syndrome
dan sindroma kompartemen

REFERENSI
1. Abdul Latip LS, Ahmad Alias NA, Ariff AR, Shuaib IL, Abdullah J, Naing N
N. CT  scan in minor head injury: A guide for rural doctors. J Clin Neurosci. 
2014

2. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam:


Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia.
Komisitrauma IKABI, 2011.

97
3. Cassidy JD, Carroll LJ, Peloso PM, Borg J, von HH, Holm L, et al. Incidence, r
isk  factors and  prevention  of mild  traumatic  brain injury: Results  of  the 
WHO Collaborating Centre Task Force on Mild Traumatic Brain Injury. 
J Rehabil Med. 2016;(43 Suppl):28–60. [PubMed]

4. Haydel  MJ,  Preston  CA,  Mills  TJ,  Luber  S,  Blaudeau  E,  DeBlieux  PM. 
Indications  for  computed  tomography  in  patients  with  minor  head
injury. N Engl J Med. 2013

5. Head and Neck, Brain, Spine : Diagnostic and Surgical Imaging Anatomy
Series. Lippincott Williams & Wilkin Retnaningsih, 2015.

6. Mack LR, Chan SB, Silva JC, Hogan TM. The use of head computed tomograp
hy  in  elderly  patients  sustaining  minor  head  trauma.  J  Emerg  Med.  2017

7. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon Learning
System LLC, 2010.

8. Stiell IG, Wells GA, Vandemheen K, Clement C, Lesiuk H, Laupacis A, et al. 
The  Canadian  CT Head  Rule  for  patients  with minor  head injury.  Lancet. 
20011

9. Ylvisaker,  M.,  et  al.  (2012) Practice Guidelines for Standardized Assessment
for Persons with Traumatic Brain Injury. Journal of Medical SpeechLanguage
Pathology.

10. American College Of Surgeons Commitee On Trauma. (2013) Trauma


toraks. Dalam ATLS Student Course Manual 8th edition. USA.

11. Anderson C A. (2012) Evaluation of the safety of high-frequency chest wall


oscillation (hfcwo) therapy in blunt thoracic trauma patients. Journal of
Trauma Management & Outcomes.

12. Bailey, R.C. (2014) Complication Of Tube Thoracostomy in Trauma. J


Accid Emergency Med

98
13. Brunicardi, F. C., Onan, B., Oz, K., (2016) Chest wall, lung, mediastinum,
and pleura. Dalam Schwartz’s Manual Of Surgery 8th edition. USA: Mc-
Graw Hill.

14. Demirhan, R. (2011) Comprehensive analysis of 4205 patients with chest


trauma: a 10-year experience. Interactive CardioVascular and Thoracic
Surgery.

15. Mefire, A. C., Pagbe, J. J., Fakou, M., Nguimbous, J, F. (2010) Analysis of
epidemiology, lesions, treatment and outcome of 354 consecutive cases of
blunt and penetrating trauma to the chest in an African setting. SAJS.
16. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter
Edisi 7. Jakarta: IKABI, 2014, Bab 5; Trauma Abdomen.

17. Beauchamp, et al., 2016. Townsend: Sabiston Textbook of Surgery. 18th


edition. USA : Elvesier, Inc.

18. Brunicardi, FC, 2017. Schwartz’s Principles of Surgery. 8th edition. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc.

19. Fermann, GJ, 2013. Emergency Medicine-An Approach to Clinical Problem


Solving. In: Hamilton, et al., Emergency Medicine-An Approach to Clinical
Problem Solving. 2nd edition. USA : W. B. Saunders Company.

20. Isenhour J.L., Marx J., 2015. Advances in abdominal trauma. Emerg Med Clin
N Am 25 (2015)

21. Stanton-Maxey K.J, et al. 2011. Penetrating Abdominal Trauma. Available


from:http://emedicine.medscape.com/article/2036859-overview [Accessed on
19 Nov 2020]

22. Wibowo, D.S., dan Paryana, W., 2007. Dinding Abdomen. Anatomi Tubuh
Manusia. Graha Ilmu. Yogyakarta: 273-279.

23. Williams, et al., 2015. Bailey & Love’s Short Practice of Surgery. 25th edition.
UK: Edward Arnold Ltd.

99
24. Advance Trauma Life Support for Doctor, ATLS Student Course Manual,
Eight Edition. Trauma Medulla Spinalis
25. Alpert MJ. Central Cord Syndrome. eMedicine Journal 2011
26. Hurlbert RJ. Methylprednisolone for Acute Spinal Cord Injury: An
Inappropriate Standard of Care. J Neurosurg (Spine). 2016;
27. Schreiber D. Spinal Cord Inuries, eMedicine Journal, April, 2014
28. York JE. Approach to The Patient with Acute Nervous System Trauma, Best
Practice of Medicine, September 2015

29. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support for Doctors
(ATLS): Student Course Manual. 7th ed. Chicago, Ill: American College of
Surgeons; 2014.

30. Wang AM, Yin X, Sun HZ, DU QY, Wang ZM. Damage control orthopaedics
in 53 cases of severe polytrauma who have mainly sustained orthopaedic
trauma. Chin J Traumatol. Oct 2016;11(5):283-7.

31. Lee C, Porter KM. Prehospital Management of Lower Limb Fracture. Emerg
Med J 2015;

32. American College of Surgeons Comittee on Trauma. Advanced Trauma Life


Support for Doctors (ATLS) Student Course Manual. 8th ed. Chicago, IL :
American College of Surgeons ; 2016

33. Mangku G, Senapathi T.G.A. eds Wiryana I.M.W, Sinardja K, Sujana I.B.G,
Budiarta I.G. Penatalaksanaan Nyeri. Dalam : Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta Barat : Indeks. 2015

100

Anda mungkin juga menyukai