Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

ALERGI SUSU SAPI

DISUSUN OLEH:

Alisha Nurdya Irzanti (1102015018)

PEMBIMBING :

dr. Dani Kurnia, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD ARJAWINANGUN – KAB. CIREBON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 2 SEPTEMBER – 9 NOVEMBER 2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………………....1
BAB I. PENDAHULUAN….…..………………………………………………....2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………...………………………………………..4
BAB III. KESIMPULAN….……………………………………………………..25
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….26

1
BAB I
PENDAHULUAN

Sumber nutrisi terbaik bagi bayi baru lahir adalah air susu ibu (ASI). Setelah
melalui masa pemberian ASI secara ekslusif yang umumnya berlangsung 3-6 bulan,
bayi mulai diberikan susu formula sebagai pengganti air susu ibu (PASI). PASI
lazimnya dibuat dari susu sapi, karena susunan nutriennya dianggap memadai dan
harganya terjangkau.1
Susu sapi dianggap sebagai penyebab alergi makanan pada anak-anak yang
paling sering dan paling awal dijumpai dalam kehidupan. Alergi susu sapi
merupakan suatu penyakit berdasarkan reaksi imunologis yang timbul sebagai
akibat dari susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi.2
Hippocrates pertama kali melaporkan adanya reaksi terhadap susu sapi
sekitar tahun 370 SM. Dalam dekade belakangan ini prevalensi dan perhatian
terhadap alergi susu sapi semakin meningkat. Susu sapi sering dianggap sebagai
penyebab alergi makanan pada anak-anak yang paling sering. Beberapa penelitian
pada beberapa negara di seluruh dunia menunjukan prevalensi alergi susu sapi pada
anak-anak pada tahun pertama kehidupan sekitar 2%. Sekitar 1-7% bayi pada
umumnya menderita alergi terhadap protein yang terkandung dalam susu sapi.
Sedangkan sekitar 80% susu formula bayi di pasar menggunakan bahan dasar susu
sapi.2
Pada sumber lain dikatakan bahwa alergi terhadap protein susu sapi/Cow’s
milk protein allergy (CMPA) terjadi pada 2-6% dari anak-anak, dengan prevalensi
tertinggi pada usia tahun pertama. Sekitar 50% anak telah ditunjukkan sembuh dari
CMPA pada usia tahun pertama, atau 80-90% dalam tahun kelimanya. Alergi pada
susu sapi 85% akan menghilang atau menjadi toleran sebelum usia 3 tahun.
Penanganan alergi terhadap susu sapi adalah menghindari susu sapi dan makanan
yang mengandung susu sapi, dengan memberikan susu kedelai sampai terjadi

2
toleransi terhadap susu sapi. Perbedaan kontras antara penyakit alergi terhadap susu
sapi dan makanan lain pada bayi adalah bahwa dapat terjadi toleransi secara spontan
pada anak usia dini.2,3,5,6
Alergi protein susu sapi dapat berkembang pada anak-anak yang diberi ASI
atau pada anak-anak yang diberi susu formula. Namun, anak-anak yang diberi ASI
biasanya memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk menjadi alergi terhadap
makanan lainnya. Biasanya, anak yang diberi ASI dapat mengalami alergi terhadap
susu sapi jika bayi tersebut bereaksi terhadap kadar protein susu sapi yang sedikit
yang didapat dari diet ibu saat menyusui. Pada kasus lainnya, bayi-bayi tertentu
dapat tersensitisasi terhadap protein susu sapi pada ASI ibunya, namun tidak
mengalami reaksi alergi sampai mereka diberikan secara langsung susu sapi.4

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Alergi susu sapi (ASS) adalah reaksi simpang terhadap protein susu sapi
yang diperantarai reaksi imunologi. Istilah alergi yang dipergunakan dalam
panduan ini sesuai dengan definisi yang dikeluarkan oleh World Allergy
Organization, yaitu alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang diperankan oleh
mekanisme imunologi. Mekanisme tersebut bisa diperantarai oleh IgE (reaksi
hipersensitivitas tipe I, reaksi cepat) maupun non-IgE (reaksi hipersensitivitas tipe
III atau IV, reaksi lambat). Alergi susu sapi yang tidak diperantarai IgE lebih sering
mengenai saluran cerna, sementara ASS yang diperantarai IgE dapat mengenai
saluran cerna, kulit, dan saluran napas serta berhubungan dengan risiko tinggi
timbulnya alergi saluran napas di kemudian hari seperti asma dan rinitis alergi.1

Prevalensi dan Insidensi


Dalam survei nasional ahli alergi anak, tingkat prevalensi alergi susu sapi
dilaporkan 3,4% di Amerika Serikat. Sedangkan di Denmark, pada studi kohort dari
1.749 bayi baru lahir dari pusat Kota Odense yang dimonitor secara prospektif
untuk pengembangan intoleransi terhadap protein susu sapi selama tahun pertama
kehidupan, dilaporkan besarnya insidensi dalam 1 tahun adalah 2,2%.6
Sebuah penelitian prospektif menunjukkan bahwa 42% bayi yang
mengalami gejala akibat intoleransi protein susu sapi terjadi dalam waktu 7 hari
(70% dalam waktu 4 minggu) setelah pemberian susu sapi. Intoleransi protein susu
sapi telah didiagnosis pada 1,9-2,8% dari populasi umum bayi berumur 2 tahun atau
lebih muda di berbagai negara di Eropa bagian utara, namun kejadian turun menjadi
sekitar 0,3% pada anak-anak yang berusia lebih dari 3 tahun.6

4
Klasifikasi

Alergi susu sapi dapat dibagi menjadi:


a. IgE mediated, yaitu: Alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE. Gejala klinis
timbul
dalam waktu 30 menit sampai 1 jam (sangat jarang > 2 jam) mengkonsumsi protein
susu sapi.
Manifestasi klinis: urtikaria, angioedema, ruam kulit, dermatitis atopik, muntah,
nyeri perut,
diare, rinokonjungtivitis, bronkospasme, dan anafilaksis. Dapat dibuktikan dengan
kadar IgE
susu sapi yang positif (uji tusuk kulit atau uji RAST).
b. Non-IgE mediated, yaitu: Alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh IgE,
tetapi diperantarai oleh IgG dan IgM. Gejala klinis timbul lebih lambat (1-3 jam)
setelah mengkonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis: allergic eosinophilic
gastroenteropathy, kolik, enterokolitis, proktokolitis, anemia, dan gagal tumbuh.

Patofisiologi dan Manifestasi Klinis


Protein susu sapi adalah salah satu dari alergen utama yang terlibat dalam
kedua jenis alergi, dan diagnosis yang tepat sangat penting untuk manajemen yang
tepat. Susu sapi mengandung lebih dari 20 fraksi protein. Dalam dadih, dapat
diidentifikasi 4 kasein (yaitu, S1, S2, S3, S4) yang jumlahnya sekitar 80% dari
protein susu. 20% protein sisanya, pada dasarnya adalah protein glubular (misalnya,
laktoalbumin, lactoglobulin, bovine serum albumin), yang terkandung dalam air
dadih. Kasein sering dianggap kurang imunogenik karena strukturnya yang
fleksibel, tidak padat. Secara historis, lactoglobulin merupakan alergen utama
dalam intoleransi protein susu sapi. Namun, polisensitisasi beberapa protein terjadi
pada sekitar 75% dari pasien dengan alergi terhadap protein susu sapi.6

5
STABILITY IN
PERCENTAGE
PROTEIN MOLECULAR THE
OF TOTAL ALERGINISITAS
COMPONENT WEIGHT (kD) TEMPERATURE
PROTEIN
100 C
β -lactoglobulin 18.3 10 +++ ++
Casein 20-30 82 ++ +++
α -lactalbumin 14.2 4 ++ +
Serum albumin 67 1 + +
Immunoglobulins 160 2 + -
Tabel 1 : Karakteristik komponen protein pada susu sapi2

Anak-anak adalah kelompok usia yang paling sering terkena penyakit ini
dan harus diikuti dengan hati-hati karena adanya komplikasi yang parah dari
pembatasan diet seperti keterlambatan pertumbuhan berat badan, kwashiorkor,
hipokalsemia dan rakitis. Istilah "intoleransi protein sapi" sering digunakan dalam
kasus-kasus gejala non spesifik yang dikaitkan dengan susu, apakah termasuk jenis
reaksi imun mediasi IgE atau non-IgE, mekanisme patologi ini disebabkan oleh
reaksi imun terhadap protein susu.5
Alergi terhadap makanan (atau dalam hal ini susu sapi) mengacu pada reaksi
imun terhadap protein dalam makanan dan dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis
mekanisme yaitu reaksi mediasi IgE dan non-IgE (kebanyakan adalah selular).
Reaksi mediasi IgE dapat diketahui melalui tes diagnostik yang telah disahkan,
sedangkan reaksi imun mediasi non IgE yang dapat timbul dalam saluran
gastrointestinal belum diketahui dan dijelaskan dengan baik dan lebih sulit untuk
dikenali. Beberapa reaksi dapat juga melibatkan kedua jenis mekanisme tersebut
atau berevolusi sekunder menuju alergi mediasi IgE.5

6
Alergi Susu Mediasi IgE
Patofisiologi
Alergi susu mediasi IgE terjadi ketika organisme gagal untuk mendapatkan
daya tahan (toleransi) terhadap alergen makanan. Alergen makanan utama pada
anak-anak ialah panas, asam, dan protease yang stabil, glikoprotein yang water
soluble dengan ukuran 10-70 kd. Contohnya yaitu protein dalam susu (kasein),
kacang (vicilin), dan telur (ovumucoid) dan protein transfer lemak yang tidak
spesifik yang ditemukan pada buah apel (Mald 3).5
Ketika antigen makanan dicerna, makanan diproses dalam usus dimana
terdapat banyak mekanisme fisik yang kompleks (lendir, asam, sel epitel dan asam)
dan proteksi imunologis. Hilangnya pelindung seperti keadaan netralisasi pH
lambung dapat membuat alergi. Serupa seperti pada bayi dimana pelindung-
pelindung usus (aktivitas enzim dan produksi IgA) masih belum matang sehingga
meningkatkan prevalensi alergi makanan pada masa bayi.5
Antigen presenting cells (APC), khususnya sel epitel usus dan sel dendritik,
dan sel T memiliki peran utama pada daya tahan oral melalui ekspresi IL-10 dan
IL-4. Bakteri komensal usus juga mempengaruhi respon imun mukosa. Daya tahan
dibentuk dalam 24 jam pertama setelah lahir dan memproduksi molekul
imunomudulator yang memiliki efek bermanfaat dalam pembentukan imun respon.
Studi saat ini telah menunjukan bahwa ketidakseimbangan komposisi dari bakteri
mikrobiota menjadi faktor utama terjadinya alergi, asma atau inflammatory bowel
disease.5
Alergi yang dimediasi IgE dimulai dari sensitisasi. Alergen dicerna,
diinternalisasi dan diekspresikan pada permukaan APC. APC berinteraksi dengan
limfosit T dan menghasilkan transformasi dari limfosit B menjadi sel sekretori
antibodi. Setelah dibentuk dan dilepaskan ke sirkulasi, IgE mengikat, melalui
bagian Fc, ke reseptor sel mast yang memiliki afinitas yang tinggi, meninggalkan

7
reseptor spesifik alergen mereka yang ada untuk berinteraksi dengan alergen di
masa depan suatu saat nanti.5
Proses alergi yang dibentuk tanpa dimediasi oleh IgE kurang begitu
dimengerti namun fase pengenalan antigen awal kemungkinan adalah sama, dan
merangsang reaksi inflamasi utama melalui mediasi sel T dan eosinofil, meliputi
aktivasi sitokin-sitokin yang berbeda seperti IL-5.5
Hubungan yang terbentuk dari sejumlah sel mast/antibodi IgE yang
berikatan dengan basophil yang cukup oleh alergen merangsang proses intra-
seluler, hal ini menyebabkan degranulasi sel, dengan pelepasan histamin dan
mediator peradangan lainnya.5

Manifestasi Klinis
Alergi susu sapi ditandai oleh berbagai variasi manifestasi klinis yang
terjadi setelah meminum susu. Manifestasi paling berbahaya dari reaksi mediasi IgE
akibat alergi susu ialah anafilaksis. Setelah degranulasi sel mast, pelepasan
mediator inflamasi mempengaruhi berbagai sistem organ. Gejala yang dapat timbul
ialah pruritus, urtikaria, angio-edema, muntah, diare, nyeri perut, sulit bernapas,
sesak, hipotensi, pingsan, dan syok. Gejala pada kulit merupakan gejala paling
sering, meskipun, sampai 20% reaksi anafilaksis dapat muncul tanpa adanya
manifestasi pada kulit khususnya pada anak-anak. Onset munculnya gejala dari
reaksi anafilaksis yang diinduksi makanan bervariasi namun mayoritas reaksi
muncul dalam hitungan detik sampai 1 jam pertama setelah terpapar.5
Diantara gejala-gejala akibat alergi makanan, seringkali terdapat dermatitis
atopi. Memang, telah diketahui bahwa 30% anak-anak yang menderita dermatitis
atopi yang sedang sampai berat memiliki hubungan dengan alergi makanan yang
memperparah eksema. Makanan yang berpengaruh ialah susu sapi, dengan
ditemukannya IgE spesifik pada kebanyakan pasien.

8
Reaksi cepat Reaksi Lambat
Anafilaksis Dermatitis atopi
Urtikaria akut Diare kronis, diare berdarah, anemia
Akut angioedema defisiensi besi, konstipasi, muntah
Sesak kronis, kolik
Rhinitis Terganggunya pertumbuhan
Batuk kering Enteropati dengan kehilangan protein
Muntah dengan hipoalbuminemia
Edema laryngeal Sindrom enterokolitis
Asma akut dengan stres Esofagogastroenteropati eosinofilik
pernapasan yang diketahui dari biopsy
Tabel 2 : Onset reaksi cepat dan lambat alergi susu sapi pada anak-anak.3

Gambar 3 : Dermatitis atopi pada bayi pada wajah akibat alergi protein.6

Alergi Susu Sapi Gastrointestinal


Patofisiologi
Mekanisme dasar yang mengarah pada alergi belum diketahui dengan baik.
Berbagai faktor, yag berhubungan dengan pasien (faktor genetik, flora usus) dan
yang tidak berhubungan (seperti waktu, dosis, frekuensi eksposure alergen) yang
saling berinteraksi dengan patogenesis penyakit. Alergi gastrointestinal,
kebanyakan pasien mengalami reaksi hipersensitivitas tipe IV dengan respon yang

9
abnormal dari limfosit TH2. Produk ini meningkatkan jumlah mediator inflamasi,
seperti IL-4 dan IL-5, seperti kemokin, yang menyebabkan aktivasi eosinofil. Pada
beberapa pasien, alergi campuran dari mediasi IgE dan non IgE dapat terjadi dan
tes diagnostik harus dilakukan untuk kedua jenis alergi tersebut. (5)

10
Alergi Pada Gejala-Gejala Komplikasi Tes Diagnostik Evolusi Penatalaksana
Usus Mediasi an
Non IgE atau
Campuran
Kolitis Perdarahan Anemia Eliminasi diet Resolusi Diet eliminasi
Makanan rectum dengan untuk ibu atau dalam 6- diikuti tes
Dan Susu pengeluaran hydrolyzed milk 12 bulan pemberian
lendir pada bayi (bayi yang tidak ulang setelah 6
diberi ASI), bulan
biopsy kolon jika
resisten terhadap
kultur feses
Esofagus Regurgitasi, Kegagalan Endoskopi, Terus Diet eliminasi,
Eosinofilik refluks, pertumbuhan, biopsy, tes menerus steroid
anoreksia, kehilangan kutaneus dan ada sistemik atau
disfagi atau berat badan, epikutaneus, diet topical
menolak striktur asam amino dan (ditelan)
makanan, esofagus tes provokasi oral
muntah, nyeri
lambung
Food Protein- Muntah terus- Leukositosis, Riwayat sugestif, Resolusi Diet eliminasi
Induced menerus dan/atau syok tes epikutaneus dalam 2-5 diikuti tes
Enterocolitis diare 2-4 jam hipovolemik, dan/atau tes tahun pemberian
Syndrome setelah asidosis provokasi oral ulang
(FPIES) makan/minum metabolic,
hipotensi
Food Protein Gejala insidious, Hipereosinofili, Endoskopi, Resolusi Diet eliminasi
Induced abdominal hematemesis/re biopsy, tes skin dalam 1-2
Enteropathy discomfort, ctal bleeding, prick’s dan tahun
disfagia, anemia epikutaneus, tes
kehilangan berat defisiensi besi, provokasi oral
hipoalbuminem

11
badan, muntah, ia, kegagalan
diare pertumbuhan

Manifestasi Klinis
Pasien dengan alergi susu gastrointestinal dapat muncul dengan berbagai
macam gejala, berdasarkan lokalisasi dari inflamasi (Tabel 2.3).5
Tabel 4 : Alergi makanan mediasi non IgE

Gastroenteropathies Eosinofilik
Gastroenteropathies eosinofilik didefinisikan infiltrasi eosinofil pada
dinding usus. Terdapat 3 (tiga) bentuk keadaan klinis yang dijelaskan: kolitis yang
diinduksi susu, oesophagitis eosinofilik dan enterocolitis yang diinduksi protein
makanan. Prevalensi kelainan-kelainan tersebut semakin meningkat. Diagnosis
banding dari eosinofilia usus sangat luas dan meliputi inflamatory bowel disease,
infeksi parasit, sindrom hipereosinofilia dan hipersensitivitas obat. Tidak ada tes
diagnostik yang patognomonis dan diagnosis alergi eosinofilia gastroenterologi
harus berdasarkan keadaan klinis, tes kulit, biopsi dan/atau oral food challenges.

Colitis Akibat Makanan dan Susu Sapi (Food and cow’s milk colitis)
Alergi susu sapi merupakan salah satu penyebab yang umum dari terjadinya
kehilangan darah kronis dan anemia pada masa neonatal, dengan darah samar atau
perdarahan rectum pada feses dan diare, meskipun begitu diare berdarah yang masif
jarang terjadi. Pendarahan rektal merupakan gejala yang mengkhawatirkan tetapi
pada umumnya jinak dan self limiting tetapi dapat dikaitkan dengan alergi susu
pada sekitar 20% kasus. Bayi yang terkena dapat timbul dengan pendarahan anus
yang terisolasi dengan mengeluarkan lendir pada jam pertama kehidupan, dapat

12
melalui dalam rahim, atau sebelum 3 sampai 6 bulan pertama kehidupan tetapi
biasanya tetap dalam kondisi umum yang sangat baik. Biopsi rektal menunjukkan
peradangan eosinofilik yang khas dengan erosi epitel, microabscess atau fibrosis.
Gejala diakibatkan oleh protein susu sapi yang terkandung dalam susu formula atau
ASI, dan setengah dari pasien ini didiagnosis ketika menggunakan ASI eksklusif.5
Kebanyakan dari bayi hanya alergi terhadap susu tapi sekitar 20% juga
dapat bereaksi terhadap telur, dan protein makanan lain walaupun jarang. Kemajuan
klinis biasanya sangat baik seiring dengan perbaikan gejala dalam waktu lima hari
setelah diet bebas susu sapi bagi ibu. Bila diet pada ibu mengalami kegagalan, diet
bebas telur juga dapat dilakukan. Alergi ini biasanya sembuh dalam beberapa bulan,
sehingga pemberian susu kembali dapat dilakukan antara 6 dan 12 bulan.5

Oesofagitis Eosinofilik (Eosinophilic oesophagitis)


Penyakit ini baru diidentifikasi dalam 15 tahun terakhir dan studi
menunjukkan prevalensi yang semakin meningkat. Penyakit ini terutama
mempengaruhi orang-orang berusia dekade kedua atau ketiga, tetapi semakin
banyak pula dilaporkan dalam literatur-literatur pediatrik. Penyakit ini
didefinisikan dengan terjadinya suatu infiltrasi eosinofil pada esofagus, dan terkait
dengan gejala refluks yang resisten terhadap terapi proton pump inhibitor (PPI).5
Pasien biasanya mengeluhkan gejala sakit seperti ketidaknyamanan,
disfagia dan cenderung untuk menghindari makan makanan berserat atau kering.
Gejala pada anak-anak biasanya tidak khas, seperti sakit perut, muntah atau
regurgitasi dan anoreksia, atau kegagalan pertumbuhan. Endoskopi dapat
menampilkan berbagai gambaran dari area normal sampai putih atau merah merata
dengan beberapa striktur esofagus, dengan aspek tracheiformis yang khas.
Biopsi menunjukkan infiltrasi padat dari dinding oleh eosinofil (> 15-20/
Lapang pandang). Esofagitis ini dapat sipersulit oleh adanya stenosis esofagus dan

13
impaksi makanan. Eosinofilik esofagitis biasanya disebabkan oleh alergi makanan
dengan campuran mediasi IgE dan non IgE, khususnya pada anak-anak dan remaja.5
Identifikasi alergen harus dikoordinasikan dengan spesialis karena dapat
melibatkan berbagai antigen. Diet bebas unsur asam amino atau formula semi-
unsurnya dapat menyebabkan perbaikan gejala sebanyak 30-70% pada pasien ini.
Namun demikian, penggunaan steroid topikal atau sistemik sering dibutuhkan,
terutama jika makanan penyebab tidak dapat diidentifikasi secara jelas atau jika
peradangan sudah berlangsung lama.5

Enterokolitis yang Diinduksi Protein Makanan (Food protein-induced


enterocolitis)
Alergi ini dapat muncul dengan gejala yang luar biasa seperti muntah terus
menerus dan/atau diare lendir berdarah yang dapat membuat lemas dan syok
hipovolemik. Gejala dapat muncul seringkali 2 (dua) jam setelah makan atau
minum. Anak-anak dengan gejala-gejala ini seringkali menjadi suspek terjadinya
sepsis. Jumlah hitung darah selama fase akut adalah leukositosis yang dipenuhi oleh
sel-sel muda (neutrofil non segmen). Mekanismenya belum jelas namun diketahui
dipengaruhi oleh reaksi mediasi IgE dan non IgE. Biopsi kolon memperlihatkan
abses kripta dengan infiltrasi inflamasi yang difus. Alergi ini dapat juga disebabkan
oleh protein pada makanan daripada susu, seperti halnya reaksi terhadap kedelai,
ikan, nasi, kentang dan ayam. (5)
Riwayat dari eneterocolitis yang diinduksi susu biasanya membaik setelah
usia 2-3 tahun, namun perubahan penyakitnya dapat lebih panjang pada pasien
dengan enterokolitis yang diinduksi protein padat. Pasien dengan manifestasi klinis
yang tidak jelas harus dilakukan tes diagnostik menggunakan endoskopi dan biopsi
yang bertujuan untuk menghilangkan diagnosis penyakit eosinofilik.5

14
Diagnosis
Anamnesis
 Alergi susu sapi dapat menyebabkan beragam gejala dan keluhan, baik pada
saluran
cerna, saluran napas, maupun kulit. Luasnya gejala yang timbul dapat
mempersulit pengenalan, menyebabkan misdiagnosis atau kadang-kadang
overdiagnosis.
 Awitan gejala ASS, waktu antar pemberian susu sapi dan timbulnya gejala,
dan jumlah susu yang diminum hingga menimbulkan gejala.
 Riwayat atopi pada orangtua dan saudara kandung perlu ditanyakan. Risiko
atopi
meningkat jika ayah/ibu kandung atau saudara kandung menderita atopi,
dan bahkan
risikonya lebih tinggi jika kedua orangtua sama-sama penderita atopi.
 Riwayat atau gejala alergi sebelumnya.

Pemeriksaan Penunjang
Selain dari manifestasi klinis yang ada, untuk mendiagnosis adanya alergi
susu sapi pada anak dapat dilakukan beberapa tes penunjang atau tes diagnostik.
Berikut ini adalah tes untuk menilai alergi terhadap susu sapi, yaitu:
a. Skin Prick Test (SPT)
SPT merupakan tes yang cepat dan tidak mahal untuk mendeteksi sensitisasi
mediasi kelainan IgE dan dapat dikerjakan pada bayi dengan baik. Nilai prediksi
negatif adalah baik (>95%) dan dipastikan dengan tidak adanya reaksi mediasi IgE.
Meskipun, hasil respon yang positif tidak pasti menunjukan bahwa makanan
merupakan penyebabnya (kurang spesifik), dan hanya menunjukan sensitivitas
terhadap makanan (atopi, pada keadaan tidak adanya gejala alergi).5

15
SPT kurang begitu berguna pada kelainan alergi usus yang sensitif terhadap
makanan daripada alergi yang dimediasi oleh IgE. Pada alergi mediasi non IgE,
seperti Food protein-induced enterocolitis atau colitis akibat susu menghasilkan
hasil tes yang negatif. Meskipun begitu, SPT bergunan dalam mengeluarkan
diagnosis banding alergi mediasi IgE atau dalam keadaan patologi yang disebabkan
mekanisme kombinasi, khususnya esofagitis eosinofilik dimana SPT dapat
membantu mengetahui penyebab dari alergennya

. Gambar 4 : Skin Prick’s Test. 6


Pasien tidak boleh mengkonsumsi antihistamin minimal 3 hari untuk
antihistamin generasi 1 dan minimal 1 minggu untuk antihistamin generasi 2. Uji
tusuk kulit dilakukan di volar lengan bawah atau bagian punggung (jika didapatkan
lesi kulit luas di lengan bawah atau lengan terlalu kecil). Batasan usia terendah
untuk uji tusuk kulit adalah 4 bulan.
Bila uji kulit positif, kemungkinan alergi susu sapi sebesar < 50% (nilai
duga --positif < 50%), sedangkan bila uji kulit negatif berarti alergi susu sapi yang
diperantarai IgE dapat disingkirkan karena nilai duga negatif sebesar > 95%.

b. IgE RAST (Radio Allergo Sorbent Test)


Uji IgE RAST positif mempunyai korelasi yang baik dengan uji kulit, tidak
didapatkan perbedaan bermakna sensitivitas dan spesifitas antara uji tusuk kulit
dengan uji IgE RAST.

16
Uji ini dilakukan apabila uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan antara lain
karena adanya lesi adanya lesi kulit yang luas di daerah pemeriksaan dan bila
penderita tidak bisa lepas minum obat antihistamin.
Bila hasil pemeriksaan kadar serum IgE spesifik untuk susu sapi > 5 kIU/L
pada anak usia ≤ 2 tahun atau > 15 kIU/L pada anak usia > 2 tahun maka hasil ini
mempunyai nilai duga positif 53%, nilai duga negatif 95%, sensitivitas 57%, dan
spesifisitas 94%.

17
c. Uji eliminasi dan provokasi
Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC) merupakan
uji baku emas untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Uji ini dilakukan
berdasarkan riwayat alergi makanan, dan hasil positif uji tusuk kulit atau uji RAST.
Uji ini memerlukan waktu dan biaya. Jika gejala alergi menghilang setelah
dilakukan iet eliminasi selama 2-4 minggu, maka dilanjutkan dengan uji provokasi
yaitu memberikan formula dengan bahan dasar susu sapi. Uji provokasi dilakukan
di bawah pengawasan dokter dan dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas
resusitasi yang lengkap. Uji tusuk kulit dan uji RAST negatif akan mengurangi
reaksi akut berat pada saat uji provokasi.
Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi susu sapi muncul kembali,
maka diagnosis alergi susu sapi bisa ditegakkan. Uji provokasi dinyatakan negatif
bila tidak timbul gejala alergi susu sapi pada saat uji provokasi dan satu minggu
kemudian, maka bayi tersebut diperbolehkan minum formula susu sapi. Meskipun
demikian, orang tua dianjurkan untuk tetap mengawasi kemungkinan terjadinya
reaksi tipe lambat yang bisa terjadi beberapa hari setelah uji provokasi.

d. Pemeriksaan darah pada tinja


Pada keadaan buang air besar dengan darah yang tidak nyata kadang sulit
untuk dinilai secara klinis, sehingga perlu pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
seperti chromiun-51 labelled erythrocites pada feses dan reaksi orthotolidin
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dibanding uji
guaiac/benzidin. Uji guaiac hasilnya dipengaruhi oleh berbagai substrat non-
hemoglobin sehingga memberikan sensitivitas yang rendah (30-70%), spesifisitas
(88-98%) dengan nilai duga positif palsu yang tinggi.

18
Tata laksana

Prinsip utama dalam tata laksana ASS adalah menghindari susu sapi dan
makanan yang mengandung susu sapi sambil mempertahankan diet bergizi dan
seimbang untuk bayi dan ibu yang menyusui. Pada bayi yang diberikan ASI
eksklusif, ibu perlu mendapat penjelasan berbagai makanan yang mengandung
protein susu sapi yang perlu dihindari. Konsultasi dengan ahli gizi perlu
dipertimbangkan. Pada anak yang mendapat susu formula, diberikan susu pengganti
berupa susu terhidrolisis sempurna/ekstensif atau susu formula asam amino pada
kasus yang berat. Susu formula kedelai dapat dicoba untuk diberikan pada anak
berusia di atas 6 bulan apabila susu terhidrolisis ekstensif tidak tersedia atau
terdapat kendala biaya.

Indikasi rawat :
 Dehidrasi berat
 Gizi buruk
 Anafilaksis
 Anemia yang memerlukan transfusi darah

19
TATA LAKSANA ALERGI SUSU SAPI
PADA BAYI DENGAN ASI EKSKLUSIF

Gambar 5 : Tata laksana alergi susu sapi pada bayi dengan asi eksklusif2

20
TATA LAKSANA ALERGI SUSU SAPI

PADA BAYI DENGAN SUSU FORMULA

Gambar 6 : Tata laksana alergi susu sapi pada bayi dengan susu formula2

21
Pencegahan

Pencegahan alergi dilakukan sedini mungkin. Hal ini dapat dilakukan


sebelum anak tersensitisasi protein susu sapi, yaitu pada masa intrauterin.
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengkonsumsi susu sapi yang hipoalergi yaitu
susu sapi partially hydrolyzed untuk merangsang pembentukan terjadinya toleransi
di masa yang akan datang. Ketika reaksi alergi tetap terjadi setelah pemberian susu
yang hipoalergi, maka pemberian susu harus digantikan oleh susu lain seperti susu
kedelai.2
Pada bayi, berdasarkan rekomendasi Eropa dan Amerika sebenarnya
bergantung pada pemberian ASI eksklusif selama 4-6 bulan, diikuti dengan
penundaan pengenalan makanan padat pada anak dengan risiko atopik (seperti
atopik orang tua atau saudara kandung, atau anak-anak dengan dermatitis atopik).
Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa bayi yang terkena alergi makanan
(dalam hal ini susu sapi) pada awal kehidupan bayi melalui rute oral cenderung
kurang akan memiliki alergi terhadap makanan dari bayi tanpa eksposur tersebut.
Alergi susu sapi seringkali terdapat pada anak yang memiliki alergi makanan
lainhya pada usia yang lebih tua. Pencegahan dan pengobatan yang baik adalah
penting dalam mencegah alergi terhadap makanan di masa yang akan datang.
Secara umum terdapat 3 (tiga) fase pencegahan terhadap alergi susu, yaitu:2,5

Pencegahan Primer
Yang dilakukan sebelum tersensitisasi. Dilakukan sejak prenatal pada janin
dengan keluarga yang memiliki bakat dermatitis atopi. Menghindari dengan cara
memberikan susu sapi yang hipoalergi, seperti susu sapi partially hydrolyzed,
dengan tujuan untuk merangsang toleransi dari alergi susu sapi pada masa yang
akan datang, disebabkan masih mengandung sedikit partikel dari susu sapi, sebagai
contoh dengan merangsang IgG blocking agent. Tindakan pencegahan ini juga
dilakukan pada makanan alergi makanan lainnya, dan juga menghindari merokok.2

22
Pencegahan Sekunder
Dilakukan setelah sensitisasi tetapi manifestasi penyakit alergi tidak
muncul. Kondisi sensitisasi ditentukan oleh pemeriksaan IgE spesifik dalam serum
atau darah tali pusat, atau dengan uji kulit. Saat tindakan yang optimal adalah usia
0-3 tahun. Penghindaran dilakukan dengan cara mengganti susu sapi menjadi susu
sapi non alergenik, seperti susu sapi yang dihidrolisis sempurna atau pengganti susu
sapi seperti susu kedelai yang tidak membuat terjadinya sensitisasi terjadinya
manifestasi penyakit alergi. ASI eksklusif tampaknya juga dapat mengurangi risiko
alergi. 2

Pencegahan Tertier
Dilakukan pada anak-anak yang telah mengalami manifestasi sensitisasi dan
menunjukkan penyakit alergi awal seperti dermatitis atopik atau rinitis, tetapi belum
menunjukkan gejala alergi yang lebih berat seperti asma. Saat tindakan yang
optimal adalah pada usia 6 bulan sampai 4 tahun.2
Penghindaran juga dilakukan dengan memberikan susu sapi hidrolisat
sempurna atau pengganti susu sapi. Penyediaan obat preventif seperti setirizin,
imunoterapi, imunomodulator tidak direkomendasikan karena belum terbukti
secara klinis bermanfaat. 2

Prognosis
Pada umumnya alergi susu sapi tidak menetap, sebagian besar penderita
akan menjadi toleran sesuai dengan bertambahnya usia. Umumnya diketahui bahwa
ASS akan membaik pada usia 3 tahun: sekitar 50% toleran pada usia 1 tahun, 70%
usia 2 tahun, dan 85% usia 3 tahun. Pada anak dengan alergi yang tidak diperantarai
IgE, toleransi lebih cepat terjadi yaitu pada usia sekitar 1 tahun yang dapat
dibuktikan dengan memakai metode uji provokasi. Pada anak dengan alergi yang

23
diperantarai IgE sebaiknya pemberiannya ditunda lebih lama lagi dan untuk
menentukan waktu yang tepat, dapat dibantu dengan panduan tes alergi.1

24
BAB III
KESIMPULAN

Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ
dan sistem tubuh yang disebabkan oleh alergi terhadap susu sapi dengan
keterlibatan mekanisme sistem imun, yang disebabkan oleh kandungan protein di
dalam susu sapi. Alergi susu sapi seringkali diduga terjadi pada pasien, disertai
banyak gejala klnis. Sindrom klinis yang terjadi sebagai akibat alergi pada susu
dapat bermacam-macam, meskipun demikian dapat diketahui dengan baik.
Penatalaksanaan alergi dapat dilakukan kepada bayi maupun juga kepada ibu yang
memberikan ASI-nya. Dan pencegahan saat ini sudah dapat dilakukan semenjak
masih dalam kandungan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Alergi susu sapi di unduh dari :


https://www.scribd.com/doc/119787539/Alergi-Susu-Sapi-Pada-Anak.
Pada tanggal 27 mei 2015.
2. Konsensus penatalaksanaan alergi susu sapi. UKK Alergi & Imunologi,
Gastroenterohepatologi, Gizi & Metabolik IDAI 2009.
3. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C, Hill D, Isolauri E, Koletzko S, et al
Guidelines for the diagnosis and management of cow’s milk protein allergy
in infants. Arch Dis Child. 2007;92;902-8.
4. Sampson HA. Food allergy. Part I: Immunopathogenesis and clinical
disorders. J.Allergy Clin Immunol 1999;103:717-28
5. Kemp AS, Hill DJ, Allen KJ, Anderson K, Davidson GJ, Day AS, et al.
Guidelines for the use of infant formulas to treat cow’s milk protein allergy:
an Australian consensus panel opinion. MJA. 2008; 188: 109–12.
6. Alergi susu sapi di unduh dari :http://eprints.ums.ac.id/26239/2/BAB_I.pdf.
pada tanaggal 27 mei 2015.

26

Anda mungkin juga menyukai