Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN KASUS

DENGUE HEMORRHAGIC FEVER PADA ANAK

DISUSUN OLEH:

Alisha Nurdya Irzanti (1102015018)

Veranisa Sucia (1102015

PEMBIMBING :

dr. Dani Kurnia, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD ARJAWINANGUN – KAB. CIREBON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 2 SEPTEMBER – 9 NOVEMBER 2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pneumonia adalah radang akut yang menyerang jaringan paru dan
sekitarnya. Pneumonia adalah manifestasi infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
yang paling berat karena dapat menyebabkan kematian.1 Kantung-kantung udara
dalam paru yang disebut alveoli dipenuhi nanah dan cairan sehingga kemampuan
menyerap oksigen menjadi berkurang. Kekurangan oksigen membuat sel-sel
tubuh tidak bisa bekerja. Karena inilah, selain penyebaran infeksi ke seluruh
tubuh, penderita pneumonia bisa meninggal. Gejala penyakit ini berupa napas
cepat dan sesak napas, karena paru meradang secara mendadak.2
Bronkopneumonia adalah manifestasi klinis pneumonia yang paling umum
pada populasi anak. Ini adalah penyebab infektif utama kematian pada anak di
bawah usia 5 tahun. Pada 2013, bronkopneumonia menyebabkan kematian pada
935.000 anak di bawah 5 tahun.3 Agen penyebab etiologis bronkopneumonia
adalah bakteri, virus, parasit dan jamur. Bakteri penyebab pneumonia yang
tersering adalah penumokokus (Streptococcus pneumonia), HiB (Haemophilus
influenza type b), dan stafilokokus (Staphylococcus aureus). Virus penyebab
pneumonia sangat banyak, misalnya rhinovirus, respiratory syncytial virus (RSV)
atau virus influenza.1
Pada 2015, WHO melaporkan hampir 6 juta anak balita meninggal dunia,
16% dari jumlah tersebut disebabkan pneumonia. Berdasarkan data Badan PBB
untuk Anak – Anak (UNICEF), pada 2015 terdapat kurang lebih 14% dari
147.000 anak dibawah 5 tahun di Indonesia meninggal karena pneumonia. 1 Di
Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah
kardiovaskuler dan TBC. Kasus pneumonia ditemukan paling banyak meyerang
anak balita. Menurut laporan WHO, sekitar 800.000 hingga 1 juta anak meninggal
dunia tiap tahun akibat pneumonia. Bahkan UNICEF dan WHO menyebutkan
pneumonia sebagai kematian tertinggi anak balita, melebihi penyakit-penyakit
lain seperti campak, malaria serta AIDS.2

2
Karena populasi anak rentan dan spesifik, gambaran klinis seringkali tidak
spesifik dan dikondisikan oleh banyak faktor. Faktor-faktor ini termasuk
kelompok umur tertentu, adanya komorbiditas, paparan faktor risiko, imunisasi
yang dilakukan, dll. Cara yang paling dapat diandalkan untuk mendiagnosis
bronkopneumonia adalah melalui rontgen dada, tetapi itu tidak cukup untuk
menentukan etiologis, sehingga pengobatan bronkopneumonia lebih bersifat klinis
daripada etiologis dalam banyak kasus.3
Oleh karena itu, untuk menanggulangi pneumonia, ada tiga langkah utama
yang dicanangkan oleh WHO, yaitu proteksi balita, pencegahan pneumonia, dan
tata laksana penumonia yang tepat. Proteksi ditujukan untuk menyediakan
lingkungan hidup yang sehat bagi balita, yaitu nutrisi yang cukup, ASI eksklusif
sampai bayi usia 6 bulan, dan udara bebas dari polusi (asap rokok, asap
kendaraan, asap pabrik). Pemberian ASI eksklusif dapat menurunkan kejadian
pneumonia pada balita sebesar 20 persen.
Pencegahan bayi dari sakit karena pneumonia terutama dilakukan dengan
memberikan imunisasi lengkap. Ini mencakup beberapa jenis imunisasi yang
terkait pneumonia, dapat menurunkan kejadiannya sebesar 50 persen. Mengacu
laporan John Hopkins Bloomerg School of Public Health 2015: Pneumonia &
Diarrhea Progress Report 2015, Indonesia adalah salah satu dari negara dengan
kasus pneumonia tertinggi yang belum memasukan vaksin pneumokokus sebagai
vaksin program imunisasi rutin nasional. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
telah merekomendasikan pemberian imunisasi PCV untuk anak berumur 2 bulan
hingga 5 tahun.
Tata laksana yang tepat dimulai dari deteksi dini gejala pneumonia dan
dengan memberikan pengobatan yang cepat dan tepat pada balita yang mengalami
pneumonia. Akses terhadap layanan kesehatan dan ketersediaan obat serta oksigen
merupakan hal yang sangat penting. Ini merupakan sesuatu tantangan yang
memerlukan perhatian pihak pemerintah sebagai upaya menurunkan angka
kematian balita.1

1.2 Tujuan Penulisan

3
Penyajian laporan kasus ini bertujuan untuk menjelaskan kasus Dengue
Hemorrhagic Fever yang terjadi pada anak.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS
Nama : An. P
Umur : 3 bulan 14 hari
Tanggal lahir : 9 Januari 2019
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Desa Cengkuang, Kecamatan Palimanan
Tanggal masuk rumah sakit : 23 April 2019

4
2.2 ANAMNESIS
Anamnesis secara allo-anamnesis kepada ibu pasien pada tanggal 25 April
2019.
1. Keluhan Utama
An. P mengalami sesak napas selama 1 hari SMRS.
2. Keluhan Tambahan
Demam (+) 2 hari SMRS, syok selama 1 hari, mual (-), muntah (-), BAB cair (-),
batuk berdahak (+).
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien An. P laki-laki usia 3 bulan datang dengan ibunya dari rujukan RS
Khalisa ke IGD RSUD Arjawinangun pada tanggal 23 April 2019, kemudian
pasien dimasukkan ke ruang PICU. Ibu pasien mengatakan anaknya datang
dengan keluhan sesak selama 1 hari. Sebelumnya An. P mengalami sesak napas
selama 1 minggu SMRS kemudian dibawa oleh ibunya ke RS Khalisa, kemudian
sesak napas membaik. Namun, sesak napas kembali timbul 5 hari setelah pasien
pulang, sehingga di rujuk ke RSUD Arjawinangun. Keluhan disertai demam
sejak 2 hari sebelumnya, batuk berdahak, dan mengalami syok selama 1 hari.
Adanya BAB yang cair, mual dan muntah disangkal oleh ibunya. Ibu pasien
mengatakan bahwa di lingkungan rumahnya seringkali didapatkan tetangga di
sekitar rumah melakukan aktifitas membakar sampah.
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme
(virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dan
lain-lain). Pada pneumonia pertanyaan penting adalah apa penyebabnya, virus
atau bakteri. Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan
distribusi umur pasien. Secara umum bakteri yang paling berperan penting dalam
pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, Streptokokus grup B, serta kuman atipik Chlamydia dan
Mycoplasma. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi
atau aspirasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal,
mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5-2,0 m melalui
udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses
infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring)
kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

5
mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi
paru. Makrofag berfungsi untuk melindungi paru-paru dari patogen asing.
Namun, reaksi inflamasi yang dipicu oleh makrofag inilah yang bertanggung
jawab atas temuan histopatologis dan klinis yang terlihat pada pneumonia.
Makrofag menelan patogen ini dan memicu molekul sinyal atau sitokin seperti
TNF-a, IL-8, dan IL-1 yang merekrut sel-sel inflamasi seperti neutrofil ke lokasi
infeksi. Sitokin juga berfungsi untuk menyajikan antigen ini ke sel T yang
memicu mekanisme pertahanan seluler dan humoral, mengaktifkan komplemen
dan membentuk antibodi terhadap organisme ini. Hal ini, pada gilirannya,
menyebabkan peradangan parenkim paru-paru dan membuat lapisan kapiler
bocor, yang mengarah pada kongesti eksudatif dan menggaris bawahi patogenesis
pneumonia.
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, pericarditis
purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis
purulenta. Empyema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada
pneumonia bakteri. Namun pada pasien ini tidak ditemukan adanya komplikasi.
Pasien memiliki riwayat sesak napas, dan memiliki riwayat
bronkopneumonia saat usia 1 bulan berdasarkan hasil rontgen tanggal 7 Februari
2019 yang menunjukkan kesan bronkopneumonia duplex. Pasien juga memiliki
riwayat berat badan lahir rendah (BBLR), memiliki berat 1600 gram dengan usia
kehamilan 8 bulan (preterm) sehingga di rawat selama 15 hari di ruang
perinatologi. Hal ini merupakan faktor resiko untuk terjadinya bronkopneumonia.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat sesak napas, pasien memiliki riwayat bronkopneumonia
saat berumur 1 bulan.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang pernah mengalami sakit seperti ini.
6. Silsilah/Ikhtisar keturunan

6
Tn. A Ny. S

An. B

Gambar 1. Genogram Pasien

Keterangan:
: laki-laki
: perempuan
: pasien

7. Riwayat Pengobatan dan Masuk Rumah Sakit


Berdasarkan anamnesis terhadap ibu pasien, pasien mengonsumsi paracetamol
dan sirup antibiotik pada saat di RS Khalisa (ibu pasien tidak tahu nama obat
antibiotik yang diberikan). Pasien lahir di RSUD Arjawinangun, dengan usia
kehamilan preterm 8 bulan, dan memiliki berat 1600 gram sehingga di rawat
selama 15 hari di ruang perinatologi.
8. Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien tinggal di rumah bersama keluarga pasien. Pasien memiliki saudara
kandung perempuan berusia 8 tahun. Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta
dan ibu pasien sebagai ibu rumah tangga. Pasien menggunakan asuransi BPJS.
9. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
GPA : G2P2A 0
Masa kehamilan : Preterm (8 bulan)
Berat badan : 1600 gr
10. Riwayat Pemberian Makanan
Ibu pasien mengatakan sejak anaknya lahir ibu memberikan ASI dan susu
formula (SGM BBLR).
11. Imunisasi

7
Pasien belum melakukan imunisasi sejak lahir.
1. Perkembangan

Tabel 1. Perkembangan Pasien

Motorik
Usia Motorik Kasar Bahasa Sosial
Halus
0-3 bulan Menggerakkan Menahan Mengoceh Mengenal
kepala dari barang yang spontan atau ibunya
kiri/kanan ke dipegang bereaksi dengan
tengah dengan penglihatan
mengoceh
3-4 bulan Mengangkat Meraih benda Menoleh ke Tersenyum
kepala setinggi yang ada di arah suara spontan dan
90 derajat jangkauannya tertawa bila
diajak
bermain

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 25 April 2019.
a. Pemeriksaan Umum
1. Kesan Umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Composmentis
3. Tanda Vital :
HR : 112x/menit
RR : 46x/menit
Suhu : 36,5 0C
SpO2 : 100% (dengan oksigen)
4. Antropometris :
Berat Badan (BB) : 4 kg
Panjang Badan (PB) : 57 cm
Lingkar kepala : 33 cm
Lingkar lengan atas : 7,2 cm

8
b. Status Generalis
1. Kepala
a. Bentuk dan ukuran: normocephal
b. Rambut: hitam, tidak mudah rontok
c. Ubun-ubun: belum menutup, rata, dan tidak menonjol
d. Terdapat bintik-bintik dikepala
2. Mata: mata cekung, tidak terdapat nistagmus, tidak terdapat edema palpebra,
konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, pergerakan bola mata
ke segala arah dalam batas normal.
3. Telinga
a. Bentuk: normal simetris kanna dan kiri
b. Tidak terdapat massa pre-aurikular dan retro-aurikular,
c. Tidak terdapat nyeri tekan tragus
d. Tidak terdapat sekret
4. Hidung
a. Bentuk: normal, simetris
b. Tidak terdapat pernapasan cuping hidung
c. Tidak terdapat sekret
5. Mulut: bibir tidak sianosis, gusi dalam batas normal, lidah dalam batas normal,
mukosa dalam batas normal.
6. Leher: simetris, tidak terdapat deviasi trakhea, tidak teraba pembesaran kelenjar
getah bening.
7. Thorax
a. Inspeksi: bentuk simetris, pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri,
terdapat retraksi epigastrium, dan tidak ditemukannya sikatriks.
b. Palpasi: fremitus taktil simetris, tidak ditemukan adanya nyeri tekan.
c. Perkusi: sonor dikedua lapang paru.
d. Auskultasi: Rhonki +/+, Wheezing -/-

9
8. Jantung: pada auskultasi tidak ditemukan adanya murmur dan gallop.
9. Abdomen
a. Inspeksi: tidak terdapat massa, tidak terdapat distensi abdomen.
b. Auskultasi: bising usus normal
c. Perkusi: timpani
d. Palpasi: tidak terdapat organomegali
10. Ekstremitas: tidak terdapat edema dan tidak sianosis.

Status Gizi
4 kg
BB/U = x100% = 66% (Gizi Kurang)
6 kg
57 cm
TB/U = x 100% = 93% (Tinggi Baik)
61 cm
4 kg
BB/TB = x 100% = 80% (Gizi Kurang)
5 kg
7,2 cm
Lila/U = x 100% = 53% (Malnutrisi berat)
13,5 cm
Kesimpulan: Gizi Kurang

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan Darah Rutin (tanggal 23 April 2019 pukul 08.24 WIB)
Hemoglobin : 9.2 g/dl (L)
Leukosit : 11600/µL
Trombosit : 316000/µL
Hematokrit : 27.2% (L)
Eritrosit : 3.08 juta/µL (L)
MCV : 88.1 fL
MCH : 29.8 pg
MCHC : 33.8 g/dL
RDW : 13.3%
MPV :7.7 fL

10
Hitung Jenis
Segmen : 22% (L)
Limfosit : 63.1%
Monosit : 11.8% (H)
Eosinofil : 1.1%
Basophil : 1.9%
Luc : 0%

Pemeriksaan Darah Rutin (tanggal 29 April 2019 pukul 11.25 WIB)


Hemoglobin : 11.4 g/dl
Leukosit : 20800/µL (H)
Trombosit : 578000/µL (H)
Hematokrit : 32.3%
Eritrosit : 3.81 juta/µL
MCV : 84.8 fL
MCH : 30.1 pg
MCHC : 35.5 g/dL (H)
RDW : 14.6%
MPV :5.7 fL (L)
Hitung Jenis
Segmen : 15.8% (L)
Limfosit : 72.1% (H)
Monosit : 7.5%
Eosinofil : 1.5%
Basophil : 3.2%
Luc : 0%

B. Foto Rontgen Thorax (pemeriksaan tanggal 23 April 2019)

11
Gambar 2. Foto Rontgen Thorax
Foto thorax:
1. Corakan bronchovascular kasar, air bronchogram (+)
2. Pemadatan hilus bilateral
3. Sinus costophrenicus lancip. Diafragma licin
4. Cor. CTR <0.5
5. Sistema tulang intact
Kesan:
Bronchitis dengan lymfadenophaty hiler dextra ec specific proses suspected.
Besar cor normal.

2.5 RESUME
Pasien An. P laki-laki usia 3 bulan datang dengan ibunya dari rujukan RS Khalisa
ke IGD RSUD Arjawinangun pada tanggal 23 April 2019, kemudian dimasukkan ke
ruang PICU. Ibu pasien mengatakan anaknya datang dengan keluhan dispneu selama 1
hari. Sebelumnya An. P mengalami dispneu selama 1 minggu SMRS kemudian dibawa
oleh ibunya ke RS Khalisa, kemudian dispneu membaik. Namun, sesak napas kembali

12
timbul 5 hari setelah pasien pulang, sehingga di rujuk ke RSUD Arjawinangun. Keluhan
disertai febris sejak 2 hari sebelumnya, batuk berdahak, dan mengalami syok selama 1
hari. Adanya BAB yang cair, mual dan muntah disangkal oleh ibunya. Ibu pasien
mengatakan bahwa di lingkungan rumahnya seringkali didapatkan tetangga di sekitar
rumah melakukan aktifitas membakar sampah.
Pasien memiliki riwayat sesak napas, dan memiliki riwayat bronkopneumonia
saat usia 1 bulan berdasarkan hasil rontgen tanggal 7 Februari 2019 yang menunjukkan
kesan bronkopneumonia duplex. Pasien juga memiliki riwayat berat badan lahir rendah
(BBLR), memiliki berat 1600 gram dengan usia kehamilan 8 bulan (preterm) sehingga di
rawat selama 15 hari di ruang perinatologi.
Pada pemeriksaan antropometris, status gizi pasien adalah gizi kurang.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, status generalis dalam batas normal namun ditemukan
adanya retraksi epigatrium dan terdengar adanya rhonki di kedua lapang paru. Hasil
pemeriksaan darah pada tanggal 23 April 2019 menunjukkan nilai hemoglobin, eritrosit,
dan hematokrit rendah. Hitung jenis neutrofil segmen juga memiliki nilai yang rendah
dan terjadi peningkatan monosit. Hasil pemeriksaan darah pada tanggal 29 April 2019
menunjukkan nilai leukosit, dan trombosit mengalami peningkatan. Hitung jenis neutrofil
segmen memiliki nilai yang rendah dan terjadi peningkatan limfosit. Pemeriksaan foto
rontgen thorax yang dilakukan tanggal 23 April 2019 menunjukkan bronchitis dengan
lymfadenophaty hiler dextra ec specific proses suspected dan besar cor normal.

2.6 DIAGNOSIS KERJA


Bronkopneumonia berat

2.7 DIAGNOSIS BANDING


1. Bronkiolitis
2. Bronchitis
3. TB paru

2.8 PROGNOSIS
1. Ad vitam: dubia ad bonam
2. Ad functionam: dubia ad bonam
3. Ad sanationam: dubia ad bonam

13
2.9 CATATAN PERKEMBANGAN HARIAN
Tabel 2. Catatan Perkembangan Harian Pasien
TANGGAL CATATAN PERKEMBANGAN HARIAN PASIEN
Selasa, 23 April S/ Sesak 1 hari SMRS, demam 2 hari SMRS, riwayat
2019 MRS (+)
(Masuk PICU) O/ HR: 122x/menit
RR: 60x/menit
Suhu: 37,80C
SpO2: 100% (on single mask)
Rhonki+/+, Wheezing-/-
Terdapat retraksi intercostal dan epigastrium
A/ Bronkopneumonia berat
P/ Kaen 3B 4 tpm makro
Single mask 3-5 lpm (target SpO2 95%)
Puasa
Nebucombivent ½ ampul : NS 3cc per 8 jam
Injeksi ranitidine 2x4mg
Injeksi paracetamol 3x40 mg
Injeksi cefotaxime 3x200 mg
Injeksi kalmethasone 2x0,4 mg
Injeksi mikasin 2x30 mg
Rabu, 24 April S/ Sesak (+), demam (-), batuk (+)
2019 O/ HR: 138x/menit
RR: 32x/menit
Suhu: 370C
SpO2: 99%
Rhonki+/+, Wheezing-/-
Terdapat retraksi intercostal dan epigastrium
A/ Bronkopneumonia berat
P/ Kaen 3B 4 tpm makro

14
Single mask 3-5 lpm (target SpO2 95%)
Nebucombivent ½ ampul : NS 3cc per 8 jam
Injeksi ranitidine 2x4mg
Injeksi paracetamol 3x40 mg
Injeksi cefotaxime 3x200 mg
Injeksi kalmethasone 2x0,4 mg
Injeksi mikasin 2x30 mg
Kamis, 25 April S/ Sesak (+), batuk (+)
2019 O/ HR: 138x/menit
RR: 36x/menit
Suhu: 36,50C
SpO2: 99%
Rhonki+/+, Wheezing-/-
Terdapat retraksi epigastrium
A/ Bronkopneumonia berat
P/ Kaen 3B 4 tpm makro
Single mask 3-5 lpm (target SpO2 95%)
Nebucombivent ½ ampul : NS 3cc per 8 jam
OGT PASI 8x25 cc
Injeksi ranitidine 2x4mg
Injeksi paracetamol 3x40 mg
Injeksi cefotaxime 3x200 mg
Injeksi kalmethasone 2x0,4 mg
Injeksi mikasin 2x30 mg
Injeksi ceftazidin 3x200 mg
Senin, 29 April S/ Sesak berkurang
2019 O/ HR: 128x/menit
RR: 32x/menit
Suhu: 38,4 0C
SpO2: 99%
Rhonki -/-, Wheezing-/-

15
Retraksi epigastrium(-)
A/ Bronkopneumonia berat
P/ Kaen 3B 4 tpm makro
Single mask 3-5 lpm (target SpO2 95%)
Nebucombivent ½ ampul : NS 3cc per 8 jam
OGT PASI 8x25 cc
Injeksi ranitidine 2x4mg
Injeksi paracetamol 3x40 mg
Injeksi cefotaxime 3x200 mg
Injeksi kalmethasone 2x0,4 mg
Injeksi mikasin 2x30 mg
Injeksi ceftazidin 3x200 mg
Selasa, 30 April S/ Sesak (-)
2019 O/ HR: 122x/menit
RR: 32x/menit
Suhu: 36,90C
SpO2: 95%
Rhonki -/-, Wheezing-/-
Retraksi epigastrium(-)
A/ Bronkopneumonia berat
P/ Kaen 3B 4 tpm makro
Single mask 3-5 lpm (target SpO2 95%)
Nebucombivent ½ ampul : NS 3cc per 8 jam
OGT PASI 8x25 cc
Injeksi ranitidine 2x4mg
Injeksi paracetamol 3x40 mg
Injeksi cefotaxime 3x200 mg
Injeksi kalmethasone 2x0,4 mg
Injeksi mikasin 2x30 mg
Injeksi ceftazidin 3x200 mg
01 Mei 2019 (Masuk Ruang Ade Irma Suryani)

16
02 Mei 2019 (Pulang)

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)
yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus, jamur dan

17
bakteri. Gejala penyakit pneumonia yaitu menggigil, demam, sakit kepala, batuk,
mengeluarkan dahak, dan sesak napas.4 Infeksi Streptococcus pneumoniae
biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh
lapang paru (bronkopneumonia), dan pada anak besar atau remaja dapat berupa
konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). 5 Bronkopneumonia adalah
manifestasi klinis pneumonia yang paling umum pada populasi anak. Ini adalah
penyebab infektif utama kematian pada anak di bawah usia 5 tahun.3

3.2 Epidemiologi
Pneumonia merupakan penyebab utama kematian balita di dunia. Penyakit
ini menyumbang 16% dari seluruh kematian anak di bawah 5 tahun, yang
menyebabkan kematian pada 920.136 balita, atau lebih dari 2.500 per hari, atau di
perkirakan 2 anak balita meninggal setiap menit pada tahun 2015. Di Indonesia,
Data Riskesdas (2007) menyebutkan bahwa pneumonia menduduki peringkat
kedua sebagai penyebab kematian bayi (23,8%) dan balita (15,5%). Menurut data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 digambarkan bahwa period prevalens
dan prevalensi dari pneumonia tahun 2013 adalah 1,8% dan 4,5%. Berdasarkan
data Laporan Rutin Subdit ISPA Tahun 2017, didapatkan insiden (per 1000 balita)
di Indonesia sebesar 20,54%.4

Gambar 3. Cakupan Penemuan Pneumonia pada Balita di Indonesia


Tahun 2008-2017

Sampai dengan tahun 2014, angka cakupan penemuan pneumonia balita


tidak mengalami perkembangan berarti yaitu berkisar antara 20%-30%.

18
Peningkatan cakupan pada tahun 2015 – 2017 dikarenakan adanya perubahan
angka perkiraan kasus dari 10% menjadi 3,55%, selain itu ada peningkatan dalam
kelengkapan pelaporan dari 91,91% pada tahun 2015 menjadi 94,12% pada tahun
2016 dan 97,30% pada tahun 2017. Angka kematian akibat pneumonia pada balita
tahun 2016 sebesar 0,22% pada tahun 2017 menjadi 0,34%. Pada tahun 2017,
angka kematian akibat pneumonia pada kelompok bayi lebih tinggi yaitu sebesar
0,56% dibandingkan pada kelompok anak umur 1 – 4 tahun sebesar 0,23%.4

3.3 Etiologi
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme
(virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dan
lain-lain). Pada pneumonia pertanyaan penting adalah apa penyebabnya, virus
atau bakteri. Penyebab tersering adalah bakteri, namun seringkali diawali oleh
infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri. Pola kuman
penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien.
Secara umum bakteri yang paling berperan penting dalam pneumonia adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus,
Streptokokus grup B, serta kuman atipik Chlamydia dan Mycoplasma.5
Penyebab pneumonia pada pneumonia masyarakat (community-acquired
pneumonia):
a. Bakteri
Organisme khas yang umum termasuk Pneumococcus, Haemophilus
influenzae, Moraxella catarrhalis, Streptococcus Grup A, dan organisme gram
negatif aerob dan anaerob lainnya. Organisme atipikal antara lain Legionella,
Mycoplasma,dan Chlamydia
b. Virus
Beberapa virus yang paling sering terlibat dalam CAP (community-acquired
pneumonia) termasuk virus influenza diikuti oleh respiratory syncytial virus
(RSV), virus parainfluenza, dan adenovirus.
c. Jamur

19
Infeksi jamur biasanya berimplikasi pada pasien dengan keadaan
imunocompromised predisposisi tertentu seperti penerima transplantasi organ
dan HIV. Jamur yang paling umum penyebab pneumonia di Amerika Utara
termasuk Histoplasma, Blastomyces, dan Coccidioides.
Penyebab pneumonia pada pneumonia rumah sakit atau pneumonia
nosokomial (hospital-acquired pneumonia) dan ventilator-associated pneumonia:
a. Basil Gram-negatif seperti Escherichia coli, Pseudomonas
Aerugenosa, Acinetobacter, dan Enterobacter.
b. Kokus Gram-positif seperti Staphylococcus aureus
c. Virus dan jamur pada pasien immunocompromised dan sakit kronis.6

3.4 Faktor Resiko


Beberapa keadaan seperti gangguan nutrisi (malnutrisi), berat badan lahir
rendah (BBLR), kelengkapan imunisasi, kepadatan hunian, defisiensi vitamin A,
defisiensi Zinc (Zn), dan faktor lingkungan (polusi udara) merupakan faktor risiko
untuk IRBA (Infeksi Respiratorik Bawah Akut). Pada keadaan malnutrisi selain
terjadinya penurunan imunitas seluler, defisiensi Zn merupakan hal utama sebagai
faktor risiko pneumonia. Penelitian meta-analisis menunjukkan bahwa pemberian
vitamin A pada anak dapat menurunkan risiko kematian karena pneumonia.
Kejadian IRBA meningkat pada anak dengan riwayat merokok atau perokok
pasif.7

3.5 Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia/nosocomial
pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised
2. Berdasarkan penyebab:

20
a. Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa
bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya
Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphylococcus pada penderita pasca
infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderita immunocompromised.
3. Berdasarkan predileksi infeksi:
a. Pneumonia lobaris
Sering ditemukan pada pneumonia bakterial, jarang pada bayi dan orang
tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen, kemungkinan
sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya pada aspirasi benda
asing atau proses keganasan
b. Bronkopneumonia
Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapang paru. Dapat
disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering ditemukan pada bayi dan
orang tua.
c. Pneumonia interstisial8
Perubahan inflamasi yang merata, disebabkan oleh infeksi virus atau
mikoplasma, sebagian besar terbatas pada jaringan interstitial paru-paru
tanpa eksudat alveolar. Ditandai oleh edema septum alveolar dan
mononuclear menyusup. Umumnya Mycoplasma pneumoniae,
Respiratory Syncytial Virus, Virus Influenza, Adenovirus,
Cytomegaloviruses dan Chlamydia dan Coxiella yang menyebabkan
pneumonia interstitial.9

Dalam MTBS/IMCI, anak dengan batuk diklasifikasikan sebagai:


A. Pneumonia berat dan pasien harus dirawat-inap
Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal
berikut ini:

21
i. Kepala terangguk-angguk
ii. Pernapasan cuping hidung
iii. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
iv. Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas,
konsolidasi, dll)
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
1. Napas cepat:
a. Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit
b. Anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali/menit
c. Anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
d. Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali/menit
2. Suara merintih (grunting) pada bayi muda
3. Pada auskultasi terdengar:
a. Crackles (ronki)
b. Suara pernapasan menurun
c. Suara pernapasan bronkial
4. Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
a. Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya
b. Kejang, letargis atau tidak sadar
c. Sianosis
d. Distres pernapasan berat.
B. Pneumonia ringan yang berobat jalan, dan batuk
Di samping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat
saja. Napas cepat:
i. pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: ≥ 50 kali/menit
ii. pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
C. Bukan pneumonia yang cukup diberi nasihat untuk perawatan di
rumah. Bila tidak ada napas cepat dan sesak napas.10

22
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan
retraksi subkosta untuk mengklasifikasika pneumonia di negara berkembang.
Namun demikian, kriteria tersebut mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak
malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala malaria. Klasifikasi pneumonia
berdasarkan WHO:
1. Bayi kurang dari 2 bulan
a. Pneumonia berat: napas cepat atau retraksi yang berat.
b. Pneumonia sangat berat: tidak mau menetek/minum, kejang,
letargis, demam atau hipotermi, bradipneu, atau pernapasan
ireguler.
2. Anak umur 2 bulan-5 tahun
a. Pneumonia ringan: napas cepat.
b. Pneumonia berat: retraksi
c. Pneumonia sangat berat: tidak dapat minu/makan, kejang, letargis,
malnutrisi.11

3.6 Patofisiologi
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat
berkembangbiak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat
tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak
permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai
permukaan:
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah kolonisasi. Secara
inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau

23
jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5-2,0 m melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug
abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1 ml) dapat memberikan titer
inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia
mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya
mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran
napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis
mikroorganisme yang sama.8
Makrofag berfungsi untuk melindungi paru-paru dari patogen asing.
Namun, reaksi inflamasi yang dipicu oleh makrofag inilah yang bertanggung
jawab atas temuan histopatologis dan klinis yang terlihat pada pneumonia.
Makrofag menelan patogen ini dan memicu molekul sinyal atau sitokin seperti
TNF-a, IL-8, dan IL-1 yang merekrut sel-sel inflamasi seperti neutrofil ke lokasi
infeksi. Sitokin juga berfungsi untuk menyajikan antigen ini ke sel T yang
memicu mekanisme pertahanan seluler dan humoral, mengaktifkan komplemen
dan membentuk antibodi terhadap organisme ini. Hal ini, pada gilirannya,
menyebabkan peradangan parenkim paru-paru dan membuat lapisan kapiler
bocor, yang mengarah pada kongesti eksudatif dan menggaris bawahi patogenesis
pneumonia.6
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum
terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan

24
dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi
bakteri tersebut kemudian dimakan. Tahapan patofisiologi pada pneumonia:
a. Tahap kongesti: Tahap ini merupakan respons inflamasi akut. Lobus
yang terkena menjadi merah dan berat karena kongesti pembuluh
darah. Protein yang banyak cairan, neutrofil yang melimpah dan
banyak bakteri dapat dilihat di alveoli. Tahap ini berlangsung selama 1
hingga 2 hari.
b. Tahap hepatisasi merah. Lobus yang terkena menjadi merah, tegas dan
memperoleh konsistensi seperti hati. Cairan protein berubah menjadi
untaian fibrin dengan eksudat seluler yang ditandai dari neutrofil.
Ekstravasasi sel darah merah yang memberi warna merah pada
konsolidasi paru. Tahap ini berlangsung selama 2 hingga 4 hari.
c. Tahap hepatisasi kelabu. Lobus yang terkena menjadi kering, tegas dan
abu-abu karena sel darah merah yang lisis. Sel neutrofilik eksudat
berkurang karena kerusakan sel-sel inflamasi dan makrofag sekarang
terlihat. Mikroorganisme juga berkurang. Tahap ini berlangsung
selama 4 hingga 7 hari.
d. Tahap resolusi: Karena aksi enzimatik, materi fibrinous dicairkan dan
aerasi paru terbentuk kembali bertahap. Makrofag adalah sel utama di
alveoli. Terjadi pengurangan eksudat cairan dan seluler secara
progresif dari alveoli dengan cara ekspektorasi dan drainase limfatik
mengarah ke parenkim paru normal di lebih dari 3 minggu.9

3.7 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-
ringannya infeksi, tetapi secara umum sebagai berikut:
A. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah dan
diare; kadang-kadang ditemukan gejala ekstrapulmoner.
B. Gejala gangguan respiratorik yaitu batuk, sesak napas, retraksi
dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih sianosis.

25
Pada pemeriksan fisis ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara
napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan
tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat.5

3.8 Diagnosis dan Diagnosis Banding


A. Anamnesis
1. Batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif dengan dahak
purulen bahkan bisa berdarah.
2. Sesak napas
3. Demam
4. Kesulitan makan.minum
5. Tampak lemah
6. Serangan pertama atau berulang, untuk membedakan dengan kondisi
imunokompromais, kelainan antomi bronkus, asma.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Pada keadaan umum anak, frekuensi napas, dan nadi harus dilakukan pada
saat awal pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain yang dapat menyebabkan
anak gelisah atau rewel.
2. Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan kemampuan
makan/minum.
3. Gejala distress pernapasan seperti takipnea, retraksi subcostal, batuk,
krepitasi, dan penurunan suara paru.
4. Demam dan sianosis
5. Anak dibawah 5 tahun mungkin tidak menunjukkan gejala pneumonia
yang klasik. Pada anak yang demam dan sakit akut, terdapat gejala yang
nyeri yang diproyeksikan ke abdomen. Pada bayi muda, terdapat gejala
pernapsan tak teratur dan hipopnea.11

Gejala klinis sederhana meliputi napas cepat, sesak napas dan berbagai
tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke pelayanan kesehatan. Napas cepat
dinilai dengan menghitung frekuensi napas selama satu menit penuh ketika bayi

26
dalam keadaan tenang. Sesak napas dinilai dengan melihat adanya tarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam ketika menarik napas (retraksi epigastrium). Tanda
bahaya pada anak berusia 2 bulan-5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang,
kesadaran menurun, stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin.5

C. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Foto Rontgen Torak
Foto torak antero proterior (AP) dan lateral dibutuhkan untuk menentukan
lokasi anatomik dalam paru, luasnya kelainan, dan kemungkinan adanya
komplikasi seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, dan efusi pleura. Infiltrat
tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pembesaran kelenjar
hilus sering terjadi pada pneumonia karena H. influenzae dan S. aureus, tapi
jarang pada pneumonia S. pneumoniae. Adanya gambaran pneumatokel pada foto
toraks mengarahkan dugaan ke S. aureus. Kecurigaan ke arah infeksi S. aureus
apabila pada foto rontgen dijumpai adanya gambaran pneumatokel dan usia pasien
di bawah 1 tahun. Foto rontgen toraks umumnya akan normal kembali dalam 3-4
minggu. Pemeriksaan radiologis tidak perlu diulang secara rutin kecuali jika ada
pneumatokel, abses, efusi pleura, pneumotoraks atau komplikasi lain.
Sebagaimana manifestasi klinis, demikian pula pemeriksaan radiologis tidak
menunjukkan perbedaan nyata antara infeksi virus dengan bakteri. Apabila
dijumpai adanya gambaran butterfly di sekitar jantung /perikardial maka
kemungkinan infeksi oleh virus.7

27
Gambar 4. Gambaran Radiologi Pneumatokel
pada Infeksi S. aureus (sumber: Radiopaedia)

Gambar 5. Gambaran Radiologi Butterfly Appearance


pada Pneumonia Virus (sumber: Radiopaedia)

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:


a. Infiltrat interstitial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.

28
b. Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris,
atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumorparu, dikenal
sebagai round pneumonia.
c. Bronkopneumonia, ditandai dengan dengan gambaran difus merata pada
kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrate yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.5

Gambar 6. Gambaran Radiologi Bronkopneumonia


Posisi Anterior Posterior (sumber: Radiopaedia)

29
Gambar 7. Gambaran Radiologi Bronkopneumonia
Posisi Lateral (sumber: Radiopaedia)

2. Pemeriksaan Darah Lengkap


Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan ekstensif tidak perlu dilakukan,
tapi pemeriksaan laboratorium mungkin membantu dalam memperkirakan kuman
penyebab. Leukositosis hingga >15.000/ul seringkali dijumpai. Dominasi
neutrofil pada hitung jenis atau adanya pergeseran ke kiri menununjukkan bakteri
sebagai penyebab. Leukosit >30.000/ul dengan dominasi neutrofil mengarah ke
pneumonia streptokokus.7 Pada infeksi Chlamydia pneumonia kadang-kadang
ditemukan eosinophilia.5

3. Pemeriksaan CRP
C-reactive protein (CRP) indikator inflamasi yang tidak khas sehingga
hanya sedikit membantu. Adanya CRP yang positif dapat mengarah kepada
infeksi bakteri.7 Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi
bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang-kadang
digunakan untuk mengevaluasi respon terapi antibiotik.5

30
4. Pemeriksaan Serologis
Uji serologik untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
tipik mempunyai senstivitas dan spesifitas rendah. Akan tetapi, untuk deteksi
infeksi bakteri atipik seperti Mikoplasma, Klamidia, serta beberapa virus seperti
RSV, Sitomegalo, Campak, Parainfluenza 1,2,3, Influenza A dan B, dan
Adenovirus, peningkatan antibodi IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.5

5. Pemeriksaan mikrobiologik
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia dapat berasal dari
usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau
aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah,
cairan pleura, atau aspirasi paru.5 Biakan darah merupakan cara yang spesifik
untuk diagnosis namun hanya positif pada 10%-15% kasus terutama pada anak
kecil.7

Diagnosis Menurut Hospital Care For Children


A. Pneumonia berat dan pasien harus dirawat-inap
Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini:
i. Kepala terangguk-angguk
ii. Pernapasan cuping hidung
iii. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
iv. Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi,
dll)
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
i. Napas cepat:
a. Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit
b. Anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali/menit
c. Anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
d. Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali/menit
ii. Suara merintih (grunting) pada bayi muda
iii. Pada auskultasi terdengar:
a. Crackles (ronki)

31
b. Suara pernapasan menurun
c. Suara pernapasan bronkial
iv. Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
a. Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya
b. Kejang, letargis atau tidak sadar
c. Sianosis
d. Distres pernapasan berat.
B. Pneumonia ringan yang berobat jalan, dan batuk

Di samping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
Napas cepat:
i. pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: ≥ 50 kali/menit
ii. pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
C. Bukan pneumonia yang cukup diberi nasihat untuk perawatan di rumah. Bila
tidak ada napas cepat dan sesak napas.12,13

Diagnosis Banding
1. Tuberculosis Paru (TB), adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh M. tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M. tuberculosis
adalah saluran pernafasan. Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang
produktif (durasi lebih dari 3 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala
sistemik meliputi demam, menggigil, keringat malam, lemas, hilang nafsu
makan dan penurunan berat badan.
2. Atelektasis, adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak
sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang
terserang tidak mengandung udara dan kolaps.
3. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), adalah suatu penyumbatan
menetap pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema atau
bronkitis kronis. COPD lebih sering menyerang laki-laki dan sering berakibat
fatal. COPD juga lebih sering terjadi pada suatu keluarga, sehingga diduga ada
faktor yang dirurunkan.

32
4. Bronkhitis, adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paru-
paru). Penyakit bronchitis biasanya bersifat ringan dan pada akhirnya akan
sembuh sempurna. Tetapi pada penderita yang memiliki penyakit menahun
(misalnya penyakit jantung atau penyakit paru-paru) dan pada usia lanjut,
bronchitis bisa bersifat serius.
5. Asma bronkhiale, adalah penyakit yang ditandai dengan penyempitan saluran
pernapasan, sehingga pasien yang mengalami keluhan sesak napas/kesulitan
bernapas. Tingkat keparahan asma ditentukan dengan mengukur kemampuan
paru dalam menyimpan oksigen. Semakin sedikit oksigen yang tersimpan
berarti semakin buruk kondisi asma.14

3.9 Tatalaksana
Kriteria rawat inap:
Bayi:
a. Saturasi <92%, sianosis.
b. Frekuensi napas >60 x/menit
c. Distress pernapasan, apnea intermitten, atau grunting
d. Tidak mau minum/menetek
e. Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Anak:
a. Saturasi <92%, sianosis.
b. Frekuensi napas >50 x/menit
c. Distress pernapasan
d. Grunting
e. Terdapat tanda dehidrasi
f. Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen <92%, pada saat bernapas dengan udara kamar
harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk
mempertahankan saturasi oksigen>92%.

33
a. Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan
intravena dan dilakukan balans cairan
b. Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak
dengan pneumonia
c. Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan
paien dan mengontrol batuk
d. Nebulisasi dengan β2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucociliary clearance
e. Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya 4
jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi oksigen

Pemberian Antibiotik
a. Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada anak
<5 tahun karena efektif melawan sebagian besar patogen yang
menyebabkan pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik, dan murah.
Alternatifnya adalah co-amoxiclav, ceflacor, eritromisin, claritromisin, dan
azitromisin.
b. M. pneumonia lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka
antibiotik golongan makrolid diberikan sebagai pilhan pertama secara
empiris pada anak >5 tahun
c. Makrolid diberikan jika M. pneumoniae atau C. pneumoniae dicurigai
sebagai penyebab
d. Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S. pneumoniae sangat
mungkin sebagai penyebab
e. Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid atau
kombinasi flucoxacilin dengan amoksisislin
f. Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak
menerima obat per oral (missal kerana muntah) atau termasuk dalam
derajat pneumonia berat
g. Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah ampisilin dan kloramfenikol,
co-amoxiclav, ceftriaxone, cefuroxime, dan cefotaxime

34
h. Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan
setelah mendapat antibiotik intravena.

Rekomendasi UKK Respirologi


Antibiotik untuk community acquired pneumonia:
a. Neonatus-2 bulan: ampisilin+gentamisin
b. >2 bulan:
i. Lini pertama ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat
ditambahkan kloramfenikol
ii. Lini kedua seftriakson
Bila klinis perbaikan antibiotik intravena dapat diganti preparat oral dengan
antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya.

Tabel 3. Pilihan Antibiotik Intravena Untuk Pneumonia


Antibiotik Dosis Frekuensi Keterangan
Penisilin G 50.000 unit/kg/kali Tiap 4 jam S. pneumoniae
Dosis tunggal maks.
4.000.000 unit
Ampisilin 100 mg/kg/hari Tiap 6 jam
Kloramfenikol 100 mg/kg/hari Tiap 6 jam
Ceftriaxone 50 mg/kg/kali 1x / hari S. pneumoniae, H.
Dosis tunggal maks. Influenza
2 gram
Cefuroxime 50 mg/kg/kali Tiap 8 jam S. pneumoniae, H.
Dosis tunggal maks. Influenza
2 gram
Clindamycin 10 mg/kg/kali Tiap 6 jam Group A Streptococcus,
Dosis tunggal maks. S. aureus, S.
1,2 gram pneumoniae (alternatif
untuk alergi beta
lactam, lebih jarang
menimbulkan flebitis
pada pemberian IV

35
daripada eritromisin)
Eritromisin 10 mg/kg/kali Tiap 6 jam S. pneumoniae,
Dosis tunggal maks. Chlamydia pneumonia,
1 gram Mycoplasma pneumonia
Sumber: Pudjiadi AH., et al. 2009

Nutrisi
a. Pada anak dengan distress pernapasan berat, pemberian makanan oral
harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastic tube (NGT)
atau intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT dapat
menekan pernapasan, khususnya pada bayi/anak dengan ukuran lubang
hidung kecil. Jika memang dibutuhkan, sebaiknya menggunakan ukuran
terkecil.
b. Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak
mengalami overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan
sekresi hormon antidiuretik.

Kriteria pulang:
a. Gejala dan tanda pneumonia hilang
b. Asupan per oral adekuat
c. Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral)
d. Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana control.
e. Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjut di rumah.10

Tatalaksana Berdasarkan Derajat Pnemonia


A. Pneumonia ringan
1. Anak di rawat jalan
2. Beri antibiotik: Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari
selama 3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3
hari. Untuk pasien HIV diberikan selama 5 hari.

Tindak lanjut

36
Anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk membawa kembali
anaknya setelah 2 hari, atau lebih cepat kalau keadaan anak memburuk atau tidak
bisa minum atau menyusu. Ketika anak kembali:
1. Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan
membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari.
2. Jika frekuensi pernapasan, demam dan nafsu makan tidak ada perubahan,
ganti ke antibiotik lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali 2 hari lagi.
3. Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani
sesuai pedoman di bawah ini.

B. Pneumonia Berat
Anak dirawat di rumah sakit
Terapi Antibiotik
1. Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam),
yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak
memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya
terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral
(15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.
2. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan
yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan
berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV
setiap 8 jam).
3. Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan
pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
4. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali
sehari).
5. Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan buat
foto dada.
6. Apabila diduga pneumonia stafilokokal (dijelaskan di bawah untuk
pneumonia stafilokokal), ganti antibiotik dengan gentamisin (7.5

37
mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV
setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari –3 kali pemberian). Bila
keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara
oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau
klindamisin secara oral selama 2 minggu.

Terapi Oksigen
1. Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat
2. Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi
oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila tersedia
oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap
harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi
tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna
3. Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.
Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan
oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau masker kepala tidak
direkomendasikan. Oksigen harus tersedia secara terus-menerus setiap
waktu. Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau napas >
70/menit) tidak ditemukan lagi.
Perawat sebaiknya memeriksa sedikitnya setiap 3 jam bahwa kateter atau prong
tidak tersumbat oleh mukus dan berada di tempat yang benar serta memastikan
semua sambungan baik.12

Tabel 4. Etiologi dan Terapi Antimikroba Empiris untuk Pneumonia pada Pasien
Tanpa Riwayat Terapi Antibiotik
Pasien yang
Patogen yang Pasien yang
Kategori Pasien Membutuhka
Umum Membutuhka
Usia Rawat Jalan n Perawatan
Terjadi n Rawat Inap
Intensif
Neonatus Streptokokus Sebaiknya Ampisilin + Ampsilin +

38
(<1 bulan) Grup B, tidak sefotaksim sefotaksim
Eschericia dilakukan atau atau
coli, bakteri perawatan aminoglikosid aminoglikosid
gram negatif sebagai ditambah ditambah
lainnya, pasien rawat preparat preparat anti-
Streptococus jalan antistafilokoku stafilokus
pneumonia, s apabila apabila
Haemophilus dicurigai dicurigai
influenza (tipe adanya infeksi adanya infeksi
b, nontypable) Staphylococcu S. Aureus
s aureus
1-3 bulan
Pneumoni Respiratory Tidak Sefuroksim Sefotaksim
a dengan syncytial virus, disarankan atau atau
demam virus untuk sefotaksim seftriakson
respiratorik melakukan atau ditambah
lainnya rawat jalan seftriakson dengan
(parainfluenza pada ditambah preparat
virus, perawatan dengan nafsilin nafsilin atau
influenza awal atau oksasilin oksasilin
virus,
adenovirus), S.
pneumoniae,
H. influenza
(tipe b,
nontypable)
Pneumoni Chlamydia Eritromisin, Eritromisin, Eritromisin,
a afebril trachomatis, azitromisin, azitromisin, azitromisin,
Mycoplasma atau atau atau
hominis, klaritromisin, klaritromisin klaritromisin
Ureaplasma dengan plus
urealyticum, pemantauan sefotaksim

39
sitomegaloviru ketat atau
s seftriakson
plus nafcilin
atau oksasilin
3-12 bulan Respiratory Amoksisilin, Ampisilin atau Sefuroksim
syncytial virus, eritromisin, sefuroksim atau
virus azitromisin, seftriakson
respiratorik atau ditambah
lainnya (virus klaritromisin eritromisin
parainfluenza, atau
influenza klaritromisin
virus,
adenovirus, S.
pneumoniae,
H. influenza
(tipe b,
nontypable),
C.
trachomatis,
Mycoplasma
pneumoniaa,
Streptokokus
grup A)
12-60 Virus saluran Amoksisilin, Ampisilin atau Sefuroksim
bulan respiratori aritromisin, sefuroksim atau
(virus azitromisin, seftriakson
parainfluenza, atau ditambah
influenza klaritromisin eritromisin,
virus, azitromisin,
adenovirus), S. atau
pneumoniae, klaritromisin
H. influenzae

40
(tipe b,
nontypable),
M. pneumonia,
Chlamydophil
a pneumoniae,
S. aureus,
Streptococci
group A
5-18 tahun M. pneumonia, Eritromisin, Eritromisin, Sefuroksim
S. azitromisin, azitromisin, atau
pneumoniae, atau atau seftriakson
C. klaritromisin klaritromisin, ditambah
pneumoniae, dengan atupun eritromisin
H. influenza, tanpa atau
(tipe b, ditambahkan klaritromisin
nontypable), preparat
influenzavirus, sefuroksim
virus saluran atau ampisilin
respiratory
lainnya
≥18 tahun M. pneumonia, Eritromisin, Moxifloxacin, Sefotaksim,
S. pneumonia, azitromisin, gatifloxacin, seftriakson,
C. klaritromisin, levofloxacin, ampisilin-
pneumoniae, doksisiklin, atau sulbaktam,
H. influenzae, moxifloxacin gemifloxacin, ditambah
(tipe b, , atau azitromisin,
nontypable, gatifloxacin, azitromisin atau
influenza levofloxacin, atau klaritromisin,
virus, atau klaritromisin atau
adenovirus, gemifloxacin ditambah moxifloxacin,
Legionella sefotaksim, gatifloxacin,
pneumophila seftraikson, levofloxacin,

41
atau ampisilin- atau
sulbaktam gemifloxacin
Sumber: Marcdante, KJ., et al. 2010

3.10 Pencegahan
Pencegahan penyakit IPD (Invasive Pneumococcal Disease), termasuk
pneumonia, dapat dilakukan dengan cara vaksinasi pneumokokus atau sering juga
disebut sebagai vaksin IPD. Peluang mencegah Pneumonia dengan vaksin IPD
adalah sekitar 80-90%.
Adapun mengenai waktu ideal pemberian vaksin IPD, adalah sebanyak 4
kali, yakni pada saat bayi berusia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan dan diulang lagi pada
usai 12 bulan. Vaksin itu aman dan dapat diberikan bersamaan dengan vaksin lain
seperti Hib, MMR maupun Hepatitis B.2
Selain imunisasi, pencegahan pneumonia dengan menjaga keseimbangan
nutrisi anak dan mengupayakan agar anak memiliki daya tahan tubuh yang baik,
antara lain dengan cara istirahat yang cukup juga olahraga.
Nutrisi yang adekuat adalah kunci untuk meningkatkan pertahanan alami
anak-anak, dimulai dengan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama
kehidupan. Selain efektif mencegah pneumonia, juga membantu mengurangi lama
penyakit jika seorang anak jatuh sakit.
Mengatasi faktor-faktor lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan
dan mendorong kebersihan yang baik di rumah-rumah yang padat penghuni juga
mengurangi jumlah anak yang terserang pneumonia.
Pada anak yang terinfeksi HIV, antibiotik kotrimoksazol diberikan setiap
hari untuk mengurangi risiko tertular pneumonia.15

3.11 Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, pericarditis
purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis

42
purulenta. Empyema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada
pneumonia bakteri.
Ilten F dkk, melaporkan komplikasi miokarditis (tekanan sistolik ventrikel
kanan meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup
tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis
merupakan keadaan yang fatal, maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan
teknik non invasif seperti EKG, elektrokardiografi, dan pemeriksaan enzim.5
Jika anak tidak mengalami perbaikan setelah dua hari, atau kondisi anak
semakin memburuk, lihat adanya komplikasi atau adanya diagnosis lain. Jika
mungkin, lakukan foto dada ulang untuk mencari komplikasi. Beberapa
komplikasi yang sering terjadi adalah sebagai berikut:
a. Pneumonia Stafilokokus. Curiga ke arah ini jika terdapat perburukan klinis
secara cepat walaupun sudah diterapi, yang ditandai dengan adanya
pneumatokel atau pneumotoraks dengan efusi pleura pada foto dada,
ditemukannya kokus Gram positif yang banyak pada sediaan apusan sputum.
Adanya infeksi kulit yang disertai pus/pustula mendukung diagnosis. Terapi
dengan kloksasilin (50 mg/kg/BB IM atau IV setiap 6 jam) dan gentamisin
(7.5 mg/kgBB IM atau IV 1x sehari). Bila keadaan anak mengalami
perbaikan, lanjutkan kloksasilin oral 50mg/kgBB/hari 4 kali sehari selama 3
minggu. Catatan: Kloksasilin dapat diganti dengan antibiotik anti-stafilokokal
lain seperti oksasilin, flukloksasilin, atau dikloksasilin.
b. Empiema. Curiga ke arah ini apabila terdapat demam persisten, ditemukan
tanda klinis dan gambaran foto dada yang mendukung. Bila masif terdapat
tanda pendorongan organ intratorakal. Pekak pada perkusi. Gambaran foto
dada menunjukkan adanya cairan pada satu atau kedua sisi dada. Jika terdapat
empiema, demam menetap meskipun sedang diberi antibiotic dan cairan
pleura menjadi keruh atau purulen. Empiema harus didrainase. Mungkin
diperlukan drainase ulangan sebanyak 2-3 kali jika terdapat cairan lagi.
Penatalaksanaan selanjutnya bergantung pada karakteristik cairan. Jika
memungkinkan, cairan pleura harus dianalisis terutama protein dan glukosa,

43
jumlah sel, jenis sel, pemeriksaan bakteri dengan pewarnaan Gram dan Ziehl-
Nielsen.10

3.12 Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita,
bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan
yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita
yang dirawat. Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5%
pada penderita rawat jalan, sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit
menjadi 20%.8
Pada umumnya anak akan sembuh dari pneumonia dengan cepat dan
sembuh sempurna, walaupun kelainan radiologi dapat bertahan selama 6-8
minggu sebelum kembali ke kondisi normal. Pada beberapa anak, pneumonia
dapat berlangsung lebih dari 1 bulan atau dapat berulang. Pada kasus seperti ini,
kemungkinan adanya penyakit lain yang mendasari harus diinvestigasi lebih
lanjut, seperti dengan uji tuberculin, pemeriksaan hidroklorida keringat untuk
penyakit kistik fibrosis, pemeriksaan immunoglobulin serum dan determinasi sub
kelas IgG, bronkoskopi untuk identifikasi kelainan anatomis atau mencari benda
asing, dan pemeriksaan barium meal untuk refluks gastroesofageal.17

BAB IV

44
PEMBAHASAN

Pasien berusia 3 bulan datang dengan ibunya dari rujukan RS Khalisa ke


IGD RSUD Arjawinangun. Ibu pasien mengatakan anaknya datang dengan
keluhan sesak selama 1 hari. Keluhan disertai demam sejak 2 hari sebelumnya,
batuk berdahak, dan mengalami syok selama 1 hari. Adanya BAB yang cair, mual
dan muntah disangkal oleh ibunya. Keadaan umum pasien tampak sakit berat
dengan sesak napas, retraksi epigastrium dan intercostal, serta terdapat adanya
rhonki pada kedua lapang paru. Laju pernapasan 60x/menit sedangkan nadi
132x/menit., serta saturasi oksigen 100% setelah diberi oksigen (on single mask).
Pada pemeriksaan fisik pada tanggal 25 April 2019 didapatkan tanda-tanda
vital dalam batas normal, status generalis dalam batas normal, namun masih
tampak adanya retraksi epigastrium. Pada auskultasi didapatkan adanya ronkhi
pada kedua lapang paru. Tidak terdapat suara wheezing pada kedua lapang paru.
Berdasarkan pemeriksaan diatas diagnosa awal yang dapat ditegakkan adalah
bronkopneumonia berat.
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)
yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus, jamur dan
bakteri. Gejala penyakit pneumonia yaitu menggigil, demam, sakit kepala, batuk,
mengeluarkan dahak, dan sesak napas.4 Bronkopneumonia adalah manifestasi
klinis pneumonia yang paling umum pada populasi anak. Ini adalah penyebab
infektif utama kematian pada anak di bawah usia 5 tahun. 3 WHO
merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan retraksi
subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di negara berkembang. Pada
klasifikasi WHO, pneumonia berat pada anak berusia 2 bulan-5 tahun berupa
sesak napas disertai dengan retraksi dinding dada,11 sehingga pada pasien ini dapat
didiagnosis bronkopneumonia berat.
Hasil pemeriksaan darah pada tanggal 23 April 2019 menunjukkan nilai
hemoglobin, eritrosit, dan hematokrit rendah. Hitung jenis neutrofil segmen juga
memiliki nilai yang rendah dan terjadi peningkatan monosit. Hasil pemeriksaan darah
pada tanggal 29 April 2019 menunjukkan nilai leukosit, dan trombosit mengalami

45
peningkatan. Hitung jenis neutrofil segmen memiliki nilai yang rendah dan terjadi
peningkatan limfosit. Pada pasien bronkopneumonia leukositosis sering dijumpai. Pada
pneumonia bakteri didapatkan leukositosis berkisar antara 15.000-40.000/mm 3.5 Jika
dilihat pada pasien ini, hasil pemeriksaan darah lengkap perifer tanggal 29 April 2019
menunjukkan leukositosis yaitu 20800/µl. Selain pemeriksaan darah lengkap perifer,
dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya yaitu pemeriksaan foto rontgen thorax.
Pemeriksaan foto rontgen thorax yang dilakukan tanggal 23 April 2019 menunjukkan
bronchitis dengan lymfadenophaty hiler dextra ec specific proses suspected dan besar cor
normal.
Diagnosis etiologik pneumonia didasarkan pada pemeriksaan mikrobiologis
dan/atau serologis merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri
penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorium yang memadai. Oleh
karena itu, pneumonia pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis
yang menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor
paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala
respiratori sebagai berikut: takipnea, batuk, sesak, napas cuping hidung, retraksi, ronki,
dan suara napas melemah.5
Pada kasus bronkopneumonia, beberapa keadaan seperti gangguan nutrisi
(malnutrisi), berat badan lahir rendah (BBLR), kelengkapan imunisasi, kepadatan hunian,
defisiensi vitamin A, defisiensi Zinc (Zn), dan faktor lingkungan (polusi udara)
merupakan faktor risiko. Pada kasus ini, pasien memiliki faktor resiko berupa berat badan
lahir (BBLR), status gizi kurang, dan tidak lengkapnya imunisasi. 7 Penelitian Stewart
Jackson, et al (2013) menunjukkan bahwa berat lahir rendah terkait dan juga
meningkatkan risiko pneumonia. Penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan
antara berat badan lahir rendah dengan pneumonia, dimana nilai p<0.005. Faktor nutrisi
juga memainkan peran penting namun secara tidak langsung, tetapi dampaknya dalam
jangka panjang. Penelitian yang dilakukan Wiharjo Hadisuwarno et al (2015)
menunjukkan bahwa malnutrisi/gizi kurang dan kelengkapan imunisasi berhubungan dan
dapat meningkatkan faktor resiko pneumonia. Hal ini dapat dilihat dengan nilai p<0.001
yang berarti terdapat hubungan yang signifikan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013
menunjukkan prevalensi malnutrisi/gizi kurang hingga 5,7% . Malnutrisi adalah hasil dari
suatu keadaan kekurangan gizi yang pada gilirannya akan menurunkan kemampuan tubuh
untuk melawan berbagai penyakit, salah satunya adalah pneumonia. 16

46
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini adalah kaen 3B 4 tpm makro, oksigen
single mask 3-5 lpm, nebucombivent ½ ampul : NS 3cc per 8 jam, injeksi ranitidine
2x4mg, injeksi paracetamol 3x40 mg, injeksi cefotaxime 3x200 mg, injeksi kalmethasone
2x0,4 mg, injeksi mikasin 2x30 mg, injeksi ceftazidin 3x200 mg. Tatalaksana umum pada
pada pneumonia berat diberikan cairan intravena dan dilakukan balans cairan, antipiretik
dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan paien dan mengontrol batuk,
nebulisasi dengan β2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki
mucociliary clearance, serta antiinflamasi kortikosteroid dapat diberikan pada pasien
pneumonia berat.11 Antibiotik yang diberikan pada pasien ini adalah golongan
amionglikosida dan sefalosporin yang merupakan lini kedua pemberian antibiotik pada
pneumonia. Hal ini dikarenakan pasien memiliki riwayat bronkopneumonia dan masuk
rumah sakit sehingga diberikan lini kedua.
Pencegahan penyakit pneumonia, dapat dilakukan dengan cara vaksinasi
pneumokokus atau sering juga disebut sebagai vaksin IPD. Peluang mencegah
Pneumonia dengan vaksin IPD adalah sekitar 80-90%. Selain imunisasi,
pencegahan pneumonia dengan menjaga keseimbangan nutrisi anak dan
mengupayakan agar anak memiliki daya tahan tubuh yang baik, antara lain
dengan cara istirahat yang cukup juga olahraga. Mengatasi faktor-faktor
lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan mendorong kebersihan yang
baik di rumah-rumah yang padat penghuni juga mengurangi jumlah anak yang
terserang pneumonia.5

BAB V
KESIMPULAN

Pneumonia adalah radang akut yang menyerang jaringan


paru dan sekitarnya. Pneumonia adalah manifestasi infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA) yang paling berat karena dapat

47
menyebabkan kematian. Penyebab pneumonia adalah berbagai
macam virus, bakteri atau jamur. Gejala klinis sederhana
meliputi napas cepat, sesak napas dan berbagai tanda bahaya
agar anak segera dirujuk ke pelayanan kesehatan.
Bronkopneumonia adalah manifestasi klinis pneumonia yang
paling umum pada populasi anak. Ini adalah penyebab infektif
utama kematian pada anak di bawah usia 5 tahun. WHO
merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas
dan retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan pneumonia di
negara berkembang. Pada klasifikasi WHO, pneumonia berat
pada anak berusia 2 bulan-5 tahun berupa sesak napas disertai
dengan retraksi dinding dada.
Pada pemeriksaan fisik pada tanggal 25 April 2019 didapatkan tanda-tanda vital
dalam batas normal, status generalis dalam batas normal, namun masih tampak adanya
retraksi epigastrium. Pada auskultasi didapatkan adanya ronkhi pada kedua lapang paru.
Tidak terdapat suara wheezing pada kedua lapang paru. Hasil pemeriksaan darah lengkap
perifer tanggal 29 April 2019 menunjukkan leukositosis yaitu 20800/µl. Selain
pemeriksaan darah lengkap perifer, dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya yaitu
pemeriksaan foto rontgen thorax. Pemeriksaan foto rontgen thorax yang dilakukan
tanggal 23 April 2019 menunjukkan bronchitis dengan lymfadenophaty hiler dextra ec
specific proses suspected dan besar cor normal.
Pneumonia pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang
menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling
kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori
sebagai berikut: takipnea, batuk, sesak, napas cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara
napas melemah. Oleh karena itu, pasien ini dapat didiagnosis bronkopneumonia berat
berdasarkan gejala klinis yang ditambah dengan hasil pemeriksaan penunjang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2017. Menekan Pneumonia.


http://www.idai.or.id/artikel/klinik/pengasuhan-anak/menekan-
pneumonia. [diakses tanggal 7 Mei 2019]

48
2. Pusat Data dan Informasi Persi. 2012. Pneumonia Pada Anak :
UNICEF dan WHO Menyebutkan Pneumonia Sebagai Penyebab
Kematian Tertinggi Anak Balita.
http://www.pdpersi.co.id/content/news.php?
mid=5&nid=866&catid=9. [diakses tanggal 7 Mei 2019]
3. Zec, SL., et al. 2016. Evaluation of Drug Treatment of Bronchopneumonia at
the Pediatric Clinic in Sarajevo. Med Arch. University of Sarajevo
4. Kementerian Kesehatan RI. 2017. Pusat Data dan Informasi
Profil Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta
5. Rahajoe, N., dkk. 2018. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi
Pertama. Jakarta. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
6. Jain, Vardhmaan., Bhardwaj, Abhishek. 2019. Pneumonia
Pathology. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526116/.
[diakses tanggal 7 Mei 2019]
7. Supriyatno, Bambang. 2006. Infeksi Respiratorik Bawah Akut
pada Anak. Sari Pediatri. Vol. 8, No. 2: 100 – 106.
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia
Komuniti Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia.
Jakarta.
9. Singh, Yudh Dev. 2012. Pathophysiology of Community
Acquired Pneumonia. Association Psychian of India. Vol.60
10. World Health Organization. 2009. Pelayaan Kesehatan Anak Di
Rumah Sakit. Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat
Pertama Di Kabupaten/Kota. Jakarta. WHO Indonesia.
11. Pudjiadi AH., et al. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
12. Hospital Care for Children. 2016. Pneumonia Ringan..
http://www.ichrc.org/421-pneumonia-ringan. [diakses tanggal
7 Mei 2019].

49
13. Hospital Care for Children. 2016. Pneumonia Berat.
http://www.ichrc.org/422-pneumonia-berat-diagnosis-dan-
tatalaksana [diakses tanggal 7 Mei 2019].
14. Damayanti, AK., Ryusuke O. 2017. Pneumonia. Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar.
15. World Health Organization. 2016. Pneumonia.
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/pneumonia.
[diakses tanggal 7 Mei 2019]
16. Jackson, S., et al. 2013. Risk factors for severe acute lower respiratory
infections in children-a systematic review and meta-analysis. Croat Med J.
17. Bell DJ., Gailard, Frank., et al. Pneumatocele.
https://radiopaedia.org/articles/pneumatocele-1?lang=us [diakses tanggal 7
Mei 2019]
18. Hacking, Craig., Amini, Behrang., et al. Bat Wing Opacities (Lung).
https://radiopaedia.org/articles/bat-wing-opacities-lungs [diakses tanggal 7
Mei 2019]
19. Hacking, Craig., Packs, Michael., et al., Lobar Pneumonia.
https://radiopaedia.org/articles/lobar-pneumonia. [diakses tanggal 7 Mei 2019]
20. Lukies, Matthew., Packs, Michael., et al. Bronchopneumonia.
https://radiopaedia.org/articles/bronchopneumonia. [diakses tanggal 7 Mei
2019]
21. Marcdante, KJ., et al. 2010. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi
Keenam. Saunders Elsevier. Jakarta

50

Anda mungkin juga menyukai