Anda di halaman 1dari 35

REFRAT

Acute Coronary Syndrome

Disusun Oleh:
Anissa Kusuma Dewi (1813020027)
Bagus Susetio W. (1813020031)
R. Maghfira Kurnia Kusuma (1813020039)

Pembimbing:
dr. Eva Delsi, Sp. EM.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEGAWATDARURATAN


RS. PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG
PROGRAM PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan refrat dengan judul
Acute Coronary Syndrome

Disusun Oleh:
Anissa Kusuma Dewi (1813020027)
Bagus Susetio W. (1813020031)
R. Maghfira Kurnia Kusuma (1813020039)

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Eva Delsi, Sp. EM.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iv
DAFTAR TABEL....................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Definisi..........................................................................................................1
B. Epidemiologi.................................................................................................1
C. Faktor Risiko.................................................................................................2
D. Patogenesis....................................................................................................4
E. Patofisiologi..................................................................................................6
F. Klasifikasi...................................................................................................14
G. Penegakan Diagnosis..................................................................................15
BAB II TATALAKSANA.....................................................................................22
BAB III DIAGNOSIS BANDING, KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS.............24
A. Diagnosis Banding......................................................................................24
B. Komplikasi..................................................................................................25
C. Prognosis.....................................................................................................26
BAB IV PENCEGAHAN......................................................................................27
BAB V PENUTUP.................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................30

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1. Pathogenesis unstable plaque dan pembentukan thrombus 6Gambar 1. 2.


Patofisiologi Sindrom Koroner Akut.......................................................................7

Gambar 2. 1. Algoritma evaluasi SKA..................................................................23

Gambar 3. 1. Prognosis ACS.................................................................................26

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1. Perubahan fungsionaldan struktural MI...............................................12

Tabel 1. 2. Klasifikasi rekomendasi tatalaksana sindrom koroner akut.................15

Tabel 1. 3. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG.............................................19

Tabel 3. 1. Diagnosis banding nyeri dada..............................................................24

Tabel 3. 2. Diagnosis nyeri dada dengan kegawatan.............................................25

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi
Sindrom koroner akut adalah gabungan gejala klinik yang menandakan
iskemia miokard akut, yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi
segmen ST (ST segment elevation myocardial infarction = STEMI), infark
miokard akut tanpa elevasi segmen ST (non ST segment elevation myocardial
infarction = NSTEMI), dan angina pectoris tidak stabil (unstable angina
pectoris = UAP). Ketiga kondisi tersebut berkaitan erat, hanya berbeda dalam
derajat beratnya iskemia dan luasnya jaringan miokardiaum yang mengalami
nekrosis.
UAP dan NSTEMI merupakan suatu kesinambungan dengan
kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis. Perbedaan antara angina pectoris
tidak stabil (UAP) dengan infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST
(NSTEMI) adalah apakah iskemi yang ditimbulkan cukup berat sehingga
dapat menimbulkan kerusakan miokardium, sehingga adanya marker
kerusakan miokardium dapat diperiksa (Sudoyo, 2009).

B. Epidemiologi
Penelitian menunjukkan bahwa penderita yang simtomatis
prognosisnya lebih baik daripada yang penderita yang asimtomatis. Data saat
ini menunjukkan bahwa bila penderita asimtomatis atau dengan simtom
ringan, kematian tahunan pada penderita dengan pada satu dan dua pembuluh
darah koroner adalah 1,5 % dan kira-kira 6 % untuk lesi pada tiga pembuluh
darah koroner. Kalau pada golongan terakhir ini kemampuan latihan (exercise
capacity) penderita baik, kematian tahunan adalah 4 % dan bila ini tidak baik
kematian tahunannya kira-kira 9 %, karena itu penderita harus
dipertimbangkan untuk revaskularisasi.

1
C. Faktor Risiko
1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Usia
Kerentanan yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun.
Tetapi hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya
mencerminkan lama paparan yang lebih panjang terhadap faktor-
faktor aterogenik.
b. Jenis kelamin
Kejadian penyakit koroner relatif lebih rendah pada wanita
sampai menopause, setelah menopause kerentanannya menjadi sama
dengan pria. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan
adanya imunitas wanita sebelum menopause.

c. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner


Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung
koroner (yaitu saudara atau orang tua yang menderita penyakit ini
sebelum usia 50 tahun) meningkatkan kemungkinan timbulnya
aterosklerosis prematur. Komponen genetik dapat dikaitkan pada
beberapa bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat
perkembangannya, seperti pada gangguan lipid familial. Tetapi
riwayat keluarga dapat pula mencerminkan komponen lingkungan
yang kuat, seperti gaya hidup yang menimbulkan stres atau obesitas.

2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi


a. Merokok
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek
langsung terhadap dinding arteri. Karbon monoksida (CO) dapat
menyebabkan hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebabkan
mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan reaksi trombosit
dan menyebabkan kerusakan pada dinding arteri, sedangkan
glikoprotein tembakau dapat mengakibatkan reaksi hipersensitif
dinding arteri.
b. Hiperlipidemia

2
Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam
lemak bebas) berasal dari makanan (eksogen) dan sintesis lemak
endogen. Kolesterol dan trigliserida adalah dua jenis lipd yang relatif
mempunyai makna klinis yang penting sehubungan dengan
aterogenesis. Lipid terikat pada protein, karena lipid tidak larut dalam
plasma. Ikatan ini menghasilkan empat kelas utama lipoprotein, yaitu;
kilomikron, VLDL, LDL dan HDL. LDL paling tinggi kadar
kolesterolnya, sedangkan kilomikron dan VLDL kaya akan
trigliserida. Kadar protein tertinggi terdapat pada HDL.
Peningkatan kolesterol LDL dihubungkan dengan
meningkatnya resiko penyakit jantung koroner, sementara kadar HDL
yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung penyakit jantung
koroner, sebaliknya kadar HDL yang rendah ternyata bersifat
aterogenik.

c. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi
terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja
jantung bertambah. Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel
untuk menguatkan kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk
mempertahankan curah jantung dengan hipertropi kompensasi
akhirnya terlampaui , tejadi dilatasi dan payah jantung. Jantung jadi
semakin terancam dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan
oksigen miokardium meningkat sedangkan suplai oksigen tidak
mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung
lama bisa menjadi infark.
Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan
endotel pembuluh darah akibat tekanan tinggi yang lama (endothelial
injury).

c. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL
dari sirkulasi akan di bawa ke hepar. Pada penderita diabetes mellitus,

3
degradasi LDL di hepar menurun, dan gikolasi kolagen meningkat. Hal
ini mengakibatkan meningkatnya LDL yang berikatan dengan dinding
vaskuler.

d. Obesitas
Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri,
karena pada umumnya selalu diikuti oleh faktor resiko lainnya.

D. Patogenesis
Mekanisme umum terjadinya SKA adalah ruptur atau erosi lapisan
fibrotik dari plak arteri koronaria. Hal ini mengawali terjadinya agregasi dan
adhesi platelet, trombosis terlokalisir, vasokonstriksi, dan embolisasi trombus
distal. Keberadaan kandungan lipid yang banyak dan tipisnya lapisan fibrotik,
menyebabkan tingginya resiko ruptur plak arteri koronaria. Pembentukan
trombus dan terjadinya vasokonstriksi yang disebabkan pelepasan serotonin
dan tromboxan A2 oleh platelet mengakibatkan iskemik miokardium yang
disebabkan oleh penurunan aliran darah koroner.
Aterosklerosis adalah bentuk arteriosklerosis dimana terjadi penebalan
dan pengerasan dari dinding pembuluh darah yang disebabkan oleh akumulasi
makrofag yang berisi lemak sehingga menyebabkan terbentuknya lesi yang
disebut plak. Aterosklerosis bukan merupakan kelainan tunggal namun
merupakan proses patologi yang dapat mempengaruhi system vaskuler seluruh
tubuh sehingga dapat menyebabkan sindroma iskemik yang bervariasi dalam
manifestasi klinis dari tingkat keparahan. Hal tersebut merupakan penyebab
utama penyakit arteri koroner.
Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis.
Inflamasi dengan stress oksidatif dan aktivasi makrofag adalah mekanisme
primer. Diabetes mellitus, merokok, dan hipertensi dihubungkan dengan
peningkatan oksidasi LDL yang dipengaruhi oleh peningkatan kadar
angiotensin II melalui stimulasi reseptor AT-I. Penyebab lain dapat berupa
peningkatan C-reactive protein, peningkatan fibrinogen serum, resistensi
insulin, stress oksidatif, infeksi dan penyakit periodontal.

4
LDL teroksidasi bersifat toksik terhadap sel endotel dan menyebabkan
proliferasi sel otot polos, aktivasi respon imun dan inflamasi. LDL teroksidasi
masuk ke dalam tunika intima dinding arteri kemudian difagosit oleh
makrofag. Makrofag yang mengandung oksi-LDL disebut foam cell
berakumulasi dalam jumlah yang signifikan maka akan membentuk jejas fatty
streak. Pembentukan lesi tersebut dapat ditemukan pada dinding pembuluh
darah sebagian orang termasuk anak-anak. Ketika terbentuk, fatty streak
memproduksi radikal oksigen toksik yang lebih banyak dan mengakibatkan
perubahan inflamasi dan imunologis sehingga terjadi kerusakan yang lebih
progresif. Kemudian terjadi proliferasi sel otot polos, pembentukan kolagen
dan pembentukan plak fibrosa di atas sel otot polos tersebut. Proses tersebut
diperantarai berbagai macam sitokin inflamasi termasuk growth factor (TGF
beta). Plak fibrosa akan menonjol ke lumen pembuluh darah dan
menyumbataliran darah ysng lebih distal, terutama pada saat olahraga,
sehingga timbul gejala klinis (angina atau claudication intermitten).
Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak
menimbulkan gejala klinis sampai plak tersebut mengalami ruptur. Ruptur
plak terjadi akibat aktivasi reaksi inflamasi dari proteinase seperti
metalloproteinase matriks dan cathepsin sehingga menyebabkan perdarahan
pada lesi. Plak atherosklerosis dapat diklasifikasikan berdasarkan strukturnya
yang memperlihatkan stabilitas dan kerentanan terhadap ruptur. Plak yang
menjadi ruptur merupakan plak kompleks. Plak yang unstable dan cenderung
menjadi rupture adalah plak yang intinya banyak mengandung deposit LDL
teroksidasi dan yang diliputi oleh fibrous caps yang tipis. Plak yang robek
(ulserasi atau rupture) terjadi karena shear forces, inflamasi dengan pelepasan
mediator inflamasi yang multiple, sekresi macrophage-derived degradative
enzyme dan apotosis sel pada tepi lesi. Ketika rupture, terjadi adhesi platelet
terhadap jaringan yang terpajan, inisiasi kaskade pembekuan darah, dan
pembentukan thrombus yang sangat cepat. Thrombus tersebut dapat langsung
menyumbat pembuluh darah sehingga terjadi iskemia dan infark (Sudoyo,
2009).

5
Atherosclerotic plaque with
a lipid-rich core and thin
fibrous cap
Shear forces, inflammation,
apoptosis, macrophage-
derived degradative enzymes
Rupture of plaque

Increased inflammation with


release of multiple cytokines,
platelet activation and
adherence, production of
thrombin and vasoconstrictors Thrombus formation over lesion
plus vasoconstriction of vessel

Acute decrease in coronary


blood flow

Unstable angina or
myocardial infarction

Gambar 1. 1. Pathogenesis unstable plaque dan pembentukan thrombus

E. Patofisiologi
Proses progresifitas dari plak atherosklerotik dapat terjadi perlahan-
lahan. Namun, apabila terjadi obstruksi koroner tiba-tiba karena pembentukan
thrombus akibat plak aterosklerotik yang rupture atau mengalami ulserasi,
maka terjadi sindrom koroner akut.

6
Atherosclerotic plaque partially obstructs
coronary blood flow

Stable plaque Unstable plaque with ulceration or


rupture and thrombosis

Stable angina Acute coronary syndromes

Trancient Sustained
ischemia ischemia

Unstable angina
Myocardial
infarction
Stunned myocytes

Hibernating myocytes Myocardial


inflammation
Myocardial remodeling and necrosis

Gambar 1. 2. Patofisiologi Sindrom Koroner Akut

1. Unstable angina
Muncul akibat berkurangnya suplai oksigen dan/atau peningkatan
kebutuhan oksigen jantung (cth karena takikardi atau hipertensi).
Berkurangnya suplai oksigen terjadi karena adanya pengurangan diameter
lumen pembuluh darah yang dipengaruhi oleh vasokonstriktor dan/atau
thrombus. Pada banyak pasien unstable angina, mekanisme berkurangnya
suplai oksigen lebih banyak terjadi dibandingkan peningkatan oksigen
demand. Tetapi pada beberapa kasus, keduanya dapat terjadi secara
bersamaan.

a. Ruptur Plak

7
Ruptur dari plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting
dari angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal
atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai
penyempitan yang minimal. Dua pertiga dari pembuluh yang
mengalami rutur sebelumnya mempunyai penyempitan 50 % atau
kurang, dan pada 97 % pasien dengan angina tak stabil mempunyai
penyempitan kurang dari 70 %.
Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan
intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-
kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena
adanya enzim protease yang dihasilkan makrofage dan secara enzimatik
melemahkan dinding plak (fibrous cap).
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi
platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila
thrombus menutup pembuluh darah 100 % akan terjadi infark dengan
elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%,
dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak
stabil.
b. Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah
satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah
plak terganggu disebabkan karena integrasi yang terjadi antara lemak,
sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan
terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit,
sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak
tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan
berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi
platelet dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi
yang lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor
sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya

8
hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang
intermitten, pada angina tak stabil.
c. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada
angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan
vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan
dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasm. Spasm yang
terlokalisir seperti pada angina Prinzmetal juga dapat menyebabkan
angina tak stabil. Adanya spasm seringkali terjadi pada plak yang tak
stabil, dan mempunyai peran pembentukan trombus.
d. Erosi pada Plak tanpa Ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena
terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap
kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena
bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan
pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemi.
2. Infark miokard
Ketika aliran darah koroner terganggu pada waktu tertentu, dapat
terjadi nekrosis sel miosit. Hal tersebut disebut infark miokard. Gangguan,
progresivitas plak, dan pembentukan klot lebih lanjut yang terjadi pada MI
sama halnya seperti yang terjadi pada sindrom koroner akut yang lainnya.
Namun, pada MI trombusnya lebih labil dan dapat menyumbat pembuluh
darah dalam waktu yang lebih lama, sehingga iskemia miokardial dapat
berkembang menjadi nekrosis dan kematian miosit. Jika thrombus lisis
sebelum terjadinya nekrosis jaringan distal yang komplet, infark yang
terjadi hanya melibatkan miokardium yang berada langsung di bawah
endokardium (subendocardial MI).
Jika thrombus menyumbat pembuluh darah secara permanent,
maka infarknya dapat memanjang hingga epikardium sehingga
menyebabkan disfungsi jantung yang parah (transmural MI). Secara klinis,
MI transmural harus diidentifikasi, karena dapat menyebabkan komplikasi
yang serius dan harus mendapat terapi yang segera.

9
a. Jejas Selular
Sel jantung dapat bertahan terhadap iskemi hanya dalam waktu
20 menit sebelum mengalami kematian. Perubahan EKG hanya terlihat
pada 30-60 detik setelah hipoksia. Bahkan jika telah terjadi perubahan
metabolisme yang non fungsional, sel miosit tetap viable jika darah
kembali dalam 20 menit. Penelitian menunjukkan bawa sel miosit dapat
beradaptasi terhadap perubahan suplai oksigen. Proses tersebut
dinamakan ischemic preconditioning. Setelah 8-10 detik penurunan
aliran darah, miokardium yang terlibat menjadi sianotik dan lebih
dingin.
Glikolisis anaerob yang terjadi hanya dapat mensuplai 65-70%
dari kebutuhan energi, karena diproduksi ATP yang lebih sedikit
daripada metabolisme aerob. Ion hydrogen dan asam laktat kemudian
berakumulasi sehingga terjadi asidosis, dimana sel miokardium sangat
sensitif pada pH yang rendah dan memiliki sistem buffer yang lemah.
Asidosis menyebabkan miokardium menjadi rentan terhadap
kerusakan lisosom yang mengakibatkan terganggunya fungsi
kontraktilitas dan fungsi konduksi jantung sehingga terjadi gagal
jantung. Kekurangan oksigen juga disertai gangguan elektrolit Na, K,
dan Mg. secara normal miokardium berespon terhadap kadar
katekolamin (epinefrin dan norepinefrin/NE) yang bervariasi. Pada
sumbatan arteri yang signifikan, sel miokardium melepaskan
katekolamin sehingga terjadi ketidakseimbangan fungsi simpatis dan
parasimpatis, disritmia dan gagal jantung.
Katekolamin merupakan mediator pelepasan dari glikogen,
glukosa dan cadangan lemak dari sel tubuh. Oleh karena itu terjadi
peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol plasma dalam satu
jam setelah timbulnya miokard akut. Kadar FFA (Free Fatty Acid) yang
berlebih memiliki efek penyabunan terhadap membran sel. NE
meningkatkan kadar glukosa darah melalui perangsangan terhadap sel
hepar dan sel otot. NE juga menghambat aktivitas sel beta pankreas

10
sehingga produksi insulin berkurang dan terjadi keadaan hiperglikemia.
Hiperglikemia terjadi setelah 72 jam onset serangan.
Angiotensin II yang dilepaskan selama iskemia miokard
berkontribusi dalam patogenesis MI, dengan cara yaitu:
1) Efek sistemik dari vasokonstriksi perifer dan retensi cairan
sehingga meningkatkan beban jantung, akibatnya memperparah
penurunan kemampuan kontraktilitas jantung.
2) Angiotensin II mempunyai efek lokal yaitu sebagai growth factor
sel otot polos pembuluh darah, miosit dan fibroblast jantung,
sehingga merangsang peningkatan kadar katekolamin dan
memperparah vasospasme koroner.
b. Kematian selular
Iskemia miokard yang berlangsung lebih dari 20 menit
merupakan jejas hipoksia irreversible yang dapat menyebabkan
kematian sel dan nekrosis jaringan. Nekrosis jaringan miokardium
dapat menyebabkan pelepasan beberapa enzim intraseluler tertentu
melalui membrane sel yang rusak ke dalam ruang intersisisal. Enzim
yang terlepas kemudian diangkut melalui pembuluh darah limfe ke
pembuluh darah. Sehingga dapat terdeteksi oleh tes serologis.
c. Perubahan fungsional dan structural
Infark miokardial menyebabkan perubahan fungsional dan
struktural jantung. Perubahan tersebut dapat dilihat pada table di bawah
ini.
Waktu Perubahan Jaringan Tahapan Proses Pemulihan
setelah MI
6-12 jam Tidak ada perubahan Belum dimulai
makroskopis; sianosis subseluler
dengan penurunan temperatur
18-24 jam Pucat sampai abu-kecoklatan; Respon inflamasi;
slight pallor pelepasan enzim
intraseluler
2-4 hari Tampak nekrosis; kuning-coklat di Enzim proteolitik
tengah dan hiperemis di sekitar dipindahkan oleh debris;

11
tepi katekolamin, lipolisis, dan
glikogenolisis
meningkatkan glukosa
plasma dan FFA untuk
membantu miokard keluar
dari anaerobic state
4-10 hari Area soft, dengan degenerasi Debris telah dibersihkan;
lemak di tengah, daerah collagen matrix laid down
perdarahan pada area infark
10-14 hari Weak, fibrotic scar tissue dengan Penyembuhan berlanjut
awal revaskularisasi namun area sangat lunak,
mudah dipengaruhi stress
6 minggu Jaringan parut biasanya telah Jaringan parut kuat yang
komplit tidak elastis menggantikan
miokardium yg nekrosis
Tabel 1. 1. Perubahan fungsionaldan struktural MI

Perubahan makroskopis pada daerah infark tidak akan terlihat


dalam beberapa jam. Walaupun dalam 30-60 detik terjadi perubahan
EKG. Miokardium yang infark dikelilingi oleh zona jejas hiposia yang
dapat berkembang menjadi nekrosis, kemudian terjadi remodeling atau
menjadi normal kembali. Jaringan jantung yang dikelilingi daerah
infark juga mengalami perubahan yang dapat dikategorikan ke dalam:
1) Myocardial stunning, yaitu kehilangan sementara fungsi
kontraktilitas yang berlangsung selama beberapa jam – beberapa hari
setelah perfusi kembali normal.
2) Hibernating myocardium, yaitu jaringan yang mengalami iskemi
persisten dan telah mengalami adaptasi metabolik.
3) Myocardial remodeling, adalah suatu proses yang diperantarai
Angiotensin II, aldosteron, katekolamin, adenosine dan sitokin
inflamasi yang menyebabkan hipertrofi miositdan penurunan fungsi
kontraktilitas pada daerah jantung yang jauh dari lokasi infark.
Semua perubahan di atas dapat dibatasi melalui restorasi yang cepat
dari aliran koronerdan penggunaan ACE-inhibitor dan beta blocker

12
setelah MI. Tingkat keparahan gangguan fungsi tersebut dipengaruhi
oleh ukuran dan lokasi infark. Perubahan fungsional termasuk: (1).
Penurunan kontraktilitas jantung dengan gerak dinding jantung
abnormal, (2). Perubahan compliance dari ventrikel kiri, (3). Penurunan
stroke volume, (4). Penurunan fraksi ejeksi, (5). Peningkatan tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri, (6). Malfungsi dari SA node, (7).
Disritmia yang mengancam jiwa dan gagal jantung sering menyertai
MI.
d. Fase Perbaikan
Infark miokard menyebabkan respon inflamasi yang parah yang
diakhiri dengan perbaikan luka. Perbaikan terdiri dari degradasi sel
yang rusak, proliferasi fibroblast dan sintesis jaringan parut. Banyak
tipe sel, hormone, dan substrat nutrisi harus tersedia agar proses
penyembuhan dapat berlangsung optimal. Dalam 24 jam terjadi
infiltrasi lekosit dalam jaringan nekrotik dan degradasi jaringan
nekrotik oleh enzim proteolisis dari neutrofil scavenger.
Fase pseudodiabetik sering timbul oleh karena lepasnya
katekolamin dari sel yang rusak yang dapat menstimulasi lepasnya
glukosa dan asam lemak bebas. Pada minggu kedua, terjadi sekresi
insulin yang meningkatkan pergerakan glukosa dan menurunkan kadar
gula darah.
Pada 10-14 hari setelah infark terbentuk matriks kolagen yang
lemah dan rentan terhadap jejas yang berulang. Pada masa itu, biasanya
individu merasa sehat dan meningkatkan aktivitasnya kembali sehingga
proses penyembuhan terganggu. Setelah 6 minggu, area nekrosis secara
utuh diganti oleh jaringan parut yang kuat namun tidak dapat
berkontraksi seperti jaringan miokardium yang sehat (Sudoyo, 2009).

F. Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner
Akut dibagi menjadi:

13
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction).
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction).
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris) Infark
miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner.
Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara
medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi
koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan
angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan
yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan
menunggu hasil peningkatan marka jantung.
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten
di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat
berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar,
gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan (Gambar 1).
Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan
kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung.
Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila
hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna,
maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non
ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI).
Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat
secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk
peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai
normal atas (upper limits of normal, ULN).Jika pemeriksaan EKG awal tidak
menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan yang
nondiagnostik sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan
diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan

14
gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif SKA,
maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap
terjadi angina berulang (Gambar 1).
Kelas I Bukti dan/atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut
bermanfaat dan efektif.
IKelas II Bukti dan/atau pendapat yang berbeda tentang manfaat
pengobatan tersebut.
Kelas IIa Bukti dan pendapat lebih mengarah kepada manfaat atau
kegunaan, sehingga beralasan untuk dilakukan.
Kelas IIb Manfaat atau efektivitas kurang didukung oleh bukti atau
pendapat, namun dapat dipertimbangkan untuk dilakukan.
Kelas III Bukti atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut tidak
berguna atau tidak efektif, bahkan pada beberapa kasus
kemungkinan membahayakan.
Tingkat bukti Data berasal dari beberapa penelitian klinik acak berganda atau
A metaanalisis
Tingkat bukti Data berasal dari satu penelitian acak berganda atau beberapa
B penelitian tidak acak
Tingkat bukti Data berasal dari konsensus opini para ahli dan/atau penelitian
C kecil, studi retrospektif, atau registri
Tabel 1. 2. Klasifikasi rekomendasi tatalaksana sindrom koroner akut

G. Penegakan Diagnosis
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan
foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat
dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan
SKA, dan Definitif SKA
1. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada
yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan
angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar
ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau
epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit
atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai
keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal,

15
sesak napas, dan sinkop.Presentasi angina atipikal yang sering
dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa
gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan
atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun)
atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal
menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat
muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina
ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien
dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan
angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap
diagnosis SKA.
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut
ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
a. Pria
b. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner
(penyakit arteri perifer / karotis)
c. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark
miokard, bedah pintas koroner, atau IKP
d. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok,
dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga,
yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah
menurut NCEP (National Cholesterol Education Program)
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia
miokard (nyeri dada nonkardiak) :
a. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang
berhubungan dengan respirasi atau batuk)
b. Nyeri abdomen tengah atau bawah.
c. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan
satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel kiri atau pertemuan
kostokondral.

16
d. Nyeri dada yang diakibatkan oleh
gerakan tubuh atau palpasi
e. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
f. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas
bawah
Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen
sebagai keluhan SKA, maka terminologi angina dalam dokumen ini
lebih mengarah pada keluhan nyeri dada tipikal. Selain untuk tujuan
penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan untuk menapis
indikasi kontra terapi fibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan
diseksi aorta (nyeri dada tajam dan berat yang menjalar ke punggung
disertai sesak napas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau riwayat
penyakit serebrovaskular.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan
menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut,
suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya
selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi,
diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan
kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis,
kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat
diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang
tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis
banding SKA.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan EKG
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain
yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG
12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat.
Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya

17
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan
V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman
EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang
gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan
angina timbul kembali.Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien
dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal,
nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block)
baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20
menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan
atau tanpa inversi gelombang T. Penilaian ST elevasi dilakukan
pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan.
Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk
pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV.
Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam,
bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi
segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2
mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada
perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa
memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai
ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05
mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap
lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV.
Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan
dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada
pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi
di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan
bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru
mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh
karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat

18
segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka
jantung tersedia.

Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark

V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan
Tabel 1. 3. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika


gambaran EKG pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga
disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan
kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3.
Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan
konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas
rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang
diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.Adanya keluhan angina
akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST
yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non
elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil
(APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia
adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di
sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat
dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20menit),
dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang
T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk
iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan
kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan sebagai perubahan
EKG yang nondiagnostik.
b. Pemeriksaan marka jantung.

19
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T
merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka
untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka
nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih
tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai
untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh
sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma
kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal
napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner,
kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap
terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal.
Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih
tinggi dari troponin T.Dalam keadaan nekrosis miokard,
pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar yang
normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan
SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan
hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar
CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan
kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah)
dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu
paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis
ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural.
(lihat gambar 2).Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan
di laboratorium sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang
rawat intensif jantung (point of care testing) pada umumnya berupa
tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi

20
kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin
SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium
sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point
of care testing menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus
diulang di laboratorium sentral. Kemungkinan SKA adalah dengan
gejala dan tanda:1.Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina
ekuivalen atau tidak seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang
gawat-darurat.2.EKG normal atau nondiagnostik, dan3.Marka
jantung normalDefinitif SKA adalah dengan gejala dan
tanda:1.Angina tipikal.2.EKG dengan gambaran elevasi yang
diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau inversi T yang
diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB
baru/persangkaan baru.3.Peningkatan marka jantung Kemungkinan
SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung
normal perlu menjalani observasi di ruang gawat-darurat. Definitif
SKA dan angina tipikal dengan gambaran EKG yang
nondiagnostik sebaiknya dirawat di rumah sakit dalam ruang
intensive cardiovascular care (ICVCU/ICCU).5.5. Pemeriksaan
laboratorium. Data laboratorium, di samping marka jantung, yang
harus dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin,
gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi
ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh
menunda terapi SKA.5.6. Pemeriksaan foto polos dada. Mengingat
bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat
darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus
dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan
pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi
komplikasi dan penyakit penyerta.

21
BAB II
TATALAKSANA

Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera


menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan
selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada
pasien dengan diagnosis kerja kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan
angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau
marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat,
Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.
1. Tirah baring (Kelas I-C)
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2
arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi (Kelas I-C)
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-C)
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat
(Kelas I-C)
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)a.Dosis awal ticagrelor
yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90
mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk reperfusi
menggunakan agen fibrinolitik (Kelas I-B)ataub.Dosis awal clopidogrel
adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada
pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)
(Kelas I-C).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). jika
nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima
menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas I-

22
C). dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat
dipakai sebagai pengganti
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-B).

Gambar 2. 1. Algoritma evaluasi SKA

23
BAB III
DIAGNOSIS BANDING, KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS

A. Diagnosis Banding
Nyeri dada merupkan gejala klinis yang paling sering muncul pada
pasien dengan ACS. Beberapa diagnosis banding berdasarkan sistem dengan
keluhan nyeri dada terdapat pada tabel berikut

Tabel 3. 1. Diagnosis banding nyeri dada

Banyaknya kemungkinan diagnosis yang muncul dengan keluhan


nyeri dada, dokter harus menggali anamnesis lebih dalam seperi apakah nyeri
diperberat saat bekerja atau berkurang saat istirahat? Apakah dipengaruhi
dengan posisi seperti berbaring atau duduk? Apakah sifatnya pleuritik atau
nyeri yang munculsaat bernafas dalam?
ACS merupakan suatu penyakit gawat daruratan. Diagnosis banding
lain yang merupakan penyakit gawat darurat terdapat pada tabel berikut

24
Tabel 3. 2. Diagnosis nyeri dada dengan kegawatan

B. Komplikasi
1. Aritmia
Aritmia jantung yang mengancam nyawa yaitu ventricular tachycardia
(VT), ventricular fibrillation (VF), dan AV blok total dapat menjadi
manifestasi awal terjadinya SKA. Insidens aritmia ventrikel biasanya
terjadi 48 jam pertama setelah onset SKA.
2. Perikarditis
Perikarditis ialah peradangan pericardium viseralis dan parietalis dengan
atau tanpa disertai timbulnya cairan dalam rongga perikard yang baik
bersifat transudat atau eksudat maupun seraosanguinis atau purulen dan
disebabkan oleh berbagai macam penyebab. Jika terdapat inflamasi di
perikardium yang sensitif terhadap rasa nyeri, yaitu perikardium parietalis.
3. Ruptur dinding ventrikel
Pada ruptur dinding ventrikel akut terjadi disosiasi aktivitas listrik jantung
yang menyebabkan henti jantung dalam waktu singkat. Biasanya hal ini
fatal dan tidak respon dengan resusitasi kardiopulmoner standar karena
tidak ada cukup waktu untuk dilakukan tindakan bedah segera. Ruptur
dinding ventrikel subakut pada 25% kasus masih memberikan harapan
untuk dilakukan tindakan bedah secepatnya. Manifestasi klinisnya yaitu
gambaran reinfark dan didapatkan kembali gambaran elevasi segmen ST
pada EKG. Biasanya terdapat gangguan hemodinamik mendadak,
tamponade dan efusi perikard yang dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan ekokardiografi.

25
4. Gagal jantung
Gagal jantung pada SKA biasanya disebabkan oleh kerusakan
miokard tapi dapat pula terjadi karena aritmia atau komplikasi mekanik
seperti ruptur septum ventrikel atau regurgitasi mitral iskemik. Gagal
jantung pada SKA menandakan prognosis yang lebih buruk.
Tatalaksana umum meliputi monitor kemungkinan terjadinya
aritmia, gangguan elektrolit dan adanya kelainan katup atau paru.
Pemeriksaan foto toraks dan ekokardiografi direkomendasikan untuk
evaluasi luas kerusakan miokard dan komplikasi yang mungkin terjadi
seperti ruptur septum dan regurgitasi mitral akut.
Syok kardiogenik pada SKA menandakan kegagalan pompa
jantung berat dan hipoperfusi dengan manifestasi klinis TD sistolik < 90
mmHg, pulmonary wedge pressure > 20 mmHg atau cardiac index < 1,8
L/m2. Hal ini akibat nekrosis miokard yang luas. Inotropik atau IABP
sering diperlukan untuk mempertahankan TD sistolik > 90 mmHg.
Diagnosis syok kardiogenik ditegakkan setelah menyingkirkan penyebab
lain hipotensi seperti hipovolemik, reaksi vagal, tamponade, aritmia dan
gangguan elektrolit. Terapi suportif IABP direkomendasi sebagai jembatan
untuk terapi definitive yaitu terapi intervensi (emergency PCI) (Yan AT,
2016).

C. Prognosis
Pasien dengan ACS akan lebih parah dan hasil klinis memburuk pada
6 bulan dengan terapi yang cukup (Ferreira, 2009).

Gambar 3. 1. Prognosis ACS

26
BAB IV
PENCEGAHAN

Pencegahan terjadinya ACS sekunder dapat dilakukan dengan mendaftaran


dalam program rehabilitasi jantung / pencegahan sekunder yang terstruktur
dengan baik setelah mengalami ACS harus dipertimbangkan, karena dapat
meningkatkan kepatuhan pasien dengan rejimen medis dan mempromosikan
perubahan gaya hidup, termasuk latihan fisik secara teratur dan penghentian
merokok, dan memungkinkan konseling makanan. Pelatihan olahraga aerobik
dalam program rehabilitasi jantung harus ditawarkan kepada pasien setelah
mengalami sindrom coroner akut, dengan kebutuhan untuk evaluasi kapasitas
olahraga dan risiko terkait olahraga. Jika memungkinkan, latihan olahraga teratur
tiga kali atau lebih dalam seminggu dan 30 menit per sesi direkomendasikan.
Pasien yang menetap harus didorong untuk memulai program latihan intensitas
ringan setelah stratifikasi risiko terkait olahraga yang memadai. Berhenti merokok
adalah tindakan yang sangat efektif untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas
pada pasien setelah ACS (ECS, 2015).
Beberapa pengobatan jangka panjang yang direkomendasikan adalah:
1. Aspirin diberikan seumur hidup, apabila dapat ditoleransi pasien.
2. Pemberian penghambat reseptor ADP dilanjutkan selama 12 bulan kecuali
bila risiko perdarahan tinggi.
3. Statin dosis tinggi diberikan sejak awal dengan tujuan menurunkan kolesterol
LDL <70mg/dl
4. Penyekat beta disarankan untuk pasien dengan penurunan fungsi sistolik
ventrikel kiri (LVEF ≤40%)
5. ACE-I diberikan dalam 24 jam pada semua pasien dengan LVEF ≤40% dan
yang menderita gagal jantung, diabetes, hipertensi, atau PGK, kecuali
diindikasikontrakan
6. ARB dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi ACE-I, dengan memilih
agen dan dosis yang telah terbukti efikasinya
7. Antagonis aldosteron disarankan pada pasien setelah MI yang sudah
mendapatkan ACE-I dan penyekat beta dengan LVEF ≤35% dengan diabetes

27
atau gagal jantung, apabila tidak ada disfungsi ginjal yang bermakna
(kreatinin serum >2,5 mg/dL pada pria dan >2 mg/dL pada wanita) atau
hyperkalemia (PERKI, 2015).

28
BAB V
PENUTUP

Sindrom koroner akut adalah gabungan gejala klinik yang menandakan


iskemia miokard akut, yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi
segmen ST (ST segment elevation myocardial infarction = STEMI), infark
miokard akut tanpa elevasi segmen ST (non ST segment elevation myocardial
infarction = NSTEMI), dan angina pectoris tidak stabil (unstable angina pectoris
= UAP).
Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada
pasien dengan diagnosis kerja kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan
angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau
marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat,
Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2015.


Pedoman Tatalaksana Sindroma Koroner Akut. Jakarta.
European Society of Cardiology (ESC). 2015 ESC Guidelines for the
management of acute coronary syndromes in patients presenting without
persistent ST-segment elevation.
Yan AT, Yan RT, Tan M, Chow CM, Fitchett DH, Georgescu AA, Hassan Q,
Luchansky J, Langer A, Goodman SG. 2016. Acute Coronary Syndrome.
Am Heart J. Aug; 152(2):270-6.
Ferreira. Prognosis and Management of Patients With Acute Coronary Syndrome
and Polyvascular Disease. Rev Esp Cardiol. 2009;62(9):1012-21
Sudoyo, Aru W. et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed V. PAPDI:
Jakarta.

30

Anda mungkin juga menyukai