Anda di halaman 1dari 70

I.

DATA PASIEN
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ahmat Gibran
Umur : 3 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Kebangsaan : Indonesia
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Danaraja, Slawi
Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung

Keterangan Ayah Ibu


Nama Tn. B Ny. N
Usia 43 tahun 33 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
2. Kebangsaan Indonesia Indonesia DA
Suku Bangsa Jawa Jawa TA
Agama Islam Islam
Pendidikan SMP SMP
Pekerjaan Wiraswasta Ibu Rumah
Tangga
Alamat Danaraja Danaraja
Penghasilan Rp 2.000.000/bulan -
DASAR
ANAMNESIS
Didapatkan keterangan dari ibu pasien (alloanamnesis) pada
tanggal 10 April 2019.
Keluhan Utama : Muntah
Keluhan Tambahan : Nyeri Perut

Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang


Alloanamnesis ibu pasien mengatakan, Pasien datang ke RSUD
Soeselo Slawi tanggal 10 April 2019 dengan keluhan muntah sejak 3
hari sebelum masuk rumah sakit. Muntah lebih dari 3 kali dalam 1
hari, muntah berupa makanan, tidak ada darah dan tidak menyemprot.

1
Keluhan disertai nyeri perut. Keluhan lain seperti demam, batuk, pilek
disangkal. BAK dan BAB dalam batas normal. Riwayat keluhan
serupa pada keluarga lain disangkal. Riwayat alergi pada keluarga di
sangkal. Riwayat imunisasi lengkap.
Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya sedang menjalani
pengobatan flek paru, sudah memasuki bulan ke-4. Keluhan awalnya
adalah pada bulan desember 2018 pasien mengalami demam tinggi
kurang lebih satu minggu, menurun bila di beri obat penurun panas
dan naik kembali, demam tidak pernah mencapai suhu normal.
Demam juga tidak disertai muntah. Terdapat keluhan batuk, setelah
batuk berlangsung 3 hari, Ibu pasien membawa pasien berobat ke
klinik dokter spesialis anak dan disarankan untuk melakukan foto
rontgen. Keluhan benjolan di leher disangkal, sesak nafas disangkal.
Ibu pasien mengaku sebelum anaknya demam dan batuk, Ibu dan
Nenek pasien sedang batuk juga dan kontak dengan pasien. BAB dan
BAK dalam batas normal. Nafsu makan dan minum menurun.
Riwayat keluarga yang menderita sakit paru disangkal.

2
Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit Keterangan Penyakit Keterangan
Faringitis/ Disangkal Enteritis Disangkal
Tonsillitis
Rhinitis
Pneumonia Disangkal Disentri Disangkal
Bronkitis Disangkal Typhus Abdominalis Disangkal
TB Paru Ada, sedang Cacing Disangkal
pengobatan
bulan ke-4
Kejang Disangkal Operasi Disangkal
Varicela Disangkal Gegar Otak Disangkal
Difteri Disangkal Fraktur Disangkal
Malaria Disangkal Reaksi Obat Disangkal
Riwayat Kehamilan Ibu
a) Perawatan antenatal
- Kontrol secara teratur ke bidan di puskesmas.
- Tidak terdapat masalah selama kehamilan dan janin di dalam
kandungan dinyatakan sehat.
b) Penyakit selama kehamilan
- Tidak terdapat masalah selama kehamilan dan janin di dalam
kandungan dinyatakan sehat.
c) Obat-obatan yang diminum
- Ibu pasien minum vitamin yang diberikan oleh bidan.

Riwayat Kehamilan Ibu dan Kelahiran Sebelumnya


- Persalinan : Spontan pervaginam
- Penolong persalinan : Dokter dan bidan
- Cara persalinan : Spontan pervaginam dengan
presentasi kepala
- Masa gestasi : 9 bulan (36 minggu)
- Ketuban pecah : Ibu tidak tahu
- Berat plasenta : Ibu tidak tahu
- Ketuban : Ibu tidak tahu

3
- Jumlah air ketuban : Ibu tidak tahu
- Keadaan bayi : Berat lahir : 3000 gram
Panjang badan : 52 cm
Lingkar kepala : ibu tidak tahu
Menurut Ibu, saat lahir bayi langsung menangis, kulit bayi berwarna
kemerahan, gerakannya aktif, dan tidak ditemukan adanya kelainan
fisik pada bayi.

Riwayat Pasca Lahir


Langsung menangis
Ibu tidak ada pendarahan
Anak tidak pernah sakit setelah lahir seperti asfiksia, infeksi intra
partum, trauma lahir dan lain-lain.

Riwayat Makanan
(mulai lahir sampai sekarang, kualitas dan kuantitas)
Neonatus : ASI sampai usia 1,5 tahun
Usia sekarang (3 tahun) : Riwayat asupan nutrisi cukup secara kualitas
dan cukup secara kuantitas

Riwayat Imunisasi (imunisasi lengkap)


Ibu : TT (+)
Anak :
DTP (+) jumlah: 4 kali (usia: 2, 3, 4, 18 bulan )
BCG (+) jumlah: 1 kali (usia: 0 bulan)
Hepatitis B (+) jumlah: 2 kali (usia: 0, 1 bulan)
Polio (+) jumlah: 4 kali (usia: 0, 2, 3, 4 bulan)
Campak jumlah: 1 kali (usia: 9 bulan)
MMR jumlah: 1 kali (usia: 18 bulan)

4
Riwayat Keluarga
Data Keluarga
Keterangan Ayah Ibu
Pernikahan ke 1 1
Umur saat menikah 32 22
Keadaan Kesehatan Sehat Sehat

Corak Reproduksi
Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara
Anak Usia Jenis Kelamin Keterangan
ke
1 10 Tahun Laki - laki Anak Kandung

2 3 Tahun Laki - laki Anak Kandung

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


a) Ayah
Kondisi ayah saat ini sehat, tidak ada keluhan. Riwayat muntah
disangkal, riwayat nyeri perut disangkal, riwayat keluhan BAB
disangkal.
b) Ibu
Kondisi ibu saat ini sehat, tidak ada keluhan. Riwayat muntah
disangkal, riwayat nyeri perut disangkal, riwayat keluhan BAB
disangkal.
c) Kakak
Kondisi kakak pasien saat ini sehat, tidak ada keluhan. Riwayat
muntah disangkal, riwayat nyeri perut disangkal, riwayat keluhan
BAB disangkal.
d) Nenek dan Kakek
Kondisi nenek saat ini sehat, tidak ada keluhan. Riwayat asma
disangkal, riwayat alergi disangkal, riwayat batuk lama disangkal.
e) Kakak atau adik orang tua pasien

5
Kondisi kakak dan adik dari orang tua pasien saat ini sehat, tidak
ada keluhan. Riwayat perdarahan disangkal, riwayat alergi
disangkal, riwayat batuk lama disangkal. riwayat keganasan
disangkal, riwayat epilepsi disangkal. Riwayat Diabetes Mellitus
disangkal.

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 10 April 2019
a) Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah :-
Nadi : 100 kali/menit, kuat, penuh, teratur
Laju Pernapasan : 22 kali/menit , reguler
Suhu Tubuh : 36.8⁰C (aksilla)

b) Data Antropometri
Berat badan : 17 kg
Tinggi badan : 92 cm
Lingkar Kepala : 48 cm
Lingkar lengan : 17 cm
Status gizi : WAZ : 0,46 WHZ : 2,88
HAZ : -2,49 BMI : 3,14

c) Pemeriksaan Fisik Sistematis (10 April 2019)


Pemeriksaan Sistematis Hasil Pemeriksaan
Kepala
 Bentuk dan mesocephal, ukuran lingkar kepala 48 cm.
ukuran

 Rambut & Kulit rambut hitam terdistribusi merata, tidak mudah dicabut,

6
kepala kulit kepala tidak ada kelainan,

Mata Mata sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis,


pupil bulat, isokor, refleks cahaya positif normal di
kedua mata, kornea jernih.
Telinga Serumen -/-, sekret -/-
Hidung Septum ditengah, sekret -/-, napas cuping hidung
(-) darah menetes (-)
Mulut :

Bibir tidak tampak labioschizis, tidak tampak palatoschizis,


bibir tidak sianosis, bibir tidak kering, lidah tidak kotor
Leher Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar getah
bening.
Thorax
 Paru-paru I : Bentuk normochest, simetris, retraksi subcostal (-),
pembesaran KGB axilla (-/-)
P : Stem fremitus meningkat paru kiri = kanan
P : Sonor di kedua lapang paru
A : Bunyi nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
 Jantung I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis tidak teraba
P : Tidak dilakukan pemeriksaan
A : Bunyi jantung I dan II reguler, tidak ada murmur,
tidak ada gallop
Abdomen
 Inspeksi perut datar, venektasi (-), caput medusae (-)

 Auskultasi Bising usus (+) normal

 Perkusi Timpani pada seluruh lapang abdomen

 Palpasi + + -
- - -
- - -
Teraba soefel, massa (-), hepar/ lien tidak teraba,
nyeri tekan

7
Tulang Belakang Spina bifida (-)
Genitalia Laki - laki, tidak ada kelainan
Anus Lubang intak, tidak tampak massa yang keluar dari
anus, perianal rash (-)
Anggota gerak Akral hangat, capillary refill time < 2 detik, lesi kulit
(–), sianosis (-), edema (-), petechiae (-), purpura (-).
Kulit Tidak pucat, tidak sianosis, tidak ikterik, turgor baik.

8
Pertumbuhan dan Perkembangan
Denver II

a) Perkembangan Motorik Kasar


Dapat berdiri dengan 1 kaki beberapa detik, melompat dengan 1
kaki

9
b) Perkembangan Bahasa
Dapat menyebut 4 warna, lancar dalam berbicara
c) Perkembangan Motorik Halus
Dapat menggoyangkan ibu jari
d) Perkembangan Personal sosial
Berpakaian tanpa bantuan, mengambil makan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 10/4/19
Parameter Jumlah Satuan Nilai Rujukan

1. Leukosit 11,1 10^3/uL 5,5-15.5 /uL

2. Eritrosit 6,0 (H) 10^6/uL 3,70-5,70 / uL

3. Hemoglobin 13,7 gr/dl 10,7-14,7 g/dl

4. Hematokrit 43 % 31-43%

5. MCV 71 (L) Femtoliter 72-88 fl

6. MCH 23 Pikograms 23-31 pg

7. MCHC 32 g/dl 32-36 g/dl

8. Trombosit 575 (H) 10^3/ul 150-400 Ul

9. Limfosit 35,60 % 25-40%

10. Monosit 11,50 (H) % 2-8%

11. Basofil 0.90 % 0-1

12. Eosinofil 0,50 (L) % 2,00 -4,00

13 Netrofil 51,50 % 50-70

14 S. Typhi O Non Reaktif Non Reaktif

10
15 S. Typhi H Non Reaktif Non Reaktif

16 S. Paratyphi A Non Reaktif Non Reaktif

17 S. Paratyphi B Non Reaktif Non Reaktif

Hasil Pemeriksaan Foto Thorax

Tanggal 03/01/2019

Kesan :
CTR < 50% , bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : corakan vaskuler meningkat dengan gambaran
airbronchogram (+)

11
II. RESUME
Pasien datang ke RSUD Soeselo Slawi tanggal 10 April 2019
dengan keluhan muntah sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Muntah
lebih dari 3 kali dalam 1 hari, muntah berisikan makanan yang dimakan
pasien. Keluhan disertai nyeri perut. Keluhan lain seperti demam, batuk,
pilek disangkal. BAK dan BAB dalam batas normal. Riwayat keluhan
serupa pada keluarga lain disangkal. Riwayat alergi pada keluarga di
sangkal. Riwayat imunisasi lengkap. Ibu pasien mengatakan bahwa
anaknya sedang menjalani pengobatan flek paru, sudah memasuki bulan
ke-4. Keluhan awalnya adalah pada bulan desember 2018 pasien
mengalami demam tinggi kurang lebih satu minggu, menurun bila di beri
obat penurun panas dan naik kembali, demam tidak pernah mencapai suhu
normal. Demam juga tidak disertai muntah. Terdapat keluhan batuk,
setelah batuk berlangsung 3 hari, Ibu pasien membawa pasien berobat ke
klinik dokter spesialis anak dan disarankan untuk melakukan foto rontgen.
Keluhan benjolan di leher disangkal, sesak nafas disangkal. Ibu pasien
mengaku sebelum anaknya demam dan batuk, Ibu dan Nenek pasien
sedang batuk juga dan kontak dengan pasien. BAB dan BAK dalam batas
normal. Nafsu makan dan minum menurun. Riwayat keluarga yang
menderita sakit paru disangkal.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan Berat 17 kg. Lingkar Kepala
48 cm Lingkar lengan atas 17 Panjang badan 92 cm. Keadaan umum
tampak sakit sedang. Nadi 100 kali/menit, Pernapasan 22 kali/menit, Suhu
tubuh 36,8 °C (aksilla).
Dari hasil pemeriksaan sistematis didapatkan Kepala, bentuk dan
ukuran mesosephal, Rambut hitam terdistribusi merata. Mata tidak
terdapat anemis, tidak terdapat ikterik. Hidung, Telinga, Mulut, Leher
pasien tidak ada kelainan.
Pada pemeriksaan Thorax paru didapatkan Bentuk normochest,
simetris, retraksi subcostal (-), pembesaran KGB axilla (-/-), palpasi
didapatkan Stem fremitus simetris paru kiri = kanan. Perkusi didapatkan

12
Sonor di kedua lapang paru, auskultasi Bunyi nafas vesikuler, rhonki -/-,
wheezing -/- dan pemeriksaan thorax jantung didapatkan hasil normal.
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan BU (+) normal, soefel, terdapat
nyeri tekan pada kuadran kanan atas perut. Pada ekstremitas didapatkan
hasil normal. Genitalia tidak terdapat kelainan. Pemeriksaan Penunjang di
dapatkan hasil pada laboratorium terdapat peningkatan Trombosit dan
monosit, serata penurunan eosinofil. Hasil pemeriksaan widal non reaktif.

III. DIAGNOSIS
a) Diagnosis Kerja
Dyspepsia
TB Paru pengobatan bulan ke-4
b) Diagnosis Banding
Drug induced hepatitis ec OAT
Hepatitis A

IV. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

V. PENATALAKSANAAN
a. Infus D5 15tpm
b. Inj Ceftriaxone 2x800mg
c. Inj Ranitidine 2x1mg
d. Inj Pantoprazole 2x1mg
e. Inj Ondancentron 2x2mg
f. Inj Paracetamol 4x250mg, jika T>37,6oC
g. Sucralfat syr 1x1
h. OAT FDC 2x1
i. Diet lunak

13
PEMANTAUAN HARIAN PASIEN
Tanggal S O A P
11/04/19 Muntah 1x, KU : tampak sakit Drug Induced - Inf D5 15tpm
Nyeri perut sedang, CM hepatitis e.c - Inf Aminofluid
berkurang, S : 36,6oC N: OAT 20tpm
demam (-), 90x/menit TB Paru bulan - Inj Ceftriaxone
nafsu RR:20x/menit BB ke-4 2x800mg
makan baik, 17 kg - Inj Ranitidine
BAK BAB 2x1mg
dbn. - Inj Pantoprazole
Kepala : 2x1mg
mesosephal, CA -/-, - Inj Ondancentron
SI -/-, napas cuping 2x2mg
hidung (-), sianosis - Inj Paracetamol
bibir (-) 4x250mg, jika
Leher:PKGB -/- T>37,6oC
Thorax : BJ I&II - Sucralfat syr 1x1
murni regular, - PO OAT FDC
SDV(+/+),Rh(-/-),W 1x1
h(-/-) - PO Curcuma syr
Abdomen: 3x1cth
soefel,BU(+) - PO Lesipar 2x1
normal,timpani (+), - PO Urdahec 2x1
nyeri tekan (+)
Ekstremitas: akral
hangat

14
Tanggal S O A P
12/04/19 Muntah (-), KU : tampak sakit Drug Induced - Inf D5 15tpm
Nyeri perut sedang, CM hepatitis e.c - Inf Aminofluid
berkurang, S : 36,4oC N: OAT 20tpm
demam (-), 100x/menit TB Paru bulan - Inj Ceftriaxone
nafsu RR:20x/menit BB ke-4 2x800mg
makan baik, 17 kg - Inj Ranitidine
BAK BAB 2x1mg
dbn. Kepala : - Inj Pantoprazole
mesosephal, CA -/-, 2x1mg
SI -/-, napas cuping - Inj Ondancentron
hidung (-), sianosis 2x2mg
bibir (-) - Inj Paracetamol
Leher:PKGB -/- 4x250mg, jika
Thorax : BJ I&II T>37,6oC
murni regular, - Sucralfat syr 1x1
SDV(+/+),Rh(-/-),W - PO OAT FDC
h(-/-) 1x1
Abdomen: - PO Curcuma syr
soefel,BU(+) 3x1cth
normal,timpani (+), - PO Lesipar 2x1
nyeri tekan (+) - PO Urdahec 2x1
Ekstremitas: akral
hangat

15
Tanggal S O A P
13/04/19 Muntah (-), KU : tampak sakit Drug Induced - Inf D5 15tpm
Nyeri perut sedang, CM hepatitis e.c - Inf Aminofluid
(-), demam S : 36,7oC N: OAT 20tpm
(-), nafsu 100x/menit TB Paru bulan - Inj Ceftriaxone
makan baik, RR:22x/menit BB ke-4 2x800mg
BAK BAB 17 kg - Inj Ranitidine
dbn. 2x1mg
Kepala : - Inj Pantoprazole
mesosephal, CA -/-, 2x1mg
SI -/-, napas cuping - Inj Ondancentron
hidung (-), sianosis 2x2mg
bibir (-) - Inj Paracetamol
Leher:PKGB -/- 4x250mg, jika
Thorax : BJ I&II T>37,6oC
murni regular, - Sucralfat syr 1x1
SDV(+/+),Rh(-/-),W - PO OAT FDC
h(-/-) 1x1
Abdomen: - PO Curcuma syr
soefel,BU(+) 3x1cth
normal,timpani (+), - PO Lesipar 2x1
nyeri tekan (-) - PO Urdahec 2x1
Ekstremitas: akral
hangat

16
Tanggal S O A P
14/04/19 Muntah (-), KU : tampak sakit Drug Induced - Inf D5 15tpm
Nyeri perut sedang, CM hepatitis e.c - Inf Aminofluid
(-), demam S : 36,6oC N: OAT 20tpm
(-), nafsu 110x/menit TB Paru bulan - Inj Ceftriaxone
makan baik, RR:24x/menit BB ke-4 2x800mg
BAK BAB 17 kg - Inj Ranitidine
dbn. 2x1mg
Kepala : - Inj Pantoprazole
mesosephal, CA -/-, 2x1mg
SI -/-, napas cuping - Inj Ondancentron
hidung (-), sianosis 2x2mg
bibir (-) - Inj Paracetamol
Leher:PKGB -/- 4x250mg, jika
Thorax : BJ I&II T>37,6oC
murni regular, - Sucralfat syr 1x1
SDV(+/+),Rh(-/-),W - PO OAT FDC
h(-/-) 1x1
Abdomen: - PO Curcuma syr
soefel,BU(+) 3x1cth
normal,timpani (+), - PO Lesipar 2x1
nyeri tekan (-) - PO Urdahec 2x1
Ekstremitas: akral
hangat

17
Tanggal S O A P
15/04/19 Muntah (-), KU : tampak sakit Drug Induced - Inf D5 15tpm
Nyeri perut sedang, CM hepatitis e.c - Inf Aminofluid
(-), demam S : 36,6oC N: OAT 20tpm
(-), nafsu 100x/menit TB Paru bulan - Inj Ceftriaxone
makan baik, RR:22x/menit BB ke-4 2x800mg
BAK BAB 17 kg - Inj Ranitidine
dbn. 2x1mg
Kepala : - Inj Pantoprazole
mesosephal, CA -/-, 2x1mg
SI -/-, napas cuping - Inj Ondancentron
hidung (-), sianosis 2x2mg
bibir (-) - Inj Paracetamol
Leher:PKGB -/- 4x250mg, jika
Thorax : BJ I&II T>37,6oC
murni regular, - Sucralfat syr 1x1
SDV(+/+),Rh(-/-),W - PO OAT FDC
h(-/-) 1x1
Abdomen: - PO Curcuma syr
soefel,BU(+) 3x1cth
normal,timpani (+), - PO Lesipar 2x1
nyeri tekan (-) - PO Urdahec 2x1
Ekstremitas: akral
hangat

18
Tanggal S O A P
16/04/19 Muntah (-), KU : tampak sakit Drug Induced Boleh pulang
Nyeri perut sedang, CM hepatitis e.c
(-), demam S : 36,7oC N: OAT
(-), nafsu 100x/menit TB Paru bulan
makan baik, RR:22x/menit BB ke-4
BAK BAB 17 kg
dbn.
Kepala :
mesosephal, CA -/-,
SI -/-, napas cuping
hidung (-), sianosis
bibir (-)
Leher:PKGB -/-
Thorax : BJ I&II
murni regular,
SDV(+/+),Rh(-/-),W
h(-/-)
Abdomen:
soefel,BU(+)
normal,timpani (+),
nyeri tekan (-)
Ekstremitas: akral
hangat

19
FOLLOW UP HASIL LABORATORIUM
1. Tanggal 11/04/2019
Parameter Jumlah Satuan Nilai Rujukan

1. Leukosit 9,3 10^3/uL 5,5-15.5 /uL

2. Eritrosit 5,9 (H) 10^6/uL 3,70-5,70 / uL

3. Hemoglobin 13,6 gr/dl 10,7-14,7 g/dl

4. Hematokrit 42 % 31-43%

5. Trombosit 445 (H) 10^3/ul 150-400 uL

6. SGOT 470 (H) U/L <47

7 SGPT 353 (H) U/L <39

8 Bilirubin total 1,40 (H) mg/dL 0,20-0,80 mg/dL

9 Bilirubin direk 1,04 (H) mg/dL 0,1-

10 Bilirubin 0,36 0-0


indirek
11 HBsAg stik Non Reaktif Non Reaktif

12 IgM Anti HAV Non Reaktif Negatif

2. Tanggal 15/04/2019
Parameter Jumlah Satuan Nilai Rujukan

1. Leukosit 12,5 10^3/uL 5,5-15.5 /uL

2. Eritrosit 5,8 (H) 10^6/uL 3,70-5,70 / uL

3. Hemoglobin 13,2 gr/dl 10,7-14,7 g/dl

4. Hematokrit 42 % 31-43%

5. MCV 72 Femtoliter 72-88 fl

20
6. MCH 23 Pikograms 23-31 pg

7. MCHC 32 g/dl 32-36 g/dl

8. Trombosit 260 10^3/ul 150-400 Ul

9. Limfosit 60,60 (H) % 25-40%

10. Monosit 4,90 % 2-8%

11. Basofil 0.40 % 0-1

12. Eosinofil 4,70 (H) % 2,00 -4,00

13 Netrofil 29,40 (L) % 50-70

14 SGOT 86 (H) U/L <47

15 SGPT 370 (H) U/L <39

21
TINJAUAN PUSTAKA

1. TB Pada Anak
a. Definisi
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular granulomatosa
kronik yang telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu dan paling sering
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar
kuman TBC menyerang paru, 85% dari seluruh kasus TBC adalah TBC
paru, sisanya (15%) menyerang organ tubuh lain mulai dari kulit, tulang,
organ-organ dalam seperti usus, otak, dan lainnya.11 Berdasarkan hasil
pemeriksaan sputum, TBC dibagi dalam: TBC paru BTA positif:
sekurangnya 2 dari 3 spesimen sputum BTA positif, TBC paru BTA
negatif: dari 3 spesimen BTA negatif, foto toraks positif.1

b. Epidemiologi
TB merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia.
Pada tahun 1993 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
TB sebagai Global Emergency. WHO dalam Annual Report on Global TB
Control 2011 menyatakan bahwa terdapat 22 negara dikategorikan sebagai
high burden countriesterhadap TB, termasuk Indonesia. Pada tahun 2010
diperkirakan terdapat 8,8 juta kasus TB, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA
(Basil Tahan Asam) positif serta 1,4 juta orang meninggal di seluruh dunia
akibat TB termasuk 0,35 juta orang dengan penyakit HIV.3
Tahun 2010, Indonesia menempati peringkat ke-4 negara dengan
insidensi TB tertinggi di dunia sebanyak 0,37 – 0,54 juta setelah India (2,0
– 2,5 juta), Cina (0,9 – 1,2 juta), Afrika Selatan (0,40 – 0,59 juta). Pada
tahun 2004, diperkirakan angka prevalensi kasus TB di Indonesia
130/100.000 penduduk, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan jumlah
kematian sekitar 101.000 orang pertahun serta angka insidensi kasus TB
BTA positif sekitar 110/100.000 penduduk. Penyakit ini merupakan
penyebab kematian terbesar ke-3 setelah penyakit kardiovaskular dan

22
penyakit saluran pernapasan serta merupakan nomor satu terbesar dalam
kelompok penyakit infeksi.2
TB pada anak terjadi usia 0-14 tahun. Di negara-negara berkembang
jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah
seluruh populasi umum dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia
menderita TB setiap tahunnya. Proporsi kasus TB Anak di Indonesia tahun
2010 adalah 9,4% kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011, kemudian
tahun 2012 menjadi 7,4%, tahun 2013 7.9%, tahun 2014 7,16% dan tahun
2015 9%.4

c. Etiologi
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat
tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA).
Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24
Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi
nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang
disebut sebagai Koch Pulmonum (KP).2

Gambar 1. Micobacterium Tuberkulosa


Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) disebabkan oleh kuman
TBC (Mycobacterium tuberculosis) yang sebagian kuman TBC
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain. Kuman ini

23
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam
(BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi
dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama
beberapa tahun.2

d. Faktor Risiko
Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya tuberkulosis primer.
Penularan tuberkulosis primer dapat melalui 4 cara, yaitu:2
1. Faktor Infeksi
Droplet penderita TB saat orang dewasa batuk atau bersin, sejumlah
tetesan cairan (ludah) tersembur ke udara. Bila orang tersebut
menderita tuberkulosis paru, maka tetesan tersebut mengandung
kuman. Jika disekitar orang tersebut terdapat orang dewasa atau anak-
anak yang pada saat itu kekebalan tubuhnya menurun maka dengan
mudah akan terinfeksi atau tertular. Pada pasein dengan Koinfeksi-
HIV.
2. Faktor Lingkungan
Lingkungan yang tidak sehat, gelap dan lembab akan mendukung
perkembangbiakan basil Mycobacterium Tuberkulosis. Seperti
diketahui basil tuberkulosis merupakan BTA (Basil Tahan Asam)
yang dapat berkembangbiak apabila ada di ruangan yang gelap dan
lembab, akan mati jika terkena sinar matahari secara langsung. Jadi
kebersihan lingkungan perlu diperhatikan.
3. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi berkaitan dengan ketersediaan pangan yang kaya zat
gizi. Ekonomi juga menjadi faktor pendukung yang mempengaruhi
penyebab penularan tuberkulosis primer. Seorang ibu dengan
perekonomian rendah maka untuk mencukupi makanan bergizi untuk
tumbuh kembang anak susah, sehingga mereka hanya memberi

24
makanan apa saja tanpa mengetahui nilai gizinya. Padahal kita tahu
bahwa dengan mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi akan
bermanfaat bagi tumbuh kembang anak dan meningkatkan kekebalan
tubuh anak terhadap penyakit.
4. Pelayanan Kesehatan
Adanya penyakit tuberkulosis primer yang semakin tinggi prevalensi
di Indonesia maka pelayanan kesehatan yang harus ditingkatkan oleh
pemerintah, melihat penderita penyakit tersebut adalah anak-anak
yang masih dalam masa pertumbuhan membutuhkan perawatan
intensive. Apabila tingkat pelayanan kesehatan tidak optimal maka
akan mempengaruhi penyembuhan tuberkulosis primer dan bila
tingkat pelayanan kesehatan bekerja secara optimal maka laju
peningkatan penyakit tuberkulosis primer dapat ditekan seminimal
mungkin. Hal ini tidak lepas pula dari peran pemerintah dan
masyarakat dalam menanggapi segala macam penyakit agar tidak
terjadi angka kematian anak yang tinggi.

e. Patofisiologi
Paru merupakan port de entri lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat
kecil (<5um) akan terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian
kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis non spesifik, sehinggga tidak terjadi respon imunologis
spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh
kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Akan tetapi sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak didalam makrofag dan akhirnya
menyebabkan makrofag lisis.4
Selanjutnya kuman TB membentuk lesi primer di tempat tersebut
yang dinamakan fokus primer Ghon. Dari fokus primer Ghon, kuman TB

25
menyebar melalui saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di
lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer yang terletak di apex
paru yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary
complex).4
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknys kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa
inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses
infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2-12
minggu, biasanya bcrlangsung sclama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi
tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 10-101, yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular Pada saat
terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk,
yang dapat dikctahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif.4
Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian
besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem
imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti Akan tetapi,
sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam
alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular
mediated immunity, CMI).4
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis
atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi

26
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun
dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB. Kompleks
primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis
perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas) Kelenjar
limie hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus dapat terganggu.2
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil
(ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis.
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak
dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentub fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi.2
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular,
dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran
limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat
juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam
bentuk penyebaran hematogenik tersamar foccult hematogenic spread).
Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian

27
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan
kelenjar limie superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain
seperti otak, hati, tulang, injal, dan, lein-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula
dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus
Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.2
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenie spread).
Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam
darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman
TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun
(balita) terutama di bawah dua tahun. Bentuk penyebaran yang jarang
terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini
terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar
ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan
beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini
tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. 4

28
Gambar 2. Patogenesis TB

f. Manifestasi Klinis
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala
khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara
klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit
untuk menegakkan diagnosa secara klinik.5
1. Gejala Sistemik Utama5
a. Demam yang tidak terlalu tinggi dan berlangsung lama,
biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam.
Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat
hilang timbul.

29
b. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
c. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan
darah)
d. Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
2. Gejala khusus5
a. Tergantung dari organ mana yang terkena, bila terjadi
sumbatan sebagian bronkus akibat penekanan kelenjar getah
bening yang membesar akan menimbulkan suara “mengi”,
suara nafas melemah yang disertai sesak.
b. Kalau ada cairan di rongga pleura, dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
c. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi
tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan
bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar
cairan nanah.
d. Pada anak-anak dapat mengenai otak dan disebut meningitis,
gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran
dan kejang-kejang.

a) Tuberkulosis Primer
Gambaran klinis dari tuberkulosis primer mayoritas pada anak
yang terinfeksi relatif tidak bergejala. Dan bila terdapat gejala,
biasanya akan mulai Nampak 1-6 bulan sesudah terinfeksi. Kompleks
primer (fokus Ghon) mungkin tidak tampak di X- foto thorax.
Tuberkulosis primer terbagi atas: TBC paru-paru, TBC extra-thorax,
TBC neonatus.
Gejala klinis tuberkulosis primer pada anak:
1. Umum: Febris 39oC 1-2 mengigil (chiils), batuk lebih dari 2
minggu, anorexi, lesu, flu, tidak mau main seperti biasa.
2. Batuk produktif (beriak) & hemoptysis amat jarang
3. Pada X-foto Thorax (Pesan lateral, bila AP “normal”)

30
a. Limfadenopati pada hilum, mediastinum, leher
b. Infiltrat di segmen atau lobus, jarang konsolidasi
c. Atelektasis
d. Efusi plura: lebih sering pada remaja, nyeri dada
e. Motif milier: seperti “badai salju”

Gambar 3. Tuberkulosis Primer dengan Limfadenopati Para-tracheal

Gambar 4. Tuberkulosis Primer infiltrate di paru-paru kanan lobus atas, serta atelektasis

31
Gambar 5. Tuberkulosis Primer serta Efusi Pleura Kanan

Gejala klinis TBC milier pada anak:


- Biasanya terjadi 1-3 bulan sesudah infeksi
- Gejala awal: lemah, lesu, nyeri, kepala pusing, takikardia
- X-foto: banyak flek kecil di semua lobus, bagaikan “badai salju”

Gambar 6. Tuberkulosis Milier dengan kavitas di paru kanan lobus bawah

32
Gambar 7. Tuberkulosis Milier pada bayi yang berumur 10 bulan

Gambar 8. Tuberkulosis Milier pada remaja

b) TBC paru-paru sekunder/reaktivasi


TBC paru-paru sekunder umumnya terjadi pada remaja atau
pemuda. Gejala awalnya didahului dengan batuk kering yang kemudian
diikuti dengan keluarnya sputum mucus lalu mukopurulen, lalu bercampur
darah. Gejala ringan lainnya yang mungkin ada antara lain adalah malaise,
anoreksia, berat badan menurun, serta keringat malam. Pada gambaran X-
foto thorax dapat telihat adanya bayangan pada apex, lalu akan meluas

33
sampai konsolidasi lobus-lobus, hingga dapat terjadi pneumothorax, efusi
pleura, dan empyema.

Gambar 9. Tuberkulosis Sekunder dengan infiltrate dan kavitas di lobus atas


pada paru kanan

g. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk
menentuka diagnosis TB, baik pada anak maupun dewasa.
Pemeriksaan sputum pada anak terutama dilakukan pada anak berusia
lebih dari 5 tahun, HIV positif, dan gambaran kelainan paru luas.
Namun demikian, karena kesulitan pengambilan sputum pada anak
dan sifat pausibasiler pada TB anak, pemeriksaan bakteriologis selama
ini tidak dilakukan secara rutin pada anak yang dicurigai sakit TB.
Dengan semakin meningkatnya kasus TB resistan obat dan TB HIV,
saat ini pemeriksaan bakteriologis pada anak merupakan pemeriksaan
yang seharusnya dilakukan, terutama di fasilitas pelayanan kesehatan
yang mempunyai fasilitas pengmian sputum dan pemeriksaan
bakteriologis. Cara Mendapatkan sputum pada anak:5

34
a. Berdahak
Berdahak Anak usia 5 tahun atau lebih biasanya sudah dapat
mengeluarkan sputum secara langsung
b. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (nasogastric tube) dapat dilakukan
pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan
spesimen dikumpulkan minimal 2 hari berturut-turut pada pagi
hari.
c. Induksi sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untak dikerjakan pada
anak semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi
lambung, terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel.
Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan
pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melakukan metode
ini.
Beberapa pemeriksaan bakteriologis untuk TB
a. Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau spesimen lain (cairan
tubuh atau jaringan biopsi)
Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2 kali
yaitu sewaktu dan pagi hari
b. Tes cepat molekuler (TCM) TB
1) Saat ini beberapa teknologi baru telah dikembangkan untuk
dapat mengidentifikasi kuman Mycobacterum tuberculosis
dalam waktu yang cepat (kurang lebih 2 jam), antara lain
pemeriksaan Line Probe Assay (misalnya Hain GenoType)
dan NAAT- Nucleic Acid Amplification Test (misalnya
Xpert MTB/RIF).
2) Pemeriksaan TCM dapat digunakan untuk mendeteksi kuman
Mycobacterium tuberculosis secara molecular sekaligus
menentukan ada tidaknya resistensi terhadap Rifampicin
Pemeriksaan TCM mempunyai nilai diagnostik yang lebih

35
baik dari pada pemeriksaan mikroskopis sputum, tetapi masih
di bawah uji biakan. Hasil negatif TCM tidak menyingkirkan
diagnosis TB.
c. Pemeriksaan biakan
Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman
Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan biakan (dari
sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura
maupun biopsi jaringan). Pemeriksaan biakan sputum dan uji
kepekaan obat dilakukan jika fasilitas tersedia. Jenis media untuk
pemeriksaan biakan yaitu: 1) Media padat: hasil biakan dapat
diketahui 4-8 minggu 2) Media cair: hasil biakan bisa diketahui
lebih cepat (1-2 minggu), tetapi lebih mahal.
2. Uji tuberkulin
a. Uji tuberkulin bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis
TB pada anak, khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB
tidak jelas. Uji tuberkulin tidak bisa membedakan antara infeksi
dan sakit TB. Hasil positif uji tuberkulin menunjukkan adanya
infeksi dan tidak menunjukkan ada tidaknya sakit TB. Sebaliknya,
hasil negatif uji tuberkulin belum tentu menyingkirkan diagnosis
TB
b. Cara melakukan dan pembacaan hasil uji tuberkulin diuraikan
sccara rinci di lampiran.
c. Pemeriksaan laín untuk mengetahui adanya infeksi TB adalah
dengan Imunoglobulin Release Assay (IGRA). IGRA tidak dapat
membedakan antara infeksi TB laten dengan TB aktif. aunaannva
untuk deteksi infeksi TB tidak lebih unggul
3. Foto Thorak
Foto thorak merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak. Namun gambaran foto thorak pada TB tidak
khas kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis
yang menunjang TB adalah sebagai berikut:5

36
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
(visualisasinya selain dengan foto thorak AP, harus disertai foto
thorak lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifkasi dengan iniltrate
h. Tuberkuloma
4. Pemeriksaan Histopatologi (PA)
Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan
nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel
datia langhans dan atau kuman.5

h. Penegakan Diagnosis TB Anak


Secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarken pada 4 hal,
yaitu:4
1. Konfirmasi bakteriologis TB
2. Gejala klinis yang khas TB
3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat
dengan pasien TE)
4. Gambaran foto toraks sugestif TB Indonesia telah menyusun sistem
skoring untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak (Tabel
1).

Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tdak terlewat


dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaar penunjang
sederhana sehingga mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun
overdiagnosis TB. Sistem skoring ini diharapkan dapat diterapkan di
fasilitas pelayanan kesehatan primer tetapi tidak semua fasilitas pelayanan

37
kesehatan primer Indonesia mempunyai sarana untuk melakukan uji tubek
yang merupakan parameter pada sistem skoring. Oleh karena itu pada
fasilitas pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas atau dengan akses
yang sulit untuk pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks, diagnosis TB
pada anak dapat ditegakkan tanpa menggunakan sistem skoring seperti
pada alur diagnosis TB anak.
Alur diagnosis TB ini digunakan untuk penegakan diagnosis TB pada
anak yang bergejala TB baik dengan maupun kontak TB. Pada anak vang
tidak bergejala tetapi kontak dengan pasien TB dewasa, pendekatan tata
laksananya menggunakan alur investigasi kontak. Langkah awal pada alur
diagnosis TB adalah pengambilan dan pemeriksaan sputum :
1. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM, sesuai dengan
fasilitas yang tersedia) positif, anak didiagnosis TB dan diberikan
OAT.
2. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM) negatif atau
spesimen tidak dapat diambil, lakukan pemeriksaan uji tuberkulin dan
foto toraks maka:
a. Jika tidak ada fasilitas atau tidak ada akses untuk uji tuberkulin
dan foto toraks:
1) Jika anak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB menular,
anak capat didiagnosis TB dan diberikan OAT.
2) Jika tidak ada riwayat kontak, lakukan observasi klinis
selama 2- 4 minggu. Bila pada follow up gejala menetap,
rujuk anak untuk pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks
b. Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberkulin dan foto toraks, hitung
skor total menggunakan sistem skoring
1) Jika skor total > 6 diagnosis TB dan obati dengan OAT
2) Jika skor total < 6, dengan uji tuberkulin positif atau ada
kontak erat diagnosis TB dan obati dengan OAT
3) Jika skor total < 6, dan uji tuberkulin negatif atau tidak ada
kontak erat observasi gejala selama 2-4 minggu, bila

38
menetap, evaluasi ulang kemungkinan diagnosis TB atau
rujuk ke pelayanan kesehatan yang lebib tinggi.
Jika ditemukan salah satu keadaan dibawah ini, pasien dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan
1. Foto thorak menunjukkan gambaran efusi pleura atau milier
atau kavitas
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya
4. Kejang, kaku kuduk
5. Penurunan kesadaran
6. Kegawatan lain, sesak napas.

39
Tabel 1. Scoring TB anak9

 Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter


 Berat badan dinilai saat datang (moment opname)
 Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku
Puskesmas
 Foto Rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada TB Anak
 Semua anak dengan Reaksi Cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem
skoring TB Anak
 Didiagnosis TB bila jumlah skor >6, (skor maksimal 13)
 Pasien yang mendapat skor 5, dengan usia balita atau ada kecurigaan
TB yang kuat, rujuk ke
 RS untuk evaluasi lebih lanjut
 Profilaksis diberikan bila ada anak yang kontak dengan pasien TB
dewasa sputum BTA (+)
 namun evaluasi dengan sistem skoring nilainya <5.

Setelah dilakukan penilaian berdasarkan scoring dan


dijumlahkan terhadap keluhan dan pemeriksaan penunjang, dan
jumlahnya >6, maka didiagnosis TB dan selanjutnya mengikuti algoritme
di bawah ini.

40
i. Pencegahan4
1) Vaksinasi BCG
Pemberian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi
oleh basil tuberkulosis yang virulen. Imunitas timbul 6 – 8 minggu
setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap
sehingga masih mungkin terjadi super infeksi meskipun biasanya tidak
progresif dan menimbulkan komplikasi yang berat.
2) Kemoprofilaksis
- Kemoprofilaksis primer diberikan pada anak yang belum terinfeksi
(uji tuberkulin negatif) tetapi kontak dengan penderita TB aktif.
Obat yang digunakan adalah INH 5 – 10 mg/kgBB/hari selama 2 –
3 bulan.
- Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak dengan uji
tuberkulin positif tanpa gejala klinis, dan foto paru normal, tetapi
memiliki faktor resiko menjadi TB aktif, obat yang digunakan
adalah INH 5 – 10 mg/kgBB/hari selama 6 –12 bulan.
j. Tatalaksana
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan
cukup adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik
klinis maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak
merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila
dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologic tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.7
Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/ intensif (2
bulan pertama) dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar
pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2
bulan pertama) dan dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan
(4 bulan, kecuali pada TB berat). OAT pada anak dapat diberikan setiap
hari, baik pada intensif maupun tahap lanjutan.8
Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT
disediakan dalam bentuk paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk

41
satu masa pengobatan. Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif,
yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), sedangkan untuk
tahap lanjutan, yaitu Rifampisin dan isoniazid.9
Tabel 2. Dosis OAT
Nama Dosis (mg/kgBB/hari) Dosis maksimal
(mg/hari)

Isoniazid (INH) 10 (7-15) mg/kgBB/hari 300 mg/hari

Rifampisin (RIF) 15 (10-20) 600 mg/hari


mg/kgBB/hari

Pirazinamid (PZA) 35 (30-40) 2000 mg/hari


mg/kgBB/hari

Streptomisin (harus 15-40 mg/kgBB/hari 1250 mg/hari


parenteral)

Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari 1000 mg/hari

Paduan OAT disediakan dalam bentuk kombinasi dosis tetap = KDT. Tablet
KDT untuk anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu:
- Tablet RHZ yang merupakan kombinasi dari R (Rifampisin), H
(Isoniazid), dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.
- Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H
(Isoniazid) yang digunakan pada tahap lanjutan.
Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan
anak dan komposisi dari tablet KDT tersebut.

Tabel 3. Dosis KDT pada anak


Berat badan (KG) 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-7 1 Tablet 1 Tablet
8-11 2 Tablet 2 Tablet
12-16 3 Tablet 3 Tablet
17-22 4 Tablet 4 Tablet
23-30 5 Tablet 5 Tablet

42
>30 OAT Dewasa
Keterangan :
- Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg, pemberian secara terpisah
dirujuk kerumah sakit
- Anak dengan obesitas dosis KDT berdasarkan berat badan ideal sesuai
umur
- Anak dengan BB > 33 kg, disesuaikan dengan dosis dewasa
- Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
- OAT KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh atau digerus
- Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah, dimasukan air
dalam sendok
- Obat diberikan pada saat perut kosong atau paling cepat 1 jam setelah
makan
- Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
Bila paket KDT belum tersedia dapat digunakan paket OAT Kombipak anak
dosisnya.

Tabel 4. Dosis OAT Kombipak fase awal/intensif pada anak


Jenis obat BB <10 KG BB 10-20 KG BB 20-32 KG
(KOMBIPAK)
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Tabel 5. Dosis OAT Kombipak fase lanjutan pada anak


Jenis obat BB <10 KG BB 10-20 KG BB 20-32 KG
(KOMBIPAK)
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Tabel 6. Lama pemberian OAT

43
1. Rifampisin (R)
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang
tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik
melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum
makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin
diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis
maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari.
Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh
melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.
Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh,
termasuk cairan serebrospinal. Distribusi rifampisin ke dalam cairan
serebrospinal lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang
mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin
adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata
menjadi warna oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan
muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia
dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg.8,9
2. Isoniazid (H)
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman
intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan
tubuh, termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan asites, jaringan
kaseosa, dan memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid diberikan
secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg/kgBB/hari,
dosis maksimal 300 mg/hari dan diberikan dalam satu kali pemberian.
Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300
mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5 ml. Konsentrasi puncak di darah,
sputum, cairan serebrospinal dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan

44
menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu
ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan
neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak
terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan
bertambahnya usia. Bagi mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat
diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg
piridoksin setiap 100 mg isoniazid.8,9
3. Pirazinamid (Z)
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik
pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat ini
bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diabsorbsi
baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg/kgBB/hari dengan
dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 μg/ml tercapai dalam
waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid
sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah
kuman yang masih sangat banyak. Efek samping pirazinamid adalah
hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang
pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg.8,9
4. Etambutol (E)
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat
bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten.
Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya
resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20
mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gram/hari dengan dosis tunggal. Kadar
serum puncak 5 μg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk
tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa
dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari,
tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik
dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari

45
pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi
WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak,
etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25
mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan tuberkulosis
berat dan kecurigaan tuberkulosis resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak
tersedia atau tidak dapat digunakan. 8,9
5. Streptomisin (S)
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan
dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada
pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug
resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara intramuskular
dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram/hari, dan kadar
puncak 45-50 μg/ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik
melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput
otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada
jaringan dan cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan
utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap
isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama
streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung
(tinitus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga
perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat
merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli
berat. Efek samping yang mungkin juga terjadi adalah gangguan
pendengaran dan vestibuler. 8,9

Selain pemberian OAT, terapi lain yang dapat diberikan, antara lain:
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada kondisi:

46
a. TB meningitis
b. Sumbatan jalan napas akubat TB kelenjar (endobronkhial TB)
c. Perikarditis TB
d. TB milier dengan gangguan jalan napas yang berat
e. Efusi pleura TB
f. TB abdomen dengan asites
Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kg/hari,
sampai 4 mg/kg/hari pada kasus sakit berat, dengan dosus maksimal 60
mg/hari selama 4 minggu. Tappering-off dilakukan secara bertahap
setalah 2 minggu pemberian kecuali pada TB meningitis pemberian
selama 4 minggu sebelum tappering-off.8
2. Piridoksin
Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik,
terutama pada anak dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang
mendapatkan Anti Retroviral Therapy (ART). Suplementasi Piridoksin (5-
10 mg/hari) direkomendasikan pada HIV positif dan malnutrisi berat.9
3. Nutrisi
Status gizi pada anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan
pengobatan TB. Malnutrisi berat meningkatkan risiko kematian pada anak
dengan TB. Penilaian status gizi harus dilakukan secara rutin selama anak
dalam pengobatan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat badan,
tinggi, lingkar lengan atas atau pengamatan gejala dan tanda malnutrisi
seperti edema atau muscle wasting.
Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan selama
pengobatan. Jika tidak memungkinkan dapat diberikan suplementasi
nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat di atasi. Air susu ibu tetap
diberikan jika anak masih dalam masa menyusui.

Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur:


1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau >2 bulan di
fase lanjutan dan menunjukan gejala TB, ulangi pengobatan dari awal.

47
2. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau < 2bulan di
fase lanjutan dan menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan
sampai selesai.

Pemantauan dan hasil evaluasi TB anak:


1. Pemantauan pengobatan pasien TB anak
Pasien TB anak harus dipastikan minum obat setiap hari secara
teratur oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Orang tua merupakan PMO
terbaik untuk anak. Pasien TB anak sebaiknya dipantau setiap 2 minggu
selama fase intensif, dan sekali sebulan pada fase lanjutan. Pada setiap
kunjungan dievaluasi respon pengobatan, kepatuhan, toleransi dan
kemingkinan adanya efek samping obat.8
Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis membaik
(demam menghilang dan batuk berkurang), nafsu makan meningkat dan
berat badan meningkat. Jika respon pengobatan tidak membaik maka
pengobatan TB tetap dilanjutkan dan pasien dirujuk ke sarana yang lebih
lengkap untuk menilai kemungkinan resistensi obat, komplikasi,
komordibitas, atau adanya penyakit paru lain. Pada pasien TB anak dengan
basil BTA positif pada awal pengobatan, pemantauan pengobatan
dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang pada akhir bulan
ke-2, ke-5 dan ke-6.8
Perbaikan radiologis akan terlihat dalam jangka waktu yang lama
sehingga tidak perlu dilakukan foto thoraks untuk pemantauan pengobatan,
kecuali pada TB milier setelah pengobatan 1 bulan dan efusi pleura setelah
pengobatan 2-4 minggu. Demikian pun pemeriksaan uji tuberkulin karena
uji tuberkulin yang positif akan tetap positif,
Dosis OAT disesuaikan dengan penambahan berat badan. Pemberian
OAT dihentikan setelah pengobatan lengkap, dengan melakukan evaluasi
baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto thoraks (pada
TB milier, TB dengan kavitas, efusi pleura). Meskipun gambaran
radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila

48
dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan
dan pasien dinyatakan selesai. Kepatuhan minum obat dicatat
menggunakan kartu pemantauan pengobatan.9
2. Hasil akhir pengobatan pasien TB anak
Tabel 7. Hasil akhir pengobatan TB
Hasil
Definisi
pengobatan
Sembuh Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis
positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan dan pada salah satu
pemeriksaan sebelumnya menjadi negatif.
Pengobatan Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum
akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada
bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir
pengobatan.
Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama pengobatan atau kapan saja apabila selama
dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang
menunjukkan adanya resistensi OAT.
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apa pun sebelum
memulai atau sedang dalam pengobatan.
Putus berobat Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau
yang pengobatannya terputus selama 2 bulan terus
menerus atau lebih.
Tidak Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir
dievaluasi pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah
“pasien pindah (transfer out)” ke kabupaten/kota lain
dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh
kabupaten/kota yang ditinggalkan.

49
k. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul antara lain :10

 TB milier
 Meningitis TB
 Efusi pleura
 Pneumotoraks
 Bronkiektasis
 Atelektasis

50
l. Prognosis
Dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, lamanya
mendapat infeksi, keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi keluarga,
diagnosis dini, pengobatan adekuat dan adanya infeksi lain seperti morbili,
pertusis, diare yang berulang dan lain-lain.1
1. Umur penderita.
2. Jenis kuman penyebab
3. Berat ringan infeksi
4. Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
5. Kepekaan kuman terhadap antibiotik yang diberikan
6. Adanya dan penanganan penyakit.
Prognosis yang buruk terjadi pada bayi, lanjut usia, pasien malnutrisi, dan
pasien dengan penyakit yang menular

2. Drug Induced Hepatitis


a. Definisi
Hepatitis adalah kelainan hati berupa peradangan (sel) hati.
Peradangan ini ditandai dengan peningkatan kadar enzim hati.
Peningkatan ini disebabkan adanya gangguan atau kerusakan membran
hati. Ada dua faktor penyebabnya yaitu faktor infeksi dan faktor non
infeksi.
Faktor penyebab infeksi antara lain virus hepatitis dan bakteri. Selain
karena virus Hepatitis A, B, C, D, E dan G masih banyak virus lain yang
berpotensi menyebabkan hepatitis misalnya adenoviruses, CMV, Herpes
simplex, HIV, rubella, varicella dan lain-lain. Sedangkan bakteri yang
menyebabkan hepatitis antara lain misalnya bakteri Salmonella typhi,
Salmonella paratyphi, tuberculosis.
Faktor non-infeksi misalnya karena obat. Obat tertentu dapat
mengganggu fungsi hati dan menyebabkan hepatitis. Drug-induced
hepatitis (DIH) / Drug-induced liver injury (DILI) dapat diartikan sebagai
kerusakan hepatik yang diinduksi oleh obat kimiawi atau herbal yang

51
menyebabkan disfungsi hati atau abnormalitas pada tes fungsi hati
(peningkatan ALT/AST >3x batas normal dan/atau kenaikan bilirubin >2x
batas normal) dengan ekslusi dari penyebab-penyebab lainnya (hepatitis
viral, alkohol, tumor, dll).  Drug-induced hepatitis dapat dibagi menjadi
tipe intrinsik dan idiosinkratik.
Tipe intrinsik biasanya tergantung dosis dan dapat diprediksi (mis.
keracunan paracetamol), sementara tipe idiosinkratik tidak tergantung
langsung ke dosis obatnya dan lebih sulit diprediksi.12

b. Epidemiologi
Drug-induced hepatitis tipe idiosinkratik merupakan kasus yang
tidak terduga dan dapat tidak teridentifikasi pada pemeriksaan
preklinis maupun klinis. Untuk sebagian besar obat yang beredar,
drug-induced hepatitis tipe idiosinkratik ini diperkirakan terjadi
pada 1 diantara 10.000 hingga 100.000 orang yang terpapar obat-
obatan tersebut.12 Untuk pasien anak sendiri, sekitar 5% dari
kasus gagal hati akut pada anak disebabkan oleh obat-obatan selain
acetaminophen. Obat-obatan yang diduga sebagai penyebabnya
beragam, mulai dari antibiotik, antikonvulsan, psikoaktif, dan
lainnya.13
Di Amerika serikat, dari sebuah studi prospektif yang dilakukan
antara tahun 2004-2009 pada 30 orang pasien anak berumur 2-18
tahun dengan dugaan  Drug-induced hepatitis, didapat agen
penyebab terbanyak yaitu antimikroba (minosiklin, isoniazid, dan
azithromycin) dan obat SSP (atomoxetine dan lamotrigine). Dari
seluruh pasien, 2 orang tetap menunjukkan abnormalitas pada
follow-up test fungsi heparnya hingga 6 bulan kemudian,
menandakan terjadinya penyakit hati kronis.14
Sedangkan di India, dari studi terhadap 39 anak usia 2-17 tahun
dari tahun 1997-2004 dan 2005-2010, didapatkan penyebab
terbanyak dari drug-induced hepatitis yaitu OAT (INH, rifampisin,

52
pirazinamid), phenytoin, dan carbamazepine. 16 dari 39 anak pada
studi ini juga menunjukkan gejala hipersensitivitas obat seperti
ruam kemerahan, demam, limfadenopati, dan/atau eosinofilia.15
Selain itu, penelitian lain oleh Devarbhavi et al menunjukkan bahwa
42-63% individu yang mengalami drug-induced
hepatitis sebetulnya tidak memerlukan obat anti TB dan hanya
diterapi secara empiris untuk suspek tuberculosis.16

53
c. Etiologi
Cedera hati dapat dapat disebabkan oleh inhalasi, ingesti atau
pemberian secara parenteral dari sejumlah obat farmakologis dan
bahan kimia. Terdapat kurang lebih 900 jenis obat, toksin dan
herbal yang telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan pada
sel-sel hati12. Beberapa diantaranya seperti pada tabel 7 dibawah ini
merupakan penyebab paling sering dari Drug Induced Liver Injury.
Tabel 8. Obat-obat yang telah dilaporkan dapat menyebabkan Drug-Induced Liver Injury17

d. Patogenesis
Metabolisme Obat di Hati
Metabolisme obat merupakan proses dimana molekul obat
diubah secara kimiawi, biasanya menjadi metabolit polar dengan
tingkat solubilitas air yang meningkat untuk memudahkan eliminasi
di urin atau empedu. Metabolisme obat di hati dibagi menjadi 2
fase: fase 1 dan fase 2.19

54
Pada fase 1, molekul obat akan mengalami perubahan struktur.
Enzim sitokrom P450 merupakan katalis yang paling dominan pada
fase ini. Enzim ini akan mengonversi molekul obat menjadi
metabolit yang lebih polar (hidrofilik) melalui proses oksidasi,
reduksi, atau hidrolisis. Di hepatosit, enzim ini berada di retikulum
endoplasma halus. Metabolit yang dihasilkan pada fase ini bisa
cukup larut air untuk langsung dieliminasi atau membentuk substrat
untuk enzim fase 2.19
Fase 2 meliputi konjugasi dari grup ion (seperti glutathion,
glucoronosil, asetil, dll) yang disebut transferase dengan molekul
obat. Hasil dari konjugasi yaitu metabolit yang inaktif secara
farmakologik dan hidrofilik sehingga bisa dieksresi sekaligus
mengurangi efek toksik dari metabolit reaktif yang dihasilkan di
fase 1.19

Mekanisme Drug-Induced Hepatitis di Hati17,20


Patogenesis dari drug-induced hepatitis dapat terjadi melalui 3
fase. Pada fase pertama, komponen obat atau metabolit reaktifnya akan
menimbulkan kerusakan awal melalui 3 cara:
1. Toksisitas dari metabolit obat akan memicu stress pada sel dan
mengaktifkan protein pro-apoptosis yang akan merusak permeabilitas
membran mitokondria.
2. Metabolit obat akan merusak mitokondria melalui penginhibisian
proses beta oksidasi, yaitu proses katabolik dimana asam lemak
diubah menjadi asetil KoA, NADH, dan FADH2. Hal ini akan
menimbulkan penumpukan lipid dalam sel yang menghambat fungsi
respirasi sel dan menurunkan produksi ATP.
3. Metabolit obat berikatan dengan protein karier dan membentuk hapten
yang immunogenik atau berikatan langsung dengan reseptor imun sel
T dan menimbulkan reaksi imun yang dimediasi sel T. Reaksi imun
ini juga akan mengaktifkan death-inducing signalling complex,

55
kompleks protein yang akan menginisiasi terjadinya apoptosis, dengan
cara meningkatkan sensitivitas dari TNF-alfa sebagai pemicunya.

Pada fase kedua, kerusakan dari mitokondria akan meningkatkan


permeabilitas membran mitokondria yang menyebabkan molekul-molekul
kecil masuk kemitokondria, mengubah osmolaritas, dan membuat
mitokondria membengkak. Pembengkakan ini menyebabkan ruptur pada
membran dan keluarnya protein sitokrom C dari mitokondria.
Fase ketiga yaitu kematian sel hepatosit akibat apoptosis atau
nekrosis. Apoptosis terjadi apabila masih ada produksi ATP di
mitokondria. Sitokrom C yang keluar dari mitokondria akan menggunakan
sisa ATP untuk menginisiasi kaskade apoptosis. Bila tidak ada lagi sisa
ATP di mitokondria, sel akan mengalami nekrosis melalui proses autolisis.

56
Gambar 10. Model 3 langkah dari terjadinya drug-induced hepatitis17

e. Faktor Risiko
Faktor risiko dari drug-induced hepatitis dapat dibagi menjadi 2
yaitu genetik dan non-genetik.

57
 Non-Genetik
1. Umur
Umur merupakan faktor resiko untuk terjadinya drug-induced
hepatitis bagi beberapa jenis obat. Usia muda merupakan faktor
risiko bagi obat seperti asam valproate ataupun sindrom reye
akibat pemakaian aspirin. Risiko hepatotoksisitas akibat isoniazid
juga bertambah seiring dengan usia.16,18
2. Jenis Kelamin
Wanita dipercaya memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena  drug-
induced hepatitis tipe idiosinkratik, berdasarkan prevalensinya
yang lebih tinggi pada studi yang telah dilakukan mengenai
penyakit ini.18
3. Malnutrisi
Sebuah studi oleh Singla et al dan Sharma et al menunjukkan
bahwa hipoalbuminemia dapat menjadi marker dari malnutrisi
serta faktor risiko untuk terjadinya drug-induced hepatitis, dimana
pasien dengan hipoalbuminemia (<3,5 mg/dl) dalam pengobatan
TB memiliki risiko 3x lebih tinggi menderita drug-induced
hepatitis.16
4. Gangguan Penyerta Lain
Adanya penyakit hati sebelumnya seperti penyakit hati kronis atau
perlemakan hati non-alkoholik dapat meningkatkan resiko
terjadinya hepatotoksisitas akibat obat. Pasien dengan HIV yang
juga terinfeksi dengan hepatitis B atau C juga memiliki
peningkatan risiko terjadinya drug-induced hepatitis dari terapi
antiretroviral atau obat TB.16,18
5. Dosis Harian
Meskipun drug-induced hepatitis tipe idiosinkratik dipercaya tidak
bisa diprediksi berdasarkan dosis, namun dari beberapa studi dan
laporan kasus ditemukan bahwa pasien yang mendapat dosis obat

58
>50 mg/hari untuk memiliki resiko lebih tinggi terkena drug-
induced hepatitis untuk beberapa jenis obat.18
6. Interaksi Obat
Beberapa obat dapat meningkatkan potensi hepatotoksik obat
lainnya dengan cara menginduksi sitokrom P450 dan
meningkatkan produksi metabolit reaktif yang bersifat
hepatotoksik, misalnya pada penggunaan bersamaan asam
valproate dan antikonvulsan lainnya.18
 Genetik
1. Variasi Pada Fase 1
Fase 1 merupakan fase dimana metabolit reaktif yang toksik
dibentuk oleh enzim sitokrom p450. Beberapa famili dari enzim
sitokrom p450 ditemukan memiliki variasi pada kerjanya pada tiap
individual, dimana penurunan kerja enzim tertentu berisiko
mengakibatkan drug-induced hepatitis  akibat penumpukan dari
metabolit toksik di hati. CYP2D6 merupakan enzim yang
memetabolisme opiat, antidepressan, beta-bloker, dan agen anti-
aritmia. Polimorfisme dari enzim ini telah dikatikan dengan
hepatotoksisitas dari obat perhexiline dan chlopromazine.17,18
2. Variasi Pada Fase 2
Pada fase 2, metabolit reaktif akan dikonjugasi dan didetoksifikasi
oleh grup transferase sehingga variasi kerja dari transferase ini
berisiko meningkatkan timbulnya drug-induced hepatitis. NAT2
(N- acetyl transferase 2) merupakan enzim polimorfik yang bekerja
untuk mendetoksifikasi obat-obat seperti isoniazid dan sulfonamid.
NAT2*4 memiliki kecepatan detoksifikasi paling tinggi, sedangkan
NAT2*5, NAT2*6, NAT2*7 memiliki kecepatan detoksifikasi
yang rendah sehingga beresiko menimbulkan hepatotoksisitas dari
obat isoniazid atau sulfonamid.18,21,22

59
3. Human Leukocyte Antigen (HLA)
Sistem HLA memiliki peran penting dalam memediasi reaksi imun,
sehingga variasi pada gen ini dapat meningkatkan efek kerusakan
pada drug-induced hepatitis  yang disebabkan oleh jalur ekstrinsik.
Salah satu variasi genotipe HLA, HLA-B*5701, telah diketahui
sebagai faktor risiko pada kejadian drug-induced hepatitis akibat
fluoxacilin. Hubungan antara gen HLA kelas II dengan drug-
induced hepatitis akibat obat TB juga telah dilaporkan yaitu HLA-
DRB1*03 untuk isoniazid, HLA-DQA1*0102 untuk rifampicin,
dan HLA-DQB1*0201 untuk etambutol.17,18

f. Manifestasi Klinis
Manifestasi dari drug-induced hepatitis sangat bervariasi, mulai dari

peningkatan enzim hati yang asimtomatik hingga gagal hati fulminan.


Gejala klinis yang tampak biasanya tergantung dari obat penyebabnya.
Gejala ini dapat menyerupai gangguan hati lain seperti hepatitis akut,
hepatitis kronis, cholestasis akut, fatty liver disease, dll.12,13

Gam
bar 11. Gejala klinis dari drug-induced hepatitis dan obat penyebabnya

Pola kerusakan akibat


drug-induced hepatitis dapat dibagi menjadi 3
jenis : hepatoselular, cholestasis, dan campuran. Pola ini dapat dilihat

60
dengan memeriksa nilai R, yaitu (nilai ALT/batas atas normal) : (nilai
alkali fosfatase/batas atas normal).23
1. Nilai R>= 5 menandakan kerusakan hepatoselular. Pasien dengan
kerusakan jenis ini tidak memiliki gejala khas dan tidak selalu tampak
ikterik. Biasanya pasien ini juga menampakkan gejala alergi obat,
seperti demam, ruam kulit, atau eosinofilia. Pemeriksaan fungsi hati
akan menampakkan peningkatan ALT/AST, sedangkan pemeriksaan
histologi hati akn menunjukkan inflamasi dan nekrosis hepatosit
dengan inflitrasi eosinofil.23
2. Nilai R=< 2 menandakan adanya kerusakan bilier. Tipe ini dibagi lagi
menjadi 2 subtipe : kanalikular dan hepatokanalikular. Tipe
kanalikular ditandai dengan gejala ikterik dan pruritus dengan
peningkatan bilirubin direk, alkali fosfatase, dan gamma glutamyl
transferase, dengan gambaran histologi berupa kolestasis hepatosit dan
pelebaran kanal bilier. Tipe hepatokanalikuler memiliki gejala demam
dan nyeri perut, mirip dengan obstruksi bilier akut. Histologi hati
menunjukkan inflamasi portal dan nekrosis hepatosit, dengan
kolestasis pada centrilobular.23
3. Nilai 2<R<5 menandakan kerusakan campuran dengan gambaran
klinis dan biologi antara tipe hepatoselular dan kolestasis. Reaksi
alergi juga sering tampak, dengan reaksi granulomatosa terlihat pada
pemeriksaan biopsi hati.23

g. Penegakan Diagnosis
Diagnosis dari
drug-induced hepatitis ditegakkan dengan
mengeksklusi kemungkinan gangguan hati lainnya melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang detil, pemeriksaan lab, pencitraan hepatobilier,
biopsi hati (bila diindikasikan), dan penilaian kausalitas.24
1. Anamnesis & Pemeriksaan Fisik
Pada anamnesis, perlu dicari riwayat paparan obat-obatan yang
akurat serta onset awal dan perjalanan dari kelainan yang tampak.

61
Biasanya, onset dari drug- induced hepatitis terjadi dalam 6 bulan
pertama setelah memulai obat baru, kecuali pada obat-obatan tertentu
yang memerlukan paparan yang lebih lama sebelum menampakkan
gejala (mis. nitrofurantoin, minosiklin, statin). Selain itu, perlu dicari
juga riwayat reaksi obat sebelumnya, riwayat gangguan hati
sebelumnya, serta riwayat konsumsi alkohol.24
Pemeriksaan fisik biasanya menampakkan gambaran mirip
gangguan hati lain (ikterik, demam, hepatomegali, nyeri tekan hati,
atau gambaran penyakit hati kronis).24
2. Pemeriksaan Laboratorium dan Pencitraan
Pemeriksaan fungsi hati diperlukan untuk melihat perjalanan
abnormalitas enzim hati, terutama bila obat yang diduga sebagai
penyebab telah dihentikan, dan untuk menentukan nilai R sehingga
dapat diketahui pola kerusakan hatinya. Untuk kerusakan tipe
hepatoselular, Hepatitis marker dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan hepatitis akut, sedangkan autoantibodi serum dan IgG
dapat diperiksa bila ada gejala hipersensitivitas (demam, ruam kulit,
urtikaria, dan eosinofilia) atau tanda-tanda autoimunitas lain (anemia
hemolitik, glomerulonefritis, dll).23,24
Untuk kerusakan tipe kolestatik, diagnosis bandingnya yaitu

kelainan pankreatikobilier yang bisa ekstrahepatik atau intrahepatik.

Kelainan ekstrahepatik seperti choledocolithiasis atau malignansi bisa


diekslusikan dengan pemeriksaan pencitraan abdominal seperti USG,
CT-scan, atau MRI. Kelainan intrahepatik yang menyerupai drug-
induced hepatitis perlu diekslusi berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik (sepsis, gagal jantung), tes serologis (anti-
mitochondrial antibody untuk sirosis bilier primer), atau pencitraan
(sclerosing cholangitis).23,24
3. Biopsi Hati

62
Biopsi hati bukan merupakan pemeriksaan yang mandatorik

dilakukan pada kasus


drug-induced hepatitis, namun dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan pada kejadian seperti :24
 Bila hepatitis autoimun menjadi satu-satunya diagnosis banding
yang tersisa dan pasien dipertimbangkan mendapat terapi
imunosupresif.
 Bila enzim hati terus naik atau tanda kerusakan hati yang makin
memburuk meskipun agen yang diduga sebagai penyebab sudah
dihentikan.
 Bila nilai ALT tidak menurun >50% setelah 30-60 hari atau AP
tidak menurun >50% setelah 180 hari meskipun agen yang diduga
sebagai penyebab sudah dihentikan.
 Pada kasus drug-induced hepatitis dimana penggunaan obat
penyebab perlu diteruskan.
 Bila abnormalitas nilai enzim hati terus tampak hingga 180 hari
untuk mengevaluasi adanya penyakit hati kronis.
4. Penilaian Kausalitas
RUCAM (Roussel Uclaf Causality Assessment Method) adalah
alat penilaian standard untuk menilai probabilitas suatu obat sebagai
penyebab dari drug-induced hepatitis. Sistem ini tidak bisa dipakai
sebagai alat diagnosis satu-satunya, namun sebagai bimbingan untuk
mengevaluasi pasien dengan dugaan drug-induced hepatitis. Sistem
skoring ini dibagi menjadi tipe hepatoselular dan tipe kolestatik
dengan campuran. Poin-poin lalu ditambah atau dikurangi berdasarkan
onset gejala, waktu hingga nilai enzim hati kembali normal,
faktor risiko, obat penyerta, diagnosis banding, dan hasil re-
challenge. Skor akhirnya kemudian dibagi menjadi 5 hasil yaitu
"disingkirkan" (skor <=0), "kurang mungkin" (1-2), "mungkin" (3-5),
"berpotensi" (5-8), "pasti" (>8).23,24,25

63
Gambar 12. Roussel Uclaf Causality Assessment Method untuk penilaian drug-induced
hepatitis

64
h. Penatalaksanaan
Pada pasien dengan dugaan drug-induced hepatitis, terutama
dengan kenaikan nilai enzim hati atau terdapat tanda-tanda
disfungsi hati, agen yang diduga sebagai penyebab harus dihentikan.
Terapi lainnya biasanya bersifat suportif dan tergantung dari gejala
yang tampak.24,25
N-Acetylcystein bisa diberikan pada pasien dengan drug-
induced hepatitis akibat acetaminofen. Dari beberapa penelitian,
penggunaanya pada drug-induced hepatitis akibat obat lain
memberikan tingkat survival yang lebih tinggi dibanding dengan
pasien yang tidak mendapat NAC. Namun, penelitian mengenai
pemberian NAC pada pasien anak justru memberikan tingkat
survival yang lebih rendah dan tidak direkomendasikan diberikan
NAC IV pada pasien anak dengan drug-induced hepatitis. Terapi
khusus lain yang dapat diberikan pada pasien dengan drug-induced
hepatitis yaitu L-carnitine untuk drug-induced hepatitis akibat
valproate, dan asam ursodeoxycholic untuk gejala kolestasis,
namun, data mengenai efikasinya masih terbatas.24,25
Penderita diberi diet 2500-3000 kalori, 70-100 g protein dan
400-500 g karbohidrat sehari. Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat
diberikan kortikosteroid, meskipun belum ada bukti penelitian
klinis dengan kontrol, kemungkinan kortikosteroid ini mensupresi
gejala sistemik yang berhubungan dengan hipersensitivitas atau
reaksi alergi. Demikian pula dengan penggunaan ursodioksikolat
pada keadaan kolestatik. Pada obat-obatan tertentu seperti
amoksisilin asam-klavulanat dan fenitoin berhubungan dengan
sindrom dimana kondisi pasien memburuk dalam beberapa
minggu sesudah obat dihentikan, dan perlu waktu berbulan-bulan
untuk sembuh seperti sedia kala. Kecuali penggunaan N-
asetilsistein untuk keracunan asetaminofen, tidak ada antidotum
spesifik terhadap hepatitis imbas obat.26

65
Pengobatan yang diberikan ini antara lain:
1. Pengobatan suportif. Pasien dengan gejala yang berat
membutuhkan untuk menerima pengobatan suportif di rumah
sakit, antara lain cairan intravena dan obat-obatan untuk
menghilangkan mual dan muntah.
2. Transplantasi hati. Ketika fungsi hati sangat menurun (drug
induced fulminant hepaticinjury), transplantasi hati mungkin
satu-satunya pilihan terapi15. Terapi awal untuk transplantasi
hati penting untuk disadari. Skor  Model for End-Stage Liver
Disease dapat dipergunakan untuk mengevaluasi prognosis
jangka pendek, skor ini dapat dipergunakan pada orang
dewasa dengan penyakit hati tahap akhir. Parameter yang
dipergunakan adalah kreatinin serum, bilirubin total, INR
(International Normalized Ratio). Kriteria lain yang umumnya
dipergunakan untuk transplantasi hati adalah kriteria  Kings
College. Kriteria  Kings College untuk transplantasi hati pada
kasus toksisitas asetaminofen:
 pH darah kurang dari 7,3 ( tanpa melihat grade
ensefalopati)
 Prothrombin time (PT) lebih besar dari 100 detik atau
INR > 7,7
 Konsentrasi serum kreatinin lebih besar dari 3,4 mg/dL
pada pasien dengan ensefalopati derajat III atau IV

Pengukuran laktat serum pada 4 dan 12 jam pertama juga


membantu detifikasi awal pasien yang memerlukan
transplantasi hati. Kriteria Kings College untuk transplantasi
hati pada kasus hepatotoksisitas imbas obat yang lain15 :
 PT > 100 detik (tanpa memandang derajat ensefalopati)
atau
 3 dari kriteria di bawah ini :

66
1. Usia < 10 tahun dan > 40 tahun.
2. Etiologi Non-A/Non-B hepatitis, halotan hepatitis,
atau reaksi obat idiosinkrasi
3. Durasi ikterik lebih dari 7 hari sebelum onset
ensefalopati.
4. PT lebih besar dari 50 detik.
5. Konsentrasi bilirubin serum lebih besar dari 17
mg/dL.

i. Prognosis
Sebagian besar pasien drug-induced hepatitis  akut yang
simptomatik dapat sembuh dengan terapi suportif setelah obat
penyebabnya dihentikan. Prognosis dari tiap pasien tergantung dari
tingkat kerusakan hati saat datang pertama kali. Sebagai contoh,
pasien dengan drug-induced hepatitis dan koagulopati (INR>1,5)
dan encefalopati memiliki prognosis yang buruk tanpa mendapat
transplantasi hati. Selain itu, lama pemakaian obat penyebab
sebelum dihentikan serta kerusakan hati tipe kolestatik juga
berpengaruh pada risiko perkembangan penyakit menjadi kronis.
Sebuah observasi dari dr. Hyman Zimmerman pada tahun 1978
menemukan bahwa pasien dengan ikterik yang disebabkan oleh obat
(bilirubin total >2x batas normal / nilai ALT/AST >3x normal)
memiliki tingkat mortalitas sebesar 10%.23,24,25
j.

67
DAFTAR PUSTAKA

1. Dudeng, donates.,A.Rani., Dibyo P., 2006.Faktor – faktor yang


berhubungan dengan tuberkulosis pada anak, Jurnal Berita Kedokteran
Masyarakat, vol.22.no 2 Juni 2006
2. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis, Kementerian Kesehatan RI, 2014
3. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Penerapan Terapi HIV pada Anak.
Indonesia: kemenkes RI, 2014
4. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Manajemen TB anak.
Kementerian Kesehatam RI, 2014
5. Suradi, Diagnosis dan Pengobatan TB Paru. Dalam : Kumpulan Naskah
Temu Ilmiah Respirologi. 2001.Surakarta : Lab. Paru FK UNS
6. Tuberculosis: A chomprehensive Clinical Reference, India: Elsevier;
2009.
7. Widjanarko, B., Gompelmen, M., Dijkers, M., & Van der Wers M. J..
Factors That Influence Treatment Adherence of Tuberculosis Patients
Living in Java, 2009. Indonesian. Dove Medical Press
8. World Health Organization. Guidance for National Tuberculosis
Programmes on the Management of Tuberculosis in Children. 2 nd edition.
Geneva, Switzerland: WHO, 2014
9. WHO. Global Tuberculosis Control: WHO report 2013. Geneva,
Switzerland: WHO, 2013.
10. Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
12. Jakarta : EGC.
11. Aziza, G Icksan dan Reny, Luhur. 2008. Radilologi Toraks Tuberkulosis
Paru. Jakarta: CV. Sagung Seto.
12. Bjornsson,E.  Review article: drug-induced liver injury in clinical
practice. Aliment Pharmacol Ther 2010; 32: 3 –1  3.

68
13. Squires et al.  Acute Liver Failure in Children: The First 348
Patients in The Pediatric Acute Liver Failure Study Group. J
Pediatr. 2006 May ; 148(5): 652 –6  58.
14. Molleston et al. Characteristics of Idiosyncratic Drug-induced
Liver Injury in Children: Results From the DILIN Prospective
Study. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2011 August ; 53(2): 182 –1  89.
15. Devarbhavi et al. Drug-Induced Liver Injury With Hypersensitivity
Features Has a Better Outcome: A Single-Center Experience of 39
Children and Adolescents. HEPATOLOGY, Vol. 54, No. 4, 2011.
16. Devarbhavi,H.  Antituberculous drug-induced liver injury: current
perspective. Tropical Gastroenterology 2011;32(3):167 –1  74.
17. Russmann S.; Jetter A.; Kullak-Ublick G.A.; Pharmacogenetics of
Drug-Induced Liver Injury. HEPATOLOGY, Vol. 52, No. 2, 2010.
18. Bjornsson E.;Chalasani N.;  Risk Factors for Idiosyncratic Drug-
Induced Liver Injury. Gastroenterology. 2010 June ; 138(7):
2246 – 2259.
19. Liddle, Christopher and Stedman, Catherine A.M.  Hepatic
metabolism of drugs. The Textbook of Hepatology: From Basic
Science to Clinical Practice, 3rd Edition, July 2007, Section 2.3.15.
20. Russmann et al. Current Concepts of Mechanisms in Drug-Induced
Hepatotoxicity. Current Medicinal Chemistry, 2009, 16, 3041-3053.
21. Raquel Lima de Figueiredo Teixeira et al. Genetic polymorphisms
of NAT2, CYP2E1 and GST enzyme and the occurrence of
antituberculosis drug-induced hepatitis in Brazilian TB patients.
Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, Vol. 106(6): 716-724,
September 2011.
22. Bjornsson E.;Chalasani N.;Ghabril M.; Drug-induced liver injury:
a clinical update. Curr Opin Gastroenterol. 2010 May ; 26(3):
222 – 226.
23. Andrade RJ, Robles M, Fernández-Castañer A, López-Ortega S,
López-Vega MC, Lucena MI. Assessment of drug-induced

69
hepatotoxicity in clinical practice: A challenge  for
gastroenterologists. World J Gastroenterol 2007; 13(3):329-340.
24. Chalasani et al.  ACG Clinical Guideline: The Diagnosis and
Management of Idiosyncratic Drug-Induced Liver Injury. Am J
Gastroenterol advance online publication, 17 June 2014.
25. Ki Tae Suk, et al. Drug-induced liver injury: present and future.
Clinical and Molecular Hepatology 2012;18:249-257.
26. Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI.
Jakarta. 2006.

70

Anda mungkin juga menyukai