“RENAL EMERGENCY”
Disusun oleh:
Pembimbing
2020
i
HALAMAN PENGESAHAN
Renal Emergency
Disusun oleh:
Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Jumat, 14 Mei 2020
Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,
ii
DAFTAR ISI
HAL
HALAMAN SAMPUL ........................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................ 1
1.1 Epidemiologi ........................................................ 1
1.2 Etiologi, Patogenesis, & Faktor ........................................................ 2
Predisposisi
1.3 Manifestasi Klinis & Klasifikasi ........................................................ 7
1.4 Penegakan Diagnosis ........................................................ 11
BAB II TATALAKSANA ........................................................ 18
BAB III DIAGNOSIS BANDING ........................................................ 24
KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
BAB IV PENCEGAHAN ........................................................ 28
BAB V PENUTUP ........................................................ 29
REFERENSI ........................................................ 31
iii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. EPIDEMIOLOGI
I.1.1. AKI (Acute Kidney Injury)
Beberapa laporan dunia menunjukkan insiden yang bervariasi antara 0,5-
0,9% pada komunitas, 7% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 36-
67% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dan 5-6% Pasien
ICU dengan AKI memerlukan Terapi Penggantian Ginjal ( TPG atau Replacement
Renal Therapy (RRT)). Data epidemiologi AKI di Amerika adalah 557 / 100.000
dengan mortalitas selama 90 hari adalah 25.6%.1,2
1
I.1.2. CKD (Chronic Kidney Disease)
Epidemiologi CKD di Amerika dengan tingkat mortalitas yang cukup
tinggi, diatas 100 orang per 1000 pasien per tahun. Menurut National Institute of
Diabetes and Digestive and Kidney Disease (NIDDK) melaporkan 10% orang
dewasa di Amerika mengalami CKD.3
I.1.3. Encephalopati Uremikum
Peningkatan kasus end stage renal disease seiiring dengan peningkatan
kasus Enchelopati uremikum. Berdasarkan Center for Disease Control and
Prevention (CDC), 2018 menunjukkan 15% dari total 37.000 mengalami gagal
ginjal.4,5
Di Indonesia, berdasarkan Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah
Sakit Seluruh Indonesia, jumlah pasien GGK diperkirakan sekitar 50 orang per
satu juta penduduk, 60% nya adalah laki-laki, usia dewasa dan usia lanjut. Hasil
Riskesdas 2018 menunjukkan, persentase penyakit ginjal kronis (PGK) masih
tinggi. Yaitu sebesar 3,8 persen, dengan kenaikan sebesar 1,8 persen dari tahun
2013.6
I.1.4. Trauma Renalis
Epidemiologi ruptur ginjal terjadi pada sekitar 1–5% kejadian trauma dan
10% pada trauma abdomen. 71–95% trauma pada ginjal disebabkan oleh
mekanisme trauma tumpul. 72–93% kasus ruptur ginjal terjadi pada laki-laki. Usia
muda pada rentang 31–38 tahun mendominasi penderita ruptur ginjal. Pada kasus
dengan mekanisme trauma tembus, usia penderita didominasi oleh rentang 27–28
tahun. Kecelakaan lalu-lintas merupakan penyebab tersering.7,8,9
Pada anak, 67% kasus ruptur ginjal terjadi pada laki-laki. Usia anak yang
mengalami trauma pada ginjal kebanyakan berada pada rentang 5–18 tahun.
Kecelakaan lalu lintas dan jatuh menjadi penyebab tersering ruptur ginjal pada
anak.7,9
2
Kehilangan darah
Kehilangan cairan ke luar tubuh
Kehilangan cairan ekstravaskular, kerusakan jaringan
(pankreatitis), hipoalbuminemia, obstruksi usus
b. Penurunan curah jantung
Penyebab miokard; infark, kardiomiopati
Penyebab perikard; temponade
Penyebab vascular pulmonal; emboli pulmonal
Aritmia
Penyebab katup jantung
c. Perubahan rasio resistensi vascular ginjal sistemik
Penurunan resistensi vascular perifer; sepsis, hepatorenal
syndrome, obat dalam dosis berlebih
Renal
a. Obstruksi renovascular
Obstruksi arteri renalis (plaque aterosclerosis, trombosis,
emboli, diseksi aneurisma, vasculitis), obstruksi vena
renalis (trombosis, kompresi)
b. Penyakit glomerulus atau microvascular ginjal
Glomerulonefritis, vasculitis
c. Nekrosis tubular akut
Iskemia (serupa AKI prerenal)
Toksin
Eksogen (radiokontras, siklosporin, antibiotik, kemoterapi,
pelarut organik, asetaminofen), endogen (rabdomiolisis,
hemolisis, asam urat, oksalat, mieloma)
d. Nefrtitis interstitial
Alergi (antibiotik, OAINS, diuretik, kaptopril), infeksi
(bakteri, virus, jamur), infiltrasi (limfoma, leukimia,
sarkoidosis), idiopatik
3
e. Obstruksi dan deposisi intratubular
Protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metroteksat,
sulfonamida
f. Rejeksi alograf ginjal
Pascarenal
a. Obstruksi ureter
Batu, gumpalan darah, papila ginjal, keganasan, kompresi
eksternal
b. Obstruksi leher kandung kemih
Kandung kemih neurogenik, hipertrofi prostat, batu,
keganasan, darah
c. Obstruksi uretra
Striktur, katup kongenital, fimosis.10,11
4
menumpuk dan menyebabkan obstruksi yang memperparah gagal ginjal
akut.
Pada gagal ginjal akut akibat gangguan renal, dapat terjadi isothenuria
(kegagalan mengatur osmolalitas urin), osmolalitas urin dapat kurang dari
300 mOsm/KgBB.
Pasca renal, akibat dari adanya obstruksi pada traktus urinarius dimulai
dari tubulus ginjal hingga urethra dimana terjadi peningkatan tekanan
intratubular. Obstruksi ini juga dapat memicu gangguan tekanan darah
pada ginjal dan reaksi inflamasi yang mengakibatkan penurunan LFG.12,13
I.2.2. CKD (Chronic Kidney Disease)
Etiologi dari CKD dapat disebabkan oleh penyakit ginjal-hipertensi,
nefropati, diabetes, glomerulopati primer, nefropati obstruktif, SLE, dan lainnya.
Faktor terbanyak penyebab CKD adalah penyakit ginjal-hipertensi dengan
presentase 37%.14
CKD sering berlangsung secara progresif melalui empat derajat.
Penurunan cadangan ginjal menggambarkan LFG sebesar 35% sampai 50% laju
filtrasi normal. Insufisiensi renal memiliki LFG 25 % sampai 35% laju filtrasi
normal. Gagal ginjal mempunyai LFG 20% hingga 25% laju filtrasi normal,
sementara penyakit ginjal stadium terminal atau akhir (End Stage Kidney
Disease) memiliki LFG < 20% laju filtrasi normal. Proses terjadinya CKD pada
awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam proses
perkembangannya yang terjadi kurang lebih sama. Dua adaptasi penting
dilakukan oleh ginjal untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Penurunan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron
yang masih bertahan (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi ginjal untuk
melaksanakan seluruh beban kerja ginjal, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokinin dan growth factors. Hal ini menyebabkan peningkatan
kecepatan filtrasi, yang disertai oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil untuk mempertahankan
keseimbangan elektrolit dan cairan tubuh, hingga ginjal dalam tingkat fungsi yang
sangat rendah. Pada akhirnya, jika 75% massa nefron sudah hancur, maka LFG
dan beban zat terlarut bagi setiap nefron semakin tinggi, sehingga keseimbangan
5
glomerulus tubulus (keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan reabsorpsi oleh
tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan. Glomerulus yang masih sehat pada
akhirnya harus menanggung beban kerja yang terlalu berlebihan. Keadaan ini
dapat mengakibatkan terjadinya sklerosis, menjadi kaku dan nekrosis. Zat-zat
toksis menumpuk dan perubahan yang potensial menyebabkan kematian terjadi
pada semua organ-organ penting.14,15,16
I.2.3. Encephalopati Uremikum
Ensefalopati uremikum merupakan kelainan otak organik yang terjadi pada
pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik sebagai etiologinya. Biasanya
dengan nilai kadar creatinine clearance menurun dan tetap di bawah 15
Ml/mnt.16,17
Setiap hari tubuh menghasilkan zat yang disebut sebagai urea. Urea sendiri
merupakan sisa hasil metabolisme protein yang setiap harinya dibuang melalui
ginjal ke urine. Urea dalam kadar yang normal seharusnya tidak menyebabkan
gangguan. Namun, pada kondisi adanya gangguan ginjal, kadar urea bisa
meningkat dan menyebabkan masalah atau keluhan. Ketika gagal ginjal terjadi,
baik akut maupun kronis, kadar urea bisa meningkat sangat tinggi karena fungsi
ginjal untuk membuang urea berkurang. Akibatnya, terjadi penumpukan urea di
dalam darah. Ketika penumpukan urea di dalam cukup banyak hingga
menimbulkan gejala, hal ini disebut sebagai uremia.18
Uremia adalah suatu sindrom klinis dan laboratorik yang terjadi pada
semua organ akibat penurunan fungsi ginjal, dimana terjadi retensi sisa
pembuangan metabolisme protein, yang ditandai dengan peningkatan kadar ureum
diatas 50 mg/dl. Urea yang terlalu banyak dapat menyebabkan gangguan
neurotransmiter (senyawa kimia alami) di dalam otak. Salah satunya adalah
menurunnya kadar neurotransmiter GABA (gamma-aminobutyric acid).19
I.2.4. Trauma Renalis
Trauma renalis dapat terjadi secara :
Langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang.
Tidak langsung, yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal
secara tiba - tiba di dalam rongga retroperitoneum.
6
Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitoneum menyebabkan
regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri
renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan darah yang selanjutnya
dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabangcabangnya. Cedera
ginjal dapat dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, seperti
hidronefrosis, kista ginjal atau tumor ginjal.20,21
Terdapat 3 penyebab utama dari trauma ginjal :
Trauma tumpul
Disebabkan akibat kecelakaan kenderaan bermotor, dan jatuh. Trauma
tumpul dari tabrakan kendaraan bermotor, jatuh dan tabrakan pribadi
adalah penyebab utama trauma ginjal
Trauma iatrogenik
Dapat berupa trauma post-operasi, retrograde pyelography, percutaneous
nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Biopsi ginjal juga dapat
menyebabkan trauma ginjal
Trauma tajam
Trauma tajam seperti tikaman atau luka tembak pada daerah abdomen
bagian atas ataupun pinggang.22
Unsur utama yang mungkin menyebabkan trauma adalah kekuatan
perlambatan dan percepatan (deceleration and acceleration). Ginjal ditutupi oleh
lemak dan fascia Gerota di retroperitoneum, serta pedikel ginjal dan ureteropelvic
junction (UPJ) adalah elemen perlekatan utama. Oleh karena itu, kekuatan
perlambatan (deceleration) pada elemen-elemen ini dapat menyebabkan cedera
ginjal, seperti pecah atau trombosis. Kekuatan percepatan (acceleration) dapat
menyebabkan tabrakan antara ginjal dengan unsur-unsur di sekitarnya, seperti
tulang rusuk dan tulang belakang, dan menyebabkan cedera parenkim dan
pembuluh darah.8
I.3. MANIFESTASI KLINIS & KLASIFIKASI
I.3.1. AKI (Acute Kidney Injury)
Manifestasi klinis dari AKI dapat muncul dalam hitungan hari atau bahkan
jam setelah gangguan pada ginjal terjadi, berupa23 :
Jumlah dan frekuensi buang air kecil berkurang
7
Pembengkakan pada tungkai sebagai akibat dari penumpukan cairan
Mudah lelah
Sesak napas
Nyeri atau sensasi tertekan di dada
Napas berbau tak sedap
Gangguan irama jantung
Muncul ruam atau rasa gatal di kulit
Mual dan muntah
Nafsu makan menurun
Sakit perut dan punggung
Kejang
Kondisi koma
8
tidak bisa memiliki kadar oksigen dalam jumlah yang cukup. Sakit kepala akan
menjadi lebih berat jika penderita juga bermasalah dengan anemia.14
Gejala yang lebih lanjut; anoreksia atau mual disertai muntah, nafsu
makan turun, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak,
udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat
parah. Anoreksia adalah kelainan psikis yang diderita seseorang berupa
kekurangan nafsu makan mesti sebenarnya lapar dan berselera terhadap makanan.
Gejala mual muntah ini biasanya ditandai dengan bau mulut yang kuat yang
menjadi tidak nyaman, bahkan keinginan muntah bisa bertahan sepanjang waktu
hingga sama sekali tidak bisa makan. Pada nafsu makan turun disebabkan karena
penurunan nafsu makan berlebihan, ginjal yang buruk untuk menyaring semua
racun menyebabkan ada banyak racun dalam tubuh. Racun telah mempengaruhi
proses metabolisme dalam tubuh.23,25
Berikut merupakan klasifikasi CKD atas dasar derajat penyakit
Derajat Keterangan LFG (ml/mnt/1.73 m2)
G1 Normal, atau peningkatan ≥ 90
LFG
G2 Penurunan LFG ringan 60 – 89
G3a Penurunan LFG ringan- 45 – 59
sedang
G3b Penurunan LFG sedang- 30 – 44
berat
G4 Penurunan LFG berat 15 – 29
G5 Gagal ginjal < 15 (dialisis)
Tabel 2. Klasifikasi CKD atas dasar derajat penyakit2,26
I.3.3. Encephalopati Uremikum
Kondisi apatis, fatigue, iritabilitas dapat menjadi gejala dini, selanjutnya
dapat terjadi konfusi, gangguan persepsi sensoris, halusinasi dan stupor. Gejala ini
dapat berfluktuasi dalam hitungan jam maupun hari tergangung pada kondisi
pasien. Pada pasien dengan gagal ginjal akut, clouded sensorium selalu disertai
berbagai gangguan motoric sebagai awal komplikasi enchepalopati uremikum.
Kemudian pasien dapat mulai keduran, jerk, bahkan kejang. Dapat juga terjadi
fasikulasi, tremor aritmik, mioklonus, khorea, asterixis atau phenomena motoric
yang tidak terklasifikasi ( uremic twitch convulsive syndrome).
9
Jika keadaan uremia memburuk, pasien dapat jatuh dalam kondisi koma. Jika
asidosis metabolic yang mengikuti tidak dikoreksi tentu akan terjadi pernafasan
kusmaull yang berubah menjadi pernafasan Cheyne-stokes.27,28
10
Gambar 2. Derajat Trauma Renal AAST 201530
11
Membedakan gagal ginjal akut dengan kronis misalnya anemia dan ukuran
ginjal yang kecil menunjukkan gagal ginjal kronis.
Untuk mendiagnosis AKI diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal
yaitu kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien
rawat selalu diperiksa asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk
memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada AKI
berat dengan berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan garam berkurang
sehingga dapat menimbulkan edema, bahkan sampai terjadi kelebihan air
yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat
menimbulkan asidosis metabolic dengan kompensasi. pernapasan
Kussmaul. Umumnya manifestasi AKI lebih didominasi oleh faktor-faktor
presipitasi atau penyakit utamanya.
Kadar kreatinin serum. Pada AKI faal ginjal dinilai dengan memeriksa
berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat
mengukur secara tepat LFG karena tergantung dari produksi (otot),
distribusi dalam cairan tubuh, dan ekskresi oleh ginjal.
Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indicator yang
spesifik untuk gagal ginjal akut, yang dapat terjadi sebelum perubahan
nilai-nilai biokimia darah. Walaupun demikian, volume urin pada AKI
bisa bermacam-macam, AKI prerenal biasanya hampir selalu disertai
oliguria (<400ml/hari), walaupun kadang tidak dijumpai oliguria. AKI
renal dan post-renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun poliuria.
Petanda biologis (biomarker). Syarat petanda biologis AKI adalah mampu
mendeteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan kemudahan
teknik pemeriksaannya. Petanda biologis diperlukan untuk secepatnya
mendiagnosis AKI. Petanda biologis ini adalah zat-zat yang dikeluarkan
oleh tubulus ginjal yang rusak, seperti interleukin 18, enzim tubular, N-
acetyl-B-glucosamidase, alanine aminopeptidase, kidney injury molecule.
Dalam satu penelitian pada anak-anak pasca bedah jantung terbuka
gelatinaseassociated lipocain (NGAL) terbukti dapat dideteksi 2 jam
setelah pembedahan, 34 jam lebih awal dari kenaikan kadar kreatinin.31,32
I.4.2. CKD (Chronic Kidney Disease)
12
Kerusakan ginjal dapat dideteksi secara langsung maupun tidak langsung.
Bukti langsung kerusakan ginjal dapat ditemukan pada pencitraan atau
pemeriksaan histopatologi biopsi ginjal. Pencitraan meliputi ultrasonografi,
computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), dan isotope
scanning dapat mendeteksi beberapa kelainan struktural pada ginjal. Histopatologi
biopsi renal sangat berguna untuk menentukan penyakit glomerular yang
mendasar.
Bukti tidak langsung pada kerusakan ginjal dapat disimpulkan dari
urinalisis. Inflamasi atau abnormalitas fungsi glomerulus menyebabkan kebocoran
sel darah merah atau protein. Hal ini dideteksi dengan adanya hematuria atau
proteinuria.
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum. Penurunan GFR dapat dihitung dengan mempergunakan rumus Cockcroft-
Gault.
Perempuan
Laki-laki
Selain itu fungsi ginjal juga dapat dilihat melalui pengukuran Cystatin C.
Cystatin C merupakan protein berat molekul rendah (13kD) yang disintesis oleh
semua sel berinti dan ditemukan diberbagai cairan tubuh manusia. Kadarnya
dalam darah dapat menggambarkan GFR sehingga Cystatin C merupakan penanda
endogen yang ideal.13
I.4.3. Encephalopati Uremikum
Anamnesa tetap dilakukan meskipun secara alloanamnesa, mengingat
kondisi pasien yang tidak kooperatif. Riwayat perjalanan awal penyakit hingga
riwayat penyakit sebelumnya menjadi penting sebagai dasar dalam penegakkan
diagnose. Pemeriksaan fisik menyeluruh dilakukan dengan mengutamakan
pemeriksaan vital sign. Berikut beberapa pemeriksaan penunjang yang perlu
dilakukan untuk peneggakkan diagnose :
Pemeriksaan fungsi ginjal, yaitu ureum dan kreatinin darah.
13
Pemeriksaan kadar elektrolit darah untuk melihat apakah ada gangguan
elektrolit atau tidak. Ini karena gangguan elektrolit juga dapat memberikan
gejala yang mirip dengan ensefalopati uremikum.
Pemeriksaan darah lengkap, untuk melihat apakah ada peningkatan sel
darah putih yang menjadi salah satu tanda adanya infeksi dan melihat
apakah terdapat anemia.
Diagnosis ensefalopati uremik biasanya berdasarkan gejala klinis dan
kemajuannya setelah dilakukan terapi yang adekuat. Pemeriksaan laboratorium
pada UE antara lain darah lengkap, elektrolit, glukosa, ureum, kreatinin, fungsi
hati dan amonia. Pada UE terdapat nilai kreatinin yang tinggi. Darah lengkap
diperiksa untuk melihat adanya anemia karena dapat berperan dalam beratnya
perubahan status mental. Sementara jika ditemukan leukositosis menunjukkan
adanya proses infeksi. Elektrolit, dan glukosa diperiksa untuk menyingkirkan
penyebab ensefalopati lainnya. Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan untuk
menyingkirkan dugaan infeksi. Pada ensefalopati uremik, LCS sering abnormal,
kadangkala menunjukan pleositosis ringan (biasanya <25 sel/mm3) dan
meningkatnya konsentrasi protein (biasanya <100mg/dl).33,34
EEG biasanya abnormal, tetapi tidak spesifik namun berhubungan dengan
gejala klinis. Selain itu, EEG dapat berguna untuk menyingkirkan penyebab lain
dari konfusi seperti infeksi dan abnormalitas structural. Gambaran EEG yang
sering ditemukan adalah perlambatan secara general. Ritme tetha pada frontal
yang intermiten dan paroksisimal, bilateral, high voltage gelombang delta juga
sering ditemukan. Kadangkala kompleks spike- wave bilateral atau gelombang
trifasik pada regio frontal dapat terlihat.34,35
I.4.4. Trauma Renalis
Anamnesa
Penyebab yang dimungkinkan mengakibatkan trauma ginjal meliputi
mekanisme deselerasi yang cepat seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan
bermotor dengan kecepatan yang laju, atau trauma langsung pada region
flank. Riwayat adanya disfungsi organ sebelum terjadinya trauma dan
adanya riwayat penyakit ginjal sebelumya dapat memperberat trauma. 36
14
Hidronefrosis, batu ginjal, kista, atau tumor telah dilaporkan dapat
menimbulkan komplikasi yang berat.37
Pemeriksaan Fisik
Vital sign harus dicatat untuk mengevaluasi pasien. Pada pemeriksaan fisik
harus dinilai adanya trauma tumpul atau trauma tembus pada region flank,
lower thorax, dan abdomen atas. Penemuan seperti hematuria, jejas, dan
nyeri pada daerah pinggang, patah tulang iga bawah, atau distensi abdomen
dapat dicurigai adanya trauma pada ginjal.29
Kecurigaan adanya cedera ginjal jika terdapat :
-
Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan perut
bagian atas dengan disertai nyeri ataupun didapati adanya jejas pada
daerah tersebut.
-
Hematuria
-
Fraktur kosta sebelah bawah (T8-T12) atau fraktur prosesus spinosus
vertebra.
-
Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang.
-
Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan
lalu lintas.20
Pemeriksaan Penunjang
-
Urinalisa, darah rutin dan kreatinin merupakan pemeriksaan laboratorium
yang penting. Urinalisa merupakan pemeriksaan penting untuk mengetahui
adanya cedera pada ginjal. Hematuria mikroskopis atau gross, sering
terlihat tetapi tidak cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan apakah
suatu trauma minor atau mayor.29,38
Hematokrit serial dan vital sign merupakan pemeriksaan yang digunakan
untuk mengevaluasi pasien trauma. Penurunan hematokrit dan kebutuhan
untuk transfusi darah merupakan tanda kehilangan darah dan respon
terhadap resusitasi akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan
keputusan. Peningkatan kreatinin dapat dikatakan sebagai tanda patologis
pada ginjal.
-
Pemeriksaan Radiologi (Pencitraan)
15
Indikasi untuk melakukan pemeriksaan radiologi pada trauma ginjal adalah
gross hematuria, hematuria mikroskopik yang disertai syok, atau cedera
pada organ lain. Pada luka tembus, setiap kecurigaan adalah luka yang
mengarah pada ginjal maka perlu melakukan pemeriksaan radiologi tanpa
memperhatikan derajat hematuria.
Pemeriksaan Intravenous Urografi (IVU) / Intravenous Pyelografi
(IVP)
Pemeriksaan IVP adalah foto yang dapat mengambarkan keadaan sistem
urinaria melalui bahan kontras (dengan menyuntikkan bahan kontras dosis
tinggi ±2ml/kgBB) digunakan untuk menilai tingkat kerusakan ginjal dan
menilai keadaan ginjal kontralateral. Pemeriksaan IVU dilakukan apabila
diduga terdapat : i) Luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal,
ii)Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria
makroskopik, iii) Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda
hematuria mikroskopik dan disertai syok.20
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan apabila diduga terjadi cedera
tumpul pada ginjal yang menunjukkan tanda hematuria mikroskopik tanpa
disertai syok. Pemeriksaan USG ini dapat menemukan adanya kontusio
parenkim ginjal atau hematoma subkapsuler. Dengan pemeriksaan ini
dapat juga diperlihatkan ada atau tidak robekan kapsul ginjal. Pemeriksaan
USG pada ginjal dipergunakan : i) Untuk mendeteksi keberadaan dan
keadaan ginjal (hidronefrosis, kista, massa, atau pengkerutan ginjal) yang
menunjukkan non visualized pada pemeriksaan IVU, ii) Sebagai penuntun
pada saat melakukan pungsi ginjal, atau nefrostomi perkutan.
Pada color Droppler ginjal dan arteri renalis, dapat menentukan adanya
penyempitan (stenosis) karena arteriosklerosis menyebabkan aliran darah
ke ginjal menurun.20
Pemeriksaan Computed Tomography (CT)
Teknik pencitraan non invasive, yang lebih superior daripada USG.
Pemeriksaan CT scan ini dilakukan untuk menerangkan kelainan pada
ginjal, arteri dan vena renalis, vena kava, dan massa di retroperitoneal.
16
Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan adanya robekan jaringan ginjal,
ekstravasasi kontras yang luas, dan adanya nekrosis jaringan ginjal. Selain
itu, pemeriksaan CT scan juga dapat mendeteksi adanya trauma pada
organ yang lain. Alat CT scan ini dapat mendeteksi kelainan dalam waktu
cepat (< 30 detik), sehingga dapat dipakai untuk menilai penyebab kolik
ureter atau ginjal. Pemeriksaan CT scan merupakan pemeriksaan radiologi
yang utama bagi pasien trauma ginjal dengan hemodinamik stabil.20
BAB II
TATALAKSANA FARMAKOTERAPI & NON FARMAKOTERAPI
17
II.1. AKI (Acute Kidney Injury)
Manajemen AKI harus fokus pada penghapusan hemodinamik kelainan
penyebab atau toksin, menghindari gejala tambahan, dan pencegahan dan
pengobatan komplikasi. Pengobatan khusus dari penyebab lain dari AKI renal
tergantung pada patologi yang mendasari.
Prerenal
Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan AKI prerenal akibat
hipovolemia harus disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang hilang.
Hipovolemia berat akibat perdarahan harus dikoreksi dengan packed red cells,
sedangkan saline isotonik biasanya pengganti yang sesuai untuk ringan sampai
sedang perdarahan atau plasma loss (misalnya, luka bakar, pankreatitis). Cairan
kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi dalam komposisi namun
biasanya hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya
direkomendasikan sebagai pengganti awal pada pasien dengan AKI prerenal
akibat meningkatnya kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun
salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus yang parah. Terapi berikutnya
harus didasarkan pada pengukuran volume dan isotonik cairan yang
diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa harus dimonitor dengan
hatihati. Gagal jantung mungkin memerlukan manajemen yang agresif dengan
inotropik positif, preload dan afterload mengurangi agen, obat antiaritmia, dan
alat bantu mekanis seperti pompa balon intraaortic. Pemantauan hemodinamik
invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi untuk komplikasi pada pasien
yang penilaian klinis fungsi jantung dan volume intravaskular sulit.
Renal
AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis akut atau
vaskulitis dapat merespon glukokortikoid, alkylating agen, dan atau
plasmapheresis, tergantung pada patologi primer. Glukokortikoid juga
mempercepat remisi pada beberapa kasus interstitial nefritis alergi. Kontrol
agresif tekanan arteri sistemik adalah penting penting dalam membatasi cedera
ginjal pada hipertensi ganas nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit
pembuluh darah lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin sensitif
terhadap pengobatan dengan inhibitor ACE.
18
Pasca renal
Manajemen AKI pasca renal membutuhkan kerjasama erat antara
nephrologist, urologi, dan radiologi. Gangguan pada leher uretra atau kandung
kemih biasanya dikelola awalnya oleh penempatan transurethral atau suprapubik
dari kateter kandung kemih, yang memberikan bantuan sementara sedangkan lesi
yang menghalangi diidentifikasi dan diobati secara definitif. Demikian pula,
obstruksi ureter dapat diobati awalnya oleh kateterisasi perkutan dari pelvis ginjal.
Memang, lesi yang menghalangi seringkali dapat diterapi perkutan
(misalnya, kalkulus, sloughed papilla) atau dilewati oleh penyisipan stent ureter
(misalnya, karsinoma). Kebanyakan pasien mengalami diuresis yang tepat selama
beberapa hari setelah relief obstruksi. Sekitar 5% dari pasien mengembangkan
sindrom garam-wasting sementara yang mungkin memerlukan pemberian natrium
intravena untuk menjaga tekanan darah.24,31
II.2. CKD (Chronic Kidney Disease)
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien CKD disesuaikan dengan
stadium penyakit pasien tersebut.
Perencanaan tatalaksana pasien CKD dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Derajat LFG (mL/mnt/1.73 m2) Rencana Tatalaksana
G1 ≥ 90 Observasi, kontrol TD
G2 60 – 89 Observasi, kontrol TD dan faktor risiko
G3a 45 – 59
G3b 30 – 44
G4 15 – 29 Persiapan untuk RRT
G5 < 15 RRT
Tabel 3. Rencana Tatalaksana CKD sesuai derajat 26
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya paling tepat diberikan sebelum
terjadinya penurunan LFG sehingga tidak terjadi perburukan fungsi ginjal. Selain
itu, perlu juga dilakukan pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
dengan mengikuti dan mencatat penurunan LFG yang terjadi. Perburukan
fungsi ginjal dapat dicegah dengan mengurangi hiperfiltrasi glomerulus, yaitu
melalui pembatasan asupan protein dan terapi farmakologis guna mengurangi
hipertensi intraglomerulus. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular merupakan hal yang penting mengingat 40 – 45%.25,39
II.3. Encephalopati Uremikum
19
Pada penatalaksanaan uremic encephalopathy , penyakit ginjal yang terjadi
sangat penting, karena pada keadaan irreversibel dan progresif, prognosis buruk
tanpa dialisis dan transplantasi renal. UE akut ditatalaksana dengan hemodialisis
atau peritoneal dialisis, walaupun biasanya dibutuhkan waktu 1 sampai 2 hari
dibutuhkan untuk mengembalikan status mental. Kelainan kognitif dapatmenetap
meskipun setelah dialisis. Kerugian dari dialisis adalah sifat non-spesifik sehingga
dialisis juga dapat menghilangkan komponen esensial. Transplantasi ginjal juga
dapat dipertimbangkan.34
Eliminasi toksin uremik juga dipengaruhi oleh uptake intestinal dan fungsi
renal. Uptake intestinal bisa dikurangi dengan mengatur diet atau dengan
pemberian absorbent secara oral. Studi menunjukkan untuk menurunkan toksin
uremik dengan diet rendah protein, atau pemberian prebiotik.atau probiotik seperti
bifidobacterium. Menjaga sisa fungsi ginjal juga penting untuk eliminasi toksin
uremik.34 Dalam praktek klinis, obat antikonvulsan yang sering digunakan dalam
menangani kejang yang berhubungan dengan uremia adalah benzodiazepine untuk
kejang myoklonus, konvulsif atau non-konvulsif parsial kompleks atau absens;
ethosuximide, untuk status epileptikus absens; Fenobarbital, untuk status
epileptikus konvulsif.33 Sementara itu, gabapentin dapat memperburuk kejang
myoklonik pada end stage renal disease Benzodiazepin (BZD) dan Fenobarbital
bekerja meningkatkan aktivitas GABA dengan berikatan pada kompleks reseptor
GABA A, sehingga memfasilitasi GABA untuk berikatan dengan reseptor
spesifiknya.33,34
Benzodiazepin (BZD) dan Fenobarbital bekerja meningkatkan aktivitas
GABA dengan berikatan pada kompleks reseptor GABA A, sehingga
memfasilitasi GABA untuk berikatan dengan reseptor spesifiknya. Terikatnya
BZD menyebabkan peningkatan frekuensi terbukanya channel klorida,
menghasilkan hiperpolarisasi membran yang menghambat eksitasi selular.30,51
Koreksi anemia dengan eritropoetin rekombinan pada pasien dialysis
dengan target Hb 11 sampai 12 g/dl dapat berhubungan dengan meningkatnya
fungsi kognitif dan menurunkan perlambatan pada EEG.34,40
II.4. Trauma Renalis
20
Tatalaksana awal pasien trauma ginjal mengikuti standar tatalaksana
pasien trauma umum berdasarkan Advance Trauma Life Support (ATLS).
Tatalaksana non-operatif telah menjadi standar pada pasien trauma ginjal dengan
hemodinamik stabil, khususnya pada trauma derajat I – III klasifi kasi AAST. 29
Pasien trauma ginjal derajat IV dan V lebih sering memerlukan eksplorasi
bedah, tetapi beberapa sumber menyebutkan bahwa tatalaksana konservatif dapat
menjadi pilihan dalam situasi hemodinamik stabil. Pasien trauma ginjal berat
(derajat III hingga V) yang ditatalaksana non-operatif harus diobservasi ketat serta
dilakukan pemeriksaan hematokrit serial. 29,40
Tirah baring total diindikasikan hingga hematuria pulih. Pada pasien
dengan ekstravasasi urin atau parenkim non-viable dapat dipertimbangkan
pencitraan periodik, namun beberapa sumber menyebutkan tidak perlu bila tidak
ditemukan tanda perberatan gejala (demam, nyeri memberat, penurunan
hematokrit).
Meskipun sebagian trauma ginjal derajat II hingga IV dapat pulih tanpa
komplikasi, perdarahan ginjal tertunda dapat terjadi hingga 25% yang dapat
dideteksi dengan pencitraan serial. Apabila perdarahan menetap atau terjadi
perdarahan ginjal tertunda, tindakan angiografi dan embolisasi selektif dapat
menjadi pilihan. Adanya trauma lain yang menyertai trauma ginjal dapat
mempengaruhi pilihan tatalaksana.
Sekitar 80%-90% trauma ginjal juga disertai dengan trauma organ lain
yang memerlukan eksplorasi. Meskipun mayoritas trauma ginjal derajat I hingga
III dapat diterapi secara non-operatif dengan luaran yang baik, trauma ginjal
derajat IV dengan laserasi parenkim multipel atau trauma ginjal derajat V hampir
selalu memerlukan eksplorasi operatif.1 Trauma tumpul ginjal derajat IV tanpa
cedera organ abdomen lain (terisolasi) pada sebagian besar kasus dapat diterapi
secara nonoperatif.
Terapi yang dikerjakan pada trauma ginjal adalah :
Operasi dan Rekontruksi Operasi ditujukan pada trauma ginjal mayor
dengan tujuan untuk segera menghentikan perdarahan. Selanjutnya mungkin
perlu dilakukan debriment reparasi ginjal (berupa renorafi atau
penyambungan vaskuler) atau tidak jarang harus dilakukan nefrektomi
21
parsial bahkan nefrektomi total karena kerusakan ginjal yang sangat
berat.Pada semua kasus, direkomendasikan penggunaan drainase
retroperitoneal untuk mengalirkan kebocoran urin.40
Manajemen Non- Operatif / Konservatif
Perbedaan dalam pengelolaan trauma tumpul dan penetrasi adalah hasil dari
ketidakstabilan yang lebih besar dari pasien setelah trauma tembus dan
kemungkinan lebih tinggi dari cedera tumpul parah setelah senjata api dan
luka tusuk. 39,40
-
Cedera ginjal tumpul Manejemen non-operatif semakin banyak
dipertimbangkan oleh pasien trauma ginjal. Pada pasien yang stabil,
melakukan perawatan suportif yaitu dengan istirahat dan observasi. Semua
kasus trauma ginjal derajat 1 dan 2 dapat dirawat secara konservatif baik
pada trauma tumpul ataupun trauma tembus. Pada pasien trauma ginjal
derajat 4 dan 5 dapat dirawat secara konservatif dengan syarat kondisi
haemodinamik stabil. Pendekatan klinis yang sistematis adalah
berdasarkan pada temuan klinis, laboratorium, dan pemeriksaan penunjang
radiologi.
Selektif oleh manajemen non-operatif untuk luka tusuk perut umumnya
diterima untuk meningkatkan proporsi pusat trauma.15 Perdarahan terus-
menerus merupakan indikasi utama untuk eksplorasi dan rekonstruksi.
Dalam semua kasus cedera parah, manajemen non-operatif harus
mengambil langkah hanya setelah pementasan ginjal lengkap pada pasien
hemodinamik stabil. Luka tembak harus dieksplorasi hanya jika
melibatkan hilus atau disertai dengan tanda-tanda perdarahan terus, cedera
ureter, atau laserasi pelvis ginjal. Pada pasien hemodinamik stabil tanpa
peritonitis mampu menjalani pemeriksaan klinis serial, cedera organ padat
bukan kontra-indikasi untuk manajemen non - operatif.15,40
22
BAB III
DIAGNOSIS BANDING, KOMPLIKASI, & PROGNOSIS
23
Glomerulonefritis progresif23
Encephalopati Uremikum Ensefalopati hipertensif, ensefalopati
hepatikum, sindrom respons inflamasi
sistemik pada pasien sepsis, vasculitis
sistemik, neurotoksisitas akibat obat
(opioid, benzodiazepin, neuroleptik,
antidepresan), cerebral vascular disease,
hematom subdural.
Trauma Renalis trauma pada organ saluran kemih
lainnya, seperti trauma ureter, trauma
buli, dan trauma uretra.
Tabel 4. Diagnosis Banding dari masing-masing Diagnosis
III. 2. KOMPLIKASI
III.2.1. AKI (Acute Kidney Injury)
Komplikasi terkait AKI tergantung dari keberatan AKI dan kondisi terkait AKI
yang ringan dan sedang mungkin secara keseluruhan asimtomatik khususnya saat
awal. Pada tabel berikut dijelaskan komplikasi yang sering terjadi dan
penangannya untuk AKI.
Komplikasi Penanganan
Kelebihan volume intravascular Batasi garam (1-2 g/hari) dan air (< 1
L/hari)
Hiponatremia Furosemid, ultrafiltrasi atau dialysis
Batasi asupan air (< 1 L/hari), hindari
infus larutan hipotonik
Hiperkalemia Batasi asupan diet K (< 40 mmol/hari),
hindari diuretik hemat kalium
Asidosis metabolik Natrium bikarbonat (upayakan
bikarbonat serum > 15 mmol/L, pH >
7.2
Hiperfosfatemia Batasi asupan diet fosfat (< 800
mg/hari)
Obat pengikat fosfat (kalsium asetat,
24
kalsium karbonat)
Kalsium karbonat; kalsium glukonat
(10-20 ml larutan 10%)
Hipokalsemia Batasi asupan protein (0.8-1
g/KgBB/hari) jika tidak dalam kondisi
katabolik
Tabel 5. Komplikasi AKI2,40
III.3. PROGNOSIS
III.3.1. AKI (Acute Kidney Injury)
25
Mortalitas akibat AKI bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal.
Perlu diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi
yang menyertai, perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan
memperburuk prognosa. Penyebab kematian tersering adalah infeksi (30-50%),
perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-20%), gagal nafas
(15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan
sebagainya. Pasien dengan GGA yang menjalani dialysis angka kematiannya
sebesar 50-60%, karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu
ditekankan.40
III.3.2. CKD (Chronic Kidney Disease)
Prognosis CKD dapat ditentukan berdasarkan LFG dan albuminuria
menurut kriteria Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO).
Prognosis pasien dengan CKD bervariasi menurut stadium dan penatalaksanaan
yang dilakukan.39
26
BAB IV
PENCEGAHAN
27
terhindar dari penyakit ini. Sedangkan pada penderita, upaya pencegahan agar
CKD tidak bertambah buruk, meliputi20,40 :
Menjaga berat badan ideal
Menghentikan kebiasaan merokok, karena kebiasaan ini dapat
memperburuk kondisi ginjal
Mengatur pola makan dan mengkonsumsi obat secara teratur
Hindari penggunaan OAINS yang dapat memperburuk kondisi ginjal
IV.3. Encephalopati
Tindakan yang bisa dilakukan untuk mencegah ensefalopati dengan
membiasakan hidup sehat. Pastikan kesehatan ginjal tetap terjaga dengan asupan
air harian yang cukup, menjalani diet sehat dan berolahraga. Hindari semua hal
yang memicu terjadinya kerusakan ginjal, dan jaga berat badan tubuh tetap ideal.
IV.4. Trauma Renalis
Trauma ginjal dapat dicegah dengan meminimalisir kemungkinan kegiatan
yang dapat mencederai area sekitar punggung belakang ataupun perut.
Konsentrasi dalam setiap melakukan aktivitas dapat ditingkatkan dengan pola
hidup yang sehat misalkan olahraga yang teratur, kosumsi majanan yang bergizi.
Terpenting adalah segera melakukan pemeriksaan apabila mengalami cedera.
BAB V
PENUTUP
V.1. KESIMPULAN
V.1.1. AKI (Acute Kidney Injury)
Acute Kidney Injury (AKI) merupakan spektrum kerusakan ginjal secara
akut, yaitu proses yang menyebabkan kerusakan ginjal dalam waktu 48 jam dan
didefinisikans ebagai peningkatan kreatinin serum >= 0,3 mg/dl atau peningkatan
50%) atau penurunan produksi urin berdasarkan kriteria AKIN. Penyebab dari
AKI dapat dikelompokkan menjadi pre-renal, renalis, dan post-renal, dimana
untuk membedakannya diperlukan langkah diagnosis yang baik.
28
Anamnesis dapat dilakukan untuk mendapatkan riwayat penggunaan obat-
obatan yang dapat mempengaruhi perfusi ginjal atau langsung merusak ginjal,
atau apakah terdapat tanda-tanda obstruski, dan sebagainya. Pemeriksaan fisik
juga dapat dilakukan untuk menilai kelainan yang juga berfungsi untuk
menegakkan diagnosis penyebab AKI.
Pemeriksaan berulang fungsi ginjal, yaitu kadar ureum, kreatinin, dan laju
filtrasi glomerulus harus dilakukan untuk memastikan tingkat keparahan dan
kemungkinan komplikasi dari AKI. Selain itu, analisis urin dan biomarkers juga
dapat dilakukan jika dibutuhkan diagnosis segera. Tatalaksana dari AKI dapat
berupa terapi konservatif dan juga terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal
dilakukan juga pasien sudah memenuhi kriteria untuk dilakukan terapi dialisis
segera. Beberapa komplikasi dari AKI ada yang bersifat emergency sehingga
dibutuhkan pengelolaan yang cepat dan tepat, seperti volume overload,
hiperkalemia, dan asidosis metabolik. Tindakan yang dilakukan untuk dapat
mendiagnosis AKI secara dini sangat dibutuhkan, sehingga tatalaksana yang
diberikan juga dapat memperbaiki prognosis pada pasien.
V.1.2. CKD (Chronic Kidney Disease)
Kerusakan ginjal dapat dideteksi secara langsung maupun tidak langsung.
Bukti langsung kerusakan ginjal dapat ditemukan pada pencitraan atau
pemeriksaan histopatologi biopsi ginjal. Pencitraan meliputi ultrasonografi,
computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), dan isotope
scanning dapat mendeteksi beberapa kelainan struktural pada ginjal. Histopatologi
biopsi renal sangat berguna untuk menentukan penyakit glomerular yang
mendasar.
Bukti tidak langsung pada kerusakan ginjal dapat disimpulkan dari
urinalisis. Inflamasi atau abnormalitas fungsi glomerulus menyebabkan kebocoran
sel darah merah atau protein. Hal ini dideteksi dengan adanya hematuria atau
proteinuria.
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum.
V.1.3. Encephalopati Uremikum
29
Uremic Encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik yang terjadi
pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Gejala klinis adalah UE
adalah gangguan neurologis baik ringan maupun berat. Gejala tersebut dapat
berfluktuasi dari hari ke hari, bahkan dalam hitungan jam. Dengan
penatalaksanaan yang sesuai akan menurunkan angka mortalitas pasien dengan
Uremic Encephalopathy dan dengan edukasi terhadap dialisis dan transplantasi
ginjal, insidens dan tingkat keparahan dari UE dapat dikurangi.
V.1.4. Trauma Renalis
Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai
macam trauma baik tumpul maupun tajam. Penentuan derajat cedera ginjal
berdasarkan klasifikasi American Association for the Surgery of Trauma/AAST
menggunakan hasil CT Scan atau eksplorasi. Tatalaksana terkait kondisi tersebut
tergantung akan kondisi vital dan derajat cedera, baik dengan Tindakan operatif
ataupun konservatif.
REFERENSI
1. Holmes, J., Rainer, T., Geen, J., Robert, G., May, K., Wilson, N., et al.
2016. Acute Kidney Injury in The Era of The AKI E-Alert. Clin J Am Soc
Nephrol, 11(12) : 2123 – 2131
2. Wang, HE., Muntner, P., Chertow, GM., Warnock, DG. 2012. Acute
Kidney Injury and Mortality in Hospitalized Patients. Am J Nephrol, 35 :
349 – 355
3. United States Renal Data System. Chapter 1 : CKD in The General
Population. 2015 USRDS Annual Data Report : National Institues of
Health, National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases,
2015.
30
4. CDC. Prevalence of end stage renal disease. USA: Centers of Disease
Control and Prevention; 2013
5. Fresenius Medical Care. ESRD patient 2013 a global perspective . USA:
Fresenius Medical Care; 2013
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar:
RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI; 2018.
7. Dangle PP, Fuller TW, Gaines B, Cannon GM, Schneck FX, Stephany
HA, Ost MC. Evolving mechanisms of injury and management of
pediatric blunt renal trauma—20 years of experience. Urology. 2016 Apr
1;90:159-63.
8. Erlich T, Kitrey ND. Renal trauma: the current best practice. Therapeutic
advances in urology. 2018 Oct;10(10):295-303.
9. Voelzke BB, Leddy L. The epidemiology of renal trauma. Translational
andrology and urology. 2014 Jun;3(2):143
10. KDIGO. 2012. KDIGO Clinical Practice for Acute Kidney Injury. Kidney
International Supplements, 2(4).
11. Macedo, E., Metha, RL. 2009. Prerenal Failure : From Old Concepts to
New Paradigms. Curr Opin Crit Care, 15(6) : 467 – 473.
12. Markis, K., Spanou, L. 2016. Acute Kidney Injury : Definition,
Pathophysiology and Clinical Phenotypes. Clin Biochem Rev, 37(2) : 85 –
98.
13. Pollak, MR., Genovese, G., Friedman, DJ. 2012. APOL1 and Kidney
Disease. Curr Opin Nephrol Hypertens, 21 : 179 – 182.
14. Kazangcioglu, R. 2013. Risk Factor for Chronic Kidney Disease: an
update. Kidney Int Supp, 3 : 368 – 371.
15. Babelova, A., Jansen, F., Sander, K., Löhn, M., Schäfer, L., Fork, C., et al.
2013. Activation of Rac-1 and RhoA Contributes to Podocyte Injury in
Chronic Kidney Disease. Plos One, 8(11).
16. Suwitra, K. 2014. Penyakit Ginjal Kronis. Dalam : 1 Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, Simadibrata M, Setyohadi B. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
17. Lohr JW. Uremic enchepalopathy [internet]. USA: Medscape overview.
2016
18. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta:
EGC; 2014.
19. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC; 2014.
20. Purnomo, B.B. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto
21. Lusaya, G.D., 2015. Renal Trauma. Medscape. Philippines
22. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta:
EGC; 2014.
31
23. Moore, P., Hsu, R., and Liu, K. 2018. Management of Acute Kidney
Injury : Core Curriculum 2018. American Journal of Kidney Disease,
72(1) : 136 – 48.
24. KDIGO. 2013. KDIGO 2012 Clinical Practice Guidline for The
Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. ISN, 3(1) : 1 –
163.
25. Fraser, S., Blakeman, T. 2016. Chronic Kidney Disease : Identification
and Management in Primary Care. Pragmatic and Observational Research,
7 : 21 – 32.
26. KDIGO. 2013. KDIGO 2012 Clinical Practice Guidline for The
Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. ISN, 3(1) : 1 –
163.
27. Ropper AH, Samuels MA. Principles of neurology. Edisi 9. McGrawHill.
2009.
28. Weiner HL,Levitt LP. Buku saku neurologi. Edisi 5. Jakarta: EGC. 2006.
Hlm 214.
29. Summerton DJ, Djakovic N, Kitrey ND, Kuehhas F, Lumen N,
Serafetinidis E. Guidelines on urological trauma. European Association of
Urology. 2014.
30. The American Association for the Surgery of Trauma. Kidney injury
scoring scale. 2015
31. Sinto, R., dan Nainngolan, G. 2010. Acute Kidney Injury : Pendekatan
Klinis dan Tatalaksana. Maj Kedokt Indon. Vol. 60 (2).
32. Verdiansah. 2016. Pemeriksaan Fungsi Ginjal, RS Hasan Sadikin :
Bandung, Indonesia. CKD-237/ vol. 43 no. 2.
33. Annemie Van Dijck, Wendy Van Daele and Peter Paul De Deyn (2012).
Uremic Encephalopathy, Miscellanea on Encephalopathies - A Second
Look, Dr. Radu Tanasescu (Ed.), ISBN: 978-953-51-0558-9, InTech
34. Seifter JL, Samuels MA. Uremic encephalopathy and other brain disorders
associated with renal failure. Seminars in neurology/volume 31, number 2
2011. Pg 139-141.
35. McCandless DW. Metabolic encephalopathy. North Chicago:
Springer.2009
36. Cachecho, R., Millham, F.H., Wedel, S.K., 1994. Management of the
Trauma Patient with Pre-Existing Renal Disease in European Association
of Urology. Crit Care Clin, 10(3), pp. 523-36.
37. Sebastià, M.C., Rodriguez-Dobao, M., Quiroga, S., et al., 1999. Renal
Trauma in Occult Ureteropelvic Junction Obstruction in European
Association of Urology: CT Findings. European Radiology, 9(4), pp. 611-
15.
32
38. Buchberger, W., Penz, T., Wicke, K., et al., 1993. A Comparison of
Urinalysis, I.V. Urography, Sonography and/Computed Tomography.
Diagnosis and Staging of Blunt Kidney Trauma, 158(6), pp. 507-12.
39. National Kidney Foundation (2017). About Chronic Kidney Disease.
40. Neal MJ. At a glance: Farmakologi Medis. Edisi 5. Jakarta: Penerbit
Erlangga. 2006. Hlm 54;57
33