Anda di halaman 1dari 29

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2
A. Definisi ................................................................................................... 2

1
B. Etiologi ................................................................................................... 2
C. Klasifikasi ............................................................................................... 3
D. Patofisiologi ........................................................................................... 11
E. Manifestasi Kinis..................................................................................... 11
F. Diagnosis ................................................................................................ 12
G. Tatalaksana ............................................................................................. 14
H. Komplikasi ............................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................28

2
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Dengue Haemoragic Fever (DHF) merupakan masalah kesehatan


di Indonesia, dimana seluruh wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk
terjangkit penyakit DHF, sebab baik virus penyebab maupun nyamuk penularnya
sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum diseluruh
Indonesia. Walaupun angka kesakitan penyakit ini cenderung meningkat dari
tahun ke tahun, sebaliknya angka kematian cenderung menurun, dimana pada
akhir tahun 60-an/awal tahun 70-an sebesar 41,3% menjadi berkisar antara 3-5%
pada saat sekarang.
Penyakit Dengue Haemoragic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue
(DBD) adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit akibat infeksi dengan virus
dengue pada manusia. Sedangkan manifestasi klinis dari infeksi virus dengue
dapat berupa Dengue Fever (DF) dan Dengue Haemoragic Fever (DHF).
DHF merupakan penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam manifestasi
perdarahan, dan bertendensi mengakibatkan renjatan yang menyebabkan
kematian.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Penyakit Dengue Haemoragic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue
(DBD) adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit akibat infeksi dengan virus
dengue pada manusia. Sedangkan manifestasi klinis dari infeksi virus dengue
dapat berupa Dengue Fever (DF) dan Dengue Haemoragic Fever (DHF).
DHF merupakan penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam manifestasi
perdarahan, dan bertendensi mengakibatkan renjatan yang menyebabkan
kematian.

Etiologi
Virus dengue penyebab DBD termasuk famili Flaviviridae, yang
berukuran kecil sekali, yaitu 35-45 nm. Virus dengue serotipe 1,2,3,4 ditularkan
melalui vektor nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis, dan beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan.
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup
terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak memberi perlindungan terhadap
serotipe lain.

Patofisiologi
Virus hanya dapat hidup dalam sel hidup sehingga harus bersaing dengan
sel manusia terutama dalam kebutuhan protein. Persaingan tersebut sangat
bergantung pada daya tahan tubuh manusia.
Sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi (1) aktivasi sistem komplemen
sehingga dikeluarkan zat anafilatoksin yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas kapiler dan terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskular ke
ruang ekstravaskular; (2) agregasi trombosit menurun, apabila kelainan ini

4
berlanjut akan mengakibatkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibat mobilisasi
sel trombosit muda dari sumsum tulang; (3) kerusakan sel endotel pembuluh
darah akan merangsang/ mengaktivasi faktor pembekuan. Ketiga faktor diatas
menyebabkan (1) peningkatan permeabilitas kapiler; (2) kelainan hemostasis yang
disebabkan oleh vaskulopati, trombositopenia, dan koagulopati.
Dari sudut patofisiologi, infeksi virus dengue bergerak sesuai alur berikut :

Gambar 1.
Patofisiologi
Infeksi Dengue

Manifestasi Klinik
Infeksi virus dengue mengakibatkan menifestasi klinik yang bervariasi
mulai dari asimptomatik, penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile
illness), dengue fever, dengue haemoragic fever, sampai dengue shock syndrom.
Walaupun secara epidemiologis infeksi ringan lebih banyak, tetapi pada awal
penyakit hampir tidak mungkin membedakan infeksi ringan atau berat.

5
Gambar 2.. Manifestasi infeksi virus dengue

Masa inkubasi dengue antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari. Virus memasuki
tubuh manusia melalui gigitan nyamuk yang menembus kulit. Setelah itu disusul
oleh periode tenang selama kurang lebih 4 hari, dimana virus melakukan replikasi
secara cepat dalam tubuh manusia. Apabila jumlah virus sudah cukup maka virus
akan memasuki sirkulasi darah (viraemia), dan pada saat ini manusia yang
terinfeksi akan mengalami gejala panas. Dengan adanya virus dengue dalam tubuh
manusia, maka tubuh akan memberi reaksi. Bentuk reaksi tubuh terhadap virus ini
antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dapat berbeda, dimana
perbedaan reaksi ini akan memanifestasikan perbedaan penampilan gejala klinis
dan perjalanan penyakit. Pada prinsipnya, bentuk reaksi tubuh manusia terhadap
keberadaan virus dengue adalah sebagai berikut :

Bentuk reaksi pertama


Terjadi netralisasi virus, dan disusul dengan mengendapkan bentuk netralisasi
virus pada pembuluh darah kecil di kulit berupa gejala ruam (rash).
Bentuk reaksi kedua
Terjadi gangguan fungsi pembekuan darah sebagai akibat dari penurunan jumlah
dan kualitas komponen-komponen beku darah yang menimbulkan manifestasi
perdarahan.
Bentuk reaksi ketiga

6
Terjadi kebocoran pada pembuluh darah yang mengakibatkan keluarnya
komponen plasma (cairan) darah dari dalam pembuluh darah menuju ke rongga
perut berupa gejala ascites dan rongga selaput paru berupa gejala efusi pleura.
Apabila tubuh manusia hanya memberi reaksi bentuk 1 dan 2 saja maka orang
tersebut akan menderita demam dengue, sedangkan apabila ketiga bentuk reaksi
terjadi maka orang tersebut akan mengalami demam berdarah dengue.

Martina B E E et al.
Clin. Microbiol. Rev.
2009;22:564-581

Dengue Fever
Manifestasi klinis infeksi dengue fever ditandai gejala-gejala klinik berupa
demam, nyeri pada seluruh tubuh, ruam dan perdarahan. Demam yang terjadi
pada infeksi virus dengue ini timbulnya mendadak, tinggi (dapat mencapai 39-40
ºC) dan dapat disertai dengan menggigil. Begitu mendadaknya, sering kali dalam
praktik sehari-hari kita mendengar cerita ibu bahwa pada saat melepas putranya
berangkat sekolah dalam keadaan sehat walafiat, tetapi pada saat pulang putranya
sudah mengeluh panas dan ternyata panasnya langsung tinggi. Pada saat anak
mulai panas ini biasanya sudah tidak mau bermain. Demam ini hanya berlangsung

7
sekitar lima hari. Pada saat demamnya berakhir, sering kali dalam bentuk turun
mendadak (lysis), dan disertai dengan berkeringat banyak. Saat itu anak tampak
agak loyo. Kadang-kadang dikenal istilah demam biphasik, yaitu demam yang
berlangsung selama beberapa hari itu sempat turun di tengahnya menjadi normal
kemudian naik lagi dan baru turun lagi saat penderita sembuh (gambaran kurva
panas sebagai punggung unta).
Gejala panas pada penderita infeksi virus dengue akan segera disusul
dengan timbulnya keluhan nyeri pada seluruh tubuh. Pada umumnya yang
dikeluhkan adalah nyeri otot, nyeri sendi, nyeri punggung, dan nyeri pada bola
mata yang semakin meningkat apabila digerakkan. Karena adanya gejala nyeri ini,
di kalangan masyarakat awam ada istilah flu tulang. Dengan sembuhnya penderita
gejala-gejala nyeri pada seluruh tubuh ini juga akan hilang.
Ruam yang terjadi pada infeksi virus dengue ini dapat timbul pada saat
awal panas yang berupa flushing, yaitu berupa kemerahan pada daerah muka,
leher, dan dada. Ruam juga dapat timbul pada hari ke-4 sakit berupa bercak-
bercak merah kecil seperti bercak pada penyakit campak. Kadang-kadang ruam
tersebut hanya timbul pada daerah tangan atau kaki saja sehingga memberi bentuk
spesifik seperti kaos tangan dan kaki. Yang terakhir ini biasanya timbul setelah
panas turun atau setelah hari ke-5.
Pada infeksi virus dengue apalagi pada bentuk klinis DHF selalu disertai
dengan tanda perdarahan. Hanya saja tanda perdarahan ini tidak selalu didapat
secara spontan oleh penderita, bahkan pada sebagian besar penderita tanda
perdarahan ini muncul setelah dilakukan tes tourniquet. Bentuk-bentuk perdarahan
spontan yang dapat terjadi pada penderita demam dengue dapat berupa perdarahan
kecil-kecil di kulit (petechiae), perdarahan agak besar di kulit (echimosis),
perdarahan gusi, perdarahan hidung dan kadang-kadang dapat terjadi perdarahan
yang masif yang dapat berakhir pada kematian.
Berkaitan dengan tanda perdarahan ini, pada anak-anak tertentu diketahui
oleh orangtua mereka bahwa apabila anaknya menderita panas selalu disertai
dengan perdarahan hidung (epistaksis). Dalam istilah medis dikenal sebagai
habitual epistaksis, sebagai akibat kelainan yang bersifat sementara dari gangguan

8
berbagai infeksi (tidak hanya oleh virus dengue). Pada keadaan lain ada penderita
anak yang apabila mengalami sakit panas kemudian minum obat-obat panas
tertentu akan disusul dengan terjadinya perdarahan hidung. Untuk penderita
dengan kondisi seperti ini, pemberian obat-obat panas jenis tertentu tersebut
sebaiknya dihindari.
Dengue Haemoragic Fever
Secara umum empat gejala yang terjadi pada demam dengue sebagai
manifestasi gejala klinis dari bentuk reaksi 1 dan 2 tubuh manusia atas keberadaan
virus dengue juga didapatkan pada DHF. Yang membedakan DHF dengan dengue
fever adalah adanya manifestasi gejala klinis sebagai akibat adanya bentuk reaksi
3 pada tubuh manusia terhadap virus dengue, yaitu berupa keluarnya plasma
(cairan) darah dari dalam pembuluh darah keluar dan masuk ke dalam rongga
perut dan rongga selaput paru. Fenomena ini apabila tidak segera ditanggulangi
dapat mempengaruhi manifestasi gejala perdarahan menjadi sangat masif. Yang
dalam praktik kedokteran sering kali membuat seorang dokter terpaksa
memberikan transfusi darah dalam jumlah yang tidak terbayangkan.
Yang penting bagi masyarakat awam adalah dapat mengetahui atau
mendeteksi kapan seorang penderita DHF mulai mengalami keluarnya plasma
darah dari dalam pembuluh darah. Keluarnya plasma darah ini apabila ada
biasanya terjadi pada hari sakit ke-3 sampai dengan hari ke-6. Biasanya didahului
oleh penurunan panas badan penderita, yang sering kali terjadi secara mendadak
(lysis) dan diikuti oleh keadaan anak yang tampak loyo, dan pada perabaan akan
didapatkan ujung-ujung tangan/kaki dingin serta nadi yang kecil dan cepat.
Banyak ditemui kasus dengan kondisi demikian, tampak suhu tubuh penderita
dirasakan normal mengira kalau putranya sembuh dari sakit. Kondisi tersebut
mengakibatkan orangtua tidak segera membawa putra mereka ke fasilitas
kesehatan terdekat. Pada keadaan ini penderita sudah dalam keadaan terlambat
sehingga kurang optimal untuk diselamatkan dari penyakitnya.

9
Sindrom syok dengue(SSD/DSS)
Sindrom syok dengue adalah demam berdarah dengue dengan manifestasi
kegagalan sirkulasi berupa nadi lemah, lembut atau tak teraba, tekanan nadi ≤ 20
mmHg, hipotensi (sesuai umur), kulit dingin dan lembab, pasien tampak gelisah.
Dengan kata lain demam berdarah dengue yang telah memasuki keadaan syok
(sesuai DBD derajat III dan IV menurut WHO)(Dorland Medical Dictionary,
2005)
Pemeriksaan Penunjang
1. Lab darah rutin
Lekosit: dapat normal tapi biasanya lekopeni dengan dominasi sel
neutrofil, pada akhir fase demam, terjadi lekopeni dan neutropeni serta
limfositosis relatif (peningkatan sel limfosit atipikal atau limfosit plasma
biru>15% dapat dijumpai pada hari ketiga, sebelum suhu tubuh turun atau
sebelum syok terjadi)
Trombosit
Trombositopeni <100.000/mm3 atau kurang dari 1-2 trombosit/lapangan
pandangan besar. Biasa ditemukan antara hari sakit ketiga-ketujuh.
Biasanya terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum suhu turun.
Hemokonsentrasi dengan tanda:
- Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai umur, jenis
kelamin
- penurunan hematokrit ≥ 20% setelah mendapat pengobatan cairan
- Tanda perembesan plasma, yaitu efusi pleura, asites atau proteinemia
Pemeriksaan laboratoris lain:
- Kadar albumin menurun sedikit dan bersifat sementara
- Eritrosit pada tinja hamper selalu ditemukan
- Pada sebagian besar kasus, disertai penurunan faktor koagulasi dan
fibrinolitik, yaitu fibrinogen, protrombin, factor VII, factor XII dan
antitrombin III

10
- Pada kasus berat ada disfungsi hati, penurunan kelompok vitamin K-
dependent, protrombin seperti factor V, VII, IX dan X, fibrinogen
mungkin subnormal
- Waktu perdarahan memanjang (PT dan PTT memanjang)
- penurunan α-antiplasmin (α-antiplasmin inhibitor) jarang ditemukan
- Serum komplemen menurun, hipoproteinemia, kadang-kadang
hipokloremia
- Hiponatremia
- Serum aspartat aminotransferase sedikit meningkat
-Asidosis metabolik berat dan peningkatan kadar urea nitrogen pada syok
berkepanjangan
2. Radiologis
Pada foto thoraks didapatkan efusi pleura terutama pada hemitoraks kanan,
tetapi bila terjadi pembesaran plasma hebat, foto roentgen dada sebaiknya
dilakukan lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat dideteksi
dengan USG
3. Diagnosis serologi
1. Hemaglutination Inhibition Test (HI test)
Uji ini sensitif tapi tidak spesifik (tidak dapat menunjukkan tipe virus
yang menginfeksi. Antibody HI bertahan >48 tahun, maka cocok untuk
uji seroepidemiologi. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen
4x dari titer serum akut atau titer tinggi (>1280) baik pada serum akut
atau konvalesen dianggap diduga keras positif infeksi dengue yang baru
terjadi (presumtif +)
2. Complement Fixation test
Antibodinya hanya bertahan sekitar 2-3 tahun saja. Cara pemeriksaannya
ruwet dan membutuhkan tenaga pemeriksa berpengalaman.

3. Neutralization Test
Paling spesifik dan paling sensitif untuk virus dengue, berdasarkan
reduksi dari plaque yang terjadi, dideteksi bersamaaan dengan antibodi

11
HI tapi lebih cepat dari antibodi komplemen, bertahan >48 tahun tapi
lama dan ruwet
4. IgM dan IgG Elisa  Mac Elisa (IgM captured Elisa)
Akhir-akhir ini sering dipakai. IgM muncul pada perjalanan penyakit
hari 4-5 yang kemudian diikuti dengan IgG. Dengan mendeteksi IgM
pada serum pasien, dapat ditentukan diagnosis yang tepat (diambil >hari
ke5 dan <6 minggu) bila masih negatif, harus diulang, apabila pada hari
sakit ke-6 masih tetap (-), msks dilaporkan sebagai (-). IgM hanya dapat
bertahan dalam darah 2-3 bulan setelah infeksi sehingga tidak boleh
dijadikan satu-satunya uji diagnostik pengelolaan kasus. Sensitivitasnya
sedikit di bawah uji HI, spesifitas sama dengan uji HI dan hanya
memerlukan 1 serum akut saja. Saat ini sudah beredar uji Elisa yang
sebanding dengan uji HI hanya lebih spesifik (IgM/IgG dengue blot,
dengue rapid, dll). Pada infeksi sekunder, IgG lebih banyak didapatkan.
4. Isolasi virus
a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari
b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCMK2) dan nyamuk A
albopictus
c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik/intraserebral pada
larva
5. Identifikasi virus
Dengan Fluorescence antibody technique test secata langsung atau tidak
langsung. Untuk identifikasi dipakai yang indirek dengan antibodi
monoclonal
6. NS1 antigen test ( Platelia Dengue NS1 Ag assay )
pemeriksaan untuk DHF yang pertama kalai diperkenalkan tahun 2006
oleh Bio-Rad Laboratories, dapat mendeteksi dihari pertama panas
sebelum antibody dapat terdeteksi 5 hari kemudian.

12
Diagnosis
Dasar diagnosis DHF (WHO, 1997):
Klinis
1. Demam tinggi dengan mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.
2. Manifesatasi perdarahan, termasuk setidak-tidaknya uji bendung positif
dan bentuk lain (petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi),
hematemesis atau melena.
3. Pembesaran hati.
4. Syok yang ditandai oleh nadi yang lemah, Hipotensi (tekanan sistolik
menurun sampai 80 mmHg atau kurang), disertai kulit yang teraba dingin
dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien jadi gelisah.
Laboratorium
Trombositopenia (< 100.000/ul) dan hemokonsentrasi (nilai hematokrit lebih 20%
dari normal).
Dua gejala klinis pertama ditambah satu gejala laboratorium cukup untuk
menegakkan diagnosis kerja DHF.

Indikator Fase Syok :


 Hari sakit ke 4-5

 Suhu turun

 Jarak tekanan darah sistol diastol memendek < 20 mmHg

 Nadi cepat tanpa demam

 Tekanan nadi turun/ hipotensi

 Leukopenia < 5.000/ul

13
Derajat (WHO,1997) :
I. Demam dengan uji bendung positif.
II. Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain.
III. Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan
nadi menurun (<20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab, dan
pasien jadi gelisah.
I. Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
diukur.

Diagnosis Banding
Pada awal penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus
atau protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam

14
cikungunya , leptospirosis, dan malaria. Adanya trombositopenia yang jelas
disertai hemokonsentrasi membedakan DHF dari penyakit lain. Diagnosis banding
lain adalah sepsis, meningitis meningokok, Idiophatic Trombositopenic Purpura
(ITP), leukemia, dan anemia aplastik.
Demam cikungunya (DC) sangat menular dan biasanya selruh keluarga
terkena dengan gejala demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih
tingi, hampir selalu diikuti dengan ruam makulopapular, injeksi konjungtiva, dan
lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji bendung positif, petekie, epistaksis
hampir sama dengan DHF. Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal
dan syok.
Pada hari-hari pertama, ITP dibedakan dengan DHF dengan demam yang
cepat menghilang dan tidak dijumpai hemokonsentrasi, sedangkan pada fase
penyembuhan jumlah trombosit pada DHF lebih cepat kembali.
Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia dan anemia aplastik. Pada
leukemia, demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat
anemis. Pada anemia aplastik anak sangat anemis dan demam timbul karena
infeksi sekunder.
Penatalaksanaan
Pada dasarnya bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma
sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.
Pasien DF dapat berobat jalan sedangkan pasien DHF dirawat diruang perawatan
biasa, tetapi pada kasus DHF dengan komplikasi diperlukan perawatn intensif.
Fase kritis umumnya terjadi pada hari sakit ketiga.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam tinggi,
anoreksia dan muntah. Pasien perlu diberi banyak minum, 50 ml/kgBB dalam 4-6
jam pertama berupa air teh dengan gula, sirup, susu, sari buah atau oralit. Setelah
keadaan dehidrasi dapat diatasi, beri cairan rumatan 80-100ml/kgBB dalam 24
jam berikutnya. Hiperpireksia diatasi dengan antipiretik dan bila perlu surface
cooling dengan kompres es. Parasetamol direkomendasikan untuk mengatasi
demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali.

15
Pemberian cairan intravena pada pasien DHF tanpa renjatan dilakukan bila
pasien terus-menerus muntah sehingga tidak mungkin diberi makanan peroral atau
didapatkan nilai hematokrit yang bertendensi terus meningkat (> 40 vol%).
Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan
elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% dalam 1/3 larutan NaCl 0,9%. Bila
terdapat asidosis, 1/4 dari jumlah larutan total dikeluarkan dan diganti dengan
larutan yang berisi 0,167 mol/liter natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan
NaCl 0.9% + glukosa ditambah 1/4 natrium bikarbonat).

16
17
18
19
Prinsip terapi DHF/DSS
Pengobatan bersifat suportif, mengatasi peningkatan permeabilitas kapiler
dan perdarahan. Keberhasilan tatalaksana DHF terletak keberhasilan mendeteksi
dini fase kritis yaitu pada fase defervescence (biasanya pada hari sakit 3-5 di mana
terjadi perembesan plasma). Pada DD saat ini merupakan tanda penyembuhan
sementara pada DHF merupakan saat kritis karena dapat merupakan awal fase
syok. Penggantian volume plasma dengan cairan kristaloid isotonik.

20
Terapinya bersifat simtomatik dan suportif sesuai bagan di atas dengan urutan
sbb:
1. Penimbangan Berat badan
Perkiraan Berat badan normal dapat dihitung dengan rumus
Untuk anak umur 3-12 bulan: BB (kg)= 2x umur (tahun) +4
2. Tunjangan hidup dasar (Pemberian Oksigen) dan akses vena
Pada semua pasien syok harus diberikan oksigen 2l/menit (disarankan
masker dengan saturasi 95-100% dan kadar hemoglobin cukup. Akses vena
untuk darah
3. Kateter urin
Urin ditampung untuk urinanalisa dan jumlah diuresis urine (normal: 2-3
ml/kgBB/jam). Oliguria sering muncul sebelum penurunan tekanan darah
dan nadi
4. Pemasangan pipa oro/nasogastrik
untuk dekompresi, memantau pendarahan saluran cerna dan bilasan
lambung.
5. Resusitasi Cairan
- Jenis cairan (rekomendasi WHO)
Kristaloid (efektif mengisi ruang interstitial, mudah disediakan, tidak mahal,
tidak alergik, namun hanya ¼ bolus yang tetap di intravascular )
 Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat
(D5/RL)
 Larutan ringer asetat(RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat
(D5/RA)
 Larutan NaCl 0,9%(garam faali=GF) atau dekstrosa 5% dalam larutan
garam faali (D5/GF)

Koloid (berada lebih lama di ruang intravascular, mampu mempertahankan


tekanan onkotik, mahal dapat menyebabkan hipersensitivitas, lebih cepat
meningkatkan kadar hematokrit daripada kristaloid (ringer laktat) dan
komplikasi lain

21
 Dekstran 40  Albumin 5% 
Gelatin
 Plasma  Hetastarch

Darah, fresh frozen plasma, dan komponen darah diberikan untuk


mempertahankan Hb, menaikkan daya angkut oksigen, memberikan faktor
pembekuan atau mengoreksi koagulopati. Produk darah perlu dihangatkan
sebelum diberikan. Risiko penggunaan darah dalam jumlah besar adalah
infeksi blood-borne, hipotermia, hipokalsemia. Cairan yang mengandung
glukosa jarang diberikan bolus karena dapat menyebabkan hiperglikemia,
diuresis osmotik dan memperburuk cedera serebral iskemik
Cairan intravena diperlukan saat (1) terjadinya syok (terapi yang utama) (2)
nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala (3) anak
terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tak mungkin
diberikan minum per oral, ditakutkan terjadi dehidrasi sehingga mempercepat
syok. Jumlah cairan tergantung derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit,
dianjurkan cairan glukosa 5% dalam 1/3 larutan yang berisi 0,167 mol/liter
biknat. Bila hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan
yang diberikan harus sama dengan plasma, volume dan komposisi cairan yang
diperlukan sama dengan cairan untuk dehidrasi pada diare ringan dan sedang
yaitu cairan rumatan ditambah defisit 6% (5%-8%)

Tabel 1.Kebutuhan cairan pada dehidrasi sedang (defisit 5%-8%)


Berat waktu masuk(kg) Jumlah cairan (ml/kg BB per hari)
<7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88

Tabel 2. Kebutuhan cairan rumatan

22
Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10-20 1000+50x kg BB(di atas 10 kg)
>20 1500+20xkg BB(diatas 20 kg)

- Pemberian cairan oral, jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, teh
manis, sirup, susu, serta oralit. Pasien diberi minum 50 ml/kgBB dalam 4-6
jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi teratasi anak diberi cairan rumatan
80-100 ml.kg BB dalam 24 jan berikutnya. Bayi yang masih minum ASI
tetap harus minum ASI di samping larutan oralit. Rasa haus dan dehidrasi
dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah.
6. Kadar Hematokrit untuk memantau Penggantian Volume Plasma
- Bila tanda vital membaik dan Hematokrit turun: tetesan diturunkan
menjadi 10 ml/kgBB/jam dan kemudian disesuaikan tergantung
kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam
- Cairan intravena dapat dihentikan bila Ht telah turun sekitar 40%, jumlah
urin 2 ml/kgBB/jam atau lebih.
- Fase reabsorpsi plasma dari ekstravaskular ditandai dengan penurunan
kadar Ht setelah pemberian cairan rumatan, tekanan darah normal, nadi
kuat, diuresis cukup, tanda vital baik. Pada fase ini penurunan Ht
merupakan tanda hemodilusi
7. Rawat di PICU
Untuk memantau dan mengantisipasi perubahan sirkulasi
metabolic dengan intensif.
8. Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Dilakukan pemeriksaan analisis gas darah dan elektrolit. Apabila asidosis
tidak dikoreksi, memacu terjadinya DIC. Koreksi dilakukan dengan
memberikan natrium bikarbonat dengan dosis: IV lambat (1) <5kg: BE(base
excess) x kgBB/4 (2)anak-anak: BEx kgBB/6 (3)dewasa: BE x kgBB/10.
Dosis ini mengoreksi ½ defisit basa.
Sodium bikarbonat hanya diberikan pada henti jantung lama dan keadaan
hemodinamik tidak stabil yang menyebabkan asidosis berat dan

23
hiperkalemia. Pada bayi premature dan <3bulan digunakan cairan sodium
bikarbonat 4,2% (0,5mEq/ml). bila pemeriksaan analisa gas darah tidak
dapat dilakukan diberikan sodium bikarbonat 0,5 mEq/kgBB tiap 10 menit
infuse pelan 1-2 menit
Infus obat-obatan untuk resusitasi dipersiapkan dengan dekstrosa 5%, garam
fisiologik atau Ringer laktat menurut rule of 6 yaitu 6 mg obat x BB (kg)
dilarutkan dalam 100 ml bila diinfuskan dengan kecepatan 1 ml/jam=1.0
µg/kgBB/menit.
9. Epinefrin
Bolus epinefrin diberikan pada henti jantung, bradikardi, hipotensi yang non
responsif terhadap resusitasi jantung paru dan cairan. Dosis bolus epinefrin
IV dan IO inisial adalah 0,01 mg/kgBB (0,1 ml/kgBB epinefrin 1:10000).
Bila perlu dosis IV dan IO dinaikkan menjadi 0,1-0,2 mg/kgBB (0,1-0,2 ml
epinefrin 1:1000), yang diulang tiap 3-5 menit. Dosis infus epinefrin adalah
0,1-1,0 µg/kgBB/menit. Untuk mencegah ekstravasasi, infuse epinefrin
diberikan melalui kateter vena atau kateter vena sentralis. Epinefrin tidak
aktif pada cairan alkali. Tersedia dalam vial 1 mg/ml. larutan epinefrin
1:10.000 disiapkan untuk IV dan IO dosis rendah, larutan epinefrin 1:1000
disiapkan untuk IO dan IV dosis tinggi dan endotrakeal.
10. Atropin
Curah jantung anak adalah rate dependent, karena itu bradikardia
simtomatik (<60 kali/menit) akibat perfusi buruk, hipotensi dan hipoksemia
harus diobati dengan resusitasi jantung paru, pemberian epinefrin atau
atropin. Atropin adalah obat parasimpatolitik yang mempercepat sinus atau
pacemaker atrial dan konduksi atrioventrikular. Digunakan juga untuk
mencegah bradikarsi karena refleks vagal pada intubasi endotrakeal.
Dosisnya 0,02 mg/kgBB dengan dosis minimal 0,1 mg, dosis atropin tunggal
maksimal adalah 0,5-1mg/x yang dapat diulang tiap 5 menit dengan total
maksimal 1 mg untuk anak dan 2 mg untuk remaja. Atropin tersedia dalam
kemasan 0,4 mg/ml dapat diberikan IV/IO
11. Glukosa

24
Hanya diberikan bila terdapat hipooglikemia dan pasien tak memberi
respons terhadap tindakan resusitasi standar. Glukosa diberikan dengan
dosis 0,5-1,0 g/kg secara IV atau IO. Bolus D10W 5-10 ml/kgbb atau D5W
atau D5 NaCl 0,9% atau RL 10-20 ml/kgBB, dapat diberikan dalam 20
menit. Konsentrasi maksimum glukosa neonatus adalah 12,5% ( secara IV)
12. Kalsium Klorida
Untuk pengobatan hipokalsemia, hiperkalemia dan hipermagnesemia.
Kandungan kalsium pada kalsium glukonat 10% adalah 9 mg/ml dan pada
kalsium klorida 10% adalah 27,2 mg/ml. dosis kalsium klorida 10% adalah
0,2-0,5 ml/kgBB atau 5-7 mg/kgbb elemen kalsium sama dengan 20-25
mg/kgbb garam kalsium yang diberikan secara infus dengan pelan (100
mg/menit) untuk mencegah bradikardi dan asistole. Dosis ini dapat diulangi
1 kali lagi sesudah 10 menit. Dosis selanjutnya hanya dilakukan bila
dilakukan pengukuran kadar kalsium. Kalsium tidak dicamput dengan
sodium bikarbonat karena terjadi pengendapan.
13. Dopamin
Dopamin diberikan untuk mengobati hipotensi atau perfusi perifer buruk
pada anak dengan volume intravaskular cukup dan irama jantung stabil.
Dopamin disiapkan menurut Rule of six (6xBB) mg dopamin dalam cairan
100 ml, bila diinfuskan dengan kecepatan 1 ml/jam akan memberikan
dopamin 1 µg/kgbb/menit. Diberikan infus kontinu dengan bantuan pompa
infus melalui kateter vena yang besar atau kateter vena sentralis.
Ekstravasasi dopamin dapat menyebabkan iskemia dan nekrosis jaringan
lokal. Dimulai dari 10 ml/jam atau 10µg/kgbb/ menit yang selanjutnya
disesuaikan dengan penilaian diuresis, perfusi sistemik dan tekanan darah.
Pada dosis rendah (2-5µg/kgbb/menit), efek langsung dopamin pada reseptor
β adrenergic jantung sedikit namun pada vascular bed dopamin merangsang
reseptor dopaminergik dengan efek vasodilatasi yang meningkatkan aliran
darah renal, splanknik, koroner dan serebral. Pada dosis tinggi
(>5µg/kgbb/menit) dopamin memberi efek melalui pelepasan norepinefrin
saraf simpatis jantung pada reseptor β adrenergic jantung dan efek α

25
adrenergic. Infus dopamin 5-10µg/kgbb/menit meningkatkan kontraktilitas
jantung tanpa efek pada tekanan darah dan denyut jantung. Infus
dopamin10-20µg/kgbb/menit terjadi vasokonstriksi dan peningkatan tekanan
darah namun timbul masalah takikardia. Infus dopamin >20µg/kgbb/menit
menyebabkan vasokonstriksi perifer hebat dan iskemia tanpa tambahan efek
inotropik.
14. Dobutamin
Diberikan pada pengobatan hipoperfusi yang berhubungan dengan
peninggian resistensi vaskular sistemik. Paling efektif untuk mengobati
gagal jantung kongestif atau syok kardiogenik, dobutamin kurang efektif
dibandingkan epinefrin pada syok septik dan hipotensi karena memperburuk
vasodilatasi sistemik yang sudah terjadi. Dobutamin diberikan secara infus
kontinu melalui kateter vena dengan bantuan pompa infus. Dobutamin
tersedia dalam vial 25 mg dan 12,5 mg/ml. Infus dobutamin disiapkan sesuai
Rule of six. Infus dimulai dengan 5-10µg/kgbb/menit (5-10 ml/jam).
Kecepatan infus tergantung tekanan darah dan perfusi pasien.
15. Sedatif
Bila pasien gelisah (biasa karena gangguan perfusi jaringan) dapat diberikan
Kloral Hidrat per oral atau per rectal dengan dosis 12,5-50 mg/kgBB (tidak
lebih dari 1 gram). Diusahakan tidak memberi obat yang hepatotoksik. Gelisah
akan hilang segera setelah pemberian cairan adekuat.
16. Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah dan cross matching harus dilakukan pada pasien
syok. Untuk pasien DIC dengan pendarahan masif dapat diberikan plasma
segar dan suspensi trombosit. Untuk menentukan prognosis, berat perdarahan
dan deteksi terjadinya DIC perlu dilakukan pemeriksaan PT, PTT dan FDP

17. Kelainan ginjal

26
Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam sedangkan cairan yang
diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya dapat diberikan
furoseemid 1 mg/kgBB, perlu dipasang CVP untuk pedoman pemberian cairan
selanjutnya. Tetap dilakukan pemantauan diuresis, kadar ureum dan kreatinin.
18. Pemantauan
- Tanda-tanda vital dicatat tiap 15-30 ‘ atau lebih sering sampai syok dapat
teratasi
- Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan pasien stabil
- Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
cukup
- Jumlah dan frekuensi diuresis harus dicatat. Kadar elektrolit harus dipantau.
19. Kortikostroid tidak memperpendek masa sakit atau memperbaiki prognosis
pada anak yang mendapat terapi suportif
- Hipervolemia selama masa reabsorpsi dapat berbahaya. Ditandai dengan
penurunan hematokrit dan tekanan nadi yang besar / lebar. Dapat diberikan
diuretic dan digitalis
20. Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan bila:
- Tidak demam selama 24 jam tanpa antipieretik
- Nafsu makan membaik
- Secara klinis tampak perbaikan
- Hematokrit stabil
- Tiga hari setelah syok teratasi
- Jumlah trombosit >50000/ul
- Tidak dijumpai distress pernafasan akibat asites atau efusi pleura

Pencegahan

27
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara
yang paling memadai saat ini. Ada 2 cara pemberantasan vektor :
1. Menggunakan insektisida.
Yang lazim dipakai dalam program pemberantasan demam berdarah
adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa (adultsida) dan temephos
(abate) untuk membunuh jentik (larvasida).
2. Tanpa insektisida
 Menguras bak mandi, tempayan, dan tempat penampungan air
minimal sekali seminggu.
 Menutup rapat-rapat tempat penampungan air.
 Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas dan benda
lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.
 Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai kelambu atau lotion.

Prognosis
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada
DHF/DSS mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya,
Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit
umumnya lebih ringan daripada anak-anak.
Dari penelitian tahun 1993, dijumpai keadaan penyakit yang terbukti
bersama-sama muncul dengan DHF yaitu demam tifoid, bronkopneumonia, dan
anemia.

DAFTAR PUSTAKA

28
1. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1999). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I, Edisi 3, FKUI, Jakarta, hal 425-426.

2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2004). Demam Berdarah


Dengue, Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD, FKUI, Jakarta.

3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2000).Kapita Selekta


Kedokteran Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta, hal 419 - 427.

4. Martina B E E et al. Clin. Microbiol. Rev. 2009;22:564-581

5. Dengue haemorrhagic fever. Diagnosis, treatment, prevention and


control, 2nd edition. WHO, Geneva

29

Anda mungkin juga menyukai