Anda di halaman 1dari 26

UJIAN STASE ANESTESI

GA - LMA PADA ORIF CRURIS

Disusun Oleh :

Yuda Pradana

42180217

Penguji :

dr. Pandit Sarosa, Sp.An. (KAR)

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI RUMAH SAKIT EMANUEL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA

2019
BAB I

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. IS

Tanggal Lahir : 02 Mei 1962

Usia : 57 tahun

Alamat : Jl. Dr. Sutomo No.02, Yogyakarta

Diagnosa : Fraktur cruris dextra 1/3 distal fragmented tertutup

Tanggal Masuk RS : 15 Januari 2018

2. ASSESSMENT PRA ANESTESI


2.1. Anamnesis

Keluhan Utama Nyeri pergelangan kaki


Riwayat Penyakit Sekarang Nyeri pada pergelangan kaki
kanan, dirasakan setelah
kecelakaan lalu lintas (motor)
pukul 8.00, tidak dapat berjalan
Riwayat Penyakit Dahulu Diabetes mellitus
Riwayat Penyakit Keluarga -
Riwayat operasi -
Riwayat pembiusan -
Riwayat minum obat Glimepiride, metformin,
atorvastatin, neurodex
Pemakaian alat bantu -
Puasa 8 jam

2.2. Pemeriksaan Fisik Pre Operatif


a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Tanda Vital
 Tekanan darah : 130/80 mmHg
 Nadi : 88x/menit
 RR : 22x/menit
 Suhu : 36 C
 Berat Badan : 57 kg
d. Nyeri : skala 4-5

A: Airway

Jalan napas : Bebas (tidak menggunakan alat bantu nafas)

Hidung : patensi hidung (+)

Mulut : gigi palsu/goyang/maju/ompong (-)

Lidah : simetris, ukuran normal

Faring : malampati 1

B: Breathing

Respirasi : 22 x/menit

Suara nafas : vesikuler

Pergerakan dinding dada : simetris

C: Circulation
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 88x/menit; adekuat
Saturasi : 100%
CRT : <2 detik
Kondisi akral : hangat
D: Disability
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Kelainan neurologis : (-)
2.3. Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi
Tampak defek fraktur kompleta, kominutifa, 1/3 distal tibia dan fibula
dextra cum contraction, cum angulasi, cum luksasio tibio-fibular distal
dextra trabekulasi osteopenia
 Darah

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hemoglobin 13,3 12-16 g / dl
Leukosit 11,7 H 4,8-10,8 ribu/mm3
Eritrosit 4,45 4,2-5,4 Juta/mm3
Hematokrit 40,1 37-47%
MCV 90,1 79,0-99,0 fL
MCH 29,9 27,0-31,0 pg
MCHC 33,2 33,0-37,0 g/dl
Trombosit 300 150-450 ribu/mm3
PDW 12,0 9.0-13.0 fL
MPV 10,4 7,2-11,1 fL
Neutrofil Segmen% 74,2 H 50-70%
Eosinofil% 0,6 L 2-4%
Basofil% 0,4 0-1%
Limfosit% 19,9 18-42%
Monosit% 4,9 2-8%
Clotting time 10 L 11-15 menit
APTT 31,2 25-35 menit
ALT 24,0 0-55,0 U/L
AST 29,0 5-34 U/L
Ureum 31,0 20-43 mg/dl
Kreatinin 0,6 0,55-1,02 mg/dl
Glukosa Sewaktu 482 H 70-115 mg/dl

 Kesimpulan Assessment Pra Anestesi

Diagnosa bedah : Fraktur cruris dextra 1/3 distal fragmented tertutup

Status ASA : Kelas II

Rencana teknik anestesi : GA dengan LMA

 Diagnosis Kerja

Diagnosa medis : Fraktur cruris dextra

Diagnosa tindakan : ORIF platino cruris dextra

Rencana anestesi : General Anesthesia dengan LMA

Diagnosa anestesi : ASA II / Non Emergency tanpa penyulit


Persiapan anestesi : Puasa selama > 8 jam

 ASSESMENT PRA INDUKSI


 Identitas pasien benar √
 Persetujuan medis telah ditandatangani √
 Teknik anestesi sudah ditentukan √
 Tensi sitolik antara 90-180 mmHg √
 Tensi diastolik antara 50-110 mmHg √
 Nadi dewasa antara 50-130 kali per menit √
 Laju nafas dewasa 8-35 kali per menit √
 Suhu antara 36,5 sampai 39oC √
 Saturasi oksigen antara 90-100% √
 Jalan nafas bebas/terkontrol √
 Nyeri minimal/tidak ada √
 PELAKSANAAN OPERASI

Dokter operator : dr. Tedjo Rukmoyo Sp. BO

Dokter anestesi : dr. Erry Guthomo, Sp. An

Hari/Tanggal operasi : Rabu, 16 Januari 2019

Waktu operasi : 12.00 WIB

2.4. Obat yang diberikan:

Obat Dosis Sediaan


0,05 mg/ml
Fentanyl 100 mcg
(1A=2 ml)
4 mg/2ml
Ondansentron 4 mg
(1A=2 ml)
10 mg/ml
Propofol 100 mg
(1A=20 ml)
Asam 100 mg/ml
500 mg
tranexamat (1A=5ml)
Cefazolin 3 gr 1 vial = 1gr

N2O 2lt/menit

Sevoflurane 2%
30mg/ml
Ketorolac 30 mg
(1A=1 ml)

2.5. Peralatan untuk LMA :

1. LMA no. 4 4. Ventilator


2. Spuit 5. Sungkup / facemask
3. Plaster

2.6. Prosedur Anestesi:


 Pasien diposisikan terlentang diatas meja operasi lalu dipasangkan
monitor hemodinamik berupa tensimeter pada sisi tangan yang tidak
terpasang infus dan pulseoxymetri pada sisi tangan yang terpasang infus.
 Mempersiapkan alat : memilih ukuran LMA yang sesuai, sediakan
stetoskop dan mempersiapkan plester
 Pasien diberikan Fentanyl 100 mcg dan Ondansetron 4 mg sebagai
premedikasi. Kemudian diberikan Propofol 100 mg sebagai induksi.
Setelah itu dinilai refleks bulu mata pasien untuk mengetahui apakah obat
yang diberikan sudah bekerja dan untuk menilai apakah pasien sudah
melewati stadium II. Setelah pasien sudah masuk dalam keadaan tidak
sadar yang ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata, berikan
oksigenasi dengan menggunakan facemask agar terjadi hiperventilasi
selama 3 menit.
 Posisikan kepala pasien, dengan posisi ekstensi (headtilt), buka mulut
dengan membuka rahang bawah pasien, kemudian masukkan LMA
hingga masuk ke hipofaring. Kembangkan kaff dengan spuit dan
sambung LMA dengan ventilator
 Bagging balon sambil amati pengembangan dada/paru pasien untuk
menilai keberhasilan pemasangan LMA. Jika dinding dada mengembang
maka LMA sudah dapat difiksasi dengan plester.
 Bagging pasien 12 x/menit dengan frekuensi yang semakin lama semakin
menurun jumlahnya hingga pasien dapat bernafas spontan. Kemudian
amati pernapasan spontan pasien pada balon. Apabila pernafasan pasien
tidak adekuat, maka lakukan bagging dengan balon. Tetapi, bagging
dilakukan dengan jarang agar pasien dapat bernapas dengan spontan.
 Obat pemeliharaan (maintenance) yang diinduksikan melalui media
ventilator selama operasi adalah oksigen 3 liter/menit, N 2O 3 liter/menit,
dan sevoflurane 2%.
2.7. Hemodinamik durante operasi

Jam Tekanan Darah Nadi


12.45 135/80 85
13.00 130/70 80
13.15 140/80 80
13.30 110/70 80
13.45 120/80 80
14.00 120/70 80
14.15 120/80 80
14.30 120/80 80
14.45 120/80 80
15.00 120/80 90

3. PASCA OPERATIF (RECOVERY ROOM)


3.1. Aldrete Score

Kriteria Masuk Keluar


Kesadaran
Sadar penuh 2 1 2
Gaduh gelisah 1
Tidak ada respon 0
Respirasi
Mampu bernapas dalam dan batuk 2 1 2
Dispnea, napas dangkal atau terbatas 1
Apnea 0
Motorik : mampu mengikuti perintah atau kemauan sendiri
4 ekstremitas 2 1 2
2 ekstremitas 1
0 ekstremitas 0
Saturasi 02
Saturasi 02 >90% pada ruangan 2 2 2
Perlu inhalasi 02 untuk mencapai 1
Saturasi >90%
Saturasi 02 <90% bahkan dengan 0
Tambahan 02
Sirkulasi
Tekanan darah ±20 mm dari tekanan 2 2 2
awal preanestesi
Tekanan darah ±20-50 mm dari tekanan 1
awal preanestesi
Tekanan darah ±50 mm dari tekanan 0
awal preanestesi
Total 7 10
Penilaian Alderete Score pasien ialah 10 sehingga pasien dapat pindah dari
Recovery Room ke bangsal.

3.2. Hemodinamik Pasca Operasi

Jam Tekanan Nadi


Darah
15.00 130/80 78
15.15 130/80 80
15.30 130/80 80

3.3. Instruksi Pasca Anestesi di Ruangan/Bangsal


1. Monitoring vital sign setiap 15 menit sampai 2 jam post operasi.
2. Oksigenasi 2-3 liter/menit
3. Cairan intravena RL 20-30 tpm dalam waktu 24 jam dan diganti bila
habis.
4. Diberikan injeksi ketorolac 4x30 mg diberikan untuk mengatasi nyeri.
5. Diberi injeksi ondansentron 4 mg untuk mengatasi mual.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan yang bertujuan untuk menghilangkan rasa
nyeri dan menghilangkan kesadaran secara reversible. Terdapat tiga pilar (trias
anestesi) yaitu hipnosis, analgesia, dan relaksasi otot. Hipnosis membuat tenang,
mengantuk, atau tidur. Analgesia berarti membuat pasien tidak merasakan nyeri,
sedangkan relaksasi otot adalah melumpuhkan otot skelet sementara.
Anestesi memiliki durasi yang beragam namun dapat diprediksi. Durasi
anestesi dapat diprediksi dari jenis obat yang digunakan maupun dosis obat yang
diberikan. Disisi lain, obat anestesi juga dapat mengakibatkan depresi jalan
napas. Hal ini menyebabkan pasien tidak mampu melakukan ventilasi spontan
yang disertai depresi kardiovaskular, sehingga cenderung mengalami bradikardi
dan hipotensi. Oleh karena itu, anestesi umum harus diiringi dengan manajemen
jalan napas.
Metode pemberian anestesi umum sering diberikan melalui parenteral
khususnya intravena dan inhalasi. Beberapa contoh obat intravena yang gunakan
sebagai induksi anestesi adalah Propofol (dosis: 2-2,5 mg/kgBB), Ketamine
(dosis: 1-2 mg/kgBB), dan Thiopental (dosis: 3-6 mg/kgBB). Contoh obat
inhalasi adalah isofluran, sevofluran, desfluran, N2O, dan halotan. Obat inhalasi
akan masuk ke dalam alveoli paru melalui proses pernapasan dan akan
mengalami proses difusi ke dalam sirkulasi dan seluruh tubuh dan jaringan. Obat
inhalasi biasanya digunakan untuk maintenance selama proses operasi yang
durasinya lama, agar kedalaman anestesi dapat dipertahankan.
Obat sedatif juga dapat diberikan kepada pasien untuk memberikan efek
tenang dan mengantuk, sehingga pasien dapat tertidur dan kooperatif saat
dilakukan pembedahan. Contoh obat sedatif yang sering digunakan ialah
Midazolam (dosis: 0,1-0,4 mg/kgBB).
Obat lain yang sering digunakan dalam anestesi adalah analgesik. Analgesik
dibagi menjadi dua golongan yaitu analgesik kuat dengan ringan. Analgesik kuat
adalah golongan opioid, karena analgesik ini bekerja langsung dibagian sistem
saraf pusat (SSP) dengan mengikat reseptor opiod yang masih bebas di SSP
sehingga mengubah persepsi dan respon terhadap stimulus nyeri dengan
menghasilkan depresi SSP secara umum. Beberapa contoh obat golongan opioid
adalah morfin, pethidin, tramadol, dan fentanyl. Sedangkan obat analgesik ringan
merupakan analgesik dari golongan NSAID (parasetamol, ketorolac, dan natrium
diklofenak). NSAID bekerja dengan menginhibisi pembentukkan asam
arachidonat menjadi prostaglandin sehingga tidak terbentuk mediator-mediator
inflamasi (PGE, PGD, PGF, Prostacycline, Thromboxane A2) yang dapat
menyebabkan nyeri.
Obat yang juga sering digunakan adalah muscle relaxant. Muscle relaxant
merupakan obat yang digunakan untuk melumpuhkan otot, sehingga membantu
proses pemasangan endotracheal tube (ET). Obat ini digolongkan dalam
pelumpuh non-depolarisasi seperti mivakurium, atrakurium, pankuronium,
sementara pelumpuh depolarisasi contohnya adalah suksinil kolin.

2. Stadium Anestesi
Stadium anestesi dapat dinilai setelah pasien diinduksi. Stadium anestesi yang
diklasifikasikan oleh Guedel yaitu :
a. Stadium I (analgesi)
Dimulai dari saat pemberian induksi sampai hilangnya kesadaran. Pasien tetap
dalam kontak verbal, dan dapat diberikan petunjuk sepanjang stadium ini. Pasien
masih dapat melakukan gerakkan dan refleks laringofaringeal masih ada namun
rasa nyeri sudah menghilang. Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan
gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.
b. Stadium II (delirium/eksitasi)
Dimulai dari hilangnya kesadaran yang ditandai dengan hilangnya
refleks bulu mata. Pada stadium ini dapat terjadi eksitasi, delirium, dan
pernapasan yang ireguler. Stadium ini berakhir apabila pasien dapat kembali
bernapas teratur. Kadang-kadang pasien dapat mengalami apneu, tonus otot
rangka yang meningkat, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi serta
takikardia. Stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan kematian.
c. Stadium III (pembedahan)
Dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan hilang.
Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan
bola mata yang tidak menurut kehendak pupil miosis, refleks cahaya ada,
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai
relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai menurun).
Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks
laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum
tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4 : Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis
total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan
kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat
menurun).
d. Stadium IV (overdosis/intoksikasi)
Dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4.
Pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung
berhenti, dan akhimya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada
stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
3. Assessment Pre Operasi
Assessment pre operasi adalah kegiatan pemeriksaan pasien yang meliputi
anamnesis riwayat anestesia, operasi sebelumnya, gaya hidup. Selain itu juga
dilakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium yang sesuai, menilai
status fisik pasien (mengklasifikasikan ASA pasien). Hal ini sangat penting
dilakukan sebelum pasien melakukan operasi untuk menunjukkan apakah pasien
memerlukan perhatian khusus atau tidak terkait kondisi kesehatannya yang
berkaitan dengan pembiusan.
ASA dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

ASA I Pasien sehat, tidak ada gangguan organik atau kejiwaan, tidak
termasuk sangat muda dan sangat tua, sehat dengan toleransi
latihan yang baik
ASA II Pasien memiliki kelainan sistemik ringan, dimana penyakit yang
terkendali dan terkontrol, seperti obesitas ringan, kehamilan,
hipertensi terkontrol, DM tanpa efek sistemik, merokok tanpa
PPOK, riwayat asma terkontrol.
ASA III Pasien dengan kelainan sistemik berat, terdapat beberapa
keterbatasan fungsional, memiliki penyakit lebih dari satu sistem
tubuh, seperti CHF terkontrol, angina stabil, serangan jantung tua,
hipertensi tiak terkontrol, obesitas morbid, gagal ginjal kronis,
penyakit bronkospastik dengan gejala intermiten.
ASA IV Pasien dengan kelainan sistemik berat + incapacitance, pasien
dengan setidaknya satu penyakit berat yang tidak terkontrol dan
pada tahap akhir, kemungkinan resiko kematian, seperti angina
tidak stabil, PPOK bergejala, gejala CHF, kegagalan hepatorenal.
ASA V Pasien dengan atau tanpa operasi diperkirakan meninggal dalam 24
jam atau harapan hidup lebih dari 24 jam tanpa operasi, risiko
besar akan kematian, kegagalan multiorgan, sindrom sepsis dengan
ketidakstabilan hemodinamik, hipotermia, dan koagulopati tidak
terkontrol.
Selain itu perlu dilakukan penilaian dengan skor mallampati juga diperiksa.
Skor ini digunakan untuk menentukan apakah terdapat kemungkinan kesulitan jika
pasien akan dilakukan intubasi. Adapun klasifikasi Mallampati yang dinilai dengan
cara pasien membuka mulut dalam posisi duduk:
 Kelas I: Palatum molle, fauces, uvula dan pilar terlihat jelas
 Kelas II: Palatum molle, fauces, dan sebagian uvula terlihat
 Kelas III: Palatum molle dan dasar uvula terlihat
 Kelas IV: Hanya terlihat palatum
Pasca operasi akan dilakukan penilaian Aldrete skor, dimana yang dinilai tediri
dari aktivitas motorik, pernafasan, sirkulasi, kesadaran, dan saturasi oksigen pasien.
Masing-masing kriteria memiliki penilaian 0-2, dimana nilai total maksimal 10, skor
≥8 dapat dipindahkan ke bangsal tanpa nilai 0 sedangkan <8 pindakhan ke ICU.
Sistematik Kriteria Skor
Aktifitas Motorik Mampu menggerakan ke 4 2
ekstremitas
Mampu menggerakkan ke 2 1
ekstremitas
Tak mampu 0
menggerakkanatas
perintah/secara sadar
Pernapasan Napas adekuat dan dapat 2
batuk
Dyspneu, napas tidak adekuat 1
Apneu 0
Sirkulasi Tekanan darah mengalami 2
perubahan <20mmHg dari
semula
Tekanan darah mengalami 1
perubahan >20-50mmHg dari
semula
Tekanan darah mengalami 0
perubahan >50mmHg dari
semula
Kesadaran Sadar penuh 2
Bangun jika dipanggil 1
Tidak ada respon/belum sadar 0
Saturasi Oksigen Level >90% napas tanpa 2
oksigen
Level >90% napas dengan 1
oksigen
Level <90% napas dengan 0
oksigen

4. Teknik Anestesi Umum dan Manajemen Saluran Napas


Setelah pasien melewati tahap assessment pre-anestesi, pemeriksaan status
fisik pasien, dan pasien telah mengosongkan lambungnya dengan berpuasa
selama 8 jam untuk dewasa dan 6 jam untuk anak-anak, maka anestesi dapat
dilaksanakan. Setelah pasien memenuhi syarat operasi, maka dilakukan persiapan
mesin dan peralatan yang akan digunakan selama anestesi.
Anestesi umum diawali dengan premedikasi, dilanjutkan dengan induksi,
maintenance, dan post anestesi. Premedikasi adalah tindakan pemberian obat yang
dilakukan 1 jam sampai beberapa saat sebelum pasien diinduksi. Tindakan ini
dilakukan untuk melancarkan proses induksi, pemeliharaan, dan pemulihan dalam
prosedur anestesi. Tujuan premedikasi yaitu untuk mengurangi nyeri dan cemas,
menurunkan sekresi ludah dan bronkus, mengurangi refleks yang tidak
diinginkan, mengurangi mual-muntah pasca bedah, dan menciptakan amnesia.
Obat-obat yang dapat digunakan untuk premedikasi yaitu ;
1) Sulfas Atropin  untuk mengurangi sekresi dan mengatasi bradikardi
2) Diaepam dan midazolam dapat membuat nyaman dan memberi efek
amnesia
3) Fentanyl dan pethidine  Analgetik kuat/narkotik
4) Catapres  antihipertensi
5) Ondansetron  antiemetik
Setelah premedikasi dilakukan, lanjutkan dengan induksi. Induksi anestesi
adalah tindakan pemberian obat untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar. Obat-obat yang dapat digunakan untuk induksi yaitu Propofol (selain
menurunkan kesadaran juga dapat menurunkan tekanan darah), Tiopental, dan
Ketamin (meningkatkan tekanan darah). Induksi cairan-cairan tersebut relatif
singkat bertahan dalam tubuh, sehingga penggunaan obat tersebut dipilih pada
prosedur bedah dengan durasi waktu yang pendek.
Setelah induksi selesai perlu dilakukan pemeliharaan/maintenance.
Pemeliharaan dilakukan terutama untuk mempertahankan hemodinamik dan
saturasi oksigen pada pasien. Di tahap pemeliharaan, pasien dapat diberikan
facemask, LMA, atau ET dengan O2 (3-6 Lpm). Selama tahap pemeliharaan
dapat juga diberikan obat anti perdarahan seperti asam tranexamat atau adona,
sehingga membantu menurunkan perdarahan pasien selama operasi. Pada tahap
pemeliharaan juga dapat diberikan efedrin bila selama operasi pasien mengalami
hipotensi. Setelah operasi mendekati selesai (post anestesi), pasien diberikan obat
anti mual yaitu ondansetron dan anti nyeri berupa ketorolac.
Manajemen saluran napas pasien harus selalu dilakukan selama pembedahan.
Pada saat dilakukan pembedahan, pasien dalam keadaan tertidur. Keadaan ini
dapat menurunkan pernapasan, sehingga harus selalu diberikan ventilasi dan
oksigenasi. Ada 3 teknik untuk membuka jalan napas pasien (3 way maneuver)
yang terdiri dari chin lift, jaw thrust, dan head tilt. Selain itu dapat digunakan
alat-alat untuk manajemen saluran napas yaitu: face mask, Laryngeal Mask
Airway (LMA), dan intubasi ET.
Laryngreal Mask Airway (LMA) merupakan salah satu alat yang digunakan
untuk manajemen jalan napas. Ada 3 jenis LMA, yaitu: LMA Klasik, Flexible,
Proseal, dan Fast Track. LMA Klasik memiliki berbagai ukuran mulai dari ukuran
untuk bayi sampai untuk dewasa. LMA Proseal lebih sering dipakai karena
bentuknya lebih efektif secara anatomis untuk jalan napas dan lebih cocok untuk
ventilasi tekanan positif. Meskipun demikian, LMA memiliki kekurangan.
Kekurangan dari LMA adalah adanya kesulitan dalam insersi. Kesulitan
insersi disebabkan karena cuff yang besar dan tidak ada backplate sehingga cuff
mudah tertekuk kedalam mulut. Indikasi pemasangan LMA, adalah alternatif face
mask untuk penanganan jalan napas, penanganan airway selama anestesi umum,
situasi jalan napas yang sulit (terencana, penyelamatan jalan napas, membantu
apabila tidak terdapat perlengkapan intubasi endotrakheal). Di sisi lain, LMA
memliki beberapa kontraindikasi pemasangan. Kontraindikasi pemasangan LMA
adalah resiko meningkatnya regurgitasi isi lambung (tidak puasa), terbatasnya
kemampuan untuk membuka mulut/ekstensi leher, tahanan jalan napas yang
besar, obstruksi jalan napas setinggi level laring kebawah, dan kelainan anatomis
pada orofaring.
Diperlukan beberapa alat untuk pemasangan LMA. Alat-alat tersebut adalah
LMA (tentukan ukuran yang diperlukan), mayo, tape/plester, gel, suction dan
spuit. Setelah alat siap dan pasien sudah siap lakukan pemberian obat induksi
terlebih dahulu sebelum dilakukan pemasangan LMA. Konsep pemasangan LMA
seperti menelan, LMA dimasukkan menelusuri langit-langit rongga mulut hingga
sampai ke hipofaring, lalu balon dikembungkan dan akhirnya difiksasi. Siapkan
obat darurat bila diperlukan (sulfas atropin, dan lain-lain).

5. Fraktur Cruris
5.1. Definisi
Fraktur merupakan suatu diskontinuitas susunan tulang yang disebabkan
karena trauma atau keadaan patologis. Fraktur juga dapat diartikan sebagai
suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. Sedangkan cruris berasal dari
bahasa latin crus atau cruca yang berarti tungkai bawah yang terdiri dari tibia
dan fibula
5.2. Patofisiologi
Penyebab terjadinya fraktur terbagi menjadi 3:
a. Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya benturan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang
atau miring.
b. Trauma tidak langsung
Trauma tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari
tempat terjadinya benturan. Tulang yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor.
c. Trauma akibat kontraksi otot
Trauma akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dari luar yang
dapat menyebabkan kondisi ini berupa pemutiran, penekukan, penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
5.3. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan
warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
d. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
yang lainya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
5.4. Tatalaksana
a. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya.
b. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya
untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau
reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit
bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).
c. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di
gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar
kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau
tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal
dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan
untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur,
humerus dan pelvis. Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan
pin yang diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau
zona trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk
menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment
berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan
lunak.
d. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari
atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus segera dimulai
melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh
dan mobilisasi.
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RS Bethesda pada 15 Januari 2019 pukul 12.30. Pasien
datang dengan keluhan nyeri di pergelangan kaki. Nyeri terasa di pergelangan kaki
sebelah kanan. Dirasakan setelah kecelakaan lalu lintas (motor) pukul 8.00. Pasien
tidak dapat berjalan. Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan, pasien
didiagnosis mengalami fraktur cruris dextra 1/3 distal fragmented tertutup dan
direncanakan untuk operasi.
Pada tanggal 16 Januari 2019 dilakukan asessment pra anestesi. Assesment
dilakukan untuk menentukan status fisik dan jenis anestesi yang akan digunakan
untuk prosedur operasi pada pasien. Pasien dikategorikan ASA II karena pasien
memiliki kelainan sistemik berupa Diabetes Mellitus tanpa adanya keterbatasan
aktivitas. Anestesi yang digunakan adalah anestesi umum dengan menggunakan LMA
nomor 4. LMA dipilih untuk menjaga jalan napas dan memudahkah proses operasi,
selain itu penggunaannya lebih mudah dan efisien.
Sebelum masuk ruang operasi pasien diassesment kembali, kemudian dibawa
ke kamar operasi dan selanjutnya dipasangkan tensi dan pulse oxymetri untuk
monitoring hemodinamik selama operasi. Setelah itu, diberikan obat premedikasi
Fentanyl 100 mcg untuk mengatasi nyeri selama operasi. Fentanyl termasuk analgesia
golongan opioid, dimana cara kerjanya dengan terikat pada reseptor opioid (reseptor
µ). Obat ini bekerja pada sistem saraf pusat, sehingga rangsangan nyeri tidak
mencapai korteks. Onset fentanyl melalui jalur intravena adalah 30 detik dan dalam 5
waktu menit dapat mencapai puncak kerja obat dengan durasi 30-60 menit.
Kelarutannya dalam lemak tinggi sehingga mudah melewati sawar darah otak, paru
dan otot skelet. Namun, obat ini dapat mengakibatkan depresi napas, hipotensi, mual
muntah, dan sakit kepala. Kontraindikasi pemberian fentanyl adalah pasien dengan
depresi napas akut atau penyakit paru obstruksi, alkoholisme akut, cedera kepala, dan
ileus paralitik. Selain itu, juga diberikan Ondansetron sebanyak 4 mg diberikan
sebagai anti-emetik. Obat ini merupakan antagonis selektif reseptor 5-HT3 yang
bekerja dengan cara memblok serotonin di perifer pada n.vagus dan disentral pada
zona triger kemoreseptor sehingga dapat mencegah mual muntah.
Obat induksi anestesi umum yang digunakan adalah propofol. Propofol
memiliki onset 15-45 detik dengan durasi yang bervariasi tergantung dari dosis yang
diberikan. Propofol memiliki waktu paruh yang pendek yaitu 2-8 menit. Propofol
bekerja dengan mengikat GABA reseptor. GABA adalah neurotransmiter penghambat
utama dalam susunan saraf pusat. Efek sedasi dan hipnotik yang ditimbulkan oleh
propofol di susunan saraf pusat muncul diakibatkan oleh interaksi propofol dengan
reseptor GABA. Interaksi ini akan menyebabkan konduksi klorida transmembran
meningkat dan mengakibatkan hiperpolarisasi membran sel sehingga hantaran saraf
tidak terjadi. Kontraindikasi diberikan propofol ialah pasien dengan penyakit hepar,
asidosis metabolik. Beberapa efek samping yang ditimbulkan adalah nyeri pada area
suntikkan, hipotensi, dan apneu.
Setelah dilakukan induksi, stadium anestesi pasien dinilai dengan memeriksa
refleks bulu mata pasien. Jika reflex bulu mata tidak ada, pasien dapat diberikan
oksigenasi dengan menggunakan facemask dengan cepat untuk memberikan
hiperventilasi kepada pasien. Kemudian LMA dimasukkan dan diberikan oksigen,
N2O, dan sevofluran. Oksigen yang diberikan sebanyak 3 liter/menit. Sedangkan
N2O diberikan sebanyak 3 liter/menit dengan Sevoflurane 2%, kedua gas ini
berfungsi sebagai pemelihara (maintanance) agar pasien tetap dalam keadaan tertidur.
N2O (Nitrous Oxide) juga memiliki efek analgesik.
Dosis maintenance Sevofluran yang digunakan adalah 2%. Sevoflurane
merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak eksplosif, tidak
berwarna, dan tidak berbau sehingga baik untuk induksi inhalasi. Proses induksi dan
pemulihannya paling cepat dari obat inhalasi lainnya. Dengan MAC (minimum
alveolar concentration) 1,4%-3,3%. Sevoflurane mengubah aktivitas reseptor
neurotransmiter seperti nicotinic AcH, GABA, dan glutamate, memiliki efek
tambahan sebagai muscle relaksan tanpa analgesia. Dapat menimbulkan hipotensi,
depresi napas, salivasi, dan lain-lain. Efek induksi sevoflurane sangat cepat karena
sifatnya yang mudah mencapai konsentrasi tinggi di alveolus.
Pada saat operasi berlangsung, diberikan juga antibiotik profilaksis. Antibiotik
yang digunakan adalah cefazolin. Cefazolin merupakan antibiotik cephalosporin
generasi pertama dan termasuk ke dalam antibiotik spektrum luas. Antibiotik ini
menghambat sintesis dinding bakteri dan bekerja dengan menghentikan pertumbuhan
bakteri. Cefazolin 3 gram diberikan melalui drip NaCl 250 ml, dan dilanjutkan
dengan RL 500 ml.

Ketorolac 30 mg diberikan sebagai analgesik sesaaat sebelum operasi


berakhir. Obat ini termasuk analgetik golongan NSAID (Non Steroidal Anti
Inflammatory Drugs). Ketorolac bekerja menghambat enzim COX-1 dan COX-2
sehingga prostaglandin tidak dapat terbentuk. Onsetnya mendekati 30 menit (IV)
dengan durasi 4-6 jam. Kontraindikasinya pasien yang alergi terhadap ketorolac,
aspirin atau NSAID lainnya, selain itu juga pasien dengan riwayat penyakit peptic
ulcer atau perdarahan pada GI tract. Efek samping yang dimiliki ketorolac dapat
terjadi perdarahan gastrointestinal dan mual muntah.
Setelah operasi selesai, dilakukan ekstubasi LMA. Setelah itu, pasien
diberikan oksigenasi dengan menggunakan facemask. Pemberian gas N2O dan
sevoflurane dihentikan setelah ekstubasi. Pemberian oksigenasi dilakukan sampai
keadaan napas pasien stabil dengan saturasi oksigen >95%. Bila keadaan pasien telah
stabil, indikator monitoring dapat dilepas, monitor dimatikan, dan pasien dipindahkan
ke Recovery Room. Di Recovery Room, dilakukan monitoring hemodinamik dan
dilakukan penilaian skor alderete. Pada saat Ny. IS masuk Recovery Room didapatkan
skor 7, sedangkan saat akan keluar Recovery Room skor alderete Ny. IS adalah 10,
sehingga pasien dapat dipindahkan keruangan.
BAB IV

KESIMPULAN

1. Pasien berusia 57 tahun dengan diagnosa bedah fraktur cruris dextra dan
diagnosa anestesi ASA II / Non Emergency tanpa penyulit.
2. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus
3. Metode anestesi menggunakan General Anestesi dengan LMA.
4. Premedikasi anestesi menggunakan Fentanyl 100 mcg dan ondansetron 4 mg.
5. Induksi anestesi menggunakan Propofol 100 mg.
6. Maintenance anestesi menggunakan O2, N2O dan Sevoflurane.
7. Diberikan antibiotik profilaksis cefazolin sebanyak 3 gr dengan drip NaCl dan
RL.
8. Selama stadium anestesi, kondisi hemodinamika pasien stabil.
9. Ketorolac 30 mg diberikan saat operasi hampir berakhir sebagai analgetik.
10. Pasca operasi pasien dipindahkan ke Recovery Room dengan hemodinamik
yang stabil.
11. Pasien dinilai skor alderete dan dinyatakan dapat dipindahkan ke ruang rawat
inap.
DAFTAR PUSTAKA

Anesthesiologists. Accessed 4 November 2017. Available at:


http://anesthesiology.pubs.asahq.org/article.aspx?articleid=1948187Pramono, A.
(2015) Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC

CME.2018. MIMS Edisi Bahasa Indonesia Vol 19. Jakarta.

Katzung, G. Bertram, dkk. 2009. Basic and Clinical Pharmacology 11 th


edition. San Fransisco: McGrawHill Medical
Latief, Said, et al, (2001) Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Balai
Penerbit FK UI, Jakarta
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014
Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer Khine, H., et al.(1997) Comparison of Cuffed and Uncuffed Endotracheal
Tubes in Young Chilren during General Anesthesia. The Journal of the American
Society of 5.

Trapani, Giuseppe., Altomare, Cosimo. 2000. Propofol in Anesthesia


Mechanism of Action , Structure-Activity Relationships and Drug Delivery. Italy.
Dipartimento Farmaco Chimico.

Anda mungkin juga menyukai