Disusun Oleh :
Yuda Pradana
42180217
Penguji :
YOGYAKARTA
2019
BAB I
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. IS
Usia : 57 tahun
A: Airway
Faring : malampati 1
B: Breathing
Respirasi : 22 x/menit
C: Circulation
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 88x/menit; adekuat
Saturasi : 100%
CRT : <2 detik
Kondisi akral : hangat
D: Disability
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Kelainan neurologis : (-)
2.3. Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Tampak defek fraktur kompleta, kominutifa, 1/3 distal tibia dan fibula
dextra cum contraction, cum angulasi, cum luksasio tibio-fibular distal
dextra trabekulasi osteopenia
Darah
Diagnosis Kerja
N2O 2lt/menit
Sevoflurane 2%
30mg/ml
Ketorolac 30 mg
(1A=1 ml)
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan yang bertujuan untuk menghilangkan rasa
nyeri dan menghilangkan kesadaran secara reversible. Terdapat tiga pilar (trias
anestesi) yaitu hipnosis, analgesia, dan relaksasi otot. Hipnosis membuat tenang,
mengantuk, atau tidur. Analgesia berarti membuat pasien tidak merasakan nyeri,
sedangkan relaksasi otot adalah melumpuhkan otot skelet sementara.
Anestesi memiliki durasi yang beragam namun dapat diprediksi. Durasi
anestesi dapat diprediksi dari jenis obat yang digunakan maupun dosis obat yang
diberikan. Disisi lain, obat anestesi juga dapat mengakibatkan depresi jalan
napas. Hal ini menyebabkan pasien tidak mampu melakukan ventilasi spontan
yang disertai depresi kardiovaskular, sehingga cenderung mengalami bradikardi
dan hipotensi. Oleh karena itu, anestesi umum harus diiringi dengan manajemen
jalan napas.
Metode pemberian anestesi umum sering diberikan melalui parenteral
khususnya intravena dan inhalasi. Beberapa contoh obat intravena yang gunakan
sebagai induksi anestesi adalah Propofol (dosis: 2-2,5 mg/kgBB), Ketamine
(dosis: 1-2 mg/kgBB), dan Thiopental (dosis: 3-6 mg/kgBB). Contoh obat
inhalasi adalah isofluran, sevofluran, desfluran, N2O, dan halotan. Obat inhalasi
akan masuk ke dalam alveoli paru melalui proses pernapasan dan akan
mengalami proses difusi ke dalam sirkulasi dan seluruh tubuh dan jaringan. Obat
inhalasi biasanya digunakan untuk maintenance selama proses operasi yang
durasinya lama, agar kedalaman anestesi dapat dipertahankan.
Obat sedatif juga dapat diberikan kepada pasien untuk memberikan efek
tenang dan mengantuk, sehingga pasien dapat tertidur dan kooperatif saat
dilakukan pembedahan. Contoh obat sedatif yang sering digunakan ialah
Midazolam (dosis: 0,1-0,4 mg/kgBB).
Obat lain yang sering digunakan dalam anestesi adalah analgesik. Analgesik
dibagi menjadi dua golongan yaitu analgesik kuat dengan ringan. Analgesik kuat
adalah golongan opioid, karena analgesik ini bekerja langsung dibagian sistem
saraf pusat (SSP) dengan mengikat reseptor opiod yang masih bebas di SSP
sehingga mengubah persepsi dan respon terhadap stimulus nyeri dengan
menghasilkan depresi SSP secara umum. Beberapa contoh obat golongan opioid
adalah morfin, pethidin, tramadol, dan fentanyl. Sedangkan obat analgesik ringan
merupakan analgesik dari golongan NSAID (parasetamol, ketorolac, dan natrium
diklofenak). NSAID bekerja dengan menginhibisi pembentukkan asam
arachidonat menjadi prostaglandin sehingga tidak terbentuk mediator-mediator
inflamasi (PGE, PGD, PGF, Prostacycline, Thromboxane A2) yang dapat
menyebabkan nyeri.
Obat yang juga sering digunakan adalah muscle relaxant. Muscle relaxant
merupakan obat yang digunakan untuk melumpuhkan otot, sehingga membantu
proses pemasangan endotracheal tube (ET). Obat ini digolongkan dalam
pelumpuh non-depolarisasi seperti mivakurium, atrakurium, pankuronium,
sementara pelumpuh depolarisasi contohnya adalah suksinil kolin.
2. Stadium Anestesi
Stadium anestesi dapat dinilai setelah pasien diinduksi. Stadium anestesi yang
diklasifikasikan oleh Guedel yaitu :
a. Stadium I (analgesi)
Dimulai dari saat pemberian induksi sampai hilangnya kesadaran. Pasien tetap
dalam kontak verbal, dan dapat diberikan petunjuk sepanjang stadium ini. Pasien
masih dapat melakukan gerakkan dan refleks laringofaringeal masih ada namun
rasa nyeri sudah menghilang. Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan
gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.
b. Stadium II (delirium/eksitasi)
Dimulai dari hilangnya kesadaran yang ditandai dengan hilangnya
refleks bulu mata. Pada stadium ini dapat terjadi eksitasi, delirium, dan
pernapasan yang ireguler. Stadium ini berakhir apabila pasien dapat kembali
bernapas teratur. Kadang-kadang pasien dapat mengalami apneu, tonus otot
rangka yang meningkat, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi serta
takikardia. Stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan kematian.
c. Stadium III (pembedahan)
Dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan hilang.
Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan
bola mata yang tidak menurut kehendak pupil miosis, refleks cahaya ada,
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai
relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai menurun).
Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks
laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum
tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4 : Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis
total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan
kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat
menurun).
d. Stadium IV (overdosis/intoksikasi)
Dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4.
Pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung
berhenti, dan akhimya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada
stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
3. Assessment Pre Operasi
Assessment pre operasi adalah kegiatan pemeriksaan pasien yang meliputi
anamnesis riwayat anestesia, operasi sebelumnya, gaya hidup. Selain itu juga
dilakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium yang sesuai, menilai
status fisik pasien (mengklasifikasikan ASA pasien). Hal ini sangat penting
dilakukan sebelum pasien melakukan operasi untuk menunjukkan apakah pasien
memerlukan perhatian khusus atau tidak terkait kondisi kesehatannya yang
berkaitan dengan pembiusan.
ASA dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
ASA I Pasien sehat, tidak ada gangguan organik atau kejiwaan, tidak
termasuk sangat muda dan sangat tua, sehat dengan toleransi
latihan yang baik
ASA II Pasien memiliki kelainan sistemik ringan, dimana penyakit yang
terkendali dan terkontrol, seperti obesitas ringan, kehamilan,
hipertensi terkontrol, DM tanpa efek sistemik, merokok tanpa
PPOK, riwayat asma terkontrol.
ASA III Pasien dengan kelainan sistemik berat, terdapat beberapa
keterbatasan fungsional, memiliki penyakit lebih dari satu sistem
tubuh, seperti CHF terkontrol, angina stabil, serangan jantung tua,
hipertensi tiak terkontrol, obesitas morbid, gagal ginjal kronis,
penyakit bronkospastik dengan gejala intermiten.
ASA IV Pasien dengan kelainan sistemik berat + incapacitance, pasien
dengan setidaknya satu penyakit berat yang tidak terkontrol dan
pada tahap akhir, kemungkinan resiko kematian, seperti angina
tidak stabil, PPOK bergejala, gejala CHF, kegagalan hepatorenal.
ASA V Pasien dengan atau tanpa operasi diperkirakan meninggal dalam 24
jam atau harapan hidup lebih dari 24 jam tanpa operasi, risiko
besar akan kematian, kegagalan multiorgan, sindrom sepsis dengan
ketidakstabilan hemodinamik, hipotermia, dan koagulopati tidak
terkontrol.
Selain itu perlu dilakukan penilaian dengan skor mallampati juga diperiksa.
Skor ini digunakan untuk menentukan apakah terdapat kemungkinan kesulitan jika
pasien akan dilakukan intubasi. Adapun klasifikasi Mallampati yang dinilai dengan
cara pasien membuka mulut dalam posisi duduk:
Kelas I: Palatum molle, fauces, uvula dan pilar terlihat jelas
Kelas II: Palatum molle, fauces, dan sebagian uvula terlihat
Kelas III: Palatum molle dan dasar uvula terlihat
Kelas IV: Hanya terlihat palatum
Pasca operasi akan dilakukan penilaian Aldrete skor, dimana yang dinilai tediri
dari aktivitas motorik, pernafasan, sirkulasi, kesadaran, dan saturasi oksigen pasien.
Masing-masing kriteria memiliki penilaian 0-2, dimana nilai total maksimal 10, skor
≥8 dapat dipindahkan ke bangsal tanpa nilai 0 sedangkan <8 pindakhan ke ICU.
Sistematik Kriteria Skor
Aktifitas Motorik Mampu menggerakan ke 4 2
ekstremitas
Mampu menggerakkan ke 2 1
ekstremitas
Tak mampu 0
menggerakkanatas
perintah/secara sadar
Pernapasan Napas adekuat dan dapat 2
batuk
Dyspneu, napas tidak adekuat 1
Apneu 0
Sirkulasi Tekanan darah mengalami 2
perubahan <20mmHg dari
semula
Tekanan darah mengalami 1
perubahan >20-50mmHg dari
semula
Tekanan darah mengalami 0
perubahan >50mmHg dari
semula
Kesadaran Sadar penuh 2
Bangun jika dipanggil 1
Tidak ada respon/belum sadar 0
Saturasi Oksigen Level >90% napas tanpa 2
oksigen
Level >90% napas dengan 1
oksigen
Level <90% napas dengan 0
oksigen
5. Fraktur Cruris
5.1. Definisi
Fraktur merupakan suatu diskontinuitas susunan tulang yang disebabkan
karena trauma atau keadaan patologis. Fraktur juga dapat diartikan sebagai
suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. Sedangkan cruris berasal dari
bahasa latin crus atau cruca yang berarti tungkai bawah yang terdiri dari tibia
dan fibula
5.2. Patofisiologi
Penyebab terjadinya fraktur terbagi menjadi 3:
a. Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya benturan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang
atau miring.
b. Trauma tidak langsung
Trauma tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari
tempat terjadinya benturan. Tulang yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor.
c. Trauma akibat kontraksi otot
Trauma akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dari luar yang
dapat menyebabkan kondisi ini berupa pemutiran, penekukan, penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
5.3. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan
warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
d. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
yang lainya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
5.4. Tatalaksana
a. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya.
b. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya
untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau
reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit
bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).
c. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di
gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar
kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau
tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal
dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan
untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur,
humerus dan pelvis. Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan
pin yang diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau
zona trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk
menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment
berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan
lunak.
d. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari
atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus segera dimulai
melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh
dan mobilisasi.
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien datang ke IGD RS Bethesda pada 15 Januari 2019 pukul 12.30. Pasien
datang dengan keluhan nyeri di pergelangan kaki. Nyeri terasa di pergelangan kaki
sebelah kanan. Dirasakan setelah kecelakaan lalu lintas (motor) pukul 8.00. Pasien
tidak dapat berjalan. Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan, pasien
didiagnosis mengalami fraktur cruris dextra 1/3 distal fragmented tertutup dan
direncanakan untuk operasi.
Pada tanggal 16 Januari 2019 dilakukan asessment pra anestesi. Assesment
dilakukan untuk menentukan status fisik dan jenis anestesi yang akan digunakan
untuk prosedur operasi pada pasien. Pasien dikategorikan ASA II karena pasien
memiliki kelainan sistemik berupa Diabetes Mellitus tanpa adanya keterbatasan
aktivitas. Anestesi yang digunakan adalah anestesi umum dengan menggunakan LMA
nomor 4. LMA dipilih untuk menjaga jalan napas dan memudahkah proses operasi,
selain itu penggunaannya lebih mudah dan efisien.
Sebelum masuk ruang operasi pasien diassesment kembali, kemudian dibawa
ke kamar operasi dan selanjutnya dipasangkan tensi dan pulse oxymetri untuk
monitoring hemodinamik selama operasi. Setelah itu, diberikan obat premedikasi
Fentanyl 100 mcg untuk mengatasi nyeri selama operasi. Fentanyl termasuk analgesia
golongan opioid, dimana cara kerjanya dengan terikat pada reseptor opioid (reseptor
µ). Obat ini bekerja pada sistem saraf pusat, sehingga rangsangan nyeri tidak
mencapai korteks. Onset fentanyl melalui jalur intravena adalah 30 detik dan dalam 5
waktu menit dapat mencapai puncak kerja obat dengan durasi 30-60 menit.
Kelarutannya dalam lemak tinggi sehingga mudah melewati sawar darah otak, paru
dan otot skelet. Namun, obat ini dapat mengakibatkan depresi napas, hipotensi, mual
muntah, dan sakit kepala. Kontraindikasi pemberian fentanyl adalah pasien dengan
depresi napas akut atau penyakit paru obstruksi, alkoholisme akut, cedera kepala, dan
ileus paralitik. Selain itu, juga diberikan Ondansetron sebanyak 4 mg diberikan
sebagai anti-emetik. Obat ini merupakan antagonis selektif reseptor 5-HT3 yang
bekerja dengan cara memblok serotonin di perifer pada n.vagus dan disentral pada
zona triger kemoreseptor sehingga dapat mencegah mual muntah.
Obat induksi anestesi umum yang digunakan adalah propofol. Propofol
memiliki onset 15-45 detik dengan durasi yang bervariasi tergantung dari dosis yang
diberikan. Propofol memiliki waktu paruh yang pendek yaitu 2-8 menit. Propofol
bekerja dengan mengikat GABA reseptor. GABA adalah neurotransmiter penghambat
utama dalam susunan saraf pusat. Efek sedasi dan hipnotik yang ditimbulkan oleh
propofol di susunan saraf pusat muncul diakibatkan oleh interaksi propofol dengan
reseptor GABA. Interaksi ini akan menyebabkan konduksi klorida transmembran
meningkat dan mengakibatkan hiperpolarisasi membran sel sehingga hantaran saraf
tidak terjadi. Kontraindikasi diberikan propofol ialah pasien dengan penyakit hepar,
asidosis metabolik. Beberapa efek samping yang ditimbulkan adalah nyeri pada area
suntikkan, hipotensi, dan apneu.
Setelah dilakukan induksi, stadium anestesi pasien dinilai dengan memeriksa
refleks bulu mata pasien. Jika reflex bulu mata tidak ada, pasien dapat diberikan
oksigenasi dengan menggunakan facemask dengan cepat untuk memberikan
hiperventilasi kepada pasien. Kemudian LMA dimasukkan dan diberikan oksigen,
N2O, dan sevofluran. Oksigen yang diberikan sebanyak 3 liter/menit. Sedangkan
N2O diberikan sebanyak 3 liter/menit dengan Sevoflurane 2%, kedua gas ini
berfungsi sebagai pemelihara (maintanance) agar pasien tetap dalam keadaan tertidur.
N2O (Nitrous Oxide) juga memiliki efek analgesik.
Dosis maintenance Sevofluran yang digunakan adalah 2%. Sevoflurane
merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak eksplosif, tidak
berwarna, dan tidak berbau sehingga baik untuk induksi inhalasi. Proses induksi dan
pemulihannya paling cepat dari obat inhalasi lainnya. Dengan MAC (minimum
alveolar concentration) 1,4%-3,3%. Sevoflurane mengubah aktivitas reseptor
neurotransmiter seperti nicotinic AcH, GABA, dan glutamate, memiliki efek
tambahan sebagai muscle relaksan tanpa analgesia. Dapat menimbulkan hipotensi,
depresi napas, salivasi, dan lain-lain. Efek induksi sevoflurane sangat cepat karena
sifatnya yang mudah mencapai konsentrasi tinggi di alveolus.
Pada saat operasi berlangsung, diberikan juga antibiotik profilaksis. Antibiotik
yang digunakan adalah cefazolin. Cefazolin merupakan antibiotik cephalosporin
generasi pertama dan termasuk ke dalam antibiotik spektrum luas. Antibiotik ini
menghambat sintesis dinding bakteri dan bekerja dengan menghentikan pertumbuhan
bakteri. Cefazolin 3 gram diberikan melalui drip NaCl 250 ml, dan dilanjutkan
dengan RL 500 ml.
KESIMPULAN
1. Pasien berusia 57 tahun dengan diagnosa bedah fraktur cruris dextra dan
diagnosa anestesi ASA II / Non Emergency tanpa penyulit.
2. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus
3. Metode anestesi menggunakan General Anestesi dengan LMA.
4. Premedikasi anestesi menggunakan Fentanyl 100 mcg dan ondansetron 4 mg.
5. Induksi anestesi menggunakan Propofol 100 mg.
6. Maintenance anestesi menggunakan O2, N2O dan Sevoflurane.
7. Diberikan antibiotik profilaksis cefazolin sebanyak 3 gr dengan drip NaCl dan
RL.
8. Selama stadium anestesi, kondisi hemodinamika pasien stabil.
9. Ketorolac 30 mg diberikan saat operasi hampir berakhir sebagai analgetik.
10. Pasca operasi pasien dipindahkan ke Recovery Room dengan hemodinamik
yang stabil.
11. Pasien dinilai skor alderete dan dinyatakan dapat dipindahkan ke ruang rawat
inap.
DAFTAR PUSTAKA