Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

Peritonitis ec Perforasi Gaster

Disusun Oleh :
dr. Agung Fadlilah Titis Sadewa

Pembimbing :
dr. Francisca Christauriza Ari Pratomo, Sp.B

Internsip Periode 2021


RSUD BAGAS WARAS
KLATEN
3.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 67 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : serut gunung kidul
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Status Nikah : Menikah
Tanggal MRS : 5 November 2021
3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Nyeri perut
Perjalanan penyakit
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sejak +- 12 jam SMRS. Nyeri dirasakan
diseluruh lapang perut. Mual (+) muntah (+) seperti cairan. Sempat berobat tapi
keluhan tidak membaik. Nafsu makan menurun karena mual BAB (-) terakhir 1 hari
yang lalu. BAK (+) demam disangkal pasien mengaku mempunyai kebiasaan
meminum obat warung pereda nyeri.
-
- Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
Riwayat hipertensi (+) , kencing manis, sakit jantung, asma, dan tumor disangkal.
- Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Riwayat hipertensi, kencing manis, sakit jantung, asma, dan tumor pada
keluarga disangkal.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status present
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 74/49 mmHg
Nadi : 98 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 36,5 º C
SpO2 : 96 %
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 155 cm
Status general
Kepala : Normal
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, cowong -/-
Telinga : Tidak ada kelainan
Hidung : Tidak ada kelainan
Leher : Tidak ada kelainan
Bibir : kering (+)
Thorax
Cor : S1S2 Tunggal, Reguler, Murmur (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen :BU (menurun) nyeri tekan diseluruh lapang perut, lapang perut keras
Ekstremitas : Oedem (superior -/inferior -), Hangat (-/-) akral idingin CRT> 2
detik

3.4 Pemeriksaan Penunjang


5/11/2021
Hematologi
DARAH LENGKAP
Lekosit 30.9 (H) 103/uL
Eritrosit 4.18 mm3
Hemoglobin 8.9 gr/dL
Hematokrit 27,9 %
MCV 66.6 fl
MCH 21.4 pg
MCHC 32,1 g/dL
Trombosit 368 103/uL
HITUNG JENIS
Neutrofil 81,3↑ %
Limfosit 6.6↓ %
Monosit 1,7 %
Eosinofil 0,4 %
Basofil 0,0 %
Rapid antigen Negatif
GDS 88 mg/dl
Ureum 76 mg/dl
Creatinin 2.1 mg/dl
SGOT 18 U/L
SGPT 12 U/L
Elektrolit
Natrium 135,38 mmol/L
Kalium 4,82 mmol/L
Chlorida 110.56 mmol/L

Ro Abdomen 3 posisi

3.5 Diagnosis Kerja


Peritonitis generalisata susp perforasi gaster

3.6 Penatalaksanaan
Pro laparotomi eksplorasi
Puasa 2 hari
Inf NaCL 0.9 % : Aminofluid 2:1 20tpm
Inj Meropenem 1 gr /8 jam
Inj metronidazole 500mg / 8 jam
Inj omeprazole 1 vial / 12 jam
Inj ondancetron 1 amp/ 8 jam
Transfusi 2 kolf PRC
Dokumentasi saat operasi

3.7 Follow Up

Tanggal S O A P
6/11/21 Nyeri post KU sedang, CM Post Inf NaCL 0.9 % :
op (+) T : 120/85 mmHg laparotomi
Aminofluid 2:1 20tpm
mual N : 80 x/menit Eksplorasi a/i
muntah (-) R : 20 x/menit Peritonitis Inj Meropenem 1 gr /8 jam
T: 36,3oC generalisata ec Inj metronidazole 500mg /
Mata : An -/-, perforasi gaster 8 jam
cowong -/- DPH I
Thorax : Cor/Po dbn Inj omeprazole 1 vial / 12
Ekt : hangat +/+, edema jam
-/- Inj ondancetron 1 amp/ 8
Abd : supel, distensi (-),
jam
BU(+)N, turgor kulit N
Raber Sp. PD
Raber Sp.An
Rawat ICU
7/11/21 Nyeri post KU sedang, CM Post Inf NaCL 0.9 % :
op (+) T : 115/70 mmHg laparotomi
Aminofluid 2:1 20tpm
mual N : 70 x/menit Eksplorasi a/I
muntah (-) R : 18 x/menit Peritonitis Inj Meropenem 1 gr /8 jam
T: 37oC generalisata ec Inj metronidazole 500mg /
Mata : An -/-, perforasi gaster 8 jam
cowong -/- DPH II
Thorax : Cor/Po dbn Inj omeprazole 1 vial / 12
Ekt : hangat +/+, edema jam
-/-
Inj ondancetron 1 amp/ 8
Abd : supel, distensi (-),
BU(+)N, turgor kulit N jam

8/11/21 Nyeri post KU sedang, CM Post Inf NaCL 0.9 % :


op (+) T : 144/78 mmHg laparotomi
Aminofluid 2:1 20tpm
mual N : 80 x/menit Eksplorasi a/I
muntah (-) R : 20 x/menit Peritonitis Inj Meropenem 1 gr /8 jam
T: 37oC generalisata ec Inj metronidazole 500mg /
Mata : An -/-, perforasi gaster 8 jam
cowong -/- DPH III
Thorax : Cor/Po dbn Inj omeprazole 1 vial / 12
Ekt : hangat +/+, edema jam
-/- Inj ondancetron 1 amp/ 8
Abd : supel, distensi (-),
jam
BU(+)N, turgor kulit N

Hb post tranfusi 10.1


Albumin 2.7
9/11/21 Nyeri post KU sedang, CM Post Inf NaCL 0.9 % :
op (+) T : 150/70 mmHg laparotomi
Aminofluid 2:1 20tpm
mual N : 80 x/menit Eksplorasi a/I
muntah (-) R : 20 x/menit Peritonitis Inj Meropenem 1 gr /8 jam
T: 37oC generalisata ec Inj metronidazole 500mg /
Mata : An -/-, perforasi gaster 8 jam
cowong -/- DPH IV
Thorax : Cor/Po dbn Inj omeprazole 1 vial / 12
Ekt : hangat +/+, edema jam
-/- Inj ondancetron 1 amp/ 8
Abd : supel, distensi (-),
jam
BU(+)N, turgor kulit N

Aff NGT
Pindah bangsal
10/11/21 Nyeri post KU sedang, CM Post Inf NaCL 0.9 % :
op (+) T : 120/80 mmHg laparotomi
Aminofluid 2:1 20tpm
mual N : 80 x/menit Eksplorasi a/I
muntah (-) R : 20 x/menit Peritonitis Inj Meropenem 1 gr /8 jam
T: 37oC generalisata ec Inj metronidazole 500mg /
Mata : An -/-, perforasi gaster 8 jam
cowong -/- DPH V
Thorax : Cor/Po dbn Inj omeprazole 1 vial / 12
Ekt : hangat +/+, edema jam
-/- Inj ondancetron 1 amp/ 8
Abd : supel, distensi (-),
jam
BU(+)N, turgor kulit N
11/11/21 Nyeri post KU sedang, CM Post Inf NaCL 0.9 % :
op (+) T : 120/80mmHg laparotomi
Aminofluid 2:1 20tpm
mual N : 80 x/menit Eksplorasi a/I
muntah (-) R : 20 x/menit Peritonitis Inj Meropenem 1 gr /8 jam
T: 37oC generalisata ec
Inj metronidazole 500mg /
Mata : An -/-, perforasi gaster
cowong -/- DPH VI 8 jam
Thorax : Cor/Po dbn Inj omeprazole 1 vial / 12
Ekt : hangat +/+, edema jam
-/-
Abd : supel, distensi (-), Inj ondancetron 1 amp/ 8
BU(+)N, turgor kulit N jam

12/11/21 Nyeri post KU sedang, CM Post BLPL


op (+) T : 120/80 mmHg laparotomi Cefixime 2x1
mual N : 80 x/menit Eksplorasi a/I Paracetamol 3 x 500 mg
muntah (-) R : 20 x/menit Peritonitis Sucralfat syr 3 x 1C
T: 37oC generalisata ec Omeprazole 2 x1 caps
Mata : An -/-, perforasi gaster
cowong -/- DPH VII
Thorax : Cor/Po dbn
Ekt : hangat +/+, edema
-/-
Abd : supel, distensi (-),
BU(+)N, turgor kulit N
BAB I
PENDAHULUAN

A. Anatomi dan Fisiologi Lambung


1. Anatomi
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat
di bawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung bentuk
J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal lambung
adalah 1 sampai 2 liter. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus, korpus, dan
antrumpilorikum atau pilorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan
kurvatura minor, dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayor.
Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan yang
terjadi.
Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan masuk ke
dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus kembali.
Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama daerah
kardia. Di saat sfingter pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke dalam
duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya aliran balik
isi usus ke dalam lambung. Sfingter pilorus memiliki arti klinis yang penting karena
dapat mengalami stenosis (penyempitan pilorus yang menyumbat) sebagai penyulit
penyakit ulkus peptikum. Abnormalitas sfingter pilorus dapat pula terjadi pada
bayi. Stenosis pilorus atau piloro spasme terjadi bila serabut otot di sekelilingnya
mengalami hipertrofi atau spasme sehingga sfingter gagal berelaksasi untuk
mengalirkan makanan dari lambung ke dalam duodenum. Bayi akan memuntahkan
makanan tersebut dan tidak mencerna serta menyerapnya. Keadaan ini mungkin
dapat diperbaiki melalui operasi atau pemberian obat adrenergik yang
menyebabkan relaksasi serabut otot.
Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar
merupakan bagian dari peritonium viseralis. Dua lapisan peritonium viseralis
menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus
memanjang ke hati, membentuk omentum minus. Lipatan peritonium yang keluar dari
satu organ menuju ke organ lain disebut sebagai ligamentum. Jadi omentum minus
(disebut juga ligamentum hepatogastrikum atau hepatoduodenalis) menyokong
lambung sepanjang kurvatura minor sampai ke hati. Pada kurvatura mayor,
peritonium terus ke bawah membentuk omentum majus, yang menutupi usus halus
dari depan seperti sebuah apron besar. Sakus omentum minus adalah tempat yang
sering terjadi penimbunan cairan (pseudokista pankreatikum) akibat penyulit

pankreatitis akut.

Tidak seperti daerah saluran cerna lain, bagian muskularis tersusun atas tiga
lapis dan bukan dua lapis otot polos: lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan
sirkular di tengah, dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut otot yang unik
ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang diperlukan untuk
memecah makanan menjadi partikel-partikel yang kecil, Mengaduk dan mencampur
makanan tersebut dengan cairan lambung, dan mendorongnya ke arah duodenum.
Submukosa tersusun atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan
lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak
dengan gerakan peristaltik. Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf, pembuluh
darah, dan saluran limfe.
Mukosa, lapisan dalam lambung, tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal

5
disebut rugae, yang memungkinkan terjadinya disternsi lambung sewaktu diisi
makanan. Terdapat beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan menurut
bagian anatomi lambung yang ditempatinya. Kelenjar kardia berada di dekat orifisium
kardia dan menyekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastrik terletak di fundus dan
pada hampir seluruh korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki tiga tipe sel utama.
Sel-sel zimogenik (chief cell) menyekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah pepsin
dalam suasana asam. Sel-sel parietal menyekresikan asam hidroklorida (HCL) dan
faktor intrinsik. Faktor intrisik diperlukan untuk absorbsi vitamin B12 di dalam usus
halus. Kekurangan faktor intrinsik akan mengakibatkan terjadinya anemia pernisiosa.
Sel-sel mukus (leher) ditemukan di leher kelenjar fundus dan menyekresikan mukus.
Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada daerah pilorus lambung.
Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam hidroklorida dan
pepsinogen. Substansi lain yang disekresi dalam lambung adalah enzim dan berbagai
elektrolit, terutama ion natrium, kalium dan klorida. Persarafan lambung sepenuhnya
berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf parasimpatis untuk lambung dan
duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus
mencabangkan ramus gastrika, pilorika, hepatika, dan seliaka.
Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaka.
Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan,
kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium abdomen.
Serabut-serabut aferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi lambung. Pleksus
saraf mienterikus (Auerbach) dan submukosa (Meissner) membentuk persarafan
intrinsik dinding lambung dan mengoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa
lambung. Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan
limpa) terutama berasal dari arteri seliaka atau trunkus seliakus, yang
mempercabangkan cabang-cabang yang menyuplai kurvatura minor dan major. Dua
cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteria gastroduodenalis dannarteria
pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus posterior
duodenum.
Ulkus pada dinding posterior duodenum dapat mengerosi arteri ini dan
menyebabkan terjadinya perdarahan. Darah vena dari lambung dan duodenum, serta
yang berasal dari pankreas, limpa, dan bagian lain saluran gastrointestinal,
berjalan ke hati melalui vena porta.
2. Fisiologi Lambung
Fungsi lambung:
a. Fungsi motorik
 Fungsi menampung : Menyimpan makanan sampai makanan
tersebut sedikit demi sedikit dicerna dan bergerak pada saluran cerna.
Menyesuaikan peningkatan volume tanpa menambah tekanan dengan
relaksasi reseptif otot polos; diperantarai oleh nervus vagus dan
dirangsang oleh gastrin
 Fungsi mencampur : Memecahkan makanan menjadi partikel-
partikel kecil dan mencampurnya dengan getah lambung melalui
kontraksi otot yang mengelilingi lambung. Konstraksi peristaltik
diatur oleh suatu irama listrik dasar.
 Fungsi pengosongan lambung : Diatur oleh pembukaan sfingter
pilorus yang dipengaruhi oleh viskositas, volume, keasaman, aktivitas
osmotik, keadaan fisik, serta oleh emosi, obat-obatan, dan olahraga.
Pengosongan lambung diatur oleh faktor saraf dan hormonal, seperti
kolesistokinin.
b. Fungsi pencernaan dan sekresi
 Pencernaan protein oleh pepsin dan HCL dimulai disini; pencernaan
karbohidrat dan lemak oleh amilase dan lipase dalam lambung kecil
peranannya. Pepsin berfungsi memecah putih telur menjadi asam
amino (albumin dan pepton). Asam garam (HCL) berfungsi
mengasamkan makanan, sebagai antiseptik dan desinfektan, dan
membuat suasana asam pada pepsinogen sehinhha menjadi pepsin.
 Sintesis dan pelepasan gastrin dipengaruhi oleh protein yang dimakan,
peregangan antrum, alkalinisasi antrum, dan rangsangan vagus.
 Sekresi faktor intrinsik memungkinkan absorpsi vitamin B12 dari usus
halus bagian distal.
 Sekresi mukus membentuk selubung yang melindungi lambung serta
berfungsi sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut.
 Sekresi bikarbonat, bersama dengan sekresi gel mukus, tampaknya
berperan sebagai barier dari asam lumen dan pepsin.

Pengaturan sekresi lambung dapat dibagi menjadi fase sefalik, gastrik,


dan intestinal. Fase sefalik sudah dimulai bahkan sebelum makanan masuk
lambung, yaitu akibat melihat, mencium, memikirkan, atau mengecap makanan.
Fase ini diperantarai seluruhnya oleh saraf vagus dan dihilangkan dengan
vagotomi. Sinyal neurogenik yang menyebabkan fase sefalik berasal dari korteks
serebri atau pusat nafsu makan. Impuls eferen kemudian dihantarkan melalui
saraf vagus ke lambung. Hal ini mengakibatkan kelenjar gastrik terangsang untuk
menyekresi HCL, pepsinogen, dan menambah mukus. Fase sefalik menghasilkan
sekitar 10% dari sekresi lambung normal yang berhubungan dengan makanan.
Fase gastrik dimulai saat makanan mencapai antrum pilorus. Distensi
antrum juga dapat menyebabkan terjadinya rangsangan mekanis dari resptor-
reseptor pada dinding lambung. Impuls tersebut berjalan menuju medula melalui
aferen vagus dan kembali ke lambung melalui eferen vagus; impuls ini
merangsang pelepasan hormon gastrin dan secara langsung juga merangsang
kelenjar-kelenjar lambung. Gastrin dilepas dari antrum dan kemudian dibawa
oleh aliran darah menuju kelenjar lambung, untuk merangsang sekresi.
Pelepasan gastrin juga dirangsang oleh PH alkali, garam empedu di antrum, dan
terutama oleh protein makanan dan alkohol. Membran sel parietal di fundus dan
korpus lambung mengandung reseptor untuk gastrin, histamin, dan asetilkolin,
yang merangsang sekresi asam. Setelah makan, gastrin dapat bereaksi pada sel
parietal secara langsung untuk sekresi asam dan juga dapat merangsang
pelepasan histamin dari mukosa untuk sekresi asam.
Fase sekresi gastrik menghasilkan lebih dari duapertiga sekresi
lambung total setelah makan, sehingga merupakan bagian terbesar dari total
sekresi lambung harian yang berjumlah sekitar 2000 ml. Fase gastrik dapat
terpengaruh oleh reseksi bedah pada antrum pilorus, sebab disinilah pembentukan
gastrin.
Fase intestinal dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke
duodenum. Fase sekresi lambung diduga sebagian besar bersifat hormonal.
Adanya protein yang tercerna sebagian dalam duodenum tampaknya merangsang
pelepasan gastrin usus, suatu hormon yang menyebabkan lambung terus-
menerus menyekresikan sejumlah kecil cairan lambung. Meskipun demikian,
peranan usus kecil sebagai penghambat sekresi lambung jauh lebih besar.
Distensi usus halus menimbulkan refleks enterogastrik, diperantarai
oleh pleksus mienterikus, saraf simpatis dan vagus, yang menghambat sekresi
dan pengosongan lambung. Adanya asam (PH kurang dari 2,5), lemak, dan hasil-
hasil pemecahan protein menyebabkan lepasnya beberapa hormon usus. Sekretin,
kolesitokinin, dan peptida penghambat gastrik (Gastric-inhibiting peptide, GIP),
semuanya memiliki efek inhibisi terhadap sekresi lambung.
Pada periode interdigestif (antara dua waktu pencernaan) sewaktu
tidak ada pencernaan dalam usus, sekresi asam klorida terus berlangsung dalam
kecepatan lambat yaitu 1 sampai 5 mEq/jam. Proses ini disebut pengeluaran
asam basal (basal acid output, BAO) dan dapat diukur dengan pemeriksaan
sekresi cairan lambung selama puasa 12 jam. Sekresi lambung normal selama
periode ini terutama terdiri dari mukus dan hanya sedikit pepsin dan asam.
Tetapi, rangsangan emosional kuat dapat meningkatkan BAO melalui saraf
parasimpatis (vagus) dan diduga merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya ulkus peptikum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

B. PERFORASI GASTER
1. Definisi
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen.
Penyebab perforasi gastrointestinal adalah : ulkus peptik, inflamasi
divertikulum kolon sigmoid, kerusakan akibat trauma, perubahan pada kasus
penyakit Crohn, kolitis ulserasi, dan tumor ganas di sistem gastrointestinal.
Perforasi paling sering adalah akibat ulkus peptik lambung dan duodenum.
Perforasi dapat terjadi di rongga abdomen (perforatio libera) atau adesi
kantung buatan (perforatio tecta). Pada anak-anak cedera yang mengenai usus
halus akibat dari trauma tumpul perut sangat jarang dengan insidensinya 1-
7 %. Sejak 30 tahun yang lalu perforasi pada ulkus peptikum merupakan
penyebab yang tersering. Perforasi ulkus duodenum insidensinya 2-3 kali
lebih banyak daripada perforasi ulkus gaster. Hampir 1/3 dari perforasi
lambung disebabkan oleh keganasan pada lambung. Sekitar 10-15% penderita
dengan divertikulitis akut dapat berkembang menjadi perforasi bebas. Pada
pasien yang lebih tua appendicitis acut mempunyai angka kematian sebanyak
35 % dan angka kesakitan 50 %. Faktor-faktor utama yang berperan terhadap
angka kesakitan dan kematian pada pasien-pasien tersebut adalah kondisi
medis yang berat yang menyertai appedndicitis tersebut.

2. Etiologi
 Cedera tembus yang mengenai dada bagian bawah atau perut (contoh:
trauma tertusuk pisau)
 Trauma tumpul perut yang mengenai lambung. Lebih sering ditemukan
pada anak-anak dibandingkan orang dewasa.
 Obat aspirin, NSAID (misalnya fenilbutazon, antalgin,dan natrium
diclofenac) serta golongan obat anti inflamasi steroid diantaranya
deksametason dan prednisone. Sering ditemukan pada orang dewasa.

11
 Kondisi yang mempredisposisi: ulkus peptikum, appendicitis akut,
divertikulosis akut, dan divertikulum Meckel yang terinflamasi.
 Appendicitis akut: kondisi ini masih menjadi salah satu penyebab umum
perforasi usus pada pasien yang lebih tua dan berhubungan dengan hasil
akhir yang buruk.
 Luka usus yang berhubungan dengan endoscopic : luka dapat terjadi oleh
ERCP dan colonoscopy.
 Fungsi usus sebagai suatu komplikasi laparoscopic: faktor yang mungkin
mempredisposisikan pasien ini adalah obesitas, kehamilan, inflamasi usus
akut dan kronik dan obstruksi usus.
 Infeksi bakteri: infeksi bakteri (demam typoid) mempunyai komplikasi
menjadi perforasi usus pada sekitar 5 % pasien. Komplikasi perforasi pada
pasien ini sering tidak terduga terjadi pada saat kondisi pasien mulai
membaik.
 Penyakit inflamasi usus : perforasi usus dapat muncul pada paien dengan
colitis ulceratif akut, dan perforasi ileum terminal dapat muncul
pada pasien dengan Crohn’ disease.
 Perforasi sekunder dari iskemik usus (colitis iskemik) dapat timbul.
 Perforasi usus dapat terjadi karena keganasan didalam perut atau
limphoma
 Radiotherapi dari keganasan cervik dan keganasan intra abdominal
lainnya dapat berhubungan dengan komplikasi lanjut, termasuk obstruksi
usus dan perforasi usus.
 Benda asing (misalnya tusuk gigi atau jarum pentul) dapat menyebabkan
perforasi oesophagus, gaster, atau usus kecil dengan infeksi intra
abdomen, peritonitis, dan sepsis.

3. Patofisologi
Secara fisiologis, gaster relatif bebas dari bakteri dan mikroorganisme
lainnya karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang
yang mengalami trauma abdominal memiliki fungsi gaster yang normal dan
tidak berada pada resiko kontaminasi bakteri yang mengikuti perforasi gaster.
Bagaimana pun juga mereka yang memiliki masalah gaster sebelumnya
berada pada resiko kontaminasi peritoneal pada perforasi gaster. Kebocoran

12
asam lambung kedalam rongga peritoneum sering menimbulkan peritonitis
kimia. Bila kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mengenai rongga
peritoneum, peritonitis kimia akan diperparah oleh perkembangan yang
bertahap dari peritonitis bakterial. Pasien dapat asimptomatik untuk
beberapa jam antara peritonitis kimia awal dan peritonitis bakterial lanjut.
Mikrobiologi dari usus kecil berubah dari proksimal samapi ke
distalnya. Beberapa bakteri menempati bagian proksimal dari usus kecil
dimana, pada bagian distal dari usus kecil (jejunum dan ileum) ditempati oleh
bakteri aerob (E.Coli) dan anaerob (Bacteriodes fragilis (lebih banyak).
Kecenderungan infeksi intra abdominal atau luka meningkat pada perforasi
usus bagian distal.
Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang masuknya sel-sel
inflamasi akut. Omentum dan organ-organ visceral cenderung melokalisir
proses peradangan, mengahasilkan phlegmon (ini biasanya terjadi pada
perforasi kolon). Hypoksia yang diakibatkannya didaerah itu memfasilisasi
tumbuhnya bakteri anaerob dan menggangu aktifitas bakterisidal dari
granulosit, yang mana mengarah pada peningkatan aktifitas fagosit daripada
granulosit, degradasi sel-sel, dan pengentalan cairan sehingga membentuk
abscess, efek osmotik, dan pergeseran cairan yang lebih banyak ke lokasi
abscess, dan diikuti pembesaran absces pada perut. Jika tidak ditangani terjadi
bakteriemia, sepsis, multiple organ failure dan shock.

4. Gejala klinik
a. Nyeri perut hebat yang makin meningkat dengan adanya pergerakan
b. Nausea
c. Vomitus
d. Pada keadaan lanjut disertai demam dan mengigil.

5. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan pada area perut:
Periksa apakah ada tanda-tanda eksternal seperti luka, abrasi, dan atau
ekimosis.
Amati pasien: lihat pola pernafasan dan pergerakan perut saat bernafas,
periksa adanya distensi dan perubahan warna kulit abdomen. Pada
perforasi ulkus peptikum pasien tidak mau bergerak, biasanya dengan
posisi flexi pada lutut, dan abdomen seperti papan.
b. Pada auskultasi bila tidak ditemukan bising usus mengindikasikan suatu
peritonitis difusa.
c. Nyeri perkusi mengindikasikan adanya peradangan peritoneum
d. Palpasi dengan halus
Perhatikan ada tidaknya massa atau nyeri tekan. Bila ditemukan
tachycardi, febris, dan nyeri tekan seluruh abdomen mengindikasikan
suatu peritonitis. Rasa kembung dan konsistensi sperti adonan roti
mengindikasikan perdarahan intra abdominal.
e. Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dan pelvis
Pemeriksaan ini dapat membantu menilai kondisi seperti appendicitis
acuta, abscess tuba ovarian yang ruptur dan divertikulitis acuta yang
perforasi.

6. Pemeriksaan Penunjang
Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan
adalah: foto polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi dengan vesika
urinaria penuh, CT-scan murni dan CT-scan dengan kontras. Jika temuan
foto Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas, sebaiknya jangan ragu untuk
menggunakan CT-scan, dengan pertimbangan metode ini dapat mendeteksi
cairan dan jumlah udara yang sangat sedikit sekali pun yang tidak terdeteksi
oleh metode yang disebutkan sebelumnya.
a. Radiologi
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Isi
yang keluar dari perforasi dapat mengandung udara, cairan lambung dan
duodenum, empedu, makanan, dan bakteri. Udara bebas atau
pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar dari sistem gastrointestinal.
Hal ini terjadi setelah perforasi lambung, bagian oral duodenum, dan usus
besar. Pada kasus perforasi usus kecil, yang dalam keadaan normal tidak
mengandung udara, jumlah udara yang sangat kecil dilepaskan. Udara
bebas terjadi di rongga peritoneum 20 menit setelah perforasi.
Manfaat penemuan dini dan pasti dari perforasi gaster sangat penting,
karena keadaan ini biasanya memerlukan intervensi bedah. Radiologis
memiliki peran nyata dalam menolong ahli bedah dalam memilih prosedur
diagnostik dan untuk memutuskan apakah pasien perlu dioperasi. Deteksi
pneumoperitoneum minimal pada pasien dengan nyeri akut abdomen
karena perforasi gaster adalah tugas diagnostik yang paling penting dalam
status kegawatdaruratan abdomen. Seorang dokter yang berpengalaman,
dengan menggunakan teknik radiologi, dapat mendeteksi jumlah udara
sebanyak 1 ml. dalam melakukannya, ia menggunakan teknik foto
abdomen klasik dalam posisi berdiri dan posisi lateral decubitus kiri.
Untuk melihat udara bebas dan membuat interpretasi radiologi dapat
dipercaya, kualitas film pajanan dan posisi yang benar sangat penting.
Setiap pasien harus mengambil posisi adekuat 10 menit sebelum
pengambilan foto, maka, pada saat pengambilan udara bebas dapat
mencapai titik tertinggi di abdomen. Banyak peneliti menunjukkan
kehadiran udara bebas dapat terlihat pada 75-80% kasus. Udara bebas
tampak pada posisi berdiri atau posisi decubitus lateral kiri. Pada kasus
perforasi karena trauma, perforasi dapat tersembunyi dan tertutup oleh
kondisi bedah patologis lain. Posisi supine menunjukkan
pneumoperitoneum pada hanya 56% kasus. Sekitar 50% pasien
menunjukkan kumpulan udara di abdomen atas kanan, lainnya adalah
subhepatika atau di ruang hepatorenal. Di sini dapat terlihat gambaran
oval kecil atau linear. Gambaran udara bentuk segitiga kecil juga dapat
tampak di antara lekukan usus. Meskipun, paling sering terlihat dalam
bentuk seperti kubah atau bentuk bulan setengah di bawah diafragma pada
posisi berdiri. Football sign menggambarkan adanya udara bebas di atas
kumpulan cairan di bagian tengah abdomen.
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut
abdomen. Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas dengan
berbagai densitas, yang pada kasus ini adalah sangat tidak homogen
karena terdapat kandungan lambung. Pemeriksaan ini khususnya berharga
untuk mendeteksi cairan bebas di pelvik kecil menggunakan teknik
kandung kemih penuh. Kebanyakan, ultrasonografi tidak dapat
mendeteksi udara bebas.
c. CT-scan
CT-scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk
mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti
gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan negatif. Oleh
karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi gaster.
Ketika melakukan pemeriksaan, kita perlu menyetel jendelanya agar dapat
membedakan antara lemak dengan udara, karena keduanya tampak
sebagai area hipodens dengan densitas negatif. Jendela untuk parenkim
paru adalah yang terbaik untuk mengatasi masalah ini. Saat CT scan
dilakukan dalam posisi supine, gelembung udara pada CT scan terutama
berlokasi di depan bagian abdomen. Kita dapat melihat gelembung udara
bergerak jika pasien setelah itu mengambil posisi decubitus kiri. CT scan
juga jauh lebih baik dalam mendeteksi kumpulan cairan di bursa
omentalis dan retroperitoneal. Walaupun sensitivitasnya tinggi, CT scan
tidak selalu diperlukan berkaitan dengan biaya yang tinggi dan efek
radiasinya. Jika kita menduga seseorang mengalami perforasi, dan udara
bebas tidak terlihat pada scan murni klasik, kita dapat menggunakan
substansi kontras nonionik untuk membuktikan keraguan kita. Salah satu
caranya adalah dengan menggunakan udara melalui pipa nasogastrik 10
menit sebelum scanning. Cara kedua adalah dengan memberikan kontras
yang dapat larut secara oral minimal 250 ml 5 menit sebelum scanning,
yang membantu untuk menunjukkan kontras tapi bukan udara.
Komponen barium tidak dapat diberikan pada keadaan ini karena mereka
dapat menyebabkan pembentukkan granuloma dan adesi peritoneum.
Beberapa penulis menyatakan bahwa CT scan dapat memberi ketepatan
sampai 95%.

7. Penatalaksanaan
Tanda dan gejala perforasi gaster biasanya mereka dengan gejala akut
abdomen disertai sepsis dan gagal napas. Pemeriksaan abdominal adanya
distensi abdominal yang signifikan. Vomitus adalah gejala yang tidak
konsisten. Terapi suportif yang baik post operatif bersama dengan
penggunaan antibiotik spektrum luas secara intravena diperlukan.
Jika gejala dan tanda-tanda peritonitis umum tidak ada, kebijakan
nonoperatif mungkin digunakan dengan terapi antibiotik langsung terhadap
bakteri gram-negatif dan anaerob. Apabila penderita yang lambungnya
mengalami perforasi, harus diperbaiki keadaan umumnya sebelum operasi.
Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa nasogastrik, dan
pemberian antibiotik mutlak diberikan.
Tujuan dari terapi bedah adalah :
a. Koreksi masalah anatomi yang mendasari
b. Koreksi penyebab peritonitis
c. Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat
menghambat fungsi leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri (seperti
darah, makanan, sekresi lambung).

Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan. Jahitan


saja setelah eksisi tukak yang perforasi belum mengatasi penyakit primernya,
tetapi tindakan ini dianjurkan bila keadaan umum kurang baik, penderita usia
lanjut dan terdapat peritonitis purulenta. Bila keadaan memungkinkan,
tambahan tindakan vagotomi dan antrektomi dianjurkan untuk mencegah
kekambuhan.
Tujuan dari prosedur operasi untuk ulkus duodenum adalah untuk
memberikan perbaikan yang lama dengan mengontrol produksi asam sel
parietal. Pendekatan operasi untuk ulkus duodenum perforasi dapat
menggunakan patch omentum saja dengan penggunaan pasca operasi PPI dan
pemberantasan H pylori, seperti yang ditunjukkan, atau dapat menggunakan
patch omentum dengan kontrol bedah asam lambung dengan cara vagotomy
dan drainase, sel parietal vagotomy, dan antrectomy. Pilihan operasi
ditentukan oleh berikut:
a. Patologi bertanggung jawab untuk perforasi
b. status kesehatan premorbid Pasien
c. status hemodinamik perioperatif Pasien
d. Tingkat kontaminasi peritoneum yang telah ditemukan
Indikasi Patch omentum ditunjukkan dalam situasi berikut:
a. Peritonitis Generalized
b. Ketidakstabilan hemodinamik dengan syok
c. Perforasi selama lebih dari 24 jam
d. Perforasi jelas terkait dengan penggunaan obat anti-inflammatory drugs
(NSAID)
e. Pasien tidak memiliki gejala yang signifikan selama 3 bulan sebelum
prosedur

Ulkus lambung pada atipikal (lokasi lebih proksimal) atau dengan fitur
sugestif keganasan tidak boleh ditambal tapi harus baji-direseksi kecuali
biopsi dan tindakan lain dapat meyakinkan bahwa mereka adalah jinak.
Obstruksi lambung merupakan komplikasi pasca operasi dengan frekuensi
sekitar 15%. Jika ulkus besar dan pasien stabil, komplikasi ini dapat dicegah
dengan eksisi ulkus dan penggabungan perbaikan menjadi pyloroplasty
Heineke-Mikulicz. Indikasi lain untuk jenis perbaikan cacat duodenum lebih
besar dari 1 cm untuk memungkinkan pencegahan striktur dan obstruksi
berikutnya. Pada pasien dengan klinis yang lebih stabil, pilihan pembedahan
gastrektomi distal atau antrectomy dan vagotomy lebih agresif tetapi lebih
definitif.

Pertimbangan Teknis
 Resusitasi Praoperasi
Pentingnya resusitasi pra operasi digarisbawahi oleh Shoemaker dalam
sebuah penelitian menunjukkan peningkatan mortalitas dan morbiditas
pada pasien yang berisiko tinggi dengan hemodinamik supranormal dan
oksigen variabel transportasi.
Perbaikan klinis dengan melihat resusitasi pra operasi yang memadai
berasal dari konsep optimalisasi sirkulasi dan pembesaran pengiriman
oksigen ke jaringan perifer oleh preload yang memadai.
 Drainase
Patch diyakini mematuhi serosal lapisan usus dan dengan demikian
menutup perforasi. Drainase dapat menyebabkan morbiditas (infeksi atau
erosi ke dalam struktur viseral). Apabila abses memenuhi dinding
abdomen dan serta adanya kontaminasi yang berasal dari perforasi, maka
drainase dapat ditempatkan didalam rongga yang terdapat abses.
 Bedah dan kimia vagotomy penyakit ulkus perforasi
Dengan diperkenalkannya PPI, vagotomy kimia banyak digantikan
vagotomy bedah, dengan tingkat keberhasilan yang baik. Pada pasien
yang tidak sesuai dengan pengobatan medis, vagotomy bedah pada saat
awal atau perbaikan untuk ulkus perforasi harus dipertimbangkan. Namun,
seperti yang dibahas dalam teks, status hemodinamik pasien adalah
penentu utama tingkat intervensi bedah.
 Patch omentum untuk perforasi ulkus peptikum lambung
Pilihan patching omentum berongga viskus perforasi tergantung pada
lokasi lesi dan flora mikroba dari bagian masing-masing saluran
pencernaan. lesi prepilorik atau pilorus berada di dekat omentum dan
karena itu dapat ditambal dengan ketegangan minimal, sedangkan ulkus
pada lekukan yang lebih proksimal lambung mungkin tidak mudah
diakses dengan metode ini. Pada saat yang sama, lingkungan asam pada
lambung dan duodenum proksimal dengan pertumbuhan minimal dan
proliferasi flora normal gram kokus positif membuat perbaikan untuk
patching sederhana, menjamin penutupan ketat pada perekrutan sel
inflamasi.
Sebaliknya, ulkus lambung lebih proksimal lebih mungkin untuk menjadi
ganas. Ulkus berlubang yang ganas tidak harus ditambal, karena mereka
tidak mungkin untuk menutup. ulkus lambung berlubang ganas setidaknya
harus direseksi wedge jika pasien tidak cukup stabil untuk menjalani
reseksi kanker lebih klasik.

Teknik
 pendekatan standar
Sayatan garis tengah atas adalah rute yang lebih disukai untuk masuk ke
dalam rongga peritoneum. Selain memberikan paparan bedah yang baik,
sebuah garis tengah sayatan atas juga memungkinkan perpanjangan
inferior jika ulkus perforasi tidak ditemukan dan sisanya dari usus yang
akan diperiksa atau dimanipulasi. Pengisapan cairan gastrointestinal dari
setiap eksudat fibrinous dilakukan secara cepat, dan perhatikan duodenum
dan visualisasi perforasi. Perforasi biasanya ditemukan pada dinding
anterior dari duodenum, di dekat dengan bola duodenum. Jika perforasi
tidak jelas, mobilisasi duodenum bersama dengan pemeriksaan perut dan
jejunum selanjutnya harus dilakukan. Setelah perforasi usus diidentifikasi,
busa dapat digunakan untuk mengapit duodenum untuk mencegah
tumpahan lanjut isi lambung.
Sebuah patch dari omentum dibawa tanpa ketegangan dan diposisikan di
atas perforasi, dan jahitan berturut-turut diikat dari unggul aspek inferior
di patch omentum untuk jangkar graft omentum di tempat.
Setelah operasi perbaikan telah dicapai, beberapa ahli bedah melakukan
tes kebocoran untuk memungkinkan deteksi kesalahan teknis. Tujuan
perbaikan adalah untuk mengamankan omentum untuk menutup peforasi.
Rongga peritoneum kemudian diirigasi dengan 10 L larutan garam hangat
untuk menghilangkan kontaminasi lebih lanjut.
Pemilihan drainase dari daerah dekat dengan perforasi dapat dicoba jika
kekhawatiran tentang adanya kemungkinan kebocoran dari ulkus dengan
cara ditempatkan di daerah paraduodenal atau ruang infrahepatic.
Keuntungan drainase dapat mendeteksi dini kebocoran pasca operasi dan
penyediaan drainase dikendalikan menggunakan suction saluran tertutup
jika kebocoran tidak terjadi.
Lesi kemudian ditutup dengan cara biasa dengan jahitan kontinu atau
terputus dari polypropylene atau polydioxanone. Jika edema besar usus
menyebabkan ketegangan di tepi fasia pada penutupan, maka abdomen
dapat dikelola terbuka melalui berbagai teknik, termasuk penutupan
vacuum-assisted closure, Wittmann patch, dan sejumlah pilihan lain.
Perawatan Pascaoperasi
 Makanan
Makanan oral mungkin akan tertunda karena kebutuhan untuk ileus untuk
menyelesaikan dan patch omentum untuk menyembuhkan.
 Terapi antimikroba
Perforasi duodenum dengan peritonitis lokal atau umum dan tumpahan isi
enterik pada pasien yang tidak stabil hemodynamically ditemukan sepsis
atau syok septik dan dianggap infeksi intra-abdominal rumit. Menurut
pedoman dari Infectious Diseases Society of America, terapi antimikroba
harus dilanjutkan pasca operasi selama 24 jam ketika perforasi
pembedahan telah ditutup pada 12 jam pertama.
Jika resolusi tanda-tanda klinis dari infeksi, termasuk normalisasi jumlah
sel darah putih dan suhu tidak terjadi setelah 24 jam pasca operasi,
antimikroba dapat dilanjutkan selama 4-7 hari. Baik kombinasi dari beta-
laktam dengan inhibitor beta-laktamase (misal amoksisilin klavulanat)
atau carbapenem (misalnya, ertapenem atau imipenem) lebih disukai.
Dalam kasus di mana ada bukti infeksi persisten atau berulang setelah 4-7
hari terapi, kemungkinan adanya abses intraoperatif. Cari sumber lain dari
infeksi, seperti saluran kemih atau pernapasan, kateter, dan garis, harus
diselidiki setelah kecurigaan infeksi dari intra-abdominal dikesampingkan.
Pemberantasan H. pylori juga harus dipertimbangkan. Beberapa ahli
bedah dapat memilih untuk pemberantasan pasca operasi empiris dengan
obat anti-sekretorik dan antibiotik setelah pasien mentoleransi diet oral,
sementara yang lain memilih untuk menguji H.pylori dan kemudian
memperlakukan hanya pasien yang dites positif H.pylori. Pemberantasan
secara signifikan mengurangi morbiditas, mortalitas, dan kambuhan
gastritis pada pasien dengan perforasi yang berhubungan dengan H pylori.

8. Komplikasi
Komplikasi pada perforasi gaster, sebagai berikut:
a. Infeksi Luka, angka kejadian infeksi berkaitan dengan muatan bakteri
pada gaster
b. Kegagalan luka operasi
Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap lapisan
luka operasi) dapat terjadi segera atau lambat.
Faktor-faktor berikut ini dihubungkan dengan kegagalan luka operasi :
 Malnutrisi
 Sepsis
 Uremia
 Diabetes mellitu
 Terapi kortikosteroid
 Obesitas
 Batuk yang berat
 Hematoma (dengan atau tanpa infeksi)
c. Abses abdominal terlokalisasi
d. Kegagalan multiorgan dan syok septic :
 Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang menimbulkan
manifestasi sistemik, seperti kekakuan, demam, hipotermi (pada
septikemia gram negatif dengan endotoksemia), leukositosis atau
leukopenia (pada septikemia berat), takikardi, dan kolaps sirkuler.
 Syok septik dihubungkan dengan kombinasi hal-hal berikut :
- Hilangnya tonus vasomotor
- Peningkatan permeabilitas kapiler
- Depresi myokardial
- Pemakaian leukosit dan trombosit
- Penyebaran substansi vasoaktif kuat, seperti histamin, serotonin
dan prostaglandin, menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
- Aktivasi komplemen dan kerusakan endotel kapiler
 Infeksi gram-negatif dihubungkan dengan prognosis yang lebih buruk
dari gram-positif, mungkin karena hubungan dengan endotoksemia.
e. Gagal ginjal dan ketidakseimbangan cairan, elektrolit, dan pH
f. Perdarahan mukosa gaster. Komplikasi ini biasanya dihubungkan dengan
kegagalan sistem multipel organ dan mungkin berhubungan dengan defek
proteksi oleh mukosa gaster
g. Obstruksi mekanik, sering disebabkan karena adesi postoperatif
h. Delirium post-operatif. Faktor berikut dapat menyebabkan predisposisi
delirium postoperatif:
 Usia lanjut
 Ketergantungan obat
 Demensia
 Abnormalitan metabolik
 Infeksi
 Riwayat delirium sebelumnya
 Hipoksia
 Hipotensi Intraoperatif/postoperative

9. Prognosis
Apabila tindakan operasi dan pemberian antibiotik berspektrum luas
cepat dilakukan maka prognosisnya dubia ad bonam. Sedangkan bila
diagnosis, tindakan, dan pemberian antibiotik terlambat dilakukan maka
prognosisnya menjadi dubia ad malam.
Hasil terapi meningkat dengan diagnosis dan penatalaksanaan dini. Faktor-
faktor berikut akan meningkatkan resiko kematian :
a. Usia lanjut
b. Adanya penyakit yang mendasari sebelumnya
c. Malnutrisi
BAB III
KESIMPULAN

Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek


dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke
dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk
terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut ( keadaan ini dikenal dengan
istilah peritonitis).
Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti
ulkus gaster, appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis, sindroma
arteri mesenterika superior, trauma.
Penatalaksanan tergantung penyakit yang mendasarinya. Intervensi bedah
hampir selalu dibutuhkan dalam bentuk laparotomy explorasi dan penutupan perforasi
dengan pencucian pada rongga peritoneum (evacuasi medis). Terapi konservatif di
indikasikan pada kasus pasien yang non toxic dan secara klinis keadaan umumnya
stabil dan biasanya diberikan cairan intravena, antibiotik, aspirasi NGT, dan
dipuasakan pasiennya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 : Lambung


dan Duodenum, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC : Jakarta, 2004. Hal.
541-59.
2. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, editor : Mansjoer, Arif.,
Suprohalta., Wardhani, Wahyu Ika., Setiowulan, Wiwiek., Fakultas
Kedokteran UI, Media Aesculapius, Jakarta : 2000
3. Sylvia A.Price, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi Konsep Klinis proses-
proses penyakit volume 1, Edisi 6, EGC : Jakarta, 2006
4. http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vii/g/gastric_rupture
Gharehbaghy, Manizheh M., Rafeey, Mandana., Acute Gastric Perforation in
Neonatal Period, available from www.medicaljournal-
ias.org/14_2/Gharehbaghy . pdf
5. Sofić, Amela., Bešlić, Šerif., Linceder, Lidija., Vrcić, Dunja., Early radiological
diagnostics of gastrointestinal perforation

Anda mungkin juga menyukai