Anda di halaman 1dari 32

CASE

Struma Nodosa Non Toksik

Oleh :
Anisia Mikaela Maubere 0715044
Kevin Budi Harto 09150
Arif Rachman 09150
Annisa Denada 0915
Dhany Saptari 0915

Pembimbing :
dr. Antonius, Sp.B FInaCS

ILMU PENYAKIT BEDAH


RUMAH SAKIT SEKAR KAMULYAN
CIGUGUR
2014

1
KETERANGAN UMUM

Nama : Ny.S
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Sembawa
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Ruangan : Elisa
No. RM : 164442
Tanggal Dirawat : 7 Agustus 2014 pk.11.31
Tanggal Diperiksa : 7 Agustus 2014

ANAMNESIS (autoanamnesis)

Keluhan Utama : benjolan di leher kanan dan kiri


Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan di leher kanan dan kiri.
Awalnya timbul benjolan di leher kiri kurang lebih 18 tahun yang lalu sebesar
telor puyuh. Benjolan dirasakan membesar sekarang sebesar telor ayam . Lalu
benjolan muncul di leher sebelah kanan sejak 1 tahun yang lalu kira-kira sebesar
kelereng. Pasien menyangkal benjolan yang sebelah kanan bertambah besar.
Pasien mengatakanmerasa berkeringat berlebihan, gelisah, mudah lelah,berdebar-
debar, dan nafsu makan berkurang.
Pasien tidak ada sesak nafas. Berat badan pasien tidak turun. Pasien
menyangkal adanya demam, mual, muntah, sukar menelan, mata lebih menonjol.
BAB dan BAK dalam batas normal.
RPD : Pasien tidakpernah mengalami sakit seperti ini, pasien tidak tahu ada
riwayat hipertensi, kencing manis atau kolesterol atau tidak
RPK : Hipertensi -, DM -, struma -,riwayat keganasan –

2
Usaha berobat: 17 tahun yang lalu pernah ke pengobatan alternatif dan pasien
mengaku benjolan diambil sebagian namun setelah itu benjolan membesar
kembali.

PEMERIKSAAN FISIK (14 Juli 2014)


A. KEADAAN UMUM
Keadaan Umum : Baik
Kesan Sakit : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan Gizi : Normal
(BB:60kgTB:155cmBMI=25 )
Kulit : Tidak anemis, tidak sianosis, tidak ikterik

B. TANDA VITAL
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Nadi : 68x/menit, iregular,isi cukup
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36.6 °C

C. PEMERIKSAAN UMUM

Kepala
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Eksofthalmus (-), Stellwag’s sign (-), Joffroy’s sign (-), Moebius’ sign (-),
Rosenbach’s sign (-), von Graefe’s sign (-)

Pupil : bulat, isokor, Ø 3mm kanan = kiri,


refleks cahaya +/+

Leher
Kelenjar Thyroid

3
 Inspeksi: terlihat benjolan di leher sebelah kiri kira-kirasebesar telor ayam,
ikut bergerak naik turun saat pasien menelan, terlihat benjolan di leher
sebelah kanan sebesar kelereng, kemerahan (-) .
 Palpasi : terababenjolan di leher sebelah kanan berukuran 1x1cm,permukaan
rata, konsistensi kenyal, batas tegas, mobile , nyeri tekan (-), tidak teraba
hangat, deviasi trakea (-), benjolan di leher sebelah kiri kurang lebih 4x3
cm, permukaan berbenjol-benjol, konsistensi kenyal keras,batas tegas,
mobile, ikut bergerak saat menelan, nyeri tekan (-), tidak teraba hangat
 Auskultasi : Bruit (-)

JVP : 5+0 cmH2O


KGB : Leher, axila, inguinal tidak membesar

Thoraks
Inspeksi : bentuk dan pergerakan simetris, kiri =kanan.
Palpasi : pergerakan simetris kiri = kanan
taktil fremitus kiri = kanan
Perkusi : Pulmo : sonor kanan = kiri
Cor : Pembesaran jantung (-)
Auskultasi : Pulmo: VBS +/+, ronchi-/- ,wheezing -/-
Cor : bunyi jantung murni, reguler, murmur (-)
Abdomen
Inspeksi :datar, tidak tampak benjolan
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi : soepel, defence musculer (-), hepar dan Lien tidak teraba.
Punggung
Nyeri ketok CVA -/-
Genital ; Anus dan Rectum
Tidak dilakukan Pemeriksaan
Ekstremitas
Akral hangat, CRT <2 detik,tremor (-)

4
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Thorax (14 Juli 2014)

Kesan: Cardiomegali tanpa bendungan paru. Tak tampak TB aktif.


EKG (14 Juli 2014)

5
Hematologi (7 Agustus 2014)
Eritrosit : 4.25 juta/mm3 HbsAg : negatif
Hb : 12,3 g/dl Elektrolit:
Ht : 37% Kalium : 3,46 mmol/L
Leukosit :7.400 /mm3 Natrium : 147,6 mmol/L
Trombosit : 252.000/mm³ Chlorida : 105,7 mmol/L
MCV : 86 fl SGOT : 24 U/L
MCH : 29 pg/sel SGPT : 13 U/L
MCHC : 34 g/dl Ureum : 18,0 mg/dl
BT : 1 menit Kreatinin : 0,4 mg/dl
CT : 4 menit GDS :92mg/dl

V Diagnosis
Diagnosis banding :
 Struma Nodosa Non Toksik
 Keganasan
Diagnosis kerja :Struma Nodosa Non Toksik

VI. Prognosis
Quo ad Vitam : Ad Bonam
Quo ad Fuctionam : Ad bonam

VII. Terapi
Pre Op Ceftriaxone 1 gr 1x1
Post Op Ceftriaxon 2x1gram
Ketorolac 2x1 amp
Asam tranexamat 3x1 amp
Asam mefenamat tab 3x500mg
Ranitidine 2x1 amp

6
Amlodipin tab 5mg 1x1

VIII. Tindakan Operasi (15 Juli 2014)


Diagnosis pre-op :Struma Nodosa Non Toksik
Diagnosis post-op : Struma Nodosa Non Toksik
Jenis operasi :Near Total Thyroidectomy

Laporan Operasi(8 Agustus 2014)


1. Dilakukan insisi Kocher-Collar
2. Insisi diperdalam sampai M.platysma
3. Dilakukan skin flapping anterior & posterior
4. Insisi midline dibuka
5. Identifikasi thyroid, tampak tiroid membesar bilateral, berbentuk padat
dengan perlengketan, konsistensi kenyal keras sebagian kistik.
6. Diputuskan dilakukan total thyroidectomy& dibebaskan dari trakea
7. Preservasi nervus laryngeus reccuren & glandula parathyroidea
8. Kontrol perdarahan dengan curaspons (sponge Gelatin) dan pemasangan
drain silikon sebanyak 2 buah
9. Luka operasi ditutup lapis demi lapis
10. Operasi selesai

Ditemukan

7
Instruksi Post Operasi
Puasa: Sampai pasien sadar penuh
Infus: RL 20 tetes/menit
Obat: Ceftriaxon 2x1gram
Ketorolac 2x1 amp
Asam tranexamat 3x1 amp

8
Asam mefenamat tab 3x500mg
Ranitidine 2x1 amp
Amlodipin tab 5mg 1x1

9
Follow Up

Hari/tgl Subjective Objective Assesment Work up

Selasa Benjolan agak BP : 140/80 Struma RL20tts/mnt


15/07/14 nyeri, nyer i Pulse : 68 Nodosa Ceftriaxon 2x1gram
kepala,mual(+), Temp:35,7 Non Toksik Ketorolac 2x1 amp
muntah(-) Resp: 22 Asam tranexamat 3x1 amp
Ranitidine 2x1 amp
Amlodipin tab 5mg 1x1
Rabu Nyeri post op BP : 140/80 Struma RL20tts/mnt
16/07/14 (+), mual (+), Pulse : 76 Nodosa Ceftriaxon 2x1gram
Post op muntah-, Temp:36.9 Non Toksik Ketorolac 2x1 amp
hari 1 semalam tidak Respi:24 Asam tranexamat 3x1 amp
bisa tidur, Asam mefenamat tab
kentut(+), BAB 3x500mg
(-) Ranitidine 2x1 amp
Amlodipin tab 5mg 1x1
Terpasang drain, darah (+)
Kamis Nyeri post op (+) BP : 110/70 Struma RL20tts/mnt
17/07/14 berkurang, mual Pulse : 76 Nodosa Ceftriaxon 2x1gram
Post op (+), muntah(-), Temp:35.8 Non Toksik Ketorolac 2x1 amp
hari 2 bisa tidur, BAB(-) Resp:24 Ciprofloxacin 2x1
Asam mefenamat tab
3x500mg
Ranitidin tab 3x1
Aff drain

10
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi Thyroid

Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher dan memiliki dua bagian
lobus yang dihubungkan oleh isthmus .Masing-masing lobus memiliki kutub
superior yang tajam dan kutub posterior yang tumpul.Kelenjar ini berukuran
kurang lebih panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm.
Kelenjar tiroid merupakan salah satu dari kelenjar endokrin yang terbesar,
dengan berat sekitar 14-20 gram. Pada pembesaran kelenjar tiroid, beratnya dapat
mencapai ratusan gram.Kelenjar ini terdiri dari folikelyang mengandung banyak
jaringan kapiler.Folikel tersebut berisi koloid protein berwarna jernih.
Dua pasang pembuluh darah yang mensupply meliputi: a.thyroid superior
yang merupakan percabangan dari a. carotis externus dan a.thyroid inferior yang
merupakan percabangan dari arteri subclavia. Pada struma toksik diffusa yang
disebabkan oleh Grave’s dissease, aliran darah dapat menjadi berlebihan,
mencapai 1L/menit/g dan dapat menghasilkan bruit pada auskultasi atau thrill
pada perabaan.

Gambar 1 Anatomi Tiroid

11
Kelenjar tiroid memproduksi hormon yang mengatur metabolisme tubuh.
Hormon tersebut mengatur metabolisme lemak dan karbohidrat, mempertahankan
suhu tubuh, mempengaruhi denyut jantung, dan mengatur pembentukan protein.
Kelenjar tiroid juga memproduksi hormon kalsitonin yang berfungsi mengatur
kadar kalsium dalam darah.
Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan
metabolisme energi, mempengaruhi pertumbuhan pematangan jaringan tubuh dan
energi, mengatur kecepatan metabolisme tubuh dan reaksi metabolik, menambah
sintesis asam ribonukleat (RNA), menambah produksi panas, absorpsi intestinal
terhadap glukosa, merangsang pertumbuhan somatik, dan berperan dalam
perkembangan normal sistem saraf pusat.

Gambar 2
Gambar struma noduler di lobus kiri tiroid.

Struma merupakan pembesaran kelenjar tiroid, dapat berupa noduler


maupun difus.Struma dapat meluas ke ruang retrosternal dengan atau tanpa
pembesaran ke daerah anterior.Karena adanya hubungan anatomis antara kelenjar
tiroid dengan trakea, laring, nervus laringeus superior dan inferior, dan esofagus,
pertumbuhan yang abnormal tersebut dapat menyebabkan gejala penekanan.
Fungsi kelenjar tiroid bisa normal (struma non toksik) atau overaktif (struma
toksik) atauhipotiroid.

12
Gambar 3
Anatomi leher

Definisi

Struma atau goiter adalah suatu pembengkakanpada leher oleh karena


pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid. Kelainan ini dapat
berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Struma nodosa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid berupa
nodular yang jinak, tanpa tanda radang dan tanpa hipertiroid atau
hipotiroid.Kelenjar tiroid dianggap membesar bila lebih dari 2 kali ukuran normal.
Pembesaran kelenjar tiroid dapat menyebabkanpenekanan pada trakea, membuat
dilatasi sistem vena serta pembentukan vena kolateral.

Epidemiologi
Struma biasanya terjadi pada oreng-orang yang tinggal di daerah yang
miskin iodin atau daerah-daerah yang jauh dari laut. Kebanyakan terjadi di
negara-negara berkembang seperti Asia dan Afrika Tengah. Insidensi biasanya
terjadi pada populasi dengan usia diatas 40 tahun, wanita lebih banyak daripada
pria dan adanya faktor keturunan. Ras tidak berpengaruh pada struma. Nodul

13
tiroid jarang pada pria daripada wanita tetapi saat ditemukan pada pria sering
ganas.
Kebanyakan struma jinak dan menyebabkan hanya gangguan kosmetik.
Morbiditas dan mortalitas dapat disebabkan karena kompresi struktur sekitar,
kanker tiroid, hipertiroid atau hipotiroid.

Etiologi
Defisiensi iodin adalah penyebab tersering struma nodosa non-toksik,
defisiensi iodin timbul bila asupan iodin dibawah 50 ug/hari. Berdasarkan WHO,
kebutuhan asupan iodin optimal orang dewasa adalah 150-300 ug/hari.
Penyebab lainStruma Nodosa Non-Toksik adalah defek enzim untuk
sintesis T3 dan T4, goitrogen (amiodaron, litium karbonat, sayur kol) yang
melepaskan thiocyanate dan akibat terapi antitiroid (methimazole dan
carbimazole).

Faktor-faktor penyebab goiter:


Goiter endemik terjadi akibat 2 mekanisme fisiologis, yaitu : pertama
kekurangan yodium pada autoregulasi dari kelenjar tiroid dan kedua akibat
stimulasi pada kelenjar tiroid oleh TSH karena kadar hormon tiroksin diperedaran
darah rendah. Beberapa kasus bisa timbul struma akibat bahan goitrogen dalam
makanan dan air, juga obat-obatan dan rokok yang mengganggu masuknya
yodiom dalam sel folikuler kelenjar tiroid.Kelainan kongenital yang menyebabkan
gangguan sintesis hormon tiroid juga bisa menyebabkan struma.
1. Defisiensi yodium, pada awalnya pembesaran kelenjar tiroid pada kasus
ini merupakan adaptasi dari kondisi asupan yodium yang kurang, dan
kebutuhan hormon tiroid yang lebih banyak, sehingga tubuh membuat
folikel-folikel yang berisi koloid yodium untuk cadangan. Karena
kebutuhan hormon dan asupan yodium yang fluktuasi dan cenderung
kurang maka folikel-folikel yang terbentuk cenderung heterogen dan
terjadilah multinodular goiter. Di alam bebas yodium berada dalam
makanan dan air sebagai ion anorganik dan diserap hampir sempurna oleh
sistem GIT dan sangat sedikit dalam tinja. Kadar yodium normal dalam

14
darah adalah 0,08-0,60 μg/dl. Angka <0,08 μg /dLmenunjukkan defisiensi
dan >1 μg/dL menunjukkan adanya tambahan yodium eksogen. Di daerah
tropis banyak yodium yang keluar lewat keringat. Kebutuhan manusia
sehari minimal 100-300 μg yodium. Bila ekskresi yodium <50 μg/hari
merupakan indikasi adanya defisiensi pada populasi tersebut.
2. Bahan goitrogenik, makanan, obat-obatan, rokok sering menimbulkan
hambatan pada masuknya yodium pada folikel kelenjar tiroid, lebih-lebih
bila asupan yodium juga kurang. Bahan-bahan goitrogenik antara lain:
sayuran mentah, lobak, sawi putih, ketela pohon (mengandung sianida)
dan pada sayuran yang dimasak, bahan goitrogenik tersebut menjadi tidak
aktif. Bahan-bahan ini bekerja pada sistem pompa masuknya yodium ke
dalam sel folikel kelenjar tiroid.
3. Faktor genetika
4. Iodine excess

Klasifikasi
Struma Nodosa Non-Toksik dibagi menjadi :
 chronic lymphocytic thyroiditis (Hashimoto disease)
 endemic goiter
 sporadic goiter
 struma kongenital
 struma fisiologis pada saat pubertas

Berdasarkan jumlah nodul ,dibagi :


• Struma mononodosa non toksik
• Struma multinodosa nontoksik

Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif,nodul dibedakan menjadi:


• nodul dingin
• nodul hangat
• nodul panas

15
Berdasarkan konsistensinya ,nodul dibedakan menjadi ;
• nodul lunak
• nodul kistik
• nodul keras
• nodul sangat keras

Pada struma gondok endemik, Perez membagi klasifikasi menjadi :


 Derajat 0 : tidak teraba pada pemeriksaan
 Derajat 1 : teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala
ditegakkan
 Derajat 2 : mudah terlihat pada posisi kepala normal
 Derajat 3 : terlihat pada jarak jauh
Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi :
 Derajat 0a : tidak terlihat atau teraba tidak besar dari ukuran normal
 Derajat 0b : jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat
bila kepala ditegakkan

Menurut American Society for Study of Goiter :


1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodosa
3. Struma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodosa

Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi
fungsi fisiologis kelenjar thyroid seperti hipertiroid dan hipotiroid, sedangkan
istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi. Struma dikenal
beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang
diketahui dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik
 Mengenai 1 lobus
 Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan tangan

16
 Kadang multilobaris
 Fluktuasi (+)
2. Bentuk noduler : Struma nodusa
 Batas jelas
 Konsistensi kenyal sampai keras
 Bila keras curiga neoplamsa, umumnya berupa adenocarcinoma
thyroidea
3. Bentuk diffusa : Struma diffusa
 Batas tidak jelas
 Konsistensi biasa kenyal, lebih kearah lembek
4. Bentuk vascular : Struma vasculosa
 Tampak pembuluh darah
 Berdenyut
 Auskultasi : bruit pada neoplasma dan struma vasculosa
 Kelenjar getah bening : paratracheal dan vena jugularis

 Berdasarkan fisiologisnya
Berdasarkan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar thyroid yang berada di bawah normal
sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang
meningkat.Goiter atau struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan
gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan
dapat mengakibatkan kompresi trakea.

b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid
sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang.Gejala hipotiroidisme
adalah penambahan berat badan, sensitive terhadap udara dingin, dementia,
sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok,

17
menstruasi berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan
bicara.

c. Hipertiroidisme
Nama lainnya adalah tirotoksikosis atau Grave yang dapat didefinisikan
sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon
tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis
antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar thyroid, sehingga tidak hanya
produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar thyroid menjadi
besar. Gejala hipertitoid berupa berat badan menurun, nafsu makan
meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, lebih suka udara dingin, sesak
napas, jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot
(eksoftalmus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.

 Berdasarkan klinisnya
a. Struma toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan
struma nodusa toksik. Jika tidak diberikan tindakan medis, struma nodusa
akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih
benjolan (struma multinoduler toksik).
Struma diffusa toksik (tirotoksikosis) merupakan hipermetabolisme karena
jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormone tiroid yang berlebihan dalam
darah.Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok
eksoftalmik/exophtalmic goiter), bentuk tirotoksikosis yang paling banyak
ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.
Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah,
mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan
pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut
sebagai hasil pengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi
tetapi bukan mencegah pembentukannya. Apabila gejala hipertiroidisme
bertambah berat dan mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis

18
tirotoksik. Gejala klinisnya yaitu rasa khawatir yang berat, mual, muntah,
kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan menelan, koma dan dapat meninggal.
b. Struma non toksik
Struma non toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang
kronik.Struma ini disebut simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang
sering ditemukan di daerah yang air minumnya kurang sekali mengandung
yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami
keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang
berobat karena keluhan kosmetik atau khawatir akan keganasan. Namun sebagian
pasien mengeluh adanya gejala seperti penekanan pada esofagus (disfagia) atau
trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul
perdarahan di dalam nodul.
Dalam keadaan seimbang maka yodium yang masuk ke dalam tubuh
hampir sama dengan yang diekskresikan lewat urin. Kriteria daerah endemis
gondok yang dipakai Depkes RI adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas
10%, endemik sedang 20-29% dan endemik berat di atas 30%.
Gejala dan tanda hipertiroid dapat dinilai melalui indeks Wayne :

19
Tabel 1
Indeks Wayne

Tabel 2
Indeks New Castle

Patogenesis – Patofisiologi
Pada struma nodosa non-toksik biasanya merupakan suatu perjalanan
penyakit yang fisiologis biasanya terjadi karena peningkatan kebutuhan terhadap
tiroksin saat masa pertumbuhan, pubertas, laktasi, menstruasi, kehamilan,
menopause, infeksi, dan stres.
Pada perjalanan struma nodosa non-toksik dengan defisiensi iodin atau
defek sintesis T3 dan T4 menyebabkan peningkatan sekresi TSH. Hal ini
merupakan respon kompensasi dari produksi hormon tiroid yang inadekuat. Ini
kemudian berkembang menjadi hiperplasia tiroid difus dan berlanjut menjadi
hiperplasia nodular, yang mempunyai kemungkinan untuk menjadi TSH-
independent (otonom).Akibatnya dapat menjadi goiter multinodular yang toksik
maupun nontoksik TSH-independent.Nodul-nodul hiperplastik ini dapat menjadi
nekrotik dan hemorhagik. Goiter multinodular dapat terdiri dari hot nodules
(hiperplastik) atau cold nodules (nekrotik, hemorhagik, atau mikrofolikular).

20
Kelenjar tiroid dikendalikan oleh thyroid-stimulating hormone (TSH),
disekresikan dari kelenjar hipofisis, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh
thyrotropin-releasing hormone (TRH) dari hipotalamus. TSH memungkinkan
pertumbuhan, diferensiasi sel serta produksi dan sekresi hormon tiroid oleh
kelenjar tiroid. Thyrotropin bekerja pada reseptor TSH yang terletak pada kelenjar
tiroid. Hormon tiroid levothyroxine serum dan triiodothyronine memberikan
umpan balik ke hipofisis, mengatur produksi TSH.
Stimulasi reseptor TSH dari tiroid oleh TSH, antibodi TSH - reseptor, atau
agonis reseptor TSH, seperti chorionic gonadotropin, dapat mengakibatkan struma
difus.Ketika sekelompok kecil sel tiroid, sel-sel inflamasi, atau sel-sel ganas
metastasis ke tiroid terlibat, suatu nodul tiroid dapat berkembang.
Kekurangan sintesis hormon tiroid atau kurangnya asupan yodium dapat
menyebabkan peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan
peningkatan selularitas dan hiperplasia kelenjar tiroid dalam upaya untuk
menormalkan kadar hormon tiroid. Jika proses ini berkelanjutan, struma terjadi.
Penyebab kekurangan hormon tiroid yaitu kelainan sintesis hormon tiroid
kongenital, kekurangan yodium, proses peradangan atau gangguan autoimun
seperti Grave’s disease dan penghambatan sintesa hormone oleh zat goitrogenik.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar thyroid
yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya.Di bagian
posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan oesophagus.Struma dapat
mengarah ke profunda sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara
sehingga terjadi kesulitan bernapas, dysphagia, dysphonia. Hal tersebut akan
berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan
elektrolit. Bila pembesaran ke superficial makaakan memberi bentuk leher yang
besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan dysphagia.

Diagnosis
Anamnesis
Pada penyakit struma nodosa nontoksik tiroid membesar dengan lambat.
Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma
cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada
respirasi dan juga esofagus tertekan sehingga terjadi gangguan

21
menelan.Peningkatan metabolisme dapat menyebabkan hiperaktif dengan
meningkatnya denyut nadi. Peningkatan simpatis seperti ; jantung menjadi
berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, diare, gemetar, dan
kelelahan.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan status lokalis struma, dibedakan dalam hal :
1. Bentuk : apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa noduler
local
2. Jumlah nodul; satu (soliter) atau lebih dari satu (multipel).
3. Konsistensi; lunak, kistik, keras atau sangat keras.
4. Lokasi : lobus kanan, lobus kiri, ismus
5. Ukuran : besar/kecil, permukaan rata/noduler
6. Nyeri pada penekanan; ada atau tidak ada
7. Perlekatan dengan sekitarnya; ada atau tidak ada.
8. Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak ada.
9. Gerakan : pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya ikut
bergerak
10. Pulsasi : bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan

Pemeriksaan gondok yang terbaik dilakukan dengan pasien tegak, duduk atau
berdiri. Inspeksi dari samping mungkin lebih baik untuk menilai profil tiroid.
Meminta pasien untuk meminum seteguk air agar pemeriksaan lebih jelas.Tiroid
harus bergerak saat menelan.

Gambar 4. Pemeriksaan kelenjar tiroid

22
Palpasi gondok dilakukan baik dari depan pasien atau dari belakang pasien,
dengan leher santai dan tidak hiperekstensi. Beberapa hal yang perlu dinilai pada
pemeriksaan palpasi :
1. Perluasan dan tepi
2. Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak
dapat diraba trachea dan kelenjarnya.
3. Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan
4. Hubungan dengan m. sternocleidomastoideus (tiroid letaknya lebih
dalam daripada musculus ini.
5. Limfonodi dan jaringan sekitar
Ukuran masing-masing lobus diukur. Sebuah kelenjar tiroid yang lunak
menunjukkan Hashimoto tiroiditis, dan kelenjar tiroid keras menunjukkan
keganasan atau Riedel struma.4
Beberapa nodul mungkin menunjukkan goiter multinodular atau tiroiditis
Hashimoto. Sebuah nodul keras soliter menunjukkan keganasan, sedangkan nodul
tegas soliter mungkin kista tiroid. Nyeri tiroid yang difus menunjukkan subakut
tiroiditis, dan nyeri tiroid lokal menunjukkan perdarahan intranodal atau nekrosis.
Kelenjar getah bening leher yang teraba menunjukkan tanda-tanda kanker tiroid
metastatik.
Pada auskultasi dapat terdengar bruit lembut di atas arteri thyroid inferior yang
menandakan struma toksik.

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
o Pemeriksaan kadar TSH, T3 total, Free T4, dan T4 total.
o Skriningawal harus mencakupTSH. Penilaiantiroksin
bebasakanmenjadi langkah berikutnyadalam evaluasi. Pengujian
laboratoriumlebih lanjutdidasarkan padapresentasi danhasilpenelitian
skriningdanmungkin
termasukantiboditiroid(antibodiantimicrosomaldanantithyroglobulin),
tiroglobulin, laju sedimentasidankalsitonindalam individuyang berisiko
tinggi untukkarsinomamedulatiroid.
 Radiologi

23
o Thorax  adanya deviasi trakea, retrosternal struma, coin lesion
(papiler), cloudy (folikuler).
Leher AP lateral  evaluasi jalan nafas untuk intubasi pembiusan.
 USG
o Dilakukan untuk mendeteksi nodul yang kecil atau nodul di posterior
yang secara klinis belum dapat dipalpasi. Di samping itu, dapat
dipakai untuk membedakan nodul yang padat atau kistik serta dapat
dimanfaatkan untuk penuntun dalam tindakan biopsy aspirasi jarum
halus.
 Scanning tiroid (pemeriksaan sidik tiroid)
o Memakai uptake I131 yang didistribusikan ke tiroid untuk menentukan
fungsi tiroid. Normalnya uptake 15-40 % dalam 24 jam. Bila
uptake > normal disebut hotarea, sedangkan jika
uptake < normal disebut cold area (pada neoplasma)
 Pemeriksaan sitologi melalui biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH)
o Pemeriksaan sitologi nodul tiroid diperoleh dengan aspirasi jarum
halus. Cara pemeriksaan ini berguna untuk menetapkan diagnosis
suspek maligna ataupun benigna.

Diagnosis banding
 Lipoma
 Limfoma tiroid
 Carcinoma Anaplastic Thyroid
 Carcinoma Medullary Thyroid
 Carcinoma Papillary Thyroid
 Thyroiditis subacute

Terapi
Kebanyakan pasien dengan non toksik goiter memiliki kelenjar tiroid yang
eutiroid, kecil, difus, sehingga tidak memerlukan pengobatan. Goiter dapat
berhubungan dengan hipotiroid atau hipertiroid, khususnya Grave’s disease.
Hipotiroidisme dapat meningkatkan risiko goiter karena menyebabkan

24
peningkatan produksi TRH dan TSH. Levotiroksin, biasa digunakan sebagai
terapi hipotiroidisme, juga pada pasien eutiroid dengan pongobatan goiter. Terapi
supresif levotiroksin menurunkan produksi TRH dan TSH sehingga mengurangi
goiter, nodul tiroid, dan kanker tiroid. Pemeriksaan darah diperlukan untuk
meyakinkan bahwa TSH masih dalam batas normal dan pasien tidak menjadi
hipertiroid yang subklinis. Jika kadar TSH tidak dimonitor dengan baik,
levotiroksin dapat meningkatkan risiko osteoporosis. Endemik goiter diterapi
dengan pemberian iodine.
Hipertiroid (Grave disease) dapat diterapi dengan 3 macam pengobatan, yaitu
obat antitiroid, ablasi tiroid dengan radioaktif I131 (suatu isotop radioaktif iodine
yang diserap oleh kelenjar tiroid dan menghancurkan kelenjar tiroid), dan
tiroidektomi (pengangkatan kelenjar tiroid secara operatif). Pemilihan terapi
bergantung pada beberapa faktor, seperti usia pasien, berat ringannya penyakit,
ukuran kelenjar, keadaan patologis yang menyertai, oftalmopati, pilihan pasien,
dan keinginan untuk hamil.

Obat Antitiroid
Pengobatan dengan obat antitiroid biasa diberikan sebagai persiapan tindakan
ablasi tiroid dengan radioaktif iodine atau operatif. Obat yang biasa diberikan
adalah Propylthiouracil (PTU, 100-300 mg 3x /hari) dan Methimazole (10-30 mg
3x/hari). Methimazole memiliki waktu paruh yang lebih panjang dan dapat
diberikan 1x/hari. Kedua obat ini bekerja mengurangi produksi hormon tiroid
dengan mencegah pengikatan organik dari iodine dan pemasangan (coupling)
ioditirosin yang dimediasi oleh tiroid peroksidase. PTU juga menghambat
konversi perifer dari T4 menjadi T3, berguna pada terapi badai tiroid. Walaupun
disekresikan melalui ASI, PTU lebih sedikit berefek pada janin sehingga lebih
dipilih pada terapi hipertiroid pada wanita hamil dan menyusui. Efek samping
terapi yaitu granulositopenia reversibel, skin rash, febris, neuritis perifer,
poliarteritis, vaskulitis, dan yang jarang dijumpai yaitu agranulositosis dan anemia
aplastik. Jika terdapat komplikasi agranulositosis, terapi operatif perlu ditunda
hingga granulosit mencapai 1000sel/mm.

25
Terapi dengan obat antitiroid yang ditujukan untuk pengobatan lebih
diutamakan untuk pasien dengan goiter ukuran kecil (<40 g), non toksik,
peningkatan kadar hormon tiroid yang ringan, dan penurunan ukuran glandula
yang cepat setelah terapi antitiroid. Katekolamin memberi efek penurunan
konversi perifer T4 menjadi T3. Propanolol dengan dosis 20-40mg 4x/hari juga
merupakan obat yang sering diberikan.

Terapi Radioaktif Iodine (RAI; I131)


Keuntungan dari terapi ini adalah mencegah pembedahan serta risiko yang
menyertainya dan menurunkan biaya yang berlebihan. Obat-obatan antitiroid
diberikan sampai pasien dalam keadaan eutiroid lalu dihentikan untuk
memaksimalkan uptake dari pengobatan tersebut. Dosis dari I 131 dikalkulasi
setelah scan terlebih dahulu, biasanya 8-12 mCi secara oral. Namun RAI sering
dihubungkan dengan progresivitas yang cepat dari hipotiroidsehingga
memerlukan terapi jangka panjang dari terapi pengganti tiroksin (Thyroxine
Replacement Therapy). Setelah terapi standar dengan RAI, pasien dapat menjadi
eutiroid dalam waktu 2 bulan. Terapi tersebut juga dapat mempresipitasi
terjadinya aritmia jantung, dan henti jantung (cardiac arrest) khususnya pada
pasien-pasien yang tua.
Terapi RAI lebih sering dipakai untuk pasien yang lebih tua dengan ukuran goiter
yang kecil sampai sedang, pada pasien yang telah mengecil setelah terapi medis
maupun pembedahan dan pada pasien yang kontraindikasi dalam penggunanaan
obat antitiroid atau pembedahan. Kontraindikasi absolut adalah pasien wanita
dengan kehamilan atausedang menyusui. Kontraindikasi relatif pada pasien muda
khususnya anak-anak dan remaja, pasien dengan nodul tiroid, dan pasien dengan
oftalmopati. Pemberian dosis I131 yang terlalu tinggi merupakan onset awal dan
insidensi tinggi untuk terjadi hipotiroid.

Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan dilakukan apabila terdapat kontraindikasi terhadap
RAI, seperti pada pasien dengan (1) nodul tiroid atau kecurigaan kanker tiroid, (2)
usia muda, (3) kehamilan atau rencana untuk hamil dalam jangka waktu dekat

26
setelah terapi, (4) alergi terhadap obat antitiroid, (5) mempunyai goiter berukuran
besar sampai terdapat sindroma kompresi, dan (6) pasien yang tidak mau
menjalani terapi RAI. Yang termasuk indikasi relatif untuk tiroidektomi adalah
pada pasien dengan kebiasaan merokok, oftalmopati goiter derajat sedang sampai
berat, pasien yang mempunyai kecenderungan untuk menjadi eutiroid, dan pasien
yang mempunyai pengaruh kecil terhadap pengobatan.
Sebelum operasi, pasien harus dibuat eutiroid dahulu dengan obat
antitiroid yang diteruskan hingga saat operasi. Tiroidektomi subtotal yaitu
mengangkat sebgaian kelenjar tiroid. Lobus kiri atau kanan yang mengalami
perbesaran diangkat dan diharapkan kelenjar yang masihtersisa masih dapat
memenuhi kebutuhan tubuh akan hormon-hormon tiroid sehingga tidak
diperlukan terapi penggantian hormon.Tiroidektomi total yaitu mengangkat
seluruh kelenjar tiroid. Pasien yang menjalani tindakan ini harus mendapat terapi
hormon pengganti yang besar dosisnya beragam pada setiap individu dan dapat
dipengaruhi oleh usia, pekerjaan dan aktivitas.
Pasien dengan kanker tiroid dan pasien yang menolak terapi RAI, pasien
yang mempunyai oftalmopati berat, atau yang mempunyai efek samping yang
berat dari obat antitiroid, seperti vaskulitis, agranulositosis, atau gagal hati, harus
dilakukan total atau subtotal tiroidektomi. Oftalmopati dapat menjadi stabil atau
lebih baik pada kebanyakan pasien setelah dilakukan tiroidektomi, kemungkinan
setelah dihilangkannya stimulus antigen. Tiroidektomi subtotal, meninggalkan 4-7
gram sisanya. Selama tiroidektomi subtotal, 1 sampai 2 gram sisa jaringan
disisakan pada sisi kiri dan kanan, atau dengan lobektomi total dapat dikerjakan
pada satu sisi dengan tiroidektomi subtotal pada sisi yang lainnya (Hartley-
Dunhill procedure) dimana teknik ini lebih disarankan. Tirotoksikosis rekuren
dapat diterapi dengan radioiodine. Diperlukan follow up jangka panjang bagi
setiap pasien dari pemeriksaan klinis, pengukuran TSH setiap tahun untuk
mengetahui onset awal terjadinya hipotiroidisme atau hipertiroidisme yang
rekuren.

Pre-Operatif
 Tercapainya keadaan eutiroid sebelum terapi operatif
 Evaluasi stabilitas saluran napas

27
 Terapi operatif pada pasien dengan hipotiroidisme membutuhkan
levotiroksin dan glukokortikoid intravena
 Terapi operatif pasien dengan tirotoksikosis memerlukan pengobatan
amtitiroid sebelumnya, beta bloker, dan glukokortikoid. Dosis supresif
iodine juga diperlukan.

Intraoperatif dan postoperatif


 Pengawasan hemodinamik diperlukan pada pasien dengan hipertiroidisme
atau hipotiroidisme preoperatif.
 Pengawasan postoperative juga mencakup pengawasan kalsium serum
 Pasien dimonitor terhadap keadaan hipotiroid dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pengukuran TSH setiap 6-8 minggu.
 Pasien dengan goiter eutiroid tidak membutuhkan terapi medikamentosa.
Goiter dengan keganasan tiroid primer membutuhkan terapi pengganti
levotiroksin setelah operasi dan ablasi iodine radioaktif. Lesi metastatic
dari kelenjar tiroid membutuhkan terapi seperti keganasan tiroid.
Penyebab granulomatosa dan infeksi membutuhkan terapi spesifik
tergantung penyebabnya.

Komplikasi
 Kompresi trakea dengan trakeomalasia dan asfiksia
 Pasien goiter autoimun dapat menderita limfoma
 Goiter multinodular dapat menjadi ganas
 Nodular goiter dapat menyebabkan nyeri, nekrosis intranodular, atau
perdarahan

Pencegahan
 Tergantung pada penyebabnya
 Perbaiki defisiensi iodium dan jauhi makanan goitrogenik.
 Levotiroksin bermanfaat pada beberapa pasien dengan nodular hyperplasia
yang telah diterapi dengan lobektomi untuk mencegah goiter ulang pada
lobus kontralateral.

28
Prognosis
 Goiter yang jinak memberi prognosis yang baik. Akan tetapi seluruh goiter
harus dimonitor dengan pemeriksaan fisik dan biopsy untuk mendeteksi
kemungkinan keganasan yang ditandai dengan perubahan ukuran yang
tiba-tiba, nyeri, atau konsistensi.

PEMBAHASAN
Pasien ini didiagnosis Struma nodosa non toksik karena pada anamnesis
didapatkan benjolan di leher kanan dan kiri. Awalnya timbul benjolan di leher kiri
kurang lebih 18 tahun yang lalu sebesar telor puyuh. Benjolan dirasakan
membesar sekarang sebesar telor ayam . Lalu benjolan muncul di leher sebelah
kanan sejak 1 tahun yang lalu kira-kira sebesar kelereng. Pasien menyangkal
benjolan yang sebelah kanan bertambah besar. Pasien mengatakan merasa
berkeringat berlebihan, gelisah, mudah lelah, berdebar-debar, dan nafsu makan
berkurang.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan benjolan di leher sebelah kanan berukuran
1x1cm,permukaan rata, konsistensi kenyal, batas tegas, mobile , nyeri tekan (-), tidak
teraba hangat, deviasi trakea (-), benjolan di leher sebelah kiri kurang lebih 4x3 cm,
permukaan berbenjol-benjol, konsistensi kenyal keras,batas tegas, mobile, ikut
bergerak saat menelan, nyeri tekan (-), tidak teraba hangat

Dari pemeriksaan penunjang didapatkan :


Foto Thorax (14 Juli 2014)

29
Kesan: Cardiomegali tanpa bendungan paru. Tak tampak TB aktif.

EKG (14 Juli 2014)

30
Hematologi (14 Juli 2014)
Eritrosit : 4.63 juta/mm3
Hb : 13,2 g/dl
Ht : 39 %
Leukosit : 10.000 /mm3
Trombosit : 293.000/mm³
MCV : 85 fl
MCH : 29 pg/sel
MCHC : 34 g/dl
BT : 2 menit
CT : 3 menit
HbsAg : negatif
Elektrolit:
Kalium : 3,44 mmol/L
Natrium : 142,5 mmol/L
Chlorida : 107 mmol/L
SGOT : 17 U/L
SGPT : 14 U/L
Ureum : 37,6 mg/dl
Kreatinin : 0,7 mg/dl
GDS :105mg/dl

Pasien datang pada tanggal 14 Juli 2014 ke Rumah Sakit Sekar Kamulyan.
Kemudian dilakukan persiapan operasi untuk tanggal 15 Juli 2014, dilakukan
pemeriksaan EKG, Foto Thorax, dan Hematologi. Dari hasil EKG tidak didapatkan
kelainan, Foto Thoraxmenunjukkan gambaran kardiomegali tanpa bendungan paru
dari hematologi rutin tidak didapatkan kelainan.
Pada tanggal 15 Juli 2014 dilakukanThyroidectomy total pada kelenjar tiroid
pasien atas indikasi adanyakecurigaan keganasan, dan kosmetis. Temuan operasi
berupa kelenjar tiroid kiri sebesar 5x4 cm dan tiroid kanan sebesar 1,5x3cm,
berbenjol, dengan konsistensi kenyal keras sebagian kistik dengan

31
perlengketan.Akan dilakukan pemeriksaan patologi anatomi pada jaringan tiroidnya.
Pasien diinstruksikan untuk -puasa sampai sadar betul, mendapat infus RL 20
tetes/menit, Ceftriaxon 2x1 gr, ketorolac 3x1 amp, asam tranexamat 3x1 amp,
ranitidin 3x1 amp dan dinyatakan bisa pulang tanggal 17Juli 2014.

Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam

32

Anda mungkin juga menyukai