Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : AFP
Umur : 21 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Hatu
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan Terakhir : SMA
Status pernikahan : Belum Menikah
No. Rekam Medis ` : 10-52-08
Tanggal Masuk Rumah sakit : 14-11-2019 Pukul 11.40 WIT

2. ANAMNESIS
2.1. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama: Benjolan pada leher kanan
Anamnesis:
Pasien datang dengan keluhan benjolan pada leher kanan yang sudah muncul sejak kurang
lebih 5 tahun yang lalu. Awalnya benjolan muncul sebesar biji kelereng dan perlahan-lahan
mulai membesar. Pasien mengaku benjolan membesar ketika kelelahan. Pasien tidak
merasakan nyeri pada daerah benjolan. Gangguan saat makan dan minum, sesak napas,
jantung berdebar-debar, penurunan berat badan dan sering berkeringat disangkal oleh pasien.
Mual dan muntah tidak ada. Demam tidak ada. BAB dan BAK normal.
2.2. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi tidak ada, riwayat diabetes mellitus tidak ada, riwayat asthma tidak ada.
2.3. Riwayat Penyakit Keluarga
Ada keluarga yang juga mempunyai benjolan di leher (keluarga dari pihak bapak)
2.4. Riwayat Pengobatan

1
Pada tahun 2018, pasien pernah datang ke salah satu Rumah Sakit di Kota Ambon dengan
keluhan yang sama namun pasien tidak pernah mengonsumsi obat-obatan ataupun operasi
untuk benjolan di leher kanannya.

3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit sedang, gizi baik
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 89 x/ menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36.7 °C (Axilla)
SpO2 : 98 % tanpa bantuan O2

Kepala: Normocephali
Mata: Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), entropion (-), exopthalmus (-) edema
palpebral (-/-) pendarahan subkonjungtiva (-/-)
THT: otorhea (-/-), rhinorea (-)
Leher: Pembesaran KGB (+), status lokalis
Thorax
Pulmo :
Inspeksi = Pergerakan dinding dada simetris, retraksi ICS (-)
Palpasi = Krepitasi (-), Nyeri tekan (-)
Perkusi = Sonor
Auskultasi = Bunyi Napas Dasar Vesikuler (+/+), Murmur (-/-), Wheezing (-/-)
Bunyi Jantung I/II regular, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
Inspeksi = Supel (+)
Auskultasi = bising usus (+) normal
Palpasi = Timpani (+) pada semua kuadran

2
Perkusi = Nyeri tekan (-) di 4 kuadran abdomen.

Ekstremitas
Superior = akral hangat, edema (-/-), jejas (-/-), palmar eritema (-)
Inferior = akral hangat, edema (-/-), jejas (-/-)

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan


Rectal Touche : Tidak dilakukan pemeriksaan

Status Lokalis
1. Regio Colli Dextra
Inspeksi = Tampak pembengkakan pada leher kanan, eritema (-), darah (-), benjolan
naik turun megikuti gerakan menelan
Palpasi = Teraba massa dengan konsistensi padat, kenyal, batas tegas, mobile, tidak
nyeri.

Foto Klinis Pasien

a. Leher tampak dari sebelah kanan b. Leher tampak dari sebelah depan

3
b. Leher tampak dari sebelah kiri

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap (14 November 2019)
HASIL NILAI RUJUKAN
Hemoglobin 12 g/dL 12,0-15,0 g/dL (W)
Hematokrit 37.3 % 37-43%
Eritrosit 4.710.000/ mm3 3,5-5,5 106/ mm3
Jumlah trombosit 447.000 / mm3 150.000-400.000 mm3
Jumlah leukosit 10.38 mm3 5.0-10.0 mm3
Eosinofil 13.5 % 1-3 %

Foto Thorax

4
Endokrinologi (07 November 2019)
HASIL NILAI RUJUKAN
FT4 1.28 ng/dL 0.82-1.51 ng/dL
TSHs 2.589 uIU/mL 0.27-4.70 uIU/mL

Pemeriksaan USG Colli ( 08 November 2019)


Glandula Thyroid Kanan:
Ukuran membesar, parenkin inhomogen, kapsul utuh, tampak nodul isoekoik disertai multiple
kalsifikasi intralesi dan central nekrotik (ukuran ±2,76 X 2,13 CM). Pada pemeriksaan dengan
CDS tampak peningkatan vaskularisasi
Glandula Thyroid Kiri:
Ukuran tak membesar, parenkim homogen, kapsul utuh, tak tampak nodul, tak tampak
kalsifikasi. Pada pemeriksaan dengan CDS tak tampak peningkatan vaskularisasi.
Glandula Submandibula kanan kiri:
Ukuran tak membesar, parenkim homogen, tak tampak nodul maupun kalsifikasi.
Glandula Parotis Kanan Kiri:
Ukuran tak membesar, parenkim homogen, tak tampak nodul maupun kalsifikasi.

5
Tampak limfonodi pada level 3 regio colli kanan (ukuran ± 0,89 cm)
Tampak pembesaran limfonodi dengan central hiler pada level 2 regio colli kiri (ukuran± 1,55
cm)

KESAN:
 Ukuran lobus kanan thyroid membesar disertai nodul solid dengan muotiple kalsfikasi
dan area nekrotik didalamnya (ukuran ± 2.76x2.13 cm)
 Reaktif limfadenopati pada level 2 regio colli kiri (ukuran ± 1.55 cm)

5. RESUME
Pasien datang dengan keluhan benjolan pada leher kanan yang sudah muncul sejak
kurang lebih 5 tahun yang lalu. Awalnya benjolan muncul sebesar biji kelereng dan
perlahan-lahan mulai membesar. Pasien mengaku benjolan membesar ketika kelelahan.
Pasien tidak merasakan nyeri pada daerah benjolan. Gangguan saat makan dan minum, sesak
napas, jantung berdebar-debar, penurunan berat badan dan sering berkeringat disangkal oleh
pasien. Mual dan muntah tidak ada. Demam tidak ada. BAB dan BAK normal. Ada riwayat
keluarga yang juga memiliki keluhan benjolan yang sama pada leher. Pada tahun 2018,
pasien pernah datang ke RS Bhayangkara dengan keluhan yang sama namun pasien tidak
pernah mengonsumsi obat-obatan ataupun operasi untuk benjolan di leher kanannya. Pada
hasil pemeriksaan fisik leher kanan, teraba massa dengan konsistensi padat, kenyal, batas
tegas, mobile, dan tidak nyeri. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan trombosis,
leukoitosis dan eosinofilia. Pemeriksaan FT4 dan TSH dalam batas normal. Sedangkan dari
hasil pemeriksaan USG Colli didapatkan kesan lobus kanan thyroid membesar disertai nodul
solid dengan muotiple kalsfikasi dan area nekrotik didalamnya dan terdapat reaktif
limfadenopati pada level 2 regio colli kiri.

6. DIAGNOSIS
Soliter Nodul Thyroid Dextra

7. PENATALAKSANAAN

6
Konservatif
 Umum
- Terapi paliatif
- Edukasi penderita mengenai penyakitnya dan hal-hal yang dapat dilakukan
penderita untuk mendeteksi dini kelainan pada kelenjar thyroid
- Diet biasa
 Khusus
a. IVFD Futrolit 24 tpm
b. Ceftriaxon 2x1 gr/i.v
c. Metilprednisolon 2x125 mg/iv

Operatif
Isthmolobektomy
Kemoterapi adjuvan
Pemeriksaan
FNAB (Fine Needle Aspiration Biospy)

FOLLOW UP
Tanggal S O A P
15/11/19 S : Tidak ada nyeri KU : Sakit Soliter Nodul Ishtmolobectomy Dextra
Sedang
pada benjolan Thyroid Dextra
GCS : E4V5M6
TTD : 100/70
mmHg
N : 73x/menit
S : 36.5’ C
P : 16x/menit
Spo2 : 98%
Pemfis : teraba
massa dengan
konsistensi padat,
kenyal, batas
tegas, mobile,
dan tidak nyeri
16/11/19 S : Nyeri pada leher KU : Sakit - Soliter - IVFD Frutolit 24
sedang Nodul tpm
akibat luka operasi
GCS : E4V5M6 Thyroid - Ceftriaxon 2x1
TTD : 100/80 Dextra gram

7
mmHg - Post op - Ketorolac 3x30
N : 74x/menit mg
Isthmolobect
S : 36.7’ C - Metilprednisolon
P : 20x/menit omy H+1 2x125 mg
SpO2 : 94% - Asam tranexamat
Drain : 10 3x500 mg
cc ,merah - Omeprazole 1x40
Pemfis : Terdapat mg/iv
- PCT 3x1
luka bekas
operasi pada
bagian leher
17/11/19 S : Nyeri luka KU : Sakit Post op - IVFD Frutolit 24
sedang tpm
operasi berkurang Isthmolobectomy
GCS : E4V5M6 - Ceftriaxon 2x1
TTD : 120/80 H+2 gram
mmHg - Ketorolac 3x30
N : 78x/menit mg
S : 36.7’ C - Metilprednisolon
P : 20x/menit 2x125 mg
SpO2 : 98% - Asam tranexamat
Drain : 1 cc, 3x500 mg
kehitaman - Omeprazole 1x40
Pemfis : Terdapat mg/iv
- PCT 3x1
luka bekas
operasi pada
bagian leher, luka
terawat
18/11/19 S : Nyeri luka KU : Sakit Post op - IVFD Frutolit 24
sedang tpm
operasi berkurang Isthmolobectomy
GCS : E4V5M6 - Ceftriaxon 2x1
TTD : 100/80 H+2 gram
mmHg - Ketorolac 3x30
N : 68x/menit mg
S : 36.0’ C - Metilprednisolon
P : 20x/menit 2x125 mg
SpO2 : 98% - Asam tranexamat
Drain : 1 cc, 3x500 mg
kehitaman - Omeprazole 1x40
Pemfis : Terdapat mg/iv
- PCT 3x1
luka bekas
- Rawat luka
operasi pada
bagian leher, luka
terawat
19/11/19 S : Nyeri luka KU : Sakit Post op - IVFD Frutolit 24
sedang tpm
operasi berkurang Isthmolobectomy
GCS : E4V5M6 - Ceftriaxon 2x1
TTD : 100/60 H+3 gram
mmHg - Ketorolac 3x30

8
N : 67x/menit mg
S : 36.5’ C - Metilprednisolon
P : 17x/menit 2x125 mg
SpO2 : 97% - Omeprazole 1x40
Drain : 1 cc, mg/iv
kehitaman - PCT 3x1
Pemfis : Terdapat - Rawat luka
luka bekas - Aff drain
operasi pada
bagian leher, luka
terawat
20/11/19 S : Sudah tidak KU : Sakit Post op - IVFD Frutolit 24
sedang tpm
nyeri Isthmolobectomy
GCS : E4V5M6 - Ceftriaxon 2x1
TTD : 100/60 H+3 gram
mmHg - Ketorolac 3x30
N : 77x/menit mg
S : 36.8’ C - Metilprednisolon
P : 18x/menit 2x125 mg
SpO2 : 99% - Omeprazole 1x40
Pemfis : Terdapat mg/iv
luka bekas - PCT 3x1
operasi pada - Boleh pulang
bagian leher, luka
terawat

9
BAB II

PEMBAHASAN

A. ANATOMI GLANDULA THYROID

Kelenjar tiroid terletak di leher diantara fasia koli media dan fasia vertebralis. Di

dalam ruang yang sama terdapat trakea, esophagus, pembuluh darah besar, dan saraf.

Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fascia pretrachealis, dan melingkari trakea dua

pertiga bahkan sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratiroid umumnya

terletak pada permukaan belakang kelenjar tiroid, tetapi letak dan mungkin juga, jumlah

kelenjar ini sering bervariasi. Arteri karotis komunis, vena jugularis interna, dan nervus

vagus terletak bersama di dalam suatu sarung tetutup di laterodorsal tiroid. Nervus

recurens terletak di dorsal tiroid sebelum masuk laring. Nervus frenikus dan trunkus

simpaticus tidak masuk ke dalam ruang antara fasia media dan prervertebralis.1

Kelenjar tiroid kaya akan vaskularisasi yaitu berasal dari empat sumber, arteri

carotis superior kanan dan kiri, cabang arteri karotis eksterna kanan dan kiri, kedua

arteria tiroidea inferior kanan dan kiri, dan cabang arteri brachialis. Kadang kala dijumpai

arteri tiroidea ima, cabang trunkus brachiocephalica, yang secara tidak sengaja terpotong

pada saat trakeostomi. Adapun sistem venanya terdiri atas vena tiroidea superior, yang

berjalan bersama arterinya, vena tiroidea media, yang berada di lateral dan berdekatan

dengan arteri tiroidea inferior dan vena tiroidea inferior, yang berada dalam satu arah

dengan arteri tiroidea ima (jika ada). Terdapat dua saraf yang mempersarafi laring dengan

pita suara (plica vocalis), yaitu nervus recurens dan cabang nervus laringeus superior.1

10
B. FISIOLOGI GLANDULA THYROID

Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4) yang

kemudian berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin (T3). Iodium nonorganik

yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan

kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga mempunyai afinitas yang sangat tinggi di dalam

jaringan tiroid. T3 dan T4 yang dihasilkan ini kemudian akan disimpan dalam bentuk

koloid di dalam tiroid. Sebagian besar T4 kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi

sedangkan

sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian mengalami daur ulang. Di sirkulasi,

hormon tiroid akan terikat oleh protein yaitu globulin pengikat tiroid Thyroid Binding

Globulin (TBG) atau prealbumin pengikat albumin Thyroxine Binding Prealbumine

(TBPA). Hormon stimulator tiroid Thyroid Stimulating Hormone (TSH) memegang

peranan terpenting untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus

anterior kelenjar hipofisis. Proses yang dikenal sebagai umpan balik negatif sangat

penting dalam proses pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi. Pada pemeriksaan akan

terlihat adanya sel parafolikular yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk

mengatur metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum terhadap tulang.

Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid yaitu Thyroid

Stimulating Hormone (TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior hipofisis. Kelenjar ini

secara langsung dipengaruhi dan diatur aktifitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam

sirkulasi yang bertindak sebagai umpan balik negatif terhadap lobus anterior hipofisis dan

11
terhadap sekresi hormon pelepas tirotropin yaitu Thyrotropin Releasing Hormone (TRH)

dari hipotalamus.2

Sebenarnya hampir semua sel di tubuh dipengaruhi secara langsung atau tidak

langsung oleh hormon tiroid. Efek T3 dan T4 dapat dikelompokkan menjadi beberapa

kategori yaitu:3

a) Efek pada laju metabolism

Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal tubuh secara keseluruhan. Hormon

ini adalah regulator terpenting bagi tingkat konsumsi O2 dan pengeluaran energi tubuh

pada keadaan istirahat.

b) Efek kalorigenik

Peningkatan laju metabolisme menyebabkan peningkatan produksi panas.

c) Efek pada metabolisme perantara

Hormon tiroid memodulasi kecepatan banyak reaksi spesifik yang terlibat dalam

metabolisme bahan bakar. Efek hormon tiroid pada bahan bakar metabolik bersifat

multifaset, hormon ini tidak saja mempengaruhi sintesis dan penguraian karbohidrat,

lemak dan protein, tetapi banyak sedikitnya jumlah hormon juga dapat menginduksi efek

yang bertentangan.

d) Efek simpatomimetik

Hormon tiroid meningkatkan ketanggapan sel sasaran terhadap katekolamin (epinefrin

dan norepinefrin), zat perantara kimiawi yang digunakan oleh sistem saraf simpatis dan

hormon dari medula adrenal.

e) Efek pada sistem kardiovaskuler

12
Hormon tiroid meningkatkan kecepatan denyut dan kekuatan kontraksi jantung sehingga

curah jantung meningkat.

f) Efek pada pertumbuhan

Hormon tiroid tidak saja merangsang sekresi hormone pertumbuhan, tetapi juga

mendorong efek hormon pertumbuhan (somatomedin) pada sintesis protein struktural

baru dan pertumbuhan rangka.

g) Efek pada sistem saraf

Hormon tiroid berperan penting dalam perkembangan normal sistem saraf terutama

Sistem Saraf Pusat (SSP). Hormon tiroid juga sangat penting untuk aktivitas normal SSP

pada orang dewasa.

C. SOLITARY NODUL THYROID

Pertumbuhan atau benjolan di kelenjar tiroid merupakan pembengkakan di depan

leher yang bergerak dengan deglutisi. Prevalensi benjolan ini tergantung pada berbagai

faktor seperti usia, jenis kelamin, pola makan, defisiensi yodium, daerah endemis, dan

paparan radiasi. Kadar fluoride yang tinggi dalam air minum dan air tanah diketahui

mengganggu pengambilan yodium oleh kelenjar tiroid dan menyebabkan hipotiroidisme

klinis dan pembentukan nodul pada kelenjar tiroid. Nodul tiroid bisa tunggal atau

multipel. Nodul soliter dapat ditemukan di lobus kelenjar tiroid atau di isthmus. Nodul

soliter sebenarnya dapat menjadi multinodular goiter (23%), pembesaran asimetris pada

satu lobus tiroid seperti pada tiroiditis limfositik kronis (tiroiditis Hashimoto), simple

goiter, nodul malignansi, agenesis unilateral, atau jarang terjadi perkembangan seperti

jaringan ektopik. Nodul tiroid soliter (STN) terlihat pada 47% populasi orang dewasa. 4

13
Umumnya terjadi pada perempuan (6,4%) dibandingkan dengan laki-laki (1,5%).

Sebagian besar nodul tiroid bersifat jinak, hanya 5-20% nodul yang ganas. Nodul jinak

diklasifikasikan sebagai adenoma, nodul koloid, kista, nodul infeksi, nodul limfositik atau

granulomatosa, hiperplastik, tiroiditis, dan anomali kongenital. Nodul ganas dapat

diklasifikasikan menjadi nodul yang berdirerensiasi (karsinoma papiler dan karsinoma

folikular), karsinoma meduler, tidak berdiferensiasi.5

STRUMA NODUSA

Struma endemik, biasanya dalam bentuk struma nodosa atau struma adematosa, terutama

ditemukan di daerah pegunungan yang airnya kurang mengandung yodium. Struma

endemic dapat dicegah dengan substitusi yodium. Di luar daerah endemic, struma nodosa

dijumpai pada keluarga tertentu. Etiologinya umumnya multifaktor. Biasanya tiroid

sudah mulai membesar pada usia muda, awalnya difus, dan berkembang menjadi

multinodular.1

Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita berusia lanjut, dan perubahan yag

terdapat pada kelenjar berupa kombinasi bagian yang hyperplasia dan bagian yang

berinvolusi. Pada awalnya, sebagian struma multinodosa dapat dihambat

pertumbuhannya dengan pemberian hormone tiroksin. Biasanya, penderita struma nodosa

tidak mempunyai keluhan karena tidak mengalami hipo- atau hipertiroidisme. Nodul

dapat tunggal, tetapi kebanyakan berkembang/berubah menjadi multinoduler tanpa

perubahan fungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan terbentuknya kista atau adenoma.

Karena pertumbuhan terjadi secara perlahan, struma dapat membesar tanpa memberikan

14
gejala selain adanya benjolan di leher, yang dikeluhkan terutama atas alasan kosmetik.

Sebagian besar penderita struma nodosa dapat hidup dengan struma tanpa keluhan.1

Walaupun sebagian besar struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena

pertumbuhannya ke arah lateral atau ke anterior, sebagian lain dapat menyebabkan

penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral tersebut dapat

terlihat melalui foto Roentgen polos leher sebagai “trakea pedang”. Sttruma nodusa

unilateral dapat menyebabkan pendorongan trakea ke arah kontralateral tanpa

menimbulkan gangguan akibat obstruksi pernapasan. Penyempitan yang hebat dapat

menyebabkan gangguan pernapasan dengan gejala stridor inspiratoar.1

Secara umum, struma adenomatosa benigna, walaupun besar, tidak menyebabkan

gangguan neurologik, musculoskeletal, vascular, atau respirasi, atau menyebabkan

gangguan menelan akibat tekanan atau dorongan. Keluhan yang sering timbul ialah rasa

berat di leher, adanya benjolan yang bergerak naik turun waktu menelan, dan alasan

kosmetik. Jarang terjadi hipertiroidisme pada struma adenomatosa. Sekitar 5% struma

nodosa mengalami degenerasi maligna. Berbagai tanda keganansan yang dapat dievaluasi

meliputi perubahan bentuk, pertumbuhan (lebih cepat), dan tanda infiltrasi pada kulit dan

jaringan sekitar, serta fiksasi dengan jaringan sekitar. Dapat terjadi penekanan atau

infiltrasi ke nervus rekurens (perubahan suara), trachea (dyspnea), ata esophagus

(disfagia). Adanya nodul tunggal harus tetap mendapat perhatian karena dapat merupakan

nodul koloid, kistik, adenoma tiroid, dan/ atau suatu karsinoma tiroid. Nodul maligna

sering ditemukan pada pria usia muda dan usia lanjut.1

Struma nodosa yang berlangsung lama biasanya tidak dapat dipengaruh oleh

pengobatan supresi hormone tiroid atau pemberian hormone tiroid. Penanganan struma

15
lama adalah dengan tiroidektomi subtotal atas indikasi yang tepat. Struma dapat meluas

sampai ke mediastinum anterior superior, terutama pada bentuk nodullus yang disebut

retrosternum. Umumnya, struma retrosternum tidak turun naik pada gerakan menelan

karena aperture thorax terlalu sempit. Seringkali, struma ini berlangsung lama dan

bersifat asimptomatik, sampai terjadi penekanan pada organ atau struktur sekitarnya.

Penekanan ini akan memberikan gejala dan tanda penekanan trakea atau esophagus.

Diagnosis ditentukan dengan pemeriksaan foto Roentgen polos toraks, atau pemeriksaan

yodium radioaktif. Biasanya, pembedahan struma retrosternum dapat dilakukan melalui

insisi di leher dan tidak memerlukan torakotomi karena pendarahan berpangkal pada

pembuluh di leher. Jika letaknya di dorsal arteri subklavia, pembedahan dilakukan

dengan cara torakotomi. Diagnosis banding struma nodosa adalah tumor lain di

mediastinum anterior superior, sperti timoma, limfoma, tumor dermoid, dan metastasis

keganasan paru pada kelenjar getah bening.1

Tabel 1. Indikasi Tindakan Bedah Struma Nontoksis

Kosmetik (tiroidektomi subtotal)

Eksisi nodulus tunggal (yang mungkin ganas)

Struma multinodular yang berat

Struma yang menyebabkan kompresi laring atau struktur leher lain

Struma retrosternal yang menyebabkan kompresi trakea atau struktur lain

PEMERIKSAAN

Anamnesis, pemeriksaan fisik dan penilaian klinis berperan penting dalam menentukan

diagnosis penyakit tiroid. Tanyakan kepada pasien benjolan yang muncul sudah berapa

16
lama? Adakah sesak napas? Sesak napas? Sulit menelan? Rasa tercekik? Jantung

berdebar-debar? Sering berkeringat?. Untuk riwayat penyakit dahulu tanyakan tentang

konsumsi iodium yang berlebihan, riwayat terpapar radiasi pada kepala dan leher

Pemeriksaan laboratorium terdiri atas pemeriksaan biokimia untuk menetapkan fungsi

kelenjar tiroid, pemeriksaan klinis dan fisik untuk menentukan kelainan morfologi

kelenjar tiroid, dan pemeriksaan sitologi atau histologi untuk menentukan perubahan

patologis.1

BIOKIMIA

Pemeriksaan biokimia secara radioimunoesai dapat memberikan gambaran fungsi

tiroid, yaitu dengan mengukur kadar T4, T3, FT4, TBG, dan TSH dalam plasma. Kadar

T4/FT4 serum total tepat mencerminkan fungsi kelenjar tiroid. Kadar T3 serum total

selalu tinggi pada penderita tirotoksikosis. Penentuan kadar TBG kadangkala dibutuhkan

untuk menginterpretasi kadar T4, dan sampai tingkat tertentu berlaku untuk kadar T3.

Kadar TBG dapat berubah pada kehamilan atau pada pengobatan dengan estrogen.

Pemeriksaan kadar TSH serum merupakan pemeriksaan penyaring yang peka untuk

hipotiroidisme karena kadar ini meningkat sebelum terjadi penurunan kadar T4.1

Antibodi mikrosom dan antibodi tiroglobulin umumnya meningkat pada penderita

dengan tiroiditis autoimun. Thyroid stimulating immunoglobulin (TSI) dapat ditemukan

pada penderita penyakit Grave. TSI juga dianggap berperan pada pathogenesis penyakit

ini. Tiroglobulin dapat ditemukan dalam serum orang normal, dan kenaikan kadar

tiroglobulin dapat digunakan untuk mengetahui rekurensi karsinoma tiroid sesudah

tiroidektomi total.1

17
RADIOLOGI

Sidik radioaktif thyro-scan dengan unsur radiaoktif teknesium (Tc99m) atau yodium-131

(I131) dapat menunjukkan gambaran fungsional jaringan tiroid dengan melihat

kemampuan ambilan unsur radioaktif diatas. Cara ini berguna untuk menentukan apakah

nodul dalam kelenjar tiroid bersifat hiperfungsi (nodul panas), hipofungsi (nodul dingin),

atau normal (nodul hangat). Kemungkinan keganasan ternyata lebih besar pada nodul

dingin meskipun karsinoma tiroid dapat juga ditemukan pada nodul hangat atau bahkan

nodul panas seperti anak-anak.1 USG digunakan untuk menentukan apakah nodul tiroid,

baik yang teraba pada palpasi maupun tidak, merupakan nodul tunggala atau multiple

padat atau kistik. USG terbatas nilainya dalam menyingkirkan kemungkinan keganasan

dan hanya dapat mendeteksi nodul yang berpenampang lebih dari setengah sentimeter.1

SITOLOGI

Pemeriksaan sitologi nodul tiroid diperoleh dengan biopsi aspirasi jarum halus (fine

needle aspiration biopsy, FNAB). Cara pemeriksaan ini cukup akurat untuk mendiagnosis

kemungkinan keganasan dalam nodul tiroid, dan dianggap sebagai cara diagnosis yang

lebih akurat dibandingkan dengan pemeriksaan radioaktif maupun ultrasonografi.1

PATOLOGI

Diluar kelainan bawaan, kelainan kelenjar tiroid dapat digolongkan menjadi dua

kelompok besar, yaitu penyakit yang menyebabkan fungsi, seperti hipertiroidisme, dan

penyakit yang menyebabkan perubahan jaringan dan bentuk kelenjar, seperti struma

nodular, tiroiditis Hashimoto, atau karsinoma tiroid. Fungsi tiroid dapat rendah

(hipotiroid), normal (eutiroid), atau meningkat (hipertiroid). Hipotiroidisme dapat

disebabkan oleh kelainan pada hipotalamus, kerusakan hipofisis, defisiensi iodium,

18
penggunaan antitiroid, atau tiroiditis. Terdapat pula keadaan yang antitiroid, atau

tiroiditis. Terdapat pula keadaan yang dikenal sebagai hipotiroidisme iatrogenic, yang

terjadi pascatiroidektomi atau pasca pengobatan yodium radioaktif.1

Hipertiroidisme dapat terjadi pada struma difus toksik (penyakit Graves), struma nodosa

toksik, pengobatan berlebihan dengan tiroksin, permulaan tiroiditis, struma ovarium

(jarang), dan pada metastasis ekstensif karsinoma tiroid berdiferensiasi baik. Gangguan

autoimun dengan atau tanpa rekasi inflamasi dapat menyebabkan terjadinya penyakit

Graves dengan gejala hipertiroidisme dan tiroiditis Hashimoto yang akhirnya

mengakibatkan hipotiroidisme. Contoh kelainan hyperplasia yang lain adalah struma

koloid dan struma endemic. Keganasan primer pada kelenjar tiroid adalah

adenokarsinoma yang bervariasi, mulai dari berdiferensiasi baiik sampai dengan yang

bersifat anaplastik. Tumor ganas kelenjar tiroid dapat dibagi menurut tingkat

keganasannya, diferensiasinya, dan asal selnya.1

Pembedahan

Pembedahan struma dibagi menjadi pembedahan diagnostic (biopsy) dan teraupetik.

Pembedahan diagnostic yang berupa biopsy insisi atau biopsy eksisi sangat jarang

dilakukan, dan telah ditinggalkan, terutama dengan semakin akuratnya biopsi jarum

halus. Biiposi diagnostic hanya dilakukan pada tumor yang tidak dapat dikeluarkan,

seperti karsinoma anaplastic. Pembedahan teraupetik dapat berupa lobektomi total,

lobektomi subtotal, isthmo-lobektomi dan tiroidektomi total. Tiroidektomi total dilakukan

pada karsinoma tiroid berdiferensiasi baik, atau karsinoma medularis, dengan atau tanpa

diseksi leher radikal. Terdapat perdebatan mengenai ekstensi pembedahan untuk

19
karsinoma tiroid berdiferensiasi baik dan unilateral dengan skor prognostic yang baik

antara hemitiroidektomi atau tiroidektomi total. Pembedahan pada karsinoma anaplastic

hanyalah bersifat paliatif karena prognosisnya buruk. Pada struma mononodular

nontoksik dan nonmaligna, dapat dilakukan hemitiroidektomi, ishtmolobektomi, atau

tiroidektomi subtotal.1

Penyulit pembedahan diantaranya adalah perdarahan, cedera nervus laringeus rekurens

unilateral atau bilateral, kerusakan cabang eksternus nervus laringerus superior, cedera

trakea, atau esophagus. Pembedahan pada struma yang besar dapat mengakibatkan

trakeomalasia, yaitu kolapsnya trakea akibat hilangnya vaskularisasi serta hilangnya

“sandaran” yang selama ini juga didapat dari struma yang melingkari trakea sampai dua

pertiganya. Penyulit pascabedah lain yang berbahaya adalah adanya hematom di

lapangan operasi yang menimbulkan penekanan, terutama terhadap trakea dan obstruksi

napas. Obstruksi napas juga dapat terjadi akibat edema laring.1

Krisis tiroid atau tirotoksikosis adalah penyulit yang sangat berbahaya dan harus

ditanggulangi segera untuk menghindari kematian. Tirotoksikosis merupakan

hipertiroidisme hebat yang berkembang ketika atau segera setelah pembedahan pada

penderita hipertiroidisme. Tiroksikosis ditandai dengan takikardia dan gejala/tanda

hipertirodisme lain yang bersifat akut dan hebat. Tiroksikosis disebabkan oleh

“pencurahan sekresi berlebihan hormone tiroid ke dalam darah yang terjadi akibat

pembedahan atau manipulasi kelenjar tiroid selama pembedahan, dan hal ini relatif sering

terjadi pada pembedahan tiroid tanpa kecurigaan adanya hipertiroidisme. Oleh karena itu,

setiap penderita struma harus menjalani pemeriksaan prabedah yang seksama untk

menentukan ada tidaknya hipertiroidisme, baik secara klinis maupun laboratorium. Bila

20
ada hipertiroidisme, sebaiknya pembedahan dilakukan setelah hipertiroidisme terkendali

dan penderita dalam keadaan eutiroidisme.1

Hipoparatiroidisme, baik temporer maupun permanen, terjadi karena kelenjar paratiroid

turut terangkat pada tiroidektomi total. Akan tetapi, penyulit ini lebih sering disebabkan

oleh iskemia akibat kerusakan vaskularisasi kelenjar paratiroid.1

BAB III

DISKUSI

Anamnesis, pemeriksaan fisik dan penilaian klinis berperan penting dalam

menentukan diagnosis penyakit tiroid. Tanyakan kepada pasien benjolan yang muncul

sudah berapa lama? Adakah sesak napas? Sesak napas? Sulit menelan? Rasa tercekik?

Jantung berdebar-debar? Sering berkeringat? Untuk riwayat penyakit dahulu tanyakan

tentang konsumsi iodium yang berlebihan, riwayat terpapar radiasi pada kepala dan leher.

Pada kasus ini pasien tidak mengalami gangguan makan dan minum, sesak napas, rasa

tercekik maupun jantung berdebar-debar. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya

benjolan pada leher kanan, tidak teraba nyeri.

Pemeriksaan laboratorium terdiri atas pemeriksaan biokimia untuk menetapkan

fungsi kelenjar tiroid. Pemeriksaan biokimia secara radioimunoesai dapat memberikan

gambaran fungsi tiroid, yaitu dengan mengukur kadar T4, T3, FT4, TBG, dan TSH dalam

plasma. Kadar T4/FT4 serum total tepat mencerminkan fungsi kelenjar tiroid. Kadar T3

serum total selalu tinggi pada penderita tirotoksikosis. Sidik radioaktif thyro-scan dengan

unsur radiaoktif teknesium (Tc99m) atau yodium-131 (I131) dapat menunjukkan

gambaran fungsional jaringan tiroid dengan melihat kemampuan ambilan unsur radioaktif

21
diatas. Cara ini berguna untuk menentukan apakah nodul dalam kelenjar tiroid bersifat

hiperfungsi (nodul panas), hipofungsi (nodul dingin), atau normal (nodul hangat). Pada

kasus ini, pasien telah dilakuan pemeriksaan laboratorium dan didapatkan hasil euthyroid.

Namun, tidak dilakukan pemeriksaan skintigraphy karena sarana yang tidak tersedia.

USG digunakan untuk menentukan apakah nodul tiroid, baik yang teraba pada

palpasi maupun tidak, merupakan nodul tunggala atau multiple padat atau kistik. USG

terbatas nilainya dalam menyingkirkan kemungkinan keganasan dan hanya dapat

mendeteksi nodul yang berpenampang lebih dari setengah sentimeter.

Pasien dalam kasus ini berjenis kelamin perempuan, hal ini sesuai dengan teori

yang menyatakan bahwa Nodul tiroid soliter (STN) terlihat pada 47% populasi orang

dewasa. Umumnya terjadi pada perempuan (6,4%) dibandingkan dengan laki-laki (1,5%).

Pembedahan struma dibagi menjadi pembedahan diagnostic (biopsy) dan

teraupetik. Pembedahan diagnostic yang berupa biopsy insisi atau biopsy eksisi sangat

jarang dilakukan, dan telah ditinggalkan, terutama dengan semakin akuratnya biopsi

jarum halus. Biiposi diagnostic hanya dilakukan pada tumor yang tidak dapat

dikeluarkan, seperti karsinoma anaplastic. Pembedahan teraupetik dapat berupa

lobektomi total, lobektomi subtotal, isthmo-lobektomi dan tiroidektomi total.

Tiroidektomi total dilakukan pada karsinoma tiroid berdiferensiasi baik, atau karsinoma

medularis, dengan atau tanpa diseksi leher radikal. Tindakan operatif yang dilakukan

pada pasien ini adalah isthmolobektomy dextra, yaitu mengangkat lobus dextra dan

isthmus yang mengalami hyperplasia.

Penyulit pembedahan diantaranya adalah perdarahan, cedera nervus laringeus

rekurens unilateral atau bilateral, kerusakan cabang eksternus nervus laringerus superior,

22
cedera trakea, atau esophagus. Pembedahan pada struma yang besar dapat mengakibatkan

trakeomalasia, yaitu kolapsnya trakea akibat hilangnya vaskularisasi serta hilangnya

“sandaran” yang selama ini juga didapat dari struma yang melingkari trakea sampai dua

pertiganya. Penyulit pascabedah lain yang berbahaya adalah adanya hematom di

lapangan operasi yang menimbulkan penekanan, terutama terhadap trakea dan obstruksi

napas. Obstruksi napas juga dapat terjadi akibat edema laring. Namun, komplikasi akibat

operasi tidak terjadi pada pasien ini karena tindakan pembedahan dilakukan dengan baik

dan benar.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Syamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC ; 2011.

2. Guyton A.C, Hall, J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta : EGC ; 2012.

3. Sherwood L. Fisiologi manusia ; dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta : EGC ; 2014.

4. Deepthi M, Sukthankar PS, Narsimloo K. Solitary nodule thyroid: diagnosis and management.

Int J Otorhinolaryngol Head Neck Surg 2017;3:611-5.

5. Tamhane and Gharib.. Thyroid nodule update on diagnosis and management. Clinical Diabetes

and Endocrinology (2016) 2:17

24

Anda mungkin juga menyukai