Anda di halaman 1dari 32

PRESENTASI KASUS INTUBASI

Pembimbing :
dr. Titik Setiawati, SpAn

Disusun oleh :
Dara Mayang Sari
1102013069

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RUMAH SAKIT DR. DRAJAT PRAWIRANEGARA SERANG

PERIODE SEPTEMBER 2018 – OKTOBER 2018


LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Tn. F
Umur : 22 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
TTL : Serang, 10 April 1996
Agama : Islam
Alamat : Kp. Pabuaran
Pendidikan : Tamat SLTP
Masuk RS : 29 September 2018

II. ANAMNESIS
Keluhan utama :
Penurunan kesadaran
Keluhan tambahan :
Luka pada kepala, nyeri kepala, muntah
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSDP diantar oleh keluarganya dengan keluhan
penurunan kesadaaran setelah kecelakaan motor tunggal demam sejak ± 5 jam SMRS.
Keluarga pasien menyatakan tidak megetahui secara jelas kecelakaan tersebut. Keluarga
pasien hanya diberitahu melalui telepon dari puskesmas. Setelah kecelakaan terjadi
pasien pingsan dan muntah sebanyak 3 kali. Pasien dirujuk ke RSDP dan dilakukan CT-
Scan. Pasien didiagnosis dengan moderate head injury dan fraktur depresi pada
kepalanya. Dokter bedah saraf menganjurkan agar pasien dioperasi.
Pasien menyangkal adanya riwayat minum obat-obatan, riwayat alergi, ataupun
riwayat operasi sebelumnya. Riwayat penyakit jantung, asma, hipertensi, diabetes
disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat diabetes disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat diabetes disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum : Tampak sakit berat
 Kesadaran : Composmentis
 Tanda Vital : Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 102 x/menit
Pernafasan : 22 x /menit
Suhu : 36,7° C
 Berat Badan : 55 kg

Status Generalis
a) Kepala : Normocephale, tampak luka pada sisi kanan kepala
b) Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
c) Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)
d) Mulut : Perioral sianosis (-)
e) Leher : JVP tidak meningkat, jejas (-)
f) Thorax : Simetris, retraksi (-), jejas (-)
g) Cor : Bunyi jantung I & II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
h) Pulmo : Sonor, suara nafas vesikuker, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
i) Abdomen : bentuk datar, BU (+), supel, NT (-)
j) Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral hangat +/+ +/+
Akral sianosis -/- -/-
Edema -/- -/-
Capillary Refill < 2 detik < 2 detik

Status Lokalis
Et regio frontotemporalis dextra: tampak luka pada berukuran 6 x 5 cm, hiperemis
(+), nyeri (+)

IV. Pemeriksaan Laboratorium


Tanggal 3 Oktober 2018 (08:07)
Hemoglobin : 11,3 g/dl
Leukosit : 13.100 /ul
Hematokrit : 34,6 %
Trombosit : 212.000 /ul
GDS : 84 mg/dl
HbsAg (Kualitatif) : Negatif
PT : 13,9 sec
APPT : 29,9 sec

V. Laporan Operasi
Operasi pada tanggal : 3 Oktober 2018
Ahli Anestesi : dr. Agus Rukmana. SpAn
Asisten Anestesi : Hj. Ai dan Asri
Ahli Bedah : dr. M. Ridhwan Wirjahantana. SpBS
Diagnosis Operatif : Moderate head injury + Fraktur depresi
Tindakan : Craniotomi
Jenis anestesi : Besar, dengan risiko besar
Teknik : Endotrakeal Tube (ETT) no. 7,5 non-kinking
Blade no. 4
Guedel no. 3 (diameter 90 mm)
Premedikasi : Ondansentron 8 mg
As. Tranexamat 100 mg
Induksi :
- Midazolam HCl 3 mg
- Fentanyl 100 mcg
- Rocuronium bromide 30 mg
- Propofol 150 mg
Maintenance :
- N2O 2 liter
- O2 2 liter
- Sevofluran 2 %
Recovery : Dexketoprefen 100 mg

VI. Laporan Anestesi


Nama ahli anestesi : dr. Agus Rukmana SpAn
Diagnosis Pre-operatif : Fraktur depresi
Diagnosis Post-operatif : Post craniotomi a/i fraktur depresi
Tindakan : Craniotomi
Tanggal operasi : 3 Oktober 2018
Jam Anestesi : Mulai : 12.30
Selesai : 13.45
Lama Anestesi : 75 menit
Jenis anestesi : Besar
Risiko : Besar
Jenis Anestesi : General Anestesi dengan teknik “Semi Close Circuit System
dengan ETT non-kinking no 7,5; Menggunakan O2 2 L, N2O
2 L, dan sevoflurane Vol %
Cairan : Gelafusal 500 cc, RL 1000 cc
Hemoglobin : 11,3 g/dl
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 102 x/menit
Pernafasan : 22 x /menit, reguler
Suhu : 36,7° C
Berat Badan : 55 kg
Keadaan gizi : Baik
Monitoring selama anestesi
Anestesi mulai jam 12.30 WIB
Operasi mulai jam 12.40 WIB

Jam Tensi Nadi SaO2 Keterangan


12.30 – 12.40 120/70 106 99% Ondansetron 8 mg, midazolam
HCl 3 mg, Rocuronium bromide
30 mg, induksi fentanyl 100 g,
profopol 150 mg, intubasi,
oksigen 5 l/menit, sevofluorane
2 % vol
12.40 120/ 60 92 99 % Infus Gelafusal, operasi dimulai
dan monitoring tanda – tanda
vital tiap 15 menit
12.45 120/60 86 96 %
13.00 110/60 72 95 % Ganti infus dengan RL
13.15 100/55 83 97%
13.30 105/50 88 97% Infus dengan RL
13.45 100/50 83 99%

Operasi selesai jam 13.35


Anestesi selesai jam 13.45

Pukul 13.50, lendir dihisap dan tanda – tanda vital di monitoring setiap 10 menit. Pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan dalam keadaan posisi terlentang kepala di
ekstensikan, diberikan O2 2 liter/menit. Bila muntah berikan ondansetron 8 mg. Bila
kesakitan berikan ketorolac 15 mg. Bila aldrette skor  8 tanpa nilai 0, pasien dipindah
ke ruang perawatan. Pukul 09.50, pasien dipindahkan dari ruang pemulihan ke bangsal.

Intruksi post op
a. Awasi keadaan umum, pendarahan selama 2 jam post operasi
b. Bila tidak ada mual, tidak ada muntah, bising usus (+), boleh makan dan minum
secara bertahap
TINJAUAN PUSTAKA

ANESTESI UMUM

1.1 Definisi

Anestesi (pembiusan;berasal dari bahasa Yunani an-"tidak,tanpa" dan aesthētos, "persepsi,


kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada
tahun 1846.
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri sentral disertai hilangnya
kesadaran yang bersifat reversibel. Dengan anestesi umum akan diperoleh trias anestesia,
yaitu:

 Hipnotik (tidur)
 Analgesia (bebas dari nyeri)
 Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)
Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini
menggunakan obat-obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan menggabungkan
berbagai macam obat.

1.2 Metode anestesi umum

I. Parenteral
Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk
induksi anestesia.
II. Perektal
Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia maupun
tindakan singkat.

III. Perinhalasi
Yaitu menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap (volatile
agent) dan diberikan dengan O2. Konsentrasi zat anestetika tersebut tergantung
dari tekanan parsialnya; zat anestetika disebut kuat apabila dengan tekanan parsial
yang rendah sudah mampu memberikan anestesia yang adekuat.

1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum


A. Faktor Respirasi
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus
adalah:

1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin


cepat kenaikan tekanan parsial
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan
parsial

B. Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar
daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:

 Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah
vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian
kembali melalui vena.
 Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
 Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
C. Faktor Jaringan
 Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan
 Koefisien partisi jaringan/darah
 Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya pembuluh
darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit pembuluh
darah/JSPD)

D. Faktor Zat Anestetika


Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC (Minimal
Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara
alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang
rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.

E. Faktor Lain
 Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
 Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anestesia
 Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman
anestesia semakin cepat.

1.4 Keuntungan anestesi umum :


 Mengurangi kesadaran pasien intraoperative
 Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
 Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi
 Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi lokal
 Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga
 Dapat diberikan dengan cepa
 Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang
1.5 Kekurangan anestesi umum :
 Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien
 Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk fungsi mental
yang normal
 Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua) agen
anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi mematikan,
hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia.

1.6 Indikasi anestesi umum :


 Infant dan anak usia muda
 Dewasa yang memilih anestesi umum
 Pembedahan luas
 Penderita sakit mental
 Pembedahan lama
 Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
 Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi lokal
 Penderita dengan pengobatan antikoagulan

PROSEDUR ANESTESI UMUM

2.1 Persiapan pra anestesi umum


Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus
dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi
oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan
1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.
Tujuan kunjungan pra anestesi:

- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan


anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik
dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat
ditekan seminimal mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini
dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran
prognosis pasien secara umum.

2.2 Persiapan pasien


A. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga
pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta
berkenalan dengan pasien.

Yang harus diperhatikan pada anamnesis:

1. Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.


2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi
penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-
paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi
(infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit
ginjal.
3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan
interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi,
obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung
seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor,
bronkodilator.
4. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan
selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan
pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
5. Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi
seperti: merokok dan alkohol.

B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut,
lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.

Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan
seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.

C. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang
sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara
rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb,
lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50
tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus
dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam
ini.

Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, selanjutnya


dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada
diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan
hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan
teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru
pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi
sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.
D. Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien
dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus
dihindari.

E. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang
menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam,
anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi
anesthesia.

F. Klasifikasi status fisik

Kelas Status fisik Contoh

I Pasien normal yang sehat Pasien bugar dengan


hernia inguinal

II Pasien dengan penyakit Hipertensi esensial,


sistemik ringan diabetes ringan

III Pasien dengan penyakit Angina, insufisiensi


sistemik berat yang tidak pulmoner sedang
melemahkan sampai berat

(incapacitating)
IV Pasien dengan penyakit Penyakit paru
sistemik yang melemahkan stadium lanjut, gagal
dan merupakan ancaman jantung
konstan terhadap kehidupan

V Pasien sekarat yang Ruptur aneurisma


diperkirakan tidak bertahan aorta, emboli paru
selama 24 jam dengan atau massif
tanpa operasi

E Kasus-ksus emergensi
diberi tambahan hurup “E”
ke angka.

Tabel 1.Klasifikasi ASA dari status fisik

Skor Mallampati

Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif lidah terhadap
rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan intubasi. Skor
Mallampati ditentukan dengan melihat anatomi dari rongga mulut, khususnya berdasarkan
visibilitas dari dasar uvula, arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum mole.
Semakin tinggi skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan untuk dilakukan
intubasi.

Kelas 1 tonsil, palatum mole, dan uvula terlihat jelas seluruhnya

palatum durum dan palatum mole masih terlihat, sedangkan tonsil


Kelas 2
dan uvula hanya terlihat bagian atas

Hanya palatum mole dan palatum durum yang terlihat, sedangkan


Kelas 3
dinding posterior faring dan uvula tertutup seluruhnya oleh lidah
Hanya palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding posterior
Kelas 4
faring, uvula, dan palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah

Tabel 2.Klasifikasi skor mallampati

G. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anesthesia
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual muntah pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi refleks yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak
pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan
menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg
beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk


meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral
simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.

Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan
intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).

2.3 Persiapan peralatan anestesi


Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang
baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai dengan
tujuan kita memberi anestesi yang lancar dan aman.

Mesin anestesi

Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas anestetik
yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang
sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari
yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh komputer. Mesin yang aman dan ideal ialah
mesin yang memenuhi persyaratan berikut:

1. Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat


2. Ruang rugi (dead space) minimal
3. Mengeluarkan CO2 dengan efisien
4. Bertekanan rendah
5. Kelembaban terjaga dengan baik
6. Penggunaannya sangat mudah dan aman

Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari:

1. Sumber O2, N2O, dan udara tekan.


Dapat tersedia secara individual menjadi satu kesatuan mesin anestetik atau dari
sentral melalui pipa-pipa. Rumah sakit besar biasanya menyediakan O2, N2O, dan
udara tekan secara sentral untuk disalurkan ke kamar bedah sentral, kamar bedah
rawat jalan, ruang obstetrik, dll.

2. Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)


Berfungsi untuk mengetahui tekanan gas pasok. Kalau tekanan gas O2 berkurang,
maka akan ada bunyi tanda bahaya (alarm)

3. Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)


Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih tinggi, sesuai
karakteristik mesin anestesi.

4. Meter aliran gas (flowmeter)


Untuk mengatur aliran gas setiap menitnya.

5. Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)


Dapat tersedia satu, dua, tiga, sampai empat.

6. Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)


7. Kendali O2 darurat (oxygen flush control)
Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan O2 murni sampai 35-37
liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.

Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna khusus untuk
menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode warna internasional yang telah
disepakati ialah:

Oksigen N2O Udara CO2 Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran

Putih Biru Putih- Abu- Merah Jingga Ungu Biru kuning


hitam abu
kuning

Sirkuit anestesi

Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat yang bukan
saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan napas atas pasien,
tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas segar
atau dengan menghisapnya dengan kapur soda.

Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:

1. Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea


2. Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve, pop-off valve,
APL, adjustable pressure limiting valve)
3. Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)
Bahan karet hitam (karbon) atau plastik transparent anti statik, anti tertekuk

4. Kantong cadang (reservoir bag)


5. Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang mendadak
tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O
Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle system),
sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre.

Sungkup muka

Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas anestesi ke
pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup trasparan berguna untuk obervasi
kelembapan udara yang diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam
dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa.

Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan jalan nafas yang
baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat deflasi yang berkelanjutan pada
reservoir bag saat katup tekanan ditutup, biasanya mengindikasikan adanya kebocoran di
sekitar sungkup. Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi dengan gerakan
dada minimal dan suara pernafasan menandakan obstruksi jalan nafas.

Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada badan sungkup
dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan manis memegang mandibula
untuk membantu ekstensi sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut
rahang dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting untuk
ventilasi pasien.
Endotracheal tube (ETT)

ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke trakea dan
memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat diubah
dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada diameter tabung, tetapi juga
dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura.

Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan
panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.
Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)

LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat pemberian
anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT pada pasien dengan jalan nafas sulit
dan membantu ventilasi saat bronkoskopi.

Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat dibandingkan dengan insersi jalan
nafas oral. Kontraindikasi LMA pada pasien dengan patologi faring seperti abses, obstruksi
faring, perut penuh seperti hamil atau komplians paru rensah seperti penyakit jalan nafas
restriktif.
2.4 Induksi anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah pasien tidur
akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan
pembedahan selesai.

Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan


yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat
dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:

S : Scope  Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih
bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T : Tubes  Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan usia
> 5 tahun dengan balon (cuffed).

A : Airway  Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-faring


(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut

I : Introducer  Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah dimasukkan

C : Connector  Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia

S : Suction  Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya

2.5 Obat Anestesi umum

Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena.

1. Anestetik inhalasi

Nitrogen aksida yan stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan salah satu anestetik
gas yang banyak dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk kombinasi dengan anestetik
lainnya. Halotan, enfluran, isofluran, desfluran dan metoksifluran merupakan zat cair yang
mudah menguap. Sevofluran merupakan anestesi in halasi terbaru tetapih belum diizinkan
beredar di USA. Anestesi inhalasi konvensional seperti eter, siklopropan, dan kloroform
pemakaiannya sudah dibatasi karena eter dan siklopropan mudah terbakar sedangkan
kloroform toksik terhadap hati.

2. Anestetik intravena

Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri maupun dalam bentuk
kombinasi dengan anestetik lainnya untuk mempercepat tercapainya stadium anestesi atau
pun sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat yang mendapat pernafasan untuk
waktu yang lama, Yang termasuk:

a) Barbiturat (tiopental, metoheksital)

b) Benzodiazepine (midazolam, diazepam)

c) Opioid analgesik dan neuroleptik


d) Obat-obat lain (profopol, etomidat)

e) Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif anestetik.

Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular, atau
rectal.
a. Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang
jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus
disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan
pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi
cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5%
dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan
manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3
mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga satu
menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara intravena.
Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan
menggunakan sedativa seperti midasolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan
pada pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin
menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.
b. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
c. Induksi inhalasi
Obat yang digunakan adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat :

- tidak berbau menyengat / merangsang


- baunya enak
- cepat membuat pasien tertidur.

Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.

Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara
induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada
dewasa yang takut disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi
dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4
liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan.
Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah
tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun
langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan
konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
d. Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata
disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.

2.6 Tanda dan stadium anestesi umum


Secara tradisional, efek anestetik dapat dibagi 4 (emapat) stadium peningkatan dalamnya
depresi susunan saraf pusat, yaitu :

I. Stadium analgesi
Pada stadium awal ini, penderita mengalami analgesi tanpa disertai kehilangan
kesadaran. Pada akhir stadium 1, baru didapatkan amnesia dan analgesi
II. Stadium terangsang
Pada stadium ini, penderita tampak delirium dan gelisah, tetapih kehilangan
kesadaran. Volume dan kecepatan pernafasan tidak teratur, dapat terjadi mual.
Inkontinensia urin dan defekasi sering terjadi. Karena itu, harus diusahakan untuk
membatasi lama dan berat stadium ini, yang ditandai dengan kembalinya pernafasan
secara teratur.

III. Stadium operasi


Stadium ini ditandai dengan pernafasan yang teratur. Dan berlanjut sampai
berhentinya pernafasan secara total. Ada empat tujuan pada stadium III digambarkan
dengan perubahan pergerakkan mata, dan ukuran pupil, yang dalam keadaan tertentu
dapat merupakan tanda peningktan dalamnya anestesi.

IV. Stadium depresi medula oblongata


Bila pernafasan spontan berhenti, maka akan masuk kedalam stadium IV. Pada
stadium ini akan terjadi depresi berat pusat pernafasan dimedula oblongata dan pusat
vasomotor. Tampa bantuan respirator dan sirkulasi, penderita akan cepat meninggal.

Pada praktek anestesi modern, perbedaan tanda pada masing-masing stadium sering
tidak jelas. Hal ini karena mula kerja obat anestetik modern relatife lebih cepat
dibandingkan dengan dietil eter disamping peratan penunjang yang dapat mengontrol
ventilasi paru secara mekanis cukup tersedia. Selain itu, adanya obat yang diberikan
sebelum dan selama operasi dapat juga berpengaruh pada tanda-tanda anestesi. Atropin,
digunakan untuk mengurangi skresi, sekaligus mendilatasi pupil; obat-obatnya seperti
tubokurarin suksinilkolin yang dapat mempengaruhi tonus otot; serta obat analgetik
narkotik yang dapat menyebabkan efek depresan pada pernafasan.tanda yang paling
dapat diandalkan untuk mencapai stadium operasi adalah hilangnya refleks kelopak mata
dan adanya pernapasan yang dalam dan teratur.
2.7 Teknik anestesi
1. Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka
Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut,
keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.
Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang,
sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik
kebelakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernafasan lancer.
N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi,
bersamaan dengan ini halotan dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan
dengan 1% sampai 3 atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderita
Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak
cepat, dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium anesthesia
sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel). Halotan
kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap rangsang operasi.
Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum operasi selesai. Selesai
operasi, N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100% beberapa menit untuk
mencegah hipoksi difusi.

2. Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea


Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi
dengan sungkup muka.
Setelah induksi, dapat dilakukan intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan
sampai tidak ada kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon nafas.
Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk terlalu
dalam yaitu di salah satu bronkus atau di eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu
pasang guedel di mulut supaya pipa endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup
dengan plester supaya tidak terbuka dan kornea tidak menjadi kering. Lalu pipa
endotrakea dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat anestesi.

3. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali


Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas.
Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan
respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan frekuensi
10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan secara manual, harus diperhatikan
pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris. Menjelang akhir operasi setelah
menjahit lapisan otot selesai diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha
“nafas sendiri” secara manual. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit
terjahit. N2O dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit.
Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali dengan volume tidal
300 ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi.

4. Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk
dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.

2.8 Rumatan anestesi (maintenance)


Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia intravena
total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi
biasanya mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar,
analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan
relaksasi otot lurik yang cukup.

Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-
50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid, pelumpuh
otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau
N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah
halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol%
bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan
(controlled).

2.9 Pasca bedah


Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah operasi
dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien gelisah, harus
diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat)
misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan).

Skor Aldrete

Skor aldrete adalah suatu kriteria untuk menilai keadaan pasien selama observasi
di ruang pemulihan (recovery room) yang digunakan untuk menentukan boleh tidaknya
pasien dikeluarkan dari ruang pemulihan. Kriteria yang digunakan dan umumnya yang
dinilai pada saat observasi di ruang pulih adalah warna kulit atau saturasi O2, kesadaran,
sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik. Idealnya, pasien baru boleh dikeluarkan bila
jumlah skor total adalah 10 (skor maksimal). Namun, bila skor total telah di atas 8 , pasien
boleh keluar dari ruang pemulihan.

Kriteria Skor

Kesadaran

Sadar penuh 2

Terangsang oleh stimulus verbal 1

Tidak terangsang oleh stimulus verbal 0

Respirasi
Dapat bernapas dalam dan batuk 2

Dispnea atau hanya dapat bernapas dangkal 1

Tidak dapat bernapas tanpa bantuan (apnea) 0

Tekanan Darah

Berbeda 20% dari tekanan darah sebelum operasi 2

Berbeda 20 – 50% dari tekanan darah sebelum operasi 1

Berbeda > 50% dari tekanan darah sebelum operasi 0

Oksigenasi

SpO2 > 92% pada udara ruangan 2

Memerlukan O2 tambahan untuk mencapai SpO2 > 90% 1

SpO2 < 90% meskipun telah mendapat O2 tambahan 0


DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR.2010.Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi


kedua. Jakarta. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
2. Wrobel M, Werth M.2009. Pokok-pokok Anestesi. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
3. Omoigui S. 2012.Obat-obatan Anestesia. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai