Anda di halaman 1dari 23

Laporan Kasus

Kejang Demam Kompleks

Disusun Oleh :
Carindha Azaria

Pembimbing :
dr. Hj. Fitri Yanti

Program Internsip Dokter Indonesia


RS Islam Jakarta Pondok Kopi
Periode Februari 2019-Februari 2020
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus Kejang Demam Kompleks

Diajukan sebagai salah satu syarat Program Internsip Dokter Indonesia di Rumah
Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi
Periode Februari 2019 – Februari 2020

Oleh :
Carindha Azaria

Jakarta, 16 Januari 2020


Menyetujui,
Pembimbing

dr. Hj. Fitri Yanti


Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah
memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas laporan kasus mengenai “Kejang Demam Kompleks” sebagai
salah satu syarat Program Internsip Dokter Indonesia di RS Islam Jakarta Pondok
Kopi periode Februari 2019 sampai dengan Februari 2020.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan kasus ini tidak lepas dari
bantuan dan dorongan banyak pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada seluruh pihak terkait.
Segala daya upaya telah dioptimalkan untuk menghasilkan laporan kasus
yang baik dan bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan
berpikir penulis. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar
dapat menghasilkan tulisan yang lebih baik di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan laporan kasus ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca, khususnya bagi para dokter internsip yang memerlukan
panduan dalam menjalani aplikasi ilmu.

Jakarta, Januari 2020

Penulis
Daftar Isi

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................................... ii

Kata Pengantar........................................................................................................................ iii

Daftar Isi................................................................................................................................. iv

BAB I STATUS PASIEN .........................................................................................................5

I.1 Identitas Pasien ...........................................................................................................5

I.2 Anamnesis [Allo-anamnesa] ........................................................................................5

I.3 PEMERIKSAAN FISIK ..............................................................................................6

I.4 Follow-Up ................................................................................................................. 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 12

II.1 Definisi ..................................................................................................................... 12

II.2 Epidemiologi............................................................................................................. 12

II.3 Etiologi ..................................................................................................................... 12

II.4 Faktor Resiko ............................................................................................................ 13

II.5 Patofisiologi .............................................................................................................. 13

II.6 Klasifikasi ................................................................................................................. 15

II.7 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................................. 17

II.8 Penatalaksanaan ........................................................................................................ 18

II.9 Prognosis .................................................................................................................. 20

BAB III KESIMPULAN ......................................................................................................... 22

III.1 Kesimpulan ............................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 23


BAB I STATUS PASIEN

I.1 Identitas Pasien


 Nama : An. M
 Usia : 2 tahun, 3 bulan
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Alamat : Duren Sawit
 Agama : Islam
 Tanggal Kunjungan : 14/12/2019

I.2 Anamnesis [Allo-anamnesa]


 Keluhan Utama : kejang 2 kali sejak 30 menit yang lalu
 Keluhan Tambahan : demam, batuk
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Menurut pengakuan ibu, pasien dibawa ke IGD RSIJPK karena kejang
sejak 30 menit yang lalu, sebanyak 2 kali, durasi 3-5 menit tiap kejang
dengan jarak 20-25 menit antar kejang. Saat kejang, seluruh badan
pasien kelojotan dan mata mendelik ke atas, setelah kejang pasien
tampak lemas lalu menangis. Sebelum kejang ibu mengaku pasien
mengalami demam mendadak tinggi. Keluhan disertai batuk sejak 3
hari yang lalu, dahak sulit keluar. Tidak disertai penurunan kesadaran
atau muntah. Tidak ada riwayat trauma. BAB dan BAK tidak ada
keluhan.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat kejang sebelumnya (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga :
Ibu pasien memiliki riwayat kejang bila demam saat kecil
 Riwayat Alergi dan Pengobatan :
Tidak ada riwayat alergi obat atau makanan. Keluhan saat ini belum
diobati

5
 Riwayat Kehamilan dan Persalinan :
ANC rutin ke bidan, ibu tidak pernah sakit selama masa kehamilan.
Lahir di bidan, cukup bulan, tanpa penyulit, menangis kuat setelah lahir
dengan berat lahir 2700 gram, panjang badan dan lingkar kepala ibu
lupa.
 Riwayat Imunisasi :
Imunisasi terakhir DPT dan Campak booster di posyandu
Kesan : imunisasi lengkap sesuai usia
 Riwayat Makanan
o 0-6 bulan : ASI Eksklusif
o 6 -7 bulan : ASI + bubur saring
o 7 – 9 bulan : bubur lunak + ASI
o 10 – 12 bulan : nasi tim + ASI
o 11 – 24 bulan : nasi + lauk pauk + buah potong + ASI
o 24 bl sd sekarang : menu orang dewasa
 Riwayat tumbuh kembang
Sosial : dapat melepas pakaian sendiri
Gerak kasar : dapat menendang bola kecil ke depan
Gerak halus : dapat menumpuk kubus
Komunikasi : dapat menunjuk dengan benar bagian tubuhnya

I.3 PEMERIKSAAN FISIK


 KU : Tampak Sakit Sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 Tanda-Tanda Vital : S 39,8 oC; HR 138 dpm; RR = 36x/menit
 Antropometri : BB 13 kg; TB 89,6 cm; LK 48,5 cm
Kesan : gizi baik

6
STATUS GENERALIS
Kepala Normocephal
Mata Konjuntiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor 2mm/2mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
Hidung Deviasi septum (-), sekret di hidung (-/-), edema konka
(-/-), pernafasan cuping hidung (-/-)
Telinga normotia, nyeri tekan tragus (-/-)
Mulut faring hiperemis (-), tonsil T1/T1
Leher Perbesaran KGB (-)

Paru
Kanan Kiri
Inspeksi (normochest)
 Pergerakan dada Simetris Simetris
 Retraksi ICS - -
Palpasi
 Nyeri tekan - -
 Ekspansi dada Normal Normal
 Massa - -
Perkusi Tidak dilakukan
Bronkovesikuler Bronkovesikuler
Auskultasi Rh -/- Rh -/-
Wh -/- Wh -/-

Jantung
Inspeksi Pulsasi iktus cordis tidak terlihat
Palpasi Iktus kordis teraba di sela iga V linea midclavicular
sinistra
Perkusi Tidak dilakukan
Auskultasi Bunyi jantung I-II normal, murmur -, gallop -

7
Abdomen
Inspeksi Datar, supel, simetris; tidak tampak pelebaran vena
Auskultasi Bising usus (+) normal
Palpasi Supel, hepar dan limpa tidak teraba
Perkusi Timpani di seluruh kuadran abdomen, regio
hipocondriac kanan pekak hepar (+)

Akral Hangat edema CRT < 2 detik


Ekstrimitas atas +/+ -/- +/+
Ekstrimitas +/+ -/- +/+
bawah

Pemeriksaan Kaku Kuduk Kernig Brudzinksi Brudzinski 2


Neurologis Sign 1
- - - -
Refleks Bisep Trisep Patella Achilles
Fisiologis +/+ +/+ +/+ +/+

8
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi Rutin
141 14/12/19 Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,00 11,5 – 13,5 g/dL
Hematokrit 32,2 30-40 %
3
Leukosit 13,4
6 – 15 10^ /µL
3
Trombosit 284
150 – 450 10^ /µL
Eosinofil 0.0 1-3 %
Basofil 0.0 0–1%
Neutrofil 63.3 50 – 65 %
Limfosit 28.3 25 – 35 %
Monosit 4.7 4–6%
Kimia Klinik
GDS 70 < 180
Elektrolit
Natrium (Na) 142,0 135 – 148 mEq/L
Kalium (K) 4,00 3,50 – 5,30 mEq/L
Chloride (Cl) 98 98 – 106 mEq/L
Calcium Ion 1,17 1,15 – 1,29 mEq/L

9
RESUME
An. M, 2th 3 bl, Menurut pengakuan ibu, pasien dibawa ke IGD RSIJPK
karena kejang sejak 30 menit yang lalu, sebanyak 2 kali, durasi 3-5 menit tiap
kejang dengan jarak 20-25 menit antar kejang. Saat kejang, seluruh badan pasien
kelojotan dan mata mendelik ke atas, setelah kejang pasien tampak lemas lalu
menangis. Sebelum kejang ibu mengaku pasien mengalami demam mendadak
tinggi. Keluhan disertai batuk sejak 3 hari yang lalu, dahak sulit keluar. BAB dan
BAK tidak ada keluhan. Tidak ada riwayat kejang sebelumnya. Pasien sudah makan
menu sepeti orang dewasa. Imunisasi lengkap sesuai usia. Tumbuh kembang sesuai
usia. Pemeriksaan Fisik tampak sakit sedang, kesadaran composmentis. Suhu 39.8
o
C, HR 138dpm; RR 36 x/menit. Faring hiperemis (+). Pemeriksaan rangsang
meningens tidak ada kelainan. Refleks fisiologi dalam batas normal. Pemeriksaan
penunjang didapatkan leukositos 13.4 103/µL.

DIAGNOSA BANDING
1. Kejang demam kompleks + ISPA
2. Kejang demam sederhana + ISPA

DIAGNOSA KERJA
Kejang demam kompleks + ISPA

TERAPI
 O2 nc 1 lpm
 stesolid supp 1x10 mg
 Parasetamol supp 1 x 160mg
 IVFD Kaen 3A 1000 cc/24 jam
 Inj. Diazepam 6.5 mg IV
 Inj. Ceftriaxon 1 x 650mg
 Parasetamol syr 120mg/ml 4 x cth 1½

10
I.4 Follow-Up
15/12/19
S: O: A: P:
Demam (+), S 37,8 oC; KDK IVFD Kaen 3A
kejang (-), nafsu HR 118 dpm; 1000cc/24jam
makan membaik RR = 34x/menit Inj. ceftri 1 x
650mg
Tho Asam valproat 2 x
bronkovesikular cth I
+/+, wh -/-, rh -/- PCT syr 4 x cth I½
Bj 1&2 reg, m -, g

Abd supel, bu +
16/12/19
S: O: A: P:
Demam (-), S 36,8 oC; KDK IVFD Kaen 3A
kejang (-), nafsu HR 110 dpm; 1000cc/24jam
makan membaik RR = 34x/menit Inj. ceftri 1 x
650mg
Tho Asam valproat 2 x
bronkovesikular cth I
+/+, wh -/-, rh -/- PCT syr 4 x cth I½
Bj 1&2 reg, m -, g Boleh pulang,
– kontrol poli anak
Abd supel, bu +

11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal diatas 38,5o C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium (1). Kejang demam ini terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6
bulan – 5 tahun(2). Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam(4).
Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan
kejang berulang tanpa demam(3). Kejang disertai demam pada bayi berumur
kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam(4). Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, kemungkinan lain harus dipertimbangkan misalnya
infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam(4). Definisi
ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti
meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini
mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang
mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat (3).

II.2 Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2 % - 4 % di Amerika Serikat,
Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira –
kira 20 % kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang
demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17 – 23 bulan) kejang demam
sedikit lebih sering pada laki – laki(2).

II.3 Etiologi
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering
disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia,
gastroenteritis dan infeksi saluran kemih(2).

12
II.4 Faktor Resiko
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam(3).
Ada riwayat kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan
(1,3)
orang tua, menunjukkan kecenderungan genetik . Selain itu terdapat
faktor perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam
perawatan khusus, dan kadar natrium rendah, cepatnya anak mendapat
kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat
keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi(1,3).
Faktor resiko terjadinya epilepsi di kemudian hari yaitu adanya
gangguan neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi
dalam keluarga, lamanya demam saat awitan, lebih dari satu kali kejang
demam kompleks(1).

II.5 Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak,
diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah
oksidasi, dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru – paru
dan diteruskan ke otak melalui kardiovaskuler (6). Jadi sumber energi otak
adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO 2 dan air
(6)
. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam
adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan
sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion
klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar
sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari
sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan
energi dan bantuan enzim Na – K – ATPase yang terdapat pada permukaan
sel(6). Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.

13
b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan(6).
d. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10% - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat
20%.
Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 %
dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %.
Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi
difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel
tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan
(6)
terjadilah kejang . Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda
dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan
ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 o C,
sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru
terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan
bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang
yang rendah, sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada
tingkat suhu berapa penderita kejang (6). Penelitian binatang menunjukkan
bahwa vasopresin arginin dapat merupakan mediator penting pada
patogenesis kejang akibat hipertermia (1).
Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya
disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi
untuk kontraksi otot skelet yang akibatnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea,
asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipertensi arterial
disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat
disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor

14
penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya
kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang
mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan
timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak(6).
Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan
kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari,
sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang
berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga
terjadi epilepsi(6).

II.6 Klasifikasi
a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit
dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan
atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu
24 jam(7). Kejang demam sederhana merupakan 80 % diantara seluruh
kejang demam(6).
Suhu yang tinggi merupakan keharusan pada kejang demam
sederhana, kejang timbul bukan oleh infeksi sendiri, akan tetapi oleh
kenaikan suhu yang tinggi akibat infeksi di tempat lain, misalnya pada
radang telinga tengah yang akut, dan sebagainya. Kejang selalu
berbentuk umum, biasanya bersifat tonik – klonik seperti kejang grand
mal; kadang – kadang hanya kaku umum atau mata mendelik seketika.

b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)


Kejang dengan salah satu ciri berikut :
1. Kejang lama lebih dari 15 menit.
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial.
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam(7).
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15
menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan

15
kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8 % kejang demam(4).
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial(4). Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau
lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang
berulang terjadi pada 16 % diantara anak yang mengalami kejang
demam(4).

Livingston (1954, 1963) membuat kriteria dan membagi kejang demam


atas 2 golongan, yaitu:
1. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion)
2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by
fever).
Modifikasi kriteria Livingston(6):
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 5 tahun.
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu
normal tidak menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh
kriteria modifikasi Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang
diprovokasi oleh demam(6).

16
II.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.
b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6 % - 6,7 %.Pada bayi kecil seringkali sulit untuk
menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena
manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal
dianjurkan pada :
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
2. Bayi antara 12 – 18 bulan dianjurkan.
3. Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis
secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian
epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak
direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada
keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam
kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.
d. Pencitraan
Foto X – ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan
(CT – scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali
dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti :
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI

17
3. Papiledema

II.8 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Saat Kejang (4)
a. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah
adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5 – 0,75
mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan
kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau
diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun
atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun.
b. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan caradan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit.Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit.
c. Dosis diazepam intravena adalah 0,3 – 0,5 mg/kgBB perlahan – lahan
dengan kecepatan 1 – 2 mg/menit atau dalam waktu 3 – 5 menit,dengan
dosis maksimal 20 mg.
d. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 10 – 20mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1
mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti
dosis selanjutnya adalah 4 – 8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah
dosis awal.
e. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat
di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat
selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam sederhana atau
kompleks dan faktor resikonya.

2. Pemberian Obat Pada Saat Demam (4)


a. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi
resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat
bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang

18
digunakan adalah 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan
tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali
sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan
sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga
penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan.
b. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 %
kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5mg/kgBB setiap 8
jam pada suhu > 38,5oC. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan
ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25 % - 39 % kasus.
Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak
berguna untuk mencegah kejang demam.
c. Pemberian Obat Rumat (4)
d. Indikasi pemberian obat rumatan
Pengobatan rumatan hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan
ciri sebagai berikut (salah satu) :
1. Kejang lama > 15 menit.
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang, misalnya hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy,
retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal.
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :
 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
 Kejang demam > 4 kali per tahun.
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit
merupakan indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata
misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan
indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum
menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik.
e. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat

19
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan resiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti
ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat
dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya
diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian
fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan
kesulitan belajar pada 40 % - 50 % kasus. Obat pilihan saat ini adalah
asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur
kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati. Dosis asam valproat 15 – 40 mg/kgBB/hari dalam 2 – 3 dosis, dan
fenobarbital 3 – 4mg/kgBB/hari dalam 1 – 2 dosis.

II.9 Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik
dan tidak menyebabkan kematian.
 Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap
normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara
retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus,
dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau
kejang berulang baik umum atau fokal(4). Kejang yang lebih dari 15
menit, bahkan ada yang mengatakan lebih dari 10 menit, diduga biasanya
telah menimbulkan kelainan saraf yang menetap(2). Apabila tidak diterapi
dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi (3,5) :
1. Kejang demam berulang dengan frekuensi berkisar antara 25 % - 50
%. Umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.
2. Epilepsi Resiko untuk mendapatkan epilepsi rendah.
3. Kelainan motorik
4. Gangguan mental dan belajar

 Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan (4).

20
 Kemungkinan Berulangnya Kejang Demam (4)
Faktor resiko berulangnya kejang demam adalah :
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga
b. Usia kurang dari 12 bulan
c. Temperatur yang rendah saat kejang
d. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut
kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10 % - 15 %.
Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun
pertama. (4)

 Kemungkinan menjadi epilepsi :


a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
b. Kejang demam kompleks.
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing – masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian
epilepsi sampai 4 % - 6 %, kombinasi dari faktor resiko tersebut
meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10 % - 49 %. Kemungkinan
menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada
kejang demam.

21
BAB III KESIMPULAN
III.1 Kesimpulan

Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai


dengan kejang berulang tanpa demam. Kejang disertai demam pada bayi
berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila
anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami
kejang didahului demam, kemungkinan lain harus dipertimbangkan
misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama
demam. Faktor resiko terjadinya epilepsi di kemudian hari yaitu adanya
gangguan neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi
dalam keluarga, lamanya demam saat awitan, lebih dari satu kali kejang
demam kompleks. Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat,
prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas. Standar Pelayanan Medik.


Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas Makassar.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2018. Ilmu Kesehatan Anak.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI Jakarta.
3. Haslam Robert H. A. 2018. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson,
Vol. 3, Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
4. Hendarto S. K. Kejang Demam. 2010. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta.
5. Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. 2016.
Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
6. Saharso Darto. 2018. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya.

23

Anda mungkin juga menyukai