Disusun Oleh:
42180246
Pembimbing Klinik:
YOGYAKARTA
2018
BAB I
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny T
Usia : 54 tahun
Alamat : Banjarnegara
A: Airway
Faring : malampati 2
B: Breathing
Respirasi : 24 x/menit
C: Circulation
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 82x/menit, adekuat
Saturasi : 100%
CRT : <2 detik
Kondisi akral : hangat
D: Disability
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Kelainan neurologis : (-)
Status ASA : II
DIAGNOSIS KERJA
1. Ventilator
2. Face mask
3. LMA
4. Spuit 3cc, 5cc, 10cc
2.6. Prosedur Anestesi
Pasien diposisikan terlentang diatas meja operasi lalu dipasangkan
monitor hemodinamik berupa tensimeter pada sisi tangan yang tidak
terpasang infus dan pulseoxymetri pada sisi tangan yang terpasang infus.
Mempersiapkan alat berupa facemask dan obat-obatan untuk prosedur
GA- LMA ke dalam spuit
Pasien diberikan Fentanyl 100 mcg sebagai sebagai premedikasi. Setelah
itu diberikan Recofol 100 mg sebagai obat induksi. Kemudian dilakukan
pemeriksaan refleks bulu mata pada pasien untuk mengetahui apakah obat
yang diberikan sudah bekerja dan menilai apakah pasien sudah melewati
stadium I anaesthesia.
Kepala pasien diposisikan ekstensi (headtilt), setelah pasien masuk dalam
penurunan kesadaran dan tidak ada lagi refleks bulu mata, oksigenasi dan
juga N2O sebagai maintenance diberikan menggunakan facemask.
Bagging balon dan pengembangan dada pasien diamati, pastikan tidak
ada kebocoran udara pada facemask.
Bagging pasien 12-15 kali/menit kemudian semakin lama-semakin
menurun jumlahnya hingga pasien dapat bernafas spontan. Kemudian
amati pernapasan spontan pasien pada balon bila pernafasan pasien tidak
adekuat. Maka lakukan bagging dengan balon, namun dilakukan dengan
jarang agar pasien dapat bernapas dengan spontan.
2.7. Hemodinamik durante operasi
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan yang bertujuan untuk menghilangkan rasa
nyeri, dan kehilandan kesadaran yang bersifat reversible. Terdapat tiga pilar
(trias anestesi) yaitu hipnotik/sedatif, analgesia, dan relaksasi otot.
Hipnotik/sedatif membuat tenang/mengantuk atau tidur, analgesia berarti
membuat pasien tidak merasakan nyeri, sedangkan relaksasi otot adalah
melumpuhkan otot sementara. Durasi anestesi dapat diprediksi dari jumlah dosis
obat yang diberikan.
General anestesi merupakan tindakan meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). General
anestesi menyebabkan mati rasa karena obat ini masuk ke jaringan otak dengan
tekanan setempat yang tinggi. Selama masa induksi pemberian obat bius harus
cukup untuk beredar di dalam darah dan tinggal di dalam jaringan tubuh.
Beberapa teknik general anestesi inhalasi adalah Face Mask (FM), Endotrakea
Tube (ETT) dan Laringeal Mask Airway (LMA)
LMA adalah suatu alat bantu jalan napas yang ditempatkan di hipofaring
berupa balon yang jika dikembangkan akan membuat daerah sekitar laring
tersekat sehingga memudahkan ventilasi spontan maupun 14 ventilasi tekanan
positif tanpa penetrasi ke laring atau esophagus.
Ukuran LMA-Clasic
Ukuran LMA-Clasic Berat Badan (kg) Volume Cuff (ml)
1 <5 4
1,5 5 - 10 7
2 10 – 20 10
2½ 20 – 30 14
3 30 - 50 20
4 50 - 70 30
5 > 70 40
Indikasi LMA
4. Pada pasien yang mengalami penurunan fungsi sistem pernafasan, karena cuff
pada LMA yang bertekanan rendah akan mengalami kebocoran pada
c. Tingkat anestesi atau tidak sadar harus sama dengan tingkatan untuk
memasukkan LMA.
d. Kepala dan leher berada dalam posisi seperti pada intubasi trakea dan asisten
membuka mulut pasien selebar mungkin.
e. Ujung masker ditekankan pada palatum durum dengan ujung terbuka, masker
mengarah ke lidah tanpa boleh menyentuhnya.
f. Masker didorong sejauh mungkin. Masker ini terlalu lebar untuk ujungnya
berada di atas sfingter esofagus. Bagian samping masker berada di atas
fossae pyriformis dan tepi atasnya berada di dasar lidah.
2) Disfagia (4 – 24%)
3) Disartria (4 – 47%)
1) Batuk (<2%)
a. Sakit tenggorokan
b. Aspirasi
c. Lidah mati rasa atau sianosis. memastikan bahwa lidah tidak terjebak di
antara gigi dan LMA
2. Stadium Anestesi
Stadium anestesi dapat dinilai setelah pasien diinduksi. Stadium anestesi yang
diklasifikasikan oleh Guedel yaitu :
a. Stadium I (analgesi)
Dimulai dari saat pemberian dari awal induksi inhalasi sampai hilangnya
kesadaran. Pasien tetap dalam kontak verbal, dan dapat diberikan petunjuk
sepanjang stadium ini. Pasien masih dapat melakukan gerakkan dan refleks
laringofaringeal masih ada namun rasa nyeri sudah menghilang. Pada stadium ini
pasien masih dapat mengikuti perintah (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan
pada stadium ini.
b. Stadium II (delirium/eksitasi)
Dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleks bulu mata sampai
pernapasan kembali teratur. Pada stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan
yang tidak menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi,
pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apne dan hiperpnu, tonus otot rangka
meningkat, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi serta takikardia.
stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan kematian.
c. Stadium III (pembedahan)
Dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan hilang.
Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan
bola mata yang tidak menurut kehendak pupil miosis, refleks cahaya ada,
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai
relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai menurun).
Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks
laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum
tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4 : Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis
total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan
kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat
menurun).
d. Stadium IV (overdosis/intoksikasi)
Dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4.
Pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung
berhenti, dan akhimya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium
ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
3. Assessment Pra Operasi
Assessment pra operasi adalah kegiatan pemeriksaan pasien yang meliputi
anamnesis riwayat anestesia dan operasi sebelumnya serta kebiasaan/lifestylenya,
dan lain lain, melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium yang sesuai,
menilai status fisik pasien (mengklasifikasikan ASA pasien), dan masukan oralnya.
Hal ini sangat penting dilakukan sebelum pasien melakukan operasi untuk
menunjukkan apakah pasien memerlukan perhatian khusus atau tidak terkait
kondisi kesehatannya yang berkaitan dengan pembiusan.
ASA dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
ASA I Pasien sehat, tidak ada gangguan organik atau kejiwaan, tidak
termasuk sangat muda dan sangat tua, sehat dengan toleransi
latihan yang baik
ASA II Pasien memiliki kelainan sistemik ringan, dimana penyakit yang
terkendali dan terkontrol, seperti obesitas ringan, kehamilan,
hipertensi terkontrol, DM tanpa efek sistemik, merokok tanpa
PPOK, riwayat asma terkontrol.
ASA III Pasien dengan kelainan sistemik berat, terdapat beberapa
keterbatasan fungsional, memiliki penyakit lebih dari satu sistem
tubuh, seperti CHF terkontrol, angina stabil, serangan jantung tua,
hipertensi tiak terkontrol, obesitas morbid, gagal ginjal kronis,
penyakit bronkospastik dengan gejala intermiten.
ASA IV Pasien dengan kelainan sistemik berat + incapacitance, pasien
dengan setidaknya satu penyakit berat yang tidak terkontrol dan
pada tahap akhir, kemungkinan resiko kematian, seperti angina
tidak stabil, PPOK bergejala, gejala CHF, kegagalan hepatorenal.
ASA V Pasien dengan atau tanpa operasi diperkirakan meninggal dalam 24
jam atau harapan hidup lebih dari 24 jam tanpa operasi, risiko
besar akan kematian, kegagalan multiorgan, sindrom sepsis dengan
ketidakstabilan hemodinamik, hipotermia, dan koagulopati tidak
terkontrol.
Selain itu perlu dilakukan penilaian dengan skor mallampati juga diperiksa.
Skor ini digunakan untuk menentukan apakah terdapat kemungkinan kesulitan jika
pasien akan dilakukan intubasi. Adapun klasifikasi Mallampati yang dinilai dengan
cara pasien membuka mulut dalam posisi duduk:
Kelas I: Palatum molle, fauces, uvula dan pilar terlihat jelas
Kelas II: Palatum molle, fauces, dan sebagian uvula terlihat
Kelas III: Palatum molle dan dasar uvula terlihat
Kelas IV: Hanya terlihat langit-langit
Pasca operasi akan dilakukan penilaian Aldrete skor, dimana yang dinilai
tediri dari aktivitas motorik, pernafasan, sirkulasi, kesadaran, dan saturasi oksigen
pasien. Masing-masing kriteria memiliki penilaian 0-2, dimana nilai total
maksimal 10, skor ≥8 dapat dipindahkan ke bangsal apabila tanpa nilai 0,
sedangkan skor <8 dipindahkan ke ICU.
Sistematik Kriteria Skor
Aktifitas Motorik Mampu menggerakan ke 4 2
ekstremitas
Mampu menggerakkan ke 2 1
ekstremitas
Tak mampu 0
menggerakkanatas
perintah/secara sadar
Pernapasan Napas adekuat dan dapat 2
batuk
Dyspneu, napas tidak adekuat 1
Apneu 0
Sirkulasi Tekanan darah mengalami 2
perubahan <20mmHg dari
semula
Tekanan darah mengalami 1
perubahan >20-50mmHg dari
semula
Tekanan darah mengalami 0
perubahan >50mmHg dari
semula
Kesadaran Sadar penuh 2
Bangun jika dipanggil 1
Tidak ada respon/belum sadar 0
Saturasi Oksigen Level >90% napas tanpa 2
oksigen
Level >90% napas dengan 1
oksigen
Level <90% napas dengan 0
oksigen
4. FIBROADENOMA MAMMAE
4.1. Definisi
Fibroadenoma mammae merupakan neoplasma jinak yang terutama terdapat
pada wanita muda, dan jarang ditemukan setelah menopause. Fibroadenoma
adalah kelainan pada perkembangan payudara normal dimana ada
pertumbuhan berlebih dan tidak normal pada jaringan payudara dan
pertumbuhan yang berlebih dari sel-sel yang melapisi saluran air susu di
payudara
5.2. Patofisiologi
Fibroadenoma merupakan tumor jinak payudara yang sering
ditemukan pada masa reproduksi yang disebabkan oleh beberapa
kemungkinan yaitu akibat sensitivitas jaringan setempat yang berlebihan
terhadap hormon estrogen sehingga kelainan ini sering digolongkan dalam
mamary displasia. Fibroadenoma biasanya ditemukan pada kuadran luar atas,
merupakan lobus yang berbatas jelas, mudah digerakkan dari jaringan di
sekitarnya. Fibroadenoma mammae biasanya tidak menimbulkan gejala dan
ditemukan secara kebetulan. Fibroadenoma biasanya ditemukan sebagai
benjolan tunggal, tetapi sekitar 10%-15% wanita yang menderita
fibroadenoma memiliki beberapa benjolan pada kedua payudara.
Penyebab munculnya beberapa fibroadenoma pada payudara belum
diketahui secara jelas dan pasti. Hubungan antara munculnya beberapa
fibroadenoma dengan penggunaan kontrasepsi oral belum dapat dilaporkan
dengan pasti. Selain itu adanya kemungkinan patogenesis yang berhubungan
dengan hipersensitivitas jaringan payudara lokal terhadap estrogen, faktor
makanan dan faktor riwayat keluarga atau keturunan. Kemungkinan lain
adalah bahwa tingkat fisiologi estrogen penderita tidak meningkat tetapi
sebaliknya jumlah reseptor estrogen meningkat. Peningkatan kepekaan
terhadap estrogen dapat menyebabkan hyperplasia kelenjar susu dan akan
berkembang menjadi karsinoma.
4.3. Diagnosis
Dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan adanya
benjolan. Dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang, untuk menentukan
diagnosis dengan uji spesifik atau biopsi jaringan.
4.4. Tatalaksana
Dilakukan pembedahan berupa pengangkatan/excisi. Setelah itu dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang patologi anatomis.
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam kasus ini pasien Ny. T usia 52 tahun periksa ke dokter spesialis Bedah
dengan keluhan benjolan pada payudara kanan. Pasien di diagnosis Fibro Adenoma
Mammae. Pasien ini tergolong dalam kategori ASA I karena pasien tidak memiliki
penyakit sistemik.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA