Anda di halaman 1dari 22

REFLEKSI KASUS ANESTESI

GA - LMA PADA EXCISI FIBRO ADENOMA MAMMAE

Disusun Oleh:

Inata Yefta Krisma Pratama

42180246

Pembimbing Klinik:

dr. Yos Kresna W., M.Sc, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI RUMAH SAKIT EMANUEL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA

2018
BAB I

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny T

Tanggal Lahir : 3 Juli 1965

Usia : 54 tahun

Alamat : Banjarnegara

Diagnosa : Fibro Adenoma Mammae (FAM)

Tanggal Masuk RS : 15 Februari 2019

2. ASSESSMENT PRA ANESTESI


2.1. Anamnesis

Keluhan Utama Terdapat benjolan di tubuh


Riwayat Penyakit Sekarang Benjolan di tubuh bagian
payudara kanan sudah dirasakan
beberapa minggu.
Riwayat Penyakit Dahulu -
Riwayat Penyakit Keluarga -
Riwayat operasi -
Riwayat pembiusan -
Riwayat minum obat -
Pemakaian alat bantu -
Puasa >6 jam

2.2. Pemeriksaan Fisik Pre Operatif


1. Keadaan Umum : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Tanda Vital
 Tekanan Darah : 130/80 mmHg
 Nadi : 82x/menit
 RR : 24x/menit
 Suhu : 36,5 C
 Berat Badan : 52 kg
4. Nyeri :-

A: Airway

Jalan napas : Bebas (tidak menggunakan alat bantu nafas)

Hidung : patensi hidung (+)

Mulut : gigi palsu/goyang/maju/ompong (-)

Lidah : simetris, ukuran normal

Faring : malampati 2

B: Breathing

Respirasi : 24 x/menit

Suara nafas : vesikuler

Pergerakan dinding dada : simetris

C: Circulation
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 82x/menit, adekuat
Saturasi : 100%
CRT : <2 detik
Kondisi akral : hangat
D: Disability
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Kelainan neurologis : (-)

2.3. Pemeriksaan Penunjang


 Darah

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hemoglobin 11. 5 L 14-18 g / dl
Leukosit 8.11 4,8-10,8 Ribu/mm3
Eritrosit 4.17L 4,7-6,1 Juta/mm3
Hematokrit 33.4 L 42-52%
MCV 80.1 79,0-99,0 fL
MCH 27.5 27,0-31,0 pg
MCHC 33.9 33,0-37,0 g/dl
RDW 35.1 35-47 fL
Trombosit 226 150-450 Ribu/mm3
PDW 11.2 9.0-13.0 fL
P-LCR 24.6 15.0-25.0%
MPV 10 7,2-11,1 fL
Neutrofil Segmen% 58.2 50-70%
Eosinofil% 2.6 2-4%
Basofil% 0.2 0-1%
Limfosit% 32.9 25-40%
Monosit% 5.8 2-8%
Clotting time 4 2-6 menit
Bleeding time 2 1-3 menit
Glukosa Sewaktu 96 70-115 mg/dl

 KESIMPULAN ASSESSMENT PRA ANESTESI

Diagnosis : Fibro Adenoma Mammae

Status ASA : II

Rencana Teknik Anestesi : GA - LMA

 DIAGNOSIS KERJA

Diagnosis Medis : Fibro Adenoma Mammae

Diagnosis Tindakan : Excisi Debridement

Rencana Anestesi : General Anestesi – Laryngeal Mask Airway

Diagnosis Anestesi : ASA II / Non Emergency

Persiapan Anestesi : Puasa selama > 6 jam

 ASSESMENT PRA INDUKSI


 Identitas pasien benar √
 Persetujuan medis telah ditandatangani √
 Teknik anestesi sudah ditentukan √
 Tensi sitolik antara 90-180 mmHg √
 Tensi diastolik antara 50-110 mmHg √
 Nadi dewasa antara 50-130 kali per menit √
 Laju nafas dewasa 8-35 kali per menit √
 Suhu antara 36,5 sampai 39oC √
 Saturasi oksigen antara 90-100% √
 Jalan nafas bebas/terkontrol √
 Nyeri minimal/tidak ada √
 PELAKSANAAN OPERASI

Dokter operator : dr. Samuel Z. Sp. B

Dokter anestesi : dr. Yos Kresna Wardhana, M.Sc, Sp. An

Hari/Tanggal operasi : Senin, 15 Februari 2019

Waktu operasi : 16.15-16.30 WIB

2.4. Obat yang diberikan

Obat Dosis Sediaan


0,05 mg/ml
Fentanyl 100 mcg
(1A=2 ml)
10 mg/ml
Recofol 100mg
(1A=20ml)
2 mg/ml
Ondansetron 4 mg
(1A=2ml)
30 mg/ml
Ketorolac 30 mg
(1A=1ml)

2.5. Peralatan untuk LMA :

1. Ventilator
2. Face mask
3. LMA
4. Spuit 3cc, 5cc, 10cc
2.6. Prosedur Anestesi
 Pasien diposisikan terlentang diatas meja operasi lalu dipasangkan
monitor hemodinamik berupa tensimeter pada sisi tangan yang tidak
terpasang infus dan pulseoxymetri pada sisi tangan yang terpasang infus.
 Mempersiapkan alat berupa facemask dan obat-obatan untuk prosedur
GA- LMA ke dalam spuit
 Pasien diberikan Fentanyl 100 mcg sebagai sebagai premedikasi. Setelah
itu diberikan Recofol 100 mg sebagai obat induksi. Kemudian dilakukan
pemeriksaan refleks bulu mata pada pasien untuk mengetahui apakah obat
yang diberikan sudah bekerja dan menilai apakah pasien sudah melewati
stadium I anaesthesia.
 Kepala pasien diposisikan ekstensi (headtilt), setelah pasien masuk dalam
penurunan kesadaran dan tidak ada lagi refleks bulu mata, oksigenasi dan
juga N2O sebagai maintenance diberikan menggunakan facemask.
 Bagging balon dan pengembangan dada pasien diamati, pastikan tidak
ada kebocoran udara pada facemask.
 Bagging pasien 12-15 kali/menit kemudian semakin lama-semakin
menurun jumlahnya hingga pasien dapat bernafas spontan. Kemudian
amati pernapasan spontan pasien pada balon bila pernafasan pasien tidak
adekuat. Maka lakukan bagging dengan balon, namun dilakukan dengan
jarang agar pasien dapat bernapas dengan spontan.
2.7. Hemodinamik durante operasi

Jam Tekanan Darah Nadi


16.15 130/70 65
16.30 120/70 70
3. PASCA OPERATIF (RECOVERY ROOM)
3.1. Alderete Score

Kriteria Masuk Keluar


Kesadaran
Sadar penuh 2
Sadar apabila diberikan rangsangan 1 1 2
Tidak ada respon 0
Respirasi
Mampu bernapas dalam dan batuk 2
Dispnea, napas dangkal atau terbatas 1 2 2
Apnea 0
Motorik : mampu mengikuti perintah atau kemauan sendiri
4 ekstremitas 2
2 ekstremitas 1 0 2
0 ekstremitas 0
Saturasi 02
Saturasi 02 >90% pada ruangan 2
Perlu inhalasi 02 untuk mencapai 1
Saturasi >90% 2 2
Saturasi 02 <90% bahkan dengan 0
Tambahan 02
Sirkulasi
Tekanan darah ±20 mmHg dari tekanan 2
awal preanestesi
Tekanan darah ±20-50 mmHg dari tekanan 1
2 2
awal preanestesi
Tekanan darah ±50 mmHg dari tekanan 0
awal preanestesi
Total 7 10
Pemeriksaan Alderete Score pasien mencapai skor 10 sehingga pasien dapat
pindah dari Recovery Room ke bangsal.

3.2. Hemodinamik Pasca Operasi

Jam Tekanan Nadi


Darah
16.30 120/70 70
17.30 130/70 70
3.3. Instruksi Pasca Anestesi di Ruangan/Bangsal
1. Monitoring tensi, nadi, pernapasan setiap 15 menit sampai 2 jam post
operasi.
2. Diberikan injeksi ondansentron 4 mg untuk mengatasi mual
3. Infus dalam 24 jam: RL 1000cc.
4. Bila Sistolik <90 mmHg, berikan injeksi ephedrin 10 mg (IV).
5. Berikan injeksi ketorolac 30 mg diberikan untuk mengatasi nyeri.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan yang bertujuan untuk menghilangkan rasa
nyeri, dan kehilandan kesadaran yang bersifat reversible. Terdapat tiga pilar
(trias anestesi) yaitu hipnotik/sedatif, analgesia, dan relaksasi otot.
Hipnotik/sedatif membuat tenang/mengantuk atau tidur, analgesia berarti
membuat pasien tidak merasakan nyeri, sedangkan relaksasi otot adalah
melumpuhkan otot sementara. Durasi anestesi dapat diprediksi dari jumlah dosis
obat yang diberikan.
General anestesi merupakan tindakan meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). General
anestesi menyebabkan mati rasa karena obat ini masuk ke jaringan otak dengan
tekanan setempat yang tinggi. Selama masa induksi pemberian obat bius harus
cukup untuk beredar di dalam darah dan tinggal di dalam jaringan tubuh.
Beberapa teknik general anestesi inhalasi adalah Face Mask (FM), Endotrakea
Tube (ETT) dan Laringeal Mask Airway (LMA)

LMA adalah suatu alat bantu jalan napas yang ditempatkan di hipofaring
berupa balon yang jika dikembangkan akan membuat daerah sekitar laring
tersekat sehingga memudahkan ventilasi spontan maupun 14 ventilasi tekanan
positif tanpa penetrasi ke laring atau esophagus.

Ukuran LMA-Clasic
Ukuran LMA-Clasic Berat Badan (kg) Volume Cuff (ml)
1 <5 4
1,5 5 - 10 7
2 10 – 20 10
2½ 20 – 30 14
3 30 - 50 20
4 50 - 70 30
5 > 70 40

LMA memberikan strategi baru dalam pelaksanaan jalan napas kerena


cara pemasangan yang mudah, memerlukan sedikit latihan dan dapat
dilakukan oleh seseorang dengan pengalaman anestesia bervariasi. LMA
menyediakan akses yang berbeda ke berbagai fungsi dari saluran pernafasan
dan saluran pencernaan. Bentuk anatomi pipa jalan napas berbentuk bulat
panjang melengkung dan kaku, pada pipa saluran pernapasan dengan
diameter 15 mm yang pangkalnya terdapat konektor yang berfungsi sebagai
sambungan ke sirkuit mesin anestesi dan pada ujungnya berposisi di laring
proximal. Pada saluran pipa satunya berujung pada pangkal saluran
pencernaan berfungsi sebagai saluran ke saluran pencernaan berposisi di
depan sphinter esophagus. Terlihat pada saat dimasukkan dengan
rekomendasi teknik insersi.

Indikasi LMA

1. Digunakan untuk prosedur anestesi jika tindakan intubasi mengalami


kegagalan.

2. Penatalaksanaan kesulitan jalan nafas yang tidak dapat diperkirakan.

3. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak


sadarkan diri.

4. Pada operasi kecil atau sedang di daerah permukaan tubuh, berlangsung


singkat dan posisinya terlentang.
Kontraindikasi LMA

1. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung.

2. Pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik dalam jangka

waktu yang lama.

3. Pada operasi daerah mulut.

4. Pada pasien yang mengalami penurunan fungsi sistem pernafasan, karena cuff
pada LMA yang bertekanan rendah akan mengalami kebocoran pada

5. tekanan inspirasi yang tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung.

Pemasangan LMA (Lunn, 2005)

a. LMA mempunyai manset yang dikempiskan benar sebelum dimasukkan, dan


pompa setelah penempatannya benar.

b. Bagian belakang masker dilumasi secara menyeluruh.

c. Tingkat anestesi atau tidak sadar harus sama dengan tingkatan untuk
memasukkan LMA.

d. Kepala dan leher berada dalam posisi seperti pada intubasi trakea dan asisten
membuka mulut pasien selebar mungkin.

e. Ujung masker ditekankan pada palatum durum dengan ujung terbuka, masker
mengarah ke lidah tanpa boleh menyentuhnya.

f. Masker didorong sejauh mungkin. Masker ini terlalu lebar untuk ujungnya
berada di atas sfingter esofagus. Bagian samping masker berada di atas
fossae pyriformis dan tepi atasnya berada di dasar lidah.

Komplikasi LMA Menurut Nolan (2005) komplikasi pemasangan Laringeal


Mask Airway (LMA):
a. Komplikasi Mekanikal (kinerja LMA sebagai alat) :
1) Gagal insersi (0,3 – 4%)

2) Ineffective seal (<5%)

3) Malposisi (20 – 35%)

b. Komplikasi Traumatik (kerusakan jaringan sekitar) :

1) Tenggorokan lecet/nyeri tenggorokan (0 – 70%)

2) Disfagia (4 – 24%)

3) Disartria (4 – 47%)

c. Komplikasi Patofisiologi (efek penggunaan LMA pada tubuh) :

1) Batuk (<2%)

2) Muntah (0,02 – 5%)

3) Regurgitasi yang terdeteksi (0-80%)

4) Regurgitasi klinik (0,1%)

Menurut Morgan (2006) komplikasi yang berhubungan dengan


penggunaan Laringeal mask airway (LMA) meliputi;

a. Sakit tenggorokan

b. Aspirasi

c. Lidah mati rasa atau sianosis. memastikan bahwa lidah tidak terjebak di
antara gigi dan LMA

d. Laringospasme, termasuk anestesi umum seperti yang Anda lakukan untuk


setiap lainnya anestesi umum. jika pasien tidak pingsan atau diberikan anestesi
ringan, laringospasme dapat terjadi.

2. Stadium Anestesi
Stadium anestesi dapat dinilai setelah pasien diinduksi. Stadium anestesi yang
diklasifikasikan oleh Guedel yaitu :
a. Stadium I (analgesi)
Dimulai dari saat pemberian dari awal induksi inhalasi sampai hilangnya
kesadaran. Pasien tetap dalam kontak verbal, dan dapat diberikan petunjuk
sepanjang stadium ini. Pasien masih dapat melakukan gerakkan dan refleks
laringofaringeal masih ada namun rasa nyeri sudah menghilang. Pada stadium ini
pasien masih dapat mengikuti perintah (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan
pada stadium ini.
b. Stadium II (delirium/eksitasi)
Dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleks bulu mata sampai
pernapasan kembali teratur. Pada stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan
yang tidak menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi,
pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apne dan hiperpnu, tonus otot rangka
meningkat, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi serta takikardia.
stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan kematian.
c. Stadium III (pembedahan)
Dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan hilang.
Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan
bola mata yang tidak menurut kehendak pupil miosis, refleks cahaya ada,
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai
relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai menurun).
Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks
laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum
tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4 : Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis
total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan
kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat
menurun).
d. Stadium IV (overdosis/intoksikasi)
Dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4.
Pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung
berhenti, dan akhimya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium
ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
3. Assessment Pra Operasi
Assessment pra operasi adalah kegiatan pemeriksaan pasien yang meliputi
anamnesis riwayat anestesia dan operasi sebelumnya serta kebiasaan/lifestylenya,
dan lain lain, melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium yang sesuai,
menilai status fisik pasien (mengklasifikasikan ASA pasien), dan masukan oralnya.
Hal ini sangat penting dilakukan sebelum pasien melakukan operasi untuk
menunjukkan apakah pasien memerlukan perhatian khusus atau tidak terkait
kondisi kesehatannya yang berkaitan dengan pembiusan.
ASA dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

ASA I Pasien sehat, tidak ada gangguan organik atau kejiwaan, tidak
termasuk sangat muda dan sangat tua, sehat dengan toleransi
latihan yang baik
ASA II Pasien memiliki kelainan sistemik ringan, dimana penyakit yang
terkendali dan terkontrol, seperti obesitas ringan, kehamilan,
hipertensi terkontrol, DM tanpa efek sistemik, merokok tanpa
PPOK, riwayat asma terkontrol.
ASA III Pasien dengan kelainan sistemik berat, terdapat beberapa
keterbatasan fungsional, memiliki penyakit lebih dari satu sistem
tubuh, seperti CHF terkontrol, angina stabil, serangan jantung tua,
hipertensi tiak terkontrol, obesitas morbid, gagal ginjal kronis,
penyakit bronkospastik dengan gejala intermiten.
ASA IV Pasien dengan kelainan sistemik berat + incapacitance, pasien
dengan setidaknya satu penyakit berat yang tidak terkontrol dan
pada tahap akhir, kemungkinan resiko kematian, seperti angina
tidak stabil, PPOK bergejala, gejala CHF, kegagalan hepatorenal.
ASA V Pasien dengan atau tanpa operasi diperkirakan meninggal dalam 24
jam atau harapan hidup lebih dari 24 jam tanpa operasi, risiko
besar akan kematian, kegagalan multiorgan, sindrom sepsis dengan
ketidakstabilan hemodinamik, hipotermia, dan koagulopati tidak
terkontrol.
Selain itu perlu dilakukan penilaian dengan skor mallampati juga diperiksa.
Skor ini digunakan untuk menentukan apakah terdapat kemungkinan kesulitan jika
pasien akan dilakukan intubasi. Adapun klasifikasi Mallampati yang dinilai dengan
cara pasien membuka mulut dalam posisi duduk:
 Kelas I: Palatum molle, fauces, uvula dan pilar terlihat jelas
 Kelas II: Palatum molle, fauces, dan sebagian uvula terlihat
 Kelas III: Palatum molle dan dasar uvula terlihat
 Kelas IV: Hanya terlihat langit-langit
Pasca operasi akan dilakukan penilaian Aldrete skor, dimana yang dinilai
tediri dari aktivitas motorik, pernafasan, sirkulasi, kesadaran, dan saturasi oksigen
pasien. Masing-masing kriteria memiliki penilaian 0-2, dimana nilai total
maksimal 10, skor ≥8 dapat dipindahkan ke bangsal apabila tanpa nilai 0,
sedangkan skor <8 dipindahkan ke ICU.
Sistematik Kriteria Skor
Aktifitas Motorik Mampu menggerakan ke 4 2
ekstremitas
Mampu menggerakkan ke 2 1
ekstremitas
Tak mampu 0
menggerakkanatas
perintah/secara sadar
Pernapasan Napas adekuat dan dapat 2
batuk
Dyspneu, napas tidak adekuat 1
Apneu 0
Sirkulasi Tekanan darah mengalami 2
perubahan <20mmHg dari
semula
Tekanan darah mengalami 1
perubahan >20-50mmHg dari
semula
Tekanan darah mengalami 0
perubahan >50mmHg dari
semula
Kesadaran Sadar penuh 2
Bangun jika dipanggil 1
Tidak ada respon/belum sadar 0
Saturasi Oksigen Level >90% napas tanpa 2
oksigen
Level >90% napas dengan 1
oksigen
Level <90% napas dengan 0
oksigen

4. FIBROADENOMA MAMMAE
4.1. Definisi
Fibroadenoma mammae merupakan neoplasma jinak yang terutama terdapat
pada wanita muda, dan jarang ditemukan setelah menopause. Fibroadenoma
adalah kelainan pada perkembangan payudara normal dimana ada
pertumbuhan berlebih dan tidak normal pada jaringan payudara dan
pertumbuhan yang berlebih dari sel-sel yang melapisi saluran air susu di
payudara
5.2. Patofisiologi
Fibroadenoma merupakan tumor jinak payudara yang sering
ditemukan pada masa reproduksi yang disebabkan oleh beberapa
kemungkinan yaitu akibat sensitivitas jaringan setempat yang berlebihan
terhadap hormon estrogen sehingga kelainan ini sering digolongkan dalam
mamary displasia. Fibroadenoma biasanya ditemukan pada kuadran luar atas,
merupakan lobus yang berbatas jelas, mudah digerakkan dari jaringan di
sekitarnya. Fibroadenoma mammae biasanya tidak menimbulkan gejala dan
ditemukan secara kebetulan. Fibroadenoma biasanya ditemukan sebagai
benjolan tunggal, tetapi sekitar 10%-15% wanita yang menderita
fibroadenoma memiliki beberapa benjolan pada kedua payudara.
Penyebab munculnya beberapa fibroadenoma pada payudara belum
diketahui secara jelas dan pasti. Hubungan antara munculnya beberapa
fibroadenoma dengan penggunaan kontrasepsi oral belum dapat dilaporkan
dengan pasti. Selain itu adanya kemungkinan patogenesis yang berhubungan
dengan hipersensitivitas jaringan payudara lokal terhadap estrogen, faktor
makanan dan faktor riwayat keluarga atau keturunan. Kemungkinan lain
adalah bahwa tingkat fisiologi estrogen penderita tidak meningkat tetapi
sebaliknya jumlah reseptor estrogen meningkat. Peningkatan kepekaan
terhadap estrogen dapat menyebabkan hyperplasia kelenjar susu dan akan
berkembang menjadi karsinoma.
4.3. Diagnosis
Dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan adanya
benjolan. Dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang, untuk menentukan
diagnosis dengan uji spesifik atau biopsi jaringan.
4.4. Tatalaksana
Dilakukan pembedahan berupa pengangkatan/excisi. Setelah itu dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang patologi anatomis.
BAB III

PEMBAHASAN

Dalam kasus ini pasien Ny. T usia 52 tahun periksa ke dokter spesialis Bedah
dengan keluhan benjolan pada payudara kanan. Pasien di diagnosis Fibro Adenoma
Mammae. Pasien ini tergolong dalam kategori ASA I karena pasien tidak memiliki
penyakit sistemik.

Pada tanggal 15 Februari 2019 dilakukan asessment pra anestesi, untuk


menentukan status fisik dan jenis anestesi yang akan digunakan untuk excisi. Pasien
dikategorikan ASA I karena pasien tidak memiliki penyakit sistemik. Anestesi yang
digunakan adalah anestesi umum (GA – LMA). GA - LMA karena proses operasi
yang cukup singkat dan pembedahan tidak terlalu dalam.

Sebelum dilakukan operasi, pasien diassesment kembali, kemudian dibawa ke


kamar operasi dan selanjutnya dipasangkan tensi dan pulse oxymetri untuk
monitoring hemodinamik awal sebelum dan selama operasi. Setelah dinilai vital sign
baik dan stabil, bida dilaukan pemberian obat untuk pembiusan.
Obat pertama yang diberikan adalah obat premedikasi (Fentanyl 100 mcg)
untuk mengatasi nyeri selama operasi. Pemberian Fentanyl dilakukan secara perlahan
selama 1 menit. Fentanyl termasuk analgesia golongan opioid, dimana cara kerjanya
dengan terikat pada reseptor opioid (reseptor µ). Obat ini bekerja pada sistem saraf
pusat. Sehingga rangsangan sakit tidak mencapai kortikal. Blokade terhadap
rangsangan sakit, somatic dan visceral ini berhubungan dengan blockade fentanyl
pada mesecenphalon. Fentanyl memiliki onset melalui alur intravena adalah 30 detik
dan dalam 5 menit mencapai waktu puncak, dan durasinya 30-60 menit. Kelarutannya
dalam lemak tinggi sehingga mudah melewati sawar darah otak, paru dan otot
skeletal, dengan begitu juga dapat mengakibatkan depresi napas, hipotensi, mual
muntah, sakit kepala, dan lain-lain. Kontraindikasi pemberian fentanyl adalah pasien
dengan depresi napas akut atau penyakit paru obstruksi, alkoholisme akut, cedera
kepala (mempengaruhi respon pupil), dan ileus paralisis.
Obat induksi anestesi yang digunakan adalah Recofol. Propofol adalah
salah satu obat anestesi yang memiliki mula kerja dan lama kerja
yang relatif lebih singkat sehingga menjadi pilihan dalam anestesi
modern baik untuk anestesi ataupun terapi
pemeliharaan. GABA adalah neurotransmiter penghambat utama
dalam susunan saraf pusat. Propofol mengikat GABAA reseptor
tetapi juga bisa memiliki mekanisme lain yang melibatkan berbagai
reseptor protein. Efek sedasi dan hipnotik yang ditimbulkan oleh
propofol di susunan saraf pusat muncul diakibatkan oleh interaksi
propofol dengan reseptor GABAA. Interaksi ini akan menyebabkan
konduksi klorida transmembran meningkat dan mengakibatkan
hiperpolarisasi membran sel sehingga hantaran saraf tidak terjadi
setelah dilakukan induksi, stadium anestesi pasien dinilai dengan memeriksa refleks
bulu mata pasien. Jika reflex bulu mata tidak ada, pasien dapat diberikan oksigenasi
dengan menggunakan facemask. Oksigen yang diberikan sebanyak 3 liter/menit.

Ketorolac 30mg diberikan sebagai analgetik sesaat sebelum operasi berakhir.


Obat ini termasuk analgetik golongan NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory
Drugs). Ketorolac bekerja menghambat enzim COX-1 dan COX-2 sehingga
prostaglandin tidak dapat terbentuk. Onsetnya mendekati 30 menit (IV) dengan durasi
4-6 jam. Kontraindikasinya pasien yang alergi terhadap ketorolac, aspirin atau
NSAID lainnya, selain itu juga pasien dengan asma dan riwayat penyakit peptic ulcer
atau perdarahan pada GI tractnya. Efek samping yang dimiliki ketorolac dapat terjadi
perdarahan gastrointestinal, mual muntah, atau pusing. Selain diberikan analgetik,
ondansetron 4mg diberikan sebagai anti-emetik. Ondansetron merupakan antagonis
selektif reseptor 5-HT3 yang bekerja dengan cara memblok serotonin di perifer pada
N. Vagus dan disentral pada zona triger kemoreseptor sehingga dapat mencegah mual
muntah.

Setelah operasi selesai dilakukan pemberian oksgenasi sampai keadaan napas


pasien stabil dan saturasi oksigennya >95%. Bila keadaan pasien telah stabil,
indikator monitoring dapat dilepas dan monitor dimatikan. Pindahkan pasien ke
Recovery Room untuk monitoring hemodinamik dan dilakukan penilaian skor
Alderete. Saat Bp. DP masuk Recovery Room skornya adalah 7 sedangkan keluar
Recovey Room skor Alderete Ny T mencapai 10, sehingga pasien dapat dipindahkan
keruangan.
BAB IV

KESIMPULAN

1. Pasien berusia 52 tahun dengan diagnosis FAM digolongkan sebagai ASA I.


2. Metode anestesi menggunakan GA - LMA.
3. Premedikasi anestesi menggunakan Fentanyl 100 mcg.
4. Induksi anestesi menggunakan Recofol 100 mg.
5. Maintenance anestesi menggunakan O2 dan N2O.
6. Selama stadium anestesi, kondisi hemodinamika pasien stabil.
7. Ketorolac 30mg dan ondansetron 4mg diberikan saat operasi hampir berakhir.
Sebagai analgetik dan anti-emetik.
8. Pasca operasi pasien dipindahkan ke Recovery Room dan diawasi
hemodinamiknya. Pasien dinilai skor aldrete dan dinyatakan dapat
dipindahkan ke ruang rawat inap.

DAFTAR PUSTAKA

CME.2018. MIMS Edisi Bahasa Indonesia Vol 19. Jakarta.

Reksoprodjo, Soelarto (ed). 2010. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Tangerang:


Bina
Rupa Aksara.

Apriyanti.2012. Latar Belakang Fibroadenomma Mammae. Diakses: 27


Mei
2013. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/137/jtptunimus-gdl-apriyanthi-
6802-2-bab1.pdf
Price Sylvia, & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Dasar Penyakit (
Pathophysiologi: Clinical Concepts of Diasase Process. Jakarta :
EGC.

Anda mungkin juga menyukai