Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

TB PARU KLINIS KASUS BARU ON TREATMENT KATEGORI 1


FASE LANJUTAN

OLEH :
KELOMPOK 2

1. Dewi Shinta Tenri D C11113364


2. Novia Wira Tungadi C11114099
3. Susan Melinda Gosal C11114519
4. Muhammad Fajri C11114540
5. Maria Ayu F Monar C11114808

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Dicky Wahyudi
DOSEN PEMBIMBING:
dr. Nurjannah Lihawa, Sp.P

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul TB paru klinis kasus baru on treatment fase lanjutan kategori 1
oleh:

1. Dewi Shinta Tenri D C11113364


2. Novia Wira Tungadi C11114099
3. Susan Melinda Gosal C11114519
4. Muhammad Fajri C11114540
5. Maria Ayu F Monar C11114808

Telah dibacakan pada Pembacaan Laporan Kasus di Bagian Pulmonologi Fakultas


Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar pada:

Hari / Tanggal : Sabtu, 29 Desember 2018

Pukul : 07.00 WITA – selesai

Tempat : Ruang Pertemuan IC Lantai 2

Makassar, 29 Desember 2018

Pembimbing,

dr. Nurjannah Lihawa, Sp. P


BAB 1

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. T
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tgl. Lahir : 01-12-1946 (72 tahun)
Agama : Islam
Ruang Perawatan : IC lantai 2 Laki-laki
RM : 866631
Tanggal Masuk : 19-12-2018

B. SUBJEKTIF
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan utama :Sesak Nafas
Anamnesis Terpimpin :
Pasien datang dengan keluhan sesak napas yg dirasakan sejak 1 minggu yang lalu
dan memberat sejak 1 hari terakhir. Pasien juga mengeluhkan batuk kering sejak 1
bulan terakhir. Batuk darah tidak ada. Nyeri dada tidak ada. Pasien mengeluhkan
mual muntah sejak 1 minggu yang lalu. Terdapat keringat malam tanpa aktivitas sejak
3 bulan yang lalu. Nafsu makan dan berat badan menurun. Tidak ada demam.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat TB Paru tahun berapa,berdasar apa, minum selama berapa lama,
dimana,status selesai nya apa ??????
-Riwayat Terapi
Riwayat minum OAT Kategori I selama 3 Bulan
-Psikososial dan lingkungan

C. OBJEKTIF
1. Deskripsi Umum
Sakit Sedang/Gizi kurang/Compos Mentis
Tinggi badan : 160 cm Berat Badan : 46 kg
IMT =BB/TB = 46/1,6 = 17,9 kg/m2(gizi kurang)
2

2. Tanda Vital
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 100 kali/menit, regular, kuat angkat
Pernapasan : 20 kali/menit, torakoabdominal
Saturasi : 99% dengan modalitas oksigen 2L/menit
Suhu : 37oC
3. Head To Toe
Kepala
Bentuk : Normocephal
Simetris muka : Simetris kiri dan kanan
Deformitas : Tidak ada
Rambut : Hitam, lurus, sulit dicabut
Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus: (-)
Gerakan : Dalam batas normal
Kelopak mata : Edema palpebral (-/-)
Konjungtiva : Pucat (-/-)
Sklera : Ikterus (-/-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, isokor2,5mm/2,5mm
Telinga
Pendengaran : Penurunan pendengaran
Otorrhea : (-)
Pendarahan : (-)
Hidung
Perdarahan : (-)
Rhinorrea : (-)
Mulut
Bibir : Pucat (-), Kering (-)
Gigi geligi : Caries (-)
Gusi : Perdarahan gusi (-)
Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
Faring : Hiperemis (-)
Lidah : Kotor (-),tremor (-),hiperemis(-),bercak putih(-)
Leher
Kelenjar gondok : Tidak ada pembesaran
Kel. getah bening : Terdapat pembesaran di regio supraklavikular dan
submental
Kaku kuduk : Negatif
DVS : R+2 cmH2O
Tumor : Tidak ada
Nodul : Tidak ada
Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri kanan saat statis maupun dinamis
Tidak ada iga gambang
Tidak ada retraksi subcostal, intercostal, suprasternalis
Tidak ada bendungan vena sentral, venektasi, dan sela iga dalam batas
normal
Palpasi : Vokal fremitus normal simetris pada kedua hemithoraks, nyeri tekan
tidak ada, tidak teraba massa, tidak ada krepitasi
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Bunyi nafas bronkovesikuler, ronkhi pada apex paru sinistra,
wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Batas kiri atas jantung ICS II linea midclavicularis sinistra, Batas
kanan atas jantung ICS II linea parasternalis dextra, Batas bawah kiri
jantung ICS V linea midclavicularis sinistra, batas kanan bawah ICS
V linea parasternalis sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, bising jantung tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik ada, kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium(+) , massa tumor (-), hepar dan lien tidak
teraba
Perkusi : Timpani, undulasi (-)
Lain-lain : Ascites (-)
Punggung:
Palpasi : Nyeri tekan (-), Massa tumor (-)
Nyeri ketok : (-)
Gerakan : Dalam batas normal
Lain-lain : Tidak ada skoliosis
Extremitas
Edema (-)
Akral hangat
Palmar eritem (-)
Clubbing finger (-)
Alat Kelamin :Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus dan Rektum :Tidak dilakukan pemeriksaan

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Rutin (06/12/18)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
WBC 27.2 X 103 /uL 4.00 – 10.00 /uL
NEUT 22.0 % 50.0 – 70.0 %
HGB 11 g/dL 11.0 – 16.0 g/dL
HCT 33 % 37.0 – 54.0%
MCV 98 fL 80.0 – 100.0 fL
MCH 33 pg 27.0 – 34.0 pg
MCHC 34 g/dL 32.0 – 36.0 g/dL
PLT 36 x 103 /uL 100 – 300 /uL
LYMP 17.4 20.0-40.0
MONO 59.1 2.00-8.00
2. Kimia Darah (06/12/2018)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL


GDS 115 <140 mg/dl
Ureum 15 10 - 50 mg/dl
Kreatinin 0.56 L(<1.3);P(<1.1) mg/dl
SGOT 30 <38 u/L
SGPT 1 <41 u/L
Natrium 135 136-145mmol/L
Kalium 2.7 3.5-5.1 mmol/L
Klorida 101 97-111 mmol/L
Albumin 2.8 3.5-5.0
3. Sputum BTA 3x (06/12/2018)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Pewarnaan BTA 1 Negatif Negatif
Pewarnaan BTA 2 Negatif Negatif
Pewarnaan BTA 3 Negatif Negatif

4. Radiologi (06/12/2018)
Kesan :
 TB paru lama aktif lesi luas
dengan multiple cavitas
 Efusi pelura sinistra
 Atelektasis pulmo sinistra

5. MSCT Thorax dengan kontras (19/12/2018)

 TB Paru lama aktif lesi luas


 Efusi pleura sinistra
 Lymphadenopathy
 Atherosclerosis aorta dan a. coronaria
 Kista Thyroid lobus sinistra
 Ascites
 Splenomegaly
E. DIAGNOSIS KERJA

o TB Paru Klinis Kasus Baru


o Limfadenopati e.c Tuberkulosis dd malignansi
o Severe PEM
o Dispepsia
 Masalah :
 Hipoalbumin
 Imbalance Elektrolit
 Penurunan pendengaran

F. ASSESMENT

RENCANA RENCANA
NO MASALAH SUBJEKTIF & OBJEKTIF
DIAGNOSTIK TERAPI
1. TB PARU Subjektif :  Kultur MTB  2 FDC 3 tablet
KLINIS KASUS • Sesak napas / 48 Jam / Oral
BARU • Keringat malam
• Penurunan nafsu
makan
• Penurunan berat badan
• Riwayat didiagnosis
TB
• Riwayat minum OAT
selama 3 bulan
Objektif :
Suhu: 36.3 °C
Thorax
Auskultasi: bronkovesikular,
ronkhi pada kedua
hemithoraks
Wbc : 35.4 . 103/uL
Hasil pemeriksaan sputum
BTA 3x : negative
Pemeriksaan Radiologi : TB
paru lama aktif lesi luas

2. DISPEPSIA Subjektif : mual dan muntah  Ranitidin amp


sejak 1 minggu yang lalu / 12 jam /
intravena
Objektif :  Ondancetron 1
• Nyeri tekan amp / 12 jam /
epigastrium intravena
3. LIMFADENOP Objektif : • FNA
ATI EC • Terdapat pembesaran Biopsy
TUBERKULOSI kelenjar getah bening • MSCT
S DD di regio submental dan Thoraks
MALIGNANSI supraklavikular dengan
kontras

4. BATUK Subjektif : Codein 10 mg


• Batuk kering sejak 1 / 8 jam / oral
bulan yang lalu

5. SESAK NAPAS Subjektif : Oksigen 2 lpm


• Sesak napas sejak 1 nasal kanul
minggu yang lalu
Objektif :
Pernapasan : 22 x / mnt

6. HIPOKALEMI Objektif : KSR 600 mg /


• Pemeriksaan Lab : 8 jam / oral
Kalium 3.1 mmol / l
BAB 2

DISKUSI KASUS

1. TUBERKULOSIS
a. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex

b. Epidemiologi
Berdasarkan WHO pada tahun 2015, prevalensinya mencapai 9,6 juta orang dengan
kematian mencapai 1,5 juta jiwa dengan angka kematian 320 ribu jiwa diantaranya
meninggal dengan positif HIV. Adapun 3 negara dengan angka kejadian TB tertinggi
di dunia adalah India, Indonesia, dan China. Sedangkan di Indonesia tahun 2015
ditemukan sebanyak 330.910 kasus

c. Klasifikasi

pasien diklasifikasikan menurut:


a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :
1) Tuberkulosis paru : Adalah TB yang berlokasi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB
dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Pasien yang menderita TB paru dan
sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
2) Tuberkulosis ekstraparu: Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura,
kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Limfadenitis TB
dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran
radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Diagnosis TB
ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis
TB ekstra paru harus diupayakan secara bakteriologis dengan ditemukannya Mycobacterium
tuberculosis. Bila proses TB terdapat dibeberapa organ, penyebutan disesuaikan dengan organ
yang terkena proses TB terberat.
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT
selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan
hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
a) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik
karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).
b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah diobati dan
dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah pasien yang
pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up. (Klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai
pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
d) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. Adalah pasien TB yang tidak
masuk dalam kelompok 1) atau 2).
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat Pengelompokan pasien disini
berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat
berupa:
1) Mono resistan (TB MR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap salah satu jenis
OAT lini pertama saja.
2) Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap lebih dari satu jenis
OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
3) Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap Isoniazid (H)
dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti resitan OAT lini pertama lainnya.
4) Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga Mycobacterium
tuberculosis resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu
dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).
5) Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap Rifampisin
dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip
(tes cepat molekuler) atau metode fenotip (konvensional).
d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah pasien TB dengan:
a) Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau
b) Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
2) Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:
a) Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
b) Hasil tes HIV negative pada saat diagnosis TB.
Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi positif, pasien
harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV positif.
3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada bukti pendukung
hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan. Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat
diperoleh hasil tes HIV pasien, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil
tes HIV terakhir.
d. Diagnosis
Diagnosis Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan klinis,
pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Keluhan dan hasil anamnesis meliputi: Keluhan yang disampaikan pasien, serta
wawancara rinci berdasar keluhan pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan
gejala dan tanda TB yang meliputi:
a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan
gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu
atau lebih.
b. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang
ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga
pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung.
c. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang dengan faktor
risiko, seperti : kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah padat penduduk,
wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja dengan bahan
kimia yang berrisiko menimbulkan paparan infeksi paru.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Bakteriologi
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk
menegakkan diagnosis, juga untuk menentukan potensi penularan dan menilai
keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis
dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa
dahak Sewaktu-Pagi (SP):
a) S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
b) P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur. Dapat
dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap bilamana pasien menjalani
rawat inap.
2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan
metode Xpert MTB/RIF. TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis,
namun tidak dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.
3) Pemeriksaan Biakan Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat
(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube)
untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb). Pemeriksaan tersebut
diatas dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya. Dalam
menjamin hasil pemeriksaan laboratorium, diperlukan contoh uji dahak yang
berkualitas. Pada faskes yang tidak memiliki akses langsung terhadap
pemeriksaan TCM, biakan, dan uji kepekaan, diperlukan sistem transportasi
contoh uji. Hal ini bertujuan untuk menjangkau pasien yang membutuhkan
akses terhadap pemeriksaan tersebut serta mengurangi risiko penularan jika
pasien bepergian langsung ke laboratorium
b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1) Pemeriksaan foto toraks
2) Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB ekstraparu.
c. Pemeriksaan uji kepekaan obat Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya
resistensi M.tb terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di
laboratorium yang telah lulus uji pemantapan mutu/Quality Assurance (QA),
dan mendapatkan sertifikat nasional maupun internasional.
d. Pemeriksaan serologis Sampai saat ini belum direkomendasikan.
e. Treatment
Prinsip Pengobatan TB: Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan
TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih
lanjut kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4 macam obat
untuk mencegah terjadinya resistensi.
2) Diberikan dalam dosis yang tepat.
3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) sampai
selesai pengobatan.
4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam dua (2) tahap yaitu tahap
awal serta tahap lanjutan, sebagai pengobatan yang adekuat untuk mencegah kekambuhan.

Tahapan Pengobatan TB: Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan dengan maksud:
1) Tahap Awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan
meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien
mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama
2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama. 2) Tahap Lanjutan:
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh,
khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan

Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

JENIS SIFAT EFEK SAMPING


Rifampisin Bakterisidal Flu syndrome(gejala
influenza berat), gangguan
gastrointestinal, urine
berwarna merah,
gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam,
skin rash, sesak nafas,
anemia hemolitik
Isoniazid Bakterisidal Neuropati perifer
(Gangguan saraf tepi),
psikosis toksik, gangguan
fungsi hati, kejang.
Pirazinamid Bakterisidal Gangguan gastrointestinal,
gangguan fungsi hati, gout
arthritis.
Etambutol Bakteriostatik Gangguan penglihatan,
buta warna, neuritis
perifer (Gangguan saraf
tepi).
Streptomicin Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan,
gangguan keseimbangan
dan pendengaran,
renjatan anafilaktik,
anemia, agranulositosis,
trombositopeni

Pengelompokan OAT Lini Kedua

Grup Golongan Jenis Obat


A Florokuinolon  Levofloksasin (Lfx)
 Moksifloksasin (Mfx)
 Gatifloksasin (Gfx)
B OAT suntik lini  Kanamisin (Km)
kedua  Amikasin (Am)*
 Kapreomisin (Cm)
 Streptomisin (S)**
C OAT oral lini  Etionamid (Eto)/Protionamid (Pto)*
kedua  Sikloserin (Cs) /Terizidon (Trd)*
 Clofazimin (Cfz)
 Linezolid (Lzd)
D D1 OAT lini  Pirazinamid (Z)
pertama  Etambutol(E)
 Isoniazid(H) dosis
tinggi
D2 OAT baru  Bedaquiline (Bdq)
 Delamanid (Dlm)*
 Pretonamid (PA-
824)*

D3 OAT  Asam para


tambahan aminosalisilat
(PAS)
 Imipenemsilastatin
(Ipm)*
 Meropenem
(Mpm)*
 Amoksilin
clavulanat (Amx-
Clv)*
 Thioasetazon (T)*
Keterangan:
*Tidak disediakan oleh program
**Tidak termasuk obat suntik lini kedua, tetapi dapat diberikan pada kondisi tertentu
dan tidak disediakan oleh program

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia Paduan yang digunakan adalah ;


1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
3) Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
4) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin,
Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin, PAS, Bedaquilin,
Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid and etambutol.

Catatan: Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia dapat
diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu) dengan
mengacu pada dosis terapi yang telah direkomendasikan (Tabel 3 Dosis rekomendasi OAT Lini
Pertama untuk pasien Dewasa). Penyediaan OAT dengan dosis harian saat ini sedang dalam
proses pengadaan oleh Program TB Nasional.
2.LIMFADENITIS TB

a) Pengertian

Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening, sedangkan
limfadenitis tuberculosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening
yang disebabkan oleh basil tuberculosis. Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di
leher disebut dengan scrofula. Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya
paling sering terjadi. Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan
kelenjar. Infeksi M. tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberculosis
ke kulit dari struktur dasarnya atau terpajan langsung melalui kontak dengan M. tuberculosis
yang disebut dengan scrofuloderma.

b) Etiologi

Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.


Mycobacterium tergolong dalam family Mycobactericeae dan ordo Actinomyceales. Spesies
patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks, yang merupakan agen penyebab
penyakit yang tersering dan terpenting adalah Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong
dalam Mycobacterium tuberculosis complex adalah M.tuberculosae, M. bovis, M. caprae, M.
africanum, M. microti, M. pinnipedii, M. canettii. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan
epidemiologi. Basil TB adalah bakteri aerobic obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran
0,4 x 3 µm dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid dan filamentous tampak
bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Mycobacteria termasuk M.tuberculosis tidak dapat
diwarnai dengan pewarnaan gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus yang
sangat kuat mengikat zat warna tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun
menggunakan asam alkohol, sehingga dijuluki bakteri tahan asam. M. tuberculosis mudah
mengikat pewarna Ziehl-Neelsen atau karbol fuchsin.
Dinding bakteri Mycobacteria kaya akan lipid yang terdiri dari asam mikolat, lilin, dan fosfat.
Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan asam mikolat dapat menyebabkan
pembentukan granuloma. Lipid inilah yang bertanggung jawab pada sifat tahan asam bakteri
Mycobacteria.

c) Pathogenesis
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan Tb
ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer dan TB
pulmoner post-primer (sekunder). Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain
paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi
oleh basil tuberkulosis adalah kelanjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, menigens,
peritoneum, dan pericardium.
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis. Basil
TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit
oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit
oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam
makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum,
bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen
menuju kelenjar limfe regional di hilus, di mana penyebaran basil TB tersebut akan
menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe
regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, dalam waktu 3-4 minggu
setelah ineksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi
penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu
focus primer yang disebut focus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfnagitis dan
limfadenitis regional disebut dengan komplek Ghon. Terbentuknya focus Ghon
mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, focus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah
terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, focus Ghon merupakan suatu
lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan
hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki imunitas seluler,
hal ini disebut dengan TB-post primer. Adanya imunitas seluler akan mebatasi peneybaran
basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa).
Sama seperti pada Tb primer, basic TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui
aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ. Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan
paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru. Basil
TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di
mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan di bawa ke tonsil, selanjutnya
akan di bawa ke kelenjar limfe di leher

d) Gejala klinis
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner. Limfadenitis TB
juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien biasanya datang
dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Pada pasien limfadenitis TB
dengan HIV-negatif, limfadenopati leher terisolasi adalah manifestasi yang paling sering
dijumpai yaitu sekitar 2/3 pasien. Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah
satu diagnosis banding dari pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang
endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa
bulan.
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian diikuti
berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesenterikus, portal hepatikus,
perihepatik dan kelenjar inguinalis
Lokasi limfadenitis meliputi:
1. Limfadenitis daerah kepala dan leher Kelenjar getah bening servikal teraba pada sebagian
besar anak, tetapi ditemukan juga pada 56% orang dewasa. Penyebab utama limfadenopati
servikal adalah infeksi; pada anak, umumnya berupa infeksi virus akut yang swasirna.
Pada infeksi mikobakterium atipikal, cat-scratch disease, toksoplasmosis, limfadenitis Kikuchi,
sarkoidosis, dan penyakit Kawasaki, limfadenitis dapat berlangsung selama beberapa bulan.
Limfadenitis supraklavikula kemungkinan besar (54%-85%) disebabkan oleh keganasan.3
Kelenjar getah bening servikal yang mengalami inflamasi dalam beberapa hari, kemudian
berfluktuasi (terutama pada anak-anak) khas untuk limfadenitis akibat infeksi stafilokokus dan
streptokokus. Kelenjar getah bening servikal yang berfluktuasi dalam beberapa minggu
sampai beberapa bulan tanpa tanda-tanda inflamasi atau nyeri yang signifikan merupakan
petunjuk infeksi mikobakterium, mikobakterium atipikal atau Bartonella henselae (penyebab
cat scratch disease). Kelenjar getah bening servikal yang keras, terutama pada orang usia
lanjut dan perokok menunjukkan metastasis keganasan kepala dan leher (orofaring,
nasofaring, laring, tiroid, dan esofagus).1 Limfadenitis servikal merupakan manifestasi
limfadenitis tuberkulosa yang paling sering (63-77% kasus), disebut skrofula. Kelainan ini
dapat juga disebabkan oleh mikobakterium nontuberkulosa.
2. Limfadenitis epitroklear Terabanya kelenjar getah bening epitroklear selalu patologis.
Penyebabnya meliputi infeksi di lengan bawah atau tangan, limfoma, sarkoidosis, tularemia,
dan sifilis sekunder.
3. Limfadenitis aksila Sebagian besar limfadenitis aksila disebabkan oleh infeksi atau jejas
pada ekstremitas atas. Adenokarsinoma payudara sering bermetastasis ke kelenjar getah
bening aksila anterior dan sentral yang dapat teraba sebelum ditemukannya tumor primer.
Limfoma jarang bermanifestasi sejak awal atau, kalaupun bermanifestasi, hanya di kelenjar
getah bening aksila. Limfadenitis antekubital atau epitroklear dapat disebabkan oleh limfoma
atau melanoma di ekstremitas, yang bermetastasis ke kelenjar getah bening ipsilateral.
4. Limfadenitis supraklavikula Limfadenitis supraklavikula mempunyai keterkaitan erat
dengan keganasan. Pada penelitian, keganasan ditemukan pada 34% dan 50% penderita.
Risiko paling tinggi ditemukan pada penderita di atas usia 40 tahun. Limfadenitis
supraklavikula kanan berhubungan dengan keganasan di mediastinum, paru, atau esofagus.
Limfadenitis supraklavikula kiri (nodus Virchow) berhubungan dengan keganasan abdominal
(lambung, kandung empedu, pankreas, testis, ovarium, prostat).
5. Limfadenitis inguinal Limfadenitis inguinal sering ditemukan dengan ukuran 1-2 cm pada
orang normal, terutama yang bekerja tanpa alas kaki. Limfadenitis reaktif yang jinak dan
infeksi merupakan penyebab tersering limfadenitis inguinal. Limfadenitis inguinal jarang
disebabkan oleh keganasan. Karsinoma sel skuamosa pada penis dan vulva, limfoma, serta
melanoma dapat disertai limfadenitis inguinal. Limfadenitis inguinal ditemukan pada 58%
penderita karsinoma penis atau uretra.
6. Limfadenitis generalisata Limfadenitis generalisata lebih sering disebabkan oleh infeksi
serius, penyakit autoimun, dan keganasan, dibandingkan dengan limfadenitis lokalisata.
Penyebab jinak pada anak adalah infeksi adenovirus. Limfadenitis generalisata dapat
disebabkan oleh leukemia, limfoma, atau penyebaran kanker padat stadium lanjut.
Limfadenitis generalisata pada penderita AIDS dapat terjadi karena tahap awal infeksi HIV,
tuberkulosis, kriptokokosis, sitomegalovirus, toksoplasmosis, dan sarkoma Kaposi. Lokasi
kelenjar getah bening daerah leher dapat dibagi menjadi 6 level. Pembagian ini berguna untuk
memperkirakan sumber keganasan primer yang mungkin bermetastasis ke kelenjar getah
bening tersebut dan tindakan diseksi leher
Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik yaitu seperti
demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak
menunjukkan gejala sistemik.
Menurut Jones dan Campbell dalam Mohapatra (2009) limfadenopati tuberkulosis perifer
dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar berbatas tegas, mobile dan diskret
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksir ke jaringan sekitar oleh karena
adanya periadenitis
3. Stdium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat pembentukan
abses
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess .
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada
stadium penyakit.

Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali, terjadi infeksi sekunder bakteri,
pembesaran kelenjar yang cepat atau koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses kelenjar limfe
dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh secara
kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan fistula terjadi pada 10% dari limfadentis TB
servikalis. Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit yang disebabkan oleh
perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh paparan langsung
terhadap basil TB. Limfadenitis mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada dewasa
limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang jarang terjadi pada
pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk disfagia, fistula
oesophagomediastinal, dan fistula tracheooesophageal. Pembengkakan kelenjar limfe
mediastinal dan abdomen atas juga dapat menyebabkan obstruksi duktus torasikus dan
chylothorax, chylous ascites ataupun chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat
pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan obstructive jaundice. Tamponade jantung
juga pernah dilaporkan terjadi akibat limfadenitis mediastinal. Pembengkakan kelenjar getah
bening yang berukuran > 2 cm biasanya disebabkan oleh M. tuberculosis. Pembengkakan yang
berukuran < 2 cm biasanya disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup
kemungkinan pembengkakan tersebut disebabkan oleh M. tuberculosis

e) Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa limfadenitis TB :

 Pemeriksaan Mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan


mikroskopis dan kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan
Ziehl- Neelsen. Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau
biopsiaspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya
basilmikobakterium pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar
perwarnaan dapat positif.
 Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis limfadenitis TB.
Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif. Hasil kultur
positif hanya pada 10-69% kasus. Berbagai media dapat digunakan seperti
Petregnani, Trudeau, Middle-brook, danBactec TB. Diperlukan waktu beberapa
minggu untuk mendapatkan hasilkultur. Pada adenitis tuberkulosa, M.tuberculosis
adalah penyebab tersering,diikuti oleh M.bovis.
 Tes Tuberkulin Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat
antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah
terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk
imunitas selular terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi
suntikan. Indurasi ini terjadi karena vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin dan
terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan
 Uji Interferon Pemeriksaan IGRA (interferon gamma release assay) didasarkan pada
adanya pelepasan sitokin inflamasi yang dihasilkan oleh sel T limfosit yang
sebelumnya telah tersensitisasi oleh antigen M. tuberculosis. Pada uji IFN-γ, limfosit
darah tepi distimulasi secara in-vitro dan kadar IFN-γ yang dihasilkan oleh sel limfosit
T yang telah tersensitisasi oleh antigen protein spesifik M. tuberculosis yaitu early
secretory antigenic target-6 (ESAT-6) dan culture filtrate protein-10 (CFP-10). Hasil
pemeriksaan ini belum dapat membedakan infeksi saja atau ada penyakit TB.4
Pemeriksaan IGRA ini memiliki spesifitas lebih tinggi daripada uji tuberkulin karena
tidak ada reaksi silang dengan vaksinasi BCG dan infeksi mikobakterium atipik. Ada 2
macam pemeriksaan IGRA, yaitu quantiferon TB gold dan T-spot-TB. Quantiferon TB-
gold mengukur jumlah IFN-γ dengan ELISA yang dinyatakan dalam pg/ml atau IU/ml.
T-spot-TB menghitung jumlah IFN-γ secreting T-cell berupa titik-titik (spot foaming
cells). Pemeriksaan IGRA belum dibuktikan hasilnya pada anak-anak.4
 Serologi Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan imunologi
antigenantibodi spesifik untuk M. tuberculosis ELISA dengan menggunakan PPD, A60,
38kDa, lipoarabinomanan (LAM) dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum,
cairan bronkus (bronkus dan bronchoalveolar lavage; BAL), cairan pleura, dan CSS
terus dilakukan. Beberapa pemeriksaan serologis yang ada: PAP TB, mycodot,
immunochromatographic test (ICT), dan lain-lain masih belum bisa membedakan
antara infeksi TB dan sakit TB. Tes serologis ini memiliki sensitivitas 19-68% dan
spesifitas 40-98%.
 Patologi Anatomi : Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang
ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit.
Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa
di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya multinucleated
giant cell (sel datia Langhans). Diagnosis histopatologi dapat ditegakkan dengan
menemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans.
Kadang dapat ditemukan juga BTA.4,6 Kendala pemeriksaan PA adalah sulitnya
didapatkan spesimen yang representatif. Spesimen yang paling mudah dan paling
sering diperiksa adalah limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar diambil secara utuh agar
gambaran histopatologi yang khas dapat terlihat. Pemeriksaan PA kelenjar limfe ini
mempunyai perancu, yaitu infeksi M. atipik dan limfadenitis BCG yang secara
histopatologi sulit dibedakan dengan TB.

f) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian,
yakni secara farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah dengan
pembedahan, sedangkan terapi farmakologis memiliki prinsip dan regimen obatnya yang
sama dengan tuberkulosis paru.
 Terapi Non Farmakologis Pembedahan bukan pilihan terapi yang utama. Prosedur
pembedahan yang dapat dilakukan adalah dengan:
a. Biopsi eksisional : Limfadenitis yang disebabkan oleh karena atypical mycobacteria
b. Aspirasi
c. Insisi dan drainase
Indikasi pembedahan pada limfadenitis adalah ketika pusat radang tuberkulosis sudah
terdiri dari pengejuan dan dikelilingi jaringan fibrosa. Adanya jaringan nekrosis akan
menghambat penetrasi antibiotik ke daerah radang sehingga pembasmian kuman
tidak efektif. Oleh karena itu sarang infeksi di berbagai organ misalnya kaverne di paru
dan debris di tulang harus dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk
hasil baik terapi medis. Selain itu tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi
penyulit, misalnya pada tuberkulosis paru yang menyebabkan destruksi luas dan
empiema, pada tuberkulosis usus yang menimbulkan obstruksi atau perforasi, dan
osteitis atau artritis tuberkulosa yang menimbulkan cacat
 Terapi Farmakologis
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2011) mengklasifikasikan limfadenitis TB
ke dalam TB ekstra paru dan mendapat terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kategori
I. Regimen obat yang digunakan adalah 2HRZE/4H3R3. Obat yang digunakan adalah
Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol.
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo Surbaya. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010.
2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pulmonologi Intervensi dan Gawat
Darurat Napas.
3. Ingbar DH. Massive hemoptysis: Assessment and Management. Clin Chest Med.
1994 ; 15 : 147.
4. Rab, T. 2010. Ilmu Penyakit \Paru. Trans Info Media. Jakarta: 157-61
5. Amaylia O. Pendekatan Diagnosis Limfadenopati. Jakarta: Cermin Dunia
Kedokteran-2009, vol 40, no. 40. 2013.
6. Fletcher RH. Evaluation of peripheral lymphadenitis in adults [Internet]. 2010 Sep
[cited 2014 June 27]. Available from: www.uptodate.com.
7. Ferrer R. Lymphadenitis: Differential diagnosis and evaluation. Am Fam Physician.
2013;58:1315.
8. Bazemore AW. Smucker DR. Lymphadenitis and malignancy. Am Fam Physician.
2012;66:2103-10.
9. Spelman D. Tuberculous lymphadenitis. 2013 Sep [cited 2014 June 27]. Available
from: www.uptodate.com.

Anda mungkin juga menyukai