OLEH :
KELOMPOK 2
RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Dicky Wahyudi
DOSEN PEMBIMBING:
dr. Nurjannah Lihawa, Sp.P
Laporan kasus dengan judul TB paru klinis kasus baru on treatment fase lanjutan kategori 1
oleh:
Pembimbing,
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. T
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tgl. Lahir : 01-12-1946 (72 tahun)
Agama : Islam
Ruang Perawatan : IC lantai 2 Laki-laki
RM : 866631
Tanggal Masuk : 19-12-2018
B. SUBJEKTIF
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan utama :Sesak Nafas
Anamnesis Terpimpin :
Pasien datang dengan keluhan sesak napas yg dirasakan sejak 1 minggu yang lalu
dan memberat sejak 1 hari terakhir. Pasien juga mengeluhkan batuk kering sejak 1
bulan terakhir. Batuk darah tidak ada. Nyeri dada tidak ada. Pasien mengeluhkan
mual muntah sejak 1 minggu yang lalu. Terdapat keringat malam tanpa aktivitas sejak
3 bulan yang lalu. Nafsu makan dan berat badan menurun. Tidak ada demam.
C. OBJEKTIF
1. Deskripsi Umum
Sakit Sedang/Gizi kurang/Compos Mentis
Tinggi badan : 160 cm Berat Badan : 46 kg
IMT =BB/TB = 46/1,6 = 17,9 kg/m2(gizi kurang)
2
2. Tanda Vital
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 100 kali/menit, regular, kuat angkat
Pernapasan : 20 kali/menit, torakoabdominal
Saturasi : 99% dengan modalitas oksigen 2L/menit
Suhu : 37oC
3. Head To Toe
Kepala
Bentuk : Normocephal
Simetris muka : Simetris kiri dan kanan
Deformitas : Tidak ada
Rambut : Hitam, lurus, sulit dicabut
Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus: (-)
Gerakan : Dalam batas normal
Kelopak mata : Edema palpebral (-/-)
Konjungtiva : Pucat (-/-)
Sklera : Ikterus (-/-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, isokor2,5mm/2,5mm
Telinga
Pendengaran : Penurunan pendengaran
Otorrhea : (-)
Pendarahan : (-)
Hidung
Perdarahan : (-)
Rhinorrea : (-)
Mulut
Bibir : Pucat (-), Kering (-)
Gigi geligi : Caries (-)
Gusi : Perdarahan gusi (-)
Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
Faring : Hiperemis (-)
Lidah : Kotor (-),tremor (-),hiperemis(-),bercak putih(-)
Leher
Kelenjar gondok : Tidak ada pembesaran
Kel. getah bening : Terdapat pembesaran di regio supraklavikular dan
submental
Kaku kuduk : Negatif
DVS : R+2 cmH2O
Tumor : Tidak ada
Nodul : Tidak ada
Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri kanan saat statis maupun dinamis
Tidak ada iga gambang
Tidak ada retraksi subcostal, intercostal, suprasternalis
Tidak ada bendungan vena sentral, venektasi, dan sela iga dalam batas
normal
Palpasi : Vokal fremitus normal simetris pada kedua hemithoraks, nyeri tekan
tidak ada, tidak teraba massa, tidak ada krepitasi
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Bunyi nafas bronkovesikuler, ronkhi pada apex paru sinistra,
wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Batas kiri atas jantung ICS II linea midclavicularis sinistra, Batas
kanan atas jantung ICS II linea parasternalis dextra, Batas bawah kiri
jantung ICS V linea midclavicularis sinistra, batas kanan bawah ICS
V linea parasternalis sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, bising jantung tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik ada, kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium(+) , massa tumor (-), hepar dan lien tidak
teraba
Perkusi : Timpani, undulasi (-)
Lain-lain : Ascites (-)
Punggung:
Palpasi : Nyeri tekan (-), Massa tumor (-)
Nyeri ketok : (-)
Gerakan : Dalam batas normal
Lain-lain : Tidak ada skoliosis
Extremitas
Edema (-)
Akral hangat
Palmar eritem (-)
Clubbing finger (-)
Alat Kelamin :Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus dan Rektum :Tidak dilakukan pemeriksaan
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Rutin (06/12/18)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
WBC 27.2 X 103 /uL 4.00 – 10.00 /uL
NEUT 22.0 % 50.0 – 70.0 %
HGB 11 g/dL 11.0 – 16.0 g/dL
HCT 33 % 37.0 – 54.0%
MCV 98 fL 80.0 – 100.0 fL
MCH 33 pg 27.0 – 34.0 pg
MCHC 34 g/dL 32.0 – 36.0 g/dL
PLT 36 x 103 /uL 100 – 300 /uL
LYMP 17.4 20.0-40.0
MONO 59.1 2.00-8.00
2. Kimia Darah (06/12/2018)
4. Radiologi (06/12/2018)
Kesan :
TB paru lama aktif lesi luas
dengan multiple cavitas
Efusi pelura sinistra
Atelektasis pulmo sinistra
F. ASSESMENT
RENCANA RENCANA
NO MASALAH SUBJEKTIF & OBJEKTIF
DIAGNOSTIK TERAPI
1. TB PARU Subjektif : Kultur MTB 2 FDC 3 tablet
KLINIS KASUS • Sesak napas / 48 Jam / Oral
BARU • Keringat malam
• Penurunan nafsu
makan
• Penurunan berat badan
• Riwayat didiagnosis
TB
• Riwayat minum OAT
selama 3 bulan
Objektif :
Suhu: 36.3 °C
Thorax
Auskultasi: bronkovesikular,
ronkhi pada kedua
hemithoraks
Wbc : 35.4 . 103/uL
Hasil pemeriksaan sputum
BTA 3x : negative
Pemeriksaan Radiologi : TB
paru lama aktif lesi luas
DISKUSI KASUS
1. TUBERKULOSIS
a. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex
b. Epidemiologi
Berdasarkan WHO pada tahun 2015, prevalensinya mencapai 9,6 juta orang dengan
kematian mencapai 1,5 juta jiwa dengan angka kematian 320 ribu jiwa diantaranya
meninggal dengan positif HIV. Adapun 3 negara dengan angka kejadian TB tertinggi
di dunia adalah India, Indonesia, dan China. Sedangkan di Indonesia tahun 2015
ditemukan sebanyak 330.910 kasus
c. Klasifikasi
Tahapan Pengobatan TB: Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap
lanjutan dengan maksud:
1) Tahap Awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan
meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien
mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama
2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama. 2) Tahap Lanjutan:
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh,
khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan
Catatan: Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia dapat
diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu) dengan
mengacu pada dosis terapi yang telah direkomendasikan (Tabel 3 Dosis rekomendasi OAT Lini
Pertama untuk pasien Dewasa). Penyediaan OAT dengan dosis harian saat ini sedang dalam
proses pengadaan oleh Program TB Nasional.
2.LIMFADENITIS TB
a) Pengertian
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening, sedangkan
limfadenitis tuberculosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening
yang disebabkan oleh basil tuberculosis. Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di
leher disebut dengan scrofula. Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya
paling sering terjadi. Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan
kelenjar. Infeksi M. tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberculosis
ke kulit dari struktur dasarnya atau terpajan langsung melalui kontak dengan M. tuberculosis
yang disebut dengan scrofuloderma.
b) Etiologi
c) Pathogenesis
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan Tb
ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer dan TB
pulmoner post-primer (sekunder). Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain
paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi
oleh basil tuberkulosis adalah kelanjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, menigens,
peritoneum, dan pericardium.
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis. Basil
TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit
oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit
oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam
makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum,
bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen
menuju kelenjar limfe regional di hilus, di mana penyebaran basil TB tersebut akan
menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe
regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, dalam waktu 3-4 minggu
setelah ineksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi
penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu
focus primer yang disebut focus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfnagitis dan
limfadenitis regional disebut dengan komplek Ghon. Terbentuknya focus Ghon
mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, focus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah
terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, focus Ghon merupakan suatu
lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan
hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki imunitas seluler,
hal ini disebut dengan TB-post primer. Adanya imunitas seluler akan mebatasi peneybaran
basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa).
Sama seperti pada Tb primer, basic TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui
aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ. Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan
paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru. Basil
TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di
mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan di bawa ke tonsil, selanjutnya
akan di bawa ke kelenjar limfe di leher
d) Gejala klinis
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner. Limfadenitis TB
juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien biasanya datang
dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Pada pasien limfadenitis TB
dengan HIV-negatif, limfadenopati leher terisolasi adalah manifestasi yang paling sering
dijumpai yaitu sekitar 2/3 pasien. Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah
satu diagnosis banding dari pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang
endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa
bulan.
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian diikuti
berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesenterikus, portal hepatikus,
perihepatik dan kelenjar inguinalis
Lokasi limfadenitis meliputi:
1. Limfadenitis daerah kepala dan leher Kelenjar getah bening servikal teraba pada sebagian
besar anak, tetapi ditemukan juga pada 56% orang dewasa. Penyebab utama limfadenopati
servikal adalah infeksi; pada anak, umumnya berupa infeksi virus akut yang swasirna.
Pada infeksi mikobakterium atipikal, cat-scratch disease, toksoplasmosis, limfadenitis Kikuchi,
sarkoidosis, dan penyakit Kawasaki, limfadenitis dapat berlangsung selama beberapa bulan.
Limfadenitis supraklavikula kemungkinan besar (54%-85%) disebabkan oleh keganasan.3
Kelenjar getah bening servikal yang mengalami inflamasi dalam beberapa hari, kemudian
berfluktuasi (terutama pada anak-anak) khas untuk limfadenitis akibat infeksi stafilokokus dan
streptokokus. Kelenjar getah bening servikal yang berfluktuasi dalam beberapa minggu
sampai beberapa bulan tanpa tanda-tanda inflamasi atau nyeri yang signifikan merupakan
petunjuk infeksi mikobakterium, mikobakterium atipikal atau Bartonella henselae (penyebab
cat scratch disease). Kelenjar getah bening servikal yang keras, terutama pada orang usia
lanjut dan perokok menunjukkan metastasis keganasan kepala dan leher (orofaring,
nasofaring, laring, tiroid, dan esofagus).1 Limfadenitis servikal merupakan manifestasi
limfadenitis tuberkulosa yang paling sering (63-77% kasus), disebut skrofula. Kelainan ini
dapat juga disebabkan oleh mikobakterium nontuberkulosa.
2. Limfadenitis epitroklear Terabanya kelenjar getah bening epitroklear selalu patologis.
Penyebabnya meliputi infeksi di lengan bawah atau tangan, limfoma, sarkoidosis, tularemia,
dan sifilis sekunder.
3. Limfadenitis aksila Sebagian besar limfadenitis aksila disebabkan oleh infeksi atau jejas
pada ekstremitas atas. Adenokarsinoma payudara sering bermetastasis ke kelenjar getah
bening aksila anterior dan sentral yang dapat teraba sebelum ditemukannya tumor primer.
Limfoma jarang bermanifestasi sejak awal atau, kalaupun bermanifestasi, hanya di kelenjar
getah bening aksila. Limfadenitis antekubital atau epitroklear dapat disebabkan oleh limfoma
atau melanoma di ekstremitas, yang bermetastasis ke kelenjar getah bening ipsilateral.
4. Limfadenitis supraklavikula Limfadenitis supraklavikula mempunyai keterkaitan erat
dengan keganasan. Pada penelitian, keganasan ditemukan pada 34% dan 50% penderita.
Risiko paling tinggi ditemukan pada penderita di atas usia 40 tahun. Limfadenitis
supraklavikula kanan berhubungan dengan keganasan di mediastinum, paru, atau esofagus.
Limfadenitis supraklavikula kiri (nodus Virchow) berhubungan dengan keganasan abdominal
(lambung, kandung empedu, pankreas, testis, ovarium, prostat).
5. Limfadenitis inguinal Limfadenitis inguinal sering ditemukan dengan ukuran 1-2 cm pada
orang normal, terutama yang bekerja tanpa alas kaki. Limfadenitis reaktif yang jinak dan
infeksi merupakan penyebab tersering limfadenitis inguinal. Limfadenitis inguinal jarang
disebabkan oleh keganasan. Karsinoma sel skuamosa pada penis dan vulva, limfoma, serta
melanoma dapat disertai limfadenitis inguinal. Limfadenitis inguinal ditemukan pada 58%
penderita karsinoma penis atau uretra.
6. Limfadenitis generalisata Limfadenitis generalisata lebih sering disebabkan oleh infeksi
serius, penyakit autoimun, dan keganasan, dibandingkan dengan limfadenitis lokalisata.
Penyebab jinak pada anak adalah infeksi adenovirus. Limfadenitis generalisata dapat
disebabkan oleh leukemia, limfoma, atau penyebaran kanker padat stadium lanjut.
Limfadenitis generalisata pada penderita AIDS dapat terjadi karena tahap awal infeksi HIV,
tuberkulosis, kriptokokosis, sitomegalovirus, toksoplasmosis, dan sarkoma Kaposi. Lokasi
kelenjar getah bening daerah leher dapat dibagi menjadi 6 level. Pembagian ini berguna untuk
memperkirakan sumber keganasan primer yang mungkin bermetastasis ke kelenjar getah
bening tersebut dan tindakan diseksi leher
Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik yaitu seperti
demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak
menunjukkan gejala sistemik.
Menurut Jones dan Campbell dalam Mohapatra (2009) limfadenopati tuberkulosis perifer
dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar berbatas tegas, mobile dan diskret
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksir ke jaringan sekitar oleh karena
adanya periadenitis
3. Stdium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat pembentukan
abses
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess .
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada
stadium penyakit.
Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali, terjadi infeksi sekunder bakteri,
pembesaran kelenjar yang cepat atau koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses kelenjar limfe
dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh secara
kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan fistula terjadi pada 10% dari limfadentis TB
servikalis. Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit yang disebabkan oleh
perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh paparan langsung
terhadap basil TB. Limfadenitis mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada dewasa
limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang jarang terjadi pada
pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk disfagia, fistula
oesophagomediastinal, dan fistula tracheooesophageal. Pembengkakan kelenjar limfe
mediastinal dan abdomen atas juga dapat menyebabkan obstruksi duktus torasikus dan
chylothorax, chylous ascites ataupun chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat
pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan obstructive jaundice. Tamponade jantung
juga pernah dilaporkan terjadi akibat limfadenitis mediastinal. Pembengkakan kelenjar getah
bening yang berukuran > 2 cm biasanya disebabkan oleh M. tuberculosis. Pembengkakan yang
berukuran < 2 cm biasanya disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup
kemungkinan pembengkakan tersebut disebabkan oleh M. tuberculosis
e) Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa limfadenitis TB :
f) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian,
yakni secara farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah dengan
pembedahan, sedangkan terapi farmakologis memiliki prinsip dan regimen obatnya yang
sama dengan tuberkulosis paru.
Terapi Non Farmakologis Pembedahan bukan pilihan terapi yang utama. Prosedur
pembedahan yang dapat dilakukan adalah dengan:
a. Biopsi eksisional : Limfadenitis yang disebabkan oleh karena atypical mycobacteria
b. Aspirasi
c. Insisi dan drainase
Indikasi pembedahan pada limfadenitis adalah ketika pusat radang tuberkulosis sudah
terdiri dari pengejuan dan dikelilingi jaringan fibrosa. Adanya jaringan nekrosis akan
menghambat penetrasi antibiotik ke daerah radang sehingga pembasmian kuman
tidak efektif. Oleh karena itu sarang infeksi di berbagai organ misalnya kaverne di paru
dan debris di tulang harus dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk
hasil baik terapi medis. Selain itu tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi
penyulit, misalnya pada tuberkulosis paru yang menyebabkan destruksi luas dan
empiema, pada tuberkulosis usus yang menimbulkan obstruksi atau perforasi, dan
osteitis atau artritis tuberkulosa yang menimbulkan cacat
Terapi Farmakologis
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2011) mengklasifikasikan limfadenitis TB
ke dalam TB ekstra paru dan mendapat terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kategori
I. Regimen obat yang digunakan adalah 2HRZE/4H3R3. Obat yang digunakan adalah
Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol.
DAFTAR PUSTAKA