Disusun oleh :
Preseptor:
SUMATERA BARAT
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena dengan nikmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan portofolio kegawatdaruratan yang berjudul “Acute Lung Oedema”
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program Internship Dokter Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Andriyani Putri sebagai pembimbing yang
telah membantu dan memberikan masukan dalam penyusunan portofolio ini.
Penulis menyadari bahwa Portofolio ini masih belum sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran sangat diperlukan untuk kesempurnaan Portofolio ini. Akhir kata, penulis berharap
semoga pembuatan Portofolio ini bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan terutama bagi
penulis sendiri dan bagi para pembaca.
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUA
N
penduduk. 4,5 Edema paru pertama kali terdeteksi di Indonesia pada tahun 1971.
Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan
meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia, insiden
tersebar sejak tahun 1998 dengan incidence rate (IR) = 35,19 per 100.000
penduduk dan CFR = 2%, tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun
pada tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 % (tahun 2000),
Penulisan portofolio ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis tentang acute
lung oedema.
Penulisan portofolio ini menggunakan metode tinjauan pustaka dan laporan kasus
2.1 Definisi
Edema paru adalah suatu keadaan dimana terjadi perpindahan cairan dari
vaskular paru ke interstisial dan alveoli paru. Pada edema paru terjadi penimbunan
cairan serosa atau serosanguinosa secara berlebihan di dalam ruang interstisial dan
alveoli paru. Edema paru dibagi dua yaitu edema paru kardiogenik (peningkatan
tekanan intravaskular) dan edema paru non kardiogenik (peningkatan
permeabilitas kapiler paru).4 Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana
cairan intravaskuler keluar ke ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan
alveoli yang terjadi secara akut. Pada keadaan normal cairan intravaskuler
merembes ke jaringan interstisial melalui kapiler endotelium dalam jumlah yang
sedikit sekali, kemudian cairan ini akan mengalir ke pembuluh limfe menuju ke
vena pulmonalis untuk kembali ke dalam sirkulasi. Pengetahuan dan penanganan
yang tepat pada edema paru akut dapat menyelamatkan jiwa penderita.
Penanganan yang rasional harus berdasarkan penyebab dan patofisiologi yang
terjadi.8
2.2 Epidemiologi
Penderita edema paru di seluruh dunia adalah 74,4 juta. Di Inggris terdapat
sekitar 2,1 juta penderita edema paru yang memerlukan pengobatan dan
pengawasan secara komprehensif, sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan 5,5
juta penduduk menderita edema paru dan data di Jerman menunjukkan penderita
edema paru sebanyak 6 juta penduduk.6
Edema paru pertama kali terdeteksi di Indonesia pada tahun 1971. Sejak
pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat
baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia, insiden tersebar sejak
tahun 1998 dengan incidence rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR =
2%, tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun pada tahun-tahun
berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 % (tahun 2000), 19,24 % (tahun
2002), dan 23,87 % (tahun 2003).6,8 Edema paru kardiogenik akut (Acute
cardiogenic pulmonary edema/ACPE) sering terjadi, dan berdampak merugikan
dan mematikan dengan tingkat kematian 10-20%.8 Angka kematian edema paru
akut karena infark miokard akut mencapai 38 – 57% sedangkan karena gagal
2.3 Etiologi
1. Edema Paru non Kardiogenik
Edema paru non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari
pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan alveolus
paru-paru yang diakibatkan selain kelainan pada jantung. Walaupun edema paru
dapat berbeda-beda derajatnya, bagaimanapun dalam tingkatnya yang paling
ringan sekalipun tetap merupakan temuan yang menakutkan. Terjadinya edema
paru seperti di atas dapat diakibatkan oleh berbagai sebab,. Beberapa penyebab
edeme paru non kardiogenik.8
a.Peningkatkan permeabilitas kapiler paru (ARDS)
Edema paru biasanya disebabkan peningkatan tekanan pembuluh kapiler
paru dan akibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat
peningkatan permeabilitas kapiler paru sering juga disebut acute respiratory
distress syndrome (ARDS). Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara
tekanan onkotik (osmotik) dan hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli.
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada gagal jantung menyebabkan edema
paru. Sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang menyebabkan
volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik
atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga terjadi edema
paru.8
Pada tahap awal terjadinya edema paru terdapat peningkatan kandungan
cairan di jaringan interstisial antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru akibat
peningkatan permeabilitas kapiler paru dipikirkan bahwa kaskade inflamasi
timbul beberapa jam kemudian yang berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan
tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan melekat pada sel endotel
yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan
mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks
ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dan hasilnya
adalah kerusakan endotel yang berakibat Secara langsung. peningkatan
permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang
kaya protein dan banyak mengandung neutrofil dan sel inflamasi sehingga
terbentuk membran hialin. Karakteristik edema paru akibat peningkatan
permeabilitas kapiler paru adalah tidak adanya peningkatan tekanan pulmonal
(hipertensi pulmonal). Kondisi medis maupun surgikal yang berhubungan dengan
edema paru akibat kerusakan membran antara kapiler dan alveolar adalah Aspirasi
cairan lambung , Tenggelam (near drowning), Pneumonia, Emboli lemak, Inhalasi
bahan kimia toksik, Pankreatitis.8
b. Sindroma Kongesti Vena
Peningkatan tekanan kapiler paru dan edema paru dapat terjadi pada
penderita dengan kelebihan cairan intravaskular dengan ukuran jantung normal.
Ekspansi volume intravaskular tidak perlu terlalu besar untuk terjadinya kongesti
vena, karena vasokontriksi sistemik dapat menyebabkan pergeseran volume darah
ke dalam sirkulasi sentral. Sindrom ini sering terjadi pada penderita yang
mendapat cairan kristaloid atau darah intravena dalam jumlah besar, terutama
pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, ataupun karena gagal ginjal itu
sendiri. (terjadi retensi air). Pemberian kortikosteroid menyebabkan gangguan
kongesti vena lebih lanjut. Sindrom kongesti vena (fluidoverload) ini sering
terjadi pada penderita dengan trauma yang luas, yang mendapat cairan dalam
jumlah besar untuk menopang sirkulasi. Pada fase penyembuhan, terjadilah edema
paru. Keadaan ini sering dikacaukan dengan gagal jantung kiri atau ARDS (acute
respiratory distress syndrome).8
c. Penurunan tekanan onkotik plasma
Edem Paru Karena Sindrom Nefrotik
Mekanisme terbentuknya edema sangat kompleks, diantaranya:10
1) Penurunan tekanan koloid osmotik plasma akibat penurunan
konsentrasi albumin serum; bertanggungjawab terhadap pergeseran
cairan ekstraselular dari kompartemen intra-vaskular ke dalam
interstisial dengan timbulnya edema dan penurunan volume
intravaskular.
2) Penurunan nyata eksresi natrium kemih akibat peningkatan
reabsorpsi tubular. Mekanisme meningkatnya reabsorpsi natrium
tidak dimengerti
secara lengkap, tetapi pada prinsipnya terjadi akibat penurunan volume
intravaskular dan tekanan koloid osmotik. Terdapat peningkatan ekskresi
renin dan sekresi aldosteron.
3) Retensi air, penurunan tekanan koloid osmotik plasma dan retensi
seluruh natrium yang dikonsumsi saja tidaklah cukup untuk
berkembangnya edema pada sindrom nefrotik,untuk timbulnya
edema harus ada retensi air.
d. Edem Paru Neurogenik
Keadaan ini terjadi pada penderita yang mengalami trauma kepala, kejang-
kejang, atau peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak. Diduga dasar
mekanisme edema paru neurogenik adalah adanya rangsangan hipotalamus akibat
penyebab di atas yang menyebabkan rangsangan pada sistem adrenergik, yang
kemudian menyebabkan pergeseran volume darah dari sirkulasi sistemik ke
sirkulasi pulmonal dan penurunan “compliance” ventrikel kiri. Akibatnya terjadi
penurunan pengisian ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri meningkat maka
terjadilah edema paru. Mekanisme neurogenik mungkin dapat menjelaskan
terjadinya edema paru pada penderita pemakai heroin.10.11
e. Edem Paru Karena Ketinggian Tempat
Penyakit ini secara khas menyerang orang-orang muda yang berada pada
ketinggian di atas 2700 meter (9000 kaki). Penyebab keadaan ini tidak diketahui,
diduga mekanismenya adalah hipoksia karena ketinggian menyebabkan
vasokontriksi arteriole paru dan kegiatan yang berlebih (exercise) merangsang
peningkatan kardiak output dan peningkatan tekanan arteri pulmonal, akibatnya
terjadilah edema paru.6,11,12
Gejala-gejala yang paling sering ditemukan adalah batuk, napas pendek,
muntah-muntah dan perasaan nyeri dada. Gejala-gejala tersebut terjadi dalam 6 –
36 jam setelah tiba di tempat yang tinggi. Tidak semua orang menderita penyakit
ini, bahkan orang-orang yang terkena penyakit ini pun tidak mendapatkan gejala-
gejala setiap kali terkena pengaruh tempat tinggi itu. Kesembuhan dapat terjadi
dalam waktu 48 jam serta selanjutnya penderita dapat tetap bertempat tinggal di
tempat tinggi tanpa gejala-gejala.11,12
f. Peningkatan negativitas dari tekanan interstitial
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural.
Kedaaan yang sering menjadi etiologi adalah:6
1) perpindahan yang cepat pada pengobatan pneumothoraks dengan tekanan
negatif yang besar. Keadaan ini disebut „edema paru re-ekspansi‟. Edema
biasanya terjadi unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran
radiologis dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus
yang menjadikan „edema paru re-ekspansi‟ ini berat dan membutuhkan
tatalaksana yang cepat dan ekstensif.
2) tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan nafas akut dan
peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma bronkhial).
2. Edema paru Kardiogenik
Edem paru kardiogenik atau edem volume overload terjadi karena
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Peningkatan tekanan hidrostatik di
kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena
pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan
atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18-25 mmHg) menyebabkan
edema di perimikrovaskuler dan ruang interstisial peribronkovaskular. Jika
tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edem akan
kapiler paru.13
f. Cairan Berlebih Ventrikel Kiri
Cairan berlebih dapat terjadi pada keadaan kardiak maupun non-kardiak.
Kondisi kardiak dapat disebabkan karena rupturnya septum ventrikel, insufisiensi
aorta akut maupun kronik, dan regurgitasi mitral akut maupun kronik.
Endokarditis, disseksi aorta, ruptur trauma, rupturnya fenestrasi katup kongenital,
dan penyebab iatrogenic merupakan etiologi penting terjadinya regurgitasi akut
aorta yang nantinya dapat menyebabkan edema paru. Ruptur septum ventrikel,
insufisiensi aorta, dan regurgitasi mitral dapat menyebabkan peningkatan tekanan
akhir diastolic ventrikel kiri dan peningkatan tekanan atrium kiri, dan dapat
menjadi penyebab terjadinya edema paru. Obstruksi aliran ventrikel kiri, seperti
pada kasus stenosis aorta, dapat menyebabkan peningkatan tekanan pengisian
akhir diastolic, penignkatan tekanan atrium kiri, dan akhirnya terdapat
peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan retensi sodium dapat terjadi pada
kasus disfungsi sistolik ventrikel kiri. Namun, dalam kondisi tertentu, seperti pada
penyakit ginjal primer, retensi sodium, dan kelebihan cairan dapat memainkan
peran utama terjadinya edema paru. Edema paru kardiogenik dapat pula terjadi
2.4 Patofisiologi
Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi aliran yang kontinyu dari
cairan dan protein intravaskular ke jaringan interstisial dan kembali ke sistem
aliran darah melalui saluran limfa yang memenuhi hukum Starling.14,15,16
Q(iv-int)=Kf[(Piv-Pint) – df(Iiv-Iint)]
Cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui celah kecil
antara sel endotel kapiler ke ruang interstitial sesuai dengan selisih antara tekanan
hidrostatik dan osmotik protein, serta permeabilitas membran kapiler. Cairan dan
solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar intertisial pada keadaan normal
tidak dapat masuk ke ruang alveolar, hal ini disebabkan oleh epitel alveolus yang
terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairan memasuki ruang
intertisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang
kemudian dikembalikan oleh sistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein
plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan
untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan
hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan onkotik
protein.17
Edema paru terjadi bila cairan yang difiltrasi oleh dinding mikrovaskuler
lebih banyak daripada yang bisa dikeluarkan yang berakibat alveoli penuh terisi
cairan sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran gas. Faktor-faktor
penentu yang berperan yaitu perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam
lumen kapiler dan interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, larutan,
dan molekul besar seperti protein plasma. Adanya ketidakseimbangan dari satu
atau lebih dari faktor-faktor diatas akan menimbulkan terjadinya edema paru. 16
Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru16:
1. Membran kapiler alveoli
Edem paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari pembuluh darah
ke ruang interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke
dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam
keadaan normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari pembuluh
darah ke ruangan interstisial.
2. Sistem Limfatik
Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan
cairan balik dari pembuluh darah, akibat tekanan yang lebih negatif di daerah
interstisial peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari
interstisium alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini
ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila
kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi
edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat
kapasitas sistem limfe kira-kira 20 ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas
sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-
rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan
mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat
kapiler dalam jumlah yang lebih besar yang dapat mencegah terjadinya edem.
Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema interstisial, saluran nafas yang
kecil dan pembuluh darah akan terkompresi.
Pada edema paru kardiogenik (volume overload edema) terjadinya
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan
filtrasi cairan transvaskular. Bila tekanan interstisial paru lebih besar daripada
tekanan intrapleural maka cairan bergerak menuju pleura viseral yang
menyebabkan efusi pleura. Bila permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka
cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein rendah.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru biasanya disebabkan oleh
meningkatnya tekanan di vena pulmonalis yang terjadi akibat meningkatnya
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri (>25 mmHg). Dalam
keadaan normal tekanan kapiler paru berkisar 8-12 mmHg dan tekanan osmotik
Keluarnya cairan edema dari alveoli paru tergantung pada transpor aktif
ion Na+ dan Cl- melintasi barier epitel yang terdapat pada membran apikal sel
epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran napas distal. Ion Na+ secara aktif
ditranspor keluar ke ruang insterstisial oleh kerja Na/K-ATPase yang terletak pada
membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan melalui
aquaporins yang merupakan saluran air pada sel tipe I.19
Edema paru kardiogenik dapat terjadi akibat dekompensasi akut pada
gagal jantung kronik maupun akibat gagal jantung akut pada infark miokard
dimana terjadinya bendungan dan peningkatan tekanan di jantung dan paru akibat
2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Tabel 2.1 Perbedaan Edem Paru Kardiogenik dan Edem Paru Non Kardiogenik
Edem Paru Kardiogenik Edem Paru Non Kardiogenik
Penyebab umum edema paru Anamnesis Edema paru non
kardiogenik meliputi iskemia kardiogenik dikaitkan
dengan atau tanpa infark terutama dengan gangguan
miokard, eksaserbasi jantung klinis lainnya, termasuk
sistolik atau gagal jantung pneumonia, sepsis,
diastolik, dan disfungsi katup aspirasi isi lambung, dan
mitral atau aorta. Volume trauma besar yang terkait
berlebih juga harus dengan pemberian
dipertimbangkan. berbagai transfusi produk
Riwayat khas dispnea nokturnal darah.
paroksismal atau ortopnea Anamnesis riwayat harus
menunjukkan edema paru berfokus pada tanda dan
kardiogenik. gejala infeksi, penurunan
Namun, silent infark miokard tingkat kesadaran yang
atau disfungsi diastolik occult berhubungan dengan
juga dapat bermanifestasi muntah, trauma, dan
sebagai akut edema paru. perincian obat-obatan dan
konsumsi.
Namun, riwayat tersebut tidak selalu dapat diandalkan dalam membedakan edema
paru kardiogenik dan nonkardiogenik. Misalnya, infark miokard akut (menunjukkan
edema kardiogenik) mungkin disulitkan oleh adanya sinkop atau henti jantung dengan
aspirasi isi lambung dan edema nonkardiogenik. Sebaliknya, pada pasien dengan
trauma parah atau infeksi (menunjukkan edema nonkardiogenik), resusitasi cairan
dapat menyebabkan volume berlebih dan edema paru akibat peningkatan tekanan
hidrostatik vaskular paru.
b. Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik pada pasien dengan CPE sering dengan adanya takipnea
dan takikardia. Pasien mungkin duduk tegak, mereka menunjukkan tanda
kebutuhan udara yang banyak, gelisah dan bingung. Pasien biasanya terlihat
cemas dan diaforesis.
Hipertensi sering ada, karena keadaan yang hiperadrenergik. Hipotensi
menunjukkan disfungsi sistolik left ventricle (LV) parah dan kemungkinan
syok kardiogenik. Ekstremitas dingin dapat menunjukkan curah jantung yang
rendah dan perfusi yang buruk.
Auskultasi paru-paru biasanya menunjukkan fine, crepitant rales, tetapi
ronki atau wheezing juga ada. Rales biasanya didengar di basis terlebih
dahulu; dan ketika kondisinya memburuk, akan berkembang ke apeks.
Temuan kardiovaskular biasanya terutama pada S3, aksentuasi
komponen pulmonal S2, dan distensi vena jugularis. Auskultasi murmur
dapat membantu dalam diagnosis gangguan katup akut yang bermanifestasi
dengan edema paru.
Stenosis aorta dikaitkan dengan murmur sistolik crescendo-
decrescendo yang keras, yang terdengar paling baik di batas sternum atas dan
menjalar ke arteri karotis. Sebaliknya, regurgitasi aorta akut dikaitkan dengan
murmur diastolik pendek dan lembut.
Regurgitasi mitral akut menghasilkan murmur sistolik keras yang
terdengar paling baik di apeks atau batas sternum bawah. Regugirgitasi
d. Pemeriksaan Eletrokardiografi
2.6 Tatalaksana
Edema paru kardiogenik merupakan salah satu kegawatan medis yang
perlu penanganan secepat mungkin setelah ditegakkan diagnosis.18
Penatalaksanaan utama meliputi pengobatan suportif yang ditujukan terutama
untuk mempertahankan fungsi paru (seperti pertukaran gas, perfusi organ),
sedangkan penyebab utama juga harus diselidiki dan diobati sesegera mungkin
bila memungkinkan.22,26
Prinsip penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat, retriksi
Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan preload
Nitrogliserin (NTG) dapat menurunkan preload secara efektif, cepat, dan
efeknya dapat diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena diawali dengan dosis
rendah (20 g/menit) dan kemudian dinaikkan secara bertahap (dosis maksimal
200 g/menit).22,26
Loop diuretics (furosemide) dapat menurunkan preload melalui 2
mekanimse yaitu : diuresis dan venodilatasi. Dosis furosemide dapat diberikan per
oral 20-40 mg/hari pada keadaan yang ringan hingga 5-40 mg/jam secara infus
g/kg/menit.22,26
pernapasan.32
2. Tindakan kedua
Jika respon pasien baik setelah mendapatkan tindakan pertama, maka
tidak diperlukan pemeriksaan tambahan karena menurun tingkat
kegawatannya khususnya bila normotensi. Dilanjutkan pemberian
nitrogliserin IV 10-20 µg/menit dengan tetap memantau tekanan darah.
nitroprusside IV 0,5-5 µg/kgBB/menit diberikan bila edema paru disertai
tekanan darah yang tinggi.
Dopamine 2-20 µg/kgBB/menit IV bila TD 70-100 mmHg dengan syok.
Dobutamin 2-20 µg/kgBB/menit IV bila hipotensi tanpa syok.32
3. Tindakan ketiga
Dipersiapkan bila tindakan pertama dan kedua tidak memberi hasil yang
memadai atau terdapat komplikasi spesifik.
Perlu dilakukan monitor hemodinamik invasive dengan fasilitas
spesialistik.
kardiogenik.2
2.8 Prognosis
Prognosis edem paru akut tergantung dari penyakit yang
mendasari terjadinya edem paru akut tersebut. Lebih dari 50% kasus edem
paru akut kardiovaskular sebelumnya seperti kardiomiopati, LVEF,
sistolik tekanan darah, kreatinin serum saat presentasi, dan penggunaan
diuretik merupakan faktor prognostik terhadap hasil pengobatan pasien
edem paru akut. Prognosis edem paru akut sangat berkaitan dengan
kejadian LVEF dan tekanan darah sistolik pada saat pasien masuk. Selain
dari LVEF dan tekanan darah sistol, gangguan fungsi ginjal juga termasuk
ke dalam parameter penentu prognosis dari kejadian edem paru akut pada
pasien, dimana hasil kreatinin serum ≥ 1,4 mg/dL termasuk meningkatkan
angka mortalitas pada pasien. Riwayat penyakit kardiovaskuler pada
pasien dapat meningkatkan lima kali resiko kematian pada pasien,
kejadian kardiomiopati meningkatkan dua kali risiko kematian, dan edem
paru akut pada diagnosis sekunder akan meningkatkan empat kali risiko
LAPORAN KASUS
Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 68 tahun di bagian Penyakit Dalam RSUD
Arosuka sejak tanggal 09 Maret 2021 dengan:
ANAMNESIS
Keluhan Utama : (Alloanamnesis)
Sesak nafas meningkat sejak 3 hari sejak masuk rumah sakit.
Sesak nafas dipengaruhi aktivitas, sesak tidak dipengaruhi makanan dan cuaca. DOE (+),
PND (+), OP (+). Awalnya sesak meningkat saat pasien berbaring dan berkurang saat
Demam (+), sejak 3 hari yang lalu, tidak tinggi dan tidak menggigil.
Batuk sejak 5 hari yang lalu, batuk berdahak berwarna kuning keruh, batuk darah (-).
Buang air besar jumlah biasa, konsistensi biasa, berdarah tidak ada, berlendir tidak ada,
Buang air kecil jumlah dan warna biasa, berdarah tidak ada, berpasir tidak ada, nyeri BAK
tidak ada.
27
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat penyakit jantung (CHF + ASHD + HHD) mendapat terapi conco, spironolakton,
furosemid, CPG, lansoprazol dan nitrokaf
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, pasien tidak merokok dan tidak
mengkonsumsi alkohol.
Status Generalis
Kesadaran : apatis
Suhu : 36.5 oC
BB : 60 kg
28
TB : 163 cm
Saturasi : 88%
Edema : Ada
Pemeriksaan fisik
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera tidak ikterik, eksoftalmus tidak ada
Dada : Normochest
saat dinamis
Abdomen
Perkusi : timpani
Punggung : nyeri ketok CVA tidak ada, nyeri tekan sudut Murphy tidak
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, refleks fisiologis ++/++, refleks patologis
Pemeriksaan Laboratorium
Neutrofil/Limfosit : 79/9
ALC/NLR : 700/8.77
GDR : 112
Ur/Cr : 41/1.1
Na/K/Cl : 130/5.1/95
EKG
Kesan : Kardiomegali, BP
- Atrial Fibrilasi
- Bronchopneumonia
Diagnosis Banding :-
Terapi :
IGD
- O2 Nasal kannul 4 lpm --> SaO2 98%
- Inj. Furosemid 40 mg
- Pasang catheter
- Nebu Combivent 1x
- Bedrest
- Diet MB DRJG
- NTG IV protap 100. Setelah 2 jam protap NTG, TDS >120 mmHg --> Ramipril 1 x 2.5
mg
Jika setelah 2 jam HR >130 x/menit selama 15 menit, bolus ulang 5 cc lagi. Cek EKG
Jika setelah bolus digoxin pertama, HR <130 x/menit --> EKG ulang 4 jam setelah bolus
- Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr
- Inj Ranitidine 2 x 50 mg
- Azitromisin 1 x 500 mg
- Balance cairan
Prognosis
Catatan:
Pasien meninggal setelah 2 hari rawatan di ICU RSUD Arosuka
BAB IV
DISKUSI
Pasien perempuan usia 68 tahun datang ke RSUD Arosuka dengan keluhan sesak
yang semakin meningkat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan ini sudah
dirasakan sejak 5 hari yang lalu, sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan makanan
dipengaruhi oleh aktivitas. Pasien juga mengeluhkan demam sejak 3 hari yang lalu,
demam tidak tinggi. Pasien mengeluhkan batuk berdahak sejak 3 hari yang lalu, dahak
berwarna kuning keruh. Pasien tidak mempunyai keluhan terkait dengan BAB dan BAK.
Nafsu makan pasien baik dan pasien tidak mengeluhkan adanya penurunan berat badan.
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit berat, kesadaran soporous, TD 123/94
mmHg, nadi 129 x/menit, suhu 36.5, nafas 35x/menit, konjungtiva tidak, sklera tidak
Pada pemeriksaan fisik toraks terlihat bentuk dada normal, pergerakan dada
simetris (statis dan dinamis). Pemeriksaan paru ditemukan inspeksi, palpasi, dan perkusi
dalam batas normal, tetapi pada pemeriksaan auskultasi didapatkan adanya rhonki basah
halus di kedua lapangan paru. Pada pemeriksaan fisik jantung ditemukan iktus kordis
tidak terlihat, palpasi : teraba di 2 jari lateral LMCS RIC VI. Perkusi : ditemukan batas
jantung kanan di LSD, batas jantung atas di RIC 2 dan batas jantung kiri di 2 jari lateral
LMCS RIC VI. Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-).
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hasil abdomen tidak tampak membuncit,
hepar dan lien tidak teraba. Saat perkusi terdengar timpani dan auskultasi bising usus
normal. Pada pemeriksaan punggung tidak didapatkan kelainan. Alat kelamin dan anus
tidak diperiksa. Pada ekstremitas terdapat udem kedua tungkai.
Pada hasil pemeriksaan EKG didapat gambaran atrial fibrilasi, hal ini menjadi
serta terjadinya keadaan edem paru kardiogenik.Selain itu, didapatkan juga gambaran
iskemik. Pasien juga mempunyai riwayat infark miokardial. Infark miokard dapat
menjadi salah satu penyebab edema paru kardiogenik, oleh beberapa sebab. Salah
satunya adalah komplikasi mekanis dari infark miokardial, yaitu rupturnya septum
ventrikel atau otot papilar. Komplikasi mekanis ini secara langsung akan meningkatkan
volume load pada serangan akut, yang nantinya akan menimbulkan terjadinya edema
paru.
ALC, sehingga ini menandakan keadaan infeksi pada pasien. Penyebabnya bisa bakteri
ataupun virus. Dalam keadaan pandemi, kita patut mencurigai penyebabnya adalah virus
corona. Hal ini dapat memperberat keadaan pasien ALO. Pasien didiagnosis dengan
ALO karena sesak akut yang dialami pasien disertai sesak yang bertambah ketika
berbaring dan saturasi oksigen yang rendah. Pada pasien diberi terapi berupa bedrest dan
pemberian Furosemid serta ISDN sebagai tatalaksana awal ALO. Pasien juga diberi
NTG untuk mengatasi kondisi ALO. Selain itu, pasien diberikan digoxin untuk
17. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan
Sepsis VAP. Anestesia & Critical Care. Vol 28 No.
18. Ware LB, Matthay MA. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med.
2005. 353: 2788-2796.
38
2005;23:1105-25
23. Ware LB, Matthay MA. Acute pulmonary edema. N Engl J Med.
2005;353:2788-96.
27. Harun S. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Markum HMS, Setiati
S, Alwi I, Gani RA, Sumaryono, editors. Naskah lengkap
Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1998. Jakarta:
Bagian IPD FKUI; 1998. p. 97-101
38