Anda di halaman 1dari 41

PORTOFOLIO KEGAWATDARURATAN

ACUTE LUNG OEDEMA

Disusun oleh :

dr. Amelinda Syafrawi Dinata

Preseptor:

dr. Andriyani Putri

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AROSUKA

SUMATERA BARAT

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena dengan nikmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan portofolio kegawatdaruratan yang berjudul “Acute Lung Oedema”
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program Internship Dokter Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Andriyani Putri sebagai pembimbing yang
telah membantu dan memberikan masukan dalam penyusunan portofolio ini.
Penulis menyadari bahwa Portofolio ini masih belum sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran sangat diperlukan untuk kesempurnaan Portofolio ini. Akhir kata, penulis berharap
semoga pembuatan Portofolio ini bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan terutama bagi
penulis sendiri dan bagi para pembaca.

Padang, Mei 2021

Penulis

1
BAB I
PENDAHULUA
N

1.1 Latar belakang


Edema paru akut merupakan suatu keadaan patologi yang disebabkan oleh
perpindahan cairan intravaskuler ke ruang ekstravaskuler (jaringan interstisial dan
alveoli paru) secara akut sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli
secara progresif dan mengakibatkan hipoksia.1 Edema paru bisa disebabkan oleh
tekanan intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau karena peningkatan
permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik)
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan dan penumpukan darah pada sisi
kiri jantung, yaitu penyakit arteri koroner dengan gagal jantung kiri, congestive
heart failure, kardiomiopati, penyakit katup jantung dan aritmia.2 Sedangkan
edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh penyebab lainnya dan memiliki
ruang lingkup lebih luas seperti ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome ) ,
High Altitude Pulmonary Edema (HAPE), edema paru neurogenik, overdosis
opioid, toksisitas salisilat, emboli paru dan Transfusion-Related Acute Lung Injury
(TRALI) .3
Sampai saat ini belum ada data pasti tentang kejadian edema paru akut. Di
seluruh dunia, penderita edema paru diperkirakan sebanyak 74,4 juta. Di Inggris
terdapat sekitar 2,1 juta penderita edema paru, Amerika Serikat diperkirakan 5,5
juta penduduk dan di Jerman menunjukkan penderita edema paru sebanyak 6 juta

penduduk. 4,5 Edema paru pertama kali terdeteksi di Indonesia pada tahun 1971.
Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan
meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia, insiden
tersebar sejak tahun 1998 dengan incidence rate (IR) = 35,19 per 100.000
penduduk dan CFR = 2%, tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun
pada tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 % (tahun 2000),

19,24 % (tahun 2002), dan 23,87 % (tahun 2003).6


Edema paru kardiogenik akut (Acute cardiogenic pulmonary edema/ACPE)
sering terjadi dan merupakan kondisi yang mengancam jiwa.
Diperkirakan 75.000-83.000 kasus per 100.000 orang mengalami gagal jantung
dan fraksi ejeksi rendah. Penelitian menunjukan 80% pasien gagal jantung
mengalami edema paru dengan tingkat kematian edema paru pada 6 tahun follow
up pada pasien gagal jantung kongestif sebesar 85%. Penyebab paling umum dari
edema paru akut termasuk iskemia miokard, aritmia (mis. fibrilasi atrium),
disfungsi katup akut dan kelebihan cairan. Penyebab lain termasuk pulmonary
embolus, anemia dan stenosis arteri renal. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan

dan efek samping obat juga dapat memicu edema paru.7


Edema paru akut memiliki angka kematian yang tinggi, sehingga
membutuhkan manajemen darurat.Tujuan terapi adalah untuk meningkatkan
oksigenasi, mempertahankan tekanan darah yang memadai untuk perfusi organ
vital, dan mengurangi kelebihan cairan ekstraseluler. Penyebab yang
mendasarinya harus diatasi.7

1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan portofolio ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis tentang acute

lung oedema.

1.3 Metode Penulisan

Penulisan portofolio ini menggunakan metode tinjauan pustaka dan laporan kasus

dengan mengacu pada berbagai literatur.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Edema paru adalah suatu keadaan dimana terjadi perpindahan cairan dari
vaskular paru ke interstisial dan alveoli paru. Pada edema paru terjadi penimbunan
cairan serosa atau serosanguinosa secara berlebihan di dalam ruang interstisial dan
alveoli paru. Edema paru dibagi dua yaitu edema paru kardiogenik (peningkatan
tekanan intravaskular) dan edema paru non kardiogenik (peningkatan

permeabilitas kapiler paru).4 Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana
cairan intravaskuler keluar ke ruang ekstravaskuler, jaringan interstisial dan
alveoli yang terjadi secara akut. Pada keadaan normal cairan intravaskuler
merembes ke jaringan interstisial melalui kapiler endotelium dalam jumlah yang
sedikit sekali, kemudian cairan ini akan mengalir ke pembuluh limfe menuju ke
vena pulmonalis untuk kembali ke dalam sirkulasi. Pengetahuan dan penanganan
yang tepat pada edema paru akut dapat menyelamatkan jiwa penderita.
Penanganan yang rasional harus berdasarkan penyebab dan patofisiologi yang

terjadi.8

2.2 Epidemiologi
Penderita edema paru di seluruh dunia adalah 74,4 juta. Di Inggris terdapat
sekitar 2,1 juta penderita edema paru yang memerlukan pengobatan dan
pengawasan secara komprehensif, sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan 5,5
juta penduduk menderita edema paru dan data di Jerman menunjukkan penderita
edema paru sebanyak 6 juta penduduk.6
Edema paru pertama kali terdeteksi di Indonesia pada tahun 1971. Sejak
pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat
baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia, insiden tersebar sejak
tahun 1998 dengan incidence rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR =
2%, tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun pada tahun-tahun
berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 % (tahun 2000), 19,24 % (tahun
2002), dan 23,87 % (tahun 2003).6,8 Edema paru kardiogenik akut (Acute
cardiogenic pulmonary edema/ACPE) sering terjadi, dan berdampak merugikan

dan mematikan dengan tingkat kematian 10-20%.8 Angka kematian edema paru
akut karena infark miokard akut mencapai 38 – 57% sedangkan karena gagal

jantung mencapai 30%.4

2.3 Etiologi
1. Edema Paru non Kardiogenik
Edema paru non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari
pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan alveolus
paru-paru yang diakibatkan selain kelainan pada jantung. Walaupun edema paru
dapat berbeda-beda derajatnya, bagaimanapun dalam tingkatnya yang paling
ringan sekalipun tetap merupakan temuan yang menakutkan. Terjadinya edema
paru seperti di atas dapat diakibatkan oleh berbagai sebab,. Beberapa penyebab
edeme paru non kardiogenik.8
a.Peningkatkan permeabilitas kapiler paru (ARDS)
Edema paru biasanya disebabkan peningkatan tekanan pembuluh kapiler
paru dan akibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat
peningkatan permeabilitas kapiler paru sering juga disebut acute respiratory
distress syndrome (ARDS). Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara
tekanan onkotik (osmotik) dan hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli.
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada gagal jantung menyebabkan edema
paru. Sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang menyebabkan
volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik
atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga terjadi edema
paru.8
Pada tahap awal terjadinya edema paru terdapat peningkatan kandungan
cairan di jaringan interstisial antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru akibat
peningkatan permeabilitas kapiler paru dipikirkan bahwa kaskade inflamasi
timbul beberapa jam kemudian yang berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan
tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan melekat pada sel endotel
yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan
mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks
ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dan hasilnya
adalah kerusakan endotel yang berakibat Secara langsung. peningkatan
permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang
kaya protein dan banyak mengandung neutrofil dan sel inflamasi sehingga
terbentuk membran hialin. Karakteristik edema paru akibat peningkatan
permeabilitas kapiler paru adalah tidak adanya peningkatan tekanan pulmonal
(hipertensi pulmonal). Kondisi medis maupun surgikal yang berhubungan dengan
edema paru akibat kerusakan membran antara kapiler dan alveolar adalah Aspirasi
cairan lambung , Tenggelam (near drowning), Pneumonia, Emboli lemak, Inhalasi
bahan kimia toksik, Pankreatitis.8
b. Sindroma Kongesti Vena
Peningkatan tekanan kapiler paru dan edema paru dapat terjadi pada
penderita dengan kelebihan cairan intravaskular dengan ukuran jantung normal.
Ekspansi volume intravaskular tidak perlu terlalu besar untuk terjadinya kongesti
vena, karena vasokontriksi sistemik dapat menyebabkan pergeseran volume darah
ke dalam sirkulasi sentral. Sindrom ini sering terjadi pada penderita yang
mendapat cairan kristaloid atau darah intravena dalam jumlah besar, terutama
pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, ataupun karena gagal ginjal itu
sendiri. (terjadi retensi air). Pemberian kortikosteroid menyebabkan gangguan
kongesti vena lebih lanjut. Sindrom kongesti vena (fluidoverload) ini sering
terjadi pada penderita dengan trauma yang luas, yang mendapat cairan dalam
jumlah besar untuk menopang sirkulasi. Pada fase penyembuhan, terjadilah edema
paru. Keadaan ini sering dikacaukan dengan gagal jantung kiri atau ARDS (acute
respiratory distress syndrome).8
c. Penurunan tekanan onkotik plasma
 Edem Paru Karena Sindrom Nefrotik
Mekanisme terbentuknya edema sangat kompleks, diantaranya:10
1) Penurunan tekanan koloid osmotik plasma akibat penurunan
konsentrasi albumin serum; bertanggungjawab terhadap pergeseran
cairan ekstraselular dari kompartemen intra-vaskular ke dalam
interstisial dengan timbulnya edema dan penurunan volume
intravaskular.
2) Penurunan nyata eksresi natrium kemih akibat peningkatan
reabsorpsi tubular. Mekanisme meningkatnya reabsorpsi natrium
tidak dimengerti
secara lengkap, tetapi pada prinsipnya terjadi akibat penurunan volume
intravaskular dan tekanan koloid osmotik. Terdapat peningkatan ekskresi
renin dan sekresi aldosteron.
3) Retensi air, penurunan tekanan koloid osmotik plasma dan retensi
seluruh natrium yang dikonsumsi saja tidaklah cukup untuk
berkembangnya edema pada sindrom nefrotik,untuk timbulnya
edema harus ada retensi air.
d. Edem Paru Neurogenik
Keadaan ini terjadi pada penderita yang mengalami trauma kepala, kejang-
kejang, atau peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak. Diduga dasar
mekanisme edema paru neurogenik adalah adanya rangsangan hipotalamus akibat
penyebab di atas yang menyebabkan rangsangan pada sistem adrenergik, yang
kemudian menyebabkan pergeseran volume darah dari sirkulasi sistemik ke
sirkulasi pulmonal dan penurunan “compliance” ventrikel kiri. Akibatnya terjadi
penurunan pengisian ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri meningkat maka
terjadilah edema paru. Mekanisme neurogenik mungkin dapat menjelaskan
terjadinya edema paru pada penderita pemakai heroin.10.11
e. Edem Paru Karena Ketinggian Tempat
Penyakit ini secara khas menyerang orang-orang muda yang berada pada
ketinggian di atas 2700 meter (9000 kaki). Penyebab keadaan ini tidak diketahui,
diduga mekanismenya adalah hipoksia karena ketinggian menyebabkan
vasokontriksi arteriole paru dan kegiatan yang berlebih (exercise) merangsang
peningkatan kardiak output dan peningkatan tekanan arteri pulmonal, akibatnya
terjadilah edema paru.6,11,12
Gejala-gejala yang paling sering ditemukan adalah batuk, napas pendek,
muntah-muntah dan perasaan nyeri dada. Gejala-gejala tersebut terjadi dalam 6 –
36 jam setelah tiba di tempat yang tinggi. Tidak semua orang menderita penyakit
ini, bahkan orang-orang yang terkena penyakit ini pun tidak mendapatkan gejala-
gejala setiap kali terkena pengaruh tempat tinggi itu. Kesembuhan dapat terjadi
dalam waktu 48 jam serta selanjutnya penderita dapat tetap bertempat tinggal di
tempat tinggi tanpa gejala-gejala.11,12
f. Peningkatan negativitas dari tekanan interstitial
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural.
Kedaaan yang sering menjadi etiologi adalah:6
1) perpindahan yang cepat pada pengobatan pneumothoraks dengan tekanan
negatif yang besar. Keadaan ini disebut „edema paru re-ekspansi‟. Edema
biasanya terjadi unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran
radiologis dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus
yang menjadikan „edema paru re-ekspansi‟ ini berat dan membutuhkan
tatalaksana yang cepat dan ekstensif.
2) tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan nafas akut dan
peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma bronkhial).
2. Edema paru Kardiogenik
Edem paru kardiogenik atau edem volume overload terjadi karena
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Peningkatan tekanan hidrostatik di
kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena
pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan
atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18-25 mmHg) menyebabkan
edema di perimikrovaskuler dan ruang interstisial peribronkovaskular. Jika
tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edem akan

menembus epitel paru, membanjiri alveolus.8


a. Obstruksi Aliran Atrium
Obstruksi aliran atrium dapat disebabkan karena stenosis katup mitral, atau
dalam kasus yang jarang dapat disebabkan oleh myxoma atrium, thrombosis pada
katup prostetik, atau adanya membrane kongenital di atrium kiri (contohnya, cor
triatrium). Stenosis mitral sering disebabkan karena demam rematik, yang
akhirnya dapat bermanifestasi sebagai edem paru. Penyebab lainnya terjadinya
edem paru kardiogenik yang bersamaan dengan stenosis katup mitral adalah
penurunan pengisian ventrikel kiri, yang dapat disebabkan oleh takikardia dan

aritmia (penyebab tersering adalah atrial fibrilasi).13


b. Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri
Disfungsi sistolik merupakan penyebab tersering terjadinya edem paru
kardiogenik, hal ini didefinisikan sebagai penurunan kontraktilitas sel miokardium
yang dapat menurunkan volume output jantung. Penurunan output jantung
menstimulasi aktivitas simpatik dan meningkatkan volume darah dengan
mengaktivasi sistem rennin-angiotensin-aldosteron yang nantinya akan
menyebabkan penurunan waktu pengisian ventrikel kiri, dan peningkatan tekanan

hidrostatik kapiler .13


Kegagalan ventrikel kiri kronis, biasanya disebabkan karena penyakit
gagal jantung kongestif atau kardiomiopati. Penyebab eksaserbasi akut penyakit
ini meliputi, infark miokard akut (IMA), pasien dengan ketidakpatuhan
pembatasan diet garam, pasien dengan ketidakpatuhan mengkonsumsi obat
diuretic, anemia berat, sepsis, thyrotoksikosis, myokarditis, toksin myocardial
(alkohol, kokain, agen kemoterapi), penyakit katup jantung kronis, stenosis aorta,
regurgitasi aorta, dan regurgitasi mitral.13
c. Disfungsi Diastolik Ventrikel kiri
Infark dan iskemia dapat menjadi penyebab terjadinya disfungsi diastolic
ventrikel kiri. Dengan mekanisme yang hampir sama, kontusio myocardial
menyebabkan disfungsi baik sistolik maupun diastolic. Disfungsi diastolic
merupakan pertanda penurunan pada distensisitas atau compliance diastolic
ventrikel kiri. Karena distensisitas ventrikel kiri menurun, peningkatan tekanan
diastolic diperlukan untuk mendapatkan stroke volume yang normal. Meskipun
kontraktilitas ventrikel kiri normal, penurunan output jantung dalam hubungannya
dengan peningkatan tekanan akhir diastolic, menyebabkan timbulnya edema paru
hidrostatik. Abnormalitas diastolik dapat pula disebabkan karena konstriksi
perikarditis dan tamponade jantung.13
d. Disritmia
Disritmia merupakan gangguan irama jantung akibat perubahan
elektrofisiologis sel-sel miokardial yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan
irama, frekuensi, dan konduksi jantung. Onset baru dan cepat dari fibrilasi atrium
dan takikardia ventricular dapat menyebabkan keadaan edem paru kardiogenik.13
e. Hipertrofi dan Miopati Ventrikel Kiri
Hiperttofi dan miopati ventrikel kiri dapat meningkatkan kekakuan
ventrikel kiri dan peningkatan tekanan akhir diastolik, yang nantinya akan
menimbulkan edema paru yang terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik

kapiler paru.13
f. Cairan Berlebih Ventrikel Kiri
Cairan berlebih dapat terjadi pada keadaan kardiak maupun non-kardiak.
Kondisi kardiak dapat disebabkan karena rupturnya septum ventrikel, insufisiensi
aorta akut maupun kronik, dan regurgitasi mitral akut maupun kronik.
Endokarditis, disseksi aorta, ruptur trauma, rupturnya fenestrasi katup kongenital,
dan penyebab iatrogenic merupakan etiologi penting terjadinya regurgitasi akut
aorta yang nantinya dapat menyebabkan edema paru. Ruptur septum ventrikel,
insufisiensi aorta, dan regurgitasi mitral dapat menyebabkan peningkatan tekanan
akhir diastolic ventrikel kiri dan peningkatan tekanan atrium kiri, dan dapat
menjadi penyebab terjadinya edema paru. Obstruksi aliran ventrikel kiri, seperti
pada kasus stenosis aorta, dapat menyebabkan peningkatan tekanan pengisian
akhir diastolic, penignkatan tekanan atrium kiri, dan akhirnya terdapat
peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan retensi sodium dapat terjadi pada
kasus disfungsi sistolik ventrikel kiri. Namun, dalam kondisi tertentu, seperti pada
penyakit ginjal primer, retensi sodium, dan kelebihan cairan dapat memainkan
peran utama terjadinya edema paru. Edema paru kardiogenik dapat pula terjadi

pada pasien gagal ginjal yang memerlukan hemodialisis.13


g. Infark Miokardial
Infark miokardial dapat menjadi salah satu penyebab edema paru
kardiogenik, oleh beberapa sebab. Salah satunya adalah komplikasi mekanis dari
infark miokardial, yaitu rupturnya septum ventrikel atau otot papilar. Komplikasi
mekanis ini secara langsung akan meningkatkan volume load pada serangan akut,

yang nantinya akan menimbulkan terjadinya edema paru.13


h. Obstruksi Aliran Ventrikel Kiri
Stenosis akut pada katup aorta dapat menyebabkan edema paru. Namun, stenosis
yang diakibatkan karena penyakit kongenital, kalsifikasi, disfungsi prostetik, atau
penyakit rematik, biasanya berlangsung secara kronis dan dapat menimbulkan
adaptasi hemodinamik pada jantung. Adaptasi hemodinamik ini diantaranya
adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang dapat menyebabkan edema paru karena
disfungsi diastolic ventrikel kiri. Hipertrofi kardiomiopati merupakan penyebab
obstruksi aliran dinamik ventrikel kiri.13

2.4 Patofisiologi
Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi aliran yang kontinyu dari
cairan dan protein intravaskular ke jaringan interstisial dan kembali ke sistem
aliran darah melalui saluran limfa yang memenuhi hukum Starling.14,15,16

Q(iv-int)=Kf[(Piv-Pint) – df(Iiv-Iint)]

Q : kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstisial


Piv : tekanan hidrostatik intravaskular
Pint: tekanan hidrostatik interstisial
Iiv : tekanan osmotik koloid intravaskular
Iint : tekanan osmotik koloid interstisial
Df : koefisien refleksi protein
Kf : kondukstan hidraulik

Gambar 2.1 Hukum Starling

Cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui celah kecil
antara sel endotel kapiler ke ruang interstitial sesuai dengan selisih antara tekanan
hidrostatik dan osmotik protein, serta permeabilitas membran kapiler. Cairan dan
solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar intertisial pada keadaan normal
tidak dapat masuk ke ruang alveolar, hal ini disebabkan oleh epitel alveolus yang
terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairan memasuki ruang
intertisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang
kemudian dikembalikan oleh sistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein
plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan
untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan
hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan onkotik

protein.17

Edema paru terjadi bila cairan yang difiltrasi oleh dinding mikrovaskuler
lebih banyak daripada yang bisa dikeluarkan yang berakibat alveoli penuh terisi
cairan sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran gas. Faktor-faktor
penentu yang berperan yaitu perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam
lumen kapiler dan interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, larutan,
dan molekul besar seperti protein plasma. Adanya ketidakseimbangan dari satu

atau lebih dari faktor-faktor diatas akan menimbulkan terjadinya edema paru. 16
Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru16:
1. Membran kapiler alveoli
Edem paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari pembuluh darah
ke ruang interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke
dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam
keadaan normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari pembuluh
darah ke ruangan interstisial.

2. Sistem Limfatik
Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan
cairan balik dari pembuluh darah, akibat tekanan yang lebih negatif di daerah
interstisial peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari
interstisium alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini
ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila
kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi
edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat
kapasitas sistem limfe kira-kira 20 ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas
sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-
rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan
mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat
kapiler dalam jumlah yang lebih besar yang dapat mencegah terjadinya edem.
Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema interstisial, saluran nafas yang
kecil dan pembuluh darah akan terkompresi.
Pada edema paru kardiogenik (volume overload edema) terjadinya
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan
filtrasi cairan transvaskular. Bila tekanan interstisial paru lebih besar daripada
tekanan intrapleural maka cairan bergerak menuju pleura viseral yang
menyebabkan efusi pleura. Bila permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka
cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein rendah.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru biasanya disebabkan oleh
meningkatnya tekanan di vena pulmonalis yang terjadi akibat meningkatnya
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri (>25 mmHg). Dalam
keadaan normal tekanan kapiler paru berkisar 8-12 mmHg dan tekanan osmotik

koloid plasma 28 mmHg.16,19,20 Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran


setan yang terus memburuk oleh proses-proses sebagai berikut:
1. Meningkatnya kongesti paru menyebabkan desaturasi dan menurunnya
pasokan oksigen miokard memperburuk fungsi jantung.
2. Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi
pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan yang melalui
mekanisme interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi
ventrikel kiri.
3. Insufisiensi sirkulasi menyebabkan asidosis sehingga memperburuk
fungsi jantung.
Gambar 2.3 Patofisiologi Edema Paru

Keluarnya cairan edema dari alveoli paru tergantung pada transpor aktif
ion Na+ dan Cl- melintasi barier epitel yang terdapat pada membran apikal sel
epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran napas distal. Ion Na+ secara aktif
ditranspor keluar ke ruang insterstisial oleh kerja Na/K-ATPase yang terletak pada
membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan melalui
aquaporins yang merupakan saluran air pada sel tipe I.19
Edema paru kardiogenik dapat terjadi akibat dekompensasi akut pada
gagal jantung kronik maupun akibat gagal jantung akut pada infark miokard
dimana terjadinya bendungan dan peningkatan tekanan di jantung dan paru akibat

melemahnya pompa jantung.18 Kenaikan tekanan hidrostatik kapiler paru


menyebabkan transudasi cairan ke dalam ruang interstisial paru, dimana tekanan
hidrostatik kapiler paru lebih tinggi dari tekanan osmotik koloid plasma. Pada
tingkat kritis, ketika ruang interstitial dan perivaskular sudah terisi, maka
peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan penetrasi cairan ke dalam ruang
alveoli. Terdapat tiga tingkatan fisiologi dari akumulasi cairan pada edema paru
kardiogenik:16,21
Tingkat 1: Cairan dan koloid berpindah dari kapiler paru ke interstisial
paru tetapi terdapat peningkatan cairan yang keluar dari aliran limfatik.
Tingkat 2: Kemampuan pompa sistem limfatik telah terlampaui sehingga
cairan dan koloid mulai terakumulasi pada ruang interstisial sekitar
bronkioli, arteriol, dan venula.
Tingkat 3: Peningkatan akumulasi cairan menyebabkan terjadinya edema
alveoli. Pada tahap ini mulai terjadi gangguan pertukaran gas.

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis edema paru baik kardiogenik maupun non-kardiogenik
bisa serupa ; oleh sebab itu sangat penting untuk menetapkan gejala yang dominan

dari kedua jenis tersebut sebagai pedoman pengobatan.22,23


Gambaran klinis edema paru yaitu dari anamnesis ditemukan adanya sesak
napas yang bersifat tiba-tiba yang dihubungkan dengan riwayat nyeri dada dan
riwayat sakit jantung. Perkembangan edema paru bisa berangsur-angsur atau tiba-
tiba seperti pada kasus edema paru akut. Selain itu, sputum dalam jumlah banyak,
berbusa dan berwarna merah jambu. Gejala-gejala umum lain yang mungkin
ditemukan ialah: mudah lelah, lebih cepat merasa sesak napas dengan aktivitas
yang biasa (dyspnea on exertion), napas cepat (takipnea), pening, atau kelemahan.
Tingkat oksigenasi darah yang rendah (hipoksia) mungkin terdeteksi pada pasien
dengan edema paru. Pada auskultasi dapat didengar suara-suara paru yang

abnormal, seperti ronki atau crakles.22,23

2.6 Diagnosis
a. Anamnesis

Terdapat dua tipe edema paru yang berbeda pada manusia :


1. Edema paru kardiogenik (juga disebut hidrostatik atau
hemodinamik edema)
2. Edema paru nonkardiogenik (juga dikenal sebagai edema paru
permeabilitas yang meningkat, cedera paru akut, atau sindrom gangguan
pernapasan akut).
Meskipun memiliki penyebab yang berbeda, edema paru kardiogenik
dan nonkardiogenik mungkin sulit dibedakan karena manifestasi klinisnya
yang serupa. Edema interstitial menyebabkan dispnea dan takipnea.
Kebanjiran alveolar menyebabkan hipoksemia arteri dan mungkin
berhubungan dengan batuk dan dahak cairan edema berbusa. Anamnesis
riwayat penyakit harus fokus menentukan gangguan klinis yang mendasarinya

yang menyebabkan edema paru.24

Tabel 2.1 Perbedaan Edem Paru Kardiogenik dan Edem Paru Non Kardiogenik
Edem Paru Kardiogenik Edem Paru Non Kardiogenik
 Penyebab umum edema paru Anamnesis  Edema paru non
kardiogenik meliputi iskemia kardiogenik dikaitkan
dengan atau tanpa infark terutama dengan gangguan
miokard, eksaserbasi jantung klinis lainnya, termasuk
sistolik atau gagal jantung pneumonia, sepsis,
diastolik, dan disfungsi katup aspirasi isi lambung, dan
mitral atau aorta. Volume trauma besar yang terkait
berlebih juga harus dengan pemberian
dipertimbangkan. berbagai transfusi produk
 Riwayat khas dispnea nokturnal darah.
paroksismal atau ortopnea  Anamnesis riwayat harus
menunjukkan edema paru berfokus pada tanda dan
kardiogenik. gejala infeksi, penurunan
 Namun, silent infark miokard tingkat kesadaran yang
atau disfungsi diastolik occult berhubungan dengan
juga dapat bermanifestasi muntah, trauma, dan
sebagai akut edema paru. perincian obat-obatan dan
konsumsi.
Namun, riwayat tersebut tidak selalu dapat diandalkan dalam membedakan edema
paru kardiogenik dan nonkardiogenik. Misalnya, infark miokard akut (menunjukkan
edema kardiogenik) mungkin disulitkan oleh adanya sinkop atau henti jantung dengan
aspirasi isi lambung dan edema nonkardiogenik. Sebaliknya, pada pasien dengan
trauma parah atau infeksi (menunjukkan edema nonkardiogenik), resusitasi cairan
dapat menyebabkan volume berlebih dan edema paru akibat peningkatan tekanan
hidrostatik vaskular paru.

b. Pemeriksaan Fisik

 Temuan fisik pada pasien dengan CPE sering dengan adanya takipnea
dan takikardia. Pasien mungkin duduk tegak, mereka menunjukkan tanda
kebutuhan udara yang banyak, gelisah dan bingung. Pasien biasanya terlihat
cemas dan diaforesis.
 Hipertensi sering ada, karena keadaan yang hiperadrenergik. Hipotensi
menunjukkan disfungsi sistolik left ventricle (LV) parah dan kemungkinan
syok kardiogenik. Ekstremitas dingin dapat menunjukkan curah jantung yang
rendah dan perfusi yang buruk.
 Auskultasi paru-paru biasanya menunjukkan fine, crepitant rales, tetapi
ronki atau wheezing juga ada. Rales biasanya didengar di basis terlebih
dahulu; dan ketika kondisinya memburuk, akan berkembang ke apeks.
 Temuan kardiovaskular biasanya terutama pada S3, aksentuasi
komponen pulmonal S2, dan distensi vena jugularis. Auskultasi murmur
dapat membantu dalam diagnosis gangguan katup akut yang bermanifestasi
dengan edema paru.
 Stenosis aorta dikaitkan dengan murmur sistolik crescendo-
decrescendo yang keras, yang terdengar paling baik di batas sternum atas dan
menjalar ke arteri karotis. Sebaliknya, regurgitasi aorta akut dikaitkan dengan
murmur diastolik pendek dan lembut.
 Regurgitasi mitral akut menghasilkan murmur sistolik keras yang
terdengar paling baik di apeks atau batas sternum bawah. Regugirgitasi

mungkin merupakan tanda MI akut dengan ruptur chordae katup mitral.25


Tabel 2.2 Pemeriksaan Fisik Udem Paru Akut.

c. Pemeriksaan Foto Thoraks

Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (pada pasien


dengan CHF) dan adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan infiltrasi
bilateral dengan pola butterfly, gambaran vaskular paru dan hilus yang
berkabut serta adanya garis-garis Kerley b di interlobularis. Gambaran lain
yang berhubungan dengan penyakit jantung berupa pembesaran ventrikel kiri
sering dijumpai. Efusi pleura unilateral juga sering dijumpai dan berhubungan
dengan gagal jantung kiri.22,23

d. Pemeriksaan Eletrokardiografi

EKG menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran atrium

kiri, pembesaran ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik maupun infark.23


e. Pemeriksaan Ekokardiografi & penunjang lainnya
1. Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan fungsi
dari ventrikel kiri dan adanya kelainan katup-katup jantung.26
2. Kateterisasi jantung kanan: Pengukuran P pw (pulmonary capillary wedge
pressure) melalui kateterisasi jantung kanan merupakan baku emas untuk
pasien edema paru kardiogenik yaitu berkisar 25-35 mmHg sedangkan

pada pasien ARDS P pw 0-18 mmHg.26


3. Pemeriksaan laboratorium enzim jantung perlu dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis infark miokard. Peningkatan kadar brain
natriuretic peptide (BNP) di dalam darah sebagai respon terhadap
peningkatan tekanan di ventikel; kadar BNP >500 pg/ml dapat membantu
menegakkan diagnosis edema paru kardiogenik.26
4. Analisis gas darah (AGD) dapat memperlihatkan penurunan PO2 dan
PCO2 pada keadaan awal tetapi pada perkembangan penyakit selanjutnya
PO2 semakin menurun sedangkan PCO2 meningkat. Pada kasus yang
berat biasanya dijumpai hiperkapnia dan asidosis respiratorik.26
5. Kadar protein cairan edema: Pengukuran rasio konsentrasi protein cairan
edema dibandingkan protein plasma dapat digunakan untuk membedakan
edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik. Bahan pemeriksaan diambil
dengan pengisapan cairan edema paru melalui pipa endotrakeal atau
bronkoskop dan pengambilan plasma. Pada edema paru kardiogenik,
konsentrasi protein cairan edema relatif rendah dibanding plasma (rasio
<0,6). Pada edema paru non-kardiogenik konsentrasi protein cairan edema
relatif lebih tinggi (rasio >0,7) karena sawar mikrovaskular berkurang.27
Gambar 2.4 Algoritma membedakan Udem Paru Kardiogenik dan Non
Kardiogenik

2.6 Tatalaksana
Edema paru kardiogenik merupakan salah satu kegawatan medis yang
perlu penanganan secepat mungkin setelah ditegakkan diagnosis.18
Penatalaksanaan utama meliputi pengobatan suportif yang ditujukan terutama
untuk mempertahankan fungsi paru (seperti pertukaran gas, perfusi organ),
sedangkan penyebab utama juga harus diselidiki dan diobati sesegera mungkin
bila memungkinkan.22,26
Prinsip penatalaksanaan meliputi pemberian oksigen yang adekuat, retriksi

cairan, dan mempertahankan fungsi kardiovaskular.22,26 Pertimbangan awal ialah


evaluasi klinis, EKG, foto toraks dan AGD.22
Suplemenetasi Oksigen
Hipoksemia umum pada edema paru merupakan ancaman utama bagi
susunan saraf pusat, baik berupa turunnya kesadaran sampai koma maupun
terjadinya syok. Oleh karena itu suplementasi oksigen merupakan terapi intervensi
yang penting untuk meningkatkan pertukaran gas dan menurunkan kerja
pernapasan, mengoptimalisasi unit fungsional paru sebanyak mungkin serta
mengurangi overdistensi alveolar.26
Pada kasus ringan oksigen bisa diberikan dengan kanul hidung atau
masker muka (face mask). Continuous positive airway pressure (CPAP) sangat
membantu pada pasien edema paru kardiogenik.22,26 Masip et al mendapatkan
bahwa penggunaan CPAP menurunkan kebutuhan akan intubasi dan angka
mortalitas.28 Pada pasien dengan edema paru kardiogenik akut, induksi ventilasi
non-invasif dalam gangguan pernapasan dan gangguan metabolic meningkat lebih
cepat daripada terapi oksigen standar tetapi tidak berpengaruh terhadap mortalitas

jangka pendek.29 Menurut penelitian Agarwal et al, noninvasive pressure support


ventilation (NIPSV) tampaknya aman dan berkhasiat sebagai CPAP, daripada jika

bekerja dengan titrasi pada tekanan tetap.30


Penelitian Winck et al, mendukung penggunaan CPAP dan non-invasive
positive pressure ventilation (NPPV) pada edema paru akut kardiogenik. Kedua
teknik tersebut dipakai untuk menurunkan need for endotracheal intubtion (NETI)
dan kematian dibandingkan standard medical theraphy (SMT), serta tidak
menunjukkan peningkatan risiko infark miokard akut. CPAP dianggap sebagai
intervensi pertama dari NPPV yang tidak menunjukkan khasiat yang lebih baik
bahkan pada pasien dengan kondisi lebih parah, tetapi lebih murah dan lebih
mudah untuk diimplementasikan dalam praktek klinis.31 Intubasi dan penggunaan
ventilasi mekanik dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) diperlukan
pada kasus yang berat.4

Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan preload
Nitrogliserin (NTG) dapat menurunkan preload secara efektif, cepat, dan
efeknya dapat diprediksi. Pemberian NTG secara intra vena diawali dengan dosis
rendah (20 g/menit) dan kemudian dinaikkan secara bertahap (dosis maksimal
200 g/menit).22,26
Loop diuretics (furosemide) dapat menurunkan preload melalui 2
mekanimse yaitu : diuresis dan venodilatasi. Dosis furosemide dapat diberikan per
oral 20-40 mg/hari pada keadaan yang ringan hingga 5-40 mg/jam secara infus

pada keadaan yang berat.22,26


Morfin sulfat digunakan untuk menurunkan Preload dengan dosis 3 mg

secara intra vena dan dapat diberikan berulang.22.26

Obat-obatan yang menurunkan afterload


Angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACE inhibitors) menurunkan
after load, serta memperbaiki volume sekuncup dan curah jantung. Pemberian
secara intra vena (enalapril 1m25 mg) ataupun sublingual (captopril 25 mg) akan
memperbaiki keluhan pasien. Pada suatu meta analisis didapati bahwa pemberian
ACE inhibitors akan menurunkan angka mortalitas,22,26

Obat-obatan golongan inotropic


Obat-obatan golongan inotropic diberikan pada edema paru kardiogenik
yang mengalami hipotensi, yaitu dobutamin 2-20 g/kg/menit atau dopamine 3-20

g/kg/menit.22,26

Tatalaksana Edema Paru Akut


Masalah pompa dapat timbul pada telanan darah rendah atau tinggi. Tinggi
rendahnya rekanan darah sangat menentukan pilihan obat. Bila terlalu tinggi harus
diturunkan dan dinaikkan bila terlalu rendah. Terdapat tiga tindakan untuk

mengatasi edema paru akut :32


1. Tindakan pertama
 Letakkan pasien dalam posisi duduk sehingga meningkatkan volume dan
kapistas vital paru, mengurangi kerja otot pernapasan, dan menurunkan
aliran darah vena balik ke jantung.
 Pasang sungkup muka non-rebreathing dengan aliran 15 L/menit (target
SpO2 >90%) berikan bersamaan dengan pemasangan akses IV dan
monitor EKG (Oksigen-IV line-Monitor/O-I-M).
 Oksimetri dapat memberi informasi keberhasilan terapi walaupun alat
pemantauan SpO2 ini kurang akurat apabila terjadi penruunan perfusi
perifer. Oleh karena itu dianjurkan melakukan pemeriksaan analisis gas
darah untuk pemantauan oksigenasi ventilasi dan asam basa.
 Tekanan ekspirasi akhir positif (positive end-expiratory pressure) dapat
diberikan untuk mencegah kolaps alveoli dan memperbaiki pertukrana gas.
 Berikan ventilasi tekanan positif dengan kantung napas-sungkup muka
untuk menggantikan sungkup muka non rebrteahing bila terjadi
hipoventilasi.
 Continuous positive airway pressure diberikan pada pasien bernapas
spontan dengan sungkup muka atau pipa endotrakea.
 Nitrogliserin/Nitrat SL. Nitrogliserin paling efektif mengurangi edema
paru karena mengurangi preload. Beerikan tablet atau spray sublingual
yang dapat diulangi setiap 5-10 menit bila TD tetap >90-100 mmHG.
 Furosemide 0,5-1 mg/kgBB IV. Efek bifasik pertama dicapai dalam 5
menit dimana terjadi vasodilatasi, sehingga aliran balik ke jantung dan
paru berkurang (mengurangi preload). Efek kedua adalah sebagai diuretic
yang mencapai puncaknya setelah 30-60 menit. Keefektifan furosemide
tidak harus dicapai dengan diuresis berlebihan. Bila furosemide sudah
rutin diminum sebelumnya, maka dosis bisa digandakan. Bila dalam 20
menit belum didapat hasil yang diharapkan, ulangi IV dua kali dosis awal.
Dosis bisa lebih tinggi bila retensi cairan menonjol dan/atau fungsi ginjal
terganggu.
 Morfin sulfat diencerkan dengan NaCL 0,9%, berikan 2-4 mg IV bila
tekanan darah sistolik >100 mmHg. Obat ini merupakan salah satu obat
pilihan pada edema paru, namun dianjurkan diberikan di rumah sakit. Efek
venodilator meningkatkan kapaistas vena, mengurangi aliran darah balik
ke vena sentral dan paru, mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri
(preload), dan juga mempunyai efek vasodilator ringan, sehingga afterload
berkurang. Efek sedasi dari morfin sulfat dapat menurunkan laju

pernapasan.32
2. Tindakan kedua
 Jika respon pasien baik setelah mendapatkan tindakan pertama, maka
tidak diperlukan pemeriksaan tambahan karena menurun tingkat
kegawatannya khususnya bila normotensi. Dilanjutkan pemberian
nitrogliserin IV 10-20 µg/menit dengan tetap memantau tekanan darah.
nitroprusside IV 0,5-5 µg/kgBB/menit diberikan bila edema paru disertai
tekanan darah yang tinggi.
 Dopamine 2-20 µg/kgBB/menit IV bila TD 70-100 mmHg dengan syok.
 Dobutamin 2-20 µg/kgBB/menit IV bila hipotensi tanpa syok.32
3. Tindakan ketiga
 Dipersiapkan bila tindakan pertama dan kedua tidak memberi hasil yang
memadai atau terdapat komplikasi spesifik.
 Perlu dilakukan monitor hemodinamik invasive dengan fasilitas
spesialistik.

 Pertimbangkan IABP, dilanjutkan PCI atau bedah pintas coroner.32


Gambar 2.5 Algoritme Hipotensi/Syok dan Edema Paru Akut
(Modifikasi

dari AHA Guidelines)32


2.7 Komplikasi
Edema paru dapat menyebabkan hipoksia berat dan hipoksemia
yang dapat berlanjut pada kerusakan organ dan multi organ failure.
Gagal napas merupakan komplikasi yang umum terjadi dari edema paru

kardiogenik.2
2.8 Prognosis
Prognosis edem paru akut tergantung dari penyakit yang
mendasari terjadinya edem paru akut tersebut. Lebih dari 50% kasus edem
paru akut kardiovaskular sebelumnya seperti kardiomiopati, LVEF,
sistolik tekanan darah, kreatinin serum saat presentasi, dan penggunaan
diuretik merupakan faktor prognostik terhadap hasil pengobatan pasien
edem paru akut. Prognosis edem paru akut sangat berkaitan dengan
kejadian LVEF dan tekanan darah sistolik pada saat pasien masuk. Selain
dari LVEF dan tekanan darah sistol, gangguan fungsi ginjal juga termasuk
ke dalam parameter penentu prognosis dari kejadian edem paru akut pada
pasien, dimana hasil kreatinin serum ≥ 1,4 mg/dL termasuk meningkatkan
angka mortalitas pada pasien. Riwayat penyakit kardiovaskuler pada
pasien dapat meningkatkan lima kali resiko kematian pada pasien,
kejadian kardiomiopati meningkatkan dua kali risiko kematian, dan edem
paru akut pada diagnosis sekunder akan meningkatkan empat kali risiko

kematian pada pasien30


BAB III

LAPORAN KASUS

Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 68 tahun di bagian Penyakit Dalam RSUD
Arosuka sejak tanggal 09 Maret 2021 dengan:

ANAMNESIS
Keluhan Utama : (Alloanamnesis)
Sesak nafas meningkat sejak 3 hari sejak masuk rumah sakit.

Riwayat penyakit sekarang :

 Sesak nafas dipengaruhi aktivitas, sesak tidak dipengaruhi makanan dan cuaca. DOE (+),

PND (+), OP (+). Awalnya sesak meningkat saat pasien berbaring dan berkurang saat

pasien duduk. Namun, sekarang semakin meningkat apabila pasien duduk.

 Demam (+), sejak 3 hari yang lalu, tidak tinggi dan tidak menggigil.

 Batuk sejak 5 hari yang lalu, batuk berdahak berwarna kuning keruh, batuk darah (-).

 Sembab pada kaki tidak ada

 Nyeri dada tidak ada.

 Mual dan muntah tidak ada.

 Keringat malam disangkal.

 Perdarahan dari gusi, hidung dan dibawah kulit disangkal.

 Penurunan nafsu makan dan berat badan tidak ada.

 Buang air besar jumlah biasa, konsistensi biasa, berdarah tidak ada, berlendir tidak ada,

hitam tidak ada.

 Buang air kecil jumlah dan warna biasa, berdarah tidak ada, berpasir tidak ada, nyeri BAK

tidak ada.

27
Riwayat penyakit dahulu :

 Riwayat penyakit jantung (CHF + ASHD + HHD) mendapat terapi conco, spironolakton,
furosemid, CPG, lansoprazol dan nitrokaf

 Riwayat Hipertensi tidak terkontrol

 Riwayat Diabetes Melitus disangkal

 Riwayat asma disangkal

Riwayat penyakit keluarga :

Riwayat Hipertensi pada keluarga tidak ada

Riwayat Diabetes melitus pada keluarga tidak ada

Riwayat penyakit kardiovaskular tidak ada

Riwayat pekerjaan, sosial ekonomi, kejiwaan, dan kebiasaan :

 Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, pasien tidak merokok dan tidak

mengkonsumsi alkohol.

Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : apatis

Tekanan darah : 123/94 mHg

Frekuensi nadi : 129 kali/ menit

Frekuensi napas : 35 kali/ menit

Suhu : 36.5 oC

BB : 60 kg

28
TB : 163 cm

Saturasi : 88%

Sianosis : Tidak ada

Anemis : Tidak ada

Edema : Ada

Ikterus : Tidak ada

Pemeriksaan fisik

Kulit : Teraba hangat, turgor baik, ptekie (-)

Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah

bening Kepala : Normosefal

Rambut : hitam, tidak mudah dicabut

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera tidak ikterik, eksoftalmus tidak ada

Telinga : Tanda radang (-), cairan dari telinga (-)

Hidung : Perdarahan (-), tanda radang (-)

Mulut : Mukosa bibir dan mulut basah

Leher : JVP 5+2 cmH2O, kaku kuduk (-)

Dada : Normochest

Paru-paru : Inspeksi : simetris saat statis, tidak ada

bagian paru yang tertinggal

saat dinamis

Palpasi : fremitus sama kiri dan kanan


Perkusi : Sonor

Auskultasi : SN bronkovesikuler, rhonki +/+ seluruh


lapangan paru, wheezing +/+
Jantung : Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba 2 jari lateral linea

midklavikularis sinistra ruang interkosta VI

Perkusi : batas jantung kanan = linea sternalis dekstra,

batas atas jantung = ruang interkosta II, batas

kiri jantung = 2 jari lateral linea

midklavikularis sinistra ruang interkosta VI

Auskultasi : bunyi jantung reguler, irama teratur, bising

jantung tidak ada

Abdomen

Inspeksi : perut tidak tampak membuncit

Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, NT (+)

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Punggung : nyeri ketok CVA tidak ada, nyeri tekan sudut Murphy tidak

ada Genitalia : tidak diperiksa

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, refleks fisiologis ++/++, refleks patologis

-/-, edema +/+

Pemeriksaan Laboratorium

Hemoglobin : 13,9 gr/dl (N=14-18 gr/dl)

Leukosit : 7.700/mm3 (N= 5.000-10.000 /mm3)


Trombosit : 91.000/ mm3 (N= 150.000-400.000 /mm3)

Hematokrit : 39% (N= 40-48%)

Neutrofil/Limfosit : 79/9

ALC/NLR : 700/8.77

GDR : 112

Ur/Cr : 41/1.1

Na/K/Cl : 130/5.1/95

Kesan : Trombositopenia, ALC menurun, NLR meningkat, hiponatremia

EKG

Kesan: Atrial Fibrilasi, PVC, Infark Miokard


CXR

Interpretasi : Trakea ditengah, tampak jantung membesar, apeks terangkat, sudut

kostrofrenikus lancip, infiltrat di kedua paru, diafgrama licin.

Kesan : Kardiomegali, BP

Diagnosis kerja :- Acute Lung Oedema

- Atrial Fibrilasi

- Bronchopneumonia

- Susp. PDP COVID-19

Diagnosis Banding :-

Terapi :

IGD
- O2 Nasal kannul 4 lpm --> SaO2 98%

- Inj. Furosemid 40 mg

- Pasang catheter

- IVFD 1 kolf/24 jam


- ISDN 5 mg (SL)

- Nebu Combivent 1x

Rawat inap (ICU)

- Bedrest

- Diet MB DRJG

- IVFD NaCl 0,9% 12 jam/kolf

- NTG IV protap 100. Setelah 2 jam protap NTG, TDS >120 mmHg --> Ramipril 1 x 2.5

mg

- Bolus pelan Digoxin 1 ampul diencerkan dalam NaCl 0.9% 10 cc --> 5 cc

Jika setelah 2 jam HR >130 x/menit selama 15 menit, bolus ulang 5 cc lagi. Cek EKG

post digoxin 4 jam setelah bolus kedua.

Jika setelah bolus digoxin pertama, HR <130 x/menit --> EKG ulang 4 jam setelah bolus

- Nebulisasi Combivent 6 x 1 resp

- Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr

- Inj Flumocyl 3 x 1 amp

- Inj Ranitidine 2 x 50 mg

- Azitromisin 1 x 500 mg

- Balance cairan

Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad sanationam : dubia ad malam

Quo ad functionam : dubia ad malam

Catatan:
Pasien meninggal setelah 2 hari rawatan di ICU RSUD Arosuka
BAB IV

DISKUSI

Pasien perempuan usia 68 tahun datang ke RSUD Arosuka dengan keluhan sesak

yang semakin meningkat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan ini sudah

dirasakan sejak 5 hari yang lalu, sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan makanan

dipengaruhi oleh aktivitas. Pasien juga mengeluhkan demam sejak 3 hari yang lalu,

demam tidak tinggi. Pasien mengeluhkan batuk berdahak sejak 3 hari yang lalu, dahak

berwarna kuning keruh. Pasien tidak mempunyai keluhan terkait dengan BAB dan BAK.

Nafsu makan pasien baik dan pasien tidak mengeluhkan adanya penurunan berat badan.

Pasien memiliki riwayat CHF, ASHD, dan HHD dalam pengobatan.

Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit berat, kesadaran soporous, TD 123/94
mmHg, nadi 129 x/menit, suhu 36.5, nafas 35x/menit, konjungtiva tidak, sklera tidak

ikterik, JVP 5+2 cmH2O.

Pada pemeriksaan fisik toraks terlihat bentuk dada normal, pergerakan dada
simetris (statis dan dinamis). Pemeriksaan paru ditemukan inspeksi, palpasi, dan perkusi
dalam batas normal, tetapi pada pemeriksaan auskultasi didapatkan adanya rhonki basah
halus di kedua lapangan paru. Pada pemeriksaan fisik jantung ditemukan iktus kordis
tidak terlihat, palpasi : teraba di 2 jari lateral LMCS RIC VI. Perkusi : ditemukan batas
jantung kanan di LSD, batas jantung atas di RIC 2 dan batas jantung kiri di 2 jari lateral
LMCS RIC VI. Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-).
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hasil abdomen tidak tampak membuncit,
hepar dan lien tidak teraba. Saat perkusi terdengar timpani dan auskultasi bising usus
normal. Pada pemeriksaan punggung tidak didapatkan kelainan. Alat kelamin dan anus
tidak diperiksa. Pada ekstremitas terdapat udem kedua tungkai.

Pada hasil pemeriksaan EKG didapat gambaran atrial fibrilasi, hal ini menjadi

pemberat keadaan ALO pasien. Aritmia disebabkan adanya perubahan elektrofisiologis


sel miokardial yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan irama dan konduksi jantung

serta terjadinya keadaan edem paru kardiogenik.Selain itu, didapatkan juga gambaran

iskemik. Pasien juga mempunyai riwayat infark miokardial. Infark miokard dapat

menjadi salah satu penyebab edema paru kardiogenik, oleh beberapa sebab. Salah

satunya adalah komplikasi mekanis dari infark miokardial, yaitu rupturnya septum

ventrikel atau otot papilar. Komplikasi mekanis ini secara langsung akan meningkatkan

volume load pada serangan akut, yang nantinya akan menimbulkan terjadinya edema

paru.

Pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya peningkatan NLR dan penurunan

ALC, sehingga ini menandakan keadaan infeksi pada pasien. Penyebabnya bisa bakteri

ataupun virus. Dalam keadaan pandemi, kita patut mencurigai penyebabnya adalah virus

corona. Hal ini dapat memperberat keadaan pasien ALO. Pasien didiagnosis dengan

ALO karena sesak akut yang dialami pasien disertai sesak yang bertambah ketika

berbaring dan saturasi oksigen yang rendah. Pada pasien diberi terapi berupa bedrest dan

pemberian Furosemid serta ISDN sebagai tatalaksana awal ALO. Pasien juga diberi

NTG untuk mengatasi kondisi ALO. Selain itu, pasien diberikan digoxin untuk

mengatasi aritmia. Pemilihan digoxin dipertimbangkan karena pasien mengalami edem

paru dan gagal jantung.


DAFTAR PUSTAKA

1. Auliyana, Dina. Acute Coronary Syndrom. Fakultas Kesehatan


Universitas Muhammadiyah. 2016.
2. Iqbal MA, Gupta M. Cardiogenic Pulmonary Edema. In: StatPearls
[Internet]. StatPearls Publishing; 2019 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544260/
3. Clark SB, Soos MP. Noncardiogenic Pulmonary Edema. [Updated
2019 May 13]. In: StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing;
2019 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542230/
4. Rampengan,S.H. Edema Paru Akut. Jurnal Biomedik
(JBM);2014;6(3): 149-156
5. Australian Institute of Health and Welfare. Cardiovascular disease,
diabetes and chronic kidney disease: Australian facts: prevalence
and incidence. Canberra: AIHW; 2014.
http://www.aihw.gov.au/publication- detail/?id=60129549616
[cited 2016 Nov 6].
6. Harun S, Sally N. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam (Edisi ke- 5). Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009;
p. 1651-3.
7. Purvey M, trainee A and Allen G. Managing acute pulmonary
oedema.Aust Prescr. 2017 Apr; 40(2): 59–63.
8. Huldani H. Edema paru akut. Refarat. Universitas Lambung
Mangkurat Fakultas Kedokteran, Banjarmasin. 2014. Available
from: eprints.unlam.ac.id/207/
9. Salman A, Milbrandt EB, Pinsky MR. The role of noninvasive
ventilation in acute cardiogenic pulmonary edema. Critical Care.
2010;14(303):1-3.
10. Moss M, Ingram RH. Acute Respiratory Distress Syndrome. In:
Harrison, Fauci, Logo‟s, et al. Harrison‟s Principle of Internal
Medicine 15th Edition on CD-ROM. McGraw-Hill Companies.
Copyright 2001.
38
11. Givertz MM. Noncardiogenic Pulmonary Edema. Februari 2017.
http://www.uptodate.com/contents/noncardiogenic-pulmonary-
edema. diakses 10 Mei 2021

12. Gomersall C. Noncardiogenic Pulmonary Oedema.


https://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/noncardiogenic_pulmonary_oe
dema.htm. 10 Mei 2021

13. Sovari, A., Henry H., 2012. Cardiogenic Pulmonary Edema


Clinical Presentation.
http://emedicine.medscape.com/article/157452-clinical. diakses
10 Mei 2021

14. Nendrastuti H, Mohamad S. Edema paru akut, kardiogenik dan


non kardiogenik. Majalah Kedokteran Respirasi. 2010;1(3):10.

15. Majoli F, Monti L, Zanierato M, Campana C, Mediani S, Tavazzi


L, et al. Respiratory fatigue in patients with acute cardiogenic
pulmonary edema. Eur Heart J. 2004;6: F74-80.

16. Murray JF. Pulmonary edema: pathophysiology and diagnosis. Int


J Tuberc Lung Dis. 2011;15(2):155-160.

17. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan
Sepsis VAP. Anestesia & Critical Care. Vol 28 No.

18. Ware LB, Matthay MA. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med.
2005. 353: 2788-2796.

19. Soemantri. Cardiogenic pulmonary edema. Naskah Lengkap PKB


XXVI Ilmu Penyakit Dalam 2011. FK UNAIRRSUD Dr.
Soetomo, 2011. p.113-9. 11.

20. Bestern AD. Noninvasive ventilation for cardiogenic pulmonary


edema: froth and bubbles? Am J Respir Crit Care Med, 2010.

21. Araújo MCM, Coelho JR. Acute pulmonary edema. Available


from: http:www.medstudents.com.br/terin/teri n7.htm.

22. Mattu A, Martinez JP, Kelly BS. Modern management of


cardiogenic pulmonary edema. Emerg Med Clin N Am.

38
2005;23:1105-25

23. Ware LB, Matthay MA. Acute pulmonary edema. N Engl J Med.
2005;353:2788-96.

24. Ware LB, Matthay MA. Acute Pulmonary Edema.The New


England Journal of Medicine. n engl j med 353;26 www.nejm.org
december 29, 2005

25. Ali A Sovari. Cardiogenic Pulmonary Edema Clinical


Presentation. TheHeart.orgMedscape. 2017. Diakses 08 November
2019. https://emedicine.medscape.com/article/157452-
clinical#showall

26. Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR, Drexler H, Filippatos GS,


Jondeau G, et al. Executive summary of the guidelines on the
diagnosis and treatment of acute heart failure. Eur Heart J.
2005;26:384-416 .

27. Harun S. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Markum HMS, Setiati
S, Alwi I, Gani RA, Sumaryono, editors. Naskah lengkap
Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1998. Jakarta:
Bagian IPD FKUI; 1998. p. 97-101

28. Masip J, Roque M, Sanchez B, Fernandez R, Subirana M,


Exposito JA. Noninvasive ventilation in cardiogenic pulmonary
edema: systematic review and meta-analysis. JAMA.
2005;294:3124-32.

29. Gray A, Goodacre S, Newby DE, Masson M, Sampson F, Nicholl


J. Noninvasive Ventilation in Acute Cardiogenic Pulmonary
Edema. N Engl J Med. 2008;359(2):142-51.

30. Agarwal R, Aggarwal AN, Gupta D. Is noninvasive pressure


support ventilation as effective and safe as continuous positive
airway pressure in cardiogenic pulmonary oedema? Singapore
Med J. 2009;50(6):595-603.

31. Winck JC, Azevedo LF, Costa-Pereira A, Antonelli M, Wyatt JC.


Efficacy and safety of non-invasive ventilation in the treatment of
38
acute cardiogenic pulmonary edema–a systematic review and
meta-analysis. Critical Care. 2006;10(2):1-18.

32. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI).


Buku Ajar Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut. Edisi 2019.

33. Parissis JT, Nikolaou M, Mebazaa A, Ikonomidis I, Delgado J,


Boas FV, et al. acute pulmonary oedema: clinical, characteristics,
prognostic factors, and in-hospital management. European
Journal of Heart Failure. 2010;12:1193- 1202 (33)

38

Anda mungkin juga menyukai