Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ALO (ACUTE LUNG

OEDEM) DI RUMAH SAKIT UMUM DR. HARYOTO LUMAJANG

LAPORAN PENDAHULUAN KOMPREHENSIF

oleh
Devi Astika Putri
NIM 152310101198

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2018
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Konsep Dasar Pneumonia


1.1 Anatomi Fisiologi Paru
1.1.1 Anatomi Paru
Saluran pernafasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea,
dan paru. Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya berada di
atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi dua
yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan
paruparu kiri mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas.
Paru-paru dibungkus oleh selaput tipis yaitu pleura. Pleura terbagi menjadi pleura viseralis
dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput yang langsung membungkus paru,
sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang menempel pada rongga dada. Diantara kedua
pleura terdapat rongga yang disebut kavum pleura (Guyton, 2007).
Sistem pernafasan dapat dibagi ke dalam sitem pernafasan bagian atas dan
pernafasan bagian bawah. Pernafasan bagian atas meliputi, hidung, rongga hidung, sinus
paranasal, dan faring. Sedangkan pernafasan bagian bawah meliputi, laring, trakea,
bronkus, bronkiolus dan alveolus paru (Guyton, 2007) Pergerakan dari dalam ke luar paru
terdiri dari dua proses, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari
atmosfer ke dalam paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari dalam paru ke
atmosfer.

Gambar 1.1 Anatomi Paru

1.1.2 Fisiologi Paru


Fungsi utama paru-paru yaitu untuk pertukaran gas antara darah dan atmosfer.
Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan
mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon dioksida terus berubah
sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang, tapi pernafasan harus tetap
dapat memelihara kandungan oksigen dan karbon dioksida tersebut (West, 2004).
Udara masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa yang menyempit (bronchi
dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paru-paru utama (trachea). Pipa tersebut
berakhir di gelembung-gelembung paru-paru (alveoli) yang merupakan kantong udara
terakhir dimana oksigen dan karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah
mengalir. Ada lebih dari 300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia bersifat elastis.
Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia surfaktan yang
dapat menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis (McArdle, 2006).

1.2 Definisi
Acute Lung Oedema (Alo) adalah akumulasi cairan di paru yang terjadi secara
mendadak. (Aru W Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyaki Dalam, 2006).
Acute Lung Oedema (Alo) adalah terjadinya penumpukan cairan secara masif
dirongga alveoli yang menyebabkan pasien berada dalam kedaruratan respirasi
danancaman gagal napas.
Acute Lung Oedema (Alo) adalah terkumpulnya cairan ekstravaskuler yang patologis
di dalam paru. (Soeparman;767).
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang
terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi
(edem paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru
non kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga
terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia

1.3 Epidemiologi
Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4
juta penderita edema paru di dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema paru yang
perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di Amerika Serikat diperkirakan
5,5 juta penduduk menderita Edema. Di Jerman 6 juta penduduk.
Penyakit Edema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun1971. Sejak itu
penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampaitahun 1980 seluruh
propinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlahkasus menunjukkan
kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luaswilayah. Di Indonesia insiden
terbesar terjadi pada 1998, dengan Incidence Rate(IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan
CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun

1
berikutnya IR cenderungmeningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24
(tahun 2002);dan 23,87 (tahun 2003).

1.4 Etiologi
Penyebab terjadinya alo dibagi menjadi 2, yaitu:
1.4.1 Edema paru kardiogenik
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem
kardiovaskuler.
a. Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya
deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah
pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai
oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak
mampu memompa darah lagi seperti biasa.
b. Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli
diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh
infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek
racun dari obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati
menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu
mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih
berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi
beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang akan
mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding).
c. Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk
mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak
mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah
mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru.
d. Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot
ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.
1.4.2 Edema paru non kardiogenik

2
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi paru
itu sendiri. Pada non-kardiogenik, alo dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain:
a. Infeksi pada paru
b. Lung injury, seperti emboli paru, smoke inhalation dan infark paru.
c. Paparan toxic
Inhalasi bahan kimia toksik dapat menyebabkan lesi paru seperti yang
disebabkan oleh inhalasi asap. Edema paru dilaporkan dapat disebabkan akibat
paparan terhadap fosgen, klorin, oksida nitrogen, ozon, sulfur dioksida, oksida
metalik, uap asam, dan uap bahan kimia kompleks lainnya. Jika terhisap oleh
manusia pada konsentrasi tertentu menyebabkan edema paru-paru akibat adanya
gangguan keseimbangan cairan yang ada dan meningkatkan peroksida lipid dan
permeabilitas pembuluh darah.
d. Reaksi alergi
e. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Aspirasi cairan lambung dapat menyebabkan ARDS. Berat ringannya edema
paru berhubungan dengan derajat pH asam lambung dan volume cairan yang
teraspirasi. Asam lambung akan tersebar di dalam paru dalam beberapa detik
saja, dan jaringan paru akan terdapar (buffered) dalam beberapa menit sehingga
cepat menimbulkan edema paru.
f. Neurogenik
Keadaan ini terjadi pada penderita yang mengalami trauma kepala, kejang-
kejang, atau peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak. Diduga dasar
mekanisme edema paru neurogenik adalah adanya rangsangan hipotalamus
(akibat penyebab di atas) yang menyebabkan rangsangan pada sistem
adrenergik, yang kemudian menyebabkan pergeseran volume darah dari sirkulasi
sistemik ke sirkulasi pulmonal dan penurunan “compliance” ventrikel kiri.
Akibatnya terjadi penurunan pengisian ventrikel kiri, tekanan atrium kiri
meningkat dan terjadilah edema paru.

1.5 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan non-
kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema
Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema
3
Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi
dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri
Kronik.
a. Cardiogenic pulmonary edema
Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan
pada organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung
memompa tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa.
Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam
pembuluh-pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang
buruk. Gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung yang
buruk (datang dari beragam sebab-sebab seperti arrhythmias dan penyakit-penyakit
atau kelemahan dari otot jantung), serangan-serangan jantung, atau klep-klep jantung
yang abnormal dapat menjurus pada akumulasi dari lebih dari jumlah darah yang
biasa dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Ini dapat, pada gilirannya,
menyebabkan cairan dari pembuluh-pembuluh darah didorong keluar ke alveoli
ketika tekanan membesar.
b. Non-cardiogenic pulmonary edema
Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan oleh hal
berikut:
1) Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor
yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
2) kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah,
trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok
kokain, atau radiasi pada paru-paru.
3) Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat
menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat
pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut,
dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
4) High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan
yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.

4
5) Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure
yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan di
paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
6) Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-
expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru
mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru
(pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini
dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh
(unilateral pulmonary edema).
7) Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary
edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat
menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin
menyebabkan pulmonary edema.
8) Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema
mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke
paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-
related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia
pada wanita-wanita hamil.

1.6 Patofisiologi / Patologi


Alo kardiogenik dicetuskan oleh peningkatan tekanan atau volume yang mendadak
tinggi di atrium kiri, vena pulmonalis dan diteruskan (peningkatan tekanannya) ke kapiler
dengan tekanan melebihi 25 mmhg. Mekanisme fisiologis tersebut gagal mempertahankan
keseimbangan sehingga cairan akan membanjiri alveoli dan terjadi oedema paru. Jumlah
cairan yang menumpuk di alveoli ini sebanding dengan beratnya oedema paru. Penyakit
jantung yang potensial mengalami alo adalah semua keadaan yang menyebabkan
peningkatan tekanan atrium kiri >25 mmhg.
Sedangkan alo non-kardiogenik timbul terutama disebabkan oleh kerusakan dinding
kapiler paru yang dapat mengganggu permeabilitas endotel kapiler paru sehingga
menyebabkan masuknya cairan dan protein ke alveoli. Proses tersebut akan mengakibatkan
terjadinya pengeluaran sekret encer berbuih dan berwarna pink froty. Adanya sekret ini
akan mengakibatkan gangguan pada alveolus dalam menjalankan fungsinya.

1.7 Manisfestasi Klinis


5
Gejala paling umum dari pulmonary edem adalah sesak nafas. Ini mungkin adalah
penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau ia
dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edem akut.
Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan
sesak nafas daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), nafas yang
cepat (takipnea), kepeningan atau kelemahan. Tingkat oksigen darah yang rendah
(hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien dengan pulmonary edem.
Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter mungkin
mendengar suara-suara paru yang abnormal, seperti rales atau crakles (suara-suara
mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam
alveoli selama bernafas
Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium (23):
a. Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan
pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya
ronkhi pada saat inpsirasi karena terbukanya saluran nafas yang tertutup saat
inspirasi.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis
menebal (garis kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial,
akan lebih memperkecil saluran nafas kecil, terutama di daerah basal oleh karena
pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdengar
takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi
takipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan
interstisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit
perubahan saja.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi

6
right to left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapsia, tetapi
pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada
leadaan ini morphin harus digunakan dengan hati-hati (Ingram dan Braunwald,1988).
Edem paru yang terjadi setelah infark miokard akut biasanya akibat hipertensi
kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteriakoronaria,
terjadi edem paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah dengan
pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan menghambat
cyclooxgenase atau cyclic nucleotide phosphodiesterase akan mengurangi edem paru
sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler. Pada manusia masih
memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadang-kadang penderita dengan Infark
Miokard Akut dan edem paru, tekanan kapiler parunya normal. Hal ini mungkin
disebabkan lambatnya pembersihan cairan edem secara radiografi meskipun tekanan
kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi
peningkatan permeabilitas alveolus kapiler parus ekunder oleh karena adanya isi
sekuncup yang reendah seperti pada cardiogenic shock lung.

1.8 Pemeriksaan penunjang


a. Elektrokardiografi
Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium,
tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri
atau aritmia bisa ditemukan.
b. Laboratorium
Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
c. Radiologi
Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada.
Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang
menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-
tulang dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang menunjukan
sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh
struktur-struktur tulang dari dinding dada. X-ray dada yang khas dengan
pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada
kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari
pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan
7
pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang
normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari
pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal
tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
d. Pengukuran plasma B-type natriuretic peptide (BNP)
Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang
mendasari dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-type
natriuretic peptide (BNP) atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah penanda protein
(hormon) yang akan timbul dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari
kamar-kamar jantung. Peningkatan dari BNP nanogram (sepermilyar gram) per
liter lebih besar dari beberapa ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi
menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang
dari 100 pada dasarnya menyampingkan gagal jantung sebagai penyebabnya.
e. Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz)
Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis
(kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan
dimajukan melalui ruang – ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam
kapiler-kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari
pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan
secara langsung mengukur tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut
pulmonary artery wedge pressure. Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih
tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema, sementara wedge
pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-cardiogenic
cause of pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data
dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU).

1.9 Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi


1.9.1 Farmakologi
1. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan
tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1
ml/kgBB/jam.

8
2. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan
hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
3. Oksigen (90 – 100%) sampai 12 liter/menit bila perlu dengan masker NRBM.
4. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5
– 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin
intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
5. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV
dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat,
dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah
sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah
normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ
vital.
6. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari).
1.9.2 Non Farmakologi
1. Posisi semi fowler atau ½ duduk.
2. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
3. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan
ruptur dinding ventrikel / corda tendinae.

9
7. Clinical Pathway
8. v
Edema Paru

Obat- neurogenik Keadaan Inhalasi O2 Sepsis Gangguan


Obstruksi
obatan tenggelam jalan napas sirkulasi
jantung

Ketidakmampuan
jantung kiri untuk
memompa
Kerusakan membran Resusitasi eksudasi
alveoli kapiler paru cairan ke dalam
jaringan interstisial
Peningkatan vena
pulmonalis

Cairan dalam Tekanan


Aliran darah ke alveoli
pembuluh darah keluar hidrostatik
tetap berlangsung
ke jaringan paru meningkat

hipoksia
Pembesaran
cairan ke jaringan
interstisial

Alkalosis hiperventilasi
Cepat lelah respiratori Alveoli terisi
cairan

Intoleransi ARDS Ekspansi paru


menurun
aktivitas

Resiko sesak
Ketidakefektifan Gangguan
terjadinya bersihan jalan pertukaran gas
infeksi napas Gangguan Pola
Napas

10
9. Asuhan Keperawatan

Pengkajian
a. Pengkajian fokus
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien pneumonia menurut Suyono, 2009 ;
Nursalam,2005 dan Doengoes,2000:
1. Riwayat penyakit sekarang. Hal yang perlu dikaji :
Keluhan yang dirasakan klien dan usaha yang dilakukan untuk mengatasi keluhan
2. Riwayat penyakit terdahulu. Hal perlu dikaji :
(pernah menderita ISPA, riwayat terjadi aspirasi, sistem imun anak yang
mengalami penurunan )
3. Riwayat penyakit keluarga
( ada anggota keluarga yang sakit ISPA, ada anggota keluarga yang sakit
pneumonia)
4. Demografi
Usia ( lebih sering pada bayi atau anak dibawah umur 3 tahun)
Lingkungan ( pada lingkungan yang sering berkontaminasi dengan polusi udara)

b. Pengkajian Gordon
Hal-hal yang perlu dikaji:
1. Pola presepsi dan pemeliharaan kesehatan
Hal yang perlu dikaji yaitu kebersihan lingkungan, biasanya orang tua menggangap
anaknya benar-benar sakit jika anak sudah mengalami sesak nafas
2. Pola nutrisi dan metabolik
Biasanya muncul anoreksia ( akibat respon sistemik melalui kontrol saraf pusat) mual dan
muntah ( peningkatan rangsangan gaster sebagai dampak peningkatan toksik
mikroorganisme)
3. Pola istirahat tidur
Data yang sering muncul adalah anak sulit tidur karena sesak nafas, sering meguap serta
kadang-kadang menangis pada malam hari karena ketidaknyamanan
4. Pola aktivitas-latihan
Anak tampak menurun aktivitas dan latihannya sebagi dampak kelemahan fisik. Anak
lebih suka digendong dan bedrest.
5. Pola eliminasi
11
Penderita sering mengalami penurunan produksi urin akibat perpindahan cairan melalui
proses evaporasi karena demam
6. Pola kognitif-persepsi
Penurunan kognitif untuk mengingat apa yang pernah disampaikan biasanya sesaat akibat
penurunan asupan nutrisi dan oksigen pada otak
7. Pola persepsi diri-konsep diri
Tampak gambaran orang tua terhadap anak diam kurang bersahabat, tidak suka bermain,
ketakutan
8. Pola peran-hubungan
Anak tampak malas kalau diajak bicara,anak lebih banyak diam dan selalu bersama orang
tuanya
9. Pola seksual-reproduksi
Pada anak kecil masih sulit terkaji. Pada anak yang sudah puberta mungkin tergangguan
menstruasi
10. Pola toleransi stress koping
Aktivitas yang sering tampak mengalami stress adalah anak menangis, kalau sudah remaja
saat sakit yang dominan adalah mudah tersinggung
11. Pola nilai keyakinan
Nilai keyakinan mungkin meningkat seiring dengan kebutuhan untuk mendapat sumber
kesembuhan dari Allah SWT
c. Pemeriksaan fisik
Pada penderita pneumonia hasil pemeriksaan fisik yang biasanya muncul yaitu:
1. Keadaan umum : tampak lemah, sesak nafas
2. Kesadaran : tergantung tingkat keparahan penyakit bisa somnolent
3. Tanda- tanda Vital :
TD : Hipertensi
Nadi : takikardi
RR : takipneu, dispneu, nafas dangkal
Suhu : hipertermi
4. Kepala : tidak ada kelainan
5. Mata : kinjungtiva bisa anemis
6. Hidung : jika sesak akan terdengar nafas cuping hidung
7. Paru

12
Inspeksi : pengembangan paru berat, tidak simetris, jika hanya satu sisi paru, ada
penggunaan oto bantu nafas
Palpasi : adanya nyeri tekan, peningkatan vocal fremitus pada daerah yang terkena
Perkusi : pekak terjadi bila terisi cairan, normalnya timpani
Auskultasi : bisa terdengar ronki
8. Jantung
Jika tidak ada kelainan jantung, pemeriksaan jantung tidak ada kelemahan
Ekstremitas : sianosis, turgor berkurang jika dehidrasi

Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d penumpukan sekret pada jalan napas
b. Gangguan pertukaran gas b.d akumulasi protein dan cairan dalam interstitial/area
alveolar
c. Ketidakefektifan pola nafas b.d.penurunan ekspansi paru (akumulasi cairan)
terhadap penumpukan cairan dalam alveoli
d. Risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan intubasi endotrakeal
e. Intoleransi aktifitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen,
kelemahan umum

13
Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1. Ketidakefektifan NOC: NIC:


Bersihan Jalan - Respiratory status : Ventilation - Respiratory Monitoring
nafas berhubungan - Respiratory status : Airway patency 1. Bina hubungan saling percaya
dengan - Aspiration Control 2. Pantau rate, irama, kedalaman, dan usaha respirasi
penumpukan sekret Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. Perhatikan gerakan dada, amati simetris,
pada bronkus selama 1 x24 jam pasien menunjukkan penggunaan otot aksesori, retraksi otot
keefektifan jalan nafas dibuktikan dengan supraclavicular dan interkostal
kriteria hasil : 4. Monitor suara napas tambahan
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan 5. Monitor pola napas : bradypnea, tachypnea,
suara nafas yang bersih, tidak ada hyperventilasi, napas kussmaul, napas cheyne-
sianosis dan dyspneu (mampu stokes, apnea, napas biot’s dan pola ataxic
mengeluarkan sputum, bernafas - Airway Management
dengan mudah, tidak ada pursed lips) 5. Auskultasi bunyi nafas tambahan;
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten ronchi,wheezing.
(klien tidak merasa tercekik, irama 6. Berikan posisi yang nyaman untuk mengurangi
nafas, frekuensi pernafasan dalam dispnea.
rentang normal, tidak ada suara nafas 7. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea; lakukan
abnormal) penghisapan sesuai keperluan.
c. Mampu mengidentifikasikan dan 8. Anjurkan asupan cairan adekuat.
mencegah faktor yang penyebab. 9. Ajarkan batuk efektif
d. Saturasi O2 dalam batas normal 10. Kolaborasi pemberian oksigen
e. Foto thorak dalam batas normal 11. Kolaborasi pemberian broncodilator sesuai indikasi.
- Airway suctioning
12. Putuskan kapan dibutuhkan oral dan/atau trakea
suction
13. Auskultasi sura nafas sebelum dan sesudah
suction
14. Informasikan kepada keluarga mengenai tindakan
suction
15. Gunakan universal precaution, sarung tangan,
goggle, masker sesuai kebutuhan
16. Gunakan aliran rendah untuk menghilangkan
sekret (80-100 mmHg pada dewasa)
17. Monitor status oksigen pasien (SaO2 dan SvO2)
dan status hemodinamik (MAP dan irama
jantung) sebelum, saat, dan setelah suction

1
2. Gangguan NOC: NIC :
Pertukaran Gas - Respiratory Status : Gas exchange - Airway Management
berhubungan - Electrolyte & Acid/Base Balance 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
dengan penurunan - Respiratory Status: ventilation udara
difusi O2 - Vital Sign Status 2. Lakukan terapi fisik dada, sesuai kebutuhan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. Keluarkan secret dengan melakukan batuk efektif
selama 1 x 24 jam Gangguan pertukaran atau dengan melakukan suctioning
pasien teratasi dengan kriteria hasi: 4. Catat dan monitor pelan, dalamnya pernapasan
- Mendemonstrasikan peningkatan dan batuk
ventilasi dan oksigenasi yang adekuat 5. Berikan treatment aerosol, sesuai kebutuhan
- Memelihara kebersihan paru paru dan 6. Berikan terapi oksigen, sesuai keebutuhan
bebas dari tanda tanda distress 7. Regulasi intake cairan untuk mencapai
pernafasan keseimbangan cairan
- Mendemonstrasikan batuk efektif dan 8. Monitor status respiratory dan oksigenasi
suara nafas yang bersih, tidak ada - Respiratory Monitoring
sianosis dan dyspneu (mampu 1. Monitor frekuensi, ritme, kedalaman pernapasan.
mengeluarkan sputum, mampu 2. Monitor adanya suara abnormal/noisy pada
bernafas dengan mudah, tidak ada pernapasan seperti snoring atau crowing.
pursed lips) 3. Kaji keperluan suctioning dengan melakukan
- Tanda tanda vital dalam rentang auskultasi untuk mendeteksi adanya crackles dan

2
normal rhonchi di sepanjang jalan napas.
- AGD dalam batas normal 4. Catat onset, karakteristik dan durasi batuk.
- Status neurologis dalam batas normal - Vital Signs Monitoring
1. Monitor tekanan darah, nadi, temperature, dan
status respirasi, sesuai kebutuhan.
2. Monitor respiration rate dan ritme (kedalaman dan
simetris)
3. Monitor suara paru
4. Monitor adanya abnormal status respirasi (cheyne
stokes, apnea, kussmaul)
5. Monitor warna kulit, temperature dan
kelembapan.
6. Monitor adanya sianosis pada central dan perifer
- Managemen Asam-Basa
1. Pertahankan kepatenan jalan napas.
2. Pantau gas darah arteri (AGD), serum dan tingkat
elektrolit urine.
3. Monitor hilangnya asam (misalnya muntah,
output nasogastrik, diare dan diuresis).
4. Berikan posisi untuk memfasilitasi ventilasi yang

3
memadai (misalnya membuka jalan napas dan
mengangkat kepala tempat tidur)
5. Pantau gejala gagal pernafasan (misalnya
PaO2 rendah, PaCO2tinggi dan kelelahan otot
pernafasan).
6. Pantau pola pernapasan.
7. Berikan terapi oksigen, jika perlu.
3. Ketidakefektifan NOC: NIC:
pola nafas b.d. - Respiratory Status: Airway patency - Airway Management
penurunan ekspansi - Vital Signs 1. Posisikan pasien semi fowler
paru (akumulasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Auskultasi suara nafas, catat hasil penurunan
udara/cairan) selama 3 x 24jam pasien menunjukkan daerah ventilasi atau tidak adanya suara adventif
keefektifan pola nafas, dengan kriteria 3. Monitor pernapasan dan status oksigen yang
hasil: sesuai
1. Frekuensi, irama, kedalaman - Oxygen Therapy
pernapasan dalam batas normal 1. Mempertahankan jalan napas paten
2. Tidak menggunakan otot-otot bantu 2. Kolaborasi dalam pemberian oksigen terapi
pernapasan 3. Monitor aliran oksigen
3. Tanda Tanda vital dalam rentang - Respiratory Monitoring
normal (tekanan darah, nadi, 1. Monitor kecepatan, ritme, kedalaman dan usaha

4
pernafasan) (TD 120-90/90-60 pasien saat bernafas
mmHg, nadi 80-100 x/menit, RR : 18- 2. Catat pergerakan dada, simetris atau tidak,
24 x/menit, suhu 36,5o – 37,5o C) menggunakan otot bantu pernafasan
3. Monitor suara nafas seperti snoring
4. Monitor pola nafas: bradypnea, tachypnea,
hiperventilasi, respirasi kussmaul, respirasi
cheyne-stokes dll
4 Risiko infeksi NOC NIC
berhubungan - Immune Status Infection Control (Kontrol infeksi)
dengan pemasangan - Knowledge : Infection control 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
intubasi endotrakeal - Risk control 2. Pertahankan teknik isolasi
Setelah dilakukan intervensi selama … x 3. Batasi pengunjung bila perlu
24 jam diharapkan kondisi klien tidak 4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
adanya infeksi dengan kriteria hasil : tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
1. Klien bebas dari tanda dan gejala meninggalkan pasien
infeksi 5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
2. Mendeskripsikan proses penularan 6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
penyakit, faktor yang mempengaruhi keperawatan
penularan serta penatalaksanaannya 7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
3. Menunjukkan kemampuan untuk pelindung

5
mencegah timbulnya infeksi 8. Pertahankan lingkungan aseptik selama
4. Jumlah leukosit dalam batas normal pemasangan alat
5. Menunjukkan perilaku hidup sehat 9. Ganti letak IV perifer dan line central dan
dressing sesuai dengan petunjuk umum
10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
infeksi kandung kencing
11. Tingktkan intake nutrisi
12. Berikan terapi antibiotik bila perlu
13. Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
14. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
lokal
15. Monitor hitung granulosit, WBC
16. Monitor kerentangan terhadap infeksi
17. Batasi pengunjung
18. Pertahankan teknik aspesis pada pasien yang
beresiko
19. Pertahankan teknik isolasi k/p
20. Berikan perawatan kulit pada area epidema
21. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase

6
22. Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
23. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai
resep
24. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi
25. Ajarkan cara menghindari infeksi
26. Laporkan kecurigaan infeksi
5 Intoleransi aktifitas NOC: NIC:
b.d - Activity Tolerance - Activity Therapy
ketidakseimbangan - Fatigue Level 1. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk
antara suplai dan Setelah dilakukan intervensi selama 3 x24 merencanakan , monitoring program aktivitasi
kebutuhan jam diharapkan kondisi klien stabil saat klien.
oksigen,kelemahan aktivitas dengan kriteria hasil : 2. Bantu klien memilih aktivitas yang sesuai dengan
umum 1. Saturasi O2 saat aktivitas dalam batas kondisi.
normal (95-100%) 3. Bantu klien untuk melakukan aktivitas/latihan fisik
2. Nadi saat aktivitas dalam batas normal secara teratur.
(60-100x/mnt) 4. Monitor status emosional, fisik dan social serta
3. RR saat aktivitas dalam batas normal spiritual klien terhadap latihan/aktivitas.
(12-20x/mnt) 5. Monitor hasil pemeriksaan EKG klien saat istirahat
4. Tekanan darah systole saat aktivitas dan aktivitas (bila memungkinkan dengan tes

7
dalam batas normal (100-120mmHg) toleransi latihan).
5. Tekanan darah diastole saat aktivitas 6. Kolaborasi pemberian obat antihipertensi, obat-
dalam batas normal (60-80mmHg) obatan digitalis, diuretic dan vasodilator.
6. Hasil EKG dalam batas normal - Energy Management
7. Tidak nampak kelelahan 1. Tentukan pembatasan aktivitas fisik pada klien
8. Tidak nampak lesu 2. Tentukan persepsi klien dan perawat mengenai
9. Tidak ada penurunan nafsu makan kelelahan.
10. Tidak ada sakit kepala 3. Tentukan penyebab kelelahan (perawatan, nyeri,
11. Kualitas tidur dan istirahat dalam pengobatan)
batas normal 4. Monitor efek dari pengobatan klien.
5. Monitor intake nutrisi yang adekuat sebagai sumber
energy.
6. Anjurkan klien dan keluarga untuk mengenali tanda
dan gejala kelelahan saat aktivitas.
7. Anjurkan klien untuk membatasi aktivitas yang
cukup berat seperti berjalan jauh, berlari,
mengangkat beban berat, dll.
8. Monitor respon terapi oksigen klien.
9. Batasi stimuli lingkungan untuk relaksasi klien.
10. Batasi jumlah pengunjung.

8
9
10. Discharge Planning
Pemberian informasi kepada klien dan keluarga tentang:
1. Obat : beritahu klien dan keluarga tentang dosis dan waktu pemberian obat.
2. Mengajarkan keluarga teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi sesak
3. Diet : Berikan klien makanan yang sehat dan seimbang sehingga memiliki
kekebalan tubuh yang baik terhadap berbagai macam penyakit
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI 2002. Pedoman Penanggulangan P2 ISPA. Depkes RI, Jakarta.

Doenges, Marilynn, E., 2002. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman


Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC, Jakarta.

Engram, B 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Volume 1,


EGC, Jakarta.

NANDA 2015-2017. Nursing diagnoses : Definition and classification 2015-


2017 10th Edition. Jakarta : EGC

NOC. 2016. Nursing Outcomes Classification 5th Edition. Elsevier

NIC. 2016. Nursing Intervention Classification 5th Edition. Elsevier

20

Anda mungkin juga menyukai