Oleh
UNIVERSITAS JEMBER
2015
1. Kedudukan Ilmu
2. اْللباب أُولُو يتذ َّك ُر إنَّما يعل ُمون ال والَّذين يعل ُمون الَّذين يستوي هل قُل
Alloh Ta'ala berfirman :
Katakanlah (wahai Muhammad) apakah sama orang-orang yang
mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya
orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.[QS Az
Zumar: 9]
Demikian pula berkata Ibnu Abi Mulaikah ra.: "Belum pernah aku
melihat orang seperti Ibnu Abbas. Apabila aku melihatnya maka
tampaklah, mukanya amat cantik. Apabila ia berkata-kata maka
lidahnya amat lancar. Dan apabila ia memberi fatwa maka dialah
orang yang amat banyak ilmunya".
Berkata Ibnul Mubarak ra.: "Aku heran orang yang tidak menuntut
ilmu! Bagaimana ia mau membawa dirinya kepada kemuliaan".
Berkata Abud Darda' ra.: "Lebih suka aku mempelajari satu masalah,
daripada mengerjakan shalat satu malam".
Berkata 'Atha': "Suatu majelis ilmu itu, akan menutupkan dosa tujuh
puluh majelis yang sia-sia".
Berkata Ibnu Abdil Hakam ra.: "Adalah aku belajar ilmu pada Imam
Malik. Lalu masuk waktu Dhuhur. Maka aku kumpulkan semua kitab
untuk mengerjakan shalat. Maka berkata Imam Malik: "Hai, tidaklah
yang engkau bangun hendak mengerjakannya itu, lebih utama
daripada apa yang ada engkau didalamnya, apabila niat itu benar".
ٌ فإ َّن طلب العلم فريضة، اطلُبُوا العلم ولو بالصين: قال رسول هللا:ابن عبد البر عن أنس قال
ُ ُعلى ُكل ُمسل ٍم إن المالئكة تض ُع أجنحتها لطالب العلم رضا بما يطل
ب
الزهري عن سعيد حدَّثنا بك ُر ب ُن خلفٍ أبُو بش ٍر حدَّثنا عبد ُ اْلعلى عن معم ٍر عن ُّ
َللاُ عليه وسلَّم من يُرد َّ
َللاُ َللا صلَّى َّ بن ال ُمسيَّب عن أبي هُريرة قال قال ر ُ
سو ُل َّ
به خيرا يُفقههُ في الدين
Telah menceritakan kepada kami Bakr bin Khalaf Abu Bisyr berkata,
telah menceritakan kepada kami Abdul A’la dari Ma’mar dari Zuhri
dari Sa’id Ibnul Musayyab dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa dikehendaki
Allah untuk mendapat kebaikan, maka Allah akan memberikan
pemahaman kepadanya tentang agama.” (HR. Ibnumajah No.216,
217, Bukhori No.69, 2884, 6768, Ahmad No.16243, 16323, Ad
)Darimi No.226, 227, 228
َللا ب ُن د ُاود سمعتُ عاصم بن رجاء بن حيوة حدَّثنا ُمسدَّدُ ب ُن ُمسره ٍد حدَّثنا عبد ُ َّ
ث عن د ُاود بن جمي ٍل عن كثير بن قي ٍس قال ُكنتُ جالسا مع أبي الدَّرداء في يُحد ُ
َللاُسول صلَّى َّ مسجد دمشق فجاءهُ ر ُج ٌل فقال يا أبا الدَّرداء إني جئتُك من مدينة َّ
الر ُ
َللاُ عليه وسلَّم ما جئتُ
َللا صلَّى َّ سول َّ ث بلغني أنَّك تُحدثُهُ عن ر ُ عليه وسلَّم لحدي ٍ
ب َللاُ عليه وسلَّم يقُو ُل من سلك طريقا يطلُ ُ َللا صلَّى َّ
سول َّ لحاج ٍة قال فإني سمعتُ ر ُ
ط ُرق الجنَّة وإ َّن المالئكة لتض ُع أجنحتها رضا َللاُ به طريقا من ُ فيه علما سلك َّ
سموات ومن في اْلرض والحيت ُ
ان لطالب العلم وإ َّن العالم ليستغف ُر لهُ من في ال َّ
في جوف الماء وإ َّن فضل العالم على العابد كفضل القمر ليلة البدر على سائر
الكواكب وإ َّن العُلماء ورثةُ اْلنبياء وإ َّن اْلنبياء لم يُورثُوا دينارا وال درهما
ي حدَّثنا و َّرثُوا العلم فمن أخذهُ أخذ بحظٍ واف ٍر حدَّثنا ُمح َّمدُ ب ُن الوزير الدمشق ُّ
عثمان بن أبي سودة عن أبي ُ الوليدُ قال لقيتُ شبيب بن شيبة فحدَّثني به عن
َُللاُ عليه وسلَّم بمعناه
َّ الدَّرداء يعني عن النَّبي صلَّى
Aqidah
‘Aqidah menurut bahasa arab berasal dari kata al-aqdu yang
berati ikatan, at-tautsiiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan
yang kuat, al-ihkaamu yang artinya mengokohkan (menetapkan) dan
ar-rabthu biquw-wah yang artinya mengikat dengan kuat, sedangkan
menurut istilah ‘Aqidah adalah iman yang teguh dan pasti yang tidak
ada keraguannya sedikit pun bagi orang yang meyakininya. Dengan
kata lain ‘Aqidah adalah sesuatu yang dipercayai dan diyakini
kebenarannya oleh hati manusia, sesuai ajaran islam dengan
berpedoman kepada Al Quran dan Hadist.
َ ف َُقَدأْ َُ َطا
َُ عاْللَّ ْه ْ َسول َّ ْ ني ُُطعا
ُ لر ْ َم
“barangsiapa yang taat kepada rasul maka sungguh dia telah taat
kepada Allah.”(QS.An-nisaa:80)
“Katakanlah: “Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika
kamu berpaling Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa
yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah
semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat
kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain
kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan
terang”. (QS.An-Nuur:54)
َّواف َُإنَّاْلل
ْ َّف َُإنتْ َُ َولْ َسول َّ َُ قُألْ َُطيعُوااْللَّ َه ْو
ُ الر
ْ
َُ َافرين اي ُُحبُّاْلك
ْ َُْ َهل
“Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling,
Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.
(QS.Ali Imran:32)
Dan ayat-ayat yang masih banyak lagi dari kitabullah Azza wajalla.
Dan telah datang pula perintah dari Allah Azza wajalla untuk
mengikuti RAsul-Nya Shallallahu alaihi wasallam berupa perintah
untuk menjadikannya sebagai suri tauladan dalam banyak tempat
(dalam al-qur’an).
1) Tingkat Taqlid
Yaitu menerima suatu kepercayaan dari orangain tanpa mengetahui
alasan-alasannya. Sikap taqlid ini dilarang oleh agama Islam.
2) Tingkat Ilmul Yaqin
Yaitu suatu keyakinan yang diperoleh berdasarkan ilmu yang bersifat
teoritis.
3) Tingkat Ainul Yaqin
Yaitu suatu keyakinan yang diperoleh melalui pengamatan mata
kepala secara langsung tanpa perantara.
4) Tingkat Haqqul Yaqin
Yaitu suatu keyakinan yang diperoleh melalui pengamatan dan
penghayatan pengamalan (empiris).
Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat
penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan
ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang
dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah
suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau
badai, bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban apa
saja, bangunan tersebut akan runtuh dan hancur berantakan. Allah swt
berfirman,
بُعُب يُشركُ وال صالُُا مال ع مل عُ لي ف ربه قآء لُ ر ُجوا ي ن كا من ف
اُ ربه ا
Syari’ah
Secara Etimologi
Kata Syari’ah berasal dari bahasa Arab, dari kata Syara’a yang berarti
jalan. Syari’ah Islam berarti jalan dalam agama Islam atau peraturan
dalam Islam.
Secara Terminologi
Syari’ah adalah suatu sistem norma Ilahi yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesamanya dan
hubungan manusia dengan seluruh ciptaan Tuhan di alam
semesta.Muhammad Ali al-Sayis mengartikan syari’ah dengan jalan
“yang lurus”. Kemudian pengertian ini dijabarkan menjadi: “Hukum
Syara’ mengenai perbuatan manusia yang dihasilkan dari dalil-dalil
terperinci”. Syekh Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah sebagai
hukum- hukum dan tata aturan yang disyariatkan oleh Allah bagi
hamba-Nya untuk diikuti
شريعة:
هيالنظمالتيشرعهااللهاوشرعاصولهاليأخذاإلنسانبهانفسهفيعالقتهبربهوعالقتهبأخيهالمسلموع
القتهبأخيهاإلنسانوعالقتهبالكونوعالقتهبالحياة
Menurut Faruq Nabhan, secara istilah, syari’ah berarti “ segala
sesuatu yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Sedangkan menurut Manna al-Qaththan, syari’ah berarti segala
ketentuan yang disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya, baik
menyangkut aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalat. Abdul Wahab
Khallaf memberikan pengertian syari’ah itu sebagai :
الشريعةماشرعهاللهتعاليلعبادهمناْلحكامالتيجاءتبهانبيمناْلنبياءصلعموعلينبيتاوسلم,
سواءكانتمتعلقةبكيفيةعملوتسميفرعيةودونلهاعلمالفقهاوبكيفيةاإلعتقادوتسمياصليةواعتقاديةود
ونلهاعلمالكالم.
Dari beberapa pengertian yang diungkapkan oleh para ahli dapat
dirumuskan bahwa syari’ah adalah aturan-aturan yang berkenaan
dengan prilaku manusia, baik yang berkenaan dengan hukum pokok
maupun hukum cabang yang bersumber dari al-Quran dan hadis Nabi
saw.
Namun demikian, perlu difahami bahwa meskipun syari’at Islam itu
tidak berubah, tetapi dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan
kondisi, sebab petunjuk-petunjuk yang dibawakannya dapat
membawa manusia kepada kebahagiaan yang abadi.
Jadi Syariat islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur
seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan
aturan, syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh
kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat Islam
merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan
hidup manusia dan kehidupan dunia ini.
Kata “syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau
“istara’a” berarti membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini
Allah berfirman,
Akhlak
Pembicaraan tentang Akhlak berkaitan dengan persoalan nilai
baik dan buruk. Oleh karena itu ukuran yang menjadi dasar penilaian
tersebut harus merujuk pada nilai-nilai agama Islam. Dengan
demikian, ukuran baik buruknya suatu perbuatan harus merujuk pada
norma-norma agama, bukan sekedar kesepakatan budaya. Kalau tidak
demikian, norma-norma akan berubah seiring dengan perubahan
budaya, sehingga sesuatu yang baik dan sesuai dengan agama bisa
jadi suatu saat dianggap buruk pada saat bertentangan dengan budaya
yang ada.
Dalam Islam, akhlak menjadi salah satu inti ajaran. Fenomena
ini telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan
dalam Al Qur’an surat al–Qalam (4) :
Dengan demikian bagi umat Islam, untuk menunjuk siapa yang layak
dicontoh tidak perlu sulit sulit, cukuplah berkiblat kepada akhlak yang
ditampilkann oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis dinyatakan :
“orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang
paling baik budi pekertinya” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah). Dalam
hadis yang lain yang diriwayatkan oleh at Turmudzi dari Jabir r.a.,
Rasulullah menyatakan : “Sungguh di antara yang paling aku cintai,
dan yang paling dekat tempat duduknya dengan aku kelak pada hari
kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya diantara kamu”.
Akhlak menempati kedudukan yang luhur dalam Islam, bahkan
di antara misi utama agama ini adalah menyempurnakan akhlak yang
mulia, sebagaimana sabda Nabi SAW :
ِ َ لم يكن النبي صلى للا عليه وسلم ف: عن عبد للا بن عمرو رضي للا عنهما قال
احشا ً َو َال
َ ْار ُك ْم أَح
سنُ ُك ْم أ ً ْخالَقا ً رواه البخاري َ ُمتَفَ ِحشا ً َوك.
ُ َ إِ َّن ِم ْن ِخي: َان َيقُ ْو ُل
Dari Abdullah bin Amru berkata: Nabi tidak pernah berbuat keji
sendiri tidak pula berbuat keji kepada orang lain. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya termasuk sebaik-baik kalian adalah yang paling baik
akhlaknya” (HR Bukhari)
كانالنَّبيُّصلَّىالل ُهعليهوسلَّمأشدَّحياءمنالعذراءفـيخدرها.
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang
dipingit di kamarnya.” [Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6119).]
Ketahuilah bahwa ulama salaf sangat perhatian sekali pada masalah
adab dan akhlak. Mereka pun mengarahkan murid-muridnya
mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan
menemukan berbagai macam khilaf ulama. Imam Darul Hijrah, Imam
Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,
a. Al Qur’an
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan
secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah,
diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan
ibadah. Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama.
Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-
hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat
kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan
menjauhi segala larangnannya Al Qur’an memuat berbagai pedoman
dasar bagi kehidupan umat manusia.
Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan
77.439 kosa kata
Segi Kualitas
Hadits
“Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat
selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan
sunah rasulnya”. (HR Imam Malik)
Metode-metode Berijtihad
1. Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakni adanya dan
maksudnya menunjukkan kepada hukum itu Hukum seperti ini tetap,
tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslim, tidak
seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib shalat lima waktu,
zakat, puasa, haji dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafi’ie
berpendapat apabila ada ketentuan hukum dari Allah SWT, pada
suatu kejadian, setiap muslim wajib mengikutinya.
2. Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya
terhadap hukum-hukum itu. Dalam hal seperti ini terbukalah jalan
mujtahid untuk berijtihad dalam batas memahami nas itu. Para
mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu
hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah khiar
majelis bagi dua orang yang berjual beli, hukum yanash dibedakan
menjadi dua yaitu:
- Hukum yang ada nas, baik secara qa’i (pasti) maupun zanni
(dugaan), tetapi pada suatu masa telah sepakat (ijma’) mujtahidin atas
hukum-hukumnya Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya
perkawinan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim. Di sini
tidak ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap muslim wajib mengakui
untuk menjalankannya. Karena hukum yang telah disepakati oleh
mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu
menurut Rasulullah SAW tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat.
Mujtahidin merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan,
sedangkan Allah SWT menyuruh hambanya menaati ulil amri.
Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul mengetahui bahwa pada
huku itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin. Bukan hanya
semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan yang tidak
berdasarkan penelitian.
- Hukum yang tidak ada dari nas, baik qat’i ataupun zanni, dan tidak
pula ada kesepakatan mujtahidin atas hukum itu. Seperti yang banyak
terdapat dalam kitab-kitab fiqih mazhab. Hukum seperti ini adalah
hasil pendapat seorang mujtahid. Pendapat menurut cara yang sesuai
denngan akal pikirannya dan keadaan lingkungannya masing-masing
diwaktu terjadinya peristiwa itu. Hukum-hukum seperti itu tidak
tetap, mungkin berubah dengan berubahnya keadaan atau tinjauannya
masing-masing. Maka mujtahid dimasa kini atau sesduahnya berhak
membantah serta menetapkan hukum yang lain. Sebagaimana
mujtahid pertama telah memberi (menetapkan) hukum itu
sebelumnya. Ia pun dapat pula mengubah hukum itu dengan
pendapatnya yang berbeda dengan tinjauan yang lain, setelah
diselidiki dan diteliti kembali pada pokok-pokok pertimbangannya.
Hasil ijtihad seperti ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh muslim.
Hanya wajib bagi mujtahid itu sendiri dan bagi orang-orang yang
meminta fatwa kepadanya, selama pendapat itu belum diubahnya.