SILVIA ROZA
JULITA
TAHAP III
SUBBAGIAN PEDIATRIK OPHTHALMOLOGY DAN STRABISMUS
PROGRAM STUDI OPHTHALMOLOGY
PROGRAM SPESIALIS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
1
ETIOPATOLOGI DAN GAMBARAN KLINIS
2.1 Etiopatologi
Miastenia grafis merupakan suatu kelainan dimana antibodi menyerang
reseptor asetilkolin yang menyebabkan disfungsi otot. Onset pada masa anak-anak
jarang terjadi. Pada transient neonatal, yang disebabkan oleh transfer plasenta
dari antibodi reseptor asetilkolin ibu dengan miastenia gravis, dapat ditemukan
gejala miastenia gravis, tapi dapat pulih dengan cepat. Varian lain tidak dimediasi
imun dan menunjukkan predisposisi genetik dan gangguan murni okuler. Pada
miastenia grafis yang berat, sering merupakan bagian dari gangguan sistemik
utama yang melibatkan otot rangka lainnya, terutama pada pasien yang belum
mendapat terapi imunosupresif. Miastenia sistemik generalisata lebih jarang
terjadi miastenia okuler pada onset masa kanak-kanak dibandingkan pada onset
dewasa.5,6,7,8
Meskipun penyakit ini biasanya merupakan gangguan sistemik, setengah
dari pasien yang terkena memiliki gejala dan tanda okuler saat onset. Patofisiologi
muncul dari antibodi yaitu mengurangi jumlah reseptor asetilkolin nikotinat yang
tersedia. Miastenia gravis dapat disebabkan atau diperburuk oleh berbagai jenis
obat, termasuk antiaritmia, statin, antibiotik, obat kemoterapi, antiepilepsi,
kuinolon, penicillamine, kortikosteroid, beta blocker, dan calcium channel
blocker.9
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas
dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada
membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi.
Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps
menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalananya kearah motor
end plate dapat dipecahkan oleh kolinestrase. Selain itu jumlah asetilkolin yang
dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate
menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat
berlangsung lama.10
2
Gambar 1. Neuromuskular junction normal (A) dan Miastenia gravis (B dan C) 10
Kelainan kelenjar timus terjadi pada pada miastenia gravis. Meskipun secara
radiologi kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara
histopatologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukan adanya
kelainan. Peranan dari timus dalam patogenesa terjadinya miastenia gravis tidak
begitu jelas, tetapi 75 % pasien miastenia gravis memiliki derajat abnormalitas
pada timus. Dengan memperlihatkan fungsi imunologi pada tymus dan
peningkatan kondisi klinis pada pasien setelah thymectomy. Timus dicurigai
sebagai lokasi dari formasi autoantibodi.10
3
otot permanen yang mengarah ke sudut deviasi yang stabil dan kelemahan otot
ekstraokuler.1
Gambar 2. Miastenia gravis. Ptosis bilateral (kanan lebih ptosis dari kiri) dengan
hipotropia kanan.5
4
Miastenia gravis sering menyebabkan diplopia. Diplopia dapat bervariasi,
baik pada siang hari maupun dari hari ke hari. Pola motilitas okuler dapat
mensimulasikan paresis CN motorik okuler (biasanya CN VI atau parsial,
kelumpuhan CN III pupil- sparing), oftalmoplegia internuklear, gangguan
motilitas supranuklear (misalnya, kelumpuhan visual), atau “kelumpuhan” otot
(misalnya, rektus inferior). Oftalmoplegia total juga dapat terjadi. Perubahan pola
diplopia, dengan atau tanpa ptosis, menunjukkan miastenia gravis. Seperti halnya
ptosis, kelelahan motilitas juga dapat dinilai dengan meminta pasien
mempertahankan pandangan ke arah paresis. Kelemahan orbicularis oculi sering
muncul pada pasien dengan miastenia gravis okuler dan, jika ada, dapat menjadi
diagnostik penting dalam membedakan miastenia gravis dari penyebab lain
oftalmoplegia eksternal. Miastenia gravis lebih sering menyebabkan eksotropia
atau deviasi okuler "wall-eyed". Keterlibatan otot ekstraokuler bersifat selektif,
sehingga menimbulkan juling yang incomitant dan comitant, dengan aksi otot
yang overaksi dan underaksi. 7,9,11,12
5
Gambaran klinis dari miastenia gravis mirip dengan gambaran klinis
okuler yang terdapat pada tyroid eye disease dan oftalmologi eksternal progresif
knonis. Namun terdapat beberapa perbedaan dari masing-masing penyakit ini.
Perbedaannya dapat dilihat pada Tabel 1.
6
BAB III
DIAGNOSIS DAN MANAJEMEN
3.1 Diagnosis
Diagnosis miastenia grafis dibuat secara klinis dengan mengidentifikasi
tanda dan gejala yang khas, secara farmakologis dengan mengatasi blok reseptor
melalui pemberian inhibitor asetilkolinesterase, secara serologis dengan
menunjukkan peningkatan titer antibodi reseptor anti-asetilkolin atau antibodi
kinase spesifik anti-muscle, dan secara elektrofisiologis dengan elektromiografi.
(EMG).5,15
7
Jika tidak ada respon yang ditimbulkan, dosis tambahan 4 mg, hingga total 10 mg,
diberikan. Namun, defisit halus, seperti diplopia minimal, mungkin memerlukan
penggunaan cara lain untuk lebih menentukan titik akhir. Tes Maddox rod dengan
bidang prisma atau diplopia dapat dilakukan sebelum dan sesudah edrophonium.
Respon positif palsu jarang terjadi. Hasil tes negatif tidak menyingkirkan
diagnosis miastenia gravis, dan tes di ulang di kemudian hari mungkin
diperlukan.9
8
Gambar 4. Tes kompres es .Seorang wanita 57 tahun dengan miastenia gravis datang
dengan ptosis kiri variabel sedang.B,Ptosis kiri membaik setelah tes kompres es selama 2
menit.9
9
3.2 Manajemen
3.2.1 Sistemik
Seperti pada GMG, sebagian besar dokter akan memulai dengan
asetilkolinesterase saat merawat OMG, meskipun seringkali respons pengobatan
tidak memadai. Steroid dianggap sebagai pengobatan lini kedua. Meskipun
diperdebatkan apakah manfaat steroid melebihi potensi efek sampingnya, banyak
pasien yang merespon secara tidak memuaskan terhadap monoterapi dengan
AChEIs, dan pengobatan imunosupresif diperlukan untuk meningkatkan fungsi
mata. Jarang ada kebutuhan untuk menggunakan steroid dosis tinggi di OMG.
Banyak strategi dosis yang ada. Salah satunya adalah memulai prednison pada 20
mg setiap hari, dengan rencana penurunan hingga 15 mg dalam waktu sekitar 1
bulan. Dosis pemeliharaan harian ratarata prednison pada OMG telah dilaporkan
serendah 5 mg/hari.163 Jika pasien tetap bergejala pada monoterapi
asetilkolinesterase dan prednison dikontraindikasikan atau tidak efektif, seseorang
dapat mempertimbangkan Mycophenolate Mofetil atau Azathioprine. 19
Antara 20 - 50% pasien dengan miastenia gravis okular merkembang
menjadi penyakit dengan klinis umum dalam waktu 2 tahun. Meskipun
pengobatan OMG yang optimal belum ditetapkan, kortikosteroid dapat
mengurangi perkembangan penyakit menjadi generalisasi pada pasien yang tidak
diobati dengan kortikosteroid atau dengan pengobatan yang dihentikan. Jika
penyakit hanya mengenai okular selama 3 tahun, kemungkinan generalisasi akan
rendah. Antara 10 dan 20% kasus dengan OMG menunjukkan remisi spontan
Pengobatan dengan kortikosteroid dan azathioprine tampaknya menghasilkan
insiden remisi yang lebih tinggi dan perkembangan yang lebih rendah menjadi
penyakit umum. Inhibitor kolinesterase dapat memperbaiki gejala, terutama ptosis
tetapi tidak diplopia, dan tidak mencegah perkembangan penyakit.4
Pada dewasa, manifestasi okuler sering resisten terhadap pengobatan
miastenia sistemik biasa. Namun, miastenia okuler pediatrik sering berhasil
ditatalaksana dengan piridostigmin saja Pada studi kasus yang dilaporkan oleh
Saluja dkk pada tahun 2015 didapatkan bahwa eksodeviasi juga berkurang
menjadi 30 prisma diopter (pd) dalam waktu 2 minggu setelah memulai terapi.
10
Terapi pasien dimulai dengan piridostigmin 60mg dua kali sehari Bersama dengan
prednisolon oral 50mg sekali sehari. 5,7,13
Bentley dkk menemukan 9 kasus yang mengalami perbaikan setelah
ditatalaksanan dengan operasi dan dengan toksisn botulinum. Dari tingkat
keberhasilan tatalaksana pasien strabismus dengan miastenia gravis, penggunaan
toksin botulinum memiliki peran dalam pengobatan miastenia gravis okuler.4,8
3.2.3 Surgery
Pada dewasa dan anak-anak yang deviasi okulernya telah stabil, operasi
otot mata standar dapat membantu memulihkan fungsi binokuler setidaknya pada
beberapa posisi pandangan. Ptosis juga kadang-kadang membutuhkan tindakan
pembedahan. 5,7,13
Operasi strabismus dapat digunakan untuk meminimalkan misalignment
okuler yang menyebabkan diplopia. Umumnya, jenis prosedur ini dilakukan
hanya ketika deviasi okuler tampak stabil selama minimal 6 bulan. Pembedahan
strabismus dilakukan untuk kasus kronis dan tercatat dengan deviasi okular yang
stabil dan keterbatasan gerakan okular, dan tidak direkomendasikan pada fase
aktif penyakit. Prosedur standar pada operasi strabismus ini tergantung pada
deviasi okuler, tendon otot ekstraokuler diperpanjang atau diperpendek untuk
mengubah keuntungan mekanis otot ekstraokuler.12,13,20,21
Stabilitas penyakit, keselarasan okuler yang stabil selama minimal 6 bulan,
dan tidak ada peningkatan motilitas okuler setelah injeksi neostigmin selama
setidaknya dua kunjungan berikutnya harus dikonfirmasi sebelum dilakukan
operasi. Operasi strabismus dilakukan untuk kasus kronis dan terdokumentasi
dengan deviasi okuler yang stabil dan keterbatasan gerakan okuler, dan tidak
11
direkomendasikan pada fase aktif penyakit. Teknik bedah lebih baik melibatkan
resesi otot ekstraokuler daripada reseksi karena fibrosis otot berikutnya. 1,4,8,22
Gambar 5. (a) Anak perempuan berusia 9 tahun yang didiagnosis menderita miastenia
gravis juvenile pada usia 5 tahun. Foto menunjukkan eksotropia kiri pada posisi primer.
(b) Sembilan foto kardinal sebelum operasi kedua. 1
Pada penelitian Han J ini, hasil operasi strabismus horizontal lebih
menguntungkan. Namun, penyimpangan vertikal tidak dapat dihilangkan setelah
operasi dalam beberapa kasus. Karena amplitudo fusi pada arah vertikal
dilaporkan lebih kecil daripada pada arah horizontal, penglihatan binokuler
tunggal tidak dapat diperoleh jika terdapat residual tropia vertikal yang kecil. Dan
didapatkan motilitas okuler tidak membaik dengan resesi antagonis vertikal.1
3.3 Prognosis
Penelitian yang dilakukan oleh Han J dan kawan-kawan pada tahun 2015
menunjukkan bahwa bahwa hasil bedah strabismus menguntungkan pada
miastenia gravis okuler onset praremaja. Penelitian ini terdiri dari pasien dengan
miastenia gravis okuler onset praremaja yang merespon dengan baik terhadap
operasi strabismus. 1,8,22
Meskipun operasi strabismus pada anak-anak dengan miastenia jarang
dilakukan. Pada operasi harus dipertimbangkan jika pengobatan gagal untuk
mengembalikan kesejajaran okuler dan deviasi sudut konstan selama masa
observasi. Tingginya prevalensi amblyopia disebabkan karena kurangnya rujukan
untuk penanganan amblyopia sehingga beberapa pasien tidak memiliki
kesempatan untuk menjalani pengobatan ambliopia pada waktu yang tepat.
Tindak lanjut rutin dan pengobatan diperlukan pada pasien dengan preadolescent-
onset miastenia gravis okuler untuk mencegah ambliopia.1
12
Pada beberapa kasus setelah dilakukan operasi strabismus, tidak
didapatkan perubahan pola strabismus (eksotropia menjadi esotropia atau
sebaliknya). Namun, deviasi okuler berubah lebih dari 15 PD selama penyakit
tersebut stabil. Oleh karena itu, sebaiknya pengukuran deviasi okuler berulang
merupakan hal harus untuk keberhasilan operasi.1
BAB IV
KESIMPULAN
13
1. Manifestasi okuler dari miastenia gravis dapat diatasi dengan operasi dan
atau injeksi toksin boltulinum.
2. Pasien miastenia grafis yang stabil atau remisi dan masih terdapat diplopia
dan hilangnya binokuleritas, dapat ditatalaksana dengan operasi otot
ekstraokuler.
3. Pada saat melakukan operasi strabismus, harus diperhatikan adanya over
koreksi atau under koreksi setelah operasi strabismus pada pasien dengan
miastenia gravis okuler.
4. Stabilitas sudut deviasi, kegagalan pengobatan farmakologis, dan tidak ada
peningkatan motilitas okular setelah injeksi neostigmin selama setidaknya
dua kunjungan berikutnya harus dikonfirmasi sebelum melakukan
manajemen bedah strabismus pada pasien dengan OMG onset praremaja
DAFTAR PUSTAKA
14
1. Han J, Han SY, Han SH, Lee JB. Strabismus surgery and long-term visual
outcomes in patients with preadolescent onset okuler miastenia gravis.
Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol. 2015. 253:157–163
2. Sommer N, Melms A, Weller M, Dichgans J. Okuler miastenia gravis. A
critical review of clinical and pathophysiological aspects. Doc Ophthalmol
1993;84:309-33.
3. Nair AG, Chhablani PP, Venkatramani DV, Gandhi RA. Okuler miastenia
gravis: A review. Indian Journal of Ophthalmology. 2014. 985-991
4. Sanz PM, Perez DC, Peinado GA, Sanchez PG. Causes ang Surgical
Treatment of Diplopia Strabismus Secondary. Elsevier. Spain: 2019;94: 107-
113
5. Skuta GL, Cantor BL, Weiss JS. Special Motility Disorders. Pediatric
Ophthalmology and Strabismus. San Fransisco: American Academy of
Ophthalmology. Section 6. 2020-2021. p 142-143
6. Dresser L , Wlodarski R, Rezania K, Soliven B. Miastenia Gravis:
Epidemiology, Pathophysiology and Clinical Manifestations. J. Clin. Med.
2021, 1-17
7. Ortiz S, Borchert M. Long-term outcomes of pediatric okuler miastenia
gravis. Ophthalmology. 2008;115(7):1245–1248.
8. Bentley CR, Dawson E, Lee JP. Active management in patients with okuler
manifestations of miastenia gravis. Eye (Lond). 2001. 15:18–22
9. Rapuano CJ, Stout JT, McCannel CA. Selected Sistemic Conditions with
Neuro-Ophthalmic Signs. Neuro Ophthalmology. San Fransisco: American
Academy of Ophthalmology. Section 5. 2020-2021. p 323-326
10. Conti F Et all .Myasthenia gravis past, Present and Future In: The Journal of
clinical Investigation , The American Society For Clinical Investigation.
116:2843–2854
11. Gwathmey KG, Burns TM. Myasthenia gravis. Semin Neurol.
2015:35(4):327–339.
12. Haines SR, Thurtell MJ. Treatment Of Okuler Miastenia Gravis. Current
Treatment Options In Neurology. 2012. 14:103–112
15
13. Saluja G, Samdani A, Bhatia P. Importance on Clinical test in Okuler
Miastenia. P. BMJ Case Rep. 2019; 12:1-3
14. Peeler CE, De Lott LB, Nagia L, Lemos J, Eggenberger ER, Cornblath WT.
Clinical utility of acetylcholine receptor antibody testing in okuler myasthenia
gravis. JAMA Neurol. 2015; 72(10):1170–1174.
15. Mercelis R, Merckaert V. Diagnostic utility of stimulated single- fiber
electromyography of the orbicularis oculi muscle in patients with suspected
okuler miastenia. Muscle Nerve. 2011; 43(2):168–170.
16. Medical Advisory Board of the Miastenia Gravis Association of Western
Pennsylvania. Okuler Miastenia Gravis. West Penn Allegheny health system.
2009. 1-2
17. Peragallo JH, Velez FG, Demer JL, Pineles SL. Long-termfollow-up of
strabismus surgery for patients with okuler miastenia gravis. J
Neuroophthalmol.2013. 33:40–44
18. Shah J, Patel S. Strabismus: Symptoms, Pathophysiology, Management &
Precautions. International Journal of Science and Research. 2015. 1510-1514
19. Gwathmey K, Burns T. Myasthenia Cravis. Semin neurol. Thieme Medical
Publishers. 2015. 327-339
20. Ohtsuki H, Hasebe S, Okano M, Furuse T. Strabismus surgeryin ocular
myasthenia gravis. Ophthalmologica.1996;210:95–100.
21. Acheson JF, Elston, Lee JP, Fells P. Extraokuler muscle surgery in miastenia
gravis. British Journal of Ophthalmology. 1991.75:232-235
22. Morris OC, O’Day J. Strabismus surgery in the management of diplopia
caused by miastenia gravis. Br J Ophthalmol. 2004. 88:832-851
16