Anda di halaman 1dari 17

1

BAB 1
PENDAHULUAN
Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena
adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction, bila
penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. 1
Myastenia gravis mempunyai prevalensi 85-125 per satu juta jiwa dan insiden per
tahun 2-4 per satu juta jiwa.2
Puncak insiden penyakit ini dijumpai pada usia 20 hingga 40 tahun yang
didominasi oleh wanita; dan pada usia 60 hingga 80 tahun sama antara wanita dan
pria.3 Myastenia gravis merupakan penyakit yang jarang, namun prevelansinya
meningkat baru-baru ini dengan estimasi terbaru mencapai 20 per 100000 orang di
Amerika.2,3,4 Angka kejadian myastenia gravis dipengaruhi oleh jenis kelamin dan
umur. Angka kejadian myastenia gravis pada wanita 3 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan pada pria pada usia dewasa muda.3,7,8 Insiden pada pubertas hampir
sama dengan populasi di atas 40 tahun. 3,6,7,9 Myastenia gravis pada anak-anak di
Eropa dan Amerika Utara cukup jarang, kira-kira 10-15% dari keseluruhan kasus, 7,8,10
namun lebih sering di negara-negara Asia, dimana 50% pasien mempunyai awitan di
bawah umur 15 tahun, kebanyakan dengan manifestasi okular.7,8,10
Berdasarkan laporan RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) 2010, insiden
myastenia gravis di Indonesia diperkirakan 1 kasus dari 100.000. 11 Data yang
didapatkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta terdapat 94 kasus dengan
diagnosis myastenia gravis pada periode tahun 2010-2011.12
Gejala klinis khas pada myastenia gravis adalah kelemahan yang sering
terkait dengan otot yang rentan dan spesifik. 1,2,4,7 Pasien sering mengeluhkan
kelemahan otot yang berfluktuasi dari hari ke hari atau dari jam ke jam, memburuk
dengan aktivitas, dan membaik dengan istirahat.1,2,7 Pasien dapat mempunyai gejala

seperti ptosis, diplopia, disartria, disfagia, dispnea, kelemahan otot wajah, atau
tungkai atau kelemahan aksial yang berbeda tingkat keparahannya bergantung
terhadap kuantitas neuromuskular yang terlibat.14
Kelemahan otot okular menyebabkan ptosis dan merupakan gejala paling
sering dan paling awal terjadi pada pasien myastenia gravis. Kelemahan otot okular
ini berfluktuasi dan penyakit biasanya berkembang menjadi kelemahan seluruh tubuh
dalam waktu 2 tahun setelah awitan penyakit. 15 Penyebabnya diduga karena serangan
autoimun terhadap reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Antibodi
terhadap reseptor asetilkolin atau reseptor decamethonium complex (anti-AchR)
ditemukan dalam serum dari tigaperempat penderita miastenia gravis.16,17

Abnormalitas timus juga ditemukan pada sebagian besar penderita myastenia


gravis, sekitar 75% dengan hiperplasia folikel kelenjar, dan 10-15% dengan tumor
thymic jenis lymphoblastic atau epithelial.18 Tindakan thymectomy menyebabkan
remisi dan perbaikan pada masing-masing 35% dan 50% penderita sehingga diduga
myastenia gravis berhubungan dengan serangan autoimun terhadap antigen pada
timus dan motor end plate atau abnormal clone dari sel-sel imun di thymus.18
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan
prosedur konfirmasi diagnostik, dengan pemberian antikolinesterase kerja pendek
(endrofonium) 210 mg intravena maka kekuatan otot dapat dipulihkan. Tes lain
adalah dengan elektromiografi serabut tunggal dan pemeriksaan rangsangan saraf
berulang.18

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi
Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu

kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena
adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Bila
penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.1
2.2 Epidemiologi
Prevelansi Myastenia gravis adalah 14 per 100000 populasi (kira-kira 17,000
kasus) di Amerika.3,4 Sebelum umur 40 tahun, penyakit ini terjadi 3 kali lipat lebih
banyak pada wanita dibandingkan pria, namun pada usia yang lebih tua persentasenya
sama.7,8
2.3 Manifestasi Klinis
Myasthenia Gravis adalah penyakit kelemahan pada otot, maka gejala-gejala
yang timbul juga dapat dilihat dari terjadinya kelemahan pada beberapa otot.9 Gejala
gejala yang timbul bervariasi pada tipe dan berat kasus, termasuk didalamnya
adalah lemahnya salah satu atau kedua kelopak mata (ptosis), kabur atau penglihatan
ganda (diplopia) oleh karena kelemahan dari otot yang mengontrol pergerakan mata,
ketidakseimbangan atau gaya berjalan yang terhuyung-huyung, perubahan pada
ekspresi wajah, kesulitan dalam menelan yang dapat menyebabkan regurgitasi
melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara
yang abnormal atau suara nasal (sengau) serta gangguan bicara (dysarthria), dan
pasien tidak mampu menutup mulut, yang dinamakan sebagai tanda rahang
menggantung, nafas pendek, dan kelemahan pada lengan, tangan, jari, tungkai bawah
dan leher.9,10 Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan
penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.1 awitan dari
kelainan ini dapat terjadi secara mendadak dan gejala sering tidak langsung dikenali
sebagai myasthenia gravis.10

Pada kebanyakan kasus, gejala pertama yang dikenali adalah kelemahan pada
otot mata. Selain itu, kesulitan dalam menelan dapat menjadi tanda pertama. Derajat
kelemahan otot dalam myasthenia gravis bervariasi tergantung pada individu masingmasing, bentuk lokal yang terbatas pada otot mata (ocular myasthenia), untuk bentuk
yang berat atau umum yang melibatkan banyak otot, terkadang melibatkan otot-otot
yang mengatur pernafasan.10 Dari sekian banyak pasien Myasthenia Gravis, 14%
hanya dengan gejala-gejala mata saja yang mengarah pada ocular myasthenia gravis.
Kehebatan maksimum dari Myasthenia Gravis dicapai dalam waktu 1 tahun pada 55
% dari kasus, dan dalam 5 tahun pada 85 % dari kasus. Aspek yang paling berbahaya
dari

Myasthenia

Gravis

disebut

Myasthenia

Crisis,

yang

memungkinkan

diperlukannya ventilator pada beberapa kasus.9


Kelemahan otot pada Myasthenia Gravis meningkat pada saat aktivitas yang
terus menerus dan membaik setelah periode istirahat. Pasien akan mengalami
penurunan tenaga sepanjang hari, dengan kecenderungan kelelahan dalam satu hari,
atau menjelang berakhirnya aktivitas. Jika dibiarkan, keluhan umum yang dialami
oleh pasien biasanya berkembang menjadi kesulitan pengunyahan selama makan.
Gejala dari berbagai kelemahan tersebut cenderung menjadi lebih buruk dengan
adanya berbagai macam stress, kepanasan, infeksi serta pada penderita dengan akhir
masa kehamilan.9
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi menurut The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the
Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi myasthenia gravis
menjadi 5 kelas utama dan beberapa subclass, sebagai berikut :
Kelas I : adanya keluhan otot-otot ocular, kelemahan pada saat menutup mata
dan kekuatan otot-otot lain normal
Kelas II : terdapat kelemahan otot ocular yang semakin parah, serta adanya
kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot ocular.

Kelas II a : mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau


keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan
Kelas II b : mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau
keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot
aksial lebih ringan dibandingkan kelas II a
Kelas III : terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot ocular, sedangkan
otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang
Kelas III a : mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial
atau

keduanya

secara

predominan.

Terdapat

kelemahan

otot

orofaringeal yang ringan


Kelas III b : mempengaruhi otot faringeal, otot-otot pernapasan, atau
keduanya secara predominan. Terdapatnya kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami
kelemahan dalam derajat ringan
Kelas IV : otot-otot selain otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam
derajat yang berat, sedangkan otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam
berbagai derajat
Kelas IV a : secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh
dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan
dalam derajat ringan
Kelas IV b : mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan
atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan
derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan
intubasi.
Kelas V : penderita ter-intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik
Terdapat klasifikasi menurut Osserman dimana myasthenia gravis dibagi
menjadi

1. Ocular myasthenia : terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis


dan diplopia sangat ringan dan tidak ada kematian
2. Generalized myasthenia
a) Mild generalized myasthenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan
meluas ke otot-otot skelet dan bulber. System pernafasan
tidak terkena. Respon terhadap otot baik.
b) Moderate generalized myasthenia
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar, respon
terhadap obat tidak memuaskan
3. Severe generalized myasthenia
Acute fulmating myasthenia : permulaan cepat, kelemahan hebat
dari otot-otot pernapasan, progresi penyakit biasanya komplit
dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan,
aktivitas penderita terbatas dan mortalitas tinggi.
Late severe myasthenia : timbul paling sedikit 2 tahun setelah
kelompok I dan II progresif dari myasthenia gravis dapat pelanpelan atau mendadak, presentase thymoma kedua paling tinggi.
Respon terhadap obat dan prognosis jelek.9,10
2.5 Diagnosis
Ada banyak jenis penyakit yang memiliki gejala yang mirip dengan
Myastenia gravis sehingga anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap merupakan
langkah awal yang penting dalam mendiagnosis Myastenia gravis. anamnesis
meliputi riwayat keluarga, riwayat penyakit terdahulu, dan riwayat pengobatan.
Belum ada satu tes tunggal yang dapat diandalkan sepenuhnya dalam mendiagnosis
MG, namun kombinasi anamnesis, pemeriksaan fisik, tes fungsi saraf, dan
pemeriksaan darah sering kali dapat menegakan diagnosis yang valid.12

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang detil serta digabungkan dengan


investigasi mendalam sering kali diperlukan untuk menyediakan petunjuk
diagnostik. Peninjauan yang sistematik terhadap kemampuan tes untuk
mendiagnosis MG menyimpulkan bahwa hanya tes antibodi AChR dan
single-fibre electromyography (SFEMG) sudah tervalidasi.14
2.5.1 Tes Antibodi
Semua pasien yang dicurigai menderita MG harus dilakukan tes
antibodi anti-AChR. Sensitivitas dari tes ini mencapai 70 95% untuk MG
generalisata dan 50 75% untuk MG ocular. Konsentrasi antibodi anti-AChR
tidak dapat memprediksi keparahan pada individu penderita MG. Apabila
antibodi anti-AChR negatif, antibodi anti-MuSK harus dikerjakan. Pada
pasien yang seronegatif, terdapat angka serokonversi sebesar 15% setelah 1
tahun. Supresi terhadap sistem imun dapat mengarahkan pada hilangnya
antibodi yang diperlukan untuk menegakan diagnosis MG. Deteksi terhadap
antibodi anti-striational dapat memberikan indikasi fenotip dan prognosis dari
penyakit ini.15
2.5.2 Neurofisiologi
Repetitive nerve stimulation (RNS) dan SFEMG merupakan tes
neurofisiologi yang paling sering digunakan. Hasil dari tes ini dapat
disalahartikan pada pasien yang mengonsumsi inhibitor asetilkolin dosis
tinggi secara kronis. Apabila terdapat keraguan, maka apabila memungkinkan
hentikan pemakaian obat tersebut selama setidaknya 1 minggu sebelum
dilakukan tes tersebut. 15
Stimulasi RNS pada frekuensi 3 10 Hz menghasilkan penurunan
amplitudo dari potensi susunan otot aksi. Sekitar 80% dari tes mengahsilkan
nilai positif pada 80% kasus MG generalisata, namun dapat negatif pada 50%
kasus MG ocular, sehingga secara keseluruhan, sensitivitas dari tes ini

mencapai 75%. Spesivisitas dari RNS bervariasi dan tergantung secara parsial
terhadap saraf mana yang dites. SFEMG merupakan tes diagnostik yang
paling sensitif pada MG dan sebaiknya dilakukan apabila RNS normal dan
dicurigai terdapat penyait pada neuro muscular junction. Sensitivitas dari
SFEMG sebesar 99% pada MG generalisata dan sekitar 80% pada Myastenia
gravis ocular. Spesivisitas SFEMG bervariasi dan tes yang abnormal dapat
ditemukan pada kondisi lain seperti sitopati mitokondrial, penyakit motor
neuron, atau radikolopati.15
2.5.3 Tes Endrofonium
Tes endrofonium atau tensilon merupakan tes yang memasukan
endrofonium klorida yang merupakan asetilkolinesterase kerja singkat (shortacting) yang bertujuan untuk menunjukan reversibelitas kelemahan otot dan
hanya dapat dilakukan apabila terdapat kelemahan yang jelas yang dapat
diukur secara objektif. Sensitivitas tes ini sebesar 88% untuk MG generalisata
dan 92% untuk MG ocular, dengan spesifisitas sebesar 96% untuk kedua jenis
MG. Tes ini sebaiknya dihindari untuk dilakukan pada orang tua.15
2.5.4 Tes Es Kotak
Metode singkat untuk membedakan ptosis akibat MG dengan
penyebab lainnya yaitu tes es kotak. Balok es diletakan di atas kelopak mata
yang jatuh selama 2 menit, dan apabila ada perbaikan terhadap ptosis hal
tersebut menunjukan kelainan pada transmisi neuromuskuler. Hasil yang
didapatkan pada 6 studi menunjukan sensitivitas sebesar 89% dan spesifisitas
100%.15
2.5.5 Pencitraan (Imaging)
Semua penderita MG harus dilakukan CT-Scan dan MRI thoraks untuk
screening thymoma atau hyperplasia timus. Pencitraan mediastinum sebaiknya

diulang pada MG berulang setelah periode penyakit stabil untuk mengeksklusi


thymoma, yang dapat terjadi pada episode penyakit berikutnya.15
2.6 Diagnosis Banding
Berikut merupakan beberapa diagnosis banding MG:18
Penyakit

Tampilan Klinis Pembeda

Botulisme

Keterlibatan fungsi otonomik dan pupil

Congenital myasthenic

Onset pada bayi dan anak-anak, seronegatif, tidak

syndromes

merespon terhadap imunoterapi

Cranial nerves palsi

Tampilan klinis pada area yang dipersarafi

Guillain-Barre syndrome

Pola asenden pada kelemahan ototketerlibatan fungsi


otonom, arefleksia, tanda dan gejala sensoris

Inflamatory myopathies

Tanpa kelemahan otot ocular kecuali miositosis


orbital, gejala konstitusional umum; demam,
anoreksia, penurunan berat badan

2.5 Penatalaksanaan
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti,
myastenia gravis termasuk mudah untuk diobati dibandingkan kelainan
neurologis lainnya. Anti-kolinesterase dan imunomodulator merupakan
penatalaksanaan utama pada myastenia gravis. Penatalaksanaan dapat
digolongkan menjadi terapi jangka pendek yang dapat memulihkan
kelemahan secara cepat dan terapi jangka panjang yang dapat mencegah
terjadinya kekambuhan.19,20
2.5.1 Terapi Jangka Pendek
a. Plasma Exchange (PE)19

10

Dasar terapi ini adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif


sehingga titer antibodi menurun. PE paling efektif digunakan jika terapi
jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas, seperti pada krisis
myastenik. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat
kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5
atau 6 kali terapi setiap harinya. Albumin 5% ditambah larutan salin yang
disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan sebagai
pengganti. Perbaikan gejala akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat
bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping dari PE adalah
pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung, yang dapat menimbulkan
hipotensi dan gangguan pembekuan darah.
b. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)19
Mekanisme kerja IVIG belum diketahui pasti, namun diperkirakan
mampu memodulasi respon imun. Terapi ini diindikasikan pada pasien yang
juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang
cepat. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat
respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat
kesehatan tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien yang
kritis.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgBB/hari pada 5 hari pertama,
dilanjutkan 1 gram/kgBB/hari selama 2 hari. Perbaikan gejala dapat muncul
sekitar 3 hingga 4 hari setelah terapi dimulai. Efek samping dari IVIG antara
lain nyeri kepala yang hebat, mual, dan flue-like syndrome.

c. Intravenous Methylprednisolone (IVMp)19

11

IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam, dan dapat
diulangi 5 hari kemudian bila tidak ada respon. Jika respon masih juga tidak
ada, pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien
menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien
lainnya pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1
minggu

setelah

terapi.

Penggunaan

IVMp

pada

keadaan

krisis

dipertimbangkan apabila terapi lain gagal atau tidak dapat digunakan.


2.5.2 Terapi Jangka Panjang
a. Kortikosteroid19,20
Kortikosteroid memiliki efek pada aktivasi sel T-helper dan proliferasi
sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan
memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di
tempat kelainan imun pada myastenia gravis. Terapi ini diindikasikan pada
penderita dengan gejala yang sangat menggangu dan tidak dapat dikontrol
dengan anti-kolinesterase. Dosis maksimal yaitu 60 mg/hari, kemudian
dilakukan tapering-off. Respon obat mulai tampak dalam waktu 2 hingga 3
minggu setelah memulai terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung
hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan.
c. Azathioprine19,20
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien yang secara relatif
terkontrol dengan kortikosteroid dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi
menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek
menghambat sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Obat ini diberikan
dengan dosis awal 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai, dilanjutkan
dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgBB/hari. Respon terapi ini sangat lambat,
dengan respon maksimal didapatkan dalam 12 sampai 36 bulan. Kekambuhan
dilaporkan

terjadi

pada

50%

kasus,

kecuali

dikombinasikan dengan obat imunomodulasi lainnya.

penggunaannya

juga

12

d. Siklosporin19
Siklosporin berpengaruh pada produksi dan pelepasan IL-2 dari sel Thelper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper ini menimbulkan efek pada
produksi antibodi. Dosis awal pemberian obat ini 5 mg/kgBB/hari terbagi
dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap siklosporin lebih cepat
dibandingkan dengan azathioprine. Obat ini dapat menimbulkan efek samping
berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
e. Timektomi19,20
Hiperplasia germinal center kalenjar timus dianggap sebagai penyebab
yang mungkin pada myastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa
terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap
perkembangan dan inisiasi imunologi pada myastenia gravis. Tujuan utama
dari operasi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan
pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi, serta kesembuhan yang
permanen. Secara umum, pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu
satu tahun setelah timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi
permanen. Angka remisi setelah pembedahan adalah 20-40%, tergantung dari
jenis timektomi yang dilakukan.
2.6 Prognosis
Gejala awal yang dialami sebagian besar pasien adalah kelemahan otot-otot
ekstraokuler, yang biasanya terjadi pada tahun pertama. Hampir 85% dari pasien
tersebut akan mengalami kelemahan pada otot-otot ekstremitas tiga tahun berikutnya.
Kelemahan orofaring dan eksteremitas pada fase awal jarang ditemukan. Tingkat
keparahan yang berat ditemukan saat tahun pertama pada hampir dua pertiga pasien,
dengan krisis myastenik terjadi pada 20% pasien. Gejala bisa diperberat dengan
adanya kondisi sistemik yang menyertai, contohnya ISPA akibat virus, gangguan
tiroid, dan kehamilan. Pada fase awal penyakit, gejala bisa berfluktuasi dan membaik,
walaupun perbaikan jarang yang bersifat permanen. Relapses and remissions
berlangsung sekitar tujuh tahun, diikuti fase inaktif selama sekitar sepuluh tahun.

13

Sebelum penggunaan imunomodulator, mortality rate pada myastenia gravis masih


besar, yaitu sebesar 30%. Dengan adanya imunoterapi dan perkembangan alat-alat
terapi intensif, resiko kematian ini dapat diturunkan menjadi kurang dari 5%.21

RINGKASAN
Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-

14

menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena
adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.
Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali.1
Prevalansi Miastenia gravis adalah 14 per 100000 populasi (kira-kira 17,000
kasus) di Amerika.3,4 Sebelum umur 40 tahun, penyakit ini terjadi 3 kali lipat lebih
banyak pada wanita dibandingkan pria, namun pada usia yang lebih tua persentasenya
sama.7,8
Gejala gejala yang timbul bervariasi pada tipe dan berat kasus, termasuk di
dalamnya adalah lemahnya salah satu atau kedua kelopak mata (ptosis), kabur atau
penglihatan ganda (diplopia) oleh karena kelemahan dari otot yang mengontrol
pergerakan mata, ketidakseimbangan atau gaya berjalan yang terhuyung-huyung,
perubahan pada ekspresi wajah, kesulitan dalam menelan yang dapat menyebabkan
regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum),
menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal (sengau) serta gangguan bicara
(disartria), dan pasien tidak mampu menutup mulut, yang dinamakan sebagai tanda
rahang menggantung, nafas pendek oleh karena terkadang melibatkan otot-otot yang
mengatur pernafasan, dan kelemahan pada lengan, tangan, jari, tungkai bawah dan
leher.
Klasifikasi menurut The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the
Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi myasthenia gravis
menjadi

5 kelas utama dan beberapa subclass sedangkan klasifikasi menurut

Osserman dibagi menjadi 4 tipe.


Diagnosis dari myasthenia gravis dapat ditegakan dengan wawancara,
pemeriksaan fisim neurologi dan beberapa tes penunjang seperti tes antibodi,
neurofisiologi, tes endrofonium, tes es kotak dan pencitraan (imaging).

15

Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti,


myastenia gravis termasuk mudah untuk diobati dibandingkan kelainan neurologis
lainnya. Anti-kolinesterase dan imunomodulator merupakan penatalaksanaan utama
pada myastenia gravis. Penatalaksanaan dapat digolongkan menjadi terapi jangka
pendek yang dapat memulihkan kelemahan secara cepat dan terapi jangka panjang
yang dapat mencegah terjadinya kekambuhan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Engel A. Myasthenia gravis and myasthenic syndromes. Annals of Neurology.
2004. Volume 16: Page: 519-534.

16

2. Khadilkar SV, Sahni AO, Patil SG. Myasthenia gravis. JAPI. 2004 November;
52:897-903.
3. Romi F, Gilhus NE, Aarli JA. Myasthenia gravis: clinical, immunological, and
therapeutic advances. Acta Neurol Scand. 2005; 111: 134-141.
4. Beekman R, Kuks JBM., Oostherhius HJGH. Myasthenia gravis: diagnosis
and follow-up of 100 consecutive patients. J Neurol. 2007; 244: 112-8.
5. Christensen PB, Jensen TS, Tsirropoulus I. Mortality and survival in
myasthenia gravis: a Danish population based study. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2003; 64: 78-63.
6. Sanders DB. Generalized myasthenia gravis: clinical presentation and
diagnosis. 56th Annual Meeting. San Francisco, CA: American Academy of
Neurology, 2004.
7. Brainin M., Barnes M., Baron J.C., et al. Guidance for the preparation of
neurological management guidelines by EFNS scientific task forces-revised
recommendations 2004. Eur J Neurol. 2004; 11:577-581.
8. Vincent A. Unravelling the pathogenesis of myasthenia gravis. Nat Rev
Immunol. 2002; 2: 797-804.
9. Goldenberg W. Myasthenia Gravis. 20 Januari 2012. Diunduh dari
http:emedicine.medscape.com/article/1171206-overview, 07 Juni 2012
10. Myasthenia Gravis and Related Disorders of the Neuromuscular Junction. In:
Ropper A, Brown R, eds. Adam and Victors : Princiles of Neurology 8th ed.
McGraw Hill. 2005; 53: 1264 1250.
11. Hoch W, McConville J., Helms S., Newsom-Davis J., Melms A., Vincent A.,
Auto-antibodies to the reseptor tyrosine kinase MuSK in patients with
myasthenia gravis without acethylcholine receptor antibodies. Nat Med 2001;
7: 365-368.
12. Vernino S., Lennon V.A., Autoantibody profiles and neurological correlations
of thymoma. Clin Cancer Res 2004 May; 18: 678-80.

17

13. Berrih S., Morel E., Gaud C., Raimond F., LeBrigand H., Bach J.F., AntiAChR antibodies,thymic histology, and T cell subsets in myasthenia gravis.
Neurology 2001 March;34:66-71.
14. Grob D, Brunner N., Namba T., Pagala M., Lifetime course of myasthenia
gravis. Muscle Nerve 2008 June;37:141-49.
15.

Sanders

D.B.,

Juel

V.C.,

MuSK-antibody

positive

myasthenia

gravis:questions from clinic. J Neuroimmunol 2008 November; 201-202:8589.


16. Chan J.W., Orrison W.W., Ocular myasthenia: a rare presentation with MuSK
antibody and bilateral extraocular muscle atropy. Br J Ophthalmol 2007;
91:842-43.
17. Caress J.B., Hunt C.H., Batish S.D., Anti-MuSK myasthenia gravis presenting
with purely ocular findings. Arch Neurol 2005 December; 62:1002-03.
18. Meriggioli M.N., ED., Myasthenia disorder and ALS. Continuum: Lifelong
Learning in Neurology 2009 May:15:35-62.
19. Lewis RA, Selwa JF, Lisak RP. Myasthenia Gravis: Immunological
Mechanisms and Immunotherapy. Ann Neurol. 1995;37(1):51-62.
20. Gold CS, Toyka KV. Myasthenia Gravis: Pathogenesis and Immunotherapy.
Dtsch Arztebl. 2007;104(7):420-6.
21. Juel VC, Massey JM. Myasthenia Gravis. Orphanet Journal of Rare Diseases.
2007;2(44):1-13.

Anda mungkin juga menyukai