BAB 1
PENDAHULUAN
Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena
adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction, bila
penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. 1
Myastenia gravis mempunyai prevalensi 85-125 per satu juta jiwa dan insiden per
tahun 2-4 per satu juta jiwa.2
Puncak insiden penyakit ini dijumpai pada usia 20 hingga 40 tahun yang
didominasi oleh wanita; dan pada usia 60 hingga 80 tahun sama antara wanita dan
pria.3 Myastenia gravis merupakan penyakit yang jarang, namun prevelansinya
meningkat baru-baru ini dengan estimasi terbaru mencapai 20 per 100000 orang di
Amerika.2,3,4 Angka kejadian myastenia gravis dipengaruhi oleh jenis kelamin dan
umur. Angka kejadian myastenia gravis pada wanita 3 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan pada pria pada usia dewasa muda.3,7,8 Insiden pada pubertas hampir
sama dengan populasi di atas 40 tahun. 3,6,7,9 Myastenia gravis pada anak-anak di
Eropa dan Amerika Utara cukup jarang, kira-kira 10-15% dari keseluruhan kasus, 7,8,10
namun lebih sering di negara-negara Asia, dimana 50% pasien mempunyai awitan di
bawah umur 15 tahun, kebanyakan dengan manifestasi okular.7,8,10
Berdasarkan laporan RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) 2010, insiden
myastenia gravis di Indonesia diperkirakan 1 kasus dari 100.000. 11 Data yang
didapatkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta terdapat 94 kasus dengan
diagnosis myastenia gravis pada periode tahun 2010-2011.12
Gejala klinis khas pada myastenia gravis adalah kelemahan yang sering
terkait dengan otot yang rentan dan spesifik. 1,2,4,7 Pasien sering mengeluhkan
kelemahan otot yang berfluktuasi dari hari ke hari atau dari jam ke jam, memburuk
dengan aktivitas, dan membaik dengan istirahat.1,2,7 Pasien dapat mempunyai gejala
seperti ptosis, diplopia, disartria, disfagia, dispnea, kelemahan otot wajah, atau
tungkai atau kelemahan aksial yang berbeda tingkat keparahannya bergantung
terhadap kuantitas neuromuskular yang terlibat.14
Kelemahan otot okular menyebabkan ptosis dan merupakan gejala paling
sering dan paling awal terjadi pada pasien myastenia gravis. Kelemahan otot okular
ini berfluktuasi dan penyakit biasanya berkembang menjadi kelemahan seluruh tubuh
dalam waktu 2 tahun setelah awitan penyakit. 15 Penyebabnya diduga karena serangan
autoimun terhadap reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Antibodi
terhadap reseptor asetilkolin atau reseptor decamethonium complex (anti-AchR)
ditemukan dalam serum dari tigaperempat penderita miastenia gravis.16,17
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena
adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Bila
penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.1
2.2 Epidemiologi
Prevelansi Myastenia gravis adalah 14 per 100000 populasi (kira-kira 17,000
kasus) di Amerika.3,4 Sebelum umur 40 tahun, penyakit ini terjadi 3 kali lipat lebih
banyak pada wanita dibandingkan pria, namun pada usia yang lebih tua persentasenya
sama.7,8
2.3 Manifestasi Klinis
Myasthenia Gravis adalah penyakit kelemahan pada otot, maka gejala-gejala
yang timbul juga dapat dilihat dari terjadinya kelemahan pada beberapa otot.9 Gejala
gejala yang timbul bervariasi pada tipe dan berat kasus, termasuk didalamnya
adalah lemahnya salah satu atau kedua kelopak mata (ptosis), kabur atau penglihatan
ganda (diplopia) oleh karena kelemahan dari otot yang mengontrol pergerakan mata,
ketidakseimbangan atau gaya berjalan yang terhuyung-huyung, perubahan pada
ekspresi wajah, kesulitan dalam menelan yang dapat menyebabkan regurgitasi
melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara
yang abnormal atau suara nasal (sengau) serta gangguan bicara (dysarthria), dan
pasien tidak mampu menutup mulut, yang dinamakan sebagai tanda rahang
menggantung, nafas pendek, dan kelemahan pada lengan, tangan, jari, tungkai bawah
dan leher.9,10 Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan
penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.1 awitan dari
kelainan ini dapat terjadi secara mendadak dan gejala sering tidak langsung dikenali
sebagai myasthenia gravis.10
Pada kebanyakan kasus, gejala pertama yang dikenali adalah kelemahan pada
otot mata. Selain itu, kesulitan dalam menelan dapat menjadi tanda pertama. Derajat
kelemahan otot dalam myasthenia gravis bervariasi tergantung pada individu masingmasing, bentuk lokal yang terbatas pada otot mata (ocular myasthenia), untuk bentuk
yang berat atau umum yang melibatkan banyak otot, terkadang melibatkan otot-otot
yang mengatur pernafasan.10 Dari sekian banyak pasien Myasthenia Gravis, 14%
hanya dengan gejala-gejala mata saja yang mengarah pada ocular myasthenia gravis.
Kehebatan maksimum dari Myasthenia Gravis dicapai dalam waktu 1 tahun pada 55
% dari kasus, dan dalam 5 tahun pada 85 % dari kasus. Aspek yang paling berbahaya
dari
Myasthenia
Gravis
disebut
Myasthenia
Crisis,
yang
memungkinkan
keduanya
secara
predominan.
Terdapat
kelemahan
otot
mencapai 75%. Spesivisitas dari RNS bervariasi dan tergantung secara parsial
terhadap saraf mana yang dites. SFEMG merupakan tes diagnostik yang
paling sensitif pada MG dan sebaiknya dilakukan apabila RNS normal dan
dicurigai terdapat penyait pada neuro muscular junction. Sensitivitas dari
SFEMG sebesar 99% pada MG generalisata dan sekitar 80% pada Myastenia
gravis ocular. Spesivisitas SFEMG bervariasi dan tes yang abnormal dapat
ditemukan pada kondisi lain seperti sitopati mitokondrial, penyakit motor
neuron, atau radikolopati.15
2.5.3 Tes Endrofonium
Tes endrofonium atau tensilon merupakan tes yang memasukan
endrofonium klorida yang merupakan asetilkolinesterase kerja singkat (shortacting) yang bertujuan untuk menunjukan reversibelitas kelemahan otot dan
hanya dapat dilakukan apabila terdapat kelemahan yang jelas yang dapat
diukur secara objektif. Sensitivitas tes ini sebesar 88% untuk MG generalisata
dan 92% untuk MG ocular, dengan spesifisitas sebesar 96% untuk kedua jenis
MG. Tes ini sebaiknya dihindari untuk dilakukan pada orang tua.15
2.5.4 Tes Es Kotak
Metode singkat untuk membedakan ptosis akibat MG dengan
penyebab lainnya yaitu tes es kotak. Balok es diletakan di atas kelopak mata
yang jatuh selama 2 menit, dan apabila ada perbaikan terhadap ptosis hal
tersebut menunjukan kelainan pada transmisi neuromuskuler. Hasil yang
didapatkan pada 6 studi menunjukan sensitivitas sebesar 89% dan spesifisitas
100%.15
2.5.5 Pencitraan (Imaging)
Semua penderita MG harus dilakukan CT-Scan dan MRI thoraks untuk
screening thymoma atau hyperplasia timus. Pencitraan mediastinum sebaiknya
Botulisme
Congenital myasthenic
syndromes
Guillain-Barre syndrome
Inflamatory myopathies
2.5 Penatalaksanaan
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti,
myastenia gravis termasuk mudah untuk diobati dibandingkan kelainan
neurologis lainnya. Anti-kolinesterase dan imunomodulator merupakan
penatalaksanaan utama pada myastenia gravis. Penatalaksanaan dapat
digolongkan menjadi terapi jangka pendek yang dapat memulihkan
kelemahan secara cepat dan terapi jangka panjang yang dapat mencegah
terjadinya kekambuhan.19,20
2.5.1 Terapi Jangka Pendek
a. Plasma Exchange (PE)19
10
11
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam, dan dapat
diulangi 5 hari kemudian bila tidak ada respon. Jika respon masih juga tidak
ada, pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien
menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien
lainnya pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1
minggu
setelah
terapi.
Penggunaan
IVMp
pada
keadaan
krisis
terjadi
pada
50%
kasus,
kecuali
penggunaannya
juga
12
d. Siklosporin19
Siklosporin berpengaruh pada produksi dan pelepasan IL-2 dari sel Thelper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper ini menimbulkan efek pada
produksi antibodi. Dosis awal pemberian obat ini 5 mg/kgBB/hari terbagi
dalam dua atau tiga dosis. Respon terhadap siklosporin lebih cepat
dibandingkan dengan azathioprine. Obat ini dapat menimbulkan efek samping
berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
e. Timektomi19,20
Hiperplasia germinal center kalenjar timus dianggap sebagai penyebab
yang mungkin pada myastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa
terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan berpengaruh terhadap
perkembangan dan inisiasi imunologi pada myastenia gravis. Tujuan utama
dari operasi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan
pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi, serta kesembuhan yang
permanen. Secara umum, pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu
satu tahun setelah timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi
permanen. Angka remisi setelah pembedahan adalah 20-40%, tergantung dari
jenis timektomi yang dilakukan.
2.6 Prognosis
Gejala awal yang dialami sebagian besar pasien adalah kelemahan otot-otot
ekstraokuler, yang biasanya terjadi pada tahun pertama. Hampir 85% dari pasien
tersebut akan mengalami kelemahan pada otot-otot ekstremitas tiga tahun berikutnya.
Kelemahan orofaring dan eksteremitas pada fase awal jarang ditemukan. Tingkat
keparahan yang berat ditemukan saat tahun pertama pada hampir dua pertiga pasien,
dengan krisis myastenik terjadi pada 20% pasien. Gejala bisa diperberat dengan
adanya kondisi sistemik yang menyertai, contohnya ISPA akibat virus, gangguan
tiroid, dan kehamilan. Pada fase awal penyakit, gejala bisa berfluktuasi dan membaik,
walaupun perbaikan jarang yang bersifat permanen. Relapses and remissions
berlangsung sekitar tujuh tahun, diikuti fase inaktif selama sekitar sepuluh tahun.
13
RINGKASAN
Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-
14
menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena
adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.
Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali.1
Prevalansi Miastenia gravis adalah 14 per 100000 populasi (kira-kira 17,000
kasus) di Amerika.3,4 Sebelum umur 40 tahun, penyakit ini terjadi 3 kali lipat lebih
banyak pada wanita dibandingkan pria, namun pada usia yang lebih tua persentasenya
sama.7,8
Gejala gejala yang timbul bervariasi pada tipe dan berat kasus, termasuk di
dalamnya adalah lemahnya salah satu atau kedua kelopak mata (ptosis), kabur atau
penglihatan ganda (diplopia) oleh karena kelemahan dari otot yang mengontrol
pergerakan mata, ketidakseimbangan atau gaya berjalan yang terhuyung-huyung,
perubahan pada ekspresi wajah, kesulitan dalam menelan yang dapat menyebabkan
regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum),
menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal (sengau) serta gangguan bicara
(disartria), dan pasien tidak mampu menutup mulut, yang dinamakan sebagai tanda
rahang menggantung, nafas pendek oleh karena terkadang melibatkan otot-otot yang
mengatur pernafasan, dan kelemahan pada lengan, tangan, jari, tungkai bawah dan
leher.
Klasifikasi menurut The Medical Scientific Advisory Board (MSAB) of the
Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi myasthenia gravis
menjadi
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Engel A. Myasthenia gravis and myasthenic syndromes. Annals of Neurology.
2004. Volume 16: Page: 519-534.
16
2. Khadilkar SV, Sahni AO, Patil SG. Myasthenia gravis. JAPI. 2004 November;
52:897-903.
3. Romi F, Gilhus NE, Aarli JA. Myasthenia gravis: clinical, immunological, and
therapeutic advances. Acta Neurol Scand. 2005; 111: 134-141.
4. Beekman R, Kuks JBM., Oostherhius HJGH. Myasthenia gravis: diagnosis
and follow-up of 100 consecutive patients. J Neurol. 2007; 244: 112-8.
5. Christensen PB, Jensen TS, Tsirropoulus I. Mortality and survival in
myasthenia gravis: a Danish population based study. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2003; 64: 78-63.
6. Sanders DB. Generalized myasthenia gravis: clinical presentation and
diagnosis. 56th Annual Meeting. San Francisco, CA: American Academy of
Neurology, 2004.
7. Brainin M., Barnes M., Baron J.C., et al. Guidance for the preparation of
neurological management guidelines by EFNS scientific task forces-revised
recommendations 2004. Eur J Neurol. 2004; 11:577-581.
8. Vincent A. Unravelling the pathogenesis of myasthenia gravis. Nat Rev
Immunol. 2002; 2: 797-804.
9. Goldenberg W. Myasthenia Gravis. 20 Januari 2012. Diunduh dari
http:emedicine.medscape.com/article/1171206-overview, 07 Juni 2012
10. Myasthenia Gravis and Related Disorders of the Neuromuscular Junction. In:
Ropper A, Brown R, eds. Adam and Victors : Princiles of Neurology 8th ed.
McGraw Hill. 2005; 53: 1264 1250.
11. Hoch W, McConville J., Helms S., Newsom-Davis J., Melms A., Vincent A.,
Auto-antibodies to the reseptor tyrosine kinase MuSK in patients with
myasthenia gravis without acethylcholine receptor antibodies. Nat Med 2001;
7: 365-368.
12. Vernino S., Lennon V.A., Autoantibody profiles and neurological correlations
of thymoma. Clin Cancer Res 2004 May; 18: 678-80.
17
13. Berrih S., Morel E., Gaud C., Raimond F., LeBrigand H., Bach J.F., AntiAChR antibodies,thymic histology, and T cell subsets in myasthenia gravis.
Neurology 2001 March;34:66-71.
14. Grob D, Brunner N., Namba T., Pagala M., Lifetime course of myasthenia
gravis. Muscle Nerve 2008 June;37:141-49.
15.
Sanders
D.B.,
Juel
V.C.,
MuSK-antibody
positive
myasthenia