Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SKENARIO SEMINAR BIOKIMIA II

DISUSUN OLEH :

Puan Adzkia Al Anwari (2007101010081)


M. Zahrul Rahmatillah (2007101010100)
Shafa Rizki Az Zahra (2007101010104)
Salsabila Mutiara Utami (2007101010110)
Ahmad Nashirin (2007101010112)

KELOMPOK 2 KELAS 4
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2021/2022
Skenario Seminar Biokimia II

Tn. AM, seorang pria, usia 43 tahun, bekerja sebagai karyawan suatu bank swasta. Sehari-hari
pasien bekerja menggunakan komputer, kadang dalam waktu lama. Sejak 2 bulan terakhir, pasien
mulai mengalami ptosis pada mata kiri, keluhan ini hilang timbul, terutama dirasakan setelah
beraktivitas dan menjelang sore hari; keluhan membaik jika beristirahat. Sejak 1 bulan terakhir
keluhan dirasakan semakin mengganggu. Selain keluhan ini, pasien juga mengalami diplopia.
Tidak ada gangguan berbicara, gangguan mengunyah, atau gangguan menelan.

Kasus lainnya, An.SH, perempuan, usia 15 tahun, dibawa orangtua ke praktek dokter umum
karena tangan kirinya sering bergerak-gerak sendiri saat tidur. Keluhan ini berlangsung selama 5
menit, frekuensi 1 kali dalam 1 bulan. Sesekali mata ikut bergerak ke sisi kanan. Keluhan ini
mulai diderita sejak 2 tahun yang lalu. Saat muncul keluhan, pasien sadar dan mampu
berkomunikasi dengan orang tua.

I. Identifikasi Istilah

1. Ptosis

2. Diplopia

Analisis Istilah
1. Ptosis adalah istilah untuk menggambarkan kelopak mata yang turun, sehingga mata
terlihat mengantuk. Meski tidak terasa sakit, ptosis bisa saja menandakan adanya
penyakit serius yang dapat menyebabkan kebutaan. Biasanya, ptosis yang muncul
tiba-tiba mengarah ke kondisi serius terkait gangguan pada otak, saraf, dan rongga
mata.
2. Diplopia adalah suatu gangguan penglihatan di mana pasien akan melihat dua gambar
dari satu objek yang berdekatan (penglihatan ganda).
Konsep : Neurokimia

II. Identifikasi Masalah


1. Mengapa Tn. AM bisa mengalami ptosis dan diplopia?
2. Gangguan apa yang terjadi pada Tn. AM?
3. Jenis pemeriksaan apa saja yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis gangguan yang
dialami Tn. AM?
4. Mekanisme apa yang menyebabkan tangan kiri SH sering bergerak-gerak sendiri saat tidur
dan sesekali disertai mata ikut bergerak ke sisi kanan?
5. Gangguan apa yang terjadi pada An. SH?
6. Jenis pemeriksaan apa saja yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis gangguan yang
dialami An. SH?

III. Analisa Masalah


1. Ptosis
Ptosis disebabkan oleh paralysis otot levator palpebra dan kontraksi dari otot orbicularis
oculi yang tidak dilawan, yang dipersarafi oleh nervus facial (VII). Keadaan kelemahan dan
paralisis ini dapat terjadi akibat gangguan pada saraf kranial yang mensarafinya, dalam hal ini
m. levator palpebra disarafi oleh nervus occulomotor (III). paralysis komplit dari nervus
occulomotor dapat menyebabkan ptosis, posisi mata yang tetap (melihat ke atas atau bawah),
dan dilatasi pupil yang berlebihan. sedangkan paralysis yang terisolasi dapat menimbulkan
ophtalmoplegia internal. (Baehr & Frotscher, 2012). Selain karena gangguan dari nervus
occulomotor, ptosis dapat diakibatkan gangguan pada neuromuscular junction. Gangguan
transmisi antara impuls dari saraf menuju otot dapat menyebabkan kurang adekuatnya
rangsangan yang diterima otot. gangguan yang terjadi pada neurotransmiter dan reseptornya
dapat diperoleh maupun yang kongenital. Kelainan yang terjadi dapat dibagian presinaptik,
postsinaptik, dan sinaptik.
Diplopia
Diplopia adalah misalignment mata jika diplopia binokular, atau fenomena optik jika
monokular. Ketidaksejajaran mata dapat terjadi karena berbagai penyebab, dan untuk
memahaminya, seseorang harus mengikuti algoritme anatomi tentang apa yang perlu terjadi
agar mata dapat disejajarkan. Kedua mata harus menerima persarafan yang sama dari semua
otot ekstraokular mereka agar berada dalam posisi primer ketika persarafan ke otot-otot
ekstraokular antagonis di setiap mata adalah sama. Persarafan ke otot ekstraokular disediakan
oleh saraf kranial ke-3, ke-4, dan ke-6; dengan demikian, ketiganya harus bekerja dengan baik
di setiap sisi untuk menjaga kedua mata pada posisi utama dan sejajar satu sama lain. diplopia
ada 2 jenis, monokular dan binokular. Diplopia monokular hampir selalu masalah oftalmologis
dengan yang paling sering dari pembentukan katarak pada lensa kristalin, kelainan pada
permukaan kornea (keratoconus dan astigmatisme), dan sangat jarang lesi yang mempengaruhi
korteks oksipital dapat menghasilkan diplopia monokular. Diplopia binokular terjadi karena
bayangan jatuh di luar fovea pada satu mata, sehingga memicu persepsi dua bayangan terpisah.
Jika misalignment mata horizontal, maka diplopia horizontal, dan misalignment mata vertikal
menghasilkan diplopia vertikal. Dengan demikian, penyebab timbulnya diplopia dapat
disebabkan oleh gangguan oftamologis dalam jaringan mata ataupun gangguan pada saraf
kranial 3, 4, dan 5, yang bekerja secara tidak seimbang, maupun oleh kelemahan otot-otot yang
bertanggungjawab dalam mengatur pergerakan mata. (Najem & Margolin, 2021)

2. Dengan gejala yang ada, Tn. AM bisa saja terkena Sindrom Guillain Barre atau
Guillain–Barré Syndrome (GBS). Gejala klinisnya berhubungan dengan saraf optic. GBS
adalah sekumpulan gejala yang merupakan suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia
yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karakterisasi berupa
kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Gejala dapat meningkat,
sampai seluruh otot utama tidak dapat digunakan dan dalam keadaan berat semua otot akan
paralisis.
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya mielin,
material yang membungkus saraf. Hilangnya mielin ini disebut dengan demielinisasi.
Demielinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau
berhenti sama sekali. Guillain–Barré syndrome menyebabkan inflamasi dan destruksi dari
mielin dan menyerang beberapa saraf
Perjalanan penyakit GBS ini dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu:
● Fase Progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap,
dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan
gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada
penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS
yang lebih berat.
● Fase Plateau
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap
ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi
yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Lama fase ini tidak dapat
diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,
sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum
dimulainya fase penyembuhan.
● Fase Penyembuhan
Biasanya pada fase ini terjadi perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti
memproduksi antibodi yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur- angsur menghilang,
penyembuhan saraf mulai terjadi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps.
Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama setelah penyembuhan (memakan waktu 2
tahun untuk pulih). Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi
pada fase infeksi, dan penyembuhan bisa saja tidak lengkap.

3. Adapun pemeriksaan yang dilakukan ialah :


● Pemeriksaan Laboratorium = Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan laju endap
darah (LED) hasil umumnya normal atau sedikit meningkat, leukosit umumnya dalam batas
normal, haemoglobin dalam batas normal, pada darah tepi didapati leukositosis
polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah
selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia
jarang ditemui. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan
peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demielinasi saraf pada kultur jaringan.
● Pemeriksaan Cairan SerebroSpinal ( CSS ) = Pada pemeriksaan cairan serebrospinal
paling khas ditemukan adanya kenaikan kadar protein (1-1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan
jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumik. Disosiasi
sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein tanpa disertai adanya pleositosis. Pada
kebanyakan kasus, pada hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari,
jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein
CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah mulainya gejala
klinis. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis
umumnya di bawah 10 leukosit mononuklear/mm.
● Pemeriksaan Kecepatan Hantar Saraf ( KHS ) dan Elektromiografi ( EMG ) =
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi
pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ketiga
mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada minggu pertama serangan gejala, didapatkan
perpanjangan respon (88%), perpanjangan distal latensi (75%), konduksi blok (58%) dan
penurunan kecepatan konduksi motor (50%). Pada minggu kedua, potensi penurunan tindakan
berbagai otot (CMAP, 100%), perpanjangan distal latensi (92%) dan penurunan kecepatan
konduksi motor (84%). Manifestasi elektrofisiologis yang khas tersebut, yakni, prolongasi
masa laten motorik distal yang menandai blok konduksi distal dan prolongasi atau absennya
respon gelombang F yang menandakan keterlibatan bagian proksimal saraf, blok hantar saraf
motorik, serta berkurangnya KHS.
● Pemeriksaan Patologi Anatomi = Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif
konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demielinasi
multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demielinasi ini akan muncul bersama
dengan demielinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat.
● Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging ( MRI ) = Pemeriksaan MRI akan
memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI
lumbosacral akan memperlihatkan penebalan pada radiks kauda equina dengan peningkatan
pada gadolinium. Adanya penebalan radiks kauda equina mengindikasikan kerusakan pada
barier darah- saraf. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS dan hasil sensitif sampai 83%
untuk GBS akut.

4. Kejang adalah manifestasi elektrik sementara dari korteks serebri. Suatu kejang terjadi
apabila terdapat ketidakseimbangan antara kekuatan eksitatorik dan inhibitorik di dalam
jaringan neuron korteks yang menghasilkan eksitasi mendadak. Manifestasi klinis yang terjadi
tergantung dari jaringan korteks yang terangsang. Oleh karena itu, dapat terjadi manifestasi
visual, sensorik, gustatorik, dan/atau motorik. Ditandai dengan aktivitas berlebihan yang tidak
terkendali dari sebagian atau seluruh sistem saraf pusat.
Kejang terjadi akibat lepasnya muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah focus
kejang. Atau dari jaringan normal yang terganggu akibat dari keadaan patologis. Aktivitas
kejang bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan di otak. Lesi di otak pun dapat
memicu kejang seperti lesi di otak tengah, thalamus, dan korteks serebrum yang kemungkinan
besar bersifat epileptogenic, sedangkan lesi di serebelum dan betang otak pada umumnya tidak
memicu kejadian kejang. Kejadian kejang patofisiologinya sebagai berikut :

● Instabilitas membrane sel saraf sehingga lebih mudah mengalami pengaktifan


● Aktivitas tersebut membuat neuron-neuron lebih hipersensitif dengan ambang untuk
melepaskan muatan sehingga muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan
muatan secara berlebihan
● Pelepasan dari muatan akan menyebabkan terjadinya kelainan polarisasi yang disebabkan
oleh kelebihan glutamat dan defisiensi GABA (Gama-Amino-Butirat-Acid)
● Terjadinya ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau elektrolit
yang akan mengganggu kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan tersebut akan menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik

Pada tingkat neurokimia, kejang dipertahankan oleh eksitasi berlebihan dan rendahnya inhibisi.
Glutamate merupakan neurotransmitter eksitatorik yang paling umum dan reseptor subtype
NMDA (N-methyl-D-aspartat) yang terlibat dalam proses kejang. GABA merupakan
neurotransmitter yang bersifat inhibitor. Kegagalan proses inhibit memungkinkan terjadinya
mekanisme utama dari kejang.

● Pemicu dari kejang adalah depolarisasi paroksimal neuron individu yang di sebut
Paroxymal depolarization shift (DPS). Hal ini disebabkan oleh aktivasi kanal kalsium.
Masuknya kalsium akan membuka kanal kation spesifik dan menyebabkan depolarisasi
massif yang diakhiri dengan pembukaan kalsium yang akan aktivasi kanal kalium dan
klorida
● Eksitasi saraf atau penyebaran eksitasi neuron akan mempromosikan sejumlah mekanisme
seluler berupa dendrit dari sel pyramidal yang mengandung voltage-gated Ca2+ akan
terbuka pada depolarisasi massif. Depolarisasi massif dapat di hambat oleh magnesium.
● Hipomagnesium yang terjadi dapat mengakibatkan aktivitas peningkatan ekstraseluler
konsentrasi kalium sehingga terjadi pengurangan kalium di kanal kalium
● Dendrit bagian sel pyramidal juga terjadi depolarisasi akibat glutamate. Glutamate bekerja
pada saluran kation kalsium pada kanal AMPA. Kanal NMDA normalnya di blok oleh
Magnesium. Defisiensi magnesium dan depolarisasi massif mengakibatkan aktivasi kanal
NMDA
● Pada normalnya depolarisasi diakibatkan pengurangan dari neuron inhibitor yang
menghambat aktivasi kalium dan kanal klorida yaitu GABA. GABA adalah bentuk dari
glutamate dekarboksilase yang merupakan sebuah enzim yang dibutuhkan piridoksin atau
B6 sebagai kofaktor. Defisiensi dari vitamin B6 dapat menyebabkan terjadinya kejang.
Pasien yang mengalami gejala kejang. Tejadinya hiperaktivitas dari motoric, sensoric,
autonomic, kognitif dan emosional

5. Dengan gejala yang ada, An. SH bisa saja mengalami kejang parsial. Kejang
merupakan sebuah perubahan perilaku yang bersifat sementara dan tiba-tiba yang merupakan
hasil dari aktivitas listrik yang abnormal di dalam otak. Jika gangguan aktivitas listrik ini
terbatas pada area otak tertentu , maka dapat menimbulkan kejang yang bersifat parsial, namun
jika gangguan aktivitas listrik terjadi di seluruh area otak maka dapat menimbulkan kejang
yang bersifat umum.
Perubahan ini terjadi karena adanya pergeseran nilai normal yang menyeimbangkan eksitasi
dan inhibisi didalam susunan saraf pusat, karena terlalu banyak faktor yang dapat
mempengaruhi nilai normal eksibilitas susunan saraf pusat maka ada banyak penyebab yang
dapat menimbulkan kejang (Goldenberg, 2010).
Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang harus ada, tetapi tidak semua
kejang merupakan manifestasi epilepsi. Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak
dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal (secara sering dalam
waktu yang singkat dan mempunyai gejala yang sama). Terdapat dua kategori dari kejang
epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi
pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan
kesadaran parsial.
Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi adalah timbulnya
kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai dengan serangan tunggal atau tersendiri.
Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai
dengan kejang epilepsi berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor
pencetus, kronisitas.
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu hemisfer
serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita
umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, fenomena halusinatorik, psikoilusi, atau
emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang paling khas
terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.

6. Adapun pemeriksaan yang dilakukan ialah :


● PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan elektroensefalografi
(EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar dalam
keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi.
● PEMERIKSAAN RADIOLOGI Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan
MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan, adalah bagian yang penting
dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di beberapa kasus epilepsi tipe yang tidak menentu.
Untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak . MRI kepala merupakan
prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik
dibanding dengan CT Scan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan T2
weighted“ dengan minimal dua irisan, irisan axial, irisan coronal atau irisan saggital.
● PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan
dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya
penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada
dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi.
● PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat
mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan
glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar
mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan
urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse”
IV. Strukturisasi

V. Learning Objective
1. Apa perbedaan yang mendasari jenis gangguan yang dialami Tn. AM dan An. SH?
2. Jelaskan peranan sistem saraf tepi berdasarkan skenario di atas.
3. Bagaimana perjalanan stimulus melalui saraf?
4. Bagaimana perjalanan stimulus sampai ke otot?
5. Proses biokimia apa yang mendasari keluhan Tn. AM dan An. SH?
VI. Hasil Belajar Mandiri
1. Penyebab :
● GBS : pada Sebagian kasus GBS yang terjadi setelah sebelumnya penderita
mengalami sakit tenggorokan, pilek, atau flu, maka para ahli menyimpulkan bahwa
autoimun dipicu oleh bakteri atau virus penyebab kondisi-kondisi yang mendasari
tersebut. Jenis bakteri yang juga bisa memicu sindrom Guillain-Barré adalah bakteri
campylobacter yang sering ditemukan pada kasus keracunan makanan. Sedangkan dari
golongan virus adalah virus Epstein-Barr, virus cytomegalovirus pada penyakit herpes,
dan virus HIV. Karena GBS merupakan penyakit autoimun, maka kondisi ini tidak
bisa ditularkan atau diturunkan secara genetik.
● Kejang parsial: ada beberapa faktor resikonya, diantaranya ada faktor keturunan,
cedera otak,dan gangguan aktivitas listrik otak.

Asal gangguan:

● GBS : kerusakan saraf, sehingga akan berpengaruh kepada organ lain, seperti
ekstremitas, dan juga akan menurunkan refleks fisiologis tubuh.
● Kejang parsial: sel saraf otak mengirimkan sinyal listrik secara tiba-tiba dan
berlebihan serta tak terkendali, sehingga pada bagian tubuh tertentu akan bergerak
sendiri secara tidak sadar.

2. Susunan saraf tepi terdiri atas serabut-serabut saraf yang membawa informasi antara
SSP dan bagian tubuh lain. Susunan saraf ini terbagi menjadi dua, divisi aferen dan
eferen. Divisi aferen mengirim informasi mengenai lingkungan internal dan eksternal
ke SSP. Divisi eferen adalah jalur komunikasi yang digunakan oleh SSP untuk
mengontrol aktivitas organ dan kelenjar, organ-organ efektor yang melaksanakan tugas
sesuai dengan yang diinginkan. (Sherwood, 2014). Diplopia dan ptosis erat kaitannya
dengan saraf tepi, yaitu saraf kranial III, IV, dan VI, cabang saraf yang bertanggung
jawab dalam pergerakan mata. Fasikulus ketiga saraf kranial ini melintasi batang otak
keluar dari ventral dalam kasus saraf ke-3 dan ke-6 dan dorsal dalam kasus saraf ke-4.
Saraf kemudian menempuh jarak yang bervariasi di ruang subarachnoid, di mana
mereka rentan terhadap berbagai patologi yang mempengaruhi cairan serebrospinal
(kondisi inflamasi, infeksi, dan keganasan). Akhirnya, semua saraf okulomotor (ke-3,
ke-4, dan ke-6) muncul dari ruang subarachnoid dan berkumpul di ruang yang diisi
dengan darah vena yang terletak lateral ke setiap sisi kelenjar hipofisis, yang disebut
sinus kavernosa. Sinus kavernosa dikelilingi oleh banyak struktur, dan patologi
mempengaruhi struktur tetangga ini (sinus sphenoid, kelenjar pituitari, nasofaring, arteri
karotis intrakavernosa, dll.) dapat mempengaruhi salah satu saraf okulomotor dan
dengan demikian menyebabkan diplopia. Dari sinus kavernosa, ketiga saraf okulomotor
berjalan berdekatan satu sama lain untuk memasuki fisura orbital superior, di mana
mereka juga terletak dekat dengan saraf kranial ke-2 (saraf optik); dengan demikian,
lesi pada fisura orbital superior menghasilkan penurunan penglihatan dan seringnya
perpindahan bola mata ke depan (proptosis) selain kelumpuhan saraf okulomotor
multipel. Dari fisura orbitalis superior, setiap saraf berjalan ke otot ekstraokular yang
dipersarafinya melalui orbit; dengan demikian, patologi orbital dapat menghasilkan
diplopia juga. Akhirnya, saraf akan bergabung dengan otot yang dipersarafinya, dan
patologi pada sambungan neuromuskular juga dapat menyebabkan misalignment okular
dan dengan demikian diplopia binokular. Akhirnya, otot ekstraokular itu sendiri harus
utuh agar mata bisa sejajar satu sama lain; dengan demikian, miopati juga dapat
menghasilkan diplopia. Ptosis juga dapat ditimbulkan dari kelumpuhan komplit nervus
oculomotor. (Najem & Margolin, 2021). GBS yang merupakan penyakit autoimun, akan
mengakibatkan demyelinasi dari akson-akson saraf motorik dari divisi eferen sistem
saraf tepi.

3. SINAPS DAN INTEGRASI NEURON


sinaps adalah hubungan antara satu terminal akson suatu neuron, yang dikenal
sebagai neuron prasinaps, dan dendrit atau badan sel neuron lain, yang dikenal sebagai
neuron pascasinaps. Arus tidak menyebar langsung dari neuron prasinaps ke neuron
pascasinaps karena tidak terdapat saluran di membran prasinaps untuk lewatnya Nat
dan K- yang bermuatan listrik. Karena itu, potensial aksi tidak dapat lewat secara
elektris di antara dua neuron. Potensial aksi di neuron prasinaps mengubah potensial
neuron pascasinaps melalui metode kimiawi.

1. Ketika potensial aksi di neuron prasinaps telah menjalar ke terminal akson


(perubahan potensial lokal ini memicu terbukanya saluran Ca2. berpintu voltase di
synaptic knob).
2. Karena Ca2. jauh lebih pekat di CES dan gradien listriknya mengarah ke dalam,
maka ion ini mengalir ke dalam synaptic knob melalui saluran-saluran yang terbuka
3. Ca2* memicu pelepasan neurotransmiter dari sebagian vesikel sinaps ke dalam
celah sinaps. Pelepasan ini terlaksana dengan eksositosis.
4. Neurotransmiter yang dibebaskan berdifusi menyeberangi celah dan berikatan
dengan reseptor protein spesifik di membran subsinaps, bagian membran
pascasinaps yang tepat berada di bawah synaptic knob
5. Pengikatan ini memicu terbukanya saluran-saluran ion spesifik di membran
subsinaps, mengubah permeabilitas neuron pascasinaps terhadap ion. Ini adalah
saluran-saluran berpintu kimiawi, yang berbeda dari saluran berpintu voltase yang
berperan dalam pembentukan potensial aksi dan influks Ca'- ke dalam synaptic
knob.
Sinaps hanya dapat beroperasi dalam arah dari neuron prasinaps ke neuron pascasinaps
karena terminal prasinaps mengeluarkan neurotransmiter dan membran subsinaps
neuron pascasinaps memiliki reseptor untuk neurotransmiter
● Sinaps Eksitatorik
Pada sinaps eksitatorik, saluran reseptor yang mengikat neurotransmiter adalah saluran
kation nonspesifik yang memungkinkan lewatnya Na+ dan K+ secara simultan
melaluinya. Ketika saluran ini terbuka sebagai respons terhadap pengikatan
neurotransmitter, permeabilitas terhadap kedua ion ini meningkat pada saat yang
bersamaan. Berapa banyak setiap ion berdifusi melalui saluran kation nonspesifik
terbuka tergantung pada gradien elektrokimia ion. Pada potensial istirahat, konsentrasi
dan gradien listrik untuk Na+ mendukung pergerakannya ke dalam neuron pascasinaps,
sedangkan hanya gradien konsentrasi untuk K+ yang mendukung pergerakannya ke
luar. Oleh karena itu, perubahan permeabilitas yang diinduksi pada sinaps eksitatorik
menghasilkan pergerakan beberapa ion K+ keluar dari neuron pascasinaps, sedangkan
sejumlah besar ion Na+ secara bersamaan memasuki neuron ini. Hasilnya adalah
pergerakan bersih ion positif ke dalam sel. Hal ini membuat bagian dalam membran
sedikit kurang negatif dibandingkan pada potensial istirahat, sehingga menghasilkan
depolarisasi kecil dari neuron pascasinaps.

Aktivasi satu sinaps rangsang tidak dapat mendepolarisasi neuron pascasinaps cukup
untuk membawanya ke ambang. Terlalu sedikit saluran yang terlibat di satu situs
sinaptik untuk memungkinkan aliran ion yang memadai untuk mengurangi potensi ke
ambang. Depolarisasi kecil ini, bagaimanapun, membawa membran neuron postsinaptik
lebih dekat ke ambang batas, meningkatkan kemungkinan bahwa ambang batas akan
tercapai (sebagai respons terhadap masukan eksitatorik lebih lanjut) dan bahwa
potensial aksi akan terjadi—yaitu, membran sekarang lebih tereksitasi ( lebih mudah
dibawa ke ambang) daripada saat istirahat. Dengan demikian, perubahan potensial
postsinaptik yang terjadi pada sinaps eksitatorik disebut potensi postsinaptik rangsang,
atau EPSP.

● Sinaps Inhibitorik
Pada sinaps inhibitorik, pengikatan neurotransmitter dengan saluran reseptornya
meningkatkan permeabilitas membran subsinaptik terhadap K+ atau klorida (Cl-),
tergantung pada sinaps. Pergerakan ion yang dihasilkan menyebabkan hiperpolarisasi
kecil pada neuron pasca sinaptik—yaitu, negativitas internal yang lebih besar. Dalam
kasus peningkatan PK+, lebih banyak muatan positif meninggalkan sel melalui
penghabisan K+, meninggalkan lebih banyak muatan negatif di bagian dalam. Dalam
kasus peningkatan PCl-, karena konsentrasi Cl- lebih tinggi di CES, muatan negatif
masuk ke dalam sel dalam bentuk Cl-. Dalam kedua kasus, hiperpolarisasi kecil ini
menggerakkan potensial membran lebih jauh dari ambang batas, mengurangi
kemungkinan bahwa neuron pascasinaps akan mencapai ambang (sebagai respons
terhadap masukan rangsang) dan mengalami potensial aksi —yaitu, membran sekarang
kurang tereksitasi (lebih keras). untuk dibawa ke ambang dengan input rangsang)
daripada saat berada pada potensial istirahat. Membran dikatakan dihambat dalam
keadaan ini, dan hiperpolarisasi kecil sel postsinaptik disebut potensi postsinaptik
penghambatan, atau IPSP.

Dalam sel di mana potensial keseimbangan Cl- sama persis dengan potensial
istirahat, peningkatan PCl- tidak menghasilkan hiperpolarisasi karena tidak ada gaya
pendorong untuk menghasilkan pergerakan Cl. Pembukaan saluran Cl- dalam sel ini
cenderung menahan membran pada potensial istirahat, mengurangi kemungkinan
bahwa ambang batas akan tercapai. Perhatikan bahwa EPSP dan IPSP dihasilkan
dengan membuka saluran berpintu kimia, tidak seperti potensial aksi, yang dihasilkan
dengan membuka saluran berpintu tegangan.

Selama neurotransmitter tetap terikat pada saluran reseptor, perubahan


permeabilitas membran yang bertanggung jawab untuk EPSP atau IPSP terus berlanjut.
Agar neuron pascasinaps siap menerima pesan tambahan dari input prasinaptik yang
sama atau lainnya, neurotransmiter harus dinonaktifkan atau dikeluarkan dari celah
pascasinaps setelah ia menghasilkan respons yang sesuai di neuron pascasinaps. Jadi,
setelah bergabung dengan saluran reseptor postsinaptik, bahan transmisi kimia
dihilangkan dan respons dihentikan.
Beberapa mekanisme dapat menghilangkan neurotransmitter: Beberapa
neurotransmiter dan neuropeptida dapat berdifusi sederhana keluar dari celah sinaps
untuk digunakan lagi maupun didegradasi. Mungkin berdifusi menjauh dari celah
sinaptik, diinaktivasi oleh enzim spesifik di dalam membran subsinaptik, atau secara
aktif dibawa kembali ke terminal akson melalui mekanisme transpor di membran
prasinaps. Setelah neurotransmitter diambil kembali, ia dapat disimpan dan dilepaskan
di lain waktu (didaur ulang) sebagai respons terhadap potensial aksi berikutnya atau
dihancurkan oleh enzim di dalam synaptic knob. Pada Asetilkolin akan dipecah, oleh
enzim asetilkolin esterase menjadi asetat dan kolin. Kolin akan dibawa ke presinaps
untuk membentuk asetilkolin baru.

(Sherwood, 2016)

4. - JARAS PIRAMIDALIS -
: Merupakan jaras motorik yang berasal dari otak dan melewati sebuah struktur anatomi
di batang otak lebih tepatnya struktur piramid di medula oblongata. Jaras piramidalis ini
dibagi menjadi 3 yakni, Traktus Kortikospinal, Traktus Kortikobulbar dan Traktus
Kortikomesensefalik.
I. Traktus Kortikospinal
: Serabut traktus kortikospinalis muncul sebagai akson sel-sel piramid yang terletak di
lapisan kelima korteks serebri. Sekitar sepertiga serabut ini berasal dari korteks motorik
primer (area 4), sepertiga lainnya dari area korteks motorik sekunder (area 6), dan
sepertiga dari lobus parietalis (area 3, 1, dan 2). Jadi dua pertiga serabut traktus
kortikospinalis berasal dari girus presentralis dan sepertiga dari girus postsentralis.
Serabut- serabut desendens ini berkumpul di korona radiata, kemudian berjalan melalui
krus posterior kapsula interna. Disini serabut-serabut tersebut ditata sedemikian rupa
sehingga yang terletak paling dekat dengan genu yang mengurus bagian cervical tubuh,
sedangkan yang terletak lebih ke posterior mengontrol ekstremitas inferior. Selanjutnya
traktus akan melanjutkan perjalanan melalui tiga perlima medial basis pedunkulus
mesensefalon. Serabut yang mengurus bagian cervical tubuh terletak di sebelah medial,
sedangkan yang mengendalikan tungkai terletak di sebelah lateral. Saat memasuki pons,
traktus terbagi menjadi banyak berkas oleh fibrae pontocerebellares transversae. Setelah
keluar dari pons, traktus ini akan mengalami persilangan di bagian median daripada
medula oblongata, di daerah dekusasio piramidum. Traktus kortikospinalis yang
menyilang ini disebut traktus kortikospinalis lateralis yang selanjutnya akan berjalan di
funikulus lateralis medula spinalis, sedangkan traktus kortikospinalis anterior yang tidak
menyilang akan berjalan di daerah ventral medula spinalis. Sebagian besar traktus
kortikospinalis bersinaps dengan neuron penghubung, kemudian bersinaps dengan
neuron motorik alfa dan beberapa dengan neuron motorik gamma.

II. Traktus Kortikobulbar


: Serabut-serabut traktus kortikobulbar bersama-sama dengan traktus kortikospinalis
meninggalkan kortek motorik lalu bergabung melewati korona radiata substansia alba
serebrum ke arah ekstremitas posterior kapsula interna. Kemudian memasuki bagian
tengah pedunkulus mesensefalon. Pada mesensefalon ini serabut-serabut traktus
kortikobulbar meninggalkan traktus piramidalis dan berada di pertengahan pedunkulus
serebri. Jaras kortikobulbar terletak pada bagian medial. Kemudian di pons, serabut ini
berputar sehingga jaras kortikobulbar berada di dorsal. Serabut ini berakhir di nuklei
motor nervi kranial setinggi medula oblongata.Traktus kortikobulbar berakhir di inti
saraf kranial secara :
Bilateral, nuclei oculomotorius (III), Nuclei Troklearis (IV), nuclei trigeminus (V), nuclei
Abdusen (VI), pars kaudal nucleus fascialis (VII), Nuclei Ambigus (X) Menyilang
kontralateral, pars rostralis nucleus fascialis (VII) dan nucleus hipoglossus (XII) Tidak
menyilang, nuclei Accesorius (N XI)

III. Traktus Kortikomesensefalik


: Traktus ini berasal dari korteks serebri lebih tepatnya pada area broadman 8 yang mana ini
merupakan Frontal Eye Field dimana ia mengatur dan meregulasi otot mata. Lalu
traktus ini akan turun ke Mesensefalon dan 50 % nya akan menyilang lalu akan menuju
nukleus Nervus Cranialis dan nantinya akan mempersarafi N.III, N. IV dan N.VI.
( Sherwood, 2014 )

- NEUROMUSCULAR JUNCTION -
Potensial aksi di neuron motorik dengan cepat disebarkan dari badan sel di
dalam SSP ke otot rangka sepanjang akson besar bermielin (serat eferen) neuron. Saat
akson mendekati otot, ia membelah dan kehilangan selubung mielinnya.
Masing-masing terminal akson ini membentuk sambungan khusus, neuromuscular
junction, dengan salah satu dari banyak sel otot yang menyusun seluruh otot. Setiap
cabang hanya mempersarafi satu sel otot; oleh karena itu, setiap sel otot hanya memiliki
satu neuromuscular junction. Baik komponen saraf dan otot membentuk neuromuscular
junction, seperti halnya sinaps yang mencakup komponen prasinaptik dan pascasinaps.
Sebuah sel otot tunggal, yang disebut serat otot, bentuknya panjang dan silindris. Di
dalam neuromuscular junction, terminal akson terbagi menjadi beberapa cabang halus,
yang masing-masing berakhir pada struktur seperti kenop yang diperbesar yang disebut
terminal button. Seluruh ujung ujung akson (semua cabang halus dengan terminal
button) masuk ke dalam lekukan dangkal, atau alur, di serat otot yang mendasarinya.
Bagian dasar khusus dari membran sel otot ini disebut motor end plate.
Sel saraf dan otot tidak bersentuhan langsung pada neuromuscular junction.
Ruang, atau celah, antara dua struktur ini terlalu besar untuk transmisi listrik impuls di
antara mereka. Sama seperti pada sinaps kimia saraf, pembawa pesan kimia membawa
sinyal antara terminal button dan serat otot. Neurotransmitter ini adalah Asetilkolin
(ACh).

1. Potensial aksi di neuron motorik merambat ke terminal akson (terminal button).


2. Terbentuknya potensial aksi di terminal button memicu pembukaan saluran
Ca2+ bergerbang voltase dan masuknya Ca2+ ke dalam terminal button.
3. Ca2+ memicu pelepasan asetilkolin melalui eksositosis sebagian vesikel
4. Asetilkolin berdifusi melintasi ruang yang memisahkan sel saraf dan sel otot
lalu berikatan dengan reseptor spesifiknya di motor end plate membran sel otot.
5. Pengikatan ini menyebabkan terbukanya saluran kation, yang kemudian
menyebabkan perpindahan Na+ masuk ke dalam sel otot dalam jumlah yang
lebih besar daripada perpindahan K+ keluar sel.
6. Hasilnya adalah potensial end-plate. Terjadi aliran arus lokal antara end-plate
yang mengalami depolarisasi dan membran sekitar.
7. Aliran arus lokal ini membuka saluran Na+ berpintu tegangan di membran
sekitar.
8. Na+ masuk ke dalam sel dan menurunkan potensial ke ambang, memicu
potensial aksi, yang kemudian merambat ke seluruh serat otot.
9. Asetilkolin kemudian diuraikan oleh asetilkolinesterase, suatu enzim yang
terletak di membran motor end-plate dan mengakhiri respons sel otot.

5. Guillain-Barre Syndrom
: pemuan patologis klasik di polineuropati demielinasi inflamasi akut adalah inflamasi
infiltrat (terutama terdiri dari sel-sel T dan makrofag) dan bidang demielinasi
segmental, sering dikaitkan dengan tanda-tanda degenerasi aksonal sekunder, yang
dapat dideteksi pada akar spinal, serta di saraf motorik dan sensorik. Ada bukti aktivasi
komplemen awal, yang didasarkan pada antibodi yang mengikat ke permukaan luar dari
sel Schwann dan deposisi komponen komplemen diaktifkan; aktivasi komplemen
tersebut muncul untuk memulai vesikulasi myelin. Invasi makrofag diamati dalam
waktu 1 minggu setelah kerusakan komplemen myelin termediasi terjadi.
imunopatogenesis polineuropati demielinasi inflamasi akut. Meskipun autoantigen
belum diidentifikasi secara tegas, autoantibodi dapat mengikat pada antigen myelin dan
mengaktifkan komplemen. Ini diikuti dengan pembentukan membrane attack complex
(MAC) pada permukaan luar dari sel Schwann dan inisiasi degenerasi vesikular.
Makrofag kemudian menyerang myelin dan bertindak sebagai pemakan untuk
menghilangkan debris myelin. Kemudian selanjutnya menjadi imunopatogenesis
neuropati motorik aksonal akut. Akson myelin dibagi menjadi empat wilayah
fungsional: Ranvier nodes, paranodes, juxtaparanodes, dan internodes. Gangliosida
GM1 dan GD1a yang sangat terlihat pada node dari Ranvier, di mana saluran tegangan
sodium (Nav) terlokalisir. Contactinassociated protein (Caspr) dan saluran tegangan
kalium (Kv) masing-masing hadir pada paranodes dan juxtaparanodes. IgG anti-GM1
atau anti-GD1a autoantibodi berikatan dengan aksolema nodal, yang mengarah ke
pembentukan MAC. Hal ini menyebabkan hilangnya cluster Nav dan detasemen myelin
paranodal, yang dapat menyebabkan kegagalan saraf-konduksi dan kelemahan otot.
Degenerasi aksonal dapat mengikuti pada tahap berikutnya. Makrofag kemudian
menyerang dari node ke dalam ruang periaxonal, mencari akson yang terluka.
Studi lain pada pasien dan hewan uji coba telah memberikan bukti yang meyakinkan
bahwa GBS, setidaknya dalam beberapa kasus, disebabkan oleh respon imun yang
menyimpang infeksi yang disebabkan yang merusak saraf perifer.

Singkatnya GBS ini terjadi , dimana sistem imun tiba-tiba menyerang saraf, namun
teori yang paling sering adalah adanya organisme (misalnya virus atau bakteri)
mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya
sebagai sel-sel asing. Pada GBS terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai
reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh seperti bakteri maupun
virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin dan
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit sehingga terjadi inflamasi pada saraf.
Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel
Schwan yang seharusnya menghasilkan materi lemak penghasil myelin. Organisme
tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun seperti limfosit dan makrofag menyerang
myelin. Limfosit T akan tersensitisasi bersamaan dengan limfosit B yang akan
memproduksi antibodi melawan komponen selubung myelin dan menyebabkan
destruksi myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara
pada waktu yang bersamaan, myelin yang ada dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring
dengan serangan yang berlanjut jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap.
Malfungsi sistem imunitas yang terjadi pada GBS menyebabkan kerusakan sementara
pada saraf perifer dan timbulah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresisf
ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.

Kemudian kejadian lain yang sering di angkat dan bersangkut paut dengan GBS ialah
Molecular Mimicry.

Epilepsi parsial
Aktivitas kejang bermanifestasi ketika impuls listrik otak dilepaskan secara
tidak normal, yang mengakibatkan gangguan atau disregulasi komunikasi saraf normal.
Kejang, apakah terisolasi atau berulang, berasal dari korteks serebral otak atau daerah
hipokampus.
Patogenesis neuronal epilepsi tidak sepenuhnya dipahami meskipun
prevalensinya tinggi. Bukti kuat menunjukkan komponen genetik yang mempengaruhi
transkripsi neuron utama spesifik yang diatur oleh asam gamma-aminobutyric (GABA),
neurotransmitter penghambat. Subtipe dari interneuron utama dan GABAergik adalah
kandidat yang paling mungkin untuk berkontribusi terhadap pemicu kejang dan
propagasi.
Predisposisi genetik untuk epilepsi juga telah dikaitkan dengan peningkatan
regulasi gen reseptor glutamat, neurotransmitter rangsang. Saat GABA menjadi
deregulasi, reseptor glutamat memulai aktivitas neuronal tanpa hambatan dan tidak
sinkron yang menghasilkan aktivitas kejang. Lesi struktural seperti tumor, jaringan
sklerotik, atau jaringan yang rusak akan berfungsi sebagai daerah epileptogenik karena
gangguan propagasi listrik normal. (Patel & Jesus, 2021).
Aktivitas kejang sangat dipengaruhi oleh perubahan eksitabilitas sel-sel saraf.
Kejang dapat dipicu oleh eksitasi ataupun inhibisi pada sel saraf. Glutamat yang
dilepaskan dari terminal presinaps akan berikatan dengan reseptor glutamat yang
disebut reseptor inotropik glutamat (iGluRs) yang memiliki beberapa sub tipe yaitu
NMDA dan non-NMDA. Ikatan glutamat dengan reseptor non-NMDA akan
menghasilkan neurotransmisi eksitasi tipe cepat yang disebut (EPSP). Sementara itu,
ikatan glutamat dengan reseptor NMDA akan menghasilkan tipe EPSP yang lebih
lambat.
Selain dari perubahan eksitasi, perubahan inhibisi juga dapat menimbulkan
kejang. Neurotransmitter inhibisi primer yang ada di otak adalah GABA. GABA, yang
dilepaskan akan berikatan dengan reseptor GABAA dan menyebabkan masuknya ion
Cl- kedalam sel neuron. Masuknya ion Cl- ini akan meningkatkan muatan negatif dalam
neuron postsinaps dan mengakibatkan hiperpolarisasi, perubahan pada potensial
membran ini disebut IPSP. Reseptor GABAB terletak pada terminal presinaptik dan
membran postsinaptik. Jika diaktifkan, oleh GABA presinaptik maupun postsinaptik
maka receptor GABAB akan menyebabkan IPSP. IPSP berperan dalam menurunkan
cetusan elektrik sel saraf. Penurunan komponen sistem GABA-IPSP ini akan
mengakibatkan eksitasi berlebihan dan mencetuskan epilepsi.
Epilepsi juga dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel-sel saraf berupa
hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan sejumlah besar neuron
yang berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik yang abnormal. Potensial aksi yang
terjadi pada satu sel neuron akan disebarkan ke neuron-neuron lain yang berdekatan dan
pada akhirnya akan terjadi bangkitan elektrik yang berlebihan dan bersifat berulang.
Mekanisme epilepsi sangat dipengaruhi oleh keadaan neurokimia pada sel-sel
saraf, misalnya sifat neurotransmiter yang dilepaskan, ataupun adanya faktor tertentu
yang menyebabkan gangguan keseimbangan neurokimia seperti pemakaian
obat-obatan. Selain GABA dan glutamat yang merupakan neurotransmiter penting
dalam epilepsi, terdapat beberapa produk kimiawi lain yang juga ikut berperan seperti
misalnya golongan opioid yang dapat menyebabkan inhibisi interneuron, ataupun
katekolamin yang dapat menurunkan ambang kejang. Selain itu gangguan elektrolit
akibat kegagalan pengaturan pompa ionik juga ikut mencetuskan serangan epilepsi.
Beberapa zat kimia terbukti dapat memicu terjadinya epilepsi, yaitu alumina hydroxide
gel yang menyebabkan degenerasi neuron, kematian neuron dan penurunan aktivitas
GABAergik, pilokapin yang menyebabkan pembengkakan pada dendrit, soma dan
astrosit, dan pada tahap akhir menyebabkan kematian sel. Asam kainat terbukti dapat
menginduksi kejang dengan cara memacu reseptor EAA (excitatory amino acid).(Vera,
Dewi, Nursiah, 2014)

VII. Sintesis
1. Sindrom guillain-barre merupakan penyakit demyelinasi saraf Perifer yang
menyebabkan pengantaran impuls saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti
2. Dasar suatu serangan kejang adalah lepasnya muatan listrik oleh sejumlah besar
neuron secara sinkron. kejang terjadi apabila terdapat ketidakseimbangan antara
kekuatan eksitatorik dan inhibitorik di dalam jaringan neuron korteks yang
menghasilkan eksitasi mendadak
3. Sinaps adalah hubungan antara satu terminal akson suatu neuron, yang dikenal
sebagai neuron prasinaps, dan dendrit atau badan sel neuron lain, yang dikenal
sebagai neuron pascasinaps.
4. Sinaps terdiri dari 2 jenis, yaitu EPSP yang merupakan sinaps eksitatrorik dan
IPSP yang merupakan sinaps inhibitorik
5. Jaras piramidalis merupakan jaras motorik yang berasal dari otak dan melewati
sebuah struktur anatomi di batang otak. Jaras piramidalis ini dibagi menjadi 3
yakni, Traktus Kortikospinal, Traktus Kortikobulbar dan Traktus
Kortikomesensefalik.
6. Potensial aksi dari neuron motorik disebarkan menuju sel otot melalui
sambungan khusus yang disebut neuromuscular junction.
REFERENSI

Baehr, M. & Frotscher, M. 2012. Duus’ Topical Diagnostic ini Neurology, 5th ed. Stuttgart:
Thieme.

Care of the patient with seizures 2th. 2009. USA : AANN Clinical Practice Guidelines Series.

Najem, K. & Margolin, E. 2021. Diplopia. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.

Lombardo. 2010. MC. Gangguan Kejang Dalam: Price SA, Wilson LN. Patofisiologi : konsep
klinis proses-proses penyakit. Edisi 6 volume 2. EGC

Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, edisi 8. Jakarta: EGC.

Sherwood, L. 2016. Human Physiology from Cells to Systems Ninth Edition. Boston: Cengage
Learning

Silbernagl S, Lang F. 2009. Color Atlas of Pathophysiology. ed. 2nd Edition. New York : Thieme

Patel, R.P. & Jesus, O.D. 2021. Partial Epilepsy. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
Vera, R., Dewi, M.A.R., Nursiah. 2014. ‘Sindrom Epilepsi pada Anak’, MKS, Th. 46, No. 1.

Anda mungkin juga menyukai