Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

EDEMA PARU

Oleh:
Elita Ismi Mientarini
NIM 182011101002

Dokter Pembimbing:
dr. Retna Dwi Puspitarini, Sp. P

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2019
REFERAT
EDEMA PARU
Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Madya
SMF Ilmu Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi

Oleh:
Elita Ismi Mientarini
NIM 182011101002

Dokter Pembimbing:
dr. Retna Dwi Puspitarini, Sp. P

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2019

ii
Daftar Isi
halaman
Halaman Sampul ................................................................................................. i
Halaman Judul..................................................................................................... ii
Daftar Isi.............................................................................................................. iii
Bab 1. Pendahuluan ............................................................................................. 1
Bab 2. Tinjauan Pustaka
2.1 Anatomi ........................................................................................... 2
2.2 Definisi ............................................................................................ 3
2.3 Patofisiologi ..................................................................................... 3
2.4 Klasifikasi
2.4.1 Edema Paru Non Kardiogenik ................................................ 5
2.4.2 Edema Paru Kardiogenik ........................................................ 7
2.5 Diagnosis .......................................................................................... 8
2.6 Penatalaksanaan ............................................................................... 10
2.7 Prognosis .......................................................................................... 13
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 14

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di


paru-paru (ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini memenuhi alveolus di dalam
paru-paru yang menyebabkan seseorang sulit untuk bernafas. Penyebab tersering
edema paru disebabkan oleh permasalahan jantung. Namun, akumulasi cairan di
dalam paru dapat disebabkan oleh beberapa alasan diantaranya adalah pneumonia,
beberapa racun, maupun obat-obatan. Edema paru-paru mudah timbul jika terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru-paru, penurunan tekanan
osmotik koloid seperti pada nefritis, atau kerusakan dinding kapiler. Dinding
kapiler yang rusak dapat diakibatkan inhalasi gas-gas yang berbahaya, peradangan
seperti pada pneumonia, atau karena gangguan lokal proses oksigenasi. 1
Edema paru yang terjadi secara akut merupakan kondisi kegawatan medis
yang harus segera ditangani. Walaupun edema paru kadang merupakan kondisi
yang fatal, namun penanganan yang tepat untuk edema paru dan kondisi yang
mendasarinya dapat memberikan tingkat perbaikan yang tinggi. Terapi untuk
edema paru sangat bervariasi, tergantung dari penyebab yang mendasarinya,
namun secara umum terapi ini termasuk suplementasi oksigen dan pengobatan
medikametosa. 1,2
Menurut salah satu penelitian, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta edema
paru di seluruh dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema paru perlu
pengobatan dan pengawasan secara komprehensif, di AS 5,5 juta penduduk
menderita edema paru, dan di Jerman 6 juta penduduk menderita edema paru.
Edema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu
menyebar ke berbagai daerah, sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia.
Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan hasil dengan
kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia
insiden terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per
100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar
10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99
(tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).
2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Paru-paru merupakan organ yang lunak, spongious dan elastis, berbentuk
kerucut atau konus, terletak dalam rongga toraks dan di atas diafragma,
diselubungi oleh membran pleura. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas
paru) yang tumpul di kranial dan basis (dasar) yang melekuk mengikuti lengkung
diphragma di kaudal. Paru-paru kanan mempunyai 3 lobus sedangkan paru-paru
kiri 2 lobus. Lobus pada paru-paru kanan adalah lobus superius, lobus medius,
dan lobus inferius. Lobus medius/lobus inferius dibatasi fissura horizontalis; lobus
inferius dan medius dipisahkan fissura oblique. Lobus pada paru-paru kiri adalah
lobus superius dan lobus inferius yg dipisahkan oleh fissura oblique.1,3
Organ paru-paru memiliki tube bronkial atau bronchi, yang bercabang-
cabang dan ujungnya merupakan alveoli, yakni kantung-kantung kecil yang
dikelilingi kapiler yang berisi darah. Di sini oksigen dari udara berdifusi ke dalam
darah, dan kemudian dibawa oleh hemoglobin. Darah terdeoksigenisasi dari
jantung mencapai paru-paru melalui arteri paru-paru dan, setelah dioksigenisasi,
beredar kembali melalui vena paru-paru.3

Gambar 1. Anatomi paru


3

2.2 Definisi
Edema paru didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi
perpindahan cairan dari vaskular paru ke interstisial dan alveoli paru.3 Pada edema
paru terdapat penimbunan cairan serosa atau serosanguinosa secara berlebihan di
dalam ruang interstisial dan alveoli paru. Edema yang terjadi akut dan luas sering
disusul oleh kematian dalam waktu singkat.4 Edema paru dapat diklasifikasikan
sebagai edema paru kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik.
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik
kapiler paru yang dapat terjadi akibat perfusi berlebihan baik dari infus darah
maupun produk darah dan cairan lainnya, sedangkan edema paru nonkardiogenik
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler paru.1,3,4,5 Walaupun penyebab
edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik berbeda, namun keduanya memiliki
penampilan klinis yang serupa sehingga menyulitkan dalam menegakkan
diagnosisnya.6 Terapi yang tepat dibutuhkan untuk menyelamatkan pasien dari
kerusakan lanjut akibat gangguan keseimbangan cairan di paru.1,3,4,7

2.3 Patofisiologi
Patofisilogi edema paru berhubungan dengan mekanisme pertukaran
cairan (fluid exchange) yang normal yang terjadi pada pembuluh darah kapiler.
Sejumlah volume cairan bebas protein tersaring ke luar kapiler, melintasi dinding
kapiler pembuluh darah, bercampur dengan caritan interstitium disekitarnya,
kemudian diabsorbsi kembali ke dalam pembuluh darah, proses seperti ini disebut
bulk flow.
Bulk Flow terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan
tekanan osmotik koloid antara plasma dengan cairan interstitium. Secara umum
ada empat gaya yang mempengaruhi perpindahan cairan menembus dinding
kapiler, yaitu 1) Tekanan darah kapiler merupakan tekanan hidrostatik darah yang
cenderung mendorong cairan ke luar kapiler menuju cairan interstitium; 2)
Tekanan osmotik koloid plasma disebut juga sebagai tekanan onkotik, merupakan
suatu gaya yang disebabkan oleh dispersi koloid protein-protein plasma dan
mendorong pergerakan cairan ke dalam kapiler. Dalam keadaan normal, protein
4

plasma akan dipertahankan di dalam plasma dan tidak masuk ke cairan


interstitium sehingga menimbulkan adanya perbedaan konsentrasi antara plasma
dan interstitium; 3) Tekanan hidrostatik cairan interstitium, merupakan tekanan
cairan yang bekerja dibagian luar dinding kapiler oleh cairan interstitium.
Tekanan ini cenderung mendorong cairan masuk ke dalam kapiler; 4) Tekanan
osmotik koloid cairan interstitium, merupakan gaya lain yang dalam keadaan
normal tidak banyak perperan dalam perpindahan cairan melalui kapiler.
Pada jaringan paru yang normal, cairan dan protein merembes melalui
celah sempit diantara sel-sel endotel kapiler paru, dan dengan adanya anyaman
epitel yang sangat rapat, protein berukuran besar tidak dapat melewati barier
tersebut sehingga dipertahankan didalam plasma. Pada keadaan ini cairan beserta
zat terlarut lainnya yang difiltrasi dari sirkulasi menuju ke jaringan intestitial
alveolar, tidak akan memasuki alveoli karena epitel alveolar memiliki tautan antar
sel yang sangat rapat. Selanjutnya, filtrat yang memasuki celah interstitial alveolar
akan mengalir ke arah proksimal menuju celah peribronkovaskuler. Pada jaringan
paru yang normal, seluruh filtrat tersebut akan dialirkan kembali menuju sirkulasi
sistemik melalui sistem limfe.
Edema paru terjadi apabila jumlah cairan yang difiltrasi melebihi
clearance capability sistem limfe, keadaan ini sering dijumpai pada keadaan
peningkatan tekanan hidrostatik kepiler oleh karena meningkatnya tekanan pada
pembuluh darah kapiler pulmonalis. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler
pulmoner secara cepat dan tiba-tiba akan menyebabkan peningkatan filtrasi cairan
transvaskular dan ini akan merupakan karakterisktik utama suatu acute
cardiogenik edema atau volume overload edema. Pada edema paru kardiogenik
peningkatan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah kapilier paru umumnya
disebabkan oleh karena peningkatan tekanan vena pulmonalis sebagai akibat
peningkatan left ventricular end-diastolic pressure. Peningkatan minimal (mild)
tekanan pada atrium kiri (18-25 mmHg) akan menyebabkan edema pada
perimikrovaskular serta perimikrovaskular interstisial space. Dengan peningkatan
tekanan pada atrium kiri yang lebih tinggi (>25 mmHg), cairan akan menembus
lapisan epitel paru dan mengisi seluruh alveoli dengan cairan rendah protein.
5

Hal yang berbeda didapati pada keadaan edema paru non kardi0genik,
adanya peningkatan permeabilitas pembuluh darah di paru menyebabkan cairan
intravaskular keluar menuju ruang interstitial paru. Pada edema paru non
kardiogenik akan dijumlai cairan edema yang tinggi dengan protein karena
memberan pembuluh darah yang lebih permeabel dapat melewatkan protein-
protein plasma. Total jumlah netto akumulasi cairan edema paru ditentukan oleh
keseimbangan antara laju filtrasi cairan ke dalam paru dengan laju pengeluaran
dan penyerapan cairan edema dari interstitial serta air space.

2.4 Klasifikasi
Edema paru menurut penyebab dan perkembangannya diklasifikasikan
menjadi edema paru kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik. Edema paru
kardiogenik biasanya disebabkan karena gagal jantung kiri kongestif yang
akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler paru.
Sedangkan edema paru non-kardiogenik terjadi karena peningkatan permeabilitas
membran kapiler yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat
sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif akibat
peningkatan permeabilitas mikro vaskular.

2.4.1 Edema Paru Non Kardiogenik


Edema paru biasanya disebabkan peningkatan tekanan pembuluh kapiler
paru dan akibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Pada keadaan normal
terdapat keseimbangan antara tekanan onkotik (osmotik) dan hidrostatik antara
kapiler paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada gagal jantung
menyebabkan edema paru. Sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang
menyebabkan volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada
sindrom nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga
terjadi edema paru.2
Pada tahap awal terjadinya edema paru terdapat peningkatan kandungan
cairan di jaringan interstisial antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru akibat
peningkatan permeabilitas kapiler paru dipikirkan bahwa kaskade inflamasi
timbul beberapa jam kemudian yang berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan
6

tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan melekat pada sel endotel
yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan
mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks
ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dan hasilnya
adalah kerusakan endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler
alveolar. Alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan
banyak mengandung neutrofil dan sel inflamasi sehingga terbentuk membran
hialin. Karakteristik edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru
adalah tidak adanya peningkatan tekanan pulmonal (hipertensi pulmonal). 2,8
Inhalasi bahan kimia toksik. Inhalasi bahan kimia toksik dapat menyebabkan
lesi paru seperti yang disebabkan oleh inhalasi asap. Edema paru dilaporkan dapat
disebabkan akibat paparan terhadap fosgen, klorin, oksida nitrogen, ozon, sulfur
dioksida, oksida metalik, uap asam, dan uap bahan kimia kompleks lainnya.
Fosgen adalah gas yang sangat reaktif, dan banyak dihasilkan oleh industri-
industri penghasil polimer, pharmaceutical, dan metalurgi. Senyawa induk fosgen
adalah chloroform dan gas fosgen merupakan metabolit toksiknya. Jika terhisap
oleh manusia pada konsentrasi tertentu menyebabkan edema paru-paru akibat
adanya gangguan keseimbangan cairan yang ada dan meningkatkan peroksida
lipid dan permeabilitas pembuluh darah.3,10
Peningkatan tekanan kapiler paru dan edema paru dapat terjadi pada
penderita dengan kelebihan cairan intravaskular dengan ukuran jantung normal.
Ekspansi volume intravaskular tidak perlu terlalu besar untuk terjadinya kongesti
vena, karena vasokontriksi sistemik dapat menyebabkan pergeseran volume darah
ke dalam sirkulasi sentral. Sindrom ini sering terjadi pada penderita yang
mendapat cairan kristaloid atau darah intravena dalam jumlah besar, terutama
pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, ataupun karena gagal ginjal itu
sendiri (terjadi retensi air). Sindrom kongesti vena (fluid overload) ini sering
terjadi pada penderita dengan trauma yang luas, yang mendapat cairan dalam
jumlah besar untuk menopang sirkulasi. Pada fase penyembuhan, terjadilah edema
paru. Keadaan ini sering dikacaukan dengan gagal jantung kiri atau ARDS (acute
respiratory distress syndrome).3
7

Penurunan tekanan koloid osmotik plasma akibat penurunan konsentrasi


albumin serum; bertanggung jawab terhadap pergeseran cairan ekstraselular dari
kompartemen intra-vaskular ke dalam interstisial dengan timbulnya edema dan
penurunan volume intravascular.

2.4.2 Edema Paru Kardiogenik


Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik
kapiler paru yang dapat terjadi akibat perfusi berlebihan. Pada edema paru
kardiogenik (volume overload edema) terjadinya peningkatan tekanan hidrostatik
dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Bila
tekanan interstisial paru lebih besar daripada tekanan intrapleural maka cairan
bergerak menuju pleura viseral yang menyebabkan efusi pleura. Bila
permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka cairan edema yang
meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein rendah. Peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler paru biasanya disebabkan oleh meningkatnya tekanan di vena
pulmonalis yang terjadi akibat meningkatnya tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
dan tekanan atrium kiri (>25 mmHg). Dalam keadaan normal tekanan kapiler paru
berkisar 8-12 mmHg dan tekanan osmotik koloid plasma 28 mmHg.1,3,7 Kejadian
tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses-
proses sebagai berikut:
1. Meningkatnya kongesti paru menyebabkan desaturasi dan menurunnya
pasokan oksigen miokard memperburuk fungsi jantung.
2.Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan
vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan yang
melalui mekanisme interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi
ventrikel kiri.
3. Insufisiensi sirkulasi menyebabkan asidosis sehingga memperburuk
fungsi
jantung.
Edema paru kardiogenik dapat terjadi akibat dekompensasi akut pada
gagal jantung kronik maupun akibat gagal jantung akut pada infark miokard
dimana terjadinya bendungan dan peningkatan tekanan di jantung dan paru akibat
8

melemahnya pompa jantung. Kenaikan tekanan hidrostatik kapiler paru


menyebabkan transudasi cairan ke dalam ruang interstisial paru, dimana tekanan
hidrostatik kapiler paru lebih tinggi dari tekanan osmotik koloid plasma. Pada
tingkat kritis, ketika ruang interstitial dan perivaskular sudah terisi, maka
peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan penetrasi cairan ke dalam ruang
alveoli. Terdapat tiga tingkatan fisiologi dari akumulasi cairan pada edema paru
kardiogenik:9,13
Tingkat 1: Cairan dan koloid berpindah dari kapiler paru ke interstisial
paru tetapi terdapat peningkatan cairan yang keluar dari aliran limfatik.
Tingkat 2: Kemampuan pompa sistem limfatik telah terlampaui sehingga
cairan dan koloid mulai terakumulasi pada ruang interstisial sekitar bronkioli,
arteriol, dan venula.
Tingkat 3: Peningkatan akumulasi cairan menyebabkan terjadinya
edema alveoli. Pada tahap ini mulai terjadi gangguan pertukaran gas.
Penyebab edema paru kardiogenik ialah:13
1. Gagal jantung kiri, yang dapat diakibatkan oleh: infark miokard,
penyakit katup aorta dan mitral, kardiomiopati, aritmia, hipertensi krisis, kelainan
jantung bawaan (paten duktus arteriosus, ventrikel septal defek)
2. Volume overload
3. Obstruksi mekanik aliran kiri
4. Insufisiensi limfatik, yang terjadi sebagai akibat lanjut transplantasi
paru, karsinomatosis limfangiektasis, atau limfangitis fibrosis

2.5 Diagnosis
Manifestasi klinis edema paru baik kardiogenik maupun non-kardiogenik
bisa serupa; oleh sebab itu sangat penting untuk menetapkan gejala yang dominan
dari kedua jenis tersebut sebagai pedoman pengobatan.1 Tabel 1 memperlihatkan
perbedaan edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
9

Diagnosis dapat ditegakkan dengan mengevaluasi gambaran klinis edema


paru yaitu dari anamnesis ditemukan adanya sesak napas yang bersifat tiba-tiba
yang dihubungkan dengan riwayat nyeri dada dan riwayat sakit jantung.
Perkembangan edema paru bisa berangsur-angsur atau tiba-tiba seperti pada kasus
edema paru akut. Selain itu, sputum dalam jumlah banyak, berbusa dan
berwarna merah jambu. Gejala-gejala umum lain yang mungkin ditemukan ialah:
mudah lelah, lebih cepat merasa sesak napas dengan aktivitas yang biasa (dyspnea
on exertion), napas cepat (takipnea), pening, atau kelemahan. Tingkat oksigenasi
darah yang rendah (hipoksia) mungkin terdeteksi pada pasien dengan edema paru.
Pada auskultasi dapat didengar suara-suara paru yang abnormal, seperti ronki atau
crakles.1,3,8
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis,
yaitu:
1. Foto Thorax. Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali
(pada pasien dengan CHF) dan adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan
infiltrasi bilateral dengan pola butterfly, gambaran vaskular paru dan hilus yang
berkabut serta adanya garis-garis Kerley b di interlobularis. Gambaran lain yang
berhubungan dengan penyakit jantung berupa pembesaran ventrikel kiri sering
dijumpai. Efusi pleura unilateral juga sering dijumpai dan berhubungan dengan
10

gagal jantung kiri.1,3 Pada foto thorax menunjukan jantung membesar, hilus yang
melebar, pedikel vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan
adanya garis kerley A, B dan C akibat edema instrestisial atau alveolar seperti pada
gambaran ilustrasi. Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada foto thorax postero-anterior
terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel vaskuler > 85% ditemukan
80% pada kasus edem paru. Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7 mm
dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter > 10 mm sudah pasti terdapat
kelainan, namun pada posisi foto thorax telentang dikatakan abnormal jika
diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan
dengan foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanay overload cairan.
Garis kerley A merupakan garis linier panjang yang membentang dari perifer
menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara limfatik perifer
dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek dengan arah horizontal 1-
2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang menggambarkan adanya edem
septum interlobuler. Garis kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus
inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir sama
dengan pembuluh darah.
Gambar foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edem paru kardiogenik
dan edem paru non krdiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain
bahwa edem tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat
30%. Beberapa masalah teknik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifitas
rontgen paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film.
2. EKG menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran atrium
kiri, pembesaran ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik maupun infark.3
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemik
atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi
gambaran EKG biasanya menunjukan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien
dengan edem paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya menunjukan
gambaran gelombang T negative yang melebar dengan QT memanjang yang khas,
dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1
minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan
yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial
yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut
11

dari tonus simpatis kardiak yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada
dinding.
3. Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan
fungsi dari ventrikel kiri dan adanya kelainan katup-katup jantung.3,13
4. Pemeriksaan laboratorium enzim jantung perlu dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis infark miokard. Peningkatan kadar brain
natriuretic peptide (BNP) di dalam darah sebagai respon terhadap
peningkatan tekanan di ventikel; kadar BNP >500 pg/ml dapat membantu
menegakkan diagnosis edema paru kardiogenik.13
5. Analisis gas darah (AGDA) dapat memperlihatkan penurunan PO2 dan
PCO2 pada keadaan awal tetapi pada perkembangan penyakit selanjutnya PO2
semakin menurun sedangkan PCO2 meningkat. Pada kasus yang berat biasanya
dijumpai hiperkapnia dan asidosis respiratorik.1,3,13
6. Kateterisasi jantung kanan: Pengukuran PCWP (pulmonary capillary
wedge pressure) melalui kateterisasi jantung kanan merupakan baku emas untuk
pasien edema paru kardiogenik yaitu berkisar 25-35 mmHg sedangkan pada
pasien ARDS P pw 0-18 mmHg.3,13
7. Kadar protein cairan edema: Pengukuran rasio konsentrasi protein
cairan edema dibandingkan protein plasma dapat digunakan untuk membedakan
edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik. Bahan pemeriksaan diambil dengan
pengisapan cairan edema paru melalui pipa endotrakeal atau bronkoskop dan
pengambilan plasma. Pada edema paru kardiogenik, konsentrasi protein cairan
edema relatif rendah dibanding plasma (rasio <0,6). Pada edema paru
nonkardiogenik konsentrasi protein cairan edema relatif lebih tinggi (rasio >0,7)
karena sawar mikrovaskular berkurang.

2.6 Penatalaksanaan Edema Paru


Penatalaksanaan edema paru harus segera dimulai setelah diagnosis
ditegakkan meskipun pemeriksaan untuk melengkapi anamnesis dan pemeriksaan
fisik masih berlangsung. Pengobatan yang dilakukan di arahkan terhadap penyakit
primer yang menyebabkan terjadinya edema paru tersebut disertai pengobatan
12

suportif terutama mempertahankan oksigenasi yang adekuat. Penatalaksanaan dari


edema paru dengan penyebab kardiogenik mempunyai 3 tujuan utama, yaitu:
1. Mengurangi venous return dari paru yang bertujuan untuk menurunkan
tekanan hidrostatik dari kapiler paru.
2. Mengurangi tahanan sistemik pembuluh darah yang bertujuan untuk
meningkatkan cardiac output dan perfusi ginjal dalam diuresis pada pasien dengan
overload cairan
3. Pemberian inotropik pada beberapa kasus misalnya pasien dengan
disfungsi ventrikel kiri ataupun gangguan katup yang dapat menyebabkan
hipotensi.
13

Terapi Oksigen
Pemberian oksigen sering berguna untuk meringankan dan menghilangkan
rasa nyeri dada dan bila memungkinkan dapat dicapai paling baik dengan
memberikan tekanan positif terputus-putus. Kebutuhan untuk intubasi dan
ventilasi mekanik mungkin akan semakin besar sehingga pasien harus dirawat di
unit perawatan intensif (ICU).
Oksigen dapat diberikan mencapai 8 L/menit untuk mempertahankan
PaO2, bila perlu dapat diberikan dengan masker. Saturasi oksigen harus
dipertahankan dalam batas normal (95-98%), hal ini penting untuk
memaksimalkan penghantaran oksigen ke jaringan seingga tidak terjadi disfungsi
end-organ atau multiple end-organ. Jika kondisi pasien semakin memburuk, akan
muncul sianosis, pasien semakin sesak napas, takipnoe, ronki bertambah, dan
PaO2 tidak bisa dipertahankan > 60mmHg dengan terapi O2 konsentrasi dan
aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu menggurangi cairan
edema secara adekuat, maka perlu dilakukan intubasi endotrakeal, CPAP, NIPPV
ataupun dengan penggunaan ventilator mekanik.
Diuretik
Penggunaan diuretik di indikasikan pada pasien dengan edema paru
dengan tujuan untuk meningkatkan volume urine dehingga meningkatkan
pengeluaran air, natrium dan ion-ion lain. Hal ini akan menurunkan volme cairan
di plasma, ekstraseluler, tekanan pengisian ventrikel kiri dan kanan dan akhirnya
akan menurunkan kongesti pulmonal dan edema paru. Furosemid fapat dibolus
40-60 mg intra vena atau diberikan secara kontinu. Efek pemberian furosemid
diuresis akan terjadi dalam 5 menit, dan mencapai puncak dalam 30 menit serta
berakhir setelah 2 jam. Tetapi biasanya edema paru sudah berkurang sebelum efek
diuresis terjadi, sehingga diduga efek awal pemberian diuresis menyebabkan
dilatasi vena dan juga mengurangi afteroad sehingga memperbaiki pengsngan
ventrikel kiri.

Vasodilator
Optimalisasi fungsi hemodinamik dilakukan dengan berbagai cara. Dengan
menurunkan tekanan arteri pulmonal berarti dapat membantu mengurangi
14

kebocoran kapiler paru. Caranya ialah dengan retriksi cairan, penggunaan diuretik
dan obat vasodilator pulmonal (nitric oxide/NO). Pada prinsipnya penatalaksanaan
hemodinamik yang penting yaitu mempertahankan keseimbangan yang optimal
antara tekanan pulmoner yang rendah untuk mengurangi kebocoran ke dalam
alveoli, tekanan darah yang adekuat untuk mempertahankan perfusi jaringan dan
transport oksigen yang optimal.2 Vasodilator menjadi terapi utama dengan tujuan
untuk membuka sirkulasi perifer dan selanjutnya akan menurunkan preload,
afterload, dan akhirnya menurunkan tekanan PCWP. Kebanyakan obat vasodilator
arteri pulmonal seperti nitrat dan antagonis kalsium juga dapat menyebabkan
vasodilatasi sistemik sehingga dapat sekaligus menyebabkan hipotensi dan perfusi
organ yang terganggu, untuk itu penggunaanya harus hati-hati.
Nitrat
Pemberian nitrat akan segera menurunkan preload, menurunkan kongesti
tanpa menggangu stroke volume dan cardiac oksigen demand. Nitrat sebagai
vasodilator vena dan sirkulasi arteri akan menurunkan preload dan afterload.
Pemberian nitrat intra vena yang dikombinasikan dengan furosemid telah di
rekomendasikan dalam penanganan edema paru akut. Dosis nitrat intra vena dapat
dimulai dengan 10 mcg/menit dan dapat dinaikkan hingga mencapai respon dan
toleransi kondisi pasien. Biasanya titrasi dosis dibatasi oleh hipotensi. Pemberian
vasodilator ini harus dilakukan dengan monitor tekanan darah. Dosis nitrat harus
diturunkan jika tekanan sistolik turun hingga 90 mmHg dan diberhentikan jika
tekanan darah bertambah turun.
Diuretik
Penggunaan diuretik di indikasikan pada pasien dengan edema paru
dengan tujuan untuk meningkatkan volume urine dehingga meningkatkan
pengeluaran air, natrium dan ion-ion lain. Hal ini akan menurunkan volme cairan
di plasma, ekstraseluler, tekanan pengisian ventrikel kiri dan kanan dan akhirnya
akan menurunkan kongesti pulmonal dan edema paru. Furosemid fapat dibolus
40-60 mg intra vena atau diberikan secara kontinu. Efek pemberian furosemid
diuresis akan terjadi dalam 5 menit, dan mencapai puncak dalam 30 menit serta
berakhir setelah 2 jam. Tetapi biasanya edema paru sudah berkurang sebelum efek
diuresis terjadi, sehingga diduga efek awal pemberian diuresis menyebabkan
15

dilatasi vena dan juga mengurangi afterload sehingga memperbaiki pengsngan


ventrikel kiri.
Morfin Sulfat
Morfin diindikasikan pada stage awal terapi edema paru. Pemberian
morfin harus dipertimbangkan bagi pasienyang gelisah, cemas atau distress untuk
menghilangkan gejala-gejala tersebut dan mengurangi sesak nafas. Kesadaran dan
usaha nafas harus diawasi secara ketat, karena pemberian obat ini dapat
mendepresi pernafasan. Dosis yang dapatdiberikan 4-8 mg dapat ditambahkan
dengan metoclopramid 10 mg dengan tetap mengobservasi depresi nafas.
Inotropik
Inotropik di indikasikan jika terjadi hipoperfusi perifer dengan hipotensi
dan syok. Dosis dopamin dapat dimulai dengan 2-5 mcg/kgBB/menit .Dobutamin
dengandosis 2-20 mcg/kgBB/menit. Dosis kedua inotropik ini dapat ditingkatkan
sesuai respon klinis.

2.7 Prognosis
Prognosis tergantung pada penyakit dasar dan faktor penyebab/pencetus
yang dapat diobati. Walaupun banyak penelitian telah dilakukan untuk
mengetahui mekanisme terjadinya edema paru nonkardiogenik akibat peningkatan
permeabilitas kapiler paru, perbaikan pengobatan, dan teknik ventilator tetapi
angka mortalitas pasien masih cukup tinggi yaitu > 50%. Beberapa pasien yang
bertahan hidup akan didapatkan fibrosis pada parunya dan disfungsi pada proses
difusi gas/udara. Sebagian pasien dapat pulih kembali dengan cukup baik
walaupun setelah sakit berat dan perawatan ICU yang lama.
Secara umum pasien edema paru dengan kelainan jantung memiliki
prognosis yang jelek dengan angka kematian di rumah sakit sekitar 12% dan
seteelah follow-up selama satu tahun mencapai 40%
16

Daftar Pustaka

1. Wilson LM. Penyakit Kardiovaskuler dan Paru-Paru. Dalam: Price SA,


Wilson LM. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi
Bahasa Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi IV. Buku I. EGC. Jakarta.
1995; 722-3.
2. Soewondo A, Amin Z. Edema Paru. Dalam: Soeparman, Sukaton U,
Waspadji S, et al, Ed. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta. 1998; 767-72.
3. Mattu A, Martinez JP, Kelly BS. Modern management of cardiogenic
pulmonary edema. Emerg Med Clin N Am.2005;23:1105-25.
4. Harun S, Sally N. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi ke-
5).Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2009; p. 1651-3
5. Ware LB, Matthay MA. Acute pulmonary edema. N Engl J Med.
2005;353:2788-96.
6. Nendrastuti H, Mohamad S. Edema paru akut, kardiogenik dan non
kardiogenik. Majalah Kedokteran Respirasi. 2010;1(3):10.
7. Majoli F, Monti L, Zanierato M, Campana C, Mediani S, Tavazzi L, et al.
Respiratory fatigue in patients with acute cardiogenic pulmonary edema. Eur
Heart J. 2004;6: F74-80.
8. Prendergast TJ, Ruoss SJ. Pulmonary disease. In: Mc Phee SJ, Lingappa VR,
Ganong WF editors. Pathophysiology of Disease, an Introduction to Clinical
Medicine (Fourth Edition). New York: Mc-Graw-Hill; 2003. p. 247-51.
9. Murray JF. Pulmonary edema: pathophysiology and diagnosis. Int J Tuberc
Lung Dis. 2011;15(2):155-160.
10. Huldani H. Edema paru akut. Refarat. Universitas Lambung Mangkurat
Fakultas Kedokteran, Banjarmasin. 2014. Available from:
eprints.unlam.ac.id/207
11. Bestern AD. Noninvasive ventilation for cardiogenic pulmonary edema: froth
and bubbles? Am J Respir Crit Care Med, 2003
17

12. Araújo MCM, Coelho JR. Acute pulmonary edema. [cited: 2003 Nov 6]
Available from: http:www.medstudents.com.br/terin/terin7.htm.

Anda mungkin juga menyukai