Puji syukur penulis persembahkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat dengan judul “Edema Paru”. Referat ini dibuat sebagai persyaratan untuk
mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior di departemen Ilmu Penyakit Paru
yang dilaksanakan di RS TK II Putri Hijau.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Sadarita Sitepu, Sp. P selaku pembimbing yang telah
bersedia membimbing penulis dalam menjalani kegiatan Kepaniteraan Klinik
Senior di Poli Paru.
Dalam penulisan referat ini, penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan
penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
membangun untuk kesempurnaan penulisan referat berikutnya.
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................1
DAFTAR ISI.......................................................................................................2
BAB I. PENDAHULUAN..................................................................................3
II.2 Definisi................................................................................................5
II.3 KlasifikasidanEtiologi.......................................................................5
II.4Patogenesis..........................................................................................6
II.5Diagnosis..............................................................................................8
II.6Gambaran radiologi...........................................................................9
II.7 Penatalaksanaan.........................................................................................17
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
2.2 Definisi3,4,5
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di
paru-paru (ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini memenuhi alveolus di dalam
paru-paru yang menyebabkan seseorang sulit untuk bernafas.
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan
oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang
mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru
secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi
gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada
mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk
menetapkan factor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai
pedoman pengobatan.
5
Sedangkan edema paru non-kardiogenik dikatagorikan berdasarkan kondisi yang
mendasarinya. Edema paru non-kardiogenik diklasifikasikan menjadi tekanan
rendah alveolus, peningkatan permeabilitas alveolus, atau edema neurogenik.
Sebagai contoh, penyebab penurunan tekanan alveolus adalah karena obstruksi
saluran nafas atas seperti paralisis laring, penyebab peningkatan permeabilitas
adalah leptospirosis dan ARDS, sedangkan edema neurogenik disebabkan oleh
epilepsy, trauma otak, maupun elektrolusi.
2.4 Patogenesis3,7,8,9
Protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di
atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada
permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang
Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:
a. Membran kapiler alveoli
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang
interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam
pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan
6
normal terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruang
interstitial.
Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan
pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.
Q = K (Pcap – Pis) – I (Pcap – Pis)
Dimana Q adalah filtrasi cairan; K adalah koefisien filtrasi; Pcap adalah
tekanan hidrostatik kapiler, yang cenderung untuk mendorong cairan keluar; Pis
adalah tekanan hidrostatik cairan interstitial, yang cenderung untuk mendorog
cairan ke kapiler; dan I adalah koefisien refleksi, yang menunjukkan efektivitas
dinding kapiler dalam mencegah filtrasi protein; Pcap kedua adalah tekanan
osmotic koloid plasma, yang cenderung menarik cairan ke kapiler; dan Pis kedua
adalah tekanan osmotic koloid dalam cairan interstitial, yang menarik cairan
keluar dari kepiler.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada
Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral); Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan
fungsi ventrikel kiri; Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena
peningkatan tekanan arteri pulmonalis
b. Sistem limfatik
Sistem pembuluh ini dipersiapkan untuk merima larutan, koloid dan cairan
balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negative di daerah
interstisial peribronkial dan perivascular dan dengan peningkatan kemampuan dari
interstisium non alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat
ini ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila
kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi
edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat badan 70 kg dalam keadaan
istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan
kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan
ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan di atrium kiri yang kronik,
sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk
7
mentransportasi filtrate kapiler dalam jumlah yang lebih besar sehingga dapat
mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensinya terjadi edema
interstisial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi.
2.5Diagnosis4,7,10
Tabel 1. Cara membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non
Kardiak (EPNK)
EPK EPNK
Anamnesis
Acute cardiac event (+) Jarang
PenemuanKlinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow
meter)
S3 gallop/kardiomegali (+) Nadikuat
JVP Meningkat (-)
Ronki Basah Takmeningkat
Kering
Tandapenyakitdasar
Laboratorium
EKG Iskemia/infark Biasanya normal
Fototoraks DIstribusiperihiler Distribusiperifer
ENzimkardiak Bisameningkat Biasanya normal
PCWP > 18 mmHg < 18 mmHg
Shunt intra pulmoner Sedikit Hebat
Protein cairan edema < 0.5 > 0.7
JVP: jugular venous pressure
PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure
2.6 GambaranRadiologi5,6,9,11
Terdapat gambaran radiologis yang penting dalam edema paru. Gambaran
tersebut adalah penebalan septa interlobar yang biasa disebut septal lines atau
8
kerley lines, peribronchial cuffing, cairan di fisura, dan efusi pleura. Septa
interlobar biasanya tidak terlihat pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat jika
terdapat akumulasi cairan di daerah tersebut.
Terdapat beberapa Kerley lines, kerley lines A, garis ini akan muncul
ketika jaringan ikat di sekitar bronchoarterial sheath di paru berisi cairan.
Panjannya sekitar 6 cm dari hilus dan tidak sampai ke perifer paru. Kerley lines B,
garis ini biasanya disebut sebagai septal lines, garis ini akan muncul biasanya di
basis paru atau di sekitar sudut costofrenikus. Panjang garis horizontal ini 1-2 cm
dengan tebal hanya 1 mm. Kerley lines C merupakan Kerley lines B en face,
merupakan opasitas reticular pada basis paru. Kerley lines D, merupakan garis
yang sama dengan Kerley lines B, dan akan terlihat hanya pada lateral chest
radiograph. Peribronchial cuffing adalah penebalan dinding bronkus dan terlihat
seperti ringlike density. Peribronchial cuffing terjadi ketika terdapatnnya
akumulasi cairan di jaringan ikat sekitar dinding bronkus. Peribronchial cuffing
bentuknya ringerlike, kecil, multiple, seperti donat.
9
Gambar 5. [Gambar Kiri] Kerley lines A (panah putih), Kerley lines B (kepala
panah putih), Kerley lines C (kepala panah hitam), [Gambar Kanan] Peribronchial
cuffing, pleural effusion.
10
2.6.1 Edema karena Peningkatan Tekanan Hidrostatik
Terdapat dua stadium patofisiologi dan radiologi pada perkembangan
tekanan edema, yaitu stadium edema interstiial dan edema alveolar. Kedua
stadium ini identik pada gagal jantung kiri dan kelebihan cairan intravaskuler.
Keduanya sering dijumpai pada pasien dengan edema tekanan di ICU maupun
IGD. Intensitas dan durasi dari kedua stadium ini tergantung dari peningkatan
tekanan yang terjadi, yaitu tergantung dari rasio tekanan hidrostatik dan onkotik.
Gambar 6. Gambaran foto thorax pada pasien laki-laki, 33 tahun dengan edema
peningkatan tekanan hidrostatik karena akut mikolitik leukemia yang datang
dengan kelebihan cairan karena gagal ginjal dan gagal jantung. Panah hitam pada
gambar b menunjukkan adanya pelebaran progresif pembuluh darah lobus
(peribronchial cuffing), panah putih gambar c menunjukkan adanya bilateral
kerley lines, dan juga terdapat area noduler dengan peningkatan opasitas.
Kelebihan cairan dapat dikonfirmasi dari pertambahan ukuran dari vena zygos.
11
Gambar 7.Gambaran CT-scan pada pasien laki-laki 53 tahun, dengan edema
peningkatan tekanan hidrostatik. Didapatkan adanya peribronchial cuffing (panah
hitam) pada bagian anterior paru kiri. Kedua paru terlihat adanya ground-glass
area.
12
Gambar 8.Bat wing edema pada pasien wanita, 77 tahun dengan kelebihan cairan
dan gagal jantung. Pada gambaran foto thorax dada (3.a) dan gambaran CT-scan
(3.b) menunjukkan adanya wing alveolar edema yang distribusinya sentral dan
sparing dari konteks paru. Infiltrat pada pasien ini berkurang setelah 32 jam
menjalani pengobatan.
13
Gambar 9. Edema paru asimetris pada pasien laki-laki 70 tahun, dengan end-stage
fibrosis dan emfisema bulosa dikarenakan asbestosis dengan gagal jantung. Pada
gambaran radiografi didapatkan infiltrat edema paru predominan pada basis paru
karena aliran darah paru mengalir ke bagian ini dari bula lobus bagian atas.
Gambar 10. Edema paru asimetris pada pasien pria dengan chronic obstructive
pulmonary disease. Pada gambar 5.a yang merupakan parenkim paru dan gambar
5.b yang merupakan gambaran mediastinum menunjukkan edema dengan
gambaran diffuse ground-glass attentuation dengan gradien anteroposterior.
Cairan yang memenuhi bula subpleura paling jelas terlihat pada gambar 5.b di
bagian kiri bawah.
14
2.6.4Near Drowning Pulmonary Edema
Near drowning didefinisikan sebagai asfiksiasi yang diakibatkan karena
inhalasi air dan masih bertahan hidup sampai minimal 24 jam setelahnya.
Terdapat tiga stadium pada kasus ini. Stadium pertama adalah laringospasme akut
yang diakibatkan karena inhalasi air yang sedikit (dry drowning). Gambaran
radiologis yang dapat terlihat adalah kerley lines, peribronchial cuffing, patchy,
konsolidasi alveolar perihilar. Gambaran tersebut akan hilang setelah 24 sampai
48 jam dilakukan terapi. Pada stadium kedua, masih terdapat laringospasme pada
korban, dan sebagian air akan ditelan ke perut. Pada stadium ketiga, 10-15%
pasien masih menampakkan gejala dry drowning dikarenakan laringospasme yang
persisten, sedangkan sisanya sekitar 90% pasien, laringospasme yang terjadi akan
mulai berelaksasi karena hipoksia dan aspirasi air dalam jumlah yang cukup
banyak. Pada kasus seperti ini, lesi di paru tidak lagi berhubungan dengan edema
tekanan, namun lebih karena hipoksia yang dapat menyebabkan pengeluaran
sitokin, dan akhirnya terjadi edema permeabilitas. Gambaran radiologis pada
stadium dua dan tiga biasanya tidak spesifik. Bisa didapatkan gambaran ill-
defiined lessions dan konsolidasi ruang udara lobus. Besarnya lesi tergantung dari
volume air yang dihirup dan durasi dari hipoksia, maupun jenis air yang terhirup
(air garam atau air segar).
15
Gambar 11.Gambaran edema paru pada anak berumur 5 tahun yang hampir
tenggelam 1 jam sebelum dibawa ke rumah sakit. Terdapat pembesaran jantung,
diffuse confluent alveolar patterns of pulmonary edema, dan peribronchial
cuffing. Gambaran cortikal paru bersih dari edema interstitial, hal ini
mengindikasikan edema berasal dari kerusakan alveolar langsung dari inhalasi air
atau edema karena laringospasme dibandingkan dengan edema karena hipoksia.
16
bilateral, homogen konsolidasi, dengan predominasi apices pada 50% kasus.
Gambaran radiologi ini biasanya menghilang setelah 1-2 hari.
Gambar 13.Edema paru neurogenik pada pasien wantia berumur 54 tahun dengan
perdarahan intrakranial karena hipertensi arteri. Gambar a. menunjukkan foto
rontgen thorax dengan gambaran konsolidasi yang predominan pada daerah
apices. Tanpa disertai efusi pleura, Kerley lines, maupun ukuran jantung yang
abnormal. Gambar b. menunjukkan CT scan dengan gambaran konsolidasi
alveolar pada sentral paru, dan penebalan septum interlobus (tanda panah hitam).
2.7 Penatalaksanaan5,10,12
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu kita cari
penyakit yang mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang sangat
penting dalam pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan segera penyebabnya.
Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai penyebab
diketahui, maka pemberian terapi suportif sangatlah penting. Tujuan umum adalah
mempertahankan fungsi fisiologik dan seluler dasar. Yaitu dengan cara
memperbaiki jalan napas, ventilasi yang adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan
tekanan darah dan semua sistem sirkulasi perlu ditinjau, infus juga perlu dipasang.
17
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah,
PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan
aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi
cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal,
suction, dan ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila
ada.
4. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai
produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6
mg tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa
diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak
memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV
dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan
nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai
tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya
mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan
perfusi yang adekuat ke organ-organ vital(10).
6. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15
mg (sebaiknya dihindari).
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk
menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon
klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat,
asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
20
11. Glaus, T., Schellenberg, S., Lang, J., 2010. Cardiogenic and Non
Cardiogenic Pulmonary Edema: Pathomechanisms and Causes. Schweiz
Arch Tierheilkd, 152:7, 311-317.
12. Klein HO, Brodsky E, Ninio R, et al; The effect of venous occlusion with
tourniquets on peripheral blood pooling and ventricular function. Chest
103:521-527, 1993.
21