DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang berjudul
”RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME”.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing selaku dosen pengampuh
Keperawatan Keperawatan Anak yang sudah memberikan tugas ini kepada kami Ns. Sumiati
Sinaga, M. KEP yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Sehingga, makalah ini
selesai dengan tepat waktu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Kelompok 1
A. Definisi
Acute Respiratory Distress Sydrome (ARDS) merupakan suatu kondisi kegawat daruratan
di bidang pulmonology yang terjadi karena adanya akumulasi cairan di alveoli yang
menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas sehingga distribusi oksigen ke jaringan
menjadi berkurang. Definisi ARDS mengalami perkembangan dari waktu ke waktu (Meyer,
Gattinoni and Calfee, 2021). Adult Respiratory Distress Syndrome didefinisikan pertama kali
tahun 1994 oleh AECC (American-European Consensus Conference). Definisi ARDS menurut
AECC adalah:
3. Infiltrat bilateral pada foto toraks, tanpa adanya bukti edema paru kardiogenik.
4. Pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) ≤ 18 mmHg atau tidak ada tanda-tanda
peningkatan tekanan pada atrium kiri.
Derajat hipoksemia untuk membuat diagnosis ARDS ditentukan dengan rasio tekanan
parsial oksigen pada darah arteri (PaO2) dengan fraksi oksigen pada udara inspirasi (FiO2). Nilai
PaO2 didapat dari hasil pemeriksaan analisis gas darah dengan memperhatikan berapa liter
oksigen yang diberikan saat pengambilan spesimen darah. Fraksi oksigen didapat dengan
memperhatikan jumlah oksigen yang diberikan. Dengan pemberian oksigen binasal setiap 1 liter
akan akan meningkatkan FiO2 4 % dan nilai tersebut ditambahkan dengan nilai FiO2 pada room
air yang besarnya 21 %. Dengan pemberian oksigen melalui simple mask dimana oksigen yang
diberikan 8-10 liter maka besarnya FiO2 adalah 100 %. Kriteria ARDS menurut AECC adalah bila
didapatkan perbandingan PaO2/FIO2 ≤ 200 mmHg, sedangkan bila perbandingan PaO2/FIO2 ≤
300 mmHg sesuai dengan ALI (Acute Lung Injury) (Meyer, Gattinoni and Calfee, 2021).
B. Patofisiologi penyakit
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan pada ARDS.
Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier alveolar dan kapiler sehingga
cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Derajat kerusakan epithelium alveolar ini menentukan
prognosis.
Epitelium alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan sel
pneumosit tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I berupa sel pipih yang
mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit tipe I adalah pertukaran gas yang
berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit tipe II meliputi 10% permukaan alveolar terdiri
atas sel kuboid yang mempunyai aktivitas metabolik intraselular, transport ion, memproduksi
surfaktan dan lebih resisten terhadap kerusakan.
Kerusakan epitelium alveolar yang berat menyebabkan kesulitan dalam mekanisme
perbaikan paru dan menyebabkan fibrosis. Kerusakan pada fase aku terjadi pengelupasan sel
epitel bronkial dan alveolar, diikuti dengan pembentukan membran hialin yang kaya protein
pada membran basal epitel yang gundul. Neutrofil memasuki endotel kapiler yang rusak dan
jaringan interstitial dipenuhi cairan yang kaya akan protein (Schreiber, 2018).
Figure 1 Keadaan alveoli normal dan alveoli yang mengalami kerusakan saat fase akut
Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS menyebabkan
peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel pneumosit tipe I) sehingga
cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam jaringan interstitial, jika telah melebihi
kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga alveoli (alveolar flooding) sehingga alveoli menjadi
kolaps (mikroatelektasis) dan compliance paru akan lebih menurun. Merembesnya cairan yang
banyak mengandung protein dan sel darah merah akan mengakibatkan perubahan tekanan
osmotik.
Cairan bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga paru menjadi
kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah terjadi. Mikroatelektasis akan
menyebabkan shunting intrapulmoner, ketidakseimbangan (mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q)
dan menurunnya KRF, semua ini akan menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan
progresivitas yang ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam. Shunting intrapulmoner
menyebabkan curah jantung akan menurun 40% (Issa and Shapiro, 2016).
1. Fase eksudatif : fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium,
inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase proliferatif : terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan proliferasi
fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan dinding alveolus dan
perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi seluler/ membran hialin.
Merupakan fase menentukan : cedera bisa mulai sembuh atau menjadi menetap, ada
resiko terjadi lung rupture (pneumothorax).
3. Fase fibrotik/recovery : Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan mengalami
remodeling dan fibrosis. Fungsi paru berangsur- angsur membaik dalam waktu 6 – 12
bulan, dan sangat bervariasi antar individu, tergantung keparahan cederanya.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah Sampel darah yang diambil dari darah arteri.
Hasil pemeriksaan ada beberapa komponen utama:
1) PH (derajat keasaman) Alkalosis respiratori (PH > 7,4) pada tahap dini. Asidosis
respiratori/ metabolic pada tahap lanjut.
2) PA02 (tekanan parsial O2 arteri) Hipokkapnia (penurunan Pa02) < 200.
3) PACO2 (tekanan parsial CO2 arteri). Hipokapnia (penurunan PCO2) pada tahap
awal karena hiperventilasi. Hiperkapnia (peningkatan PCO2) menunjukan gagal
ventilasi.
4) BE (Base excess)
5) FiO2 (Kadar O2 yang digunakan)
b. Pemeriksaan Rontgen Dada Pada stadium awal tidak terlihat dengan jelas atau
dapat juga terlihat adanya bayangan infiltrate yang terletak ditengah region
perihilar paru. Pada stadium lanjut, terlihat penyebaran di interstisial secara
bilateral dan infiltrate alveolar, menjadi rata dan dapat mencakup keseluruhan
lobus paru-paru.
c. Tes Fungsi Paru Kapasitas pengisian paru-paru dan volume paru-paru menurun
terutama FRC, peningkatan anatomical dead space dihasilkan oleh area dimana
timbul vasokontriksi dan milkroemboli.
2. Diagnosis
- Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas di buktikan dengan
pola nafas abnormal (takipnea), pernapasan cuping hidung.
- Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus-kapiler
dibuktikan dengan takikardia, cuping hidung, pola napas abnormal (cepat/lambat,
reguler/ireguler, dalam/dangkal)
- Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan dibuktikan
dengan PCO2 meningkat, peninkatan otot bantu napas meninkat, takikardia.
3. Luaran keperawatan
- Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2x24 jam maka Pola nafas tidak efektif
membaik dengan kriteria hasil :
1. Pernapasan cuping hidung menurun
2. Frekuensi nafas memburuk
- Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2x24 jam maka pertukaran gas
meningkat dengan kriteria hasil :
1. Pusing menurun
2. Gelisah menurun
3. Napas cuping hidung menurun
4. PCO2 membaik
5. Takikardia membaik
6. Pola napas membaik
- Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 2x24 jam maka vantilasi Spontan
meningkat dengan kriteria hasil :
3. Intervensi
a. Diagnosa ke-1 : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas di
buktikan dengan pola nafas abnormal (takipnea), pernapasan cuping hidung.
Intervensi Keperawatan :
Manajemen jalan napas
1) Observasi
Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
Monitor bunyi napas tambahan (mis. Mengi, wheezing)
Monitor skutum (jumlah, warna, aroma)
2) Terapeutik
Pertahankan kepatenan jalan napas dengan hand-tilt dan chin-lilt (jaw-thust
jika curiga trauma servikal)
Posisikan semi fowler atau fowler
Berikan minuman hangat
Melakaukan fisioterapi dada, jika perlu
Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep mcgill
Berikan oksigen, jika perlu
3) Edukasi
Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
Anjurkan teknik batuk efektif
4) Kolaborasi
Pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitil, jika perlu
b. Diagnosa ke-2 : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alveolus-kapiler dibuktikan dengan takikardia, cuping hidung, pola napas abnormal
(cepat/lambat, reguler/ireguler, dalam/dangkal).
Intervensi Keperawatan :
Pemantauan Respirasi
1) Observasi
Monitor frekuensi, irama, kedalam dan upaya napas
Monitor pola napas (bradipnea, takipnea, hiperventilasi)
Monitor batuk efektif
Monitor adanya produksi skutum
Monitor adanya sumbatan jalan napas
Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
Auskultasi bunyi napas
Monitor saturasi oksigen
Monitor nilai AGD
Monitor hasil X-RAY toraks
2) Terapeutik
Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
Dokumentasi hasil pemantauan
3) Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Informasikan hasil pemantauan, jika perlu