Anda di halaman 1dari 18

EMPIEMA

Alwinsyah Abidin, E.N.Keliat, Ayu Nurul Zakiah


Divisi Pulmonologi Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN
Definisi
Empiema adalah nanah (pus) yang terdapat dalam rongga pleura, meskipun studi dan uji
klinis paling sering menggunakan istilah infeksi pleura untuk mencakup empiema dan efusi
parapneumonik (PPE) terkomplikasi.1 Empiema didefinisikan oleh penampilannya; cairan sangat
buram (opaq), kuning keputihan, cairan kental yang merupakan hasil dari serum koagulasi
protein, debris seluler dan pengendapan fibrin. Empiema berkembang terutama akibat
tertundanya pengobatan pada pasien dengan pneumonia dan infeksi pleura progresif dan, jarang,
dari manajemen klinis yang tidak sesuai.2

Weese mendefinisikan sebagai cairan dengan gravitasi spesifik lebih dari 1018, jumlah
leukosit lebih dari 500/sel mm, atau kadar protein lebih dari 2,5 g%. Vianna mendefinisikan
empiema sebagai cairan pleura dengan kultur bakteri yang positif atau jumlah leukosit lebih dari
15.000/sel mm dan kadar protein lebih dari 3 g%. karena banyak efusi pleura masuk dalam
kriteria ini, definisi paling tepat adalah cairan pleura yang tebal dan purulen.3
Empiema biasanya merupakan komplikasi dari pneumonia tetapi dapat muncul infeksi
dari tempat lain. Di India, tuberkulosis empiema adalah penyebab paling banyak. Gejala klinis
dan etiologi mikroba dapat berbeda tergantung dari trauma lokal, pembedahan atau kondisi yang
mendasari seperti malignansi, penyakit vaskular kolagen, kelainan imunodefisiensi, dan infeksi
yang melibatkan orofaring, esofagus, mediastinum atau jaringan subdiafragma.3

Infeksi pleura merupakan satu dari penyakit tertua dan penyakit yang berat.1 Infeksi
pleura merupakan masalah klinis umum yang berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas
yang tinggi.4,5 Drainase rongga pleura dilakukan oleh Hippokrates lebih dari 2000 tahun yang
lalu untuk mengobati empiema. Selama pandemik influenza tahun 1917 – 1919, drainase pleura
tertutup menjadi terapi yang paling banyak digunakan untuk mengobati empiema
parapneumonik. Pengenalan yang cepat dari perkembangan empiema merupakan waktu yang

Universitas Sumatera Utara


krusial untuk menentukan keberhasilan pengobatan; meskipun dengan terapi yang sesuai,
mortalitas pasien dengan empiema sebesar 15 - 20% dan lebih tinggi pada pasien
imunokompromais.1

EPIDEMIOLOGI
Empiema dapat mengenai semua kelompok usia, jenis kelamin dan etnis dan lebih dari
65.000 pasien menderita infeksi pleura setiap tahun di Inggris dan Amerika Serikat, dengan
perkiraan biaya rumah sakit sekitar 500 juta USD.1
Kejadian secara keseluruhan infeksi pleura meningkat. juga diakui bahwa infeksi pleura
paling sering terjadi pada anak-anak dan populasi tua dan studi kohort skala besar baru-baru ini
setuju dengan temuan ini. Farjah et al studi pada 4424 pasien dengan infeksi pleura dan
mengamati peningkatan insidensi sebesar 2,8% per tahun (95% CI 2.2 3,4%). Demikian pula,
dalam sebuah studi populasi 11294, antara tahun 1995 – 2003 Finley et al menemukan
peningkatan infeksi pleura incidence rate ratio (IRR) 2.2 (95% CI 1,56 untuk 3,10) pada pasien
yang berusia < 19 tahun dan 1,23 (1.14 - 1.34) pada orang yang berusia > 19 tahun.5

Di Skotlandia, insiden dari empiema meningkat 10 kali pada anak-anak usia 1 – 4 tahun
sejak 1998, dengan laporan serupa dari Amerika Serikat, Kanada dan Eropa, dan begitu juga
pada orang dewasa.1 Angka kematian dari empiema tinggi dan berkisar antara 6% – 24%.6

PATOFISIOLOGI

Rongga pleura normalnya diisi dengan ~5 – 10 ml cairan serous, dimana terutama


disekresi dari pleura parietal dengan rata-rata 0.01 mL/KgBB/jam dan diabsorpsi melalui
limfatik pleura parietal. Pada kondisi klinis tertentu, keseimbangan antara sekresi dan absorpsi
dapat terganggu dan cairan mulai terakumulasi di rongga pleura. Efusi pleura secara klasik
dibagi menjadi transudat dan eksudat berdasarkan kriteria Light (tabel 1). Pada transudat,
akumulasi cairan di rongga pleura akibat peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan
tekanan onkotik melalui kapiler membran pleura. Sedangkan pada eksudat, kapiler itu sendiri
merupakan penyakit dan meningkatkan permeabilitas yang menyebabkan cairan masuk ke
rongga pleura.7

Universitas Sumatera Utara


Tabel 1. Perbedaan transudat dan eksudat berdasarkan kriteria Light7

PPE berkembang pada sekitar 57% pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
pneumonia bakterial. Dengan adanya PPE, angka kematian meningkat pada pasien sekitar 3 – 6
kali lipat.6

Perkembangan empiema yang berhubungan dengan pneumonia adalah proses yang


progresif dan diklasifikasi menjadi 3 tahap, yaitu : 1. Eksudat simpel, 2. Tahap fibrinopurulen,
dan 3. Tahap pembentukan jaringan ikat.

Gambar 1. Perkiraan waktu jika efusi parapneumonia tidak diobati atau tidak tepat pengobatan.
Secara umum, empiema akan berkembang 4 – 6 minggu setelah terjadinya aspirasi bakteri ke
dalam paru-paru.2

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2. Tahap yang berbeda dalam evolusi efusi pleura terinfeksi dengan perubahan patologis
yang terkait dan temuan cairan pleura.8

Pada awal tahap eksudat, ada pergerakan cairan ke rongga pleura akibat meningkatnya
permeabilitas vaskular kapiler. Hal ini diikuti oleh produksi sitokin proinflamasi seperti
interleukin 8 (IL-8) dan Tumor Necrosis Factor α (TNF α).1,5 Hal ini menyebabkan perubahan
yang aktif pada sel mesotelial pleura untuk memfasilitasi cairan masuk ke rongga pleura.
Awalnya, cairan eksudat tersebut dikarakteristikkan dengan jumlah leukosit yang rendah, kadar
LDH kurang dari setengah dari kadar serum (< 1000 IU/l), pH normal (> 7,2) dan kadar glukosa
(< 2,2 mmol/l) yang normal dan tidak mengandung bakteri. Tahap ini, ketika cairan pleura
merupakan eksudat steril sederhana, sering disebut dengan ‘efusi parapneumonik simpel’. Pada
tahap ini dibutuhkan pengobatan dengan antibiotik yang adekuat dan paling tidak memerlukan
tindakan drainase.5,6,9

Jika pengobatan tidak dimulai, PPE simpel ini dapat menjadi tahap fibrinopurulen dengan
peningkatan akumulasi cairan dan invasi bakteri melalui endotel yang rusak. Invasi bakteri
mempercepat respon imun, memicu perpindahan neutrofil dan aktivasi kaskade koagulasi

Universitas Sumatera Utara


memicu meningkatnya prokoagulan dan menekan aktivitas fibrinolitik. Peningkatan kadar
Plasminogen Activator Inhibitor dan menurunnya tissue type plasminogen activator (tPA)
terlihat dimana deposisi fibrin dan memicu pembentukan septa-septa di cairan. Fagositosis
neutrofil dan matinya bakteri memicu proses inflamasi dengan melepaskan lebih banyak fragmen
dinding sel bakteri dan protease. Kombinasi hal ini menyebabkan peningkatan asam laktat dan
produksi karbondioksida sehingga pH cairan pleura menurun, diikuti dengan meningkatnya
metabolisme glukosa dan meningkatnya kadar LDH karena lisisnya leukosit. Sehingga hal
tersebut merupakan karakteristik biokimia dari fibrinopurulen tetapi bukan purulen dimana pH <
7.2, glukosa < 2,2 mmol/l dan LDH > 1000 IU/l konsisten dengan ‘efusi parapneumonik
terkomplikasi’ dan mungkin pewarnaan gram positif dan/atau kultur bakteri. Jika tidak diobati,
akan berkembang menjadi nanah yang jelas (empiema).5,6,9

Tahap akhir adalah fase dimana terdapat proliferasi fibroblas. Pleura fibrous solid mulai
membentuk yang kadang-kadang menyelubungi paru-paru yang mencegah re-ekspansi,
mengganggu fungsi paru dan menciptakan ruang pleura persisten dengan potensi untuk
terjadinya infeksi.5,9 Infeksi pleura juga dapat muncul tanpa ada bukti adanya pneumonia –
disebut ‘empiema primer’.5

ETIOLOGI
Bakterial
- Infeksi Pleura yang didapat di komunitas
Pada percobaan besar baru-baru ini pada 434 pasien berasal lebih dari 40 center di UK
dengan infeksi pleura, organisme aerob gram-positif adalah organisme yang paling sering
diidentifikasi pada infeksi pleura yang didapat di komunitas. Streptococcus sp termasuk grup
organisme S milleri dan S aureus sekitar 65% dari kasus. Organisme gram-negatif – contohnya,
Enterobacteriaceae, Escherichia coli dan Hemophilus influenza jarang dijumpai dari hasil kultur
dan sering terlihat pada pasien dengan komorbid.5
Frekuensi isolat anaerob meningkat dan kultur cairan pleura positif pada kebanyakan
laporan kasus sekitar 12 – 34%. Sedangkan, ketika identifikasi menggunakan metode yang
berbeda seperti amplifikasi DNA, anaerob dapat ditemukan sebanyak 76% kasus dan mungkin
yang bersifat pathogen hanya 14% dari kasus infeksi dengan hasil kultur yang positif anaerob
cenderung memiliki onset klinis yang mendadak, dengan sedikit demam, penurunan berat badan

Universitas Sumatera Utara


yang banyak dan lebih sering diikuti adanya aspirasi pneumonia dan dengan kebersihan gigi
yang buruk.4,5

- Infeksi pleura yang didapat di rumah sakit


Pada pasien dengan infeksi yang didapat di RS, 50% dari pasien dengan kultur isolat
cairan pleura positif S aureus. Methicillin-resisten S aureus (MRSA) mungkin sebanyak 2/3 dari
keseluruhan kasus. Organisme gram-negatif, kebanyakan E.coli, Enterobacter spp. Dan
Pseudomonas spp., bertanggungjawab sebagai penyebab lainnya dan angka kejadian yang cukup
tinggi secara signifikan dari aerob gram-negatif telah dilaporkan pada pasien yang memerlukan
perawatan di ICU.4,5
Infeksi polimikroba sering pada organisme gram-negatif dan anaerob dimana jarang
terjadi pada isolasi dan lebih sering pada pasien usia tua dan pasien dengan penyakit komorbid.5
Tuberkulosis (TB)
Empiema tuberculosis merupakan infeksi aktif, kronis dari rongga pleura yang berisi
sejumlah besar mycobacterium tuberculosis. Komplikasi yang jarang dari pleuropulmonary TB
dibandingkan dengan efusi pleura TB yang dihasilkan dari suatu respon inflamasi yang
berlebihan terhadap infeksi pleura pausibasilary lokal. 10,11 Proses inflamasi mungkin sudah ada
tetapi dengan gejala klinis yang tidak jelas. Seringnya, pasien datang pada saat foto thoraks rutin
atau setelah berkembangnya fistula bronkopleural atau empiema necessitates.11
Jamur
Empiema yang disebabkan oleh jamur jarang terjadi (< 1% dari infeksi pleura). Candida
sp paling banyak sebagai penyebabnya dan dapat dijumpai pada pasien imunosupresif. Angka
kematian tinggi (mencapai 73%).5 Candida sp merupakan patogen yang paling sering dijumpai
pada empiema thoraks yang disebabkan oleh jamur; empiema thoraks yang disebabkan oleh
jamur filament lain sangat jarang, dan hanya kasus sporadik telah dilaporkan. Empiema candida
telah dilaporkan sebagai komplikasi dari operasi, fistula gastropleural, dan ruptur esofagus
spontan. Empiema aspergilus jarang ditemukan dan disebabkan oleh ruptur kavum aspergiloma
atau komplikasi dari empiema kronis yang sudah ada. Kriptokokus pleura telah dilaporkan
berhubungan dengan infeksi HIV, sirosis hati, dan agammaglobulinemia Bruton.12
Pasien dengan imunitas menurun, malignansi yang mendasari, penggunaan antibiotik
spektrum-luas, gagal nafas yang terjadi bersamaan, dan/atau isolat jamur yang lebih dari satu
dapat meningkatkan mortalitas. Bagaimanapun, hanya imunitas menurun dan gagal nafas yang

Universitas Sumatera Utara


secara signifikan berhubungan dengan mortalitas dalam analisis regresi logistik multivariat.12
Dari hasil penelitian Ko, CS et al. (2000) mendapatkan spesies penyebab pada 73 pasien dengan
empiema jamur seperti pada tabel 3 dibawah ini :

Tabel 3. Banyaknya isolat jamur dari 73 spesimen efusi pleura klinis12

GEJALA KLINIS
Manifestasi klinis dari PPE bervariasi menurut infeksi yang mendasari; di UK-Based
Multicentre Intrapleural Sepsis Trial (MIST) pada 430 pasien, durasi gejala sebelum median
(interquartile kisaran) perekrutan adalah 14 hari (8 - 28 hari).1 Manifestasi klinis dari PPE dan
empiema tergantung pada apakah pasien mendapat infeksi aerob atau nonaerob.13 Infeksi
pneumonia aerob akan muncul dengan gejala demam akut, nyeri dada pleuritik terlokalisasi,
produksi dahak dan leukositosis. Infeksi anaerob cenderung menyebabkan klinis yang lebih
buruk, subfebris dan adanya gejala sistemik, seperti penurunan nafsu makan dan berat badan;
seperti infeksi lebih umum pada mereka dengan kebersihan gigi yang buruk, pecandu alkohol
dan mereka yang sering pingsan sehingga dapat menyebabkan aspirasi isi lambung.1 Jika demam
menetap lebih dari 48 jam setelah pemberian antibiotik, PPE atau empiema dapat
dipertimbangkan.13
Gejala pneumonia yang melibatkan PPE atau empiema (yakni demam, malaise, batuk,
dyspnea, dan nyeri dada pleuritik) mirip dengan pneumonia tanpa PPE.2,7,14 Pasien lansia
mungkin relatif asimptomatik, hanya menunjukkan gejala kelelahan atau perubahan status
mental, tanpa gejala paru. Faktor lain seperti usia, puncak suhu, jumlah leukosit, atau jumlah
lobus yang terlibat, tidak dapat memprediksi munculnya PPE atau membedakan antara orang
dengan dan orang tanpa PPE.1,2

Universitas Sumatera Utara


Infeksi pleura harus diduga pada semua pasien dengan pneumonia, khususnya orang-
orang yang gagal respon terapi antibiotik yang sesuai, didefinisikan dengan demam yang
persisten, leukositosis dan meningkatnya penanda inflamasi seperti C-reaktif protein. Ukuran
efusi bervariasi, dan tidak dapat digunakan untuk memprediksi etiologi infeksi.1

DIAGNOSIS

Darah
Kultur darah dan PCR pneumokokus dilakukan dengan darah EDTA harus diperiksakan
pada semua anak dengan empiema. Plasma albumin sering rendah pada anak-anak dan dewasa
dengan empiema (dibandingkan dengan simpel pneumonia), meskipun hal ini jarang
membutuhkan pengobatan khusus. Pengukuran longitudinal penanda inflamasi (CRP, leukosit,
trombosit) dapat membantu dalam menilai respon terapi.14

Foto thoraks (CXR)


Pada CXR mungkin hanya menunjukkan hilangnya sudut kostofrenikus atau "putih"
seluruhnya, tidak selalu bisa membedakan konsolidasi berat/kolaps dari pleura tetapi adanya
pergeseran mediastinum dari patologis mendukung diagnosis cairan pleura.14
Efusi pleura mungkin dapat terlihat pada foto dada dan adanya infiltrat dan cairan paru
seharusnya mengingatkan klinisi untuk kemungkinan suatu cairan parapneumonik. CXR lateral
dapat mengkonfirmasi cairan pleura tidak disangkakan pada CXR posteroanterior, bagaimanapun
ultrasonografi thoraks banyak digunakan dan merupakan alat yang lebih dipilih. Namun,
ultrasound tidak secara rutin digunakan pada rawat jalan dan jika tujuannya untuk follow up atau
pemantauan, CXR masih merupakan pilihan sebagai pencitraan awal.5

Thoracic Ultrasound (TUS)


Thoracic Ultrasound (TUS) adalah alat yang mudah digunakan untuk menilai keberadaan
dan ukuran efusi lebih akurat dibandingkan dengan CXR. Ekogenisitas cairan dan adanya
lokulasi dalam mendiagnosis empiema dan memutuskan apakah drainase atau aspirasi diagnostik
diperlukan.4,5,14 Pada sebuah studi dari 320 pasien dengan efusi pleura, semua efusi ekogenik
disebabkan oleh eksudat dan efusi ekogenik homogen disebabkan empiema atau perdarahan.5
TUS menurunkan komplikasi dari prosedur pleura. National Patient Safety Agency Rapid
Response melaporkan bahwa pemandu ultrasound sangat dianjurkan ketika memasukkan drain

Universitas Sumatera Utara


untuk cairan. Panduan BTS merekomendasikan TUS untuk seluruh prosedur pleura, khususnya
pada pasien dengan ventilasi mekanik, dimana pneumothoraks merupakan komplikasi yang
serius.4

Computed Tomography
Computed Tomography (CT) tidak seakurat ultrasound dalam mendeteksi septa-septa.
Tetapi, CT lebih baik untuk mendeteksi abnormalitas yang mendasari seperti perforasi esofagus,
atau karsinoma bronkus. CT juga bisa membedakan antara empiema dan abses paru. Hal ini
penting, sebagaimana sebelumnya selalu membutuhkan drainase eksternal sedangkan biasanya
bisa diselesaikan dengan terapi medis dan insersi drain thoraks dapat mengakibatkan
pembentukan fistula bronko-pleura (BPF). Empiema biasanya berbentuk lentikular, menekan
paru-paru, dan menciptakan bentuk sudut seperti mengikuti kontur dinding dada. Biasanya ada
batas tidak jelas antara parenkim paru dan abses paru, yang membentuk sebuah sudut dimana ada
kontak dengan dinding dada. Tanda 'split pleura', dimana pleura parietalis dan viseralis terlihat
berpisah, bisa terdapat pada empiema,4,5

Penebalan pleura terlihat pada 86 - 100% dari empiema dan 56% dari PPE eksudatif.
Ketebalan pleura pada CT scan lebih besar pada pasien dengan efusi purulen yang jelas,
sedangkan tidak adanya penebalan pleura menunjukkan PPE simpel.5

MRI
MRI tidak rutin dilakukan dan tidak memiliki kelebihan dibandingkan dengan CT scan
untuk infeksi pleura; bagaimanapun MRI dapat dipertimbangkan pada situasi tertentu seperti
alergi terhadap kontras atau pasien muda/hamil dimana paparan radiasi ion diminimalisasi. MRI
juga dapat menolong untuk melihat keterlibatan dengan infeksi (contoh, empiema necessitans
atau empiema tuberkulosa).5

Aspirasi

Aspirasi dibolehkan untuk mendiagnosis empiema dan membedakan antara PPE simpel
dan yang memerlukan drainase. Pemeriksaan yang diperlukan dapat dilihat pada tabel 4. Cairan
untuk pengukuran pH harus dikumpulkan dalam syringe yang diberi heparin dan tidak
mengandung lidokain, karena bersifat asam.4,5

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4. Pemeriksaan yang diperlukan dari aspirasi pleura. LDH, laktat dehidrogenase; MC + S.
mikroskopi, kultur dan sensitivitas; AFB, basil tahan asam; TB, tuberkulosis

Tabel 5. Analisis cairan pleura pada PPE dan empiema

Cairan pleura dari PPE atau empiema merupakan eksudat inflamasi. Polimorfonuklear
(PMN) leukosit mendominasi, tapi total jumlah leukosit cairan pleura bervariasi antara efusi
simpel dan empiema. Dominasi limfosit dalam eksudat harus dipikirkan kemungkinan keganasan
atau tuberkulosis.5

Perlu dipertimbangkan pemeriksaan pewarnaan BTA (Bakteri Tahan Asam), kultur


mikobakterial, PCR mikobakterial, dan ADA (Adenosine Deaminase) jika tuberkulosis pleura
sedang dipertimbangkan.14
Diagnosis empiema jamur, dapat dijumpai isolasi spesies jamur dari cairan pleura atau
dari darah, sputum atau luka operasi yang menunjukkan invasi jaringan. Isolat jamur dari selang
thorakostomi yang digunakan untuk pneumothoraks atau empiema bakterial diasumsikan koloni
berasal dari selang dada, kecuali infeksi sudah ada tanpa terapi anti jamur.12

Bakteriologi
Kultur cairan pleura tetap negatif pada 40% aspirat.4,5 Walaupun PCR dapat
mengidentifikasi organisme penyebab lebih sensitif daripada metode kultur konvensional, namun
PCR belum menjadi bagian dari pemeriksaan rutin pada praktik klinis di UK.5

Universitas Sumatera Utara


Prevalensi organisme penyebab dari infeksi pleura bervariasi diberbagai negara; data
epidemiologi lokal diperlukan untuk memandu pengobatan. Studi dari Inggris, Kanada dan
Selandia Baru semua menunjukkan bahwa isolat Streptococcus milleri yang paling umum pada
orang dewasa dengan empiema yang didapat dari komunitas, dengan proporsi yang berkisar
antara 32 dan 50% kasus. Organisme lain yang paling banyak diisolasi dari empiema adalah
Streptococcus pneumoniae dan anaerob untuk infeksi pleura yang didapat dari komunitas dan S.
aureus (termasuk methicillin-resisten S.Aureus (MRSA) untuk kasus yang didapat dari rumah
sakit. Laporan terkini dari Taiwan mengkonfirmasi insiden yang lebih tinggi infeksi dari aerobik
dan anaerobik gram-negatif pada pasien dengan empiema dari pneumonia yang didapat dari
rumah sakit.1
Isolasi patogen berbeda antara pasien dengan infeksi pleura komunitas atau didapat di
rumah sakit (tabel 6) dan etiologi iatrogenik, contohnya, setelah pembedahan thoraks. Perbedaan
bakteriologis menolong sebagai pedoman terapi antibiotik empiris.5

Tabel 6. Bakteriologi dari infeksi pleura komunitas dan didapat di rumah sakit

Bronkoskopi
Peran bronkoskopi pada pasien dengan empiema tidak dilakukan pada beberapa studi.
Bronkoskopi hanya direkomendasikan jika ada kecurigaan obstruksi bronkus contohnya, massa
atau hilangnya volume pada pencitraan radiografi atau riwayat kemungkinan tertelan benda asing
diman hal-hal tersebut merupakan faktor predisposisi infeksi pleura itu sendiri.5

Universitas Sumatera Utara


MANAJEMEN

Pengobatan utama untuk infeksi pleura tetap antibiotik yang sesuai, dikeluarkannya
cairan pleura, dan gizi yang memadai.

Terapi Antibiotik

Antibiotik harus diberikan kepada semua pasien dengan infeksi pleura dan jika mungkin
harus didasarkan pada kultur cairan pleura dan uji sensitivitas. Faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi pilihan antibiotik adalah kemampuan dari antibiotik menembus rongga pleura
dan adanya gangguan ginjal atau hati.6
Dimana kultur tidak tersedia, regimen antibiotik harus termasuk mencakup anaerobik dan
untuk organisme resisten penisilin. Pada infeksi yang didapat di rumah sakit, harus mencakup
MRSA dan juga organisme aerob gram-positif dan gram negatif dan organisme anaerobik.
Aminoglikosida tidak menembus rongga pleura dan seharusnya tidak digunakan.4

Proporsi yang signifikan dari kedua organisme aerob dan anaerob dari infeksi
pleuropulmonary dapat menunjukkan resistensi terhadap penisilin, tapi β-lactams tetap menjadi
agen pilihan untuk infeksi yang disebabkan S pneumoniae dan S milleri. Aminopenisilin,
penisilin (misalnya, dikombinasikan dengan penghambat β-laktamase Co-amoxiclav,
piperacillin-tazobactam) dan sefalosporin menunjukkan penetrasi yang baik pada rongga pleura.
Aminoglikosida harus dihindari karena memiliki penetrasi yang buruk ke rongga pleura dan
mungkin tidak aktif jika terdapat asidosis cairan pleura. Tidak terdapat bukti bahwa pemberian
antibiotik langsung ke rongga pleura memiliki keuntungan.2,5
Pada infeksi yang didapat di komunitas, pengobatan dengan aminopenisilin (misalnya,
amoxicillin) akan mencakup organisme seperti S pneumonia dan H influenzae, tapi penghambat
β-laktamase seperti Co-amoxiclav atau metronidazol juga akan diberikan karena sering adanya
aerob penisilin-resisten termasuk S aureus dan bakteri anaerobik.5 Untuk infeksi pleura dengan
hasil kultur negatif, rejimen yang diusulkan oleh Pedoman BTS adalah cefuroxime intravena 1,5
gram per 8 jam ditambah metronidazol 500 miligram per 8 jam atau Benzil penisilin intravena
1.2 gram per 6 jam ditambah siprofloksasin 400 miligram per 12 jam atau meropenem intravena
1 gram per 8 jam ditambah metronidazol 500 miligram per 8 jam untuk infeksi yang didapat di
komunitas.6

Universitas Sumatera Utara


Klindamisin memiliki penetrasi yang baik pada rongga pleura yang terinfeksi dan
merupakan antimikroba yang memadai. Pasien yang alergi penisilin dapat diberikan Klindamisin
saja atau kombinasi dengan siprofloksasin atau sefalosporin. Kloramfenikol, karbapenem seperti
meropenem, sefalosporin generasi ketiga dan penisilin antipseudomonas spektrum luas seperti
piperasilin juga memiliki aktivitas anti anaerobik yang baik dan merupakan agen alternatif.5
Pada empiema yang didapat di rumah sakit, biasanya sekunder terhadap pneumonia
nosokomial, trauma atau operasi, antibiotik harus dipilih untuk mengobati organisme aerob
gram-positif dan gram-negatif dan anaerobik. Studi terbaru menunjukkan bahwa ada peningkatan
yang signifikan infeksi MRSA pada pneumonia yang didapat di rumah sakit dan empiema, jadi
antibiotik empiris seharusnya dari awal sudah menutupi untuk MRSA sampai hasil mikrobiologi
ada.5 Kultur negatif pada infeksi yang didapat di rumah sakit, pedoman BTS mengusulkan
piperasilin intravena ditambah tazobactam 4.5 gram per 6 jam atau ceftazidime 2 gram per 8 jam
atau meropenem 1 gram per 8 jam dimana metronidazol dapat ditambahkan pada dosis 500
miligram per 8 jam.6

Pemberian antibiotik intravena sering sesuai pada awalnya tetapi dapat diubah ke rute
oral ketika perbaikan klinis secara objektif dan biokimia terlihat. Untuk terapi oral, pedoman
BTS menganjurkan amoksisilin 1 gram per 8 jam ditambah asam clavulanic 125 miligram per 8
jam atau amoksisilin 1 gram 8 per jam ditambah metronidazol 400 miligram per 8 jam atau
Klindamisin 300 miligram per 8 jam. Durasi pengobatan untuk infeksi pleura tidak dievaluasi
pada percobaan klinis secara detail, namun antibiotik sering dilanjutkan selama minimal 3
minggu, berdasarkan respon klinis, biokimia (contohnya, CRP) dan radiologis.5,6

Drainase Cairan Pleura

Pasien dengan infeksi pleura memerlukan drainase akan berkembang menjadi cairan
pleura yang asam yang terkait dengan meningkatnya kadar LDH dan kadar glukosa yang
menurun. Data dari sistemik meta-analisis meninjau kriteria tersebut telah dibenarkan untuk
digunakan. Laporan ini menunjukkan bahwa pH cairan pleura < 7.2 juga salah satu indikator
yang paling kuat untuk memprediksi kebutuhan untuk drainase, dan bahwa LDH cairan pleura
(>1000 IU/l) dan glukosa (< 3.4 mmol/l) tidak meningkatkan akurasi diagnostik. Dimana
pengukuran pH cairan pleura tidak tersedia maka glukosa dan LDH harus diukur, kadar glukosa
cairan pleura < 3.4 mmol/l dapat digunakan sebagai penanda alternatif untuk mengindikasikan

Universitas Sumatera Utara


kebutuhan untuk drainase. Namun, glukosa cairan pleura dapat menurun dalam situasi selain
infeksi pleura, seperti efusi rheumatoid, dan ini harus diingat ketika menafsirkan hasil.5

Indikasi untuk drainase cairan pleura terdapat di tabel 7.

Indikasi

 Cairan purulen atau keruh/berawan

 Adanya organisme yang diidentifikasi oleh pewarnaan gram + kultur cairan


pleura non purulen pH < 7.2 dengan dugaan infeksi

 Cairan pleura terlokulasi

 Kemajuan klinis yang buruk dengan antibiotik

Tabel 7. Indikasi untuk drainase cairan pleura

Tabel 8. Staging efusi pleura dan rekomendasi drainase8

Fibrinolitik Intrapleura
Terapi fibrinolisis intrapleural ini pertama kali digunakan lebih dari 60 tahun yang lalu.
Setelah percobaan awal terapi ini, ada jarak selama 32 tahun sampai studi kedua diterbitkan pada
tahun 1981 terutama untuk mengatasi efek streptokinase intrapleural pada fibrinolisis sistemik;
ini mungkin kekhawatiran tentang efek samping yang disebabkan streptokinase intrapleural
selama penggunaan periode tersebut. Sejak tahun 1981, beberapa studi observasi dan beberapa
percobaan kontrol telah diterbitkan.6
Obat-obatan fibrinolitik bervariasi dalam mekanisme kerjanya. tPA menginduksi
fibrinolisis trombus yang terbentuk oleh plasminogen teraktivasi terikat fibrin dan tidak
mengaktifkan plasminogen sistemik. Streptokinase menggabungkan dengan plasminogen yang
ada di sirkulasi untuk membentuk kompleks aktivasi, yang penyebab terbatasnya proteolitik dari

Universitas Sumatera Utara


molekul plasminogen lain terhadap plasmin. Streptokinase mengaktifkan konversi plasminogen
(profibrinolisin) menjadi plasmin (fibrinolisin), yang merangsang konversi fibrin (tidak larut)
menjadi fragmen fibrin (larut). Urokinase fibrin juga merupakan selektif-fibrin dan dikonversi ke
urokinase dari prourokinase berikatan dengan fibrin. Langsung mengubah plasminogen menjadi
plasmin. Ketiga obat tersebut telah digunakan dalam percobaan fibrinolisis intrapleural pada
orang dewasa dan anak-anak.9
Tidak ada indikasi penggunaan fibrinolisis intrapleura secara rutin pada pasien dengan
infeksi pleura.5 Fibrinolitik seperti streptokinase dan urokinase telah digunakan secara luas
dalam pengobatan infeksi pleura, terutama dengan drain, untuk memecah lokulasi dan cairan
kental, cairan kaya fibrin yang sering menyumbat drain.4,6 Percobaan besar, acak, kontrol
menunjukkan bahwa penggunaan rutin tidak meningkatkan kematian atau mengurangi jumlah
pasien yang membutuhkan pembedahan. Namun, ini percobaan yang dibuat sebelum munculnya
USG pleura dan tidak membedakan antara efusi simpel dan lokulasi. Semua pasien dengan pH
cairan pleura < 7.2 atau pus diberikan fibrinolitik, terlepas dari apakah cairan dikeluarkan dengan
mudah atau tidak. Pedoman BTS merekomendasikan penggunaannya pada cairan yang banyak,
lokulasi yang tidak dapat dilakukan drainase dimana pembedahan thoraks tidak dianggap
menjadi suatu alternatif atau tidak tersedia.4
Urokinase merupakan non-antigenik tetapi tetap menyebabkan reaksi akut (disebabkan
oleh hipersensitivitas tipe cepat dan pelepasan histamin) dengan demam dan aritmia kardiak.
Ada laporan mengenai sindrom distress pernafasan dewasa pada pasien yang menerima
streptokinase dan urokinase untuk drainase empiema. Dosis fibrinolitik yang digunakan pada
studi tersebut bervariasi tetapi termasuk streptokinase 250.000 IU per hari atau 250.000 IU per
12 jam atau urokinase 100.000 IU per hari dalam 24 jam di rongga pleura.5
Maskell et al. melaporkan hasil dari percobaan besar (427 pasien), multicenter, acak,
double-blind di UK yang menunjukkan tidak ada keuntungan dari streptokinase atas saline
berkaitan dengan tingkat mortalitas atau kebutuhan operasi pada 3 atau 12 bulan pada pasien
yang memiliki empiema (83%). Dalam percobaan single-center, acak, double-blind, 44 pasien
(81% memiliki empiema) diacak untuk menerima baik Streptokinase (250.000 U per hari) atau
salin selama 4 - 5 hari. Di hari ke 7, kelompok streptokinase lebih sedikit dilakukan operasi (43%
vs 9%; PP.02) dan tingkat keberhasilan klinis yang lebih baik (82 vs 48%; PP.02).2 Beberapa
obat-obatan fibrinolitik intrapleura dapat dilihat pada tabel 9 dibawah ini :

Universitas Sumatera Utara


Tabel 9. Beberapa fibrinolitik intrapleura8

Pembedahan
Banyak teknik bedah telah digunakan dalam pengobatan empiema termasuk debridemen
melalui VATS (video-assisted thoracic surgery), dekortikasi, thoracoplasty, dan thoracostomy
terbuka. Debridement melalui VATS paling popular sejak pertengahan 1990-an, dan tingkat
keberhasilan berkisar 68 - 93%. Tingkat keberhasilan debridement VATS sangat tergantung pada
tahap efusi parapneumonik dan jika pasien pada fase pembentukan jaringan ikat, lebih tinggi
tingkat kegagalannya.6

Pembedahan harus dipertimbangkan tanpa penundaan pada pasien yang gagal diterapi
dengan antibiotik dan drainase selang dada, dan yang memiliki gejala infeksi persisten, demam,
leukositosis dan peningkatan penanda inflamasi. Bertentangan dengan kepercayaan populer,
bersihan cairan pleura secara radiologis bukanlah indikator yang baik dari kemajuan penyakit.
Dua penelitian longitudinal telah menunjukkan bahwa opacity radiologis dari infeksi pleura
meningkat pada pasien dewasa dan anak-anak pada bulan berikutnya, tanpa perlu dilakukan
operasi. Demikian juga, perubahan restriksi pada tes fungsi paru biasanya perbaikan secara
paralel, dari waktu ke waktu; sangat sedikit pasien memiliki gangguan fungsi dari sisa fibrosis
pleura.1

Dekortikasi adalah metode pilihan ketika paru-paru pada dasarnya tidak mampu
mengembang karena inflamasi yang tebal dan pasien cocok untuk operasi besar. Dekortikasi
telah terbukti secara substansial meningkatkan kapasitas vital dan volume ekspirasi paksa pada
detik pertama. Thoracoplasty memerlukan remodeling dari dinding osteomuskular kavum
thoraks untuk mengontrol proses inflamasi tapi ini jarang dilakukan belakangan ini. Prosedur

Universitas Sumatera Utara


operasi lain - thoracostomy terbuka - dilakukan pada pasien yang lemah, ketika thoracoplasty
bukanlah alternatif dan ketika VATS telah gagal untuk mengendalikan penyakit tersebut.6
Dalam beberapa studi retrospektif, pasien yang terlambat dirujuk untuk operasi memiliki
komplikasi lebih banyak dan tingkat keberhasilan lebih rendah dari VATS, dan perawatan di
rumah sakit yang lebih lama. VATS adalah prosedur pilihan, sama-sama efektif tetapi kurang
invasif (sehingga tinggal di rumah sakit lebih pendek dan komplikasi yang lebih sedikit),
daripada drainase oleh thoracotomy pada orang dewasa dan anak-anak, meskipun sekitar 20%
pasien, VATS tidak adekuat dan konversi ke drainase thoracotomy terbuka diperlukan.
Thoracoscopy medis telah terbukti aman dan efektif dalam satu seri retrospektif 127 pasien.1
Pengobatan yang mendasari faktor predisposisi klinis, seperti dental atau
immunodefisiensi, adalah penting, dan dukungan gizi penting, dengan analisis besar baru-baru
ini dari faktor prognostik pada empiema yang didapat dari komunitas mengidentifikasi bahwa
pemberian albumin serum < 30 g/L sebagai faktor risiko independen untuk kematian.1

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA
1. Brims, FJH, et al. Empyema Thoracis : new insights into an old disease. European
Respiratory Review 2010;19;117;220-228
2. Sahn, SA. Diagnosis and Management of Parapneumonic Effusions and Empyema.
Chicago Journal : Clinical Infectious Disease 2007:45
3. Vardhan, MV, et al. Empyema Thoracis-Study of Present Day Clinical & Etiological
Profile and Management Techniques. Inj. J. Tub. 1998, 45, 155
4. Walters, J, et al. Pus in the thorax : Management of empyema and lung abscess.
British Journal of Anesthesia : Oxford University Press 2011
5. Davies, HE, et al. Management of Pleural Infection in Adults. British Thorax Society
pleural disease guideline 2010;65
6. Ahmed, AEH, Tariq, EY. Empyema Thoracis. Clinical Medicine Insights:
Circulatory, Respiratory and Pulmonary Medicine 2010:4
7. Yu, H. Management of Pleural Effusion, Empyema and Lung Abscess. Seminars In
Interventional Radiology 2011;28;75-86
8. Girdhar, A, et al. Management of Infectious Processes of the Pleural Space : A
Review. Pulmonary Medicine 2012
9. Ahmed, AEH, Tariq, EY. Intrapleural Therapy in management of complicated
parapneumonic effusions and empyema. Clinical Pharmacology: Advances and
Applications 2010:2;213–221
10. Long, R, et al. Treatment of a Tuberculous Empyema with Simultaneous Oral and
Intrapleural Antituberculosis Drugs. Can Respir J Vol 15 No 5 July/August 2008
11. Sahn, SA, Iseman. Tuberculous Empyema. Semin Respir Infect. 1999 Mar;14(1):82-7
12. Ko, SC, et al. Fungal Empyema Thoracis An Emerging Clinical Entity. CHEST
2000;6;117
13. Limsukon, A, Hoo, GWS. 2009. Parapneumonic Pleural Effusions and Empyema
Thoracis. Available at : www.emedicine.medscape.com
14. Government of Western Australia Department of Health Child and Adolescent Helath
Service. Management of children and adolescent with pleural empyema. Princess
Margaret Hospital Clinical Practice Guideline 2010

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai