Anda di halaman 1dari 43

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2019


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

GASTROENTERITIS AKUT DAN BRONKOPNEUMONIA

Oleh :

MUHAMMAD SURYA ARMA ARSYAD


10542 0586 14

Pembimbing :
dr. Marlenny W.T Martoyo, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:


Nama : Muh. Surya Arma Arsyad S.ked
NIM : 10542 0586 14
Judul Laporan kasus : Gastroenteritis Akut dan Bronkopneumonia
Telah menyelesaikan Laporan kasus dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Maret 2018


Pembimbing,

(dr. Marlenny W.T Martoyo, Sp.A)

2
BAB I
PENDAHULUAN

Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbilitas dan mortalitas anak di
negara yang sedang berkembang. Dalam berbagai hasil Survei kesehatan Rumah Tangga
diare menempati kisaran urutan ke-2 dan ke-3 berbagai penyebab kematian bayi di Indonesia.
Sebagian besar diare akut disebabkan oleh infeksi. Banyak dampak yang terjadi karena
infeksi seluran cerna antara lain pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan gangguan
sekresi dan reabsorpsi cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi, gangguan keseimbangan
elektrolit dan keseimbangan asam basa. Invasi dan destruksi sel epitel, penetrasi ke lamina
propria serta kerusakan mikrovili dapat menimbulkan keadaan maldiges dan malabsorpsi.
Bila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat pada akhirnya dapat mengalami invasi
sistemik.
Diare adalah penyebab penting kekurangan gizi . ini di sebabkan karena adanya
anoreksi pada diare sehingga ia makan lebih sedikit dari pada biasanya dan kemampuan
menyerap sari-sari makanan juga berkurang. Padahal kebutuhan sari makanan meningkat
akibat adri adanya infeksi. Setiap episode diare akan menyebabkan kekurangan gizi sehingga
jika episode ini berkepanjangan, dampaknya terhadap pertumbuhan akan meningkat. Penyakit
diare juga berdampak pada status ekonomi negara berkembang. Di beberapa negara, lebih
dari sepertiga tempat tidur anak di rumah sakit di huni oleh anak penderita diare. Penderita ini
sering di obati dengan cairan intravenayang mahal dan obat-obatan yang tidak efective.

Pneuomonia masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia
dibawah lima tahun. Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih
kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia (Afrika dan Asia
Tenggara). Di Indonesia sendiri terjadi kematian bayi sebesar 27,6% dan kematian balita
sebesar 22,8% karena pneumonia.

Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas


pneumonia pada anak balita di negara berkembang, diantaranya: pneumoni yang terjadi pada
masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI
yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasibakteri patogen
di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok).

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru, yang sebagian besar
disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil oleh karena hal lain

3
(aspirasi). Pneuomonia oleh karena bakteri biasanya awitannya cepat, batuk produktif, pasien
tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis. Bakteri yang
paling sering sebagai penyebab pneumonia di negara berkembang adalah Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus.

4
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
Nama : ASA
Tanggal Lahir : 04/09/2017
Umur : 1 tahun 6 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Sunu Lr. 1B No. 5
Agama : Islam
Ruangan : Dahlia
A. IDENTITAS ORANG TUA/WALI :
AYAH
Nama : Tn. I
Umur : 34 tahun
Pekerjaan : Karyawan
IBU
Nama : Ny. S
Umur : 34 tahun
Pekerjaan : IRT
1. Anamnesis
Keluhan Utama : BAB Encer
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk rumah sakit pelamonia dengan keluhan BAB encer disertai darah 1 hari
yang lalu. Lender (+). Frekuensi 5 kali. Demam (+) sejak 4 hari yang lalu, demam naik turun,
menggigil (-), kejang (-), nyeri kepala (-), batuk (+) berlendir, flu (+), sesak (-), nyeri perut
(+), mual (-), muntah (-). Riwayat alergi obat (-).
Selera makan : baik
Selera minum : baik
BAB : encer
BAK : lancar
Riwayat Penyakit Dahulu : -
Riwayat Keluarga :
Pasien merupakan anak ke 3 dari 3 bersaudara.

5
Riwayat Tumbuh Kembang : Pasien bisa berbalik pada usia 4 bulan, dan gigi pertama muncul
pada usia 6 tahun, duduk pada usia 9 bulan, berdiri, jalan, dan berbicara pada umur 1 tahun.

Status Imunisasi Belum Pernah 1 2 3 Tidak tahu


BCG 
Polio   
Difteri   
Tetanus   
Pertusis   
Hep. B   
Campak   
Hib I   
2. Pemeriksaan fisik
a. Status Present
K.U : Lemas / Gizi baik / Compos mentis
BB : 9 kg
PB : 78 cm
BB/U : Status Gizi Baik
PB/U : Status Gizi Baik
b. Tanda Vital
Suhu : 37,8 0C
Nadi : 120 x/menit
Pernapasan : 34 x/menit
3. Status Generalis
Pucat (-) Telinga : Otorrhea (-)
Cyanosis (-) Mata : Cekung (-), anemis (-)
Tonus : Normal Hidung : Rhinorea (+)
Ikterus (-) Bibir : Kering (-)
Turgor : Baik Lidah : Kotor (-)
Busung (-) Sel. Mulut : Stomatitis (-)
Kepala : kesan normal Leher : Kaku kuduk (-)
Muka : kesan normal Kulit : Tidak ada kelainan
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut Tenggorok : Hiperemis (-)
Ubun ubun besar : Menutup (+) Tonsil : T1/T1 Hiperemis (-)
Thorax Jantung

6
Inspeksi Inspeksi:
 Simetris kiri dan kanan  Ictus cordis tidak tampak
 Retraksi dinding dada (-) Palpasi :
Perkusi:  Ictus cordis tidak teraba
 Sonor kiri dan kanan Perkusi :
Auskultasi :  Batas kiri :
 Bunyi Pernapasan : bronkovesikuler Linea midclavicularis sinistra
 Bunyi tambahan: Rh +/+, Wh -/-  Batas kanan :
Linea parasternalis dextra
 Batas atas : ICS III sinistra
Auskultasi :
 Bunyi Jantung I dan II regular, bising
jantung (-)
Abdomen
Inspeksi : Alat kelamin :
 Perut datar, ikut gerak napas - Dalam batas normal
 Massa tumor (-) - Tasbeh (-)
Palpasi : Col. Vertebralis : Skoliosis (-)
 Limpa : tidak teraba Pembesaran KGB (-)
 Hati : Hepatomegali (-) KPR : TDE

 Nyeri tekan (-) regio epigastrium dan APR : TDE


umbilicus TPR : TDE

Perkusi : BPR : TDE

- Tympani (+)
Auskultasi
- Peristaltik kesan meningkat

4. Follow up pasien
Tanggal Perjalanan Penyakit Instruksi Dokter
S : Pasien masuk rumah Terap
sakit Ugd
13/03/19 pelamonia dengan keluhan BAB - - IVFD Asering mikrodrips 16 tpm
encer disertai darah 1 hari yang lalu. - - Zinkid 1x1 cth
Lender (+). Frekuensi 5 kali. Demam - - Lacto B Sachet 1x1
(+) sejak 4 hari yang lalu, demam - - Cotrimoxazol syr 2x1 cth

7
naik turun, menggigil (-), kejang (-),
nyeri kepala (-), batuk (+) berlendir,
flu (+), sesak (-), nyeri perut (+),
mual (-), muntah (-). Riwayat alergi
obat (-).
Selera makan : baik
Selera minum : baik
BAB : encer
BAK : lancar
O : KU : lemas
Suhu : 37,8 0C
Nadi : 120 x/menit
Pernapasan : 34 x/menit
A : GEA + Hematokezia + DBD
(?)
P : cek DR, Cek LED
14/03/19 S : Batuk lender (+), flu (+), mual (-), Obat dari dokter
muntah (-), nyeri perut (-) - - IVFD Asering 16 tpm
Selera makan : menurun - - Zinkid 1x1 cth
Selera minum : biasa - - Lacto B Sachet 1x1
BAB : Padat berampas, darah (-) - - Cotrimoxazol syr 2x1 cth
BAK : lancar - - inj. Ceftriaxone 250mg/12j
O : KU : sedang Hasil Lab :
N : 90 x/m - WBC : 13.51x10^3
P : 24x/m - RBC : 3.87x10^6
S : 36.8°C - Hb : 9.5g/dL
A : GEA - Plt : 504x10^3
P : Foto Thorax PA - LED 50 mm/jam
-
15/03/19 S : Batuk lender (+), flu (+), mual (-), Obat dari dokter
muntah (-), nyeri perut (-), perut - - IVFD Asering 16 tpm + HCL 4CC
kembung (+) - - Puyer 3x1 (Cotrimoxazol 1/3 tab, aspar K
Selera makan : menurun 90mg, Mp 1/3 tab )
Selera minum : biasa - - Nebu P/S
BAB : Biasa - - Zinkid 1x1 cth

8
BAK : lancar - - Lacto B Sachet 1x1
O : KU : sedang - - inj. Ceftriaxone 250mg/12j
N : 96 x/m
P : 36x/m Hasil Foto Thorax :
S : 36.8°C Tampak bercak infiltrate pada kedua paru
Thorax : Rhonki -/+ Kesan : Bronkopneumonia
Abd : Meterorismus (+)
A : GEA + Bronkopneumonia
-
16/03/19 S : Batuk lender (+), flu (+), mual (-), Obat dari dokter
muntah (-), nyeri perut (-) - - IVFD Asering 16 tpm + HCL 4CC
Selera makan : baik - - Puyer 3x1
Selera minum : biasa - - Nebu P/S
BAB : Biasa - - Zinkid 1x1 cth
BAK : lancar - - Lacto B Sachet 1x1
O : KU : sedang - - inj. Ceftriaxone 250mg/12j
N : 92 x/m Hasil Lab :
P : 22x/m - WBC : 8.84x10^3
S : 36.3°C - RBC : 4.07x10^6
A : GEA + Bronkopneumoni - Hb : 10g/dL
- - Plt : 538x10^3
- LED 62 mm/jam
17/03/19 S : Batuk lender (+) sekali-sekali, flu Obat dari dokter
(-), mual (-), muntah (-), nyeri perut - - IVFD Asering 16 tpm dihabiskan
(-) - - Puyer 3x1
Selera makan : baik - - Zinkid 1x1 cth
Selera minum : biasa - - Lacto B Sachet 1x1
BAB : Biasa - - Cefixime Syr 2x1/3 c
BAK : lancar
O : KU : membaik
N : 90 x/m
P : 22x/m
S : 36.2°C
A : GEA + Bronkopneumoni
P : Setelah infus habis, stop infus

9
-
18/03/19 S : Batuk sekali-sekali, flu (-), mual Obat dari dokter
(-), muntah (-), nyeri perut (-) - - Puyer 3x1
Selera makan : baik - - Zinkid 1x1 cth
Selera minum : biasa - - Cefixime Syr 2x1/3 c
BAB : Biasa
BAK : lancar
O : KU : membaik
N : 93 x/m
P : 22x/m
S : 36.3°C
A : GEA + Bronkopneumoni
P : Boleh Pulang
-

5. Diagnosis kerja
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang, pasien
mengalami :
Diagnosis Masuk : GEA + DBD
Diagnosis Klinis : GEA + Bronkopneumonia

6. Resume
Pasien masuk rumah sakit pelamonia dengan keluhan BAB encer disertai darah 1 hari
yang lalu. Lender (+). Frekuensi 5 kali. Demam (+) sejak 4 hari yang lalu, demam naik turun,
menggigil (-), kejang (-), nyeri kepala (-), batuk (+) berlendir, flu (+), sesak (-), nyeri perut
(+), mual (-), muntah (-). Riwayat alergi obat (-). Selera makan menurun, selera minum baik.
Buang air kecil lancar. Status gizi baik, suhu 37,8 0C, nadi 120 x/menit, pernapasan 34
x/menit, keadaan umum lemas, mata cekung (-), mulut kering (-), turgor baik, bunyi
pernapasan bronkovesikuler, bunyi tambahan Rh +/+ Wh -/-, nyeri tekan (-) regio epigastrium
dan umbilicus. Memiliki 3 saudara. Pasien bisa berbalik pada usia 4 bulan, dan gigi pertama
muncul pada usia 6 tahun, duduk pada usia 9 bulan, berdiri, jalan, dan berbicara pada umur 1
tahun.
Pemeriksaan lab. Darah rutin :
- WBC : 8.84x10^3
- RBC : 4.07x10^6

10
- Hb : 10g/dL
- Plt : 538x10^3
- LED 62 mm/jam

Hasil Foto Thorax :


- Tampak bercak infiltrat pada kedua paru
Kesan : Bronkopneumonia

7. Pengobatan
Medikamentosa
Terapi Ugd
- IVFD Asering mikrodrips 16 tpm
- Zinkid 1x1 cth
- Lacto B Sachet 1x1
- Cotrimoxazol syr 2x1 cth
Terapi dokter anak
- IVFD Asering 16 tpm + HCL 4CC
- Puyer 3x1
- Nebu P/S
- Zinkid 1x1 cth
- Lacto B Sachet 1x1
- inj. Ceftriaxone 250mg/12j
- Cefixime syr 2x1/3 c

11
BAB III
DISKUSI

Pasien masuk rumah sakit pelamonia dengan keluhan BAB encer disertai darah 1 hari
yang lalu. Lender (+). Frekuensi 5 kali. Demam (+) sejak 4 hari yang lalu, demam naik turun,
menggigil (-), kejang (-), nyeri kepala (-), batuk (+) berlendir, flu (+), sesak (-), nyeri perut
(+), mual (-), muntah (-). Riwayat alergi obat (-). Selera makan menurun, selera minum baik.
Buang air kecil lancar. Status gizi baik, suhu 37,8 0C, nadi 120 x/menit, pernapasan 34
x/menit, keadaan umum lemas. Pada pemeriksaan fisis bunyi tambahan pernapasan Rh +/+.
Kembung pada abdomen. Pada tanggal 15 Maret 2019, dilakukan pemeriksaan foto thorax
dan Hasil menunjukkan kesan Bronkopneumonia. Diagnosa untuk pasien ini adalah
Gastroenteritis akut disertai bronkopneumonia. Diare didefinisikan sebagai suatu keadaan
dimana seseorang BAB-nya (buang air besar) ditandai dengan perubahan bentuk dan
konsistensi tinja melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi berak lebih dari
biasanya, lazinnya 3 kali atau lebih dalam satu hari.
Bronkopneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru; peradangan
pada paru dimana proses peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat
yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminalPada pasien
ini, melalui anamnesis terdapat keluhan berupa badan pasien yang terasa lemas, tampak
pucat, pusing, nyeri pada sendi dan demam. Tidak didapatkan keluhan sesak, mual muntah,
nyeri kepala ataupun perdarahan spontan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya ronkhi pada kedua paru dan perut
kembung. Gejala klinis dari bronkopneumonia sendiri adalah terdapat batuk disertai lendir
dan pada auskultasi terderngan ronkhi pada paru. Hal ini disebabkan karena adanya
kumpulan mucus pada paru akibat proses inflamasi. Sedangkan salah satu gejala klinis dari
gastroenteritis akuti itu sendiri ialah BAB encer disertai darah dan perut terasa kembung.
Hal ini dapat dipastikan dengan melakukan perkusi dibana akan terasa meteorismus.

Penanganan pada pasien ini sudah sesuai dengan teori dimana pasien diberikan
antibiotic untuk mengobati proses infeksi saluran cerna, diberikan penghambat motilitas
usus untuk mengobati diare serta diberikan mukolitik untuk mengencerkan lender.

12
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Gastroenteritis Akut
A. Definisi

Menurut WHO (1998) diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali
sehari.

Diare didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang BAB-nya (buang air
besar) ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja melembek sampai mencair
dan bertambahnya frekuensi berak lebih dari biasanya, lazinnya 3 kali atau lebih dalam
satu hari.

Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi
tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya; dan berlangsung
dalam waktu kurang dari 2 minggu.

Jenis - jenis diare secara klinik di bedakan tiga (3) yang masig-masing mencerminkan
pathogenesis yang berbeda dan memerlukan pendekatan yang berlainan dalam
pengobatannya.

Diare cair akut adalah diare yang terjadi secara akut dan berlangsung kurang dari 7
hari dengan pengeluaran tinja yang lunak atau cair yang sering tanpa darah. Mungkin
disertai muntah atau panas. Diare cair akut dapat menyebabkan dehidrasi dan bila
masukan makanan berkurang, juga mengakibatkan kurang gizi. Kematian terjadi karena
diare. Peyebab diare cair akut di Negara berkembang adalah : Eschericia coli
enterotoxogenik, Shigella, Campylobacter Jejuni, dan Crystoporidium . di beberapa
tempat Vibrio cholera, Salmonella, dan E.coli enteropatogenik. Diare melanjut adalah
diare yang yang berlangsung antara 7 sampai 14 hari.

Diare Persisten adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Episode ini dapat di
mulai sebagai diare cair atau disentri. penyebab diare pada diare persisiten E.coli,
Shigella, dan Criptosporidium.

Diare kronik adalah diare yang diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dan bukan
disebabkan oleh non bakterial seperti penyakit sensitive terhadap glutein dan gangguan
metabolism yang menurun.

13
Disentri adalah diare yang disertai darah pada tinja. Akibat terpenting disentri adalah
anoreksi , penurunan berat badan dengan cepat , dan kerusakan mukosa usus karena
bakteri invasi. Penyebab utama disentri adalah Shigella, dan Campilobacter jejuni. Yang
jarang adalah E.coli enteroinvasiv atau Salmonella. Entamoeba Histolytica dapat
menyebabkan disentri yang serius pada orang dewasa muda tapi jarang pada anak-anak.

B. Epidemiologi
Pada tahun 1995, diare akut karena infeksi sebagai penyebab kematian pada lebih dari
3 juta penduduk dunia. Kematian karena diare akut dinegara berkembang terjadi terutama
pada anak-anak berusia kurang dari 5 tahun.
Hasil survei pada 2006 menunjukkan bahwa kejadian diare di Indonesia adalah 423
dari tiap 1.000 orang, dan terjadi 1-2 kali per tahun pada anak-anak berusia di bawah 5
tahun. Pada 2001, angka kematian rata-rata yang diakibatkan diare adalah 23 di tiap
100.000 orang penduduk, sedangkan angka yang lebih tinggi terjadi pada kelompok anak
berusia di bawah 5 tahun, yaitu 75 per 100.000 orang. Sementara kematian anak berusia di
bawah tiga tahun akibat diare adalah 19 persen, dengan kata lain sekitar 100.000 anak
meninggal dunia tiap tahunnya akibat diare.

a) Penyebaran Kuman yang menyebabkan diare


Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui
makanan/minuna yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita.
Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan
risiko terjadinya diare perilaku tersebut antara lain :

a. Tidak memberikan ASI ( Air Susi Ibu ) secara penuh 4-6 bulan pada pertama
kehidupan pada bayi yang tidak diberi ASI risiko untuk menderita diare lebih
besar dari pada bayi yang diberi AsI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi
berat juga lebih besar.
b. Menggunakan botol susu , penggunakan botol ini memudahkan pencernakan oleh
Kuman , karena botol susah dibersihkan.
c. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar. Bila makanan disimpan beberapa
jam pada suhu kamar makanan akan tercemar dan kuman akan berkembang biak.
d. Menggunakan air minum yang tercemar . Air mungkin sudah tercemar dari
sumbernya atau pada saat disimpan di rumah, Perncemaran dirumah dapat terjadi
kalau tempat penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan tercemar menyentuh
air pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan.

14
e. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja anak
atau sebelum makan dan menyuapi anak.
f. Tidak membuang tinja ( termasuk tinja bayi ) dengan benar Sering beranggapan
bahwa tinja bayi tidaklah berbahaya padahal sesungguhnya mengandung virus
atau bakteri dalam jumlah besar sementara itu tinja binatang dapat menyebabkan
infeksi pada manusia.

b) Faktor penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare


Beberapa faktor pada penjamu dapat meningkatkan insiden beberapa penyakit dan
lamanya diare. Faktor-faktor tersebut adalah :

a. Tidak memberikan ASI sampai 2 Tahun. ASI mengandung antibodi yang dapat
melindungi kita terhadap berbagai kuman penyebab diare seperti : Shigella dan v
cholerae.
b. Kurang gizi beratnya Penyakit , lama dan risiko kematian karena diare meningkat
pada anak-anak yang menderita gangguan gizi terutama pada penderita gizi buruk.
c. Campak, diare dan disentri sering terjadi dan berakibat berat pada anak-anak yang
sedang menderita campak dalam waktu 4 minggu terakhir hal ini sebagai akibat
dari penurunan kekebalan tubuh penderita.
d. Imunodefesiensi /Imunosupresi. Keadaan ini mungkin hanya berlangsung
sementara, misalnya sesudah infeksi virus ( seperti campak ) natau mungkin yang
berlangsung lama seperti pada penderita AIDS ( Automune Deficiensy Syndrome)
pada anak imunosupresi berat, diare dapat terjadi karena kuman yang tidak
parogen dan mungkin juga berlangsung lama.

c) Faktor lingkungan dan perilaku :


Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan dua faktor
yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja kedua factor ini akan
berinteraksi bersamadengan perilaku manusia Apabila faktor lingkungan tidak sehat
karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak
sehat pula. Yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian
penyakit diare.

15
C. Etiologi
Faktor infeksi

a. Infeksi enteral (infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab


utama diare).
i. Infeksi bakteri : vibrio, E. coli, salmonela, shigella, campylobacter, yersinia,
aeromonas, dan sebagainya.
ii. Infeksi virus : enterovirus, adenovirus, rotavirus, astrovirus, daii lain-lain.
iii. Infeksi parasite : cacing (ascaris), protozoa (entamoeba histolytica, giardia
lamblia, tricomonas hominis dan jamur (candida albicans)
b. Infeksi parenteral (infeksi diluar alat pencernaan) seperti: OMA (Otitis Media
Akut), tonsilitis, tonsilofaringitis, brankopneumoma, ensefalitis, dan sebagainya
(sering terjadi pada bayi dan umur dibawah 2 tahun)
Faktor Malabsorpsi

 Malabsorbsi karbohidrat
 Disakarida ; intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa
 Monosakarida: intoleransi glukosa, fruktosadan galaktosa
 Molabsorbsi lemak
 Molabsorbsi protein
Faktor makanan

 Makanan beracun
 alergi terhadap makanan
Lain-lain

 Imunodefisiensi
 Gangguan psikologis (cemas dan takut)
 Faktor-faktor langsung:
o KEP (Kurang Energi Protein)
o Kesehatan pribadi dan lingkungan
o Sosioekonomi

D. Patofisiologi
Diare adalah kehilangan banyak cairan elektrolit melalui tinja. Bayi kecil
mengeluarkan tinja kira-kira 5g /kgbb/hari. Jumlah ini meningkat 200 gr /kgbb/ hari pada
orang dewasa. Penyerapan air terbanyak terjadi di usus, kolon memekatkan isi usus pada

16
keadaan pada keadaan osmotik tinggi.kelainan yang menggangu usus cenderung
menyebabkan diare yang lebih banyak. Sedangkan kelainan yang terjadi di kolon
cenderung menyebabkan diare yang lebih sedikit. Disentri dengan volume sedikit dan
sering , tenesmus, rasa ingin buang air besar, dan tinja betrdarah adalah gejala utama
kolitis.
Dasar semua diare adalah gangguan transportasi larutan usus, perpindahan air melalui
membran usus berlangsung secara pasif dan ini di tentukan oleh aliran larutan secara aktif
maupun pasif terutama natrium dan klorida dan glukosa. Patomekanisme diare
kebanyakan dapat di jelaskan dari kelainan sekretorik, osmotik, motilitas, kombinasi dari
hal tersebut. Ada 3 prinsip mekanisme terjadinya diare cair sekretorik dan osmotik.
Infeksi usus dapat menyebabkan diare dengan 3 mekanisme tersebut. Diare sekretori lebih
sering terjadi dan keduanya dapat terjadi pada satu pasien.
Gangguan sekretorik disebabkan oleh sekresi air dan elektrolit kedalam usus halus.
Hal ini terjadi bila absorbsi natrium oleh villi gagal sedangkan sekresi klorida oleh sel
epitel berlangsung terus atau meningkat. Hasil akhirnya adalah sekresi cairan yang
mengakibatkan kehilangan cairan dan elektrolit dari tubuh sebagai tinja cair. Hali ini
menyebabkan terjadinya dehidrasi. Pada infeksi perubahan ini terjadi karena adanya
rangsangan pada mukosa usus oleh toxin bakteri seperti toxin Eschericia coli dan Vibrio
colera atau rotavirus.
Gangguan osmotik , mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air
dan elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus
dengan cairan ekstrasellular. Dalam keadaaan ini diare dapat terjadi apabila suatu bahan
yang secara osmotik aktif dan tidak dapat diserap. Jika bahan semacam itu berupa larutan
isotonik, air, dan bahan yang larut didalamnya akan lewat tanpa diabsorsi sehingga
terjadilah diare.
Gangguan motilitas usus, hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya
kesempatan usus untuk menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila
peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya
dapat timbul diare pula.
Sebagai akibat diare akan terjadi:

a. Kehilangan air dan elektrolit (terjadi dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan


keseimbangan asam basa (asidosis metabolik, hipokalemia)
b. Gangguan gizi bisa mengakibatkan penurunan berat badan dalam waktu yang singkat
oleh karena makanan sering dihentikan oleh orangtua karena takut diare/muntah
bertambah hebat. Walaupun susu diteruskan sering diencerkan dalam waktu yang

17
lama. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorpsi dengan baik
karena adanya hiperperistaltik
c. Gangguan sirkulasi darah akibat diare dengan/tanpa muntah-muntah dapat terjadi syok
hipovolemik. Hal ini menyebabkan perfusi jaringan berkurang dan dapat
menyebabkan hipoksi.

E. Manifestasi Klinis
Mula-mula anak cengeng, gelisah, suhu tubuh naik, nafsu makan berkurang kemudian
timbul diare. Tinja mungkin disertai lendir dan darah. Warna tinja makin lama berubah
kehijauan karena bercampur dengan, Daerah anus dan sekitarnya timbul luka lecet karena
sering deflkasi dan tinja yang asam akibat laktosa yang tidak diabsorbsi usus selama diare.
Gejala muntah dapat timbul sebelum atau selama diare dan dapat disebabkan karena
lambung turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit.
Bila kehilangan cairan terus berlangsung tanpa pergantian yang memadai gejala dehidrasi
mulai tampak yaitu : BB turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun cekung
(bayi), selaput lender bibir dan mulut, serta kulit kering. Bila berdasarkan terus berlanjut,
akan terjadi renjatan hypovolemik dengan gejala takikardi, denyut jantung menjadi cepat,
nadi lemah dan tidak teraba, tekanan daran turun, pasien tampak lemah dan kesadaran
menurun, karena kurang cairan, deuresis berkurang (oliguria-anuria). Bila terjadi asidosis
metabolik pasien akan tampak pucat, nafas cepat dan dalam (pernafasan kusmaul).

18
F. Derajat Dehidrasi
Derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan :

 Kehilangan BB
1. Dehidrasi ringan ; menurun BB 0 - 5%
2. Dehidrasi sedang : menurun BB 5 - 10%
3. Dehidrasi berat : menurun BB > 10%
PENILAIAN A B C

Lihat

Keadaan Umum Baik, sadar *Gelisah, rewel *Lesu,lunglai, tidak


sadar

Mata Normal Cekung Sangat cekung

Air Mata Ada Tidak ada Tidak ada

Mulut dan lidah Basah Kering Sangat kering

Rasa Haus Minum Biasa, Tidak *Haus ingin minum *Malas minum atau
haus banyak tidak bias minum

Periksa Turgor Kembali cepat *Kembali lambat *Kembali sangat


Kulit lambat

Derajat Dehidrasi TANPA DEHIDRASI DEHIDRASI


DEHIDRASI RINGAN SEDANG BERAT

Bila ada 1 tanda* + Bila ada 1 tanda* + 1


1 atau lebih tanda atau lebih tanda lain
lain

Terapi Rencana Terapi A Rencana terapi B Rencana C

G. Pemeriksaan Penunjang
 Feses  makroskopik (warna, konsistensi, darah(-/+), lendir (-/+) )
 Mikrokopik (leukosit, kista, telur cacing, )
 Darah (darah rutin, GDS, elektrolit.)

19
H. Diagnosis banding
 Diare Akut
 Diare Persisten
 Diare Kronik
 Disentri
I. Kriteria Diagnosis
Anamnesis

 Buang air besar lebih cair/ encer dari biasanya, frekuensi > 3 x / hari
 Dapat disertai darah (disentri)
 Dapat terjadi muntah , nyeri perut atau panas
Pemeriksaan fisik

 Tanda dan gejala tanpa dehidrasi atau,


 Tanda dan gejala dehidrasi ringan sedang atau,
 Tanda dan gejala dehidrasi berat dengan atau tanpa syok
 Dapat disertai atau tidak tanda dan gejala gangguan keseimbangan elektrolit dan atau
gangguan keseimbangan asam basa.
Laboratorium

 Feses : dapat disertai darah atau lender


PH asam  diare osmotic
Leukosit > 5 / LPB - disentri
 ELISA (bila memungkinkan untuk etiologi virus)
 Darah : Dapat terjadi gangguan elektrolit dan gangguan asam basa.

J. Komplikasi
 Dehidrasi (ringan, sedang, berat)
 Renjatan hipovolemik
 Hipokalemia/ dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, takikardia
 Hipoglikemi
 Kejang, yang biasanya disebabkan oleh hipogloikemik, hiponatremi, hipernatremia.
 Malnutrisi energi protein (muntah dan mual bila lama/ kronik)

20
K. Tatalaksana
Pengantian cairan dan elektrolit merupakan elemen yang penting dalam terapi efektif
diare akut. Beratnya dehidrasi secara akurat dinilai berdasarkan berat badan yang hilang
sebagai persentasi kehilangan total berat badan dibandingkan berat badan sebelumnya
sebagai baku emas.
Pemberian terapi cairan dapat dilakukan secara oral atau parateral. Pemberian secara
oral dapat dilakukan untuk dehidrasi ringan sampai sedang dapat menggunakan pipa
nasogastrik, walaupun pada dehidrasi ringan dan sedang. Bila diare profus dengan
pengeluaran air tinja yang banyak ( > 100 ml/kgBB/hari ) atau muntah hebat (severe
vomiting) sehingga penderita tak dapat minum sama sekali, atau kembung yang sangat
hebat (violent meteorism) sehingga upaya rehidrasi oral tetap akan terjadi defisit maka
dapat dilakukan rehidrasi parenteral walaupun sebenarnya rehidrasi parenteral dilakukan
hanya untuk dehidrasi berat dengan gangguan sirkulasi. Keuntungan upaya terapi oral
karena murah dan dapat diberikan dimana-mana. AAP merekomendasikan cairan
rehidrasi oral (ORS) untuk rehidrasi dengan kadar natrium berkisar antara 75-90 mEq/L
dan untuk pencegahan dan pemeliharaan dengan natrium antara 40-60mEq/L. Anak yang
diare dan tidak lagi dehidrasi harus dilanjutkan segera pemberian makanannya sesuai
umur.
Dehidrasi Ringan – Sedang
Rehidrasi pada dehidrasi ringan dan sedang dapat dilakukan dengan pemberian oral
sesuai dengan defisit yang terjadi namun jika gagal dapat diberikan secara intravena
sebanyak : 75 ml/kg bb/3jam. Pemberian cairan oral dapat dilakukan setelah anak dapat
minum sebanyak 5ml/kgbb/jam. Biasanya dapat dilakukan setelah 3-4 jam pada bayi dan
1-2 jam pada anak . Penggantian cairan bila masih ada diare atau muntah dapat diberikan
sebanyak 10ml/kgbb setiap diare atau muntah.
Secara ringkas kelompok Ahli gastroenterologi dunia memberikan 9 pilar yang perlu
diperhatikan dalam penatalaksanaan diare akut dehidrasi ringan sedang pada anak, yaitu :
1. Menggunakan CRO ( Cairan rehidrasi oral )
2. Cairan hipotonik
3. Rehidrasi oral cepat 3 – 4 jam
4. Realiminasi cepat dengan makanan normal
5. Tidak dibenarkan memberikan susu formula khusus
6. Tidak dibenarkan memberikan susu yang diencerkan
7. ASI diteruskan
8. Suplemen dnegan CRO ( CRO rumatan )

21
9. Anti diare tidak diperlukan
Dehidrasi Berat
Penderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk bayi dan anak
dan menunjukkan gangguan tanda-tanda vital tubuh ( somnolen-koma, pernafasan
Kussmaul, gangguan dinamik sirkulasi ) memerlukan pemberian cairan elektrolit
parenteral. Penggantian cairan parenteral menurut panduan WHO diberikan sebagai
berikut :
Usia <12 bln: 30ml/kgbb/1jam, selanjutnya 70ml/kgbb/5jam
Usia >12 bln: 30ml/kgbb/1/2-1jam, selanjutnya 70ml/kgbb/2-2½ jam
Walaupun pada diare terapi cairan parenteral tidak cukup bagi kebutuhan penderita
akan kalori, namun hal ini tidaklah menjadi masalah besar karena hanya menyangkut
waktu yang pendek. Apabila penderita telah kembali diberikan diet sebagaimana biasanya
. Segala kekurangan tubuh akan karbohidrat, lemak dan protein akan segera dapat
dipenuhi. Itulah sebabnya mengapa pada pemberian terapi cairan diusahakan agar
penderita bila memungkinkan cepat mendapatkan makanan / minuman sebagai biasanya
bahkan pada dehidrasi ringan sedang yang tidak memerlukan terapi cairan parenteral
makan dan minum tetap dapat dilanjutkan.
Pemilihan jenis cairan
Cairan Parenteral dibutuhkan terutama untuk dehidrasi berat dengan atau tanpa syok,
sehingga dapat mengembalikan dengan cepat volume darahnya, serta memperbaiki
renjatan hipovolemiknya. Cairan Ringer Laktat (RL) adalah cairan yang banyak
diperdagangkan dan mengandung konsentrasi natrium yang tepat serta cukup laktat yang
akan dimetabolisme menjadi bikarbonat. Namun demikian kosentrasi kaliumnya rendah
dan tidak mengandung glukosa untuk mencegah hipoglikemia. Cairan NaCL dengan atau
tanpa dekstrosa dapat dipakai, tetapi tidak mengandung elektrolit yang dibutuhkan dalam
jumlah yang cukup. Jenis cairan parenteral yang saat ini beredar dan dapat memenuhi
kebutuhan sebagai cairan pengganti diare dengan dehidrasi adalah Ka-EN 3B. Sejumlah
cairan rehidrasi oral dengan osmolaliti 210 – 268 mmol/1 dengan Na berkisar 50 – 75
mEg/L, memperlihatkan efikasi pada diare anak dengan kolera atau tanpa kolera.

22
Komposisi cairan Parenteral dan Oral :

Osmolalitas
Glukosa(g/L) Na+(mEq/L) CI-(mEq/L) K+(mEq/L) Basa(mEq/L)
(mOsm/L)

NaCl 0,9 % 308 - 154 154 - -

NaCl 0,45
428 50 77 77 - -
%+D5

NaCl
253 50 38,5 38,5 - -
0,225%+D5

Riger Laktat 273 - 130 109 4 Laktat 28

Ka-En 3B 290 27 50 50 20 Laktat 20

Ka-En 3B 264 38 30 28 8 Laktat 10

Standard WHO-
311 111 90 80 20 Citrat 10
ORS

Reduced
osmalarity 245 70 75 65 20 Citrat 10
WHO-ORS

EPSGAN
213 60 60 70 20 Citrat 3
recommendation

23
Komposisi elektrolit pada diare akut :

Komposisi rata-rata elektrolit


mmol/L
Macam

Na K Cl HCO3

Diare Kolera
140 13 104 44
Dewasa

Diare Kolera Balita 101 27 92 32

Diare Non Kolera


56 26 55 14
Balita

Mengobati kausa Diare


Tidak ada bukti klinis dari anti diare dan anti motilitis dari beberapa uji klinis.
Obat anti diare hanya simtomatis bukan spesifik untuk mengobati kausa, tidak
memperbaiki kehilangan air dan elektrolit serta menimbulkan efek samping yang tidak
diinginkan. Antibiotik yang tidak diserap usus seperti streptomisin, neomisin,
hidroksikuinolon dan sulfonamid dapat memperberat yang resisten dan menyebabkan
malabsorpsi. Sebagian besar kasus diare tidak memerlukan pengobatan dengan
antibiotika oleh karena pada umumnya sembuh sendiri (self limiting). Antibiotik
hanya diperlukan pada sebagian kecil penderita diare misalnya kholera shigella,
karena penyebab terbesar dari diare pada anak adalah virus (Rotavirus). Kecuali pada
bayi berusia di bawah 2 bulan karena potensi terjadinya sepsis oleh karena bakteri
mudah mengadakan translokasi kedalam sirkulasi, atau pada anak/bayi yang
menunjukkan secara klinis gajala yang berat serta berulang atau menunjukkan gejala
diare dengan darah dan lendir yang jelas atau segala sepsis. Anti motilitis seperti
difenosilat dan loperamid dapat menimbulkan paralisis obstruksi sehingga terjadi
bacterial overgrowth, gangguan absorpsi dan sirkulasi.
Beberapa antimikroba yang sering menjadi etiologi diare pada anak
Kolera :
 Tetrasiklin 50mg/kg/hari dibagi 4 dosis (2 hari)
 Furasolidon 5mg/kg/hari dibagi 4 dosis (3 hari)
Shigella :
 Trimetroprim 5-10mg/kg/hari

24
 Sulfametoksasol 25mg/kg/hari Diabgi 2 dosis (5 hari)
 Asam Nalidiksat : 55mg/kg/hari dibagi 4 (5 hari)
Amebiasis:
 Metronidasol 30mg/kg/hari dibari 4 dosis 9 5-10 hari)
 Untuk kasus berat : Dehidro emetin hidrokhlorida 1-1,5 mg/kg (maks 90mg) (im) s/d
5 hari tergantung reaksi (untuk semua umur)
Giardiasis :
 Metronidasol 15mg.kg/hari dibagi 4 dosis ( 5 hari )
Antisekretorik - Antidiare
Salazer–lindo E dari Department of Pedittrics, Hospital Nacional Cayetano Heredia,
Lima,Peru, melaporkan bahwa pemakaian Racecadotril (acetorphan) yang merupakan
enkephalinace inhibitor dengan efek anti sekretorik serta anti diare ternyata cukup
efektif dan aman bila diberikan pada anak dengan diare akut oleh karena tidak
mengganggu motilitas usus sehingga penderita tidak kembung .Bila diberikan
bersamaan dengan cairan rehidrasi oral akan memberikan hasil yang lebih baik bila
dibandingkan dengan hanya memberikan cairan rehidrasi oral saja .Hasil yang sama
juga didapatkan oleh Cojocaru dkk dan cejard dkk.untuk pemakaian yang lebih luas
masih memerlukan penelitian lebih lanjut yang bersifat multi senter dan melibatkan
sampel yang lebih besar.
Probiotik
Probiotik merupakan bakteri hidup yang mempunyai efek yang menguntungkan pada
host dengan cara meningkatkan kolonisasi bakteri probiotik didalam lumen saluran
cerna sehingga seluruh epitel mukosa usus telah diduduki oleh bakteri probiotik
melalui reseptor dalam sel epitel usus. Dengan mencermati penomena tersebut bakteri
probiotik dapat dipakai dengan cara untuk pencegahan dan pengobatn diare baik yang
disebabkan oleh Rotavirus maupun mikroorganisme lain, speudomembran colitis
maupun diare yang disebabkan oleh karena pemakaian antibiotika yang tidak rasional
rasional (antibiotik asociatek diarrhea ) dan travellers,s diarrhea.
Terdapat banyak laporan tentang penggunaan probiotik dalam tatalaksana diare akut
pada anak. Hasil meta analisa menyatakan lactobacillus aman dan efektif dalam
pengobatan diare akut infeksi pada anak, menurunkan lamanya diare kira-kira 2/3
lamanya diare, dan menurunkan frekuensi diare pada hari ke dua pemberian sebanyak
1 – 2 kali. Kemungkinan mekanisme efekprobiotik dalam pengobatan diare adalah :
Perubahan lingkungan mikro lumen usus, produksi bahan anti mikroba terhadap
beberapa patogen, kompetisi nutrien, mencegah adhesi patogen pada anterosit,

25
modifikasi toksin atau reseptor toksin, efektrofik pada mukosa usus dan imunno
modulasi.
Mikronutrien
Dasar pemikiran pengunaan mikronutrien dalam pengobatan diare akut didasarkan
kepada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna
dan terhadap proses perbaikan epitel seluran cerna selama diare. Seng telah dikenali
berperan di dalam metallo – enzymes, polyribosomes , selaput sel, dan fungsi sel, juga
berperan penting di dalam pertumbuhan sel dan fungsi kekebalan. Sazawal S dkk
melaporkan pada bayi dan anak lebih kecil dengan diare akut, suplementasi seng
secara klinis penting dalam menurunkan lama dan beratnya diare. Strand Menyatakan
efek pemberian seng tidak dipengaruhi atau meningkat bila diberikan bersama dengan
vit A. Pengobatan diare akut dengan vitamin A tidak memperlihatkan perbaikan baik
terhadap lamanya diare maupun frekuensi diare. Bhandari dkk mendapatkan
pemberian vitamin A 60mg dibanding dengan plasebo selama diare akut dapat
menurunkan beratnya episode dan risiko menjadi diare persisten pada anak yang tidak
mendapatkan ASI tapi tidak demikian pada yang mendapat ASI.
Mencegah / Menanggulangi Gangguan Gizi
Amatlah penting untuk tetap memberikan nutrisi yang cukup selama diare, terutama
pada anak dengan gizi yang kurang. Minuman dan makanan jangan dihentikan lebih
dari 24 jam, karena pulihnya mukosa usus tergantung dari nutrisi yang cukup.Bila
tidak makalah ini akan merupakan faktor yang memudahkan terjadinya diare kronik29
Pemberian kembali makanan atau minuman (refeeding) secara cepat sangatlah penting
bagi anak dengan gizi kurang yang mengalami diare akut dan hal ini akan mencegah
berkurangnya berat badan lebih lanjut dan mempercepat kesembuhan. Air susu ibu
dan susu formula serta makanan pada umumnya harus dilanjutkan pemberiannya
selama diare penelitian yang dilakukan oleh Lama more RA menunjukkan bahwa
suplemen nukleotida pada susu formula secara signifikan mengurangi lama dan
beratnya diare pada anak oleh karena nucleotide adalah bahan yang sangat diperlukan
untuk replikasi sel termasuk sel epitel usus dan sel imunokompeten. Pada anak lebih
besar makanan yang direkomendasikan meliputi tajin ( beras, kentang, mi, dan pisang)
dan gandum ( beras, gandum, dan cereal). Makanan yang harus dihindarkan adalah
makanan dengan kandungan tinggi, gula sederhana yang dapat memperburuk diare
seperti minuman kaleng dan sari buah apel. Juga makanan tinggi lemak yang sulit
ditoleransi karena karena menyebabkan lambatnya pengosongan lambung.

26
Pemberian susu rendah laktosa atau bebas laktosa diberikan pada penderita yang
menunjukkan gejala klinik dan laboratorium intoleransi laktosa. Intoleransi laktosa
berspektrum dari yang ringan sampai yang berat dan kebanyakan adalah tipe yang
ringan sehingga cukup memberikan formula susu biasanya diminum dengan
pengenceran oleh karena intoleransi laktosa ringan bersifat sementara dan dalam
waktu 2 – 3 hari akan sembuh terutama pada anak gizi yang baik. Namun bila terdapat
intoleransi laktosa yang berat dan berkepanjangan tetap diperlukan susu formula bebas
laktosa untuk waktu yang lebih lama. Untuk intoleransi laktosa ringan dan sedang
sebaiknya diberikan formula susu rendah laktosa. Sabagaimana halnya intoleransi
laktosa, maka intoleransi lemak pada diare akut sifatnya sementara dan biasanya tidak
terlalu berat sehingga tidak memerlukan formula khusus.Pada situasi yang
memerlukan banyak energi seperti pada fase penyembuhan diare, diet rendah lemak
justru dapat memperburuk keadaan malnutrisi dan dapat menimbulkan diare kronik
Menanggulangi Penyakit Penyerta
Anak yang menderita diare mungkin juga disertai dengan penyakit lain. Sehingga
dalam menangani diarenya juga perlu diperhatikan penyakit penyerta yang ada.
Beberapa penyakit penyerta yang sering terjadi bersamaan dengan diare antara lain :
infeksi saluran nafas, infeksi susunan saraf pusat, infeksi saluran kemih, infeksi
sistemik lain (sepsis,campak ), kurang gizi, penyakit jantung dan penyakit ginjal.

2. Bronkopneumonia
A. Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru; peradangan pada paru
dimana proses peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang
berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal. Walaupun
banyak pihak yang sependapat bahwa pneumonia adalah suatu keadaan inflamasi, namun
sangat sulit untuk merumuskan satu definisi tunggal yang universal. Pneumonia adalah
sindrom klinis, sehingga didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, dan perjalanan
penyakitnya. Salah satu definisi klinis klasik menyatakan pneumonia adalah penyakit
respiratorik yang ditandai dengan batuk, sesak napas, demam, ronki basah, dengan
gambaran infiltrat pada foto rontgen toraks. Dikenal istilah lain yang mirip yaitu
pneumonitis yang maksudnya lebih kurang sama. Banyak yang menganut pengertian
bahwa pneumonia adalah inflamasi paru karena proses infeksi sedangkan pneumonitis
adalah inflamasi paru non-infeksi. Namun hal ini pun tidak sepenuhnya ditaati oleh para
ahli.

27
B. Epidemiologi

Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan


kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru
praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di
masyarakat (PK) atau di dalam rumah sakit/pusat perawatan (pneumonia
nosokomial/PN).

Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang
sudah maju. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian
tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut
termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika
adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian
akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian utama akibat
infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di
Amerika adalah 10%. Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab
pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan
memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan
pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada
pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotik secara empiris.

C. Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,
dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa
ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi
terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan.
a. Berdasarkan lokasi lesi di paru
Pneumonia lobaris
Pneumonia lobularis
Pneumonia intersitialis

28
b. Berdasarkan asal infeksi
Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired
pneumonia)
Pneumonia yang didapat dari Rumah Sakit (hospital based pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
Pneumonia bakteri
Pneumonia virus
Pneumonia mikoplasma
Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit pneumonia
Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit
Pneumonia akut
Pneumonia persisten

Klasifikasi berdasarkan Lingkungan dan Pejamu


Tipe Klinis Epidemiologi
Pneumonia Komunitas Sporadis atau endemis; orang tua atau orang
muda
Pneumonia Nosokomial Didahului perawatan di RS
Pneumonia Rekurens Terdapat dasar penyakit paru kronik
Pneumonia Aspirasi Alkoholik, usia tua
Pneumonia pada gangguan Pasien transplantasi, onkologi, AIDS
imun

29
D. Etiologi
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus
merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen
penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung :

a. Usia
b. Status imunologis
c. Status lingkungan
d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
e. Status imunisasi
f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi)
Usia pasien mrupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam sprectrum etiologi, gambaran klinis dan
strategi pengobatan.

Berikut daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang
bersumber dari data di negara maju :
Usia Etiologi tersering Etiologi terjarang
Lahir – 20 hari Bakteri : E.colli, Bakteri : Bkateri anaerob,
Streptococcus grup B, Streptococcus grup D,
Listeria monocytogenes Haemophilus influenza,
Streptococcus pneumoniae

Virus : CMV, HMV


3 minggu – 3 Bakteri : Clamydia Bakteri : Bordetella
bulan trachomatis, Streptococcus pertusis, Haemophilus
pneumoniae influenza tipe B, Moraxella
catharalis, Staphylococcus
Virus : Adenovirus,
aureus
Influenza, Parainfluenza 1,
2, 3 Virus : CMV
4 bulan – 5 tahun Bakteri : Clamydia Bakteri : Haemophilus

30
pneumoniae, Mycoplasma influenza tipe B, Moraxella
pneumoniae, Streptococcus catharalis, Staphylococcus
pneumoniae aureus, Neisseria
meningitidis
Virus : Adenovirus,
Rinovirus, Influenza, Virus : Varicela zoster
Parainfluenza
5 tahun - remaja Bakteri : Clamydia Bakteri : Haemophilus
pneumoniae, Mycoplasma influenza, Legionella sp.
pneumoniae

E. Patogenesis

Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru dimana beberapa


atau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis pneumonia
yang umum adalah pneumonia bakterialis yang paling sering disebabkan oleh
pneumokokus. Penyakit ini dimulai dengan infeksi dalam alveoli, membran
paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang sehingga cairan dan
bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk kedalam
alveoli. Dengan demikian, alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi
terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan
bakteri dari alveolus ke alveolus.

Dalam keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring


sampai parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril
oleh mekanisme pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A,
dan batuk. Mekanisme pertahanan imunologik yang membatasi invasi
mikroorganisme patogen adalah makrofag yang terdapat di alveolus dan
bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobunlin lain.

31
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer
melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan
yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya.
Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel
PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli.
Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin
semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi
proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu.
Berikutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, dimana sel akan
mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium
ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak
terkena akan tetap normal.

Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang


jalan napas atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius, menyebabkan
obstruksi jalan napas akibat bengkak, sekresi abnormal, dan debris seluler.
Diameter jalan napas yang kecil pada bayi menyebabkan bayi rentan terhadap
infeksi berat. Atelektasis, edema intersitial, dan ventilation-perfusition
mismatch menyebabkan hipoksemia yang sering disertai obstruksi jalan napas.
Infeksi viral pada traktus respiratorius juga dapat meningkatkan risiko
terhadap infeksi bekteri sekunder dengan mengganggu mekanisme pertahanan
normal pejamu, mengubah sekresi normal, dan memodifikasi flora bakterial.

Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik


bervariasi tergantung organisme yang menginvasi. M. penumoniae menempel
pada epitel respiratorius, menghambat kerja silier, dan menyebabkan destruksi
seluler dan memicu respons inflamasi di submukosa. Ketika infeksi berlanjut,
debris seluler yang terlepas, sel-sel inflamasi, dan mukus menyebabkan
onstruksi jalan napas, dengan penyebaran infeksi terjadi di sepanjang cabang-
cabang bronkial, seperti pada pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan
edema lokal yang membantu proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya

32
ke bagian paru lain, biasanya menghasilkan karakteristik sebagai bercak-
bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru.

Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan


infeksi yang lebih difus dengan pneumonia intersitial. Pneumonia lobar tidak
lazim. Lesi terdiri atas nekrosis mukosa trakeobronkial dengan pembentukan
ulkus yang compang-camping dan sejumlah besar eksudat, edema, dan
perdarahan terlokalisasi. Proses ini dapat meluas ke sekat interalveolar dan
melibatkan fasa limfatika. Pneumonia yang disebabkan S.aureus adalah berat
dan infeksi dengan cepat menjadi jelek yang disertai dengan morbiditas yang
lama dan mortalitas yang tinggi, kecuali bila diobati lebih awal. Stafilokokus
menyebabkan penggabungan bronkopneumoni yang sering unilateral atau
lebih mencolok pada sati sisi ditandai adanya daerah nekrosis perdarahan yang
luas dan kaverna tidak teratur.

F. Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung dari kuman
penyebab, usia pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit.
Manifestasi klinis biasanya berat yaitu sesak, sianosis, tetapi dapat juga
gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala dan tanda
pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (nonspesifik), gejala
pulmonal, pleural, atau ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik meliputi demam,
menggigil, sefalgia, resah dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami
gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau sakit perut.
Gejala pada paru timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung.
Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala napas cuping
hidung, takipnu, dispnu, dan timbul apnu. Otot bantu napas interkostal dan
abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar,
tapi pada neonatus bisa tanpa batuk.
Frekuensi napas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui
beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan

33
memantau tata laksana pneumonia. Pengukuran frekuensi napas dilakukan
dalam keadaan anak tenang atau tidur. Tim WHO telah merekomendasikan
untuk menghitung frekuensi napas pada setiap anak dengan batuk. Dengan
adanya batuk, frekuensi napas yang lebih dari normal serta adanya tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO menetapkan
sebagai pneumonia (di lapangan), dan harus memerlukan perawatan dengan
pemberian antibiotik. Perkusi toraks pada anak tidak mempunyai nilai
diagnostik karena umumnya kelainan patologinya menyebar; suara redup pada
perkusi biasanya karena adanya efusi pleura.
Suara napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi
basah halus yang khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar
pada bayi. Pada bayi dan balita kecil karena kecilnya volume toraks biasanya
suara napas saling berbaur, dan sulit untuk diidentifikasi.
Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan
pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa
pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik,
leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis.
Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh
kasus.

 Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil


Pneumonia ini sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak yang
berhubungan dengan proses persalinan, misalnya melalui aspirasi mekonium,
cairan amnion, dari serviks ibu, atau berasal dari kontaminasi dengan sumber
infeksi dari RS. infeksi juga dapat terjadi karena kontaminasi dari
komunitasnya. Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
tidak khas, mencakup serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping
hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak, mau minum, takikardi atau
bradikardi, retraksi subkosta dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi
hipotermi. Keadaan ini sering sulit dibedakan dengan keadaan sepsis dan
meningitis.

34
 Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar
Gejala klinis yang timbul pada pneumonia yang terjadi pada balita dan
anak yang lebih besar meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala,
anoreksia, dan kadang-kadang keluhan gastrointestinal (muntah dan diare).
Secara klinis gejala respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta (chest
indrwaing), napas cuping hidung, ronki, dan sianosis. Penyakit ini sering
ditemukan bersama konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan laringitis.
Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit
dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada
infiltrat alveoler. Bila terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi
dada tertinggal di daerah efusi. Gerakan dada juga terganggu bila terdapat
nyeri dada akibat iritasi pleura. Bila efusi bertambah, sesak napas akan
semakin bertambah, tetapi nyeri pleura akan semakin berkurang dan
berubah menjadi nyeri tumpul.
Kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah
yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri ini dapat menyebar ke kuadran
kanan bawah dan menyerupai appendisitis. Abdomen mengalami distensi
akibat dilatasi lambung yang disebabkan oleh aerografi atau ileus paralitik.
Hati akan teraba bila tertekan oleh diafragma, atau memang membesar
karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai akibat komplikasi
pneumonia.
 Pneumonia atipik
Mikroorganisme penyebab adalah Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia
spp, Legionnela pneumofilia, dan Ureaplasma urealyticum. Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab potensial
infeksi respiratori dan pneumonia pada anak, terutama pada anak usia
sekolah dan remaja. Chlamydia trachomatis sering ditemukan sebagai
penyebab infeksi akut respiratori pada bayi melalui transmisi vertikal
(proses kersalinan) dan merupakan etiologi infeksi perinatal yang penting.
Legionnela pneumofilia, dan Ureaplasma urealyticum jarang dilaporkan
menyebabkan ifeksi pada anak

35
- Infeksi oleh Mycoplasma pneuoniae

Infeksi diperoleh melalui droplet dari kontak dekat (di asrama, keluarga
dengan jumlah anggota keluarga yang sangat banyak). Masa inkubasi
lebih kurang 3 minggu. Gambaran klinis pneumonia atipik didahului
dengan gejala menyerupai influenza (influenza like flu syndrome) seperti
demam (jarang lebih dari 380C), malaise, sakit kepala, mialgia,
tenggorokan gatal dan batuk. Kadang-kadang dapat sembuh sendiri,
tetapi kasus berat seperti severe necrotizing pneumonitis dengan
konsolidasi luas pada jaringan paru dan efusi pleura pernah dilaporkan.
Kadang dapat berlanjut menjadi bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia.
Batuk terjadi 3-5 hari setelah awitan penyakit, awalnya tidak produktif
tetapi kemudian menjadi produktif. Sputum mungkin berbercak darah
dan batuk dapat menetap hingga berminggu-minggu. Mengi dapat
ditemukan pada 30-40% kasus pneumonia mikoplasma dan lebih sering
ditemukan pada anak yang lebih besar. Kultur bakteri memerlukan
waktu 2 minggu dan uji serolig hanya bermanfaat bila telah terjadi
pembentukan antibodi (ketika penyakit telah sangat berkembang).
Gambaran foto rontgennya sangat bervariasi, meliputi gambaran infiltrat
intersisial, retikuler, retikulonoduler, bercak konsolidasi, pembesaran
kelenjar hilus, dan kadang-kadang disertai efusi pleura.

- Infeksi oleh Chlamydia penumoniae

Gejala klinis awalnya berupa gejala seperti flu, yaitu batuk kering,
mialgia, sakit kepala, malaise, pilek, dan demam yang tidak tinggi. Pada
pemeriksaan auskultasi dada tidak ditemukan kelainan. Gejala respiratori
umunya tidak mencolok. Leukosit darah tepi biasanya normal.
Gambaran foto rontgen toraks menunjukan infiltrat difus atau gambaran
peribronkial nonfokal yang jauh lebih berat daripada gejala klinis.
Pneumonia Klamidia lebih sering ditemukan di daerah tropis, bersifat

36
endemik, dan epidemik dengan interval 3-4 tahun. Infeksi Klamidia juga
dapat berperan dalam patogenesis asma.

G. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Perifer Lengkap

Pada pneumoia virus dan juga mikoplasma umumnya ditemukan leukosit


dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia
bakteri didapatkan leukositosis ( 15.000 – 40.000/mm3 ). Dengan prdominan
PMN. Leukopenia ( < 5000/mm3 ) menunjukkan prognosis yang buruk.
Pada infeksi Chlamydia kadang – kadang ditemukan eosinofilia. Pada efusi
pleura didapatkan sel PMN pada cairan eksudat berkisar 300-100.000/mm3,
protein > 2,5 g/dl, dan glukosa relatigf lebih rendah daripada glukosa darah.
Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan LED yang meningkat. Secara
umum hasil peneriksaan darah perifer lengkap tidak dapat membedakan
antara infeksi virus dan bakteri secara pasti.

b. C-Reaktif Protein (CRP)

CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit.
Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat
distimulasi oleh sitokin, terutama IL-6, IL-1 da TNF. Meskipun fungsi
pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi
mikroorganisme atau sel rusak.

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan


antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi
superfisialis atau profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi
virus atau infeksi superfisialis daripada profunda.

37
c. Uji Serologis

Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara umum, uji
serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik,
namun bakteri atipik seperti Mycoplasma dan chlamydia tampak
peningkatan anibodi IgM dan IgG.

d. Pemeriksaan Mikrobiologis

Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap


tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, punksi pleura atau
aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dari
darah, cairan pleura, atau aspirasi paru.

Kultur darah jarang positif pada infeksi Mycoplasma dan Chlamydia.

e. Pemeriksaan Rontgen Thorax

Secara umum gambaran oto thoraks terdiri dari :

 Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan


bronkovaskuler, peribronchial cuffing dan hiperaerasi.
 Infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus ( pneumonia
lobaris ), atau terlihat sebagai lei tunggal yang biasanya cukup besar,
berbentuk sferis, batas tidak terlalu tegas, menyerupai lesi tumor paru,
dikenal sebagai round pneumonia.
 Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru, berupa bercak – bercak infiltrat yang meluas hingga ke daerah
perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

38
Gambaran radiologis pneumonia meliputi infiltrat ringan pada satu paru
hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada satu penelitian, ditemukan
bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan, terutama
di lobus atas. Bila ditemukan di pru kiri dan terbanyak di olbus bawah, hal
itu merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan resiko
terjadinya pleuritis lebih besar.

H. Diagnosis
Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan / atau
serologis merupakan dasar terpi yang optimal. Akan tetapi penemuan bakteri
penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorim yang memadai.
Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih
dari satu gejala respiratori sebagai berikut : takipnea, batuk, nafas cuping
hidung, rtraksi, ronki dan suara nafas melemah serta didukung oleh gambaran
radiologis.
Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita,
maka dalam upaya peanggulangannya WHO mengembangkan pedoman
diagnosis dan tatalaksana pneumonia yang sederhana.
Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut.

 Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun


o Pneumonia sangat berat

 Tidak dapat minum/makan


 Kejang
 Letargis
 Malnutrisi

o Pneumonia berat

 Bila ada sesak nafas, ada retraksi


 Harus dirawat dan diberikan antibiotik

39
o Pneumonia

 Bila tidak ada sesak nafas


 Ada nafas cepat dengan laju nafas

 > 50 x / menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun


 > 40 x / menit untuk anak usia >1-5 tahun

 Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral

o Bukan pneumonia

 Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas


 Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan
pengobatan simptomatis seperti penurun panas.

 Bayi berusia dibawah 2 bulan


o Pneumonia sangat berat

 Tidak mau menetek/minum


 Kejang
 Letargis
 Demam atau hipotermi
 Bradipnea atau pernapasan ireguler

o Pneumonia harus dirawat dan diberikan antibiotik

 Bila ada nafas cepat ( > 60 x / menit ) atau sesak nafas


 Retraksi
 Harus dirawat dan diberikan antibiotik

o Bukan pneumonia

 Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas

40
 Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis

I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi empiema torasis (komplikasi
tersering oleh pneumonia bakteri), perikarditis purulenta, pneumotoraks, atau
infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Miokarditis (tekanan
sistolik ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase juga meningkat, dan gagal
jantung) juga dilaporkan cukup tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24
bulan.

J. Penatalaksanaan
Sebagian pneumoni pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
trutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya toksis,disters
pernafasan, tidak mau makan atau minum, atau ada penyakit dasaryang lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan
antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi
pemeberin cairan intravena, oksigen, koreksi terhadap gangguan asa basa,
elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik
/antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan
pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan
pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri.

a. Pneumonia Rawat Jalan


Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Dosis amoksisilin yang
diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah
4mg/kgBB TMP-20 mg/kgBB sulfametoksazol.

41
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru dapat digunakan
sebagai terapi alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia,
dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S.pneumonia dan
bakteri atipik. Dosis eritromisin 30-50 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6
jam selama 10-14 hari. Klaritromisin diberikan 2 kali sehari dengan dosis
15 mg/kgBB. Azitromisin 1 kali sehari 10mg/kgBB 3-5 hari (hari
pertama) dilanjutkan dengan dosis 5mg/kgBB untuk hari berikutnya.
b. Pneumonia Rawat Inap
Pada pneumonia rawat inap antibiotik yang diberikan adalah beta laktam,
ampisilin atau amoksisislin dikombinasikan degan kloramfenikol.
Antibiotik yang diberikan berupa : Penisilin G intrvena ( 25.000 U/kgBB
setiap 4 jam ) dan kloramfenikol ( 15 mg/kgBB setiap 6 jam ), dan
seftriaxon intravena ( 50 mg/kgBB setiap 12 jam ). Keduanya diberikan
selama 10 hari.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliagman: Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Vol2 Jakarta
2000.
2. Budiarso, Aswita.dkk. Pendidikan Medik Pembatasan Diare Buku Ajar Diare
Pegangan Mahasiswa . Jakarta: Departement Kesehatan R.I PPM & PLP.
1999.
3. Depatemen Kesehatan. Diare Pada Anak . 2006. www.depkes.go.id.
4. Ganna, Herry. Melinda, Heda. Ilmu Kesehatan Anak Pedoman Diagnosis dan
Terapi. Edisi 3. Bandung : 2005.
5. Gsianturi. Probiotik dan Prebiotik untuk Kesehatan. 2002. www.gizinet.com.
6. Rampengan TH, Laurentz IR.. Penyakit infeksi tropik pada anak. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC 1993,
7. Putra, Sanjaya. Suraatmaja, Sudaryat. Dkk. Effect of probiotics
supplementation on acute diarrhea in infants: a randomized double blind
clinical trial. Paediatrica Indonesiana, Vol. 47, No. 4, July 2007
8. Supriyatno B. Infeksi Respiratori Akut pada Anak. September 2006. Diunduh
dari : Sari Pediatri, Vol.8, No.2. h.100-6
9. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC.
Jakarta : 1997. Hal 633.
10. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta: 1999. hal: 695-705.
11. Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Ikatan Dokter
Anaka Indonesia. Jakarta: 2008.h.350-64.
12. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia. Bandung: 2005.

43

Anda mungkin juga menyukai