Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

REAKSI TIPE 1 MORBUS HANSEN

Penyusun:
Auditya Widyasari (1102013047)

Pembimbing:
dr. Evy Aryanti, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD KABUPATEN BEKASI
PERIODE 10 SEPTEMBER 2018 - 13 OKTOBER 2018
BAB I
LAPORAN
KASUS
IDENTITAS PASIEN

• Nama : Tn. AF
• Umur : 35 Tahun
• Alamat : Setu, Cibitung, Bekasi
• Jenis Kelamin : Laki-laki
• Pekerjaan : Wiraswasta
• Tanggal Kunjungan : 17 September 2018
• Tempat : RSUD Kabupaten
Bekasi
ANAMNESIS

KELUHAN UTAMA
• Timbul benjolan merah pada lengan sejak
2 hari yang lalu
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

■ Tn AF usia 35 tahun datang ke poli kulit


RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan
timbul benjolan pada merah di lengan
sejak 2 hari yang lalu.
■ Sebelumnya pasien juga merasakan
benjolan itu di bagian punggung dan paha
kirinya namun sudah mulai mengempes
seminggu yang lalu. Benjolan dirasa hilang
timbul dan datangnya tiba-tiba.
■ Pasien juga mengeluhkan demam yang timbul
bersamaan dengan keluhan benjolannya.
Keluhan juga disertai dengan rasa lemas
terutama bila gejala demam dan benjolan
sedang muncul.
■ Pasien mengatakan keluhan demam dan
benjolannya lama-kelamaan menghilang bila
dia meminum Paracetamol, Metilprednisolon
dan Ofloxacin, pasien tidak mengingat dosis
yang ia minum.
■ Pasien sedang menjalani pengobatan MDT
dari kusta yang dideritanya sekitar 16 bulan
yang lalu.
■ Pasien sempat terlepas dari pengobatan
kusta yang telah dijalani selama 12 bulan di
Puskesmas Setu dari Mei 2017 sampai April
2018, namun pasien kembali memeriksakan
diri di RS Sitanala untuk mengecek ulang bila
dirinya perlu kembali melanjutkan
pengobatan.
■ Pasien kembali melakukan pengobatan Kusta
yang telah dijalaninya hingga saat ini yaitu 4
bulan.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
•Pasien pernah merasakan gejala ini sebelumnya saat
masih menjalani pengobatan 12 bulan pertama selama 2
kali.
RIWAYAT PENGOBATAN
•Sudah diobati sebelumnya di puskesmas selama 12
bulan dari Mei 2017 – April 2018 dan berhenti, kemudian
dilanjutkan kembali sudah selama 4 bulan.
RIWAYAT ALERGI
•Pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan maupun
obat
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
•Keluarga pasien tidak ada yang memiliki kelainan kulit
yang serupa dan kelainan kulit yang lain.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis :
– Kesadaran : Compos Mentis
– Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
– Tanda Vital:
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 84 x/ menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36,6 ºC
Kepala : Normocephal
Leher : Pembesaran KGB (-)
Mata : Dalam batas normal, Konjungtiva anemis
(-/-), Sklera ikterik (-/-)
Thoraks:
Jantung : Tidak dilakukan.
Paru : Tidak dilakukan.
Abdomen : dalam batas normal
Ekstemitas : Akral hangat, edema (-), deformitas (-)
PEMERIKSAAN DERMATOLOGIS

Gambar 1. Regio Antebrachii Dextra et Sinistra: terdapat


Nodul erythematous, multiple, berdiameter 4 cm, nyeri
pada penekanan dan teraba panas, disertai dengan Xerosis
PEMERIKSAAN DERMATOLOGIS

Gambar 2. Regio Thoraks, Dorsum, Femur Sinistra : Nodul


erithematous, Multiple, berbatas tegas dengan diameter bervariasi 2-5
cm, nyeri pada penekanan.
Pemeriksaan Sensorik dan Motorik
Pemeriksaan Sensorik dan Motorik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan KOH 10%: Pemeriksaan BTA Kulit:
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
DIAGNOSIS KERJA

Reaksi Morbus Hansen Tipe 1

DIAGNOSIS BANDING

Eritema Nodusum
PENATALAKSANAAN
■ Pengobatan Bulanan : Hari ■ Satu blister untuk 1 bulan.
pertama (obat diminum di Dibutuhkan 12 blister yang
depan petugas) diminum selama 12-18
bulan.
■ 2 kapsul Rifampisin @
300mg (600mg) ■ Metilprednisolon 3 x 8 mg
■ 3 tablet Klofazimin @100mg ■ Paracetamol 3 x 500 mg
(300mg)
■ Zinc 2 x 20 mg
■ 1 tablet Dapson/DDS
■ Mecobalamine 2 x 500 μg
100mg
■ Carmed Lotion 2 x 1 ue
■ Pengobatan harian : Hari ke
2-28 ■ Ranitidine 2 x 150 mg
– 1 tablet Lamperen 50mg
– 1 tablet Dapson/DDS
100mg
EDUKASI
■ 1. Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang pentingnya
keteraturan pengobatan dan menyelesaikannya sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan.
■ 2. Memberikan edukasi mengenai tanda dan gejala awal reaksi
kusta serta neuritis.
■ 3. Mengenal tanda dan gejala awal sugestif penyakit kusta.
■ 4. Pasien dengan risiko tinggi mengalami reaksi kusta harus
diperiksa secara berkala, minimal sebulan sekali.
■ 5. Memulai terapi reaksi sedini mungkin.
Prognosis

Quo Ad Vitam:
Dubia ad Bonam

Quo Ad Functionam:
dubia ad bonam sampai
dubia ad malam

Quo Ad Sanationam:dubia
ad bonam sampai dubia
ad malam
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
■ Reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan
kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi
kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen
antibody (humoral response) yang merugikan
penderita, terutama jika mengenai saraf tepi karena
menyebabkan gangguan fungsi (cacat).

■ Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi


terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.
Faktor Pencetus
■ Berbagai faktor pencetus yang dianggap
sering mendahului timbulnya reaksi kusta
antara lain:
– Setelah pengobatan anti kusta yang intensif
– Infeksi rekuren
– Pembedahan
– Stress fisik
– Imunisasi
– Kehamilan
– Saat-saat setelah melahirkan
Klasifikasi
■ Reaksi kusta tipe 1 disebabkan oleh hipersensitivitas selular
(reaksi reversal upgrading)

■ Reaksi kusta tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas


humoral (ENL/eritema nodusum leprosum)

■ Fenomena lucio atau reaksi kusta tipe 3,


sebenarnya merupakan bentuk yang lebih berat.
Reaksi Tipe 1

■ Menurut Jopling reaksi kusta tipe I merupakan delayed


hypersensitivity reaction seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe
IV.
■ Reaksi Down Grading oleh karena. imunitas penderita menurun, sehingga
proliferasi bakteri >>, timbul lesi-lesi baru.
■ Reaksi Up Grading oleh karena peningkatan imunitas penderita, sehingga
lesi yang tenang  meradang akut

Gejala:
Kelainan kulit bertambah dengan atau
tanpa ringan/berat
Reaksi Tipe 2
Atau Eritema Nodosum Leprosum/ ENL)
Sering timbul pada tipe multibasiler (BL-LL), disini imunitas
humoral menurun, sehingga terjadi reaksi dengan antigen
yang banyak dilepas serta mengaktifkan sistem komplemen
 kompleks imun
Gejala:
 Malaise, mialgia, demam sampai menggigil
Infiltrat bertambah  nodulus/ nodus
eritematosus berkelompok + nyeri tekan
terutama di muka, punggung, dada
 Iritis, neuritis, arthritis, pleuritis, nefritis, orchitis
Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan 2
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat
yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus.
Gambaran Klinis :
■ Plak atau infiltrate difus, berwarna merah muda, bentuk
tidak teratur dan terasa nyeri.
■ Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai
purpur, bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis
serta ulserasi yang nyeri.
Terapi
Terapi reaksi kusta ringan
Non medikamentosa
■ Istirahat, imobilisasi dan berobat jalan.

Medikamentosa
■ Aspirin  mengatasi nyeri dan anti radang, 600-1200 mg
diberikan setiap 4 jam
■ Klorokuin  kombinasi aspirin dan klorokuin lebih baik khasiatnya
dibandingkan pemberian tunggal, 3 kali 150 mg/hari
■ Antimon  digunakan pada reaksi tipe 2 yang ringan untuk
mengatasi rasa nyeri sendi-sendi dan tulang dosis 2-3 ml diberikan
selang-seling
■ Talidomid  obat ini digunakan pada reaksi tipe 2 agar dapat
melepaskan ketergantungan terhadap kortikosteroid
Terapi
■ Terapi reaksi kusta berat
■ Jika terjadi reaksi kusta dapat diberikan prednison
30 – 60 mg/hari serta pemberian obat simtomatis,
lalu diturunkan. Pedoman terapi adalah:
– Terapi standar untuk pasien PB dengan reaksi
kusta
Terapi
■ Terapi standar pasien MB dengan reaksi
kusta.
■ Pada reaksi tipe 2 dapat ditambah dengan
Klofazimin 300 mg/hari selama 1 bulan, 200
mg/hari selama 3-6 bulan selanjutnya 100 mg/hari
sampai gejala menghilang.
Daftar Pustaka
■ Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick.
Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology
7th ed. USA: McGraw-Hill. 2007. P 665-671
■ Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill
2008. P 17889-1796
■ A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih
Menaldi. Kusta. Dalam: Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI. 2007; 73-88.
■ Kementrian Kesehatan RI. 2012. Pedoman nasional program
pengendalian penyakit kusta. Jakarta: Bakti Husada.
■ Widaty S, et al. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter
Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI.
p 80
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai