Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PATOFISIOLOGI

KELAINAN PADA SYSTEM ENDOKRIN

GANGGUAN TIROID

Dosen Pengampu :

Apt. Nur Fahma Laili, M.Farm

Disusun oleh :

1. Sania Salwa Sayda 202206050316


2. Nadya Amelya 202206050323
3. Riska Alfina 202206050312
4. Ghiffary Rambu Kurniahani 202206050310
5. Ika Nur Anisa 202206050321
6. Amanda Putri 202206050320
7. Dioga Arly 202206050312

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS KADIRI

PRODI S1 FARMASI

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya,
sehingga tim penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas dengan judul “Gangguan
Thyroid” pada akhirnya dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas Ibu Apt. Nur Fahma Laili, M.Farm. pada mata kuliah Patofisiologi.
Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca tentang gangguan thyroid.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Apt. Nur


Fahma Laili, M.Farm selaku dosen mata kuliah Patofisiologi. Tugas yang telah
diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni
penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu proses penyusunan makalah ini. Terutama kepada seluruh anggota
kelompok yang bekerjasama dengan baik.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Kediri, 15 Oktober 2023

2
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3

BAB I ......................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ............................................................................................................ 4

B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 4

C. Tujuan.......................................................................................................................... 5

BAB II........................................................................................................................................ 6

PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 6

A. Pengertian Kelenjar Tiroid .......................................................................................... 6

B. Uji Diagnosa dan Penatalaksanaan Disfungsi Tiroid .................................................. 6

C. Anatomi Tiroid ............................................................................................................ 9

D. Patofisiologi Tiroid ................................................................................................... 10

E. Epidemiologi Tiroid .................................................................................................. 11

F. Gangguan Tiroid ........................................................................................................... 12

G. Pengobatan Penyakit Tiroid ...................................................................................... 17

H. Pencegahan pada Gangguan Tiroid ........................................................................... 17

BAB III .................................................................................................................................... 21

PENUTUP................................................................................................................................ 21

A. Kesimpulan................................................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 22

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tiroid lazim dikenal sebagai kelenjar gondok (thyroid gland). Letaknya di leher
bagian depan, tepatnya di bawah jakun. Kelenjar kecil ini biasanya tidak kelihatan,
sehingga sering dilupakan orang. Kita hanya memperha- tikan leher yang indah,
jakun yang bagus, atau pipi yang mulus, tanpa menyadari ada peran besar dari
kelenjar kecil ini. Sampai ketika timbul benjolan, gangguan hor- mon, atau terjadi
komplikasi, barulah tiroid ini menarik perhatian.

Kebanyakan orang tidak tertarik pada urusan tiroid. Mereka lebih suka bercerita
tentang diabetes atau meng- ikuti seminar mengenai jantung dan stroke. Padahal,
jika dicermati, satu dari sepuluh orang ternyata memiliki ben- jolan di leher.
Bahkan, dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG), kemungkinan timbul
pembesaran tiroid naik dua kali lipat (satu perlima). Di Amerika Serikat dengan
jum- lah penduduk lebih dari 275 juta, diperkirakan ada 27 juta orang yang
mengidap berbagai kelainan kelenjar ti- roid. Lebih dari separuh di antaranya
ternyata tidak tahu mengenai penyakit tiroid yang mereka derita, Ang- ka statistik
tentang tiroid di negara kita tidak ada, dan tentunya lebih banyak lagi pasien tiroid
yang tidak tahu dan membiarkan penyakitnya berlangsung begitu saja.
Sebenarnya gangguan hormon tiroid juga berisiko me- nimbulkan diabetes dan
penyakit jantung. Jadi, memiliki tiroid yang sehat penting untuk kita, bagi kesehatan
dan kebahagiaan kita. Tiroid yang sehat membuat kita bertum- buh dengan normal,
beraktivitas dengan baik, bisa hamil dan melahirkan bayi yang sehat. Sebaliknya,
gangguan hormon tiroid akan memberi dampak yang besar, semua sel dan organ
tubuh akan terimbas olehnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Tiroid?
2. Sebutkan faktor risiko dari Tiroid?
3. Sebutkan gejala – gejala terjadinya gaungguan Tiroid!
4. Jelaskan gangguan – gangguan pada Tiroid?
5. Bagaimana diagnosa pada gangguan Tiroid?

4
6. Bagaimana pengobatan gangguan Tiroid?
7. Bagaimana pencegahan dari gangguan Tiroid?

C. Tujuan
1. Memahami apa yang dimaksud dengan Tiroid.
2. Memahami faktor risiko dari Tiroid.
3. Mengetahui gejala – gejala terjadinya gangguan Tiroid.
4. Memahami gangguan – gangguan pada Tiroid.
5. Memahami diagnosa pada gangguan Tiroid.
6. Mengetahui pengobatan gangguan Tiroid.
7. Memahami pencegahan dari gangguan Tiroid.

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Kelenjar Tiroid
Tiroid adalah kelenjar berbentuk kupu-kupu yang terletak di bagian depan leher
tepat di atas trakea. Beratnya sekitar 15 sampai 20 gram pada manusia dewasa.
Tiroid memproduksi dan melepaskan ke dalam sirkulasi setidaknya dua hormon
kuat, tiroksin (T4) dan triiodothyronine (T3), yang mempengaruhi proses
metabolisme basal dan/atau meningkatkan konsumsi oksigen di hampir seluruh
jaringan tubuh. Hormon tiroid juga mempengaruhi pertumbuhan linier, fungsi otak
termasuk kecerdasan dan memori, perkembangan saraf, pertumbuhan gigi, dan
perkembangan tulang (Larsen, 2003).

B. Uji Diagnosa dan Penatalaksanaan Disfungsi Tiroid


Tes yang paling sensitif pada populasi rawat jalan yang berisiko mengalami
disfungsi tiroid adalah serum TSH (Demers dan Spencer, sedang diterbitkan). Tes
serum TSH saat ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup untuk
mengidentifikasi individu dengan segala bentuk disfungsi tiroid pada populasi
umum. Namun, pada individu dengan penyakit akut dan serius, serum TSH kurang
spesifik untuk penyakit tiroid karena penyakit serius saja dapat menekan sekresi
TSH (akan dibahas). Skrining TSH pada populasi neonatal untuk mendeteksi
hipotiroidisme kongenital sebelum terbukti secara klinis diwajibkan di seluruh
Amerika Serikat dan di banyak negara lainnya.

Ketika diperoleh nilai TSH serum yang abnormal, langkah berikutnya yang
biasa dilakukan adalah mengulangi pengukuran TSH dan juga mengukur T4 bebas
serum . Yang terakhir ini dapat dilakukan dengan beberapa cara dan di antara
individu yang tidak dirawat di rumah sakit, sebagian besar metode memberikan
hasil yang berkorelasi terbalik dengan hasil serum TSH. Penyebab paling umum
ketidaksesuaian antara hasil TSH dan T4 bebas terjadi pada pasien dengan disfungsi
tiroid subklinis dengan nilai TSH serum tinggi atau rendah dan hasil T4 bebas serum
normal.

Pengukuran serum TSH mungkin memberikan hasil yang menyesatkan bagi


individu dengan perubahan kadar hormon tiroid. Misalnya, kadar TSH serum
mungkin tetap tinggi selama berminggu-minggu pada pasien hipotiroid yang

6
diobati dengan T4 . Demikian pula, kadar TSH serum mungkin tetap rendah selama
berminggu-minggu setelah kadar T4 serum turun ke normal pada pasien yang
dirawat karena hipertiroidisme.

Interval Referensi untuk Tes Fungsi Tiroid

Interval referensi umum untuk tes fungsi tiroid pada orang dewasa normal
ditunjukkan pada Tabel dibawah ini.

Konsentrasi serum rata-rata pada subjek AS berusia 12 tahun ke atas, seperti yang
dilaporkan dari tahun 1988 hingga 1994 dalam penelitian NHANES III, adalah 1,49
µU/ml, nilai yang jauh di bawah batas atas normal (4,5 µU/ml) yang dilaporkan
oleh sebagian besar pasien. laboratorium (Hollowell et al., 2002). Temuan ini
memberikan kesan bahwa nilai TSH serum di atas 3 µU/ml mungkin tidak normal.
Dalam penelitian yang sama, median konsentrasi TSH serum pada subjek yang
berusia lebih dari 50 tahun lebih tinggi dibandingkan individu yang lebih muda:
1,60 µU/ml setelah usia 50 tahun, 1,79 µU/ml setelah usia 60 tahun, 1,98 µU/ml
setelah usia 70 tahun, dan 2,08 µU/ml setelah usia 80 tahun. Kadar T4 total dan
bebas serum tidak berubah secara signifikan seiring bertambahnya usia, sedangkan
kadar T3 total dan bebas serum menunjukkan penurunan konsentrasi yang berkaitan
dengan usia.

Pengujian Fungsi Tiroid pada Lansia

Prevalensi kadar TSH serum yang rendah dan tinggi (dengan hasil T4 bebas
serum yang normal ) meningkat pada subjek lanjut usia dibandingkan dengan orang
yang lebih muda. Sehubungan dengan nilai TSH serum yang tinggi, peningkatan
tersebut diperkirakan mewakili peningkatan prevalensi tiroiditis autoimun,
terutama pada wanita, seperti yang akan dibahas. Prevalensi yang lebih tinggi dari
nilai TSH serum yang rendah mungkin disebabkan oleh penyakit nodular tiroid atau
penyakit non-tiroid yang tidak diketahui.

7
Diagnosis Hipotiroidisme

Hipotiroidisme adalah keadaan hipometabolik yang diakibatkan oleh defisiensi


T4 dan T3 . Manifestasi klinis utamanya adalah kelelahan, lesu, intoleransi dingin,
bicara lambat dan fungsi intelektual, refleks melambat, rambut rontok, kulit kering,
penambahan berat badan, dan sembelit. Hal ini lebih umum terjadi pada wanita
dibandingkan pria. Penyebab paling umum dari hipotiroidisme adalah penyakit
tiroid itu sendiri, hipotiroidisme primer.

Penyebab paling umum dari hipotiroidisme primer adalah tiroiditis autoimun


kronis (penyakit Hashimoto), di mana tiroid dihancurkan oleh antibodi atau limfosit
yang menyerang kelenjar tersebut. Penyebab lainnya adalah yodium radioaktif dan
terapi bedah untuk hipertiroidisme atau kanker tiroid, penyakit radang tiroid,
kekurangan yodium, dan beberapa obat yang mengganggu sintesis atau
ketersediaan hormon tiroid. Hipotiroidisme juga jarang terjadi (<1 persen kasus)
sebagai akibat dari defisiensi TRH atau gangguan sekresi TSH akibat penyakit
hipotalamus atau hipofisis. Hal ini dikenal sebagai hipotiroidisme sekunder atau
sentral karena adanya hubungan umpan balik negatif antara kadar T4 dan T3 serum
dan sekresi TSH . Seperti disebutkan sebelumnya dan ditunjukkan pada gambar,
orang dengan hipotiroidisme primer memiliki kadar TSH serum yang tinggi. Jika
seseorang memiliki nilai TSH serum yang tinggi, T4 bebas serum harus diukur.
Temuan bersamaan dengan konsentrasi TSH serum yang tinggi dan kadar T4 bebas
yang rendah menegaskan diagnosis hipotiroidisme primer. Orang dengan
konsentrasi TSH serum tinggi dan kadar T4 bebas serum normal atau rendah ,
menurut definisi, memiliki hipotiroidisme subklinis. Diagnosis hipotiroidisme
sekunder ditegakkan berdasarkan temuan kadar T4 bebas serum yang rendah dan
kadar TSH serum yang normal atau rendah. Orang dengan hipotiroidisme sekunder
kemungkinan besar tidak akan terdeteksi oleh program skrining berdasarkan
pengukuran TSH serum, namun kondisi ini jauh lebih jarang terjadi dibandingkan
hipotiroidisme primer.

Pengaruh Pengobatan terhadap Hasil Tes Tiroid

Beberapa obat memiliki efek in vivo atau in vitro pada tes fungsi tiroid yang
dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Obat-obatan, terutama estrogen, yang
meningkatkan kadar TBG serum menghasilkan peningkatan T4 total serum , namun

8
tidak ada perubahan kadar T4 bebas serum dan tidak ada perubahan konsentrasi
TSH serum. Glukokortikoid (hormon adrenal) dosis tinggi dapat menurunkan
konsentrasi T3 serum dengan menghambat konversi perifer T4 menjadi T3 dan
menurunkan T4 serum ( dan T3 ) dengan menghambat sekresi TSH. Iodida, yang
terkandung dalam larutan yang digunakan untuk mensterilkan kulit dan media
kontras radiopak yang digunakan dalam angiografi koroner dan banyak prosedur
radiologi lainnya, dapat menyebabkan hiper atau hipotiroidisme, tergantung pada
apakah seseorang menderita gondok nodular atau cedera tiroid yang tidak diduga.
Obat amiodarone yang mengandung iodida, yang diberikan kepada pasien dengan
aritmia jantung, juga dapat menyebabkan hipotiroidisme atau hipertiroidisme pada
individu yang rentan.

Obat lain mempunyai efek yang mengubah hasil tes fungsi tiroid secara
langsung. Misalnya, antikoagulan heparin dapat meningkatkan konsentrasi T4
bebas serum dengan merangsang pelepasan asam lemak bebas dari trigliserida
dalam serum. Metode tes tiroid yang menggunakan deteksi fluoresensi mungkin
sensitif terhadap keberadaan obat yang mengandung fluorofor atau agen diagnostik
yang digunakan dalam radiologi.

Tes Fungsi Tiroid dan Penyakit Nontiroid

Banyak orang yang sakit parah mempunyai hasil tes tiroid yang abnormal tetapi
tidak ada bukti lain adanya disfungsi tiroid. Kelainan ini terjadi pada orang dengan
penyakit akut dan kronis dan cenderung lebih besar pada orang dengan penyakit
yang lebih serius. Oleh karena itu diagnosis laboratorium penyakit tiroid bisa sangat
sulit ditegakkan pada orang yang sakit parah, terutama mereka yang perlu dirawat
di rumah sakit. Efek penyakit ini meliputi penurunan konversi T4 menjadi T3 di
perifer, penurunan konsentrasi serum protein pengikat hormon tiroid, dan
penurunan sekresi TSH. Perubahan ini bersifat reversibel dan tampaknya tidak
menyebabkan manifestasi klinis defisiensi tiroid. Di antara individu yang lebih
sehat, beberapa orang mungkin mengalami perubahan kecil pada hasil tes tiroid
akibat penyakit nontiroid yang tidak diketahui, dan bukan karena disfungsi tiroid.

C. Anatomi Tiroid
Kelenjar tiroid pada orang dewasa ukurannya sekitar 5 cm, beratnya kira-kira
10–20 gram. Letak kelenjar ini di leher bagian depan, tepat di bawah jakun, di depan

9
tra kea. Jakun adalah tempatnya pita suara. Trakea adalah ja lan napas. Bentuk
kelenjar ini menyerupai huruf H atau seperti dasi kupu-kupu. Dalam keadaan
normal, tiroid ini tidak terlihat dan hampir tidak teraba. Namun, jika membesar,
dokter bisa merabanya dengan mudah, tam pak ada benjolan di bawah jakun, yang
bergerak naik ketika kita menelan sesuatu. Anda bisa memeriksanya sendiri.
Berdirilah di hadap an cermin, minum segelas air, kemudian lihat gerakan leher
ketika Anda menelan air itu. Benjolan tiroid akan terlihat jelas bergerak ke atas pada
saat menelan. Tiroid terdiri dari dua bagian, yaitu kedua sayap kupu-kupu, yang
dinamakan lobus (lobe). Lobus kanan (right lobe) dan lobus kiri (left lobe), yang
dihubungkan oleh ismus (isthmus).

Di bawah mikroskop, jaringan tiroid terdiri dari bulat an-bulatan yang disebut
folikel (follicle). Dinding folikel ini adalah satu lapis sel folikuler, yang tugasnya
mem buat hormon tiroid. Hormon tiroid ditimbun di dalam folikel. Depo hormon
di dalam folikel itu disebut koloid (colloid).

Sesuai dengan aktivitasnya, bentuk sel folikuler bisa berubah. Ketika sedang
aktif membuat hormon, bentuk sel itu menjadi lebih lonjong dan membesar. Bentuk
ini berubah menjadi kotak dan lebih pipih jika sel folikuler sedang istirahat atau
tidak aktif. (Hans,2011)

D. Patofisiologi Tiroid
Patofisiologi tiroid terkait dengan gangguan fungsi kelenjar tiroid yang dapat
menyebabkan berbagai kondisi medis. Terdapat beberapa gangguan tiroid yang

10
umum, seperti hipotiroidisme dan hipertiroidisme, yang memiliki patofisiologi
yang berbeda.

Hipotiroidisme, atau produksi hormon tiroid yang rendah, umumnya


disebabkan oleh gangguan autoimun yang disebut tiroiditis Hashimoto. Dalam
kondisi ini, sistem kekebalan tubuh menyerang dan merusak kelenjar tiroid,
menghasilkan peradangan yang mengganggu produksi hormon tiroid. Selain itu,
gangguan lain seperti operasi tiroid, radioterapi, kekurangan yodium, atau kelainan
bawaan juga dapat menyebabkan hipotiroidisme.

Sementara itu, hipertiroidisme atau produksi hormon tiroid yang berlebihan,


sering kali disebabkan oleh penyakit Graves atau toksik multinodular. Dalam
Graves' disease, sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi yang merangsang
kelenjar tiroid untuk menghasilkan terlalu banyak hormon tiroid (T3 dan T4).
Sedangkan pada toksik multinodular, terdapat pembentukan nodul pada kelenjar
tiroid yang menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan (Mutalazimah, 2017).

E. Epidemiologi Tiroid
Epidemiologi tiroid melibatkan gangguan tiroid dalam populasi. Berdasar fakta
epidemiologi gangguan tiroid, hipotiroid maupun hipertiroid terjadi pada jenis
kelamin dan kelompok umur tertentu. Review sistematis berdasarkan studi literatur
pada tahun 1980-2008 terhadap insiden penyakit autoimun yang dilakukan Mc
Grogan et al menunjukkan bahwa baik kejadian hipotiroid maupun hipertiroid
banyak terjadi pada jenis kelamin perempuan.(McGrogan, 2008).

Studi karakteristik pengunjung Klinik Litbang GAKI Magelang tahun 2000-


2012 menunjukkan bahwa hipertiroid lebih banyak terjadi pada dewasa (>18
tahun), sedangkan hipotiroid lebih banyak terjadi pada anak (<18 tahun). Baik
hipotiroid maupun hipertiroid lebih banyak terjadi pada jenis kelamin perempuan
(Asturiningtyas, 2013).

Studi NHANESIII (Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional)


menemukan prevalensi hipotiroidisme nyata di antara orang dewasa di Amerika
Serikat (usia 12 tahun ke atas) adalah 0,3% dan hipotiroidisme subklinis 4,3%. Jenis
kelamin perempuan dan bertambahnya usia dikaitkan dengan peningkatan hormon
perangsang tiroid (TSH) dan prevalensi antibodi antitiroid. Hipotiroidisme lebih

11
banyak terjadi pada wanita dengan perawakan kecil saat lahir dan indeks massa
tubuh rendah pada masa kanak-kanak (Patil, 2023).

F. Gangguan Tiroid
1. Struma Endemik
Struma endemik ialah pembesaran kelenjar tiroid akibat kekurangan asupan
yodium.

Epidemiologi
Sebanyak 29% penduduk dunia yang tinggal di 130 negara hidup di daerah
yang kekurangan yodium, terutama di daerah pegunungan seperti Himalaya,
Alpen dan Andes yang yodiumnya terkikis oleh gletser atau banjir. Defisiensi
yodium terdapat di Afrika tengah, Eropa timur, Amerika selatan, dan Asia
termasuk Indonesia.1

Kebutuhan yodium untuk orang dewasa ialah 150-200 mcg/hr, pada anak-
anak kebutuhannya lebih rendah, dan pada ibu hamil/menyusui kebutuhannya
meningkat.1

Etiologi
Struma endemik disebabkan oleh:

1. Kekurangan unsur yodium mutlak (daerah pegunungan)


2. Banyak konsumsi makanan mengandung goitrogen ( lobak, brokoli, kubis)
3. Konsumsi obat yang memiliki efek samping goitrogen (tiosianat)
4. Kekurangan unsur yodium relatif ( pubertas, hamil, menyusui)

Patogenesis
Akibat kurangnya tangkapan yodium pada kelenjar tiroid maka produksi
hormon tiroid menjadi berkurang, dan melalui feedback mechanism hal ini
menyebabkan terjadinya peningkatan TSH yang merangsang kelenjar tiroid
untuk memproduksi jumlah hormon tiroid yang cukup. Rangsangan TSH yang
tinggi ini menimbulkan proliferasi dan dari sel-sel folikel tiroid dengan
manifestasi klinis pembesaran kelenjar tiroid.2

Pada awalnya pembesaran kelenjar tiroid tersebut bentuknya difusa oleh


karena proliferasi sel-sel folikel saja, akan tetapi dalam perjalanannya dapat
terjadi perubahan bentuk menjadi mikronoduler, selanjutnya menjadi noduler

12
(uninoduler atau multinoduler). Bentuk multinoduler lebih sering terjadi pada
struma endemik, dan ada kemungkinan salah satu nodul menjadi autonomi
menghasilkan hormon tiroid yang banyak sehingga terjadi kondisi
hipertiroidisme. Jika dibiarkan bertahun-tahun maka dapat terjadi jaringan
fibrotik dan kalsifikasi di dalam struma tersebut.

2. Penyakit Graves
Penyakit Graves ialah pembesaran kelenjar tiroid yang difusa disertai
tanda tanda hipertiroidisme.

Epidemiologi
Insiden penyakit Graves adalah 24,8 kasus/ 100.000, perempuan
dibanding laki-laki sebanyak 3,9:1. Di Swedia antara 2003–2005 didapatkan
21,4 kasus/ 100.000 penduduk/ tahun dengan perbandingan perempuan dan laki
laki sebagai 5,6: 1.3 Penelitian lain di Islandia dan Swedia, perbandingan
tersebut sebagai 4:1.4 Penyakit Graves lebih sering diderita kaum perempuan
daripada laki-laki, kebanyakan usia 30-50 tahun.5

Etiologi
Penyakit Graves adalah penyakit yang disebabkan karena autoimun.

Patogenesis

Dalam fisiologi pembentukan hormon tiroid, terdapat aksis hipotalamus


(menghasilkan TRH)-hipofise (menghasilkan TSH) - tiroid (menghasilkan
tiroksin), dan terdapat juga feed beck mechanism. Kadar tiroksin di dalam
serum dikendalikan oleh TSH. Bila kadar tiroksin dalam serum rendah maka
terjadi peningkatan produksi TSH oleh hipofise yang kemudian merangsang
tiroid untuk menghasilkan tiroksin dalam jumlah lebih banyak. Sebaliknya jika
kadar tiroksin dalam serum tinggi maka terjadi penurunan produksi TSH
sehingga rangsangan produksi tiroksin pada tiroid menurun.

Pada penyakit Graves, karena reaksi autoimun maka dalam darah


terdapat beberapa antibodi yang sifatnya seperti TSH yaitu merangsang kelenjar
tiroid memproduksi hormon tiroksin jumlah banyak. Antibodi yang berperan
utama ialah anti reseptor TSH, selain itu juga terdapat anti sodium-iodide
symporter, antitiroglobulin, dan antitiroid peroksidase.

13
Penyakit Graves sering kali disertai pembesaran tiroid dengan ukuran
yang bervariasi dari kecil sampai besar. Ukuran volume tiroid berhubungan
positif dengan kadar antibodi reseptor TSH, makin tinggi kadar antibodi
reseptor TSH akan makin besar ukuran pembesaran tiroidnya.6

Hormon tiroksin berfungsi untuk metabolisme tubuh, oleh karena itu


pada penyakit Graves akan terjadi peningkatan metabolisme yang bisa
mengenai seluruh sistem dalam tubuh (saraf pusat, kardiovaskular, respirasi,
digestif, muskuloskeletal, kulit, dan reproduksi).

3. Adenom Tiroid
Adenoma tiroid ialah neoplasma jinak yang berasal dari sel folikel
tiroid.

Epidemiologi
Adenoma folikuler tiroid lebih sering diderita perempuan, insidennya
meningkat pada daerah yang diet populasinya kekurangan yodium. Pada
autopsi, angka kejadian adenoma folikuler didapatkan 4,3% dari kadaver.7
Angka kejadian adenoma folikuler ini 5 kali lebih banyak dibandingkan
karsinoma folikuler.8

Etiologi
Adenoma folikuler tiroid terjadi akibat mutasi gen reseptor TSH. Selain
itu juga mutasi gen N-RAS dan K-RAS, gen ini juga yang berpengaruh
terjadinya evolusi dari adenoma folikuler menjadi karsinoma folikuler tiroid.9,10

Patogenesis
Gen yang berhubungan dengan terjadinya adenoma tiroid ialah thyroid
adenoma associated gene (THADA). Pada adenoma tiroid, protein pada
THADA tersebut dalam keadaan terpotong, dan protein tersebut mengganggu
induksi terjadinya apoptosis, dengan akibat meningkatnya proliferasi sel dan
membentuk tumor tiroid dengan terjadinya translokasi 2p21.11

Adenoma folikuler tiroid terdiri dari diferensiasi sel folikuler yang


terdiri dari arsitektur mikrofolikuler yang dibatasi oleh sel epitel kuboid. Tumor
ini berbentuk bulat atau oval, konsistensi padat atau kenyal, homogen,
terbungkus kapsul jaringan ikat.

14
4. Penyakit Plummer
Penyakit Plummer adalah pembesaran kelenjar tiroid yang memiliki
morfologi berupa multinodular, disertai fungsitiroid yang meningkat
(hipertiroidisme).

Epidemiologi
Angka kejadiannya lebih sedikit dibandingkan dengan penyakit Graves,
lebih banyak pada daerah defisiensi yodium, pada usia tua (diatas 50 tahun)
puncaknya pada usia dekade 6-7, baik laki-laki maupun perempuan, dan ada
hubungan dengan riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama.12

Etiologi
Belum diketahui secara pasti Faktor primer berupa perubahan fungsi sel
folikel yang ada kaitannya dengan mutasi gen pada exon 10 kromosom 14q31.
Faktor sekunder berupa peningkatan TSH, merokok, stress, obat tertentu, faktor
yang stimulasi tiroid (IGF-1 dan lain-lain.), dan faktor endogen (perempuan
lebih banyak).13

Patogenesis
Struma multinodusa yang diderita lama, dan pada perjalanannya salah
satu nodul berubah sifat menjadi autonomi (mutasi gen reseptor TSH) dan
menghasilkan produksi hormon tiroid yang berlebihan. Nodul yang hipersekresi
tersebut bisa dilihat menangkap yodium lebih banyak (hot nodule) pada
pemeriksaan scan.

5. Karsinoma Tiroid
Karsinoma tiroid ialah neoplasma ganas yang berasal dari sel folikel
atau sel parafolikel tiroid.

Epidemiologi
Karsinoma tiroid merupakan keganasan yang paling banyak diantara
kelenjar endokrin.14 Secara global pada tahun 2018 didapatkan 567.000 kasus
dan menempati urutan ke 9 dari seluruh keganasan, sebanyak 130.889 (insiden
3,1/100.0000) pada laki-laki dan 436.344 (insiden 10.2/100.000) pada
perempuan. Angka kematian karsinoma tiroid pada tahun 2018 sebanyak
41.000 kasus meliputi 15.557 (0,4/100.000) pada laki-laki dan 25.514
(0,5/100.000) pada perempuan.15

15
Angka kejadian karsinoma tiroid meningkat di negara berkembang,
mungkin karena deteksi dini yang meningkat, pengaruh radiasi pada anak anak
dan perempuan muda, atau paparan karsinogen dari lingkungan.16

Etiologi
Beberapa faktor yang diduga menjadi pemicu terjadinya karsinoma
tiroid ialah :

• Radiasi daerah kepala leher pada bayi atau anak-anak.


• Kekurangan atau kelebihan asupan yodium. Pada daerah yang kekurangan
yodium terjadi karsinoma tiroid jenis folikuler, sedangkan pada daerah yang
kelebihan yodium terjadi karsinoma tiroid jenis papiler.
• Hormon TSH yang tinggi. Kondisi ini bisa terjadi pada masa pubertas,
perempuan hamil, kekurangan asupan yodium, atau pasca operasi
tiroidektomi. Hormon tiroglobulin yang tinggi juga merupakan pemicu
terjadinya karsinoma tiroid diferensiasi baik (papiler & folikuler).
• Familial, terjadi pada 5% karsinoma tiroid tipe papiler atau folikuler, dan
terjadi pada 25% karsinoma tiroid tipe meduler.17,18,19

Patogenesis
➢ BRAF

Mutasi gen BRAF sering terjadi pada karsinoma tiroid deferensiasi baik, dan
mutasi BRAF V600E karakteristik pada karsinoma tiroid tipe papiler, walaupun
bisa juga dijumpai pada karsinoma diferensiasi jelek dan anaplastik.20

➢ RAS

Mutasi gen RAS codon 61 terjadi pada 20-50% dari adenoma folikuler atau
karsinoma folikuler tiroid, dan 0-15% pada karsinoma papiler tiroid.21,22

➢ RET

Mutasi RET dijumpai pada hampir semua karsinoma tiroid tipe meduler yang
herediter. Aktivasi proto-onkogen RET menghasilkan aktivasi jalur MAPK
untuk memulai tumorigenesis. Penderita dengan sindroma karsinoma tiroid tipe
meduler, termasuk MEN tipe 2A atau 2B atau familial, hampir 96% dari
keluarga dapat diidentifikasi adanya mutasi gen RET.23

16
G. Pengobatan Penyakit Tiroid
Pengobatan penyakit tiroid ditentukan berdasarkan jenis tiroid yang dialami,
usia pengidap dan kondisi kesehatan pengidap. Namun, secara umum, ada tiga cara
yang biasanya dilakukan untuk menangani penyakit tiroid, yaitu:

1. Pemberian Obat-obatan
Pemberian obat-obatan mempunyai fungsi yang berbeda, meliputi:
o Menurunkan produksi hormon tiroid.
o Menghancurkan sel-sel tiroid.
o Menggantikan hormon tiroid dalam tubuh.
2. Terapi Radioaktif
Terapi radioaktif biasanya dialakukan pada kasus hipertiroidisme yang sulit
dikontrol dengan obat-obatan.
3. Prosedur Operasi
Apabila dokter menganjurkan tindakan operasi, maka jenis operasi yang
dijalankan biasanya berupa proses pengangkatan kelenjar tiroid atau
tiroidektomi. Cara tersebut dilakukan untuk menangani kelenjar tiroid yang
mengalami pembengkakan.

H. Pencegahan pada Gangguan Tiroid


1. Nutrisi Yodium Prototipe terbaik dari pencegahan awal penyakit tiroid adalah
nutrisi yodium yang cukup untuk mencegah kekurangan yodium, yang
merupakan penyebab keterbelakangan mental yang paling dapat dicegah.
Sekitar 1,6 miliar orang di seluruh dunia berisiko mengalami gangguan
defisiensi yodium (GAKY).
Gangguan Defisiensi Yodium mencakup semua komplikasi gizi buruk yodium
yang dapat dicegah dengan memastikan kecukupan asupan yodium.
Kekurangan yodium dapat mengakibatkan aborsi, bayi lahir mati, gangguan
keterampilan motorik, cacat pertumbuhan mental, gangguan perkembangan
kognitif, kelemahan spastik, dan kelumpuhan dan berdampak pada kapasitas
belajar anak (IQ rendah), bisu-tuli, buruknya kesehatan perempuan, dan dengan
demikian berdampak pada kesehatan anak. kualitas hidup masyarakat dan
produktivitas ekonomi. Dampak yang paling penting berkaitan dengan fungsi
otak anak, sehingga mengakibatkan penurunan IQ. Selain gangguan yang
disebutkan di atas, kekurangan yodium dalam makanan dapat menyebabkan

17
penurunan status sosial ekonomi masyarakat, yang masyarakatnya memiliki
pendidikan yang tidak memadai dan produktivitas yang tidak memadai.
Kekurangan yodium pada ternak dapat menyebabkan penurunan produksi susu,
daging, dan wol domba. Semua gejala sisa ini dapat dihindari dengan
memastikan pasokan yodium secara terus-menerus ke seluruh populasi melalui
garam beryodium, yang merupakan metode yang hemat biaya, murah, dan
paling sesuai untuk menjamin nutrisi yodium yang cukup (Azizi, 2011).
2. Kebutuhan Yodium setiap individu hanya membutuhkan yodium dalam jumlah
kecil, sekitar 150 hingga 200 mikrogram setiap hari atau satu sendok teh seumur
hidup, untuk memastikan sintesis tiroksin yang tepat, dan pengaturan
pertumbuhan dan perkembangan normal.
Selama kehamilan dan menyusui, kebutuhan yodium meningkat dan asupan
nutrisi yang dianjurkan ditetapkan sebesar 250 µg yodium per hari. Hingga saat
ini, diyakini bahwa di wilayah yang ≥ 90% rumah tangganya telah
mengonsumsi garam beryodium selama minimal 2 tahun, dan median yodium
urin pada anak sekolah menunjukkan kecukupan yodium, maka suplementasi
yodium pada ibu hamil dan ibu menyusui tidak diperlukan. Namun, karena
rendahnya kadar median yodium urin pada wanita-wanita ini di beberapa daerah
dengan kecukupan yodium, hal ini menjadi tantangan, dan Asosiasi Tiroid
Amerika kini merekomendasikan suplementasi yodium 150 µg setiap hari untuk
wanita hamil dan menyusui. Di wilayah tanpa USI atau dengan suplementasi
yodium yang tidak memadai, suplemen dalam bentuk kalium iodida oral setiap
hari harus diberikan untuk memenuhi kebutuhan 250 µg yodium setiap hari.
Dalam keadaan khusus, 400 mg minyak beryodium dapat diberikan dalam dosis
tunggal (Azizi, 2011).
3. Garam Iodisas
Upaya telah dilakukan untuk meningkatkan nutrisi yodium di daerah
kekurangan yodium dengan menggunakan suplementasi yodium melalui
iodinasi roti, air, gula, minyak dll. Meskipun cara suplementasi ini telah
berhasil di beberapa daerah dan komunitas, nampaknya garam beryodium
adalah cara yang paling sederhana. Cara termurah dan paling efektif untuk
menyediakan nutrisi yodium yang optimal. Olahan minyak beryodium dapat
digunakan jika garam beryodium tidak tersedia secara luas (Azizi, 2011).
4. Situasi IDD Global
18
Pada tahun 1991, majelis kesehatan dunia (WHA) menyatakan kekurangan
yodium sebagai masalah kesehatan masyarakat utama yang harus dihilangkan
pada tahun 2000. Tujuan ini telah disetujui pada tahun 1990 oleh para pemimpin
dunia ketika mereka bertemu di KTT PBB untuk Anak-anak. WHO dan
UNICEF merekomendasikan garam iodisasi universal (USI) untuk
menghilangkan IDD pada tahun 1992 dan 1993. Kemajuan besar telah dicapai,
dan diperkirakan setidaknya 75 juta bayi baru lahir yang lahir di dunia pada
tahun 2002 telah terlindungi dari kerusakan otak yang disebabkan oleh penyakit
ini. oleh kekurangan yodium. Di Asia Timur dan Pasifik, 20,8 juta (16%) bayi
baru lahir di dunia dan di Asia Selatan 9 juta, (14%) merupakan jumlah tertinggi
bayi baru lahir yang dilindungi.
Data yang disediakan oleh WHO menunjukkan bahwa 31,5% (264 juta) anak
sekolah dan 30,6% (2000 juta) populasi umum di seluruh dunia memiliki asupan
yodium yang tidak mencukupi. Jumlah terbesar penduduk yang kekurangan
asupan yodium berasal dari Asia Tenggara (504 juta) dan Eropa (460 juta)
(Azizi, 2011).
5. Penghapusan Defisiensi Yodium yang Berkelanjutan
Sejak tahun 1990, terdapat kemajuan luar biasa dalam meningkatkan jumlah
garam beryodium yang cukup, dan sebagai hasilnya, banyak negara kini hampir
mencapai eliminasi IDD; oleh karena itu, penekanannya akan beralih pada
memastikan bahwa pencapaian tersebut berkelanjutan sepanjang masa. Survei
UIC nasional (n = 121) atau subnasional besar (n = 31) telah dilakukan di 152
negara, mewakili 98% populasi dunia. Pada tahun 2014, asupan yodium
mencukupi di 112 negara, kekurangan di 29 negara, dan berlebihan di 11 negara.
Jumlah negara yang mencukupi kebutuhan yodium meningkat dari 67 menjadi
112 selama 10 tahun terakhir. Oleh karena itu, tugas utama di sebagian besar
negara saat ini adalah mempertahankan nutrisi yodium yang cukup bagi
penduduknya. Keterbatasan data ini adalah hanya beberapa negara (termasuk
IR Iran) yang telah melakukan survei UIC nasional pada wanita hamil, yang
merupakan kelompok sasaran utama. Negara-negara berpenduduk besar yang
masih kekurangan yodium tidak hanya mencakup negara-negara berkembang
(misalnya Etiopia, Maroko, dan Mozambik) dan negara-negara dalam masa
transisi (misalnya Rusia dan Ukraina), namun juga beberapa negara
berpendapatan tinggi (misalnya Denmark, Italia, dan Italia). Selain itu, di
19
beberapa negara berpenghasilan tinggi, termasuk Amerika Serikat dan
Australia, asupan yodium mengalami penurunan dalam 30 tahun terakhir. Hasil
survei menunjukkan bahwa banyak wanita hamil di negara-negara berkembang
dan berpendapatan tinggi, termasuk Inggris dan Amerika Serikat, mengalami
kekurangan asupan yodium. Namun, di beberapa negara di dunia, suplementasi
yodium belum diterapkan dan di banyak negara lainnya. Di beberapa negara,
suplementasi nutrisi yodium yang ada tidak memadai dan tidak mencapai
tingkat konsumsi harian yang direkomendasikan. Oleh karena itu, pada tahun
2005 majelis kesehatan dunia (WHA) sekali lagi mengeluarkan resolusi lain
untuk mendorong negara-negara anggota berupaya menghilangkan kekurangan
yodium (Azizi, 2011).

20
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah ini wanita yang memiliki penyakit tiroid lebih banyak daripada
laki laki karena adanya hubungan antara fungsi kelenjar tiroid dengan kadar
hormon esterogen yang merupakan hormon utama wanita, yang akan
menyebabkan penurunan kadar kalsium.

Landasan keberhasilan pencegahan penyakit tiroid memerlukan penerapan


pencegahan primer dan primer secara tepat waktu, yang harus diprioritaskan dalam
strategi kesehatan terkait oleh otoritas kesehatan.

21
DAFTAR PUSTAKA
Hans Tandra. 2011. Mencegah dan Mengatasi Tiroid. Jakarta:PT Gramedia Pustaka
Utama.

Mutaqin (2009), Kelenjar tiroid, hipotiroidisme & hipertiroidisme jilid III, penerbit,
Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta Pusat.

Mutalazimah, M., Mulyono, B., Murti, B., & Azwar, S. (2017). Kajian patofisiologis
gejala klinis dan psikososial sebagai dampak gangguan fungsi tiroid pada wanita
usia produktif. Jurnal Kesehatan, 6(1), 1-14.

McGrogan A, Seaman HE, Wright JW, de Vries CS. The Incidence Of Autoimmune
Thyroid Disease: A Systematic Review Of The Literature.Clin Endocrinol (Oxf).
2008;69(5):687-96.

Asturiningtyas, IP. Karakteristik Pengunjung Klinik BP2GAKI Magelang Tahun 2000-


2012. Laporan Penelitian. Balai Penelitian dan Pengembangan Gangguan
Akibat Kekurangan Iodium,Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan RI; 2013.

Patil N, Rehman A, Jialal I. Hipotiroidisme. [Diperbarui 2023 Agustus 8]. Di:


StatPearls [Internet]. Pulau Harta Karun (FL): Penerbitan StatPearls; 2023
Januari-. Tersedia dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519536/

Pokhrel B, Penyakit Bhusal K. Graves. [Diperbarui 2023 20 Juni]. Di: StatPearls


[Internet]. Pulau Harta Karun (FL): Penerbitan StatPearls; 2023 Januari-.
Tersedia dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448195/

Black & Hawks (2009), Medical Surgical Nursing, Clinical Management for Positif
Outcomes (8.edition)

Wiseman SM (2011), et al. Detection and Management of Hipothyroidism Folowing


Thyroid Lobectomy: Evaluation of a Clinical Algorithm. Ann. Surg Oncol, 2011;
18: 2548-2554.

Azizi, F., Mehran, L., Hosseinpanah, F., Delshad, H., & Amouzegar, A. (2017).
Primordial and Primary Preventions of Thyroid Disease. International journal
of endocrinology and metabolism, 15(4), e57871.
https://doi.org/10.5812/ijem.57871

22
Sunarto Reksoprawiro. 2023. Sinopsis Bedah Kepala Leher. Surabaya : Airlangga
University Press

1. Lee SL. Defisiensi Yodium. Obat & Penyakit>Endokrinologi. Medscape,


Diperbarui : 16 Des 2015. Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/122714 ikhtisar
2. Triggiani V, Tafaro E, Giagulli VA, dkk. Peran yodium, selenium dan mikronutrien
lainnya dalam fungsi dan gangguan tiroid. Target Obat Gangguan Kekebalan
Metab Endokr. 2009 1 September.
3. Nystrom HF, Jansson S, Berg G. Tingkat kejadian dan gambaran klinis
hipertiroidisme di wilayah cukup yodium jangka panjang di Swedia (Gothenburg)
2003-2005. Klinik. Endokrinol. (Oxf). 2013;78:768-77.
4. Pompa Vander MPJ. Epidemiologi penyakit tiroid. Sdr. medis. Banteng. 2011;
99:39-51.
5. Prabhakar BS, Bahn RS, Smith TJ. Perspektif Saat Ini tentang Patogenesis Penyakit
Graves dan Oftalmopati. Ulasan Endokrin 2003; 24: 802-35
6. Sawicka N, Sowinski J. Korelasi antara volume tiroid dan autoimunitas tiroid
humoral setelah terapi radioiodine pada penyakit Graves. Endokrynol Pol.
2012;63:10-3.
7. Bisi H, Fernandes VS, de Camargo RY, dkk. Prevalensi patologi tiroid yang tidak
diduga pada 300 otopsi berurutan, dengan referensi khusus pada karsinoma
insidental. Kanker. 1989;64:1888-93.
8. Rosai J, Carcangiu ML, DeLellis RA. Tumor kelenjar tiroid. Atlas Patologi Tumor,
Seri 3, Fas 5. Washington, DC: Institut Patologi Angkatan Bersenjata; 1992.
hlm.21- 48.
9. McHenry CR, Phitayakorn R. Adenoma folikular dan karsinoma tiroid kelenjar.
Ahli onkologi. 2011;16:585-93.
10. Challeton C, Bounacer A, Du Villard JA dkk. Pola mutasi onkogen ras dan gsp
pada tumor tiroid manusia terkait radiasi. Onkogen. 1995;11: 601-3.
11. Gibson CM, Susheela A. Patofisiologi adenoma tiroid. Tersedia dalam
Patofisiologi Adenoma Tiroid
12. Krysiak R,Kowalcze K,Okopień B. Penyebab tirotoksikosis yang lebih jarang.
Senang sekali lekarski. 2016;

23
13. Khalid N, Bisa AS. Penyakit Plummer. [Diperbarui 2021 Juli 2]. Di dalam:
StatPearls [Internet]. Pulau Harta Karun (FL): Penerbitan Stat Pearls; 2021 Januari.
Tersedia dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK565856/
14. Kilfoy BA, Devesa SS, Ward MH, dkk. Jenis kelamin adalah pengubah efek
spesifik usia untuk kanker papiler kelenjar tiroid. Biomarker Epidemiol Kanker
Sebelumnya. 2009;18:1092-100.
15. Bray F, Ferlay J, Soerjomataram I, dkk. Statistik kanker global 2018: perkiraan
global mengenai kejadian dan kematian di seluruh dunia untuk 36 kanker di 185
negara. Klinik Kanker J CA. 2018;68:394-424.
16. Pellegriti G, Frasca F, Regalbuto C, dkk. Peningkatan insiden kanker tiroid di
seluruh dunia: pembaruan epidemiologi dan faktor risiko. J Epidemiol Kanker.
2013;2013:965212
17. Sierra MS, Soerjomataram I, Forman D. Etiologi kanker tiroid (C73) di Amerika
Tengah dan Selatan. Dalam: Kanker di Amerika Tengah dan Selatan. Lyon: Badan
Internasional untuk Penelitian Kanker. 2016. Tersedia dari: http://www
dep.iarc.fr/CSU_resources.htm, diakses [tanggal].
18. Nosé V. Kanker tiroid keluarga: Sebuah tinjauan. Mod Pathol. 2011; 24(S2):S19-
33 . PMID:21455198 33.
19. CD Malchoff, DM Malchoff. Karsinoma tiroid nonmeduler familial. Pengendalian
Kanker. 2006; 13:106-10.
20. Xing, M. mutasi BRAF pada kanker tiroid. Kanker Relat Endokr 2005; 12: 245-
62.
21. Vasko, V., Ferrand, M., Di Cristofaro, J., Carayon, P., Henry, JF dan De Micco, C.
Pola spesifik mutasi onkogen RAS pada tumor tiroid folikular. Klinik J Metab
Endokrinol 2003; 88: 2745-52.
22. Motoi, N., Sakamoto, A., Yamochi, T., Horiuchi, H., Motoi, T. dan Machinami, R.
Peran mutasi Ras dalam perkembangan karsinoma tiroid asal epitel folikular.
Praktek Pathol Res 2000; 196: 17.
23. Eng C, Clayton D, Schuffenecker I, Lenoir G, Cote, G, Gagel, R.F. dkk. Hubungan
antara mutasi proto-onkogen RET spesifik dan fenotipe penyakit pada neoplasia
endokrin multipel tipe 2. Analisis Konsorsium Mutasi RET Internasional. JAMA.
1996; 276: 1575-9

24

Anda mungkin juga menyukai