Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

ILMU

BEDAH CA

TIROID

Pembimbing:

dr. Arif Soepono, Sp. B (K) ONK

Penyusun:

Ronaldo 20190420354

RSAL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANGTUAH SURABAYA

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Referat Ilmu Bedah


Ca Tiroid

Oleh
Ronaldo 20190420354

Referat “Ca Tiroid” ini telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas
dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Bedah RSAL Dr.
Ramelan Fakultas Kedokteran Universitas Hangtuah Surabaya.

Surabaya, 28 Juli 2020


Mengesahkan, Dokter Pembimbing

dr. Arif Soepono, Sp. B (K) ONK


KATA PENGANTAR

Segenap puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa
yang selalu melimpahkan segala rahmat dan anugerah-Nya maka tugas referat
dengan judul “Ca Tiroid” ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan tugas
ini merupakan salah satu tugas yang penulis laksanakan selama mengikuti
kepaniteraan di bagian Ilmu Bedah RSPAL dr. Ramelan Surabaya. Saya
mengucapkan terima kasih kepada dr. Arif Soepono, Sp. B (K) ONK selaku
dokter pembimbing dalam penyelesaian tugas ini, terima kasih atas bimbingan,
saran, petunjuk dan waktunya sehingga dapat menyelesaikan tugas ini.

Saya menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari


kesempurnaan, untuk kritik dan saran selalu kami harapkan. Besar harapan kami
semoga tugas ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya serta penyusun pada
khususnya.

Surabaya, 28 Juli 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
DAFTAR TABEL....................................................................................................3
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................4
DAFTAR SINGKATAN.........................................................................................5
BAB 1......................................................................................................................6
BAB 2......................................................................................................................8
2.1 Definisi dan Epidemiologi.........................................................................8
2.2 Embriologi Kelenjar Tiroid.......................................................................8
2.3 Anatomi Kelenjar Tiroid...........................................................................9
2.4 Histologi Kelenjar Tiroid........................................................................12
2.5 Fisiologi Kelenjar Tiroid.........................................................................13
2.6 Faktor Resiko..........................................................................................15
2.7 Klasifikasi................................................................................................15
2.8 Staging.....................................................................................................18
2.9 Diagnosis.................................................................................................21
2.10 Diagnosis Banding..................................................................................24
2.11 Penatalaksanaan.......................................................................................25
2.12 Prognosis.................................................................................................30
BAB 3....................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................33

2
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Stadium Penderita < 55 tahun..............................................................20


Tabel 2.2. Stadium Penderita ≥ 55 tahun..............................................................20
Tabel 2.3. Stadium Anaplastik..............................................................................20
Tabel 2.4. Klasifikasi Bethesda.............................................................................24
Tabel 2.5. Tabel Skoring AGES, AMES, dan MACIS.........................................31

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Embriologi Kel. Tiroid......................................................................9


Gambar 2.2. Musculus pada Thyroid.....................................................................9
Gambar 2.3. Pembuluh, Nervus, dan Limfonodi Kel. Tiroid...............................10
Gambar 2.4. Vena pada Kel. Tiroid.....................................................................11
Gambar 2.5. Pembuluh Limfe Kel. Tiroid............................................................11
Gambar 2.6. Inervasi Kel. Tiroid.........................................................................12
Gambar 2.7. Histologi Kel. Tiroid.......................................................................13
Gambar 2.8. Jalur HPT axis..................................................................................14
Gambar 2.9. Ukuran Tumor Karsinoma Tiroid....................................................18
Gambar 2.10. Level Kel. Getah Bening Leher.....................................................19
Gambar 2.11. Marker insisi leher.........................................................................26
Gambar 2.12. Retraksi kulit flap atas dan bawah.................................................26
Gambar 2.13. Insisi fascia coli dan pembukaan strap muscle..............................27
Gambar 2.14. Identifikasi v. thyroidea media......................................................27
Gambar 2.15. Struktur pada diseksi pool bawah kel. tiroid.................................28
Gambar 2.16. Struktur pada diseksi pool atas kel. tiroid......................................28
Gambar 2.17. Diseksi isthmus dan Lig. Berry.....................................................28

4
DAFTAR SINGKATAN

ATC = Anaplastic Thyroid Cancer


CEA = Carcinoembryonic Antigen

DIT = Diiodotirosin
FNAB = Fine Needle Aspiration Biopsy
FTC = Follicular Thyroid Cancer

MEN = Multiple Endocrine Neoplasia


MIT = Monoiodotirosin
MRI = Magnetic Resinance Imaging
MTC = Medullary Thyroid Cancer
PET = Positron Emission Tomography

PTC = Papillary Thyroid Cancer


RAI = Radioactive Iodine
TBG = Thyroid-binding Globulin

TBPA = Thyroxine-binding Prealbumine


TRH = Thyrotropine Releasing Hormone
TSH = Thyroid Stimulating Hormone
USG = Ultrasonography

5
BAB 1

PENDAHULUA

Kanker merupakan penyakit yang banyak diderita manusia, sulit


terdeteksi, dan salah satu penyakit yang banyak menimbulkan kesengsaraan dan
kematian pada manusia. Data Globocan menyebutkan di tahun 2018, terdapat 18,1
juta kasus baru kanker dengan angka kematian sebesar 9,6 juta kematian, dimana
1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 6 perempuan di dunia mengalami kejadian kanker.
Data tersebut juga menyatakan 1 dari 8 laki-laki dan 1 dari 11 perempuan,
meninggal karena kanker. Sedangkan di Indonesia, angka kejadian penyakit
kanker berada pada urutan ke 8 di Asia Tenggara, dan berada pada urutan ke 23 di
Asia (Kemenkes RI, 2019). Berdasarkan data Riskesdas, prevalensi tumor/kanker
di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari 1.4 per 1000 penduduk di
tahun 2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk pada tahun 2018 (Riskesdas, 2018).
Kanker tiroid merupakan keganasan yang terjadi pada kelenjar tiroid,
dimana pada tahun 2016, American Cancer Society memperkirakan terdapat
62.450 kasus baru kanker tiroid ditemukan di Amerika Serikat, dengan
perbandingan antara perempuan dan laki-laki 3:1. Sedangkan di Indonesia, kanker
tiroid menempati urutan ke 9 dari angka kejadian kanker terbanyak di Indonesia,
tetapi di antara kanker kelenjar endokrin, kanker tiroid ini merupakan keganasan
yang paling sering ditemukan dengan angka kejadian sebesar 95% dari seluruh
kanker endokrin. Kanker tiroid secara umum termasuk kelompok keganasan
dengan prognosis relatif baik (Pasaribu, 2010).
Kanker tiroid relatif sering muncul pada usia 20-50 tahun, anak-anak usia
di bawah 20 tahun dengan nodul tiroid mempunyai resiko keganasan lebih tinggi
dibandingkan kelompok dewasa. Kelompok usia 60 tahun, disamping mempunyai
prevalensi keganasan lebih tinggi, juga mempunyai agresivitas penyakit lebih
berat, terbukti dengan tingginya kejadian kanker tiroid tipe anaplastik pada
kelompok usia tua (Pasaribu, 2010).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi
tumor tiroid adalah pemeriksaan laboratorium fungsi tiroid. Dari pemeriksaan
fungsi tiroid dapat membedakan apakah penyakit tersebut suatu kanker atau hanya
kelainan fungsional dari kelenjar tiroid. Pemeriksaan yang dilakukan terlebih
dahulu adalah kadar Thyroid Stimulating Hormone (TSH). Jika didapat kadar
TSH abnormal dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan kadar T3 bebas dan T4
bebas. Pemeriksaan Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) juga rutin dilakukan
karena minimal invasif dengan spesifitas dan sensitivitas yang tinggi. USG juga
dapat dilakukan untuk melihat tumor tiroid bersifat kistik atau nodul solid
(Adham and Aldino, 2019). Penatalaksanaan di bidang bedah pun sudah banyak
berkembang dalam penanganan kanker tiroid ini, namun semuanya tetap

6
bergantung pada stage dari kanker tersebut dan ketahanan tubuh penderita.
Deteksi dan penanganan dini terhadap penderita kanker tiroid untuk
meningkatkan harapan hidup sangat penting dalam proses penyembuhan kanker
tiroid, oleh karena itu referat ini akan menjelaskan informasi yang dibutuhkan
mengenai penyakit kanker tiroid.

7
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Epidemiologi


Karsinoma tiroid merupakan tumor ganas yang terjadi pada tiroid, yaitu
organ endokrin terbesar pada manusia. Karsinoma tiroid merupakan penyakit
terbanyak ke-9 di antara 10 kanker terbanyak. Karsinoma tiroid mencakup 3-5%
dari semua keganasan. Insidensi karsinoma tiroid meningkat seiring dengan
meningkatnya usia, dengan puncaknya pada usia 20-50 tahun. Nodul tiroid
didapatkan pada 5-8% populasi (Sjamsuhidajat and Jong, 2010). Anak-anak usia
di bawah 20 tahun dengan nodul tiroid mempunyai resiko keganasan lebih tinggi
dibandingkan kelompok dewasa. Kelompok usia 60 tahun, disamping mempunyai
prevalensi keganasan lebih tinggi, juga mempunyai agresivitas penyakit lebih
berat, terbukti dengan tingginya kejadian kanker tiroid tipe anaplastik pada
kelompok usia tua.
Ditinjau dari aspek histopatologi, karsinoma tiroid jenis papiler, folikuler,
meduler, dan anaplastik diperkirakan menduduki 90% dari seluruh keganasan
tiroid, kemudian disusul dengan limfoma, squamous cell carcinoma, sarkoma,
melanoma, dan metastasis. Kanker tiroid tipe papiler (Papillary Thyroid
Cancer/PTC) beserta variannya diperkirakan menduduki angka kejadian sebesar
80% dari semua kanker tiroid, tipe folikuler (Follicular Thyroid Cancer/FTC)
dengan variannya (Hurthle) diperkirakan 10%, tipe poorly differentiated
medullary (Medullary Thyroid Cancer/MTC) beserta variannya diperkirakan
sekitar 5%, dan tipe anaplastik (Anaplastic Thyroid Cancer/ATC) sebesar 1-5%
(Pasaribu, 2010).

2.2 Embriologi Kelenjar Tiroid


Pada masa embrional minggu ke-4, kelenjar tiroid mulai terbentuk dari
penebalan endodermal membentuk divertikulum tiroid pada dasar primitif faring
pertama dan kedua, dan terhubung dengan foramen sekum oleh duktus tiroglosus.
Kemudian, pada masa embrional minggu ke-7, kelenjar tiroid perlahan-lahan
turun hingga pada posisi terakhirnya berada pada ventral trakea setinggi vertebra
cervicalis C5, C6, dan C7 serta vertebra torakalis T1. Sedangkan duktus tiroglosus
rudimenter terkadang masih tersisa, yang kemudian bisa kita jumpai sebagai lobus
piramidalis, yang terletak pada isthmus menuju os hyoid (50%). Kelenjar tiroid
janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan
intrauterin, dan pada minggu ini, folikel pertama kelenjar tiroid mulai terisi
koloid. Beberapa kelainan pada masa embriologi tiroid ini dapat bermanifestasi

8
sebagai penyakit kongenital seperti kista dan sinus duktus tiroglosus, tiroid
lingual, dan tiroid ektopik (Sjamsuhidajat and Jong, 2010).

Gambar 2.1. Embriologi Kel. Tiroid

2.3 Anatomi Kelenjar Tiroid


Glandula tiroidea terletak di belakang musculus sternothyroideus dan
musculus sternohyoideus setinggi vertebra cervicalis V sampai vertebra thoracica
I (Gambar 2.1.). Kelenjar ini terdiri dari lobus dextra dan lobus sinistra yang
terletak anterolateral terhadap larynx dan trachea. Kedua lobus dihubungkan oleh
isthmus yang biasanya terletak di depan kartilago trakea II-III. Sebuah lobus
pyramidalis dapat berasal dari isthmus, biasanya ke bagian sinistra dari bidang
median. Glandula tiroidea terbungkus dalam capsula fibrosa tipis dan
memancarkan sekat-sekat ke dalam jaringan kelenjar. Glandula tiroidea melekat
pada kartilago cricoidea dan kartilago trakea atas dengan perantaraan jaringan ikat
padat (Moore, 2014).

Gambar 2.2. Musculus pada Thyroid

9
 Vaskularisasi
Glandula tiroidea memperoleh darah dari a. thyroidea superior dan a.
thyroidea inferior (Gambar 2.2.). A. thyroidea superior, cabang pertama a.
carotis externa, melintas turun ke kutub atas masing-masing lobus
glandula tiroidea, menembus fascia pretrachealis, dan membentuk ramus
glandularis anterior dan ramus glandularis posterior. A. thyroidea inferior,
cabang truncus thryocervicalis, melintas ke superomedial di belakang
carotid sheath dan mencapai bagian posterior glandula thyroidea. A.
thyroidea inferior terpecah menjadi cabang-cabang yang menembus fascia
pretrachealis fasciae cervicalis profunda dan memasok darah ke kutub
bawah glandula thyroidea (Moore, 2014).

Gambar 2.3. Pembuluh, Nervus, dan Limfonodi Kel. Tiroid

Tiga pasang vena thyroidea menyalurkan darah dari pleksus vena pada
permukaan anterior glandula thyroidea dan trachea (Gambar 2.3.). Vena
thyroidea superior menyalurkan darah dari kutub atas, vena thyroidea
media menyalurkan darah dari bagian tengah kedua lobus, dan vena
thyroidea inferior menyalurkan darah dari kutub bawah. Vena thyroidea
superior dan vena thyroidea media bermuara ke dalam vena jugularis
interna, dan vena thyroidea inferior ke dalam vena brachiocephalica
(Moore, 2014).

10
Gambar 2.4. Vena pada Kel. Tiroid

 Pembuluh Limfe
Pembuluh limfe glandula thyroidea melintas di dalam jaringan ikat antar
lobus, melingkari arteri, dan berhubungan dengan anyaman pembuluh
limfe kapsul. Selanjutnya pembuluh limfe menuju ke nodi lymphoidei
cervicalis anterior profunda paratrachealis (Gambar 2.4.). Di sebelah
lateral, pembuluh limfe mengikuti vena thyroidea superior dan melintas ke
nodi lymphoidei brachiocephalica atau ke dalam ductus thoracicus.

Gambar 2.5. Pembuluh Limfe Kel. Tiroid

11
 Inervasi
Saraf-saraf glandula thyroidea berasal dari ganglion cervicalis superior,
ganglion cervicalis medius, dan ganglion cervicalis inferior (Gambar 2.5.).
Saraf-saraf ini mencapai glandula thyroidea melalui nervus cardiacus,
nervus laryngeus superior, dan nervus laryngeus inferior, serta nervus-
nervus sepanjang arteri tiroid. Beberapa sabut bersifat vasomotoris.

Gambar 2.6. Inervasi Kel. Tiroid

2.4 Histologi Kelenjar Tiroid


Secara histologi, kelenjar tiroid terbagi menjadi lobulus-lobulus yang
mengandung 20-40 folikel. Terdapat sekitar 3 juta folikel pada kelenjar tiroid pria
dewasa. Folikel pada kelenjar tiroid berbentuk bundar dengan rata-rata diameter
30 µm. Setiap folikel terlapisi oleh epitel kubik dan mengandung penyimpanan
sekret koloid dari sel epitel di bawah pengaruh TSH. Kelompok kedua dari sel
sekresi pada kelenjar tiroid adalah sel C (C cells) atau sel parafolikuler
(parafollicular cells), yang mengandung dan mensekresi hormon kalsitonin. Sel-
sel ini dapat ditemukan secara individual atau bergabung dalam kelompok kecil
pada struma interfollikular dan terletak pada kutub atas lobus tiroid (Schwartz S,
2006).

12
Gambar 2.7. Histologi Kel. Tiroid

2.5 Fisiologi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4).
Bentuk aktif hormon ini adalah triiodotironin (T3), yang sebagian besar berasal
dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh
kelenjar tiroid. Iodida anorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan
baku hormon tiroid. Sel kelenjar tiroid secara aktif melakukan transportasi
yodium ke dalam sitoplasmanya. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali
sehingga afinitasnya sangat tinggi di jaringan tiroid. Iodida anorganik teroksidasi
menjadi bentuk organiknya dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang
terdapat dalam tiroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotirosin
(DIT). Konjugasi DIT dengan MIT atau dengan DIT yang lain akan menghasilkan
T3 atau T4, yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4
dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap berada di dalam kelenjar dan
kemudian mengalami deiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam
sirkulasi, hormon tiroid terikat pada protein, yaitu globulin pengikat tiroid
(thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (thyroxine-
binding prealbumine, TBPA).

Ketika kebutuhan akan hormon T3 dan T4 meningkat, sel folikel kelenjar


tiroid melakukan ingesti koloid secara pirositosis. Dengan bantuan enzim
lisosomal, hormon T3 dan T4 dilepas dari tiroglobulin, berdifusi ke dalam
sirkulasi darah, lalu ditranspor dalam bentuk kombinasi kimiawi dengan protein
dalam plasma.
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh thyroid stimulating hormone (TSH)
yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Kelenjar hipofisis secara
langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam
sirkulasi yang bertindak sebagai umpan balik negatif (negative feedback) terhadap
lobus anterior hipofisis dan terhadap sekresi thyrotropine releasing hormone
(TRH) oleh hipotalamus. Hormon kelenjar tiroid mempunyai pengaruh yang

13
sangat bervariasi terhadap jaringan/organ tubuh yang pada umumnya
berhubungan dengan metabolisme sel.
Pada kelenjar tiroid, juga terdapat sel parafolikuler yang menghasilkan
kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme
kalsium, dengan menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap
tulang (Sjamsuhidajat and Jong, 2010).

Mekanisme Umpan Balik (negative feedback) Hormon Tiroid


Pada saat seseorang kekurangan kadar hormon tiroid dalam darah, maka
hypothalamus pada otak akan mengirimkan impuls menuju kelenjar pituitari
anterior berupa TRH. Dengan adanya TRH yang diterima oleh kelenjar pituitari
ini maka kelenjar ini melepaskan TSH ke dalam darah yang akan meningkatkan
sekresi hormon tiroid pada kelenjar tiroid. Dengan peningkatan hormon tiroid di
dalam cairan tubuh, maka akan mengaktifkan negative feedback dengan
menurunkan sekresi TSH pada hipofisis anterior dan TRH pada hipotalamus. Bila
kecepatan sekresi hormon tiroid meningkat sampai 1,75 kali dari normal, maka
kecepatan sekresi TSH turun sampai nol. Mekanisme umpan balik ini dipakai
untuk menjaga agar konsentrasi hormon tiroid bebas dalam sirkulasi darah tetap
berada pada konsentrasi normal. Efek umpan balik ini terjadi ketika kadar hormon
tiroid meningkat dalam darah dan terjadi peningkatan metabolisme, walaupun
ketika kelenjar tiroid sudah diambil (tiroidektomi total). Oleh karena itu banyak
pengobatan hormonal yang digunakan dalam penatalaksanaan kanker tiroid pasca
operasi untuk mencegah pituitari anterior dalam mensekresi TSH yang dapat
memicu pertumbuhan sel-sel tiroid residif yang masih tersisa (Guyton and Hall,
2014).

Gambar 2.8. Jalur HPT axis

14
2.6 Faktor Resiko

 Kondisi Geografis
Kondisi geografi endemis dengan aktivasi Thyroid Stimulating
Hormone (TSH) berlebih berhubungan dengan FTC. Sedangkan
geografi nonendemis dengan tingkat yodium tinggi berkaitan dengan
PTC.
 Usia
Usia di bawah 20 tahun atau di atas 60 tahun memiliki resiko keganasan
lebih tinggi.
 Jenis Kelamin
Jenis kelamin laki-laki memiliki resiko keganasan lebih tinggi
dibanding perempuan.
 Paparan Radiasi dan lain-lain
Paparan radiasi dengan dosis radiasi di atas 20 Gy secara signifikan
berhubungan dengan terjadinya PTC tipe sporadik. Riwayat paparan
radiasi di daerah kepala dan leher pada masa lampau, riwayat gangguan
mekanik di daerah leher, dan riwayat penyakit serupa dalam keluarga
(biasanya berupa MTC) juga dapat menjadi faktor resiko kanker tiroid.

(Pasaribu, 2010)

2.7 Klasifikasi
 Karsinoma Papiler Tiroid (Papillary Thyroid Cancer/PTC)
Karsinoma papiler merupakan 80-85% dari seluruh keganasan
pada kelenjar tiroid. Karsinoma tipe ini dapat terjadi pada semua
umur, dengan puncak kejadian pada usia 40-49 tahun. Karsinoma ini
merupakan karsinoma tiroid yang bersifat kronik, tumbuh lambat,
dan mempunyai prognosis yang paling baik di antara jenis karsinoma
tiroid lainnya. Walaupun telah ada metastasis limfogen di leher,
dengan pengobatan yang baik, dapat dicapai ketahanan hidup sampai
20 tahun atau lebih. Karena tumbuh lambat dan penyebarannya di
luar tiroid juga lambat, sukar untuk menilai keberhasilan berbagai
cara teknik pembedahan atau penanganan lain. Faktor yang membuat
prognosis baik adalah usia di bawah 40 tahun, wanita, dan jenis
histologik papiler. Penyebaran limfogen tidak terlalu memengaruhi
prognosis. Faktor yang membuat prognosis kurang baik adalah usia
di atas 45 tahun serta grade tumor T3 dan T4. Tumor ini jarang
bermetastasis secara hematogen, tetapi pada 10% kasus terdapat
metastasis jauh.

15
Secara makroskopis, karsinoma papiler tiroid merupakan tumor
tidak berkapsul, berbatas tegas dengan jaringan tiroid normal,
kadang didapatkan gambaran kistik, kalsifikasi, atau osifikasi.
Delapan persen multisentris dan sering didapatkan pada kedua lobus.
Sebagian besar disertai pembesaran kelenjar limfe regional di leher.

 Karsinoma Folikuler Tiroid (Follicular Thyroid Cancer/FTC)


Karsinoma folikuler pada umumnya timbul pada usia lebih tua,
paling sering pada usia 50-59 tahun dan jarang terjadi pada usia
kurang dari 30 tahun. Angka kejadiannya lebih jarang daripada
kejadian karsinoma papiler, yaitu 5-20% dari semua keganasan tiroid
di daerah non-endemik.
Kadang ditemukan adanya tumor soliter besar di tulang seperti
di tengkorak atau humerus, yang merupakan metastasis jauh dari
karsinoma folikuler tiroid yang tidak ditemukan karena kecil (occult)
dan tidak bergejala
Pembedahan untuk karsinoma folikuler ini adalah tiroidektomi
total. Karena sel karsinoma ini menangkap yodium, radioterapi
dengan yodium 131 dapat digunakan. Bila masih ada tumor yang
tersisa ataupun terdapat metastasis, dilakukan pemberian yodium
radioaktif.
Radiasi eksternal untuk metastasis pada tulang ternyata
dilaporkan memberikan hasil yang cukup baik, terutama untuk tipe
mikroinvasif.

 Karsinoma Meduler Tiroid (Medullary Thyroid Cancer/MTC)


Karsinoma meduler merupakan 5-10% dari semua keganasan
pada kelenjar tiroid, sering sebagai bagian dari multiple endocrine
neoplasia (MEN) dan sebagian besar bilateral. Tumor ini berasal
dari sel parafolikuler yang memproduksi kalsitonin. MEN tipe 2a
(sindrom Sipple) sering disertai hiperparatiroidisme dan
feokromositoma, sedangkan MEN tipe 2b disertai feokromositoma
dan adanya neuromatosis mukosa pada bibir dan lidah,
ganglioneuromatosis usus, dan gambaran deformitas marfanoid pada
tulang rangka. Bentuk penyakit familial non-MEN tidak disertai
dengan gangguan ekstratiroid. Bentuk ini sering dijumpai pada orang
dewasa dan memiliki prognosis jelek.
Karsinoma meduler tiroid berasal dari sel parafolikuler, atau sel
C yang memproduksi tirokalsitonin. Kadang dihasilkan pula CEA
(carcinoembryonic antigen). Karsinoma meduler tiroid berbatas
tegas pada perabaan. Tumor ini terutama didapat pada usia di atas 40

16
tahun, tetapi juga ditemukan pada usia yang lebih muda bahkan pada
anak, dan biasanya disertai gangguan endokrin lainnya.
Bila dicurigai ada karsinoma meduler tiroid, dilakukan
pemeriksaan kadar kalsitonin darah sebelum dan sesudah
perangsangan dengan suntikan pentagastrin atau kalsium. Kalsitonin,
juga merupakan hormon yang dapat digunakan sebagai alat skrining
pada keluarga dengan karsinoma meduler.
Penanggulangan tumor ini adalah tiroidektomi total. Pemberian
radioterapi tidak memuaskan. Pemberian yodium radioaktif juga
tidak berhasil karena tumor ini bukan berasal dari sel folikuler, tetapi
dari sel parafolikuler (sel C) sehingga tidak menangkap atau
menyerap yodium radioaktif.

 Karsinoma Anaplastik Tiroid (Anaplastic Thyroid Cancer/ATC)


Karsinoma anaplastik didapatkan pada 5-15% dari keganasan
tiroid dan lebih sering ditemukan pada dekade 6 sampai 8 kehidupan,
khususnya wanita. Tumor tumbuh progresif, mengadakan invasi ke
struktur sekitarnya. Pada umumnya berawal dari pembesaran
kelenjar tiroid yang sudah ada dalam waktu lama, tiba-tiba
membesar dengan cepat disertai nyeri yang menjalar ke telinga dan
suara parau karena infiltrasi ke n. rekurens. Biasanya pada waktu
penderita datang sudah terjadi penyusupan ke jaringan sekitarnya,
seperti laring, faring, dan esofagus sehingga prognosisnya buruk.
Karsinoma anaplastik memiliki prognosis jelek dan sebagian besar
meninggal dalam waktu satu tahun sejak pertama kali didiagnosis.
Pada anamnesis ditemukan struma yang telah diderita cukup
lama dan kemudian membesar dengan cepat, disertai nyeri pada
penekanan, atau infiltrasi ke organ dan struktur. Salah satu gejala
yang mungkin timbul adalah suara menjadi parau pada penderita
struma nodosa yang sudah lama. Oleh sebab itu, perlu dicurigai
adanya degenasi maligna, yaitu karsinoma anaplastik.
Pemeriksaan penunjang berupa foto polos toraks, leher, dan
seluruh tulang yang dilakukan untuk mencari metastasis ke organ
tersebut.
Pembedahan biasanya sudah tidak mungkin lagi sehingga hanya
dapat dilakukan biopsi aspirasi jarum halus (FNAB) atau biopsi
insisi, untuk mengetahui jenis karsinoma. Satu-satunya terapi yang
bisa diberikan adalah radiasi eksternal dengan atau tanpa pemberian
kemoterapi antikanker (doksorubisin).
Prognosis karsinoma anaplastik buruk, dan penderita biasanya
meninggal dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun setelah diagnosis.
(Sjamsuhidajat and Jong, 2010)

17
2.8 Staging
Berdasarkan American Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi ke 8,
penilaian TNM pada kanker tiroid sebagai berikut (AJCC Cancer Staging
Manual, 2017):

T (tumor size) :
TX : tumor primer tidak dapat dievaluasi
T0 : tidak ditemukan tumor primer

T1 : ukuran tumor ≤ 2 cm terbatas pada kel. tiroid


T1a : ukuran tumor ≤ 1 cm terbatas pada kel. tiroid
T1b : ukuran tumor > 1 cm tetapi ≤ 2 cm terbatas pada kel. tiroid

T2 : ukuran tumor > 2 cm terbatas pada kel. tiroid


T3 : ukuran tumor > 4 cm terbatas pada kel. tiroid, atau menyebar
hanya sampai otot leher
T3a : ukuran tumor > 4 cm terbatas pada kel. tiroid
T3b : ukuran tumor berapa saja, tetapi sudah menyebar menginvasi
hanya sampai otot leher (sternohyoid, sternothyroid, atau
omohyoid)
T4 : tumor menyebar melewati otot leher
T4a : ukuran tumor berapa saja, tetapi sudah menyebar menginvasi
jaringan subkutan, laring, trakea, esofagus, atau n. laryngeus
reccurent
T4b : ukuran tumor berapa saja, tetapi sudah menyebar menginvasi
fascia prevertebral atau melapisi arteri carotis atau pembuluh darah
mediastinum

Gambar 2.9. Ukuran Tumor Karsinoma Tiroid

18
N (node), kelenjar getah bening regional :
NX : kel. getah bening regional tidak dapat dievaluasi
N0 : tidak ditemukan metastasis kel. getah bening regional leher
N0a : terdapat satu atau lebih bukti sitologi atau histologi kgb
jinak N0b : tidak terdapat bukti radiologi atau klinis metastasis
kgb leher
N1 : metastasis pada kel. getah bening regional
N1a : metastasis kgb leher pada level VI atau VII (pretracheal,
paratracheal, atau prelaryngeal/Delphian, atau mediastinum
superior). Dapat unilateral atau bilateral
N1b : metastasis kgb leher lateral (level I, II, III, IV, atau V) unilateral,
bilateral, atau kontralateral; atau kgb retropharyngeal

Gambar 2.10. Level Kel. Getah Bening Leher

M (metastasis), penyebaran jauh :


cM0 : tidak ada metastasis jauh
cM1 : terdapat metastasis jauh
pM1 : terdapat metastasis jauh, terbukti secara mikroskopis

19
Setelah mengetahui masing-masing faktor T, N, dan M, ketiga faktor
tersebut kemudian digabung untuk mendapatkan stadium kanker sebagai berikut :
PTC, FTC, MTC Usia < 55 th
Tabel 2.1. Stadium Penderita < 55 tahun
Stadium T N M
Stadium I T grade berapapun N grade berapapun M0
Stadium II T grade berapapun N grade berapapun M1

PTC, FTC, MTC Usia ≥ 55 th


Tabel 2.2. Stadium Penderita ≥ 55 tahun
Stadium T N M
Stadium I T1 N0/NX M0
T2 N0/NX M0
Stadium II T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3a/T3b N grade berapapun M0
Stadium III T4a N grade berapapun M0
Stadium IV A T4b N grade berapapun M0
Stadium IV B T grade berapapun N grade berapapun M1

Anaplastik
Tabel 2.3. Stadium Anaplastik

Stadium T N M
Stadium IV A T1-T3a N0/NX M0
Stadium IV B T1-T3a N1 M0
T3b-T4 N grade berapapun M0
Stadium IV C T grade berapapun N grade berapapun M1

20
2.9 Diagnosis
A. Anamnesis
o Keluhan benjolan pada leher bagian depan, benjolan membesar
sangat lambat, dan jika terjadi cepat, harus dicurigai sebagai
degenerasi kistik atau karsinoma anaplastik.
o Penekanan terhadap organ atau struktur sekitarnya. Tumor primer
biasanya tidak dikeluhkan dan tidak ditemukan secara klinis, bila
tumor cukup besar akan timbul keluhan karena desakan mekanis
pada trakea dan esofagus, atau rasa mengganjal di leher.
o Terdapat pembesaran kelenjar getah bening di leher bagian lateral.
Pada karsinoma tiroid didapatkan angka penyebaran ke kelenjar
getah bening sebesar 21-82%.
o Menanyakan faktor resiko karsinoma tiroid seperti riwayat paparan
radiasi, usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga memiliki
penyakit yang sama.

B. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
 Melihat adanya penonjolan/massa pada kelenjar tiroid dan
kelenjar getah bening regional.
 Melihat gerakan tumor pada kelenjar tiroid. Pada umumnya
tumor tiroid akan ikut dengan gerakan menelan, akan tetapi
pada stadium lanjut yang telah berinfiltrasi ke jaringan sekitar,
tumor menjadi terfiksasi dan seringkali tidak bergerak pada
waktu menelan. Hal ini sering menjadi indikator bahwa tumor
sudah tidak dapat diangkat.
 Mencari tanda metastasis, yaitu penonjolan pada bagian tubuh
lain seperti di tengkorak atau humerus, yang sering terjadi pada
karsinoma folikular.
b. Palpasi
 Palpasi kelenjar tiroid meraba apakah terdapat
penonjolan/massa pada kel. tiroid, tidak nyeri, mono-nodul
atau multi-nodul (pada umumnya mono-nodul).
 Palpasi kelenjar getah bening untuk menentukan karsinoma
telah berinfiltrasi ke kelenjar getah bening.
(Sjamsuhidajat and Jong, 2010)

C. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap fungsi tiroid
kebanyakan pasien dengan nodul tiroid biasanya menunjukkan
angka normal. Kondisi hipotiroid maupun hipertiroid lebih
mengarah kepada gangguan fungsional dari tiroid, seperti pada
nodul toksik tiroid atau tiroiditis Hashimoto, dibandingkan kearah

21
suatu kanker. Langkah pertama yang dianjurkan adalah
menentukan status fungsi tiroid dengan memeriksa TSH. Pada
kanker tiroid umumnya fungsi tiroid normal atau meningkat.
Dapat dilakukan juga pemeriksaan tiroglobulin, suatu
glikoprotein yang diproduksi oleh sel normal tiroid atau kanker
tiroid berdiferensiasi baik, tetapi pemeriksaan tiroglobulin tidak
direkomendasikan pada awal tatalaksana karena tidak bisa
memberikan gambaran suatu tumor ganas atau jinak, kecuali pada
kasus kadar tiroglobulin yang terlalu tinggi seperti pada kasus
kanker tiroid yang sudah bermetastasis. Pemeriksaan tiroglobulin
direkomendasikan untuk evaluasi pasca tindakan tiroidektomi total
dengan adjuvan RAI (radioactive iodine), dalam kondisi ini
diharapkan sisa tumor dan tiroid normal sudah tidak ada, sehingga
pada pemeriksaan tiroglobulin yang hasilnya positif atau
meningkat menunjukkan suatu pertumbuhan baru.

b. Foto Polos
Pemeriksaan foto polos dilakukan untuk mencari
metastasis. Dilakukan foto paru AP, foto polos jaringan lunak leher
AP dan lateral dengan posisi leher hiperekstensi bila tumornya
besar, esofagogram bila secara klinis terdapat tanda infiltrasi ke
esofagus, dan bone scan bila ada tanda metastasis ke tulang.

c. Ultrasonografi (USG)
Kanker tiroid berdiferensiasi baik, khususnya tipe papiler,
memiliki angka penyebaran regional ke KGB leher sebesar 20-50%
walaupun ukuran tumor primer kecil dan intratiroid. Frekuensi
mikro-metastasis kurang dari <2 mm sebesar 9%, sehingga
diperlukan pemeriksaan USG untuk menilai tumor primer dan
penyebaran KGB.
Di samping itu USG dapat dipakai untuk membedakan
nodul yang padat dan kistik, serta dapat dimanfaatkan untuk
panduan dalam tindakan biopsi aspirasi jarum halus (FNAB).

d. Tomografi Komputer (CT-scan), Magnetic Resinance Imaging


(MRI), dan Positron Emission Tomography (PET)
Pemeriksaan USG tidak selalu dapat memberikan gambaran
yang adekuat pada struktur leher dalam terutama pada pasien
dengan gambaran klinis leher besar akibat penyebaran multipel
KGB leher, terutama untuk evaluasi daerah mediastinum,
infraklavikula, retrofaring, dan parafaring. CT scan
direkomendasikan karena lebih sensitif (77%) untuk evaluasi KGB
pada area sentral dan lateral dibandingkan dengan USG (62%).
Selain itu CT scan dapat digunakan untuk evaluasi infiltrasi tumor
ke daerah sekitar seperti infiltrasi ke trakea, laring, dan esofagus.

22
Sensitivitas MRI dan PET relatif lebih rendah sekitar 30-
40% dibandingkan CT scan untuk menilai KGB leher. PET dapat
mendeteksi KGB dengan inflamasi sehingga menurunkan
spesifisitas pemeriksaan ini. Semestara MRI dipengaruhi struktur
dari traktus respiratorius, dan lebih sulit mengevaluasi nodul
dengan volume kecil. Tetapi pemeriksaan PET dapat sekaligus
mendeteksi metastasis jauh dari tumor tiroid, walaupun
pemeriksaan ini tidak direkomendasikan untuk dilakukan secara
rutin.

e. Pemeriksaan Sidik Tiroid (Radioactive Iodine/RAI)


Pemeriksaan sidik tiroid dapat dilakukan jika terdapat
fasilitas kedokteran nuklir. Dasar pemeriksaan ini adalah uptake
dan distribusi yodium radioaktif dalam kelenjar tiroid. Yang dapat
dilihat dari pemeriksaan ini adalah besar, bentuk, dan letak kelenjar
tiroid serta distribusi dalam kelenjar. Bila nodul menangkap
yodium lebih sedikit dari jaringan tiroid normal disebut nodul
dingin, bila sama afinitasnya disebut nodul hangat, dan bila lebih
tinggi disebut nodul panas. Sebagian besar kanker tiroid adalah
nodul dingin. Sekitar 10-17% struma dengan nodul dingin
menunjukkan suatu kanker.
Bila dilakukan pemeriksaan sidik tiroid, obat-obatan yang
mengganggu penangkapan yodium oleh tiroid harus dihentikan
selama 2-4 minggu sebelumnya. Pemeriksaan sidik tiroid seluruh
tubuh dapat membantu mengetahui apakah terjadi metastasis,
dimana pada organ/jaringan yang menangkap yodium lebih banyak,
dicurigai telah terjadi metastasis. Kelemahan pada penggunaan
sidik tiroid adalah hasilnya kurang dapat dipercaya pada nodul
kurang dari 2 cm.

f. Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH/FNAB)


Merupakan tindakan yang mudah dan aman, hanya saja
harus diperiksa oleh seorang ahli sitologi yang berpengalaman.
Ketepatan pemeriksaan sitologi untuk tipe anaplastik, medular, dan
papiler hampir mendekati 100% tetapi untuk tipe folikuler kurang
dapat dipakai karena gambaran sitologi goiter edematosa, folikular
edematosa, dan adenokarsinoma folikular adalah serupa, tergantung
gambaran invasi ke kapsul dan vaskuler yang hanya dapat dilihat
dari pemeriksaan sitopatologi. Diagnosis sitologi sangat membantu
pada kanker papiler dengan spesimen yang adekuat, tetapi hasil
pemeriksaan sitologi tidak dapat membedakan antara adenoma
folikular dengan karsinoma folikular. Hasil pemeriksaan sitologi
dapat dibagi menjadi enam kategori menurut klasifikasi Bethesda.
(Adham, 2019)

23
Tabel 2.4. Klasifikasi Bethesda.

No Kategori Diagnostik Risiko kanker (%) Tatalaksana Umum


1 Nondiagnostik 1-4 FNAB dengan panduan
USG
2 Jinak 0-3 Pemantauan klinis
3 Atipik atau lesi folikular 5-15 Ulangi FNAB
yang belum ditentukan
4 Neoplasma folikular 15-30 Lobektomi
5 Curiga kanker (SUSP) 69-75 Tiroidektomi hampir total
atau lobektomi
6 Kanker 97-99 Tiroidektomi hampir total
atau total

2.10 Diagnosis Banding


1. Struma diffuse toksik (Grave disease)
Penyakit Graves merupakan penyakit yang ditandai dengan trias Basedow
yaitu adanya struma tiroid difus, hipertiroidisme, dan eksoftalmos.
Merupakan hipertiroidisme yang paling sering dijumpai. Penyakit ini
sering dijumpai pada usia muda dengan gejala keringat berlebihan, tremor
tangan, sensitif panas, berat badan menurun, emosi tidak stabil, amenorea,
dan sering buang air besar.

2. Struma nodosa non toksik


Struma nodosa merupakan pembesaran kelenjar tiroid namun tanpa ada
gejala hipertiroidisme atau hipotiroidisme. Pertumbuhan struma nodosa
perlahan dan tanpa memberikan gejala yang khas selain adanya benjolan
pada leher, sebagian besar penderita struma nodosa dapat hidup normal
tanpa adanya keluhan. Dapat terjadi penyempitan trakea atau gangguan
pada saat menelan bila struma sudah bertumbuh terlalu luas. Degenerasi
pada jaringan struma ini dapat memicu pembentukan kista atau adenoma,
sekitar 5% struma nodosa dapat mengalami degenerasi maligna.

3. Tiroiditis
Tiroiditis merupakan peradangan pada kelenjar tiroid, dapat terjadi akut,
subakut, dan kronis. Tiroiditis akut dan sub akut sangat jarang ditemukan
dan biasanya disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus atau infeksi
virus pada saluran napas. Tiroiditis kronis umumnya merupakan penyakit
autoimun yang disertai kenaikan kadar antibodi terhadap hormon
tiroid/produk tiroid dalam darah.
 Tiroiditis Hashimoto
Tiroiditis kronis yang paling sering dijumpai. Pada penyakit ini
didapatkan infiltrasi limfosit ke seluruh kel. tiroid yang
menyebabkan destruksi progresif folikel kelenjar. Sering terjadi pada

24
wanita dewasa. Jika terjadi pembesaran akan timbul rasa nyeri pada
palpasi. Awalnya eutiroidisme, berkembang menjadi hipotiroidisme.
 Tiroiditis de Quervain
Inflamasi akut pada seluruh kelenjar tiroid, yang disebabkan
infiltrasi sel neutrofil yang disusul oleh sel limfosit dan histiosit.
Jenis radang ini jarang ditemukan. Gambaran klinis terjadi
pembesaran kelenjar tiroid sedang atau ringan yang sangat nyeri,
disertai gejala sistemik. Penyakit ini biasanya mereda setelah
beberapa minggu, tetapi sering kambuh kembali.
 Tiroiditis Riedel
Jenis yang sangat jarang ditemukan, dianggap sebagai reaksi
autoimun. Kelenjar tiroid menjadi keras sehingga disebut juga
“struma kayu”. Kelenjar sering asimetris sehingga sulit dibedakan
dengan adenokarsinoma anaplastik karena konsistensi yang padat.
(Sjamsuhidajat and Jong, 2010)
2.11 Penatalaksanaan
1. Terapi Operatif
Tatalaksana utama pada karsinoma tiroid adalah dengan tindakan
operatif. Berbagai literatur dan sentral pendidikan tumor sekarang hanya
merekomendasikan dua tiper operasi tiroid, yaitu lobektomi dan
tiroidektomi total. American Thyroid Association dan International
Federation of Head and Neck Oncologic Societies merekomendasikan
lobektomi hanya pada kasus dengan risiko rendah, sedangkan pada kasus
risiko sedang dan tinggi disarankan untuk tiroidektomi total agar tercapai
kontrol lokal yang adekuat dan mempermudah untuk evaluasi pasca
operasi, sehingga dapat menekan angka kekambuhan.
a. Lobektomi unilateral dan isthmektomi/hemitiroidektomi
Pengangkatan satu lobus lateral dan isthmus serta lobus
piramidalis. Bila tumor terbatas pada satu sisi tiroid pada
pemeriksaan praoperatif, lesi yang tidak lebih dari T2, dan berisiko
rendah dapat dilakukan lobektomi unilateral dan isthmektomi.
b. Tiroidektomi total
Pengangkatan seluruh lobus tiroid beserta KGB sekitar. Dilakukan
bila lesi mengenai kedua lobus atau kanker tiroid sudah memiliki
metastase jauh, memerlukan terapi isotop pasca operasi.

Teknik Operasi :
i. Posisi penderita supinasi, kepala ekstensi dengan ganjal bantal
di bawah pundak penderita. Kepala diletakkan di atas donut
baloon, dan yakinkan posisi dagu sejajar dengan long axis
pada garis median

25
ii. Disinfeksi lapangan operasi dengan batas lateral : tepi depan
m. trapezius, batas atas : bibir bawah, batas bawah : kosta 3
iii. Membuat marker untuk insisi pada lipatan kulit leher 2 jari di
atas incisura jugularis (atau 1 cm di bawah kartilago krikoid)
memanjang sampai anterior otot sternokleidomastoideus

Gambar 2.11. Marker insisi leher

iv. Insisi kulit, subkutis, dan m. platysma sekaligus menjadi satu


flap, untuk mencegah perdarahan, edema, dan perlengketan
pasca operasi.
v. Flap ke atas hingga os hyoid, flap ke bawah hingga incisura
jugularis, akan terlihat vena jugularis anterior, ligasi vena
jugularis anterior

Gambar 2.12. Retraksi kulit flap atas dan bawah

vi. Insisi fascia colli superficial secara vertikal pada garis tengah
strap muscle (m. sternohyoid dan m.sternothyroid) hingga
batas bawah sampai level incisura jugularis, batas atas sampai
kartilago tiroid.

26
Gambar 2.13. Insisi fascia coli dan pembukaan strap muscle

vii. Diseksi tumpul pertengahan strap muscle sampai fascia coli


profunda, lalu strap muscle diretraksi ke kiri dan kanan,
dilakukan pemisahan kelenjar tiroid dengan m.
sternokleidomastoideus.
viii. Diseksi tumpul dan tajam mulai dari tiroid tengah dengan
mengidentifikasi v. thyroidea media. Vena thyroidea media
diligasi dan dipotong.

Gambar 2.14. Identifikasi v. thyroidea media

ix. Diseksi pool bawah untuk mengidentifikasi arteri dan vena


tiroidea inferior. Identifikasi n. laringeus rekuren yang terletak
di sulkus trakeo-esofageal. Lakukan ligasi ganda pada a.
tiroidea inferior

27
Gambar 2.15. Struktur pada diseksi pool bawah kel. tiroid

x. Diseksi pool atas dan mengidentifikasi arteri dan vena tiroidea


superior, kemudia dibuat ligasi ganda pada pembuluh darah
dan dipotong diantaranya

Gambar 2.16. Struktur pada diseksi pool atas kel. tiroid

xi. Kelenjar paratiorid dilepaskan dari kelenjar tiroid, sambil


dipreservasi arteri yang memperdarahinya.
xii. Diseksi dilanjutkan ke arah isthmus (pada sulkus trakeo-
esofageal), ligamentum Berry dan isthmus diklem dan
dipotong

Gambar 2.17. Diseksi isthmus dan Lig. Berry

28
xiii. Ekstraksi kelenjar tiroid, penjahitan pada vasa tiroid yang
diligasi sebelumnya, kontrol perdarahan, dicuci dengan cairan
NaCl fisiologis.
xiv. Pemasangan drain yang ditembuskan ke kulit searah dengan
tepi sayatan luka operasi, kemudian difiksasi pada kulit
xv. Strap muscle direkatkan sedekat mungkin, kemudian fascia
colli ditutup dengan jahitan interrupted
xvi. Posisi leher dikembalikan, platysma didekatkan dan dijahit
interrupted.
xvii. Kulit dijahit dan ditutup dengan kasa steril. Pada waktu
ekstubasi, perhatikan keadaan pita suara dengan melihat laring
menggunakan laringoskop, adakah parese/asimetri pada korda
vokalis.
Komplikasi Pasca Operasi
a. Perdarahan
Bila darah pada botol drain > 300 ml/jam perlu dilakukan re-open.
Bila merupakan perdarahan arterial, drain kurang cepat
menampung darah dan menggumpal di leher sehingga menekan
trakea yang mengakubatkan penderita sesak nafas.
b. Lesi n. laringeus rekuren dan laringeus eksternus superior
Cedera pada n. laringeus rekuren unilateral menyebabkan suara
parau atau kesulitan bernafas pada beberapa hari pasca operasi,
dapat terjadi disfagia dan aspirasi juga.
Cedera pada n. laringeus rekuren bilateral menebabkan stridor
bifasik, gagal nafas, atau keduanya.
c. Hipoparatiroidisme
Hipokalsemia transien terjadi 1-2 hari pasca operasi. Bila timbul
gejala parestesia, kram, kejang, perlu diberikan terapi IV kalsium
glukonas 10% sebanyak 10 ml disertai kalsium peroral.
Hipoparatiroidisme permanen bila kelenjar terambil sebanyak 2
atau lebih atau terjadi kerusakan vaskularisasi. Sehingga perlu
dilakukan autotransplantasi kelenjar paratiroid pada m.
sternokleidomastoideus.
d. Hipotiroidisme
e. Infeksi

29
2. Terapi Non-Operatif
a. Radioterapi
i. Radioterapi internal dengan Radioactive Iodine (RAI)
American Thyroid Assosiation merekomendasikan untuk
RAI scanning pasca operasi pada semua level resiko, dan
RAI ablasi pada resiko sedang dan berat menggunakan I-
131 dengan dosis maksimal 150 mCi
ii. Radioterapi eksternal
Radioterapi dapat diberikan sebagai adjuvan pada kasus
kanker tiroid yang tidak responsif terhadap RAI ablasi dan
supresi hormonal, seperti pada kasus kanker berdiferensiasi
buruk, anaplastik, atau medular. Radioterapi dapat juga
diberikan pada kasus metastasis tulang dari kanker tiroid.
Dosis yang dianjurkan pada daerah yang berpotensi
diinfiltrasi tumor atau clinical target volume (CVT) adalah
sebesar 54 Gy pada KGB level II-VII, sementara CVT
resiko sedang pada level VI sebesar 60-63 Gy, dan CVT
resiko tinggi disertai batas sayatan positif disebesar 66 Gy.

b. Terapi hormonal
Pemeriksaan tiroglobulin direkomendasikan untuk menilai
apakah terdapat pertumbuhan baru jaringan tiroid pasca operasi.
Pada kasus kanker tiroid resiko rendah jika kadar tiroglobulin tidak
terstimulasi <0,2 ng/mL dilakukan kontrol TSH dengan
menggunakan levotiroksin dengan target 0,5-2 mU/L, sementara
jika kadar tiroglobulin ≥ 0,2 ng/mL target TSH diturunkan menjadi
0,1-0,5 mU/L. Kasus tiroid resiko sedang kadar TSH dikontrol
dengan target 0,1-0,5 mU/L, sementara resiko berat kontrol target
TSH < 0,1 mU/L.

2.12 Prognosis
Prognosis karsinoma tiroid bervariasi, ada yang tumbuh lambat dengan
angka kematian yang rendah, ada pula yang tumbuh cepat dengan angka kematian
yang tinggi. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi prognosis karsinoma
tiroid yaitu jenis kanker, stadium, dan metastasis. Pada PTC angka survival 5
tahun sebesar 80-90%, pada FTC sebesar 50-70%, pada MTC sebesar 30-40%,
dan pada ATC hanya < 5% (Sjamsuhidajat and Jong, 2010).
Selain itu, terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi prognosis seperti
usia, ukuran tumor, dan jenis operasi juga mempengaruhi prognosis penyakit.
Terdapat beberapa skoring yang dipakai dalam menentukan prognosis dari
karsinoma tiroid yaitu AGES (Age, Grade, Extent, Size); AMES (Age, Metastases,

30
Extent, Size); dan MACIS (Metastases, Age, Completeness of surgical,
Extrathyroidal invasion, Size) (Adham, 2019).
Tabel 2.5. Tabel Skoring AGES, AMES, dan MACIS

Sistem Faktor Resiko Prognosis


Skor prognosis = 0,05 x usia (jika ≥40 th) Survival rate (20 th)
+1 (pada stadium II)  ≤3,99 = 99%
+3 (stadium III dan IV)  4-4,99 = 80%
AGES
+1 (penyebaran ekstratiroid)  5-5,99 = 67%
+3 (metastasis)  ≥6 = 13%
+0,2 x ukuran tumor (dalam cm)
Resiko rendah : Survival rate (20 th)
Usia muda (≤40 th pada pria,≤50 th pada wanita) Resiko rendah = 99%
Usia tua (papiler intratiroid, tipe folikular
dengan invasi kapsul minor)
AMES
Resiko tinggi : Resiko tinggi = 89 %
Semua pasien dengan metastasis jauh
Tipe papiler ekstratiroid, tipe folikular dengan
invasi kapsul mayor
Tumor primer ≥ 5 cm usia tua
Skor = 3,1 (<40 th) atau 0,08 x usia (≥40 th) Survival rate (20 th)
+0,3 x ukuran tumor primer (dalam cm)  <6 = 99%
MACIS +1 (jika terdapat reseksi inkomplit)  6-6,6 = 89%
+1 (jika terdapat invasi lokal)  7-7,99 = 56%
+3 (jika terdapat metastasis jauh)  ≥ 8 = 24%

31
BAB 3

KESIMPULA

Karsinoma tiroid merupakan tumor ganas pada kelenjar tiroid, yang


merupakan organ endokrin terbesar pada tubuh manusia. Angka kejadian kanker
tiroid sendiri berada para urutan ke 9 dari seluruh penyakit kanker tersering di
Indonesia. Terdapat beberapa faktor resiko yang dapat menimbulkan kanker tiroid
ini yaitu adanya riwayat paparan radiasi, kondisi geografis, riwayat penyakit
keluarga, jenis kelamin, dan usia. Pada penderita dengan usia kurang dari 20
tahun dan lebih dari 60 tahun resiko perkembangan keganasan menjadi lebih
meningkat dibandingkan pada penderita dengan rentang usia 20-60 tahun.
Pembagian klasifikasi kanker tiroid berdasarkan sel yang berdiferensiasi
baik dan sel berdiferensiasi buruk. Klasifikasi sel berdiferensiasi baik yaitu pada
tumor papiler (PTC), tumor folikuler (FTC), dan tumor medula (MTC),
sedangkan untuk sel berdiferensiasi buruk yaitu pada tumor anaplastik (ATC).
Penggolongan stadium kanker tiroid menggunakan sistem TNM dan akan
digolongkan sesuai tingkat keparahan stadium I-IV.
Gejala utama pada kanker tiroid adalah ada penonjolan pada bagian leher
depan, bisa disertai rasa tidak nyaman pada leher, dan sering dijumpai adanya
pembesaran kelenjar getah bening. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk
mengidentifikasi kedua lobus simetris/tidak, lalu perabaan pada area leher depan
untuk mengetahui karakteristik tumor pada kelenjar tiroid. Dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium, foto x-ray, USG, CT-
scan, pemeriksaan sidik tiroid (RAI), dan biopsi (FNAB).
Tatalaksana pada kasus kanker tiroid adalah dengan dilakukan tindakan
pembedahan lobektomi atau total tiroidektomi tergantung pada tingkat keparahan
penyakit, lalu dilanjutkan dengan terapi pasca operasi berupa RAI ablasi, terapi
hormonal dengan levotiroksin, dan kontrol kadar TSH dalam darah. Prognosis
dari kanker ini bervariasi dan digolongkan berdasarkan kriteria AGES, AMES,
dan MACIS.

32
DAFTAR PUSTAKA

Adham, M. and Aldino, N. (2019) „Diagnosis Dan Tatalaksana Karsinoma Tiroid


Berdiferensiasi‟, Oto Rhino Laryngologica Indonesiana, 48(2), p. 197.
AJCC Cancer Staging Manual (2017) AJCC Cancer Staging Manual.
Guyton and Hall (2014) Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran,
Elsevier, Singapore.
Kemenkes RI (2019) „Artikel Hari Kanker Sedunia 2019‟, Kemenkes RI, p.
Available at: https://www.depkes.go.id/article/view/19020100003/hari-
kanker-sedunia-2019.html.
Moore, K. L., Dalley, A. F. and Agur, A. M. . (2014) Clinically Oriented Anatomy
Seventh Edition, Lippincott Williams & Wilkins.
Pasaribu, E. (2010) „Epidemiologi dan Gambaran Klinis Kanker Tiroid‟, 39(3),
pp. 1–4.
Riskesdas 2018 (2018) „Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar‟,
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, pp. 1–100.
Schwartz S, Shires G, S. F. (2006) Schwartz Manual of Surgery, Southern
Medical Journal.
Sjamsuhidajat and Jong, D. (2010) Buku Ajar Ilmu Bedah, Penerbit Buku
Kedokteran EGC

33

Anda mungkin juga menyukai