Oleh:
Pembimbing:
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tinjauan pustaka yang
berjudul ”Tatalaksana Krisis Myasthenia”. Tinjauan pustaka ini bertujuan sebagai salah
satu sarana pembelajaran dan salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Pendidikan
Dokter Spesialis Neurologi Fakultas Kedotkeran Universitas Sriwijaya/ RSUP DR. Moh.
Hoesin Palembang.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Octaviani, SpS, M.Kes selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
tinjauan pustaka ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya tinjauan
pustaka ini.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan tinjauan
pustaka ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan di masa
yang akan datang. Mudah-mudahan tinjauan pustaka ini dapat memberi manfaat bagi
yang membacanya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................2
A. Definisi ............................................................................................................2
B. Epidemiologi ......................................................................................................2
C. Faktor Predisposisi .............................................................................................3
D. Patofisiologi .......................................................................................................5
E. Manifestasi Klinis ..............................................................................................6
F. Penegakkan Diagnosis ......................................................................................8
G. Penatalaksanaan .................................................................................................9
BAB III KESIMPULAN .....................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................21
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Myasthenia gravis merupakan penyakit neuromuscular juction yang
paling sering ditemui. Neuromuscular junction merupakan sinaps yang
terkhususkan dengan susunan struktural dan fungsional yang kompleks dan
merupakan tempat dimana konversi elektrokimia impuls saraf menjadi
potensial aksi serabut otot.1 Myasthenia gravis merupakan penyakit autoimun
yang mengenai transmisi neuromuscular, yang ditandai dengan kelemahan
otot baik terlokalisir ataupun generalisata dan bersifat fluktuatif yang makin
memberat dengan aktivitas dan membaik dengan istirahat.2,3
Krisis myasthenia merupakan komplikasi dari myasthenia gravis yang
ditandai dengan memburuknya kelemahan otot dan dapat menyebabkan gagal
nafas. Krisis myasthenia merupakan suatu kegawatdaruratan neurologi yang
dapat mengancam nyawa.3,4
B. EPIDEMIOLOGI
Insiden myasthenia gravis sekitar 1–2/100.000 per tahunnya dengan
prevalensi 5–15/100.000, dengan 20% pasien dengan onset diatas 60 tahun.
Sekitar 15 – 20% pasien dengan myasthenia gravis mengalami krisis
myasthenia, biasanya dalam tahun pertama. Krisis myasthenia dapat menjadi
suatu gambaran awal myasthenia gravis pada 20% pasien dan sepertiga pasien
yang bertahan dapat mengalami periode krisis lainnya.3,4,5 Jenis kelamin dan
umur juga berpengaruh terhadap kejadian myasthenia gravis.1 Wanita dua kali
lebih sering terkena krisis myasthenia dibandingkan pada laki-laki dengan
rata-rata usia 59 tahun. Keluaran klinis meningkat secara signifikan dan saat
ini dilaporkan tingkat mortalitas sekitar 5%.3,4,5
2
Tabel 1. Gambaran demografis krisis myasthenia pada dewasa2
Gambaran Onset awal (sebelum 50 Onset lanjut (diatas 50
tahun) tahun)
Rasio jenis kelamin P:L=2:1 P:L=1:1
Insiden krisis 15 – 20% Hingga 50%
myasthenia
Durasi median dari 8 bulan Tidak diketahui (bisa
gejala awan lebih lama)
myasthenia
Pencetus Infeksi Kontrol penyakit yang
buruk
Respon terapi Biasanya cepat (75% Relatif lambat (50%
membaik dalam 4 membaik dalam 4
minggu) minggu)
Keterjadian relaps Rendah (<10%) Bisa lebih tinggi
(hingga 33%)
C. FAKTOR PREDISPOSISI
Pasien dengan krisis myasthenia biasanya terdapat faktor predisposisi,
walaupun 30 – 40% kasus tidak ditemukan faktor predisposisinya. Beberapa
faktor pencetusnya yang paling sering yaitu infeksi saluran nafas (40%), stres
emosional, mikroaspirasi (10%), perubahan regimen pengobatan (8%),
tindakan bedah atau trauma.2,3 Beberapa obat dapat mencetuskan kejadian
krisis myasthenia sehingga obat ini harus dihindari atau digunakan secara hati-
hati.3,8 Saat ini telah diketahui bahwa myasthenia gravis berhubungan dengan
patologi thymus. Krisis myasthenia terjadi dua kali lebih sering pada pasien
dengan tymoma.3,7 Kehamilan juga dapat menjadi pencetus krisis myasthenis
pada 33% kasus dan krisis myasthenia dalam kehamilan mempengaruhi
tingkat mortalitas perinatal yang tinggi.2,8 Beberapa pencetus yang lainnya
antara lain menstruasi, tappering off pengobatan imunosupresan, paparan suhu
yang ekstrim, nyeri, kurang tidur, dan stres fisik atau emosional.3,6
3
Tabel 2. Pengobatan yang dapat mencetuskan krisis myasthenia3
Golongan Obat
Antipsikotik Phenothiazine, sulpride, atypical
(clozapine)
Obat neuromuscular blocking Succinylcholine, vecuronium
Antikolinergik Termasuk proparacaine okular
Obat kardiovaskuler Cibenzoline, lidocaine (dosis
sistemik), procainamide, propanolol
dan beta bloker lainnya, quinidine,
verapamil, bretylium, statin
Obat neurologi dan psikoaktif Chlorpromazine, lithium, fenitoin,
trihexylphenidyl, trimethadione
Antibiotik Semua aminoglikosida, ciprofloxacin,
colistin, lincomycin (termasuk
clindamycin), makrolide, eritromisin,
klaritromisin, telitromisin, penisilin
(temasuk amipcilin dan imipenen-
cilastatin, polymyxins, tetrasiklin)
Antimikrobial Emetine, imiquimod, ritonavir
Antitheumatologik dan imunosupresif Chloroquine, penicillamine,
prednison (dan glukokortikoid
lainnya), interferon
Obat lainnya Aprotinin, agen kontras iodin,
levonogestrel, magnesium,
metoxyflurane, pyrantel pamoat,
propafenone, dextro carnitine-
levocarnitine, interferon alfa,
methocarbamol, transdermal nicotine,
acetazolamide
4
D. PATOFISIOLOGI
Myasthenia gravis merupakan gangguan yang disebabkan olah antibody
complement-mediated dan reaksi imunologi T-cell dependent pada membran
post-sinaptik neuromuscular junction, terutama terhadap reseptor asetilkolin
(AchR). Antibodi yang berikatan dengan epitop end-plate otot skeletal
menghasilkan transmisi neuromuskular dan kelemahan.3
5
aktivasi MuSK ke jalur penghantaran ke bawah, dan rapsyn, yang berikatan
dengan AChR. Tiga protein target antigenik pada neuromusvular junction post
sinaptik yang teridentifikasi pada myasthenia gravis: AChR, MuSK, dan
LRP4.2,3,7
Myasthenia gravis dapat disebabkan oleh adanya antibodi pada AChR.
Anti-AChR antibodi bersifat patogenik karena dapat mengurangi jumlah
AChR pada neuromuscular junction melalui tiga mekanisme, yaitu:7
1. Anti-AChR antibodi berikatan dan bertautan dengan AChR menghasilkan
peningkatan endositosis dan degradasi AChR pada sel otot.
2. Anti AChR mengikat faktor komplemen pada membran post sinaptik,
menghasilkan lisis fokal pada lipatan post sinaptik pada neuromuscular
junction.
3. Penghancuran pada protein yang berhubungan dengan AChR seperti
utrophin, rapsyn, dan VGSC, mengganggu transmisi neuromuscular yang
mana protein ini berperan dalam membentuk dan mempertahankan
neuromuscular junction.
E. MANIFESTASI KLINIS
Kegagalan nafas pada krisis myasthenia bisa berupa suatu bentuk
hipoksemia atau hiperkapnia, dan merupakan akibat dari gabungan
permasalahan pada buruknya proteksi jalan nafas, bersihan sekresi yang tidak
adekuat, dan hipoventilasi.7,8 Kelemahan otot pada bisa berdampak pada otot
6
interkostal dan otot bantu nafas dan selanjutnya mengenai otot diafragma.
Disfungsi otot bulbar (orofaringeal) dapat menjadi suatu gambaran pada
beberapa pasien.3,7,8 Pengaturan ventilasi sentral pada pasien krisis myasthenia
tetap intak, walaupun respon minute ventilation terhadap CO2 buruk.8
Umumnya, ptosis, opthalmoparesis, kelemahan wajah dan bulbar dapat
ditemukan pada kelemahan umum.3,8 Keterlibatan otot bantu nafas
menunjukkan kelemahan otot inspirasi dan refleks batuk yang lemah dan
kesulitan menghitung (dari 1 sampai 20) dalam satu tarikan nafas
menunjukkan kelemahan otot ekspirasi.8 Tanda kelemahan bulbar dapat
berupa disfagia, regugitasi nasal, sengau, pola ucapan staccato, kelemahan
rahang (lebih lemah saaat menutup rahang dibandingkan membuka rahang),
parese bifasial, dan kelemahan lidah. Disfungsi paling penting yang
menandakan keterlibatan saluran nafas atas yang dapat mengarah ke gagal
nafas yaitu kelemahan otot laringeal yang disebabkan oleh adduksi atau
kelemahan vocal cord selama inspirasi.3,8
Tabel 3. Tanda dan gejala ancaman gagal nafas pada krisis myasthenia8
Otot abdominal paradoksikal
Penggunaan otot bantu nafas
Batuk setelah menelan
Disfagia
Hipofonia
Ketidakmampuan mengangkat kepala karena kelemahan otot leher
Berkeringat pada dahi
Kelemahan rahang (menutup rahang lebih lemah dibanding membuka
rahang)
Regugirtasi nasal
Orthopnea
Berhenti sesaat selama bicara untuk menarik nafas
Nafas yang cepat dan dangkal
Cara bicara staccato atau sengau
7
Hanya bisa menghitung < 15 hitungan dalam saatu tarikan nafas
Stridor
Takipnea
Kelemahan lidah
Batuk yang lemah
Suara gurgling
F. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Umumnya, disfungsi bulbar dan pernapasan yang terjadi secara simultan
dengan kelemahan seluruh otot merupakan karakteristik dari myasthenia.8
Gambaran klinis lainnya seperti sesak nafas, takipnea, ortopnea, takikardi,
berkeringat, penggunaan otot bantu pernapasan, dan ventilasi paradoksal.
Kolapsnya jalan nafas ditandai dengan batuk dan gangguan menelan, sehingga
menyebabkan akumulasi sekret di faring.3,8
Penegakkan diagnosa krisis myasthenia perlu dilakukan sesegara
mungkin dengan pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan dasar.3
Pemeriksaan elektrofisiologi saraf perifer dengan stimulasi saraf motorik
repetitif dan single fibre (EMG) lebih disukai untuk mengkonfirmasi
diagnosis.3,8 Abnormalitas pemeriksaan elektrodiagnostik yang menjadi
karakteristik yaitu decrement progresif pada amplitudo aksi potensial otot
dengan stimulasi saraf repetitif (repetitive nerve stimulation) pada 3 atau 5 Hz.
Respon decremental dapat terlihat pada 90% pasien paling tidak pada tida
sistem neuromuscular (seperti medianus-thenar, ulnar-hipotenar, assesory-
trapezius).9,10
Uji Edrophonium (Tensilon) tidak direkomendasikan yang dicurigai
mengalami krisis myasthenia karena dapat memberikan hasil positif dan
negatif palsu, dan resiko terjadinya perburukan kelemahan otot pada pasien
dengan overdosis antikolinesterase.3,8
8
Gambar 2. Stimulasi repetitif pada nervus ulnaris. (A) Pada subjek normal,
menunjukkan amplitudo CMAP (compound muscle action potential) yang
stabil. (B) Pada pasien myasthenia gravis, amplitudo CAMP normal saat
istirahat tapi berkurang setelah stimulasi berulang yang rendah pada 3 Hz. (C)
Pada pasien dengan sindrom Lambert Eaton, amplitudo CAMP awalnya
berkurang namun selama stimulasi berulang yang tinggi pada 20Hz, amplitudo
CMAP meningkat secara drastis.10
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan krisis myasthenia harus dilakukan secara tepat dan
multidisiplin. Tatalaksana secara tepat dan cepat terhadap ancaman paralisis
pernapasan merupakan kunci sukses untuk penatalaksanaan karena hal yang
paling mengancam nyawa yaitu gagal nafas sehingga perlu diberikan ventilasi
elektif berdasarkan diagnosis klinis tanpa menunggu adanya hipoksemia pada
gambaran analisa gas darah.3,9
9
Krisis myasthenia
Ventilator
10
1. Intubasi dan ventilasi mekanik
Keputusan dalam menentukan mode ventilator harus berdasarkan
keputusan klinis. Observasi dan pengukuran kapasitas vital, pengukuran
peak flow, nadi, dan tekanan darah lebih penting dibandingkan
monitoring gas darah.3 Oleh karena itu uji ventilatori perlu dilakukan,
yaitu forced vital capacity (FVC), negative inspiratory pressure (NIP),
positive expiratory pressure (PEP), dan analisa gas darah arteri. Pola
20/30/40 (FCV<20 mL/kg; NIP<30 cmH2O, dan PEP<40 cmH2O)
merupakan pedoman untuk menentukan intubasi.3,8 FCV<30 mL/kg
berhubungan dengan batuk yang tidak efektif, sekresi yang sulit,
etelektasis, dan hipoksemia, NIP<20 cmH2O menandakan kelemahan
otot inspirasi pernapasan dan diafragma, dan PEP < 40 cmH2O
menunjukkan keterlibatan fungsi otot ekspirasi dalam fungsi batuk dan
pembersihan sekresi. Namun, seringkali kelemahan berfluktuasi sehingga
pasien bisa tiba-tiba mengalami apnea secara tiba-tiba dan kegagalan
nafas secara cepat sebelum tercapainya parameter tersebut.3,5,8
Pengenalan terhadap ancaman paralisis pernapasan merupakan kunci
managemen yang sukses. Tanda klasik distres pernapasan seringkali
muncul lebih terlambat pada pasien. Pemberian bantuan nafas
dipertimbangkan bila FVC < 20 mL/kg, volume tidal < 5-6 mL/kg, atau
jika PaO2 turun hingga < 85 mmHg dan PaCO2 meningkat hingga > 45
mmHg. Kelainan pada saturasi oksigen dan analisa gas darah tidak bisa
dijadikan prediktor dalam penentuan keputusan dilakukannya intubasi
karena nilai ini seringkali baru tampak pada fase atau siklus
dekompensasi.8
Hipoksemia yang mengancam nyawa (PaO2 <60%) dapat terjadi
setelah gagal nafas dan membaik setelah diberikan oksigen
sumplemental. Pada kondisi seperti ini, kita dapat menggunakan bilevel
positive airway pressure (BiPAP), karena penggunaan tekanan positf
dapat meningkatkan resistensi saluran nafas atas untuk mencegah kolaps
11
alveolar dan atelektasis. Hiperkapnia berat (PaCO2<50 mmHg)
menunjukkan BiPAP gagal dan menandakan kelelahan otot.3,5
Indikasi multak dilakukan intubasi yaitu henti nafas atau henti
jantung, penurunan kesadaran, syok, aritmia yang mengancam nyawa,
kelainan gas darah berat, dan disfungsi bulbar yang diikuti dengan
adanya aspirasi.3,8
Penggunaan ventilator dapat memperbaiki kelelahan otot dan
mempertahankan ekspansi paru. Mode ventilasi assist-control dengan
volume tidal rendah (6-8 mL/kg), kecepatan nafas 12-16 kali/menit, dan
positive end-expiratory pressure (PEEP) 5 cmH2O perlu diatur untuk
mencapai SaO2 >92% atau PaO2 >70 mmHg. Ventilasi pressure support
(Ps) antara 5 hingga 15 cmH2O merupakan pilihan lain. Pada kasus
terjadi atelektasis, dipertimbangkan untuk menggunakan manouver
rekruitmen atau penerapan nafas panjang (1,5 x volume tidal) 3 – 4x/
hari. Pada pasien dengan hiperkarbia kronis, PaO2 perlu dijaga diatas 45
mmHg untuk mencegah terjadinya alkalosis dan hilangnya bikarbonat
sehinggal membuat weaning semakin sulit.3,5
Weaning ventilator seharusnya dimulai setelah pasien mengalami
perbaikan kekuatan otot, hemodinamik stabil tanpa ketidakseimbangan
elektrolit, demam, infeksi, komplikasi sistemik, dan penyebab
terpasangnya ventilasi mekanis telah teratasi. Perbaikan kekuatan otot
fleksor leher dan otot tambahan lainnya berhubungan dengan perbaikan
kekuatan otot bulbar dan otor pernapasan dan merupakan prediktor untuk
menilai perbaikan klinis. Rekomendasi dalam melakukan proses weaning
ditentukan setiap harinya dengan kriteria sederhana seperti oksigenisasi
yang baik, PaO2/FiO2 ≥ 200mmHg, PEEP ≤ 5 cmH2O, hemodinamik
stabil, dan status kesadaran yang baik sehingga memungkinkan untuk
batuk secara efektif. Pasien peru diubah menjadi mode spontan (misalnya
ventilasi pressure support) menjadi T-tube. Pressure support dapat
diturunkan secara perlahan hingga pengaturan minimal. Namun, jika
12
pasien tidak dapat dilakukan weaning, maka assisted ventilation perlu
digunakan kembali.3,8
Kelemahan yang berfluktuasi dan komplikasi pada paru sering
menjadi penyulit untuk dilakukan ekstubasi. Pasien bisa dilakukan
ekstubasi bila VC ≥15 mL/kg, PImax ≤ 20cmH2O, PEmax > 40cmH2O,
dan volume tidal ≥ 5mL/kg. Jika pasien mengeluhkan kelelahan nafas
atau sesak, ekstrubasi belum bisa dilakukan hingga indikasi diatas
tercapat dan analisa gas darah normal.3
Beberapa faktor resiko yang menjadi faktor resiko intubasi
berkepanjangan yaitu usia diatas 50 tahun, kapasitas vital <25 mL/kg
pada hari 1 hingga 6 post intubasi, dan serum bikarbonat ≥30 mmol/L.
Pasien dengan intubasi berkepanjangan dirawat di rumah sakit tiga kali
lebih lama dan cenderung mengalami ketergantungan fungsional hingga
rawat jalan.4
Intubasi ulang pada krisis myasthenia terjadi pada seperempat
kasus. Asidosis, berkurangnya FVC, atelektasis, dan kebutuhan ventilasi
non invasif merupakan prediktor dilakukannya intubasi ulang. Untuk
mencegah atelektasis, perlu dilakukan intubasi segera, fisioterapi dada
agresif, dan suction berkala perlu diterapkan dengan memberikan tekanan
positif yang tinggi pada akhir ekspirasi (high positive end-expiratory
pressure).4
13
2. Ventilasi tekanan positif non-invasif
Ventilasi non-invasif dapat digunakan untuk mencegah intubasi
atau intubasi ulang pada pasien dengan krisis myasthenia. Dengan
BiPAP, tekanan positif dapat digunakan selama fase respirasi,
meningkatkan aliran udara, meringankan usaha pernapasan selama
ispirasi, dan mencegah kolapsnya jalan nafas dan atelektasis selama
ekspirasi. Penggunaan NIPPV lebih awal setelah ekstubasi dapat
mengurangi resiko terjadinya gagal nafas dan menurunkan mortalitas
pada pasien hiperkapnia dengan kelainan respirasi kronis.3,8 Beberapa
keuntungan dan kerugian penggunaan ventilasi non-invasif yaitu:
3. Bronkodilator
Bronkodilator berguna dalam mempertahankan patensi jalan nafas
dan mengatasi bronkospasme.8 Ipratropium bromide inhalasi dapat
menjadi pilihan karena aman dan dapat mengurangi sekresi bronkial.3,8
Pulmonary toilet perlu dilakukan karena batuk yang tidak efektif.
14
Fisioterapi dada (chest physiotherapy) secara agresif (perkusi, fibrasi,
dan drainage postural) dan pembersihan jalan nafas (suction teratur dan
bronkoskopi fiberoptik terapeutik pada kasus berat) perlu diterapkan.
Kelembaban udara inhalasi seharusnya sekitar 80% pada 370C.3
4. Imunoterapi
Pengobatan imunomodulator dipertimbangkan sebagi penanganan
standar pada krisis myasthenia. Imunimodulator spesifik meliputi
pertukaran plasma (PE), imunoadsorpsi (IA), dan human IVIg.3,5
IVIg merupakan derivat darah IgG-purifikasi. Mekanisme kerjanya
masih belum diketahui. Dibutuhkan 5 hari untuk memberikan efek
terapeutik dengan dosis 0,4 gr/kg/hari selama 3-5 hari. Pasien perlu
dilakukan penyapihan defisiensi IgA untuk mencegah anafilaksis. Efek
samping yang sering ditemui yaitu demam, kelebihan cairan, mual, dan
nyeri kepala. Efek samping yang lebih jarang dan efek samping serius
yaitu meningitis aseptik, edema paru, anafilaksis, disfungsi renal, aritmia
jantung, trombositopenia, stroke, infark miokard, dan emboli paru.3
PE dan IA merupakan terapi yang paling efektif bila membutuhkan
respon yang cepat, terutama pada pasien yang tidak mengalami
perbaikan, mengalami perburukan, atau dengan komplikasi yang
berat.3,12 Respon umumnya sekirat 2 hari. Tujuan dari tindakan ini yaitu
deplesi antibodi patogenik secara cepat dari plasma, yang menyebabkan
penyeimbangan osmotik antara ekstra dan intravascular untuk
mengurangi antibodi pada neuromuscular junction. PE dan IA dilakukan
dengan regimen dosis rendah: plasma 1,5 L (20-25 mL/kg), per sesi,
dengan kecepatan pertukaran 10-20 mL/menit. Prosedur ini
membutuhkan akses vena sentral dan antikoagulan. PE dilakukan dengan
lima kali pertukaran setiap 2 hari selama 10 hari. Penggantian dengan
cairan normal saline atau albumin 5%.3
15
5. Steroid dan agen imunosupresif lainnya
Pada pasien myashenia gravis yang sebelumnya mendapatkan
steroid sebaiknya tidak menghentikan steroid. Pada krisis myasthenia,
steroid bisa ditingkatkan.3 Steroid dapat diberikan setelah plasmapharesis
atau pemberian IVIg, yaitu prednison dengan dosis 1 mg/kg/hari (60 –
100 mg per hari).3,13 Kapan waktu pemberian steroid masih kontroversial,
tetapi biasanya diindikasikan pada pasien yang tidak bisa diekstubasi 2
minggu setelah imunoterapi spesifik. Pemberian steroid juga bisa
diberikan besamaan dengan dilakukannya plasmaparesis atau IVIg,
karena prednison biasanya bekerja setelah 2 minggu. Pemberian secara
enteral lebih disukai dan pemberian prednison bisa ditangguhkan bila
pasien perbaikan dan ekstubasi setelah penderita mendapat
plasmapharesis atau IVIg. Rerata waktu yang dibutuhkan untuk
perbaikan sekitar 12 hari. Perburukan gejala setelah memulai pemberian
steroid tidak menjadi suatu prediktor respon dari kortikosteroid. Bila
setelah memulai pemberian steroid, penderita menunjukkan perbaikan,
dosis bisa dikurangi dan diturunkan secara bertahap dengan dosis
alternating. Perlu diketahui bahwa steroid juga bisa mencetuskan
kelemahan otot atau meningkatkan resiko terjadinya miopati penyakit
kronis (critical illness myopathy). Pada pasien dengan sepsis, sebaiknya
pemberian steroid ditunda hingga dengan proses infeksinya terkontrol.
Kontraindikasi relatif pemberian steroid yaitu kontrol metabolik yang
jelek dan osteoporosis berat. Obat imunosupresan yang lainnya yang
sering digunakan untuk tatalaksana jangka panjang myasthenia gravis
seperti cyclosporin, azathioprine, atau mycophenolate, tidak bermanfaat
pada kasus krisis myasthenia dikarenakan onset aksinya yang lambat.3
6. Asupan nutrisi
Nutrisi yang adekuat penting untuk mencegah balance energi yang
negatif dan perburukan kekuatan otot. Semua pasien krisis myasthenia
harus menerima dukungan nutrisi yang adekuat (25-35 kalori/kgBB)
16
melalui jalur enteral jika memungkinkan. Pada pasien dengan hiperkarbia
dan kesulitan weaning, perlu diberikan diet yang rendah karbohidrat.
Penurunan potasium, magnesium, dan fosfat dapat mencetuskan krisis
myasthenia dan perlu dikoreksi. Anemia juga dapat memperberat
kelemahan dan dianjurkan dilakukan transfusi jika nilai hematokrit
dibawah 30%.3
8. Farmakoterapi
Penggunaan antikolinesterase, terutama penggunaan secara
intravena sebagai terapi pada myasthenia gravis masih kontroversial
karena resiko terjadinya komplikasi kardiak (aritmia dan infark
miokard).1,2 Selain itu, penggunaan antikolinesterase juga dapat
mencetuskan sekresi saliva dan gastrik yang berlebihan sehingga dapat
meningkatkan resiko terjadinya pneumonia aspirasi.2
17
Bila pasien telah mendapatkan ventilasi, akan lebih aman untuk
menghentikan penggunaan antikolinesterase. Hal ini bertujuan untuk
menghilangkan kemungkinan efek kolinergik berlebihan dan
memungkinkan untuk melakukan penentuan keparahan penyakit.1,9
Selain itu, pengguanaan antikolinesterase tidak efektif pada pasien krisis
myasthenia dan memang sebaiknya dihentikan karena antikolinesterase
tidak mengobati imunopatologi pada krisis myasthenia, justru dengn
terapi imunomodulator yang penting pada krisis myasthenia.15 Setelah
mengetahui dan menyingkirkan faktor pencetus terjadinya krisis,
penggunaan antikolinesterase dapat mulai diberikan dengan dosis kecil
dan dititrasi hingga dosis optimal.1,9
Sebagai tambahan, bila pada krisis myasthenia tetap dilanjutkan
pemberian antikolinesterase justru dapat mengacaukan penilaian
modalitas pengobatan lainnya dan dapat memperberat kelemahan otot
jika digunakan secara berlebihan.8 Pengobatan ini tidak mempengaruhi
terhadap proses krisis itu sendiri dan hanya memberikan tatalaksana
simptomatik pada myasthenia. Setelah pasien menunjukkan perbaikan
kekuatan otot, biasanya beberapa hari setelah dimulainya plasmaparesis
atau pemberian IVIg, antikolinesterase seperti piridostigmin oral dapat
diberikan setelahnya atau sebelum dilakukan ekstubasi. Piridostigmin
oral lebih disukai dibandingkan intravena.4,8 Satu miligram piridostigmin
intravena sama dengan 30 mg piridostigmin oral. Pemberian
antikolinesterase seharusnya dimulai dengan dosis kecil dan dititrasi
hingga perbaikan simptomatik. Pemberian piridostigmin intravena secara
kontinus sebagai pengobatan krisis myasthenia memiliki efek yang sama
dengan plasmaparesis, namun meningkatkan resiko terjadinya aritmia
jantung yang mengancam nyawa.4,8
Pada beberapa kasus krisis myasthenia dapat dipertimbangkan
untuk pemberian antikolinesterase seperti neostigmin. Namun,
pemberiannya harus dengan hati-hati karena pada kasus kelemahan
progresif, krisis kolinergik seringkali tumpang tinding dengan kelemahan
18
myasthenia karena penggunaan asetilkolinesterase yang berlebihan.8,16
Jika kekuatan otot tidak membaik dengan pemberian dosis tunggal
neostigmin (0,5 – 1 mg) atau piridostigmin (1 – 2 mg) yang
dikombinasikan dengan atrophine (0,5 mg) intravena, penilaian/ evaluasi
emergensi perlu dilakukan termasuk bantuan ventilasi. Selama diberikan
ventilasi, penggunaan asetilkolinesterase dapat diberikan dengan dosis
pemeliharaan secara intravena kontinu (neostigmin 0,15 – 0,5 mg/ jam,
dengan dosis maksimal 8 – 12 mg/hari). Bila mengalami perbaikan, maka
asetilkolinesterase dapat diturunkan agar dapat menilai respon klinis
terhadap terapi.16
19
BAB III
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
3. Godoy DA, Mello LA, Masotti L, Napoli DN. The myasthenic patient in
crisis: an update of the management in Neurointensive Care Unit. Arq
Neuropsiquiatr 2013;71(9-A):627-639.
5. Murthy MK, Meena AK, Chowdary GVS, Naryanan JT. Myasthenic crisis;
Clinical features, complications and mortality. Neurology India March
2005;53(1);37-40.
9. Louis ED, Mayer SA, Rowland LP. Merritt’s Neurology 13rd ed. 2016.
Philadelphia: Wolters Kluwer.
10. Wu YF, Martinez MA, Balaquer PO. Overview of the Application of EMG
Recording in the Diagnosis and Approach of Neurological Disorders,
Electrodiagnosis in New Frontiers of Clinical Research, Dr. Hande Turker
(Ed.), InTech, DOI: 10.5772/56030. Available from:
http://www.intechopen.com/books/electrodiagnosis-in-new-frontiers-of-
clinical-research/overview-of-the-application-of-emg-recording-in-the-
diagnosis-and-approach-of-neurological-disorders
11. Bhagat H, Grover VK, Jangra K. What is optimal in patients with myasthenic
crisis: Invasive or non-invasive ventilation? Journal of Neuroanaesthesiology
and Critical Care 2014;1(2):116-120.
21
12. Sanders DB, et al. International Consensus Guidance for Management of
Myasthenia Gravis. Neurology 2016;87:1-7.
13. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Clinical Neurology 9th ed. 2015.
USA: McGraw Hill.
14. Lindsay KW, Bone I, Fuller G. Neurology and Neurosurgery Illustrated 5th
ed. 2010. USA: Churchil Livingstone Elsevier.
15. Drislane FW, Benatar M, Vhange B, et al. Neurology Blueprints. 4th ed. 2014.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
22