Anda di halaman 1dari 28

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK DENGAN

MASALAH FRAKTUR PADA LANSIA

Dosen Pembimbing : Haerati, S.Kep, Ns,.M.Kes

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1

1. ARYA ARI NUGRAHA 7. NURTASBI RAMADHANI


2. DEVI YULIANA 8. RHOYFATUR RIZQI
3. HERLIANA 9. RISKI NOPRIANI
4. HELMALIA JELITA PUTRI 10. WANDA SARI
5. JARNIATI 11. YUSNITA
6. JUSRIANI

STIKES PANRITA HUSADA BULUKUMBAA


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
KELAS DOMISILI SELAYAR
T.A. 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Mah Kuasa,berkat limpahan
rahmatnya kami dapat menyelesaikan askep ini dengan judul “Asuhan keperawatan
gerontik dengan masalah fraktur pada lansia”

Dalam penilisan askep ini tentunya tidak terlepas dari berbagai hambatan dan
kesulitan. Namun berkat bimbingan dan arahan serta bantuan berbagai pihak makalah ini
dapat diselesaikan.

Untuk itu dengan segala kerendahan hati kami menyampaikan ucapan terima kasih
kepada :

1. Ibu Dr. Muriyati, S.Kep.,M.Kes Selaku Ketua Stikes Panrita Husada Bulukumba
2. Haerati, S.Kep, Ns,.M.Kes selaku dosen pembimbing
3. Orang tua dan keluarga yang telah memberikan dorongan moral maupun material,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penusunan makalah ini
4. Rekan – rekan mahasiswa/i yang telah memberikan bantuan dalam rangka
penyusunan askep ini.

Penulis menyadari bahwa penulis Asuhan keperwatan ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Penulis
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan tenaga
keperawatan pada khususnya dalam meningkatkan perawatan pada pasien.

Selayar, 01 November 2022

kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................................

A. LATAR BELAKANG.....................................................................................................................
B. RUMUSAN MASALAH.................................................................................................................
C. TUJUAN PENULISAN...................................................................................................................
D. MANFAAT PENULISAN...............................................................................................................

BAB 11 KONSEP MEDIS ............................................................................................................................

A. Definisi lansia dan fraktur .............................................................................................................


B. Epidemiologi pada lansia ...............................................................................................................
C. Etiologi .............................................................................................................................................
D. Manifestasi klinik ...........................................................................................................................
E. Faktor resiko fraktur pada lansia .................................................................................................
F. Patogenesis ......................................................................................................................................
G. Penatalaksanaan .............................................................................................................................
H. Komplikasi dan prognosis pada lansia .........................................................................................
I. Pencegahan ......................................................................................................................................

BAB III KONSEP KEPERAWATAN ........................................................................................................

A. Pengkajian keperawatan ................................................................................................................


B. Diagnosa keperawatan ...................................................................................................................
C. Intervensi keperawatan ..................................................................................................................
D. Implementasi keperawatan ............................................................................................................
E. Evaluasi keperawatan ....................................................................................................................

BAB IV PENUTUP .......................................................................................................................................


A. KESIMPULAN ...............................................................................................................................
B. SARAN ............................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Seiring bertambahnya usia, lansia mengalami perubahan morfologis pada otot
yang menyebabkan penurunan fungsional otot, yaitu kekuatan dan kontraksi otot,
elastisitas dan fleksibilitas otot, serta kecepatan dan waktu reaksi. Penurunan fungsi
serta kekuatan otot meningkatkan risiko jatuh, dan juga dapat diperburuk oleh faktor
dari lingkungan (pencahayaan yang buruk, lantai yang licin).

Untuk bisa terjadi fraktur pada usia lanjut sering terjadi hanya dengan
traumaringan atau bahkan tanpa ada kekerasan yang nyata. Adanya tekanan berat dari
lantaisaat jatuh hanya merupakan sebagian dari penyebab fraktur tersebut. Pada
lansia,stress utama pada tulang justru datang dari daya yang sangat kuat dari otot yang
berinsersi di tulang tersebut.

Jatuh merupakan seringkali menjadi hal yang ditakuti oleh lansia.Komplikasi


dari jatuh yang paling sering terjadi adalah hip fracture. Fraktur pada pergelangan
tangan dan lengan atas merupakan jenis fraktur yang juga cukup sering terjadi akibat
jatuh. Selain menyebabkan trauma fisik, jatuh juga menyebabkan dampak psikologis
seperti syok setelah jatuh, rasa takut akan jatuh, rasa cemas, hilangnya rasa percaya
diri dan pembatasan dalam aktivitas sehari- hari.

Fraktur yang terjadi pada kolum femur dan intertrokanter femur memiliki
frekuensi yang hampir sama. Sembilan dari 10 fraktur tulang pinggul, terjadi pada
pasien usia 65 tahun atau lebih, dengan wanita memiliki frekuensi tiga kali lipat lebih
sering daripada pria.Faktor risiko terjadinya fraktur selain usia dan jenis kelamin
adalah ras, ganguan neurologis, malnutrisi, keganasan dan kurangnya aktivitas
fisik.Sembilan puluh persen kasus fraktur tulang pinggul pada populasi lansia terjadi
karena jatuh, diperburuk oleh ganguan berjalan sebelum kejadian, berkurangnya waktu
bereaksi dan penglihatan yang kurang baik.
Fraktur pada intertrokanter femur terjadi sekitar lebih dari 200.000 pasien setiap
tahunnya di Amerika Serikat pada pasien diatas 70 tahun dengan mortalitas 15-30%.
Fraktur tulang pinggul (intertrokanter dan leher femur) meliputi 30% semua pasien
rawat inap di Amerika serikat, dan diperkirakan biaya perawatannya 10 miliar USD
per tahun.

Dalam 4 dekade terakhir, jumlah kejadian fraktur tulang pinggul telah meningkat
sebesar 300% di Hong Kong, dan 500% di Singapore.Sedangkan didaratan China,yang
dulunya termasuk “low risk area”, hampir 70 juta penduduk usia 50 tahun ke atas
menderita osteoporosis, serta menyebabkan sekitar 687.000 kasus fraktur tulang
pinggul setiap tahunnya. Insiden hip fracture di Indonesia sendiri sekitar 119 dari
100.000 penduduk (pria dan wanita) setiap tahunnya.Sekitar 38.618 kasus fraktur
tulang pinggul yang terjadi pada tahun 2010, lebih dari setengah terjadi pada individu
dengan kisaran nilai T-scores osteopenia.

Osteoporosis adalah suatu kondisi tulang mengalami pengeroposan. Hal ini


meningkatkan risiko fraktur, sehingga mempengaruhi angka harapan hidup dan
kualitas hidup. Hip Fracture merupakan konsekuensi paling berat dan paling sering
dari osteoporosis. Lebih dari 250.000 kasus hip fracture berkaitan erat dengan
kejadian osteoporosis. Kejadian fraktur tulang pinggul meningkat setiap dekade mulai
usia 60 tahun sampai 90 tahun baik pada populasi laki-laki maupun perempuan.
Kejadian tertinggi ditemukan pada usia 80 atau lebih.

Berdasarkan survei oleh Gallup yang dilakukan oleh National Osteoporosis pada
tahun 2002, menunjukkan bahwa sekitar 86% dari populasi wanita berumur 45-75
tahun, tidak waspada terhadap osteoporosis, yang nantinya berdampak langsung
terhadap kecacatan akibat hip fracture. Kegagalan mengidentifikasi pasien yang
berisiko, memberikan edukasi dan menjalankan program pencegahan menyebabkan
konsekuensi yang cukup besar. Oleh karena itu, skrining di pelayanan primer menjadi
sangat pentin
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi lansia dan fraktur ?
2. Bagaimana Epidemiologi pada lansia ?
3. Bagaiman Etiologi fraktur ?
4. Bagaimana Manifestasi klinik faktur ?
5. Bagaimana Faktor resiko fraktur pada lansia ?
6. Bagaimana Patogenesis ?
7. Bagaimana Penatalaksanaan ?
8. Bagaimana Komplikasi dan prognosis pada lansia ?
9. Bagaimana Pencegahan ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Definisi lansia dan fraktur
2. Untuk mengetahui Epidemiologi pada lansia
3. Untuk mengetahui Etiologi faktur
4. Untuk mengetahui Manifestasi klinik
5. Untuk mengetahui Faktor resiko fraktur pada lansia
6. Untuk mengetahui Patogenesis
7. Untuk mengetahui Penatalaksanaan
8. Untuk mengetahui Komplikasi dan prognosis pada lansia
9. Untuk mengetahui Pencegahan

D. Manfaat
Sebagai informasi keperawatan yang dapat diterapkan pada penderita fraktur
dan sebagai sumber informasi dalam intervensi pada penderita fraktur.
BAB II

KONSEP MEDIS

A. Kosep Lansia Dan fraktur


1. Definisi lansia
Menua adalah proses menghilangnya secara perlahan aktifitas jaringan
untuk memperbaiki atu mengganti diri dan mempertahankan strukrur dan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas dan memperbaiki
kerusakan yang diderita (Darmojo,2010).
2. Definisi Fraktur
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial. Keadaan ini akan
mengganggu fungsi dari organ tulang sebagai penyanggah tubuh dan dapat
menyebabkan terjadinya disabilitas.
Berdasarkan Permenkes nomor 79 tahun 2014, geriatri adalah cabang
disiplin ilmu kedokteran yang mempelajari aspek kesehatan dan kedokteran pada
warna Lanjut Usia (60 tahun ke atas) termasuk pelayanan kesehatan kepada Lanjut
Usia dengan mengkaji semua aspek kesehatan berupa promosi, pencegahan,
diagnosis, pengobatan, dan rehabilitasi.

B. Epidemiologi Pada Lansia


Fraktur pada kelompok lansia merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia yang
terus bertambah. Sebuah studi melaporkan bahwa pada periode 2004- 2014 di US
didapatkan dua per tiga dari kasus fraktur geriatrik dialami oleh perempuan, namun
insiden pada laki-laki didapatkan meningkat setiap tahunnya; hal ini diduga karena
kebiasaan merokok dan obesitas yang meningkat pada laki- laki.
Fraktur trunkus inferior merupakan fraktur paling umum pada kelompok lansia
(34% pada tahun 2014) yaitu pinggul (hip), panggul (pelvis), vertebra bagian bawah,
dan pergelangan kaki (ankle). Fraktur pada trunkus superior menempati urutan kedua
terbanyak (13% pada tahun 2014) yang dialami oleh kelompok lanjut usia dan sesuai
dengan urutan frekuensi, yaitu fraktur radius distal (fraktur Colles), fraktur humerus
proksimal, dan fraktur siku, yang biasanya terjadi pada kejadian jatuh dengan lengan
yang terentang. Sisanya melibatkan fraktur pada lengan atas dan pergelangan tangan
(wrist) (7% pada keduanya), bahu dan tungkai atas (5%), dan yang sangat jarang ialah
pada wajah dan lehe
Fraktur pinggul sering terjadi pada kelompok lansia, terjadi setiap tahun pada
sekitar 1% laki-laki dan 2% perempuan. Cedera yang terjadi di elevator pada pasien
lansia biasa- nya terjadi karena terpeleset, tersandung, dan jatuh. Dari 15% kasus yang
masuk rumah sakit, 40% diantaranya karena fraktur pinggul.

C. Etiologi
Kelompok lansia berisiko lebih tinggi untuk terjadinya fraktur oleh karena proses
penuaan yang dialami yang menyebabkan penurunan fungsi fisiologik tubuh, salah
satunya ialah penurunan kepadatan dan kualitas tulang. Selain itu, kelompok lansia
memiliki risiko jatuh yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya, yang
meningkatkan risiko terjadinya fraktur.
Fraktur geriatrik dapat disebabkan oleh mekanisme high impact maupun low
impact. Fraktur high- impact biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor dan cedera saat berolahraga, namun fraktur low impact yang paling sering
terjadi pada kelompok lansia dan memiliki angka mortalitas paling tinggi. Fraktur low
impact paling sering terjadi disebabkan oleh karena keadaan osteoporosis dengan
mekanisme jatuh. Risiko terjadinya fraktur oleh karena osteoporosis yaitu antara 40-
50% pada perempuan dan 13-22% pada laki-laki. Fraktur oleh karena osteoporosis
paling sering terjadi pada tulang belakang/ vertebra dan panggul. Empat dari lima
kasus fraktur ini terjadi melalui mekanisme terjatuh. Dalam suatu penelitian
didapatkan bahwa terjatuh merupakan mekanisme yang sering menyebabkan fraktur
pada kelompok lansia, paling sering terjadi di dapur dan kamar mandi. Kejadian jatuh
pada kelompok lansia tergantung pada berbagai faktor antara lain adanya gang- guan
keseimbangan atau gait yang tidak stabil. Insiden fraktur yang disebabkan oleh
kejadian jatuh sebesar 40% pada lansia.

D. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis fraktur menurut (Smeltzer, Bare, 2009) adalah nyeri, hilangnya
fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan
perubahan warna yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
1. Nyeri, terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Deformitas, Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
3. Krepitasi Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya. Uji krepitasi dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat.
4. Pembengkakan dan perubahan warna Pembengkakan dan perubahan warna lokal
pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
5. Fals Moment Merupakan pergerakan/ bentuk yang salah dari tulang (bengkok)

E. Faktor Resiko Fraktur Pada lansia


Faktor risiko terjadinya fraktur geriatrik ialah usia >75 tahun, jenis kelamin, status
ekonomi rendah, merokok, konsumsi alkohol berlebihan, IMT, riwayat fraktur
sebelumnya, penyakit kormorbid dan medi- kasinya, serta anemia.
Dalam hal jenis kelamin, perempuan lebih berisiko mengalami fraktur terutama
yang dengan paparan estrogen kurang seperti menopause dini dan amenorea. Status
sosioekonomi rendah mungkin menyangkut asupan gizi yang buruk, termasuk
kurangnya kadar kalsium serta vitamin K dan D pada pasien lansia. IMT yang tinggi
merupakan faktor risiko pada fraktur ekstremitas inferior sedangkan IMT rendah
merupakan faktor risiko terhadap terjadinya fraktur geriatrik namun bersifat protektif
terhadap fraktur ekstremitas infe- rior. Individu dengan riwayat fraktur non- hip dan
non-vertebral memiliki kemung- kinan 41% mengalami fraktur kembali dalam jangka
waktu 5 tahun setelah fraktur pertama.
Penyakit komorbid dan medikasinya dapat berkontribusi dalam terjadinya frak- tur
geriatrik. Diabetes melitus dan hiper- tensi dapat berperan dalam terjadinya fraktur
tulang belakang atau panggul. Terdapat berbagai penelitian yang menun- jukkan
bahwa diabetes melitus dapat meningkatkan risiko terjadinya fraktur jenis apapun.
Hipertensi pun berperan dalam penurunan densitas mineral tulang (Bone Mineral
Density; BMD) melalui meka- nisme penurunan pasokan darah ke tulang atau dapat
pula disebabkan oleh efek obat antihipertensi yang dikonsumsi pasien. Setiap kondisi
yang membutuhkan penggu- naan glukokortikoid kronis, seperti inflame- matory
bowel disease, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan artritis rheumatoid dapat
menurunkan BMD, demikian pula dengan penggunaan anti- koagulan oral. Pasien
yang menjalani dialisis juga mengalami peningkatan risiko terjadinya fraktur.
Gangguan gait, keseim- bangan, dan postural, serta gangguan peng- lihatan juga
meningkatkan risiko jatuh dan risiko mengalami fraktur. Anemia merupa- kan salah
satu faktor risiko terjadinya osteoporosis yang meningkatkan risiko fraktur. Beberapa
mekanisme dampak ane- mia yaitu dengan menurunkan sintesis kolagen, munculnya
faktor acidosis- induced transcription yang menyebabkan maturasi dari osteoklas dan
meningkatkan penghancuran tulang, serta meningkatkan kadar eritropoietin. Selain itu,
kalium pun berperan penting dalam metabolisme tulang yaitu dalam keseimbangan
asam-basa. Bila terjadi asidosis sistemik, hal ini dapat meninduksi aktivasi osteoklas.

F. Patogenesis
Pada lansia terjadi penurunan fisiologik berbagai organ, salah satunya ialah sistem
muskuloskeletal, yaitu penurunan massa otot serta penurunan kepadatan dan kualitas
tulang yang menyebabkan terjadi- nya osteoporosis. Pada osteoporosis terjadi
penurunan massa tulang secara keseluruhan akibat ketidakmampuan tubuh dalam
mengatur kandungan mineral dalam tulang disertai rusaknya arsitektur tulang yang
berakibat penurunan kekuatan tulang sehingga berisiko mudah terjadi fraktur.
Proses menua juga mengakibatkan perubahan kontrol postural yang berperan
penting pada mekanisme kejadian jatuh. Perubahan komponen dari kapabilitas
biomekanik meliputi latensi mioelektrik, waktu untuk bereaksi, proprioseptif, lingkup
gerak sendi, dan kekuatan otot. Selain itu, terdapat pula perubahan pada postur tubuh,
gaya berjalan, ayunan postural, sistem sensorik, dan mobilitas fungsional. Usia yang
lanjut dikaitkan dengan input proprioseptif yang berkurang, proses degeneratif pada
vestibuler, refleks posisi yang melambat, dan melemahnya kekuatan otot yang penting
dalam menjaga postur. Kelemahan otot dan ketidakstabilan atau nyeri sendi dapat
menjadi sumber gang- guan postural selama gerakan volunter. Semua perubahan
tersebut dapat berperan untuk terjadinya jatuh yang menjadi penyebab fraktur.
G. Penatalaksanaan
Di Amerika terdapat fasilitas kesehatan yang ditujukan khusus untuk pasien
geriatrik yang mengalami fraktur, yaitu Geriatric Fracture Center (GFC). Prinsip
penanganan fraktur geriatrik berdasarkan GFC ialah pasien mendapatkan manfaat dari
stabilisasi pembedahan terhadap fraktur yang dialami; semakin cepat pasien menjalani
operasi, semakin kecil risiko terjadinya penyakit iatrogenik; manajemen bersama
dengan komunikasi yang baik antara tim dapat bermanfaat untuk meng- hindari
komplikasi medis dan fungsional; protokol yang terstandarisasi akan mengurangi
kemungkinan variasi penyakit; dan perencanaan yang menyeluruh sejak pasien datang
berobat pertama kali.
Penanganan fraktur geriatrik perlu dilakukan oleh tim dokter yang terdiri dari
dokter ortopedik dan juga dokter geriatrik. Komunikasi yang baik dan rencana terapi
yang tepat perlu dipersiapkan agar pasien geriatrik dapat ditangani dengan baik dan
dapat mengembalikan kualitas hidup pasien dan mencegah terjadinya disabilitas.18
Penatalaksanaan yang perlu dilakukan pada pasien dengan fraktur dibagi menjadi
beberapa tahap, yaitu penatalaksanaan awal dan penatalaksanaan definitif.
Penatalaksanaan awal bermanfaat untuk menstabilkan keadaan pasien yang
mencakup pertolongan pertama pada pasien dengan fraktur. Survei awal bertujuan
untuk menilai dan memberikan pengobatan sesuai dengan prioritas berdasarkan
trauma yang dialami. Fungsi vital pasien harus dinilai secara tepat dan efisien yang
meliputi airway, breathing, circulation, disability, dan exposure. Penanganan pasien
harus terdiri atas evaluasi awal yang cepat serta resusitasi fungsi vital, penangan
trauma dan identifikasi keadaan yang dapat menyebabkan kematian. Penilaian klinis
dilakukan sebelum menilai fraktur itu sendiri, apakah luka itu luka tembus tulang,
adanya trauma pembuluh darah/saraf atau adanya trauma alat-alat dalam yang lain.
Pemberian medikamentosa untuk tatalaksana nyeri ialah parasetamol 500mg hingga
dosis maksimal 3000mg per hari. Bila respon tidak adekuat dapat ditambahkan dengan
kodein 10mg. Langkah selanjutnya ialah dengan menggunakan NSAID seperti
ibuprofen 400mg, 3 kali sehari. Pada keadaan nyeri berat (terutama bila terdapat
osteoporosis), kalsitonin 50-100 IU dapat diberikan subkutan malam hari. Golongan
narkotik hendaknya dihindari karena dapat menyebabkan delirium. Penurunan risiko
infeksi dengan pemberian antibiotik peri-operatif. Untuk mencegah tromboemboli,
pasien perlu mendapat antikoagulan selama masa perioperatif dan dapat diberikan low
molecular weight heparin (LMWH) tanpa pengontrolan aPTT terlebih dahulu.
Sebelum operasi, antikoagulan perlu dihentikan dahulu agar perdarahan luka operasi
terkendali. Setelah operasi, antikoagulan dapat diberikan hingga 2-4 minggu atau bila
pasien sudah dapat mobilisasi.
Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif, prinsip
pengobatan menggunakan empat (4R), yaitu: recognition, reduction, retention, dan
rehabilitation. Recognition meliputi diagnosis dan penilaian fraktur dengan anamnesis,
pemeriksaan klinik, dan radiologik. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan
lokalisasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan,
dan komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan. Reduction
fraktur bila perlu, restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi yang
dapat diterima. Pada fraktur intra- artikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat
mungkin mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti kekakuan,
deformitas, serta perubahan osteo- artritis di kemudian hari. Retention meliputi
imobilisasi fraktur dan rehabilitation untuk mengembalikan aktifitas fungsional
semaksimal mungkin.
Penatalaksanaan fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan splint.
Status neurologik dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik sebelum maupun
sesudah reposisi dan imobilisasi. Pasien dengan trauma multipel sebaiknya dilaku- kan
stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil sedang- kan
penatalaksanaan definitif fraktur adalah dengan menggunakan gips atau dilakukan
operasi dengan open reduction internal fixation (ORIF) maupun open reduction and
external fixation (OREF).
Reposisi bertujuan untuk mengembalikan fragmen ke posisi anatomi. Teknik
reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skeletal sedangkan reposisi terbuka
dilaku- kan pada pasien yang telah mengalami gagal reposisi tertutup, fragmen
bergeser, mobilisasi dini, fraktur multipel, dan fraktur patologik. Imobilisasi/fiksasi
bertujuan untuk mempertahankan posisi fragmen pasca reposisi sampai terjadi union.
Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan (shortening), fraktur unstable,
serta kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar. Terdapat berbagai jenis fiksasi
yang dapat dilakukan dan pemilihan fiksasi yang dapat diberikan harus
dipertimbangkan pada berbagai keadaan.
H. Komplikasi Dan Prognosis fraktur pada Lansia
1. Komplikasi
Pasien lansia sering mengalami komplikasi perioperatif seperti deep vein
throm- boembolism (DVT), hipoksia, delirium, anemia yang membutuhkan
transfusi, gagal jantung kongestif, gangguan ginjal akut, dan infark miokard.
Komplikasi pasca ope- rasi yang paling umum ialah pneumonia, gangguan ginjal
akut, dan ulkus dekubitus.
2. Prognosis
Risiko komplikasi pasca operasi, nyeri, lama rawat, dan kematian dapat
berkurang bila pasien lansia ditatalaksana operatif dalam kurun waktu tidak lebih
dari 24-48 jam, namun akan meningkat pada pasien lanjut usia dengan faktor-
faktor risiko dan komplikasi. Perawatan bedah mengurangi mortalitas dan nyeri
kronis serta meningkatkan kualitas hidup dibandingkan dengan manajemen medis.
Fraktur humerus proksimal dan fraktur geriatrik lainnya dapat menurunkan
kualitas hidup dan kemandirian secara kronis. Pasien yang tidak mengalami
perbaikan range of motion (ROM) dan kekuatan dalam satu tahun akan terus
mengalami kesulitan kronis. Fraktur ini dapat menurunkan kemampuan pasien
untuk menggunakan peralatan adaptif seperti alat bantu jalan, tongkat, atau
pegangan; kebutuhan perawatan kesehatan di rumah dan penilai- an keamanan
harus dilakukan sebelum me- ngeluarkan pasien dari rumah sakit karena pasien
mungkin tidak dapat mempertahankan independensi dengan cedera ini.10 Secara
keseluruhan mortalitas fraktur pelvis pada kelompok lanjut usia ialah 9- 30% dan
hingga 81% pada pasien lansia dengan fraktur pelvis terbuka.
Fraktur vertebra akut memiliki tingkat kelang- sungan hidup tiga tahun 40-
60% tergantung pada jenis penanganan. Hampir seperempat dari kelompok lanjut
usia akan mengalami fraktur kedua dalam 5 tahun ke depan, dan risiko patah
tulang pinggul 17 kali lipat lebih tinggi pada bulan pertama setelah mengalami
fraktur low impact.

I. Pencegahan
Pencegahan fraktur yang dapat dilakukan ialah pemberian suplementasi kalsium
dan vitamin D, menghindari faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti merokok dan
konsumsi alkohol, penggunaan pelindung pinggul, serta melakukan skrining dan
mengurangi risiko jatuh.Pemberian suplemen kalsium dapat dilakukan dengan
pemberian makanan mengandung kalsium misalnya susu atau dalam bentuk kalsium
sitrat untuk memenuhi kebutuhan kalsium sekitar 1200 mg per hari. Untuk mencapai
dosis harian yang direkomendasikan 800-1000 IU vitamin D sering dibutuhkan
tambahan multivitamin selain produk kombinasi kalsium dan vitamin D, yang
umumnya hanya mengandung 200 IU per tablet. Pada pasien yang kekurangan vitamin
D, perlu dilakukan pendekatan yang lebih agresif untuk peng- gantian vitamin D.
Paparan sinar ultraviolet dari sinar matahari pada kulit juga dapat menambah asupan
vitamin D.
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

Asuhan keperawatan Gerontik pada Fraktur


A. Pengkajian
Pengkajian keperawatan pada lansia merupakan proses kompleks dan menantang
yang harus mempertimbangkan kebutuhan lansia melalui pengkajian- pengkajian
untuk menjamin pendekatan lansia spesifik, antara lain:
1. Pengkajian Data
a. Identitas Pasien/keluarga
Format pengkajian identitas pada lansia yang meliputi: nama, umur, jenis
kelamin, status pernikahan, alamat, suku, agama, pekerjaan/penghasilan, dan
pendidikan terakhir.
b. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan merupakan data riwayat atau masalah kesehatan yang di
derita lansia pada saat ini dan masa lalu.
2. Pengkajian Fisik
a. Kebutuhan dasar
Kebutuhan dasar yang akan dikaji yaitu dari aktifitas latihan yang sering
dilakukan pasien, istirahat tidur, kenyamanan dan nyeri yang dirasakan, status
nutrisi, cairan, oksigenasi,eliminasi fekal/urine serta kebutuhan sensorik atau
penggunaan alat bantu.
b. Kemandirian dalam melakukan aktifitas
c. Pengkajian head to toe atau pengkajian per-sistem
Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis, baik secara inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi. Pemeriksaan fisik dilakukan secara head to toe (kepala
ke kaki) dan review of system (sistem tubuh).
1) Keadaan umum :
a) Tingkat kesadaran :
b) GCS :
c) TTV :
d) BB & TB :
e) Bagaimana postur tulang belakang :
(a) Tegap (b) Membungkuk (c) Kifosis (d)
Skoliosis (e)Lordosisi
2) Penilaian tingkat kesadaran
a) Composmetis (kesadaran penuh).
b) Apatis (acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya).
c) Somnolen (kesadaran lebih rendah, yang ditandai klien tampak
mengantuk, selalu ingin tidur, tidak responsive terhadap
rangsangan ringan tetapi masih responsive terhadap rangsangan
kuat).
d) Sopor (tidak memberikan respon ringan maupun sedang, tetapi
masih sedikit respons terhadap rangsangan yang kuat, refleks pupil
terhadap cahaya masih positif).
e) Koma (tidak ada reaksi terhadap stimulus apa pun, refleks pupil
terhadap cahaya tidak ada).
f) Delirium (tingkat kesadaran paling rendah, disorientasi, kacau, dan
salah persepsi terhadap rangsangan).
3) Penilaian kuantitatif
Diukur melalui GCS (Glasgow Coma Scale)
a) Membuka mata/Eye Movement (E)
b) Respons Verbal (V)
c) Respons Motorik (M)
4) Indeks massa tubuh
a) Berat badan :
b) BMI
c) TB (m) x TB (m)
Normal :
Laki-laki (20,1-25,0)
Wanita (18,7-23,8)
5) Head to toe
a) Kepala
Inspeksi: kulit kepala; warna, bekas lesi, bekas trauma, area
terpajan sinar matahari, hipopigmentasi, hygiene, sianosis, eritema.
Rambut; warna, bentuk rambut, kulit kepala, botak simetris pada
pria, rambut kering atau lembab, rapuh, mudah rontok.
Palpasi : kulit kepala; suhu dan tekstur kulit, ukuran lesi,
benjolan atau tidak, nyeri tekan atau tidak
b) Mata
Inspeksi: kesimetrisan, warna retina, kepekaan terhadap
cahaya atau respon cahaya, anemis atau tidak pada konjungtiva,
sklera icterus atau tidak. Ditemukan strabismus, riwayat katarak
atau tidak, penggunaan alat bantu penglihatan atau tidak.
c) Hidung
Inspeksi:Kesimetrisan,kebersihan,polip, terdapat perdarahan
atau tidak, olfaktorius
Palpasi : Sinus frontal dan maksilaris terhadap nyeri tekan.
d) Mulut
Inspeksi: Kesimetrisan bibir, warna, tekstur lesi dan
kelembaban serta karakteristik permukaan pada mukosa mulut dan
lidah. Jumlah gigi, gigi yang karies dan penggunaan gigi palsu.
Peradangan stomatitis atau tidak, kesulitan mengunyah dan
menelan.
Palpasi : lidah dan dasar mulut terhadap nyeri tekan dan
adanya massa. Tes uji fungsi saraf facial dan glosofaringeal dengan
memberikan perasa manis, asam, asin, manis.
e) Telinga
Inspeksi: permukaan bagian luar daerah tragus dalam
keadaan normal atau tidak. Kaji struktur telinga dengan otoskop
untuk mengetahui adanya serumen, otorhea, obyek asing dan
lesi.Tes uji pendengaran atau fungsi auditori dengan melakukan
skrining pendengaran dilakukan secara kualitatif dengan
menggunakan garpu tala dan kuantitatif dengan menggunakan
audiometer. Tes suara detik jam, tes Weber, tes Rine dengan media
garpu tala.
f) Leher
Inspeksi: pembesaran kelenjar thyroid, gerakan-gerakan
halus pada respon percakapan, secara bilateral kontraksi otot
seimbang, garis tengah trachea pada area suprasternal, pembesaran
kelenjar tiroid terhadap masa simetris tak tampak pada saat
menelan.
Palpasi : arteri temporalis iramanya teratur, amplitude agak
berkurang, lunak, lentur dan tidak nyeri tekan. Area trachea adanya
massa pada tiroid. Raba JVP (Jugularis Vena Pleasure) untuk
menentukan tekanan pada otot jugularis
g) Dada thorax
Paru
Inspeksi: bentuk dada normal chest/barrel chest/pigeon chest,
tampak adanya retraksi, irama dan frekuensi pernafasan pada usia
lanjut normal 12- 20 permenit. Ekspansi bilateral dada secara
simetris, durasi inspirasi lebih panjang daripada ekspirasi. Todak
ditemukan takipnea, dyspnea.
Palpasi : adanya tonjolan-tonjolan abnormal, taktil fremitus
(keseimbangan lapang paru), ada nyeri tekan atau tidak, krepitasi
karena defisiensi kalsium.
Perkusi : Sonora tau tidak.
Auskultasi: Vesikuler atau ada suara tambahan wheezing dan
rinchi.
Jantung
IC tidak tampak, IC teraba di ICS V midklavikula sinistra, pekak,
suara jantung tunggal. Inspeksi: Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V midklavikula sinistra Perkusi
: Terdengar pekak Auskultasi: area katup aorta, katup pulmonal,
area pulmonal kedua, area trikuspidalis, untuk mengetahui
keadaan abnormal pada jantung dan organ sekitar jantung. Kaji
bunyi S1, S2, S3 dan S4 murmur dan gallop.
h) Abdomen
Inspeksi: bentuk distensi, flat, simetris.
Auskultasi: bising usus dengan frekuensi normal 20 kali permenit
pada kuadran 8 periksa karakternya, desiran pada daerah epigatrik.
Palpasi : adanya benjolan, permukaan abdomen, pembesaran hepar
dan limfa dan kaji adanya nyeri tekan. Perkusi : adanya udara
dalam abdomen, kembung
i) Genetalia
Inspeksi: pada pria; kesimetrisan ukuran skrotum, kebersihan, kaji
adanya hemaroid pada anus. Pada wanita; kebersihan, karakter
mons pubis dan labia mayora serta kesimetrisan labia mayora,
klitoris ukuran bervariasi.
Palpasi : pada pria; batang lunak, ada nyeri tekan, tanpa nodulus
atau dengan nodulus, skrotum dan testis mengenai ukuran, letak
dan warna. Pada wanita; bagian dalam labia mayora dan minora,
kaji warna, kontur kering dan kelembapannya.
j) Ekstermitas
Inspeksi: warna kuku, ibu jari dan jari-jari tangan, penurunan
transparasi, beberapa distorsi dari datar normal atau permukaan
agak melengkung pada inspeksi bentuk kuku, permukaan tebal dan
rapuh. Penggunaan alat bantu, deformitas, tremor, edema kaki. Kaji
kekuatan otot.
Palpasi : turgor kulit hangat, dingin. Kaji reflek pada daerah
brakhioradialis, trisep, patella, plantar dan kaji reflek patologis
k) Integumen
Inspeksi: kebersihan, warna kulit, kesimetrisan, kontur tekstur dan
lesi.
Palpasi : CRT < 2 detik
B. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/ immobilisasi, stress,
ansietas
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea, kelemahan/keletihan,
ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan pola tidur.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur
tulang, ketidakbugaran fisik, penurunan kendali otot, penurunan kekuatan otot,
kekakuan sendi, nyeri.

C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Intervensi
Keperawatan
Dx (SLKI) (SIKI)
(SDKI)
D.007 Nyeri akut L.08066 Tingkat I.08238 Manajemen
1. berhubungan dengan Nyeri Nyeri
agen pencedera Setelah dilakukan Tindakan
fisiologis yaitu tindakan keperawatan Observasi
penurunan kepadatan selama 3x24 jam - Identifikasi lokasi,
dan kualitas tulang tingkat nyeri menurun karakteristik, durasi,
ditandai dengan dengan kriteria hasil : frekuensi, kualitas,
mengeluh nyeri, - Keluhan nyeri intensitas nyeri
tampak meringis, menurun - Identifikasi skala
sulit tidur, frekuensi - Meringis menurun nyeri
nadi meningkat, - Gelisah menurun - Identifikasi respons
gelisah. - Kesulitan tidur nyeri non verbal
menurun - Identifikasi faktor
- Frekuensi nadi yang memperberat
membaik dan memperingan
nyeri
- Identifikasi
pengetahuan dan
keyakinan tentang
nyeri
- Identifikasi
pengaruh budaya
terhadap respon
nyeri
- Identifikasi
pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
- Monitor
keberhasilan terapi
komplementer yang
sudah diberikan
- Monitor efek
samping
penggunaan
analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik
nonfarmakologi
untuk mengurangi
rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis,
akupresur, terapi
musik, biofeedback,
terapi pijat,
aromaterapi, teknik
imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
- Kontrol lingkunga
yang memperberat
rasa nyeri (mis. suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
- Fasilitasi istirahat
dan tidur
- Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri.
Edukasi
- Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
- Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian analgetik
jika perlu.
D.005 Intoleransi aktivitas L.05047 Toleransi I.05178 Manajemen
2. berhubungan Aktivitas Energi
dengan kelemahan, Setelah dilakukan Tindakan
tirah baring dan tindakan keperawatan Observasi
imobilitas yang selama 3x24 jam - Identifikasi gangguan
ditandai dengan toleransi aktivitas fungsi tubuh yang
mengeluh lelah, meningkat dengan mengakibatkan
tekanan darah kriteria hasil : kelelahan
berubah, merasa - Frekuensi nadi - Monitor kelelahan
lemah, merasa tidak membaik fisik dan emosional
nyaman setelah - Keluhan lelah - Monitor pola dan jam
beraktivitas. menurun tidur
- Tekanan darah - Monitor lokasi dan
membaik ketidaknyamanan
selama melakukan
aktivitas
Terapeutik
- Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus (mis.
cahaya, suara,
kunjungan)
- Lakukan latihan
rentang gerak pasif
da/atau aktif
- Berikan aktivitas
distraksi yang
menenangkan
- Fasilitasi duduk di
sisi tempat tidur, jika
tidak dapat berpindah
atau berjalan
Edukasi
- Anjurkan tirah baring
- Anjurkan melakukan
aktivitas secara
bertahap
- Anjurkan
menghubungi
perawat jika tanda
dan gejala kelelahan
tidak berkurang
- Ajarkan strategi
koping untuk
mengurangi
kelelahan
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan.
D.005 Gangguan mobilitas L.05042 Mobilitas I.06171 Dukungan
3. fisik berhubungan Fisik Ambulasi
dengan kerusakan Setelah dilakukan Tindakan
integritas struktur tindakan keperawatan Observasi
tulang, selama 3x24 jam - Identifikasi adanya
ketidakbugaran fisik, mobilitas fisik nyeri atau keluhan
penurunan kendali meningkat dengan fisik lainnya
otot, penurunan kriteria hasil : - Identifikasi toleransi
kekuatan otot, - Pergerakan fisik melakukan
kekakuan sendi, nyeri ekstremitas ambulasi
yang ditandai dengan meningkat - Monitor kondisi
mengeluh sulit - Kekuatan otot umum selama
menggerakkan meningkat melakukan ambulasi
ekstremitas, kekuatan - Rentang gerak Terapeutik
otot menurun, ROM (ROM) meningkat - Fasilitasi aktifitas
menurun, nyeri saat - Nyeri menurun ambulasi dengan alat
bergerak, fisik lemah, - Kaku sendi bantu
dan sendi kaku. menurun - Fasilitasi melakukan
- Kelemahan fisik mobilisasi fisik
menurun - Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
ambulasi
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
- Anjurkan melakukan
ambulasi dini
- Anjurkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis
berjalan dari tempat
tidur ke kursi roda,
berjalan dari tempat
tidur)

D. Implementasi
1. Lakukan pengkajian nyari pada skala 0-10 sebelum dan sesudah tindakan
implementasi untuk meredakan nyeri.
2. beri analgetik sesuai dengan intruksi dari dokter
3. Lakukan pengkajian neurofaskuler setiap 2-4 jam, dan dokumentasi trauma
4. Anjurkan nafas dalam dan relaksasi.
5. Ajarkan teknik traksi dan pembedahan

E. Evaluasi
Setelah semua tindakan yang dilakukan lakukan penilaian SOAP
S : Keluhan yang tidak lagi dirasakan dan juga keluhan yang masih di rasakan pasien
O : Sesuaikan apa yang di keluhkan pasien dan yang tidak lagi yang dikeluhkan
(sesuai atau tidak)
A : Intervensi apa saja yang perlu dihentikan dan dilanjutkan sesuai dengan data yang
ada
P : Intervensi dihentikan/atau dilanjutkan .
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Menua adalah proses menghilangnya secara perlahan aktifitas jaringan untuk
memperbaiki atu mengganti diri dan mempertahankan strukrur dan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas dan memperbaiki kerusakan yang diderita
(Darmojo,2010). Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial. Keadaan ini akan
mengganggu fungsi dari organ tulang sebagai penyanggah tubuh dan dapat
menyebabkan terjadinya disabilitas.
Fraktur pada kelompok lansia merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia yang
terus bertambah. Sebuah studi melaporkan bahwa pada periode 2004- 2014 di US
didapatkan dua per tiga dari kasus fraktur geriatrik dialami oleh perempuan, namun
insiden pada laki-laki didapatkan meningkat setiap tahunnya; hal ini diduga karena
kebiasaan merokok dan obesitas yang meningkat pada laki- laki.

B. SARAN
Diharapkan asuhan keperawatan gerontik yang kami susun ini dapat bermanfaat
bagi teman-teman yang membaca dan dapat dijadiakan pedoman di dalam
memberikan asuhan keperawatan khususnya pada klien dengan fraktur.

DAFTAR PUSTAKA
Padilla, Hari. 2017; STANDAR DIAGNOSIS KEPERAWATAN INDONESIA. Jakart
selatan :Dewan pengurus pusat. Sabtu ,07 Agustus 2021.

Padilla, Hari. 2018 ; STANDAR INTERENSI KEPERAWATAN INDONESIA. Jakarta


selatan; Dewan pengurus pusat. Sabtu,07 Agustus 2021.

Anda mungkin juga menyukai